MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON KUNING SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONSENTRASI BENZYLADENINE DAN INDOLE-3-ACETIC ACID
MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON KUNING
SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONSENTRASI
BENZYLADENINE
DAN
INDOLE-3-ACETIC ACID
(Skripsi)
Oleh
EKA PERMATA SARI
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
(2)
ABSTRACT
IN VITRO SHOOT MULTIPLICATION OF BANANA CV. AMBON KUNING AS AFFECTED BY BENZYLADENINE
AND INDOLE-3-ACETIC ACID
By
Eka Permata Sari
One method to propagate banana shoots in vitro is by used of axillary branching,
in which shoots are stimulated to form and multiplied in existance of high ratio of
cytokinin vs auxin in the system. The objections of this research were: (1) to
study the effects of increasing benzyladenine (BA) concentrations on shoot
multiplication (2) to study the effects of increasing indole-3-acetic acid (IAA) in
combination with BA on shoot multiplication (3) to indentify if three was any
interaction between BA and IAA in affectiny shoot multiplication, and (4) to find
the best treatment which produced the hightest number of shoots and propagules
of banana cv. Ambon Kuning.
This Research was conducted at Plant Tissue Culture Laboratory, Faculty of
Agriculture, The University of Lampung from January to July 2011. The
experiment was conducted in a completely randomized design with three
replications. Teratments were arranged in a faktorial design (3x3) with three level
of BA (2, 4, and 6 mg/l) as the first factor and three level of IAA (0,5 and 1 mg/l)
(3)
each of which contained one banana explant. Data on the number of shoots,
number of propagules, number of leaves, plant height and length of roots were
subjected to analysis of variansi and if three was any significant F value, mean
separation was done using least significant difference.
Result of the experiment showed that (1) increasing concentration of BA resulted
in the increase of shoot and propagule numbers per explant. (2) Increasing
concentration of IAA in combination with BA resulted in decreasing shoot and
propagule numbers per explant. (3) There was interactions between BA and IAA
in affecting shoot and propagule number per explant as well as number of leaves
per explant. (4) the best treatment which produced the highest shoot and
propagule number per explant was 6 mg/l BA without IAA.
Key words : benzyladenine (BA), indole-3-acetic acid (IAA), banana cv. Ambon Kuning
(4)
ABSTRAK
MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON KUNING SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONSENTRASI BENZYLADENINE
DAN INDOLE-3-ACETIC ACID
Oleh
Eka Permata Sari
Pisang merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi yang permintaannya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, tidak diikuti dengan
produktivitas pisang yang meningkat. Hal ini disebabkan kualitas dan kurangnya
ketersediaan bibit pisang. Kultur jaringan merupakan teknik alternatif dalam
penyediaan bibit tanaman. Salah satu metode perbanyakan dalam kultur jaringan
adalah metode axillary branching yang pertumbuhan tunasnya dirangsang dengan menggunakan zat pengatur tumbuh. Dengan pemberian zat pengatur tumbuh BA
tinggi dan IAA rendah diharapkan dapat meningkatkan jumlah tunas. Penelitian
ini bertujuan untuk (1) Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasiBA
terhadap multiplikasi tunas pisang Ambon Kuning. (2) Mengetahui pengaruh
peningkatan konsentrasiIAA terhadap multiplikasi tunas pisang Ambon Kuning.
(3) Mengetahui konsentrasiBA danIAA yang menghasilkan tunas terbaik pada
pisang Ambon Kuning. (4) Mengetahui interaksi antara penggunaanBA danIAA
(5)
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai Juli 2011. Penelitian
dilakukan dengan rancangan teracak sempurna faktorial (3x3). Faktor pertama,
tiga taraf konsentrasi BA yaitu 2 mg/l, 4 mg/l, dan 6 mg/l. Faktor kedua, tiga taraf
konsentrasi IAA yaitu 0 mg/l, 0,5 mg/l, 1 mg/l. Setiap perlakuan diulang tiga kali
dan setiap unit percobaan terdiri dari tiga botol kultur yang berisi satu eksplan
pisang Ambon Kuning. Data hasil pengamatan dianalisis berdasarkan nilai tengah
variabel pengamatan dengan mengunakan standard error of the means (SE). Homogenitas ragam antar perlakuan diuji dengan uji Bartlett dan aditivitas model
diuji dengan uji Tukey. Jika homogen maka data tersebut disidik ragam dan diuji
lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Semakin meningkatnya konsentrasi BA
dari 2 mg/l hingga 6 mg/l menghasilkan tunas pisang Ambon Kuning yang
semakin banyak. (2) Semakin meningkatnya konsentrasi IAA dari 0 mg/l hingga
1 mg/l yang dikombinasikan dengan BA menghasilkan tunas pisang Ambon
Kuning yang semakin sedikit. (3) Terdapat kombinasi terbaik antara konsentrasi
BA danIAA yaitu 6 mg/l BA yang dikombinasikan dengan IAA 0 mg/l yang
menghasilkan tunas terbanyak pada kultur in vitro pisang Ambon Kuning sebanyak 16,44 tunas. (4) Terdapat interaksi antara penggunaan BA danIAA
dalam multiplikasi tunas pisang Ambon Kuning secara in vitro.
Kata kunci : benzyladenine (BA), indole-3-acetic acid (IAA), pisang Ambon Kuning
(6)
MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON KUNING
SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONSENTRASI
BENZYLADENINE
DAN
INDOLE-3-ACETIC ACID
Oleh
EKA PERMATA SARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012
(7)
Judul Skripsi : MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON KUNING SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONSENTRASI BENZYLADENINE DAN INDOLE-3-ACETIC ACID
Nama Mahasiswa : Eka Permata Sari
Nomor Pokok Mahasiswa : 0714012038
Program Studi : Agroteknologi
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusnita, M.Sc. Ir. Sri Ramadiana, M.Si.
NIP 196108031986032002 NIP 196912051994032001
Ketua Program Studi Agroteknologi
Dr.Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P
(8)
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Yusnita, M.Sc.
Sekretaris : Ir. Sri Ramadiana, M.Si.
Penguji
bukan Pembimbing : Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.
NIP 196108261987021001
(9)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 11 Januari 1990. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Suryantoro
dan Ibu Samsurah. Penulis menyelesaikan pendidikan prasekolah di Taman
Kanak-Kanak (TK) Dharma Wanita Bumi Dipasena Mulia Lampung Utara
(1995). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri
2 Air Kubang Kabupaten Tanggamus (2001), Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Negeri 19 Bandar Lampung (2004), dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Al-Azhar 3 Bandar Lampung (2007). Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai
mahasiswa Program Studi Agroteknologi Konsentrasi Hortikultura Fakultas
Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) dan pada tahun 2008 di integrasikan pada program studi Agroteknologi.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata
kuliah Fisiologi Tumbuhan (2010-2011 dan 2011-2012), Produksi Tanaman Hias
(2010-2011), dan Teknologi Produksi Bibit (2011-2012). Pada tahun 2010
Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di desa Kuala Sekampung,
Kecamatan Rawa Sragi, Lampung Selatan. Selain itu penulis juga aktif di
organisasi kemahasiswaan UKMF FOSI FP (2008-2010) dan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) KBM Unila sebagai Staf Ahli Kementrian Sekertaris Kabinet
(10)
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.
(QS. Al Baqarah 2:216)
Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga
orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa
derajat. (al-Mujadalah : 11)
Bantinglah otak untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna
mencari rahasia besar yang terkandung di dalam benda besar yang
bernama dunia ini, tetapi pasanglah pelita dalam hati sanubari, yaitu
pelita kehidupan jiwa.
(Al- Ghazali)
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan
engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta
terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu
bertambah bila dibelanjakan.
(11)
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas semua nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Karya ini penulis persembahkan untuk mengungkapkan rasa kasih
sayang dan pengabdian penulis kepada:
Orangtua penulis tercinta atas pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang
telah beliau diberikan selama ini.
Adik-adik penulis Akhmaddi, Suci Fatmawati, dan Guntur Laksono,
yang telah memberikan do’a dan semangat
.
(12)
i
SANCAWACANA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Dalam penulisan skripsi ini, telah banyak bimbingan, bantuan, saran, dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang tulus kepada:
1. Dr. Ir. Yusnita, M.Sc., sebagai Pembimbing Utama yang telah memberikan
ilmu, nasehat, saran, dorongan, dan bimbingannya selama Penulis
melaksanakan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.
2. Ir. Sri Ramadiana, M.Si., sebagai Pembimbing Kedua yang telah memberikan
ilmu, nasehat, saran, dan bimbingan skripsi kepada Penulis.
3. Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc., selaku penguji bukan pembimbing atas segala
saran, masukan, kritikan dan bimbingan guna menyempurnakan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo M.Sc., selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.
5. Dr.Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Program Studi
(13)
ii
6. Prof. Dr. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
7. Kedua orangtua penulis Bapak Suryantoro dan Ibu Samsurah serta adik-adik
penulis Akhmaddi, Suci Fatmawati, dan Guntur Laksono atas doa yang tidak
terhenti, bimbingan, kasih sayang, motivasi dan dorongannya kepada penulis.
8. Rekan-rekan seperjuangan di laboratorium kultur jaringan tanaman Unila
Hayane Adeline Warganegara, S.P, Vincentia Atika Septiana, S.P, Idha
Syulistia Larassati, S.P, Arum Jayanti, S.P, Lia Kristianti, S.P, Anisa Ayu
Fitri, Suvy Ethikasari, Titik Inayah, S.P, Ronald Bunga Mayang, S.P, Onny
Chrisna Pandu Pradana, S.P, Maera Zasari, M.P, Yivista Handayani, M.P,
Ibnu Azis Murad, S.P dan adik-adik di laboratorium kultur jaringan tanaman
atas rasa persaudaraan yang telah dibina dan bantuan serta kerjasama selama
di laboratorium dari awal hingga akhir penelitian.
9. Taman-teman Hortikultura 2007 atas persahabatan, kebersamaan dan
kekeluargaanya.
10.Taman-teman di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KBM Unila (2008-2009
dan 2009-2010) dan taman-teman di UKMF FOSI FP (2008-2010) atas rasa
kekeluargaan, persahabatan, dan kebersamaan serta dorongannya selama ini.
Penulis berdoa semoga Allah SWT membalas budi baik mereka semua, dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Amin.
Bandar Lampung, Januari 2012
Penulis
(14)
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………..…...…. vi
DAFTAR GAMBAR………...……….…….…... ix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah……….………... 1
1.2 Tujuan Penelitian………... 5
1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran………...…..…...…... 6
1.4 Hipotesis……….…... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Pisang……….……….... 9
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Pisang... 12
2.3 Manfaat Tanaman Pisang... 12
2.4 Teknik Kultur Jaringan... 13
2.5 Media Kultur... 16
2.6 Eksplan... 17
2.7 Zat Pengatur Tumbuh... 17
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian………..………... 21
(15)
v
3.3 Metode Percobaan... 22
3.4 Teknik Pelaksanaan Penelitian………... 23
3.4.1 Sterilisasi alat……….... 23
3.4.2 Media prekondisi dan media perlakuan…………...... 24
3.4.3 Eksplan dan sterilisasi eksplan………...…..... 24
3.4.4 Inisiasi kultur dan subkultur………... 25
3.4.5 Pemelihraan... 26
3.4.6 Pengamatan... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ………...…...……….…………... 28
4.1.1 Perkembangan umum kultur……....…...………...……… 28
4.1.2 Rekapitulasi analisis data………...………...……... 31
4.1.2.1 Jumlah tunas per eksplan…...…………...…....…... 32
4.1.2.2 Jumlah propagul per eksplan………... 33
4.1.2.3 Jumlah akar per eksplan………..……...………... 34
4.1.2.4 Jumlah daun per eksplan………..…...….…... 36
4.1.2.5 Tinggi tunas per eksplan………..……...…... 37
4.1.2.6 Panjang akar per eksplan………..……..………... 37
4.1.3 Pengamatan visual……….…...……...…..…... 38
4.2 Pembahasan………...………..…………... 44
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……..………...………...……….…... 50
5.2 Saran……...………….………...……….…... 51
DAFTAR PUSTAKA………..……... 52
(16)
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Rumus bangun (A) BA dan (B) IAA………..……. 20 2. Perkembangan kultur pisang Ambon Kuning………. 29 3. Perkembangan jumlah tunas per eksplan pada kultur in vitro
pisang Ambon Kuning berumur 15 minggu, 19 minggu, dan 23 minggu yang dikondisikan pada semua perlakuan ZPT (angka dibelakang nama ZPT menunjukkan konsentrasi BA atau IAA dalam
mg/l)...………... 30 4. Pengaruh BA dan IAA terhadap jumlah tunas per eksplan pada
kultur in vitro pisang Ambon Kuning umur 23 minggu setelah tanam. Dua nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada
α 5%... 32 5. Pengaruh BA dan IAA terhadap jumlah propagul per eksplan
pada kultur in vitro pisang Ambon Kuning umur 23 minggu setelah tanam. Dua nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada α
5%... 34
6. Pengaruh BA dan IAA terhadap jumlah akar per eksplan pada kultur in vitro pisang Ambon Kuning umur 23 minggu setelah tanam (Bar menunjukkan standard error of the
means)……….. 35 7. Pengaruh BA dan IAA terhadap jumlah daun per eksplan pada
kultur in vitro pisang Ambon Kuning umur 23 minggu setelah tanam. Dua nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada
α 5%... 36 8. Penampilan visual kultur pisang Ambon Kuning pada umur 11
(17)
x
9. Penampilan visual kultur pisang Ambon Kuning pada umur 15
minggu setelah tanam……….. 40 10. Penampilan visual kultur pisang Ambon Kuning pada umur 19
minggu setelah tanam……….. 41 11. Penampilan visual kultur pisang Ambon Kuning pada umur 23
minggu setelah tanam……….. 43 12. Aklimatisasi kultur pisang Ambon Kuning………. 44
(18)
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Pisang merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi. Sebagai buah segar,
tanaman pisang banyak ditanam oleh petani baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Negara-negara penghasil pisang dunia adalah Indonesia, Brazil, Filipina,
Panama, Honduras, India, Equador, Thailand, Karibia, Hawai, serta negara-negara
di Afrika seperti Pantai Gading, Pulau Kanari dan Uganda (Suyanti dan Supriyadi,
2010).
Buah pisang digemari karena rasanya yang manis dan kandungan gizinya yang
tinggi. Buah pisang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan vitamin.
Vitamin yang banyak terkandung di dalam buah pisang yaitu vitamin A dan
Vitamin B (Suhardiman, 1997). Kandungan gizi dalam 100 gram buah pisang
yaitu kalori (90 kkal), karbohidrat (22,84 g), gula (12,23 g), serat (2,26 g), lemak
(0,33 g), protein (1,09 g), vitamin A (3 μg), vitamin B1 (0,031 mg), vitamin B2
(0,073 mg), vitamin B3 (0,665 mg), vitamin B5 (0,334 mg), vitamin B6 (0,367 mg),
vitamin B9 (20 μg), kalsium (8,7 mg), besi (5 mg), vitamin C (0,26 mg),
magnesium (27 mg), fosfor (22 mg), potasium (358 mg) dan seng (0,15 mg)
(19)
2
Selain rasa dan kandungan gizinya, kosumen juga menyukai aroma pisang yang
harum. Salah satu jenis pisang yang disukai karena beraroma harum adalah
pisang Ambon Kuning. Pisang Ambon Kuning ukurannya lebih besar dari jenis
pisang Ambon lainnya. Selain itu jenis pisang ini memiliki kulit kuning muda
yang tidak terlalu tebal. Daging buah yang sudah matang rasanya pulen, manis
dan berwarna putih kekuningan (Nuswamarhaeni dkk., 1999; Widyastuti dan
Paimin, 1993). Pisang Ambon Kuning memiliki genom AAA, bersifat triploid
dan tidak berbiji (Jumari dan Pudjoarinto, 2000).
Semakin meningkatnya pendapatan penduduk menyebabkan kebutuhan akan
produk buah segar semakin meningkat. Pisang merupakan salah satu buah segar
yang permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut catatan
Departermen Pertanian (2011), produksi pisang di Indonesia pada tahun 2007
sebesar 5.454.226 ton kemudian meningkat pada tahun 2008 menjadi 6.004.615
ton dan tahun 2009 menjadi 6.373.533 ton. Luas areal panen pisang di Indonesia
pada tahun 2007 sebesar 98.143 ha kemudian meningkat pada tahun 2008 menjadi
107.791 ha dan tahun 2009 menjadi 119.018 ha.
Namun demikian, meningkatnya produksi dan luas panen pisang tidak selalu
diikuti dengan produktivitas pisang yang meningkat. Hal ini dapat dilihat bahwa
pada tahun 2007 produktivitas pisang sebesar 55,57 ton/ha dan meningkat pada
tahun 2008 yaitu 55,71 ton/ha tetapi terjadi penurunan pada tahun 2009 menjadi
53,55 ton/ha (Departermen Pertanian, 2011). Penurunan produktivitas pisang
tersebut salah satunya disebabkan oleh kualitas dan kurangnya ketersediaan bibit
(20)
3
Pada umumnya penyediaan bibit pisang dilakukan dengan cara konvensional yaitu
menggunakan tunas anakan maupun belahan bonggol untuk mendapatkan
tanaman yang true-to-type. Cara ini jika digunakan untuk penyediaan bibit dalam jumlah yang banyak tidak efektif. Selain waktu yang dibutuhkan lama, bibit
pisang yang dihasilkan juga tidak seragam, sehingga waktu panen tidak sama pada
suatu luasan lahan. Hal ini akhirnya menyebabkan produktivitas pisang menurun.
Menurut Yusnita (2003) multiplikasi tanaman secara kultur jaringan merupakan
teknik alternatif yang tidak dapat dihindari jika penyediaan bibit tanaman harus
dilakukan dalam skala besar dan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk
memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau lambat apabila diperbanyak
dengan cara kovensional, multiplikasi tanaman dengan teknik kultur jaringan
menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang
banyak dan dalam waktu yang relatif singkat.
Pada perbanyakan pisang dengan kultur jaringan atau metode pembiakan in vitro, pola regenerasi yang sering digunakan adalah perbanyakan tunas samping
(axillary branching). Metode ini mengandalkan percabangan tunas samping yang pertumbuhannya dirangsang dengan zat pengatur tumbuh jenis sitokinin. Metode
ini sering digunakan karena peluang untuk mendapatkan tanaman true-to-type
lebih tinggi dibandingkan dengan metode pembiakan in vitro yang lain (Yusnita, 2003).
Zat pengatur tumbuh yang paling utama digunakan dalam kultur jaringan tanaman
adalah auksin dan sitokinin. Perbandingan pemberian sitokinin dan auksin
(21)
4
Skoog dan Miller (1957) sebagaimana dikutip oleh Trigiano dan Gray (2000).
Apabila nisbah auksin terhadap sitokinin dalam suatu sistem kultur jaringan
tinggi, maka kondisi tersebut akan memacu pertumbuhan akar pada eksplan dan
menghambat pertumbuhan tunas. Sebaliknya, jika nisbah auksin terhadap
sitokinin dalam suatu sistem kultur jaringan rendah, maka kondisi tersebut akan
memacu pertumbuhan tunas pada eksplan dan menghambat pertumbuhan akar.
Salah satu jenis sitokinin yang sering digunakan adalah benzyladenine (BA) karena efektivitasnya tinggi dan harganya yang relatif murah serta mudah
didapatkan di Indonesia (Yusnita, 2003). Indole-3-acetic acid (IAA) merupakan salah satu jenis auksin yang sering dikombinasikan dengan sitokinin untuk
multiplikasi tunas in vitro berbagai tanaman contohnya pada tanaman
Bougainvillea, Citrullus,dan Sinningi (George dkk., 2008).
Perbanyakan kultur in vitro pada pisang telah banyak diteliti oleh banyak peneliti adapun di antaranya pisang ‘Malbhog’ (Roy dkk., 2010), pisang Ardhapuri, Basrai, Shrimanti (Bhosale dkk., 2011), pisang Abaca (Avivi dan Ikrarwati,
2004), pisang Tanduk (Susanti, 2008; Alisan, 2007), dan pisang Raja Bulu
(Murad 2008; Saputra, 2008). Sedangkan pada pisang Ambon Kuning telah
dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya dilaporkan oleh Yusnita dkk.
(1996), Alisan (2007), Murad (2008), Anegra (2008), dan Pradana (2011) dengan
formulasi media dasar yang digunakan adalah formulasi media Murashige dan
Skoog, 1962 (MS). Formulasi media Murashige dan Skoog, 1962 (MS) banyak
digunakan karena dapat digunakan hampir di semua macam tanaman dan
(22)
5
NH4+ yang mudah diserap oleh tanaman terutama tanaman herbaceus
(Hendaryono dan Wijayani, 1994; Trigiano dan Gray, 2000).
Oleh karena itu perlu pengujian terhadap efektivitas benzyladenine (BA) yang dikombinasikan dengan indole-3-acetic acid (IAA) terhadap perbanyakan tunas pisang Ambon Kuning. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang
dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :
(1) Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasiBA terhadap multiplikasi tunas
pisang Ambon Kuning?
(2) Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi IAA terhadap multiplikasi
tunas pisang Ambon Kuning?
(3) Berapakah konsentrasi BA dan IAA yang menghasilkan tunas terbaik pada
pisang Ambon Kuning?
(4) Apakah terdapat interaksi antara penggunaanBA danIAA dalam
mempengaruhi multiplikasi tunas pisang Ambon Kuning?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan
sebagai berikut :
(1) Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasiBA terhadap multiplikasi
tunas pisang Ambon Kuning.
(2) Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi IAA terhadap multiplikasi
tunas pisang Ambon Kuning.
(3) Mengetahui konsentrasi BA dan IAA yang menghasilkan tunas terbaik pada
(23)
6
(4) Mengetahui interaksi antara penggunaanBA danIAA dalam mempengaruhi
multiplikasi tunas pisang Ambon Kuning.
1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran
Kultur jaringan tanaman adalah teknik menumbuh kembangkan bagian tanaman,
baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro
(Yusnita, 2003). Kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman
menjadi tanaman kecil yang memiliki sifat sama dengan induknya (Hendaryono
dan Wijayani, 1994).
Menurut Yusnita (2003), pada perbanyakan tunas pisang, metode perbanyakan
yang sering digunakan dalam kutur jaringan adalah metode percabangan tunas
samping (axillary branching) karena peluang untuk mendapatkan tanaman true-to-type lebih tinggi dibandingkan dengan metode pembiakan in vitro yang lain. Di dalam metode ini, tunas apikal dimatikan untuk mencegah terjadinya
dominansi apikal sehingga tunas samping akan muncul dan membentuk seperti
rumpun (Hartmann dkk., 2002).
Percabangan tunas samping diatur oleh interaksi auksin dan sitokinin. Auksin
akan menekan pertumbuhan tunas aksilar apabila dalam kondisi tunggal atau
sendiri tetapi apabila dikombinasikan dengan sitokinin maka sitokinin akan
merangsang aktivitas sel dan akan memacu percabangan tunas samping sehingga
tunas samping yang dihasilkan lebih banyak (Taiz dan Zeiger, 2006). Pengaturan
pembentukan tunas dan akar dari eksplan telah dipostulatkan oleh Skoog dan
(24)
7
perbandingan antara sitokinin dan auksin dalam sistem tersebut berpengaruh
terhadap arah diferensiasi tunas atau akar. Apabila nisbah auksin terhadap
sitokinin dalam suatu sistem kultur jaringan tinggi, maka kondisi tersebut akan
memacu pertumbuhan akar pada eksplan dan menghambat pertumbuhan tunas.
Sebaliknya, jika nisbah auksin terhadap sitokinin dalam suatu sistem kultur
jaringan rendah, maka kondisi tersebut akan memacu pertumbuhan tunas pada
eksplan dan menghambat pertumbuhan akar. Apabila nisbah auksin terhadap
sitokinin dalam suatu sistem kultur jaringan seimbang, maka kondisi tersebut akan
memacu pertumbuhan kalus.
Jenis sitokinin yang sering digunakan karena efektivitasnya tinggi adalah
benzyladenine (BA). Selain karena efektivitasnya yang tinggi BA sering digunakan karena harganya yang relatif murah dan mudah didapatkan di
Indonesia (Yusnita, 2003). Indole-3-acetic acid (IAA) merupakan salah satu jenis auksin alami yang berasal dari tanaman (Litwack, 2005), selain itu apabila IAA
dikombinasikan dengan sitokinin dapat meningkatkan jumlah tunas karena cepat
dimetabolisme dalam jaringan tanaman (Chaturvedi et al., 1978; Sharma et al.,
1981; Barnes, 1979; Haramaki, 1971; Grunewaldt, 1977 dalam George dkk.,
2008). Dengan pemberian BA tinggi dan IAA rendah diharapkan dapat
meningkatkan jumlah tunas.
Penelitian tentang perbanyakan in vitro pisang Ambon Kuning telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil dari penelitian tersebut di antaranya melaporkan
bahwa penggunaan media MS + BA 2 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbaik
(25)
8
1996). Alisan (2007) mendapatkan bahwa penggunaan media MS + BA 2 mg/l
menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 6,8 tunas per eksplan setelah dikulturkan
selama 12 minggu. Murad (2008) melaporkan bahwa penggunaan media MS +
BA 4 mg/l + IAA 1 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 6,33 tunas per
eksplan setelah dikulturkan selama 16 minggu. Anegra (2008) menerangkan
bahwa penggunaan media MS + BA 4 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbaik
yaitu 5,7 tunas per eksplan setelah dikulturkan selama 16 minggu. Pradana (2011)
menjelaskan bahwa penggunaan media MS + BA 2 mg/l yang dikombinasikan
dengan 1 mg/l kinetin menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 7,17 tunas per
eksplan setelah dikulturkan selama 16 minggu.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan,
maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
(1) Semakin tinggi konsentrasiBA maka semakin banyak tunas pisang Ambon
Kuning yang dihasilkan.
(2) Semakin tinggi konsentrasiIAA maka semakin sedikit tunas pisang Ambon
Kuning yang dihasilkan.
(3) Terdapat kombinasi terbaik antara konsentrasiBA danIAA yaitu BA 4 mg/l
+ IAA 1 mg/l yang menghasilkan tunas terbanyak pada pisang Ambon
Kuning.
(4) Terdapat interaksi antara penggunaanBA dan IAA dalam mempengaruhi
(26)
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Tanaman Pisang
Pisang berasal dari dua spesies liar yaitu Musa acuminata (A) dan Musa balbisiana (B) dan berasal dari kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Philipina, Borneo, dan Papua Nugini). Tanaman pisang kemudian menyebar luas
ke kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan, dan Amerika Tengah.
Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni
meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui
Lautan teduh sampai ke Hawai. Selain itu, tanaman pisang menyebar ke barat
melalui Samudra Atlantik, Kepulauan Kanari, sampai benua Amerika (Suyanti
dan Supriyadi, 2010; Robinson, 2006; Nakasone dan Paull, 2010).
Menurut Wikipedia (2011), berdasarkan taksonominya tanaman pisang
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
(27)
10
Taksonomis pisang setuju bahwa tidak ada nama ilmiah tunggal yang dapat
diberikan kepada semua pisang yang dapat dimakan. Musa acuminata bisa diterapkan pada diploid, murni tanpa biji (AA) dan triploid (AAA) dari pisang
yang dapat dimakan (banana) seperti ‘Pisang Mas’ dan ‘Grand Nain’. Begitu juga dengan Musa balbisiana bisa diterapkan pada diploid, murni tanpa biji (BB) dan triploid (BBB) dari pisang olah (plantain) seperti ‘Abuhon’ dan ‘Saba’ (Robinson, 2006; Nakasone dan Paull, 2010; Jumari dan Pudjoarinto, 2000). Pengelompokan
genom berbagai kultivar pisang dan plantain sebagaimana dinyatakan oleh Jumari
dan Pudjoarinto (2000) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengelompokan kultivar pisang dalam sub grup
Grup Genom Sub Grup Kultivar AA diploid Pisang Becici Becici, Gading, Lilin
Pisang Mas Emas Besar, Jantan, Raja Jambe
AAA triploid Pisang Ambon Ambon, Ambon Kuning, Ambon Hong Cavendish Cavendish, Badak, Kongo
Mauli Mauli, Sri Nyonya, Agung
Potho Ambon Putih, Potho, Raja Delima AAB triploid Plantain 1 Tanduk, Goplek, Koprek
Plantain 2 Australi, Raja Molo, Koja Santen Raja Raja, Raja Slamet, Raja Bagus Pulut Pulut, Bali, lengong
Raja Seribu Raja Seribu
Triolin Triolin, Ronggolawe, Cereme
BB Klutuk Batu Kerawang, Klutuk Batu, Klutuk sukun
ABB diploid Kepok Kepok Kuning, Gajih, Brentel Sobo Gablok, Kepok Putih, Sobo Londo Awak Abu Awak, Awak Rawa, Raja Uter ABBB tetraploid Kepok tetraploid Kepok Kuning Giant
Sumber: Jumari dan Pudjoarinto (2000)
Grup dengan genom triploid diduga terbentuk karena mutasi somatik pada
(28)
11
genom tetraploid diduga terbentuk dari persilangan diploid dan triploid
(Robinson, 2006).
Morfologi tanaman pisang terdiri dari bagian-bagian tanaman seperti akar, batang
daun, bunga dan buah yang memiliki ciri-ciri untuk dapat dibedakan dari tanaman
lainnya. Tanaman pisang berakar rimpang dan tidak memiliki akar tunggang yang
berpangkal pada umbi batang. Batang pisang yang sebenarnya terletak di dalam
tanah berupa umbi batang. Pada bagian atas umbi batang terdapat titik tumbuh
yang menghasilkan daun dan apabila sudah dewasa akan menghasilkan bunga
pisang. Batang pisang yang sesungguhnya terletak di dalam tanah yang berupa
umbi batang. Batang pisang yang berada di atas permukaan tanah merupakan
batang semu. Batang semu terbentuk dari pelepah daun yang saling menutupi
dengan kuat dan kompak dan berdiri tegak selayaknya batang yang sesungguhnya.
Helaian daun berbentuk lanset memanjang, bagian bawah daun tampak berlilin
dan tidak memiliki tulang daun. Bunga pisang disebut juga sebagai jantung
pisang karena menyerupai bentuk jantung. Bunga pisang ditutupi dengan daun
pelindung berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok. Setelah bunga keluar
maka akan terbentuk satu kesatuan bakal buah yang disebut sebagai sisir (Suyanti
dan Supriyadi, 2010; Robinson, 2006; Nakasone dan Paull, 2010).
Buah Pisang Ambon kuning memiliki ciri yaitu pada saat matang kulit buah
berwarna kuning keputihan dengan warna daging buah putih sampai putih
kekuningan. Rasa daging buahnya manis, sedikit asam, dan aromanya kuat.
Panjang buahnya antara 15—20 cm. Satu pohon pisang Ambon Kuning dapat menghasilkan 7—10 sisir dengan jumlah buah 100—150 buah. Bentuk buahnya
(29)
12
melengkung dengan pangkal meruncing. Pisang Ambon Kuning memiliki genom
AAA, bersifat triploid dan tidak berbiji (Suyanti dan Supriyadi, 2010; Widyastuti
dan Paimin, 1993; Jumari dan Pudjoarinto, 2000).
1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Pisang
Tanaman pisang menghendaki tanah yang gembur dan memiliki dainase yang
baik. Jenis tanah yang baik yaitu jenis tanah alluvial. Kandungan bahan organik
tinggi serta memiliki pH berkisar antara 5,8—6,5 (Nakasone dan Paull, 2010). Kedalaman tanah tidak kurang dari 60 cm, artinya sampai kedalaman tersebut
tidak ada cadas maupun bebatuan. Tanah liat berat dan tanah berstruktur padat
dengan permeabilitas rendah tidak diharapkan (Suhardiman, 1997). Kedalaman
air tanah yang sesuai untuk pisang yang ditanam pada daerah beriklim biasa
adalah 50—200 cm di bawah permukaan tanah (Suyanti dan Supriyadi).
Tanaman pisang terdapat di daerah beriklim tropik, yaitu antara 300 LU dan 300
LS dan sebagian besar terdapat di antara 200 LU dan 200 LS. Tanaman pisang
tumbuh baik pada iklim tropik yang lembab, dengan kelembapan minimal 8 bulan
dan curah hujan di atas 75 mm perbulan (Suhardiman, 1997). Suhu rata-rata
berkisar antara 15—380 C dengan suhu optimum 270 C. Tanaman pisang menghendaki cahaya penuh untuk pertumbuhan yang optimum (Nakasone dan
Paull, 2010).
2.3 Manfaat Tanaman Pisang
Tanaman pisang banyak digunakan untuk berbagai keperluan dan sering disebut
(30)
13
lainnya juga dapat dimanfaatkan. Bunga pisang biasanya dijadikan sebagai sayur,
manisan, acar, maupun lalapan. Daunnya yang muda dapat dimanfaatkan sebagai
pembungkus makanan sedangkan daun yang tua digunakan sebagai pakan
kambing, kerbau atau sapi dan dapat juga dijadikan bahan pembuat kompos
(Suyanti dan Supriyadi, 2010).
Batang pisang dapat diolah menjadi serat untuk bahan dasar pembuatan pakaian
atau kertas. Batang yang dipotong kecil dapat dijadikan makanan ternak dan
bahan pembuat kompos. Air dari batang pisang dapat digunakan sebagai penawar
racun dan bahan baku dalam pengobatan tradisional (Suyanti dan Supriyadi,
2010). Secara tradisional, air umbi batang pisang kepok dimanfaatkan sebagai
obat disentri dan pendarahan usus besar sedangkan air batang pisang digunakan
sebagai obat sakit kencing dan penawar racun (Bappenas, 2000).
Kulit pisang dapat dimanfaatkan untuk membuat cuka melalui proses fermentasi
alkohol dan asam cuka. Buah pisang kerap digunakan sebagai buah meja. Selain
itu buah pisang dapat diolah sebagai sale pisang, tepung pisang, selai, sari buah,
sirup, keripik dan berbagai jenis olahan kue. Buah pisang juga dapat digunakan
sebagai obat tradisional gurah (Suyanti dan Supriyadi, 2010).
2.4 Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik menumbuh kembangkan bagian
tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro dengan ciri-ciri kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi
(31)
14
ruangan kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003). Kultur
jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil
yang memiliki sifat sama dengan induknya (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Kultur jaringan tanaman adalah suatu ilmu menumbuhkan sel tanaman, jaringan
atau organ dari tanaman induk yang terisolasi pada media buatan (George dkk,
2008).
Menurut Yusnita (2003), perbanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan
teknik alternatif yang tidak dapat dihindari jika penyediaan bibit tanaman harus
dilakukan dalam skala besar dan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk
memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau lambat apabila diperbanyak
dengan cara kovensional, perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang
banyak dan dalam waktu yang relatif singkat.
Pada umumnya tanaman pisang selalu diperbanyak secara vegetatif, yaitu dengan
menggunakan tunas anakan (sucker) yang tumbuh dari bonggolnya dan dari belahan bonggol tanaman pisang. Belahan bonggol ini sering disebut sebagai bit
(Suyanti dan Supriyadi, 2010). Selain itu bibit pisang juga dapat diperbanyak
dengan kultur jaringan apabila kita ingin membudidayakan tanaman pisang dalam
skala yang luas. Pembibitan secara kultur jaringan memberikan berbagai
keuntungan di antaranya bibit diperoleh dengan waktu singkat dan dalam jumlah
besar, sifat-sifat individu baru sama dengan induknya, kecepatan tumbuh bibit
merata atau seragam, waktu panen serempak, kemasakan buah seragam dan
(32)
15
Pada perbanyakan pisang secara kultur jaringan metode percabangan tunas
samping (axillary branching) sering digunakan karena peluang untuk
mendapatkan tanaman true-to-type lebih tinggi dibandingkan dengan metode pembiakan in vitro yang lain (Yusnita, 2003). Metode percabangan tunas samping (axillary branching) yaitu dengan mematikan tunas apikal untuk memunculkan banyak tunas samping yang akan membentuk seperti rumpun
(Hartmann dkk., 2002)
Menurut Yusnita (2003), Hartmann dkk. (2002), Trigiano dan Gray (2000), tata
cara perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dibagi menjadi beberapa
tahap yang berurutan yaitu:
1. Tahap 0, memilih dan menyiapkan tanaman induk untuk eksplan.
2. Tahap 1, inisiasi kultur atau cuture estabilishment. 3. Tahap 2, multiplikasi atau perbanyakan propagul.
4. Tahap 3, mempersiapkan untuk transfer propagul ke lingkungan eksternal
yaitu pemanjangan tunas, induksi, dan perkembangan akar.
5. Tahap 4, aklimatisasi plantlet ke lingkungan eksternal.
Kultur in vitro pada pisang telah banyak dilaporkan oleh peneliti di antaranya
adalah pisang ‘Malbhog’ (Roy dkk., 2010), pisang Ardhapuri, Basrai, Shrimanti
(Bhosale dkk., 2011), pisang Abaca (Avivi dan Ikrarwati, 2004), pisang Tanduk
(Susanti, 2008; Alisan, 2007), dan pisang Raja Bulu (Murad 2008; Saputra, 2008).
Sedangkan perbanyakan in vitro pisang Ambon Kuning telah dilaporkan oleh beberapa peneliti di antaranya oleh Yusnita dkk. (1996), Alisan (2007), Murad
(33)
16
2.5 Media Kultur
Media kultur merupakan salah satu faktor keberhasilan kultur jaringan tanaman.
Media kultur terdiri dari air sebagai pelarut dan komponen utama, agar sebagai
pemadat media, garam-garam anorganik terdiri dari hara makro dan mikro,
sumber energi berupa sukrosa, dan vitamin. Dalam media kultur juga
ditambahkan zat pengatur tumbuh untuk perbanyakan propagul, dengan rasio
antara sitokinin dan auksin (Hartmann dkk., 2002).
Tabel 2. Formulasi media MS ( Murashige dan Skoog, 1962)
Nama Stok Senyawa dalam Larutan Stok
Konsentrasi dalam media MS (mg/l)
Makro (10x)
NH4NO3 1.650,000
KNO3 1.900,000
MgSO4.7H2O 370,000
KH2PO4 170,000
Ca (100x) CaCl2 440,000
Mikro A (100x)
H3BO3 6,200
MnSO4.H2O 16,900
ZnSO4.7H2O 8,600
Mikro B (1000x)
KI 0,830
Na2.MoO4.7H2O 0,250
CuSO4.5H2O 0,025
CoCl2.6H2O 0,025
Fe (100x) FeSO4.7H2O 27,800
Na2EDTA 37,300
Vitamin (1000x)
Tiamin-HCl 0,100
Piridoksin-HCl 0,500
Asam nikotinat 0,500
Glisin 2,000
Mioinositol (50x) Mioinositol 100,000
Nama ZPT BA Sesuai kebutuhan
IAA
Sukrosa 30.000
Agar-agar 7.000-8.000
(34)
17
2.6 Eksplan
Ekplan adalah bahan tanaman yang akan dikulturkan yang kemudian diharapkan
menghasilkan bibit-bibit tanaman yang sehat dan seragam. Eksplan merupakan
faktor penting penentu keberhasilan kultur jaringan. Dalam memilih eksplan
perlu diperhatikan umur fisiologi, umur ontogenetik, ukuran eksplan, dan bagian
tanaman yang diambil sebagai bahan awal kultur (Yusnita, 2003). Eksplan yang
sering digunakan dalam kultur in vitro untuk tujuan perbanyakan tanaman yaitu jaringan meristem, setek satu buku, dan embrio (George dkk., 2008).
Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan berasal dari jaringan muda yang
sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda memiliki daya
regenerasi yang lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri, dan relatif
lebih bersih. Sementara jaringan yang sudah tua lebih sulit beregenerasi, dan
biasanya mengandung lebih banyak kontaminan (Yusnita, 2003).
Eksplan yang sering digunakan untuk perbanyakan in vitro pisang adalah bonggol pisang yang memiliki mata tunas (Yusnita dkk.,1996; Alisan, 2007; Murad, 2008;
Anegra, 2008; dan Pradana, 2011) dan jantung pisang (Ernawati dkk., 2005; Nisa
dan Rodinah, 2005).
2.7 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses
(35)
18
Zat pengatur tumbuh yang paling utama digunakan dalam kultur jaringan tanaman
adalah auksin dan sitokinin. Efek dari auksin adalah (Taiz dan Zeiger, 2008).
1. Auksin mengatur dominansi apikal.
2. Membantu dalam pembentukan akar lateral dan adventif.
3. Menunda terjadinya gugur pada daun.
4. Mengatur dalam pembentukan tunas.
5. Membantu dalam pembentukan buah.
6. Menginduksi diferensiasi vaskular.
Peran biologi dari sitokinin adalah mengatur pertumbuhan tunas dan akar,
mengatur komponen spesifik dari siklus sel, rasio antara auksin dan sitokinin
mengatur morfogenesis di dalam kultur jaringan, menekan dominansi apikal dan
memacu pertumbuhan tunas lateral, memperlambat penuaan daun, meningkatkan
penyerapan nutrisi pada tanaman, membantu dalam pembentukan kloroplas,
memperluas permukaan daun dan kotiledon, dan mengatur pertumbuhan batang
dan akar (Taiz dan Zeiger, 2008).
Kandungan sitokinin yang tinggi pada tanaman akan menunjukkan penampakan
seperti meristem tunas apikal dengan jumlah daun yang banyak, daun memiliki
warna yang lebih hijau dan tingkat klorofil yang lebih tinggi, tunas adventif dapat
terbentuk pada bagian vena dan bagian yang terluka, penuaan daun terhambat,
menekan dominansi apikal. Pemberian sitokinin pada konsentrasi yang tinggi
dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan ruas pada batang menjadi pendek,
dan pertumbuhan dan pembentukan akar pada stek batang berkurang (Taiz dan
(36)
19
Sitokinin yang sering digunakan adalah benzyladenine (BA), sedangkan auksin yang sering digunakan berupa indole-3-acetic acid (IAA). Rumus bangun dari BA dan IAA disajikan pada Gambar 1A dan 1B.
Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh sitokinin dan auksin yang telah
dilaporkan dapat digunakan untuk perbanyakan tunas pisang secara in vitro adalah sebagai berikut. Pada pisang Ambon Kuning media MS + BA 2 mg/l
menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 12 tunas per ekslan setelah dikulturkan
selama 12 minggu (Yusnita dkk, 1996). Alisan (2007) mendapatkan bahwa
penggunaan media MS + BA 2 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 6,8
tunas per eksplan setelah dikulturkan selama 12 minggu. Murad (2008)
melaporkan bahwa penggunaan media MS + BA 4 mg/l + IAA 1 mg/l
menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 6,33 tunas per eksplan setelah
dikulturkan selama 16 minggu. Anegra (2008) menerangkan bahwa penggunaan
media MS + BA 4 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 5,7 tunas per
eksplan setelah dikulturkan selama 16 minggu. Pradana (2011) menjelaskan
bahwa penggunaan media MS + BA 2 mg/l yang dikombinasikan dengan 1 mg/l
kinetin menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 7,17 tunas per eksplan setelah
(37)
20
Gambar 1A. Rumus bangunBA
Gambar 1B. Rumus bangun IAA
Sumber: Salisbury dan Ross (1995)
NH
CH2—COOH CH
N H N
N
HN CH2
N
(38)
21
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari
sampai Juli 2011.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bonggol yaitu
dari tunas atau anakan pohon pisang Ambon Kuning yang didapat dari petani
pisang di daerah Bernung, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran,
Lampung. Anakan pohon pisang yang digunakan memiliki 2—4 helai daun. Bagian yang diambil sebagai sumber eksplan adalah potongan bonggol yang
mempunyai mata tunas.
Bahan-bahan yang digunakan untuk sterilisasi eksplan yaitu Dithane M-45 2 g/l,
asam askorbat 150 mg/l, asam sitrat 50 mg/l, deterjen, Bayclin (5,25% NaOCl),
Tween 20, aquadest, dan spirtus.
Formulasi media yang digunakan sebagai media dasar pada media prekondisi dan
media perlakuan adalah formulasi media Murashige dan Skoog, 1962 (MS) (Tabel
(39)
22
(ZPT) jenis sitokinin yaitu benzyladenine (BA) pada konsentrasi 1 mg/l. Pada media perlakuan, media dasar ditambah dengan ZPT jenis sitokinin yaitu
benzyladenine (BA) dan ZPT jenis auksin yaitu indole-3-acetic acid (IAA) masing-masing dalam tiga taraf. Sumber energi dalam media diperoleh dari
sukrosa 30 g/l. Sebagai pemadat media digunakan agar-agar 7 g/l. Sedangkan
dalam pengaturan pH digunakan KOH 1N atau HCl 1N.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat untuk pembuatan
media, sterilisasi eksplan, penanaman eksplan, dan perawatan eksplan. Alat yang
digunakan untuk membuat media yaitu botol kultur, timbangan analitik, beaker glass, gelas ukur, spatula, labu ukur, pH meter, hot plate, stirer, pipet tetes, panci berlapis enamel, kompor gas, plastik, karet, kertas label dan autoklaf. Alat yang
digunakan untuk sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan adalah pisau, beaker glass, spatula, bak atau ember, shaker, laminarairflowcabinet (LAFC),
pembakar bunsen, gelas ukur, botol kultur, petridish, alat-alat diseksi (pinset dan pisau bedah), handsprayer,dan alat tulis. Alat yang digunakan untuk perawatan eksplan meliputi rak kultur, air conditioner (AC) dan lampu fluorescent 1000-2000 lux.
3.3 Metode Percobaan
Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan teracak sempurna (RTS) dengan
perlakuan disusun secara faktorial (3x3). Perlakuan yang digunakan adalah
berbagai konsentrasiBA yaitu 2 mg/l, 4 mg/l dan 6 mg/l dikombinasikan dengan
IAA dengan konsentrasi 0 mg/l, 0,5 mg/l dan 1 mg/l. Sembilan perlakuan tersebut
(40)
23
dan Skoog, 1962 (MS) dan masing-masing perlakuan diulang tiga kali, setiap
ulangan terdiri dari tiga botol dan setiap botol terdapat satu buah eksplan pisang
Ambon Kuning.
Data hasil pengamatan dianalisis berdasarkan nilai tengah variabel pengamatan
dengan mengunakan standard error of the means (SE). Adapun Rumus SE yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan :
SE = standard error of the means
n = banyaknya pengamatan Xi = nilai pengamatan ke-i
Dengan menggunakan software Exstat, homogenitas ragam antar perlakuan diuji
dengan uji Bartlett dan aditivitas data diuji dengan uji Tukey. Jika data yang diuji
homogen maka data tersebut disidik ragam dan diuji lanjut dengan uji beda nyata
terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.
3.4 Teknik Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Sterilisasi alat
Alat-alat yang digunakan meliputi botol-botol kultur, alat diseksi, dan
alat-alat gelas dibersihkan dengan mencucinya terlebih dahulu dan dikeringkan.
Setelah alat-alat tersebut dicuci dan dikeringkan selanjutnya botol kultur ditutup
dengan menggunakan plastik dan karet gelang sedangkan alat-alat diseksi dan
alat-alat gelas dibungkus dengan menggunakan kertas dan plastik serta diikat
(41)
24
menggunakan autoklaf dengan suhu 1210 C dan tekanan 1,2 kgf/cm2 selama 30
menit.
3.4.2 Media prekondisi dan media perlakuan
Media prekondisi yang digunakan untuk media tanam awal eksplan adalah media
Murashige dan Skoog, 1962 (MS) dengan penambahan 1 mg/l benzyladenine
(BA). Pada media perlakuan, media dasar yang sama ditambah denganBA pada
konsentrasi 2 mg/l, 4 mg/l dan 6 mg/l dan dikombinasikan denganIAA dengan
konsentrasi 0 mg/l, 0,5 mg/l dan 1 mg/l. Media prekondisi dan media perlakuan
diatur tingkat keasamannya menjadi 5,8 menggunakan pH meter dengan
penambahan KOH 1N atau HCl 1N. Sebagai pemadat media digunakan agar-agar
7 g/l. Media kemudian dididihkan dan dimasukkan ke dalam botol steril. Botol
kemudian ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol-botol
yang berisi media tersebut kemudian diautoklaf pada suhu 1210 C dan tekanan 1,2
kgf/cm2 selama 15 menit.
3.4.3 Eksplan dan sterilisasi eksplan
Eksplan yang digunakan adalah bagian bonggol yang memiliki mata tunas dan
dipotong dengan membentuk kubus ukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 3 cm. Mula-mula
potongan eksplan direndam dalam larutan Dithane M-45 2 g/l, asam askorbat 150
mg/l dan asam sitrat 50 mg/l selama 30 menit. Larutan ini digunakan untuk
sterilisasi awal, antioksidan dan mencegah pencoklatan. Setelah itu eksplan
dibilas dengan air keran. Eksplan kemudian direndam kocok dalam larutan
(42)
25
keran untuk menghilangkan detergen dan Dithane M-45 yang masih menempel,
kemudian diletakkan di dalam laminar air flow cabinet (LAFC).
Dalam laminar air flow cabinet (LAFC), eksplan disterilisasi dengan cara merendam kocok selama 30 menit dengan menggunakan shaker dalam larutan pemutih Bayclin 50% dan ditambah Tween 20 1—2 tetes. Setelah 30 menit eksplan dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Eksplan tersebut kemudian
dipotong dan dikecilkan menjadi ukuran 2 cm x 2 cm x 2,5 cm. Setelah
dikecilkan eksplan direndam kocok kembali selama 20 menit dalam larutan
pemutih Bayclin 30% dan ditambah Tween 20 1—2 tetes. Setelah 20 menit eksplan dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Eksplan tersebut kemudian
dipotong dan dikecilkan menjadi ukuran 1,5 cm x 1,5 cm x 2 cm. Setelah
dikecilkan eksplan direndam kocok kembali selama 10 menit dalam larutan
pemutih Bayclin 10% dan ditambah Tween 20 1—2 tetes. Setelah 10 menit eksplan dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali dan siap ditanam pada media
prekondisi.
3.4.4 Inisiasi kultur dan subkultur
Penanaman eksplan steril dan subkultur dilakukan dalam kondisi aseptik di ruang
transfer di dalam laminar air flow cabinet (LAFC). Eksplan yang sudah ditanam pada media prekondisi selama 4 minggu dan dianggap steril dan tidak
terkontaminasi oleh jamur maupun bakteri dapat dipindahkan ke dalam media
perlakuan. Setelah 7 minggu berada di media perlakuan eksplan dicacah di bagian
(43)
26
di media baru dengan perlakuan sama. Subkultur ke media dengan perlakuan yang
sama dilakukan setiap 4 minggu sekali.
3.4.5 Pemelihraan
Eksplan yang sudah ditanam atau disubkultur, diletakkan di atas rak di dalam
ruang kultur dengan penerangan lampu fluorescent berintensitas 1000—2000 lux sebagai sumber cahaya. Suhu di dalam ruang kultur diatur menjadi 24—260 C selama 24 jam setiap hari dan terus menerus.
3.4.6 Pengamatan
Pertumbuhan dan perkembangan kultur diamati secara umum dimulai dari umur
11minggu setelah tanam hingga berumur 23 minggu setelah tanam. Variabel
pengamatan meliputi jumlah tunas per eksplan, jumlah propagul per eksplan,
jumlah akar per eksplan, jumlah daun per eksplan, rata-rata tinggi tunas per
eksplan, rata-rata panjang akar per eksplan dan penampakan visual kultur pisang
Ambon Kuning.
1. Jumlah tunas per eksplan
Jumlah tunas per eksplan dihitung berdasarkan semua tunas yang terbentuk
dari eksplan. Tunas adalah stuktur bermeristem yang memiliki ukuran lebih
dari 0,5 cm.
2. Jumlah Propagul per eksplan
Jumlah propagul per eksplan dihitung berdasarkan semua tunas dan mata
tunas yang terbentuk dari eksplan.
(44)
27
Jumlah akar per eksplan dihitung berdasarkan semua akar yang terbentuk dari
eksplan dan memiliki ukuran lebih dari 0,5 cm.
4. Jumlah daun per eksplan
Jumlah daun dihitung berdasarkan semua daun yang terbentuk dari eksplan
dan dan sudah terbuka sempurna.
5. Rata-rata tinggi tunas per eksplan (cm)
Panjang tunas diukur dari pangkal tunas di atas permukaan eksplan sampai
ujung daun terpanjang. Rata-rata panjang tunas diperoleh dengan menghitung
rata-rata panjang tunas per eksplan.
6. Rata-rata panjang akar per eksplan (cm)
Panjang akar diukur dari pangkal akar sampai ujung akar. Rata-rata panjang
akar diperoleh dengan menghitung rata-rata panjang akar per eksplan.
7. Penampakan visual kultur
Penampakan visual kultur ditunjukkan dengan melakukan pengamatan kultur
(45)
50
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
(1) Semakin meningkatnya konsentrasi BA dari 2 mg/l hingga 6 mg/l
menghasilkan tunas pisang Ambon Kuning yang semakin banyak.
(2) Semakin meningkatnya konsentrasi IAA dari 0 mg/l hingga 1 mg/l yang
dikombinasikan dengan BA menghasilkan tunas pisang Ambon Kuning yang
semakin sedikit.
(3) Terdapat kombinasi terbaik antara konsentrasiBA dan IAA yaitu 6 mg/l BA
yang dikombinasikan dengan IAA 0 mg/l yang menghasilkan tunas terbanyak
pada kultur in vitro pisang Ambon Kuning sebanyak 16,44 tunas.
(4) Terdapat interaksi antara penggunaan BA dan IAA dalam multiplikasi tunas
pisang Ambon Kuning secara in vitro. Pada perlakuan 2 mg/l BA,
penambahan IAA 0,5 mg/l dan 1 mg/l menghasilkan tunas pisang Ambon
Kuning yang semakin banyak. Pada perlakuan 4 mg/l BA, peningkatan
jumlah tunas hanya terjadi pada penambahan IAA 0,5 mg/l, sedangkan
penambahan IAA 1 mg/l menurunkan jumlah tunas per eksplan. Pada
perlakuan 6 mg/l BA, penambahan IAA 0,5 mg/l dan 1 mg/l menurunkan
(46)
51
5.2 Saran
Berdasarkan evaluasi dari penelitian yang telah dilakukan, penulis menyarankan
agar pencacahan dilakukan lebih awal yaitu setelah eksplan berada di media
(47)
52
DAFTAR PUSTAKA
Alisan, M. I. 2007. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Benziladenin (BA) pada Perbanyakan Tunas Pisang Ambon Kuning (AAA) dan Tanduk (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Anegra, S. R. 2008. Pengaruh Benziladenin (BA) dan Jenis Pemadat Media Terhadap Perbanyakan Tunas Aksilar Pisang Ambon Kuning (AAA) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Avivi, S. dan Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textillis Nee) Melalui Teknik Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2: 27-34
Bappenas. 2000. Budidaya Pisang. BAPPENAS. Jakarta. http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/pisang.pdf
Bhosale, U. P., S. V. Dubhashi, N. S. Mali dan H. P. Rathod. 2011. In Vitro
Shoot Multiplication in Different Species of Banana. Asian Journal of Plant Science and Research. 1 (3):23-27
Departemen Pertanian. 2011. Hasil Pencarian Berdasarkan Indikator. Departemen Pertanian. Jakarta. http://database.deptan.go.id
Ernawati, A., A. Purwito, dan J.M. Pasaribu. 2005. Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Rajabulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan Anakan dan Jantung. Bul. Agron. (33) (2) 31 – 38 (2005)
George, E. F., M. A. Hall., dan G-J. De Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture. 3rd Edition. Volume 1 The background. Springer. The
Netherlands
Hapsoro, D., Yusnita, Ardian, K. Setiawan, dan R. Evizal. 1996. Studi
Perbanyakan Vegetatif dan Pengecambahan Biji Tanaman Vanili (Vanilla planifolia Andr.) secara In Vitro. Fakultas Pertanian. Universitas
(48)
53
Hartmann, H. T., D. E. Kester, F. T. Davies., dan R. L. Geneve. 2002. Plant Propagation Principles and Practices. Seventh Edition. Upper Saddle River. New Jersey
Hendaryono, D. P. S., dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan
Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius. Yogyakarta
Jumari dan A. Pudjoarinto. 2000. Kerabat Fenetik Kultivar Pisang di Jawa. Biologi 2 (9): 531-542
Litwack, G. 2005. Plant Hormones Vitamins and Hormones Advances in Reasearch and Aplications. Elseveir Academic Press. Oxford. 544 hlm
Murad, I. A. 2008. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin (BA) dengan penambahan Indoleacetic Acid (IAA) pada Perbanyakan Tunas pisang Ambon Kuning (AAA) dan Tanduk (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.
Nakasone, H. Y., dan R. E. Paull. 2010. Tropical Fruits. CAB International. London. 445 hlm
Nisa, C., dan Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA Dan Kinetin. BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 2, Halaman 23-36.
http://bioscientiae.tripod.com
Nuswamarhaeni, S., D. Prihatini, dan E. P. Pohan. 1999. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta. 122 hlm
Pradana, O. C. P. 2011. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Benziladenin dan Kinetin pada Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Kuning In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Robinson, J. C. 2006. Bananas and Plantains. CAB International. London. 238 hlm
Roy, O. S., P. Bantawa, S. K. Ghosh, J. A. Teixeira da Silva, P. Deb Ghosh, dan T. K. Mondal. 2010. Micropropagation and Field Performance of
‘Malbhog’ (Musa paradisiaca, AAB groub): A Popular Banana Cultivar with High Keeping Quality of North East India. Global Science Books. http://www.globalsciencebooks.info/JournalsSup/images/Sample/TFSB_4( SI1)52-58o.pdf
Salisbury, F. B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid Tiga
Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan: Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung. 343 hlm
(49)
54
Saputra, D. 2008. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin (BA) dan Sukrosa pada Perbanyakan Tunas Pisang Raja Bulu (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Suhardiman, P. 1997. Budidaya Pisang Cavendish. Kanisius. Yokyakarta
Susanti, M. 2008. Pengaruh Benziladenin (BA) dan Sukrosa pada Perbanyakan Tunas Aksilar Pisang Tanduk (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Suyanti dan A. Supriyadi. 2010. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.132 hlm
Taiz, L. dan E. Zeiger. Plant Phisiology. Sinaur Associates. Sunderland
Trigiano, R. N., dan D. J. Gray. 2000. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercises. Second Edition. CRC Press LLC. Florida
Widyastuti, Y.E. dan F. B. Paimin. 1993. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta. 258 hlm
Wikipedia. 2011. Pisang. Wikipedia Indonesia. Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Pisang
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hlm
Yusnita, K. Mantja, D. Hapsoro. 1996. Pengaruh Benziladenin, Adenin dan Asam Indoleasetat Terhadap Perbanyakan Tunas pisang Ambon Kuning secara In Vitro. Jurnal Agrotropika. 1(1):29-32
(1)
Jumlah akar per eksplan dihitung berdasarkan semua akar yang terbentuk dari eksplan dan memiliki ukuran lebih dari 0,5 cm.
4. Jumlah daun per eksplan
Jumlah daun dihitung berdasarkan semua daun yang terbentuk dari eksplan dan dan sudah terbuka sempurna.
5. Rata-rata tinggi tunas per eksplan (cm)
Panjang tunas diukur dari pangkal tunas di atas permukaan eksplan sampai ujung daun terpanjang. Rata-rata panjang tunas diperoleh dengan menghitung rata-rata panjang tunas per eksplan.
6. Rata-rata panjang akar per eksplan (cm)
Panjang akar diukur dari pangkal akar sampai ujung akar. Rata-rata panjang akar diperoleh dengan menghitung rata-rata panjang akar per eksplan. 7. Penampakan visual kultur
Penampakan visual kultur ditunjukkan dengan melakukan pengamatan kultur pada setiap pengamatan menggunakan kamera Canon Ixus 60.
(2)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
(1) Semakin meningkatnya konsentrasi BA dari 2 mg/l hingga 6 mg/l menghasilkan tunas pisang Ambon Kuning yang semakin banyak. (2) Semakin meningkatnya konsentrasi IAA dari 0 mg/l hingga 1 mg/l yang
dikombinasikan dengan BA menghasilkan tunas pisang Ambon Kuning yang semakin sedikit.
(3) Terdapat kombinasi terbaik antara konsentrasi BA dan IAA yaitu 6 mg/l BA yang dikombinasikan dengan IAA 0 mg/l yang menghasilkan tunas terbanyak pada kultur in vitro pisang Ambon Kuning sebanyak 16,44 tunas.
(4) Terdapat interaksi antara penggunaan BA dan IAA dalam multiplikasi tunas pisang Ambon Kuning secara in vitro. Pada perlakuan 2 mg/l BA,
penambahan IAA 0,5 mg/l dan 1 mg/l menghasilkan tunas pisang Ambon Kuning yang semakin banyak. Pada perlakuan 4 mg/l BA, peningkatan jumlah tunas hanya terjadi pada penambahan IAA 0,5 mg/l, sedangkan penambahan IAA 1 mg/l menurunkan jumlah tunas per eksplan. Pada perlakuan 6 mg/l BA, penambahan IAA 0,5 mg/l dan 1 mg/l menurunkan jumlah tunas per eksplan.
(3)
5.2 Saran
Berdasarkan evaluasi dari penelitian yang telah dilakukan, penulis menyarankan agar pencacahan dilakukan lebih awal yaitu setelah eksplan berada di media perkondisi dan sebelum eksplan masuk ke media perlakuan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Alisan, M. I. 2007. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Benziladenin (BA) pada Perbanyakan Tunas Pisang Ambon Kuning (AAA) dan Tanduk (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Anegra, S. R. 2008. Pengaruh Benziladenin (BA) dan Jenis Pemadat Media Terhadap Perbanyakan Tunas Aksilar Pisang Ambon Kuning (AAA) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Avivi, S. dan Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textillis Nee) Melalui Teknik Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2: 27-34 Bappenas. 2000. Budidaya Pisang. BAPPENAS. Jakarta.
http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/pisang.pdf
Bhosale, U. P., S. V. Dubhashi, N. S. Mali dan H. P. Rathod. 2011. In Vitro Shoot Multiplication in Different Species of Banana. Asian Journal of Plant Science and Research. 1 (3):23-27
Departemen Pertanian. 2011. Hasil Pencarian Berdasarkan Indikator. Departemen Pertanian. Jakarta. http://database.deptan.go.id
Ernawati, A., A. Purwito, dan J.M. Pasaribu. 2005. Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Rajabulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan Anakan dan Jantung. Bul. Agron. (33) (2) 31 – 38 (2005)
George, E. F., M. A. Hall., dan G-J. De Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture. 3rd Edition. Volume 1 The background. Springer. The
Netherlands
Hapsoro, D., Yusnita, Ardian, K. Setiawan, dan R. Evizal. 1996. Studi
Perbanyakan Vegetatif dan Pengecambahan Biji Tanaman Vanili (Vanilla planifolia Andr.) secara In Vitro. Fakultas Pertanian. Universitas
(5)
Hartmann, H. T., D. E. Kester, F. T. Davies., dan R. L. Geneve. 2002. Plant Propagation Principles and Practices. Seventh Edition. Upper Saddle River. New Jersey
Hendaryono, D. P. S., dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan
Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius. Yogyakarta
Jumari dan A. Pudjoarinto. 2000. Kerabat Fenetik Kultivar Pisang di Jawa. Biologi 2 (9): 531-542
Litwack, G. 2005. Plant Hormones Vitamins and Hormones Advances in Reasearch and Aplications. Elseveir Academic Press. Oxford. 544 hlm Murad, I. A. 2008. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin (BA) dengan penambahan
Indoleacetic Acid (IAA) pada Perbanyakan Tunas pisang Ambon Kuning (AAA) dan Tanduk (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Nakasone, H. Y., dan R. E. Paull. 2010. Tropical Fruits. CAB International.
London. 445 hlm
Nisa, C., dan Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA Dan Kinetin. BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 2, Halaman 23-36.
http://bioscientiae.tripod.com
Nuswamarhaeni, S., D. Prihatini, dan E. P. Pohan. 1999. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta. 122 hlm
Pradana, O. C. P. 2011. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Benziladenin dan Kinetin pada Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Kuning In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Robinson, J. C. 2006. Bananas and Plantains. CAB International. London. 238 hlm
Roy, O. S., P. Bantawa, S. K. Ghosh, J. A. Teixeira da Silva, P. Deb Ghosh, dan T. K. Mondal. 2010. Micropropagation and Field Performance of
‘Malbhog’ (Musa paradisiaca, AAB groub): A Popular Banana Cultivar
with High Keeping Quality of North East India. Global Science Books. http://www.globalsciencebooks.info/JournalsSup/images/Sample/TFSB_4( SI1)52-58o.pdf
Salisbury, F. B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid Tiga
Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan: Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung. 343 hlm
(6)
Saputra, D. 2008. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin (BA) dan Sukrosa pada Perbanyakan Tunas Pisang Raja Bulu (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Suhardiman, P. 1997. Budidaya Pisang Cavendish. Kanisius. Yokyakarta Susanti, M. 2008. Pengaruh Benziladenin (BA) dan Sukrosa pada Perbanyakan
Tunas Aksilar Pisang Tanduk (AAB) secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Suyanti dan A. Supriyadi. 2010. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.132 hlm
Taiz, L. dan E. Zeiger. Plant Phisiology. Sinaur Associates. Sunderland Trigiano, R. N., dan D. J. Gray. 2000. Plant Tissue Culture Concepts and
Laboratory Exercises. Second Edition. CRC Press LLC. Florida Widyastuti, Y.E. dan F. B. Paimin. 1993. Mengenal Buah Unggul Indonesia.
Penebar Swadaya. Jakarta. 258 hlm
Wikipedia. 2011. Pisang. Wikipedia Indonesia. Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Pisang
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hlm
Yusnita, K. Mantja, D. Hapsoro. 1996. Pengaruh Benziladenin, Adenin dan Asam Indoleasetat Terhadap Perbanyakan Tunas pisang Ambon Kuning secara In Vitro. Jurnal Agrotropika. 1(1):29-32