PENDEKATAN HUMANISTIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI (450 H/1058 M – 505 H/1111 M)

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Nur Ismaya Aliatunisa NPM: 20120720202

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I) strata Satu Pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:

Nur Ismaya Aliatunisa NPM: 20120720202

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

و َمَ واًرِثَكواً ْ َخوَِِ ُ وْ َقَ وَةَ ْكِْْاوَتْؤُ يوْ َمَ وُء َشَيوْ َموَةَ ْكِْْاو ِِْؤُ ي

وِا َبْلَْااووُل ُ و َاِ وُ َكَ َي

(

وة قبلا

و:

٢ ٩

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam

tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang

dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia

benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya

orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran

(dari firman Allah).


(4)

iii

Risalah ini saya persembahkan untuk kedua orang

tua yang telah menjadi motivator handal dalam

mendidik anak-anaknya menempuh dan meraih

cita-citanya.

Adik-adik tercinta yang memberikan dorongan

semangat, kalian adalah permata yang berharga

Para Pendidik yang sudah mendedikasikan dirinya

untuk mencerdaskan dan memperbaiki akhlak anak

bangsa

Almamater Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta


(5)

iv

وَنِ َل َ ْلاوِاَروِيَلِلوُ ْ َْْا

وُيَلوَ ْيِ َ وَاوُ َ ْ َ وُهاوَاِ وَيَلِ وَاوْ َ وُ َهْ َ و

وُيُلْوُسَرَ وُ ُ ْبَ واً َ َُ وَ َ وُ َهْ َ َ و

و

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkah nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan risalah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang setia mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Dalam penyelesaian Skripsi yang berjudul Pendekatan Humanistik dalam Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali, yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menyelesaikan jenjang studi Strata Satu (S-1) pada Fakultas Agama Islam Prodi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang telah menyelesaikan teori dan praktek dari semester pertama sampai akhir. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hal ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si. selaku dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Dr. Abd. Madjid, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(6)

v

Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberika sumbangan ilmu dan mendidik penulis selama mengikuti pendidikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

5. Segenap Pengurus dan Karyawan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini.

6. Kedua orang tua, (Bapak Obih Shobihi dan Mama Hamdah), yang selalu

memberikan motivasi dan tidak pernah kurang restu serta hujanan do’a yang

selalu dipanjatkannya, demi kelancaran dan kesuksesan penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

7. Adik-adik yang selalu memberikan motivasi dan dorongan semangat yang

tidak pernah surut (Nur ‘Aini Khairun Nisa, Mira Intan Ainun, Dinda Amalia,

Firda Yunita dan Pandu Akmal Hariri).

8. Kawan-kawan dari Pendidikan Ulama Tarjih angkatan 2012, (Amalia

Ramadhani, Dewi Umaroh, Dzakia Rifqi Amalia, Hidha Fildatun ‘Azizah,

Inayatul Lailiyah, Intan Hadayani, Jumaida Aulia Abidsyah, Lili Oktaviani,

Maysaroh, Muti’atu Nur Rahmatul Mawaddati, Mardziyah Tri Hastuti, Naili

Afriyyani, Riska, Ummu Afifah Nuriyatu Zahro, Abdul Muhyi Bin Anuwar, Andi Muhammad Ikhwan Nur, Beta Pujangga, Fajaruddin, Hermansyah, Imam Reza Muzaki, Izzuddin Saefullah, Kasdi Guntur, Miftachul Qur`an,


(7)

vi

Yogyakarta, yang telah membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini. Dan seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Batuan dari mereka berupa arahan, bimbingan motivasi dan lain-lain yang tak ternilai harganya semoga menjadi amal saleh di sisi Allah swt. dan mendapat rida-Nya.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik penulis maupun pembaca. Tidak ada satu pun di dunia ini yang sempurna, sebab kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Semoga setiap usaha dan amalan kita mendapat rida dari Allah swt. Aamiin.

Yogyakarta, 09 Agustus 2016 Hormat Penulis

Nur Ismaya Aliatunisa 20120720202


(8)

vii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

HALAMAN KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN DAFTAR ISI... x

HALAMAN ABSTRAK ... xiii

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Sistematika Pembahasan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8

B. Kerangka Teori ... 10

1. Pengertian Pendekatan ... 10

2. Pengertian Humanistik ... 12


(9)

viii

A. Jenis Penelitian ... 29

B. Sumber Penelitian ... 30

1. Data Primer ... 30

2. Data Sekunder ... 30

C. Konsep dan Variable Penelitian ... 30

D. Teknik Pengumpulan Data ... 31

E. Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Biografi Al-Ghazali ... 33

B. Karya-karya al-Ghazali... 35

C. Corak Pemikiran ... 37

1. Al-Ghazali sebagai Teolog atau Ahli Ilmu Kalam ... 39

2. Al-Ghazali sebagai Filsuf ... 39

3. Al-Ghazali Anti Aliran Kebatinan ... 39

4. Al-Ghazali sebagai Sufi ... 40

D. Pendekatan Humanistik dalam Pendidikan Islam menurut Al-Ghazali ... 41

1. Pendekatan Humanistik Al-Ghazali ... 46

2. Pendekatan Humanistik al-Ghazali dalam Pendidikan Islam ... 54


(10)

ix BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 78

1. Pendekatan Humanistik Al-Ghazali ... 78

2. Aplikasi Pendekatan Humanistik menurut al-Ghazali dalam Pendidikan Islam ... 79

B. Saran ... 80

C. Kata Penutup ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

CURICULUM VITAE ... 86 LAMPIRAN


(11)

PENDEKATAN HUMANISTIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALT (4s0 H/10s8 M

-

505 H

-

1111 M)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

telah

dimunaqasyahkan

di

depan Sidang Munaqasyah Program Studi

Pendidikan Agama Islam pada tanggal 20 Mei 2016 dan telah dinyatakan

memenuhi syarat untuk diterima.

Sidang Dewan Munaqasyah

: Naufal Ahmad Rijalul Alam, M.

A

( Nama Mahasiswa

NPM

Ketua Sidang

Pembimbing

Penguji

: Nur Ismaya Aliatunisa

:20120720202

: Nurwanto, S.Ag., M. A., M. Ed : Dr. Abd. Madjid, M. Ag

Yogyakarta, 6 Septernb er 2016 Fakultas Agama lslam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

.z-a

t ylk,h

d

t','t* t'

&

ffito

X&'

GA\$F

ffi

99203 I 13014


(12)

viii

Ihya’Ulumiddin, Ayyuhal Walad, Mi`yar al-‘Ilm, Majmū’ah Rasā`il al-Imām al

-Ghazālῑ. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan pendekatan kualitatif . dengan objek penelitiannya yaitu beberapa karya al-Ghazali yang ada kaitannya dengan metode pendidikan Islam. Penekanan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menemukan berbagai prinsip, dalil, teori, pendapat dan gagasan al-Ghazali dalam pendekatan humanistiknya yang tersirat dalam karya-karyanya tersebut. Metode analisis data yang dipakai adalah metode deskriptif, dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: 1) dalam pendidikan ada dua aspek yang harus diperhatikan oleh pendidik yaitu aspek fisik dan psikis. Aspek psikis memiliki unsur transendental, dan setiap pendidik perlu untuk memiliki kemampuan membaca psikis, meluruskan niat untuk memberikan pendidikan semata-mata mencari riḍa dari Allah Swt; 2) Pendidik memberikan pengarahan untuk mencapai seluruh aspek tersebut, dan tujuan pendidikan, pendidik haruslah memehami kapasitas akal yang dimiliki oleh peserta didik dan pendidik harus menjadi cerminan prilaku terpuji, yang bisa dicontoh oleh segenap peserta didik. Pendidikan menjadi sarana untuk meyempurnakan intelegensi peserta didik, memperbaiki akhlak peserta didik, pendidikan Islam harus bisa menjadi lembaga tempat peserta didik menempa diri dan menjadi insan kamil yang bertakwa kepada Allah Swt. Pendidikan yang baik menurut al-Ghazali adalah, pendidikan yang mengajarkan ilmu secara bertahap, dimulai dari ilmu yang paling penting, seperti ilmu agama menuju ilmu lainnya yang lebih penting.


(13)

1 A. Latar Belakang

Dunia pendidikan saat ini terus mengalami perkembangan dalam meningkatkan kemajuan mutu pendidikan itu sendiri, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Perpaduan dari berbagai disiplin ilmu juga kerap mempengaruhi metode pendidikan yang digunakan, baik itu ilmu agama, filsafat, psikologi dan sebagainya. Pendidikan di Indonesia khususnya telah mengalami beberapa kali perombakan dan pergantian kurikulum, hal itu dikarenakan penyesuaian metode pembelajaran dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia, perubahan itu dihasilkan dari evaluasi sistem kurikulum yang dianggap kurang relevan dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat Indonesia.

Masalah pendidikan adalah masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda (Zuhairin et al., 1991:11). Manusia diyakini sebagai mahluk yang paling mulia, karena Allah menciptakan manusia bukan untuk main-main tetapi untuk mengemban tugas yang berat yaitu sebagai wakil-Nya di bumi. Untuk tujuan inilah maka dilimpahkan kepada manusia itu pengetahuan untuk mencipta,


(14)

seperti potensi untuk mengembangkan konsep-konsep di mana dia bebas memilih perbuatan-perbuatannya sendiri dan merencanakan cara untuk mencapai tujuan (Hanafi et al., 2007:58-62).

Dalam pendidikan pembahasan mengenai manusia dan kemanusiaannya dibahas dalam berbagai bentuk pendekatan, salah satunya adalah pendekatan Humanistik. Pendekatan humanistik ini merupakan model pendidikan yang berbasis filsafat, dan berorientasi dengan teori psikologi (Sadulloh, 2015:173). Oleh karena itu pendekatan humanistik ini akan lebih fokus pada potensi yang dimiliki oleh manusia, dan cara mengaktualisasikannya, yang dikemas dalam sebuah instansi yang bernama pendidikan.

Pendekatan humanistik ini bukanlah sebuah istilah yang hanya digunakan oleh pendidikan barat saja, namun istilah ini juga dalam pendidikan yang basisnya pendidikan agama Islam. Dalam Islam tujuan pendidikan sendiri adalah untuk mencapai aspek-aspek kemanusiaan seperti tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Untuk mencapai tujuan tersebut harus disesuaikan dengan tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi. Karena pembentukan insan kamil itu akan tercapai dengan adanya proses pendidikan, sebagai wahana yang bisa mendewasakan dan mengembangkan potensi yang diberikan Allah kepada manusia (Ihsan dan Ihsan, 2001: 63).


(15)

واْوُ ِ َ وَ وَْنِنِسوَ َشَ وَء َنْ َ وْمَُ و َهْ َلَ وْمُْوُ ِ ْضاَ وَْنِنِسوَعْبَسوَء َنْ َ وْمَُ وِةَاَصل ِ وْمُكَدََاْ َ واْ ُ ُم

وِع ِ َ َ ْلاوِِْوْمُهَ نْ َ

(

م و ا ر

“Perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukullah mereka untuk shalat saat mereka berumur

sepuluh tahun dan pisahkan mereka dalam tempat tidurnya (Abu Dawud, tt:

133).

Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad menunjukkan tentang perintah melaksanakan shalat, dan memperlakukan anak berdasarkan pada jenjag usianya. Perlakuan atau cara mendidik orang tua, bahkan pendidik dalam lembaga pendidikan harus disesuaikan dengan keadaan fisik dan psikologi anak. Hadist tersebut juga menunjukkan bahwa Islam sudah terlebih dulu mengajarkan pendidikan humanistik, yaitu dengan memperhatikan kondisi fisik

Para ulama juga sangat memperhatikan aspek humanisme dalam pendidikan, bagaimana seorang guru harus memberikan pengajaran berdasarkan pada tingkat kemampuan masing-masing peserta didik. Sebagaimana ulama yang lahir pada abad ke-7 yaitu Abdurrahman Abu Zayid Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun, yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Ibnu Khladun (738-808). Salah satu pendidikan yang diajarkan oleh Ibnu Khladun adalah Sosiologi dan Antropologi. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang berbeda dengan mahluk lainnya, manusia adalah mahluk yang berpikir, karenanya manusia mampu


(16)

melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari hasil berpikir manusia itulah, akhirnya terciptanya sebuah peradaban (Syar’i, 2005: 106).

Ibnu Khaldun dengan jelas mengatakan bahwa potensi akal manusia yang digunakan untuk berpikir merupakan aset terbesar yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk merubah dan memeperbaiki tatanan kehidupan dan moral manusia. Hal ini sama seperti prinsip yang ada pada agama Islam itu sendiri yakni rahmatan li al-‘ālamīn. Pendidikan itu adalah wahana yang paling efektif untuk sebuah proses manusia dalam memaksimalkan potensi akalnya tersebut, maka penanganan yang tepat salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan aspek human-nya.

Akhir dari perkembangan manusia adalah bisa mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya. Pendekatan humanistik ini, diterapkan dalam dunia pendidikan agar peserta didik mampu mengekspresikan dirinya secara efektif, serta mampu mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab. Penggunaan akal secara optimal sebagai barometer dalam menentukan mana yang baik dan tidak.

Imam al-Ghazali dalam menguraikan permasalahan hukum atau menulis sebuah teori selalu menggunakan pendekatan humanistik. Contoh dalam beberapa kitab yang sudah fenomenal dikalangan para pemerhati ilmu, kitabnya Ihya Ulumiddin, Mi`yar al-‘Ilmi dan banyak lagi kitab lainnya yang selalu dikaitkan dengan aspek humanistik. Al-Ghazali


(17)

membagi sumber ilmu menjadi dua bagian yaitu Ilmu Syar’iyyah (ilmu yang berasal dari al-Qur`an dan Hadiṡ) dan Ilmu Ghairu Syar’iyyah (ilmu yang bersumber pada akal manusia) (Zainuddin, et al., 1991: 36).

Melihat pada realita saat ini, masih banyak pendidikan yang belum menerapakan model pendidikan dengan pendekatan humanistik. Masih terdapat banyak sekolah yang menyamaratakan semua kemampuan siswanya, sehingga terjadi kesenjangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan. Dibeberapa daerah yang masih terpencil misalnya, akses untuk ketempat belajar saja peserta didik sering kesulitan. Kurangnya informasi dan media pembelajaran yang tidak merata, berakibat pada kurangnya pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta didik.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendekatan Humanistik menurut al-Ghazali dalam pendidikan Islam?

2. Bagaimana implementasi pendekatan humanistik terhadap pendidikan Islam saat ini?

C. Tujuan

1. Untuk mengungkap pendekatan humanistik menurut al-Ghazali dalam pendidikan Islam.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis dampak pendekatan humanistik terhadap implementasi pendidikan Islam saat ini.


(18)

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapakan dapat memperkaya khazanah keilmuan da memberi kontribusi secara signifikan untuk teori humanistik dan implikasinya terhadap metode pembelajaran Agama Islam.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi para pendidik dan calon pendidik terutama dalam pendidika Islam, agar memberikan rasa nyaman dan ruag gerak yang luas bagi peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya pada proses pembelajaran.

E. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini dibagi menajadi lima bab diataranya: 1. Bab pertama, membahas tentang pendahuluan, yang melitputi latar

belakang masalah, rumusa masalah, tujuan dan kegunaan,

2. Bab kedua, membahas tentang tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

3. Bab ketiga, memuat secar rinci metode penelitian yang digunakan beserta alasannya, mencakup jenis penelitian, sumber penelitian, metode pengumpulan data serta analisis data.

4. Bab keempat, merupakan hasil dan pembahasan, mengenai riwayat hidup Imam Al-Ghazali, riwayat pendidikannya, karya-karya al-Ghazali serta corak pemikiran al-al-Ghazali. Dilanjutkan dengan pendekatan humanistik menurut pandangan Imam Al-Ghazali serta implementasi terhadap pendidikan Islam.


(19)

(20)

A. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai humanisme ini sudah seringkali menjadi bahan kajian dalam dunia pendidikan Islam, baik dalam pertemuan ilmiah ataupun seminar, kajian/diskusi, lokakarya maupun yang lainnya. Begitu juga dengan konsep pendidikan yang digagas oleh Imam Al-Ghazali, sudah banyak dari para aktifis pendidikan yang membahas hasil dari pandangan al-Ghazali, melalui beberapa karyanya.

Penelitian M. Mukhlis Fahruddin (2008), Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Al-Qur`an. Jenis kajian ini adalah kepustakaan (library research), dengan menggunakan sumber primer utama yaitu Al-Qur`an, dalam proses analisisnya dibantu beberapa pemikiran dari mufassir dan tokoh-tokoh pendidikan dengan tema humanis . teknik analisis yang digunakan adalah teknik content analysis. Oleh karena itu penelitian ini juga berbeda dengan yang akan diteliti, karena objek kajian yang digunakan jelas berbeda dan banyaknya pendapat para tokoh yag dilibatkan dalam proses analisis. Dengan demikian penelitian ini tidak sama dengan yang akan diteliti.

Penelitian Yuyun Wahyudin (2009), Teori Belajar Humanistik Carl Ransom Rogers dan Implikasinya terhadap Metode Pembelajaran. Dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan jenis kajian


(21)

pustaka (library research), pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologis, analisis yang digunakan adalah analaisi data deskriptif analitik. Dalam penelitian ini letak persamaannya ada pada jenis penelitian dan analisis yang digunaka, serta objek kajian berpusat pada peserta didik, sedangkan perbedaannya adalah pada tokoh yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Penelitian Mibtadin (2010), Humanisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid. Jenis kajian ini adalah kepustakaan (library research), jenis penelitian ini adalah deskriptif historis, dengan pendekatan filosofis, analisis yang digunakan adalah kualitatif dan analisi interaktif. Teori yang dipaparka oleh Mibtadin ini jauh lebih komplek dan sangat global, karena ditujukan kepada setiap individu mengenai kepeduliannya terhadap unsur-unsur kemanusiaan seperti HAM, kesetaraan gender, pluralism dan demokrasi. Jelas sekali dari objek yang diteliti sangan jauh berbeda, karena penelitian ini tidak ada spesifikasi pada pendidikan meski ranah yang diteliti adalah pada Humanismenya, namun, berbeda dari metode pendekata, tokoh yang dijadikan saduran pendapat serta tujuan dari hasil penelitian ini jauh berbeda dengan yang aka diteliti oleh peneliti.

Penelitian Musthofa`(2011), Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam. Penelitian ini menjelaskan mengenai penerapan konsep humanistik dalam Islam secara global, dan tidak spesifik pada pendidikan, begitupun dengan tokoh yang dijadikan tolak ukur


(22)

pengkerucutan teori, tidak dispesifikan pada siapa, sehingga sudah bisa dipastikan bahwa teori ini berbeda dengan penelitian yang akan diteliti.

Dari paparan di atas dapat dilihat adanya perbedaan secara signifikan bahwa pembahasan mengenai humanistik ini dikaji dengan menggunakan objek kajian yang berbeda baik dari tokoh yang dijadikan saduran atau tujuan dari penelitian itu sendiri. Karena dari beberapa peneliti tersebut ada yang meneliti pendekatan Humanistik ini untuk ranah yang sangat luas seperti yang dilakukan oleh Mibtadin. Namun ada pula yang sudah dispesifikasikan pada pendidikan Islam.

B. Kerangka Teoritik

Kerangka teoritik adalah pedoman dalam mencari data atau informasi yag terkait dengan permasalahan atau yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Adapun kerangka teorinya adalah sebagai berikut:

1. Pengertian Pendekatan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologi pendekatan berarti; proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya). Secara terminologi diartikan usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yg diteliti, metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.

Pendekatan (approach), menurut T. Raka Joni (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 4) menunjukan cara umum dalam


(23)

memandang permasalahan atau objek kajian, sehingga berdampak, atau menimbulkan suatu hasil. Dapat juga dikatakan bahwa pendekatan itu adalah alat atau media untuk melihat sebuah objek dari dengan cara tertentu, yang kemudian akan menghasilkan sebuah kesimpulan.

Pendekatan adalah suatu proses untuk mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan, menyeleksi problema-problema, menemukan persyaratan-persyaratan untuk dicari solusinya, memilih alternatif-alternatif pemecahan, mendapatkan metode dan alat-alat serta mengimplementasikannya. Hasil dari itu semua kemudian di evaluasi serta melakukan revisi yang diperlukan terhadap sebagian atau seluruh sistem yang telah diciptakan sehingga kebutuhan-kebutuhan dapat dipenuhi dengan sebaik mungkin (Uhbiyati, 1999:154).

Istilah pendekatan dalam pendidikan atau dunia pembelajaran adalah sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach ) (Hatimah, 2001).


(24)

2. Pengertian Humanistik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara bahasa

Humanistik, berasal dari kata „human‟ yang artinya bersifat manusiawi

(sifat yang berbeda antara manuusia dengan malaikat, hewan dan jin);

„humanis‟ yang artinya, orang yg mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting,

penganut humanism; dan menjadi „humanistis‟ bersifat kemanusiaan: menanamkan watak ke dalam jiwa anak didik merupakan kewajiban dari profesi seorang guru.

Menurut Franzs Magnis-Suseno, secara umum, humanisme berarti martabat (dignity) dan nilai (value) dari setiap manusia dan setiap upaya untuk melakukan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik atau non fisik) (Hanafi et al., 2007:209).

Berdasarkan sejarah Humansime mendapatkan pengakuan pada abad ke-14, ciri khas dari humanisme adalah keberagamaan yang inklusif . model kedua yaitu Neo Humanisme berkembang pada abad ke-18, konsep humanisme dipandang memiliki kesamaan dengan konsep Yunani kuno tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis. Pada abad ke-19 dan seterusnya humanisme dipandang sebagai prilaku sosial politik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan


(25)

lembaga-lembaga politik dan hukum yag sesuai dengan ide tentang martabat kemanusiaan. (Hanafi et al., 2007:210).

Filsafat humanisme yang berkembang selama Renaissance di Eropa dan Reformasi Protestan yang di dasarkan pada keyakinan bahwa individu-individu mengontrol nasib mereka sendiri melalui aplikasi kecerdasan dan pembelajaran mereka (Sadulloh, 2015: 173).

Renaisans pada abad ke-6 dimaknai sebagai kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi. Pelopor-pelopornya disebut “humanis”, yang berarti pelajar dan pemuja peradaban Yunani-Romawi pra Kristen bertolak belakang dengan pelajar dan penekun teologi Kristen Barat. Renaisans dimulai dari Italia dan merupakan gerakan sekelompok kecil sarjana dan seniman yang didukung oleh pelindungan-pelindungan liberalnya, khususnya Medici dan paus-paus yang humanis (Husaini et al., 2013:7).

F.C.S. Schiller (1863-1937), seorang filosof humanis modern dan penulis makalah “Humanism”, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, menyatakan bahwa humanisme modern merupakan kebagkitan kembali secara sadar pemikiran relativisme Protagoras yang sangat krusial yang terkandung dalam pernyataannya bahwa setiap manusia adalah standar dan ukuran segala sesuatu. Apabila terjadi perbedaan opini diantara mereka dalam suatu masalah, maka

tidak ada apa yang disebut “kebenaran objektif”, sehingga tidak boleh dikatakan yang satu benar dan yang satu salah. Pernyataan ini disebut


(26)

sebagai hakikat relativisme dan penolakan atau pengingkaran terhadap eksistensi suatu hakikat dan kebenaran (absolut) (Thoha, 2007: 51).

Akhir dari perkembangan pribadi manusisa adalah mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagikehidupan dirinya dan lingkungannya. Belajar menurut pandangan humanistik merupakan fungsi dari keseluruhan pribadi manusia, yang melibatkan faktor intelektual dan emosional, motivasi belajar harus datang dari dalam diri anak itu sendiri. Proses belajar mengajar pentingnya hubungan interpersonal, menerima siswa sebagai seorang pribadi yang memiliki kemampuan, dan peran guru sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.

Abu Ammar berpendapat banyak yang salah dengan mendefinisikan istilah humanisme, orang selama ini sering mendefinisikan bahwa yang disebut dengan humanisme adalah sebuah prinsip yang baik, mengajarkan perdamaian, kecintaan, persaudaraan dan pertolongan kepada sesama manusia yang membutuhkan (Ammar, 2012: 243-245). Dalam hal ini Abu Ammar mendefinisikan humanisme ini secara keumumannya, ia beranggapan bahwa humanisme yang dicetuskan oleh para filosof adalah cara berpikir yang hanya mengemukakan konsep perikemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan.


(27)

Dalam karyanya yang berjudul Menjadi Ahli Tauhid di Akhir Zaman ( kajian tuntas strategi umat Islam menghadapi konspirasi global thaghut internasional). Dalam bukunya tersebut diuraikan ada lima pasal manifesto humanisme, yaitu:

Pertama: Humanisme religious memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan.

Kedua: Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dariproses yang berkelanjutan.

Ketiga: Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak.

Keempat: Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupaka produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut.

Kelima: kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deisme, modernism, dan beberapa macam “pemikiran baru”.

3. Definisi Pendidikan

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberi


(28)

dan sebagainya). Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu pedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan, dan juga sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan (Wiyani, 2012: 81).

Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu

mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan

sebagai “Erzichung” yang setara dengan educare, yakni

membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang anak. (Hatimah, 2001)

Pendidikan juga sebagai upaya sadar dan terencana yang dilakukan oleh guru untuk mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal. Potensi tersebut mencakup potensi jasmani dan rohani, sehingga melalui pendidikan seorang peserta didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan dapat mengoptimalkan perkembangan rohaninya agar dengan totalitas pertumbuhan fisik dan perkembangan psikisnya secara serasi dan harmoni. Dengan demikian


(29)

pendidikan harus menjadi sarana untuk membentuk pribadi yang berkarakter tidak hanya bisa lulus dan mendapatkan nilai sertifikasi yang memuaskan namun juga bisa mencetak peserta didik yang berkarakter, peserta didik yang memiliki kepribadian yang santun dan beradab.

Pendidikan merupakan proses terus menerus dalam kehidupan manusia dari mulai usia 0 (nol), menuju manusia sempurna (dewasa). Bahkan pendidikan itu dimulai ketika memilih calon isteri sebagai media untuk menanam benih (keturunan) yang berkualitas baik (Rahman, 2012: 2054).

Dalam filsafat pendidikan Islam, pendidikan sebagai proses untuk membentuk jati diri manusia sebagai wujud dari penjelmaan fungsional khalifah dan „abd, untuk mengembangkan pengetahuan konseptual dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini didasarkan kesadaran komitmen yang tinggi pada moralitas.

Pendidikan menurut al-Ghazali dapat dilihat dari kutipan nya sebagai berikut:

“Sesungguhnya pencapaian dari ilmu pengetahuan adalah

mendekatkan diri kepada Allah Tuhan semesta alam dan menghubungkannya dengan derajat para malaikat dan berhampiran

atau sejajar dengan malaikat yang tinggi…” (al-Ghazali, t.th: 22). Pendidikan Islam secara aksiologi keilmuan tidak melakukan pemilahan-pemilahan antara aspek logika, etika dan estetika. Semua dimensi ini merupakan suatu bingkai keutuhan yang bertujuan untuk membangun manusia seutuhnya sebagai khalifah dimuka bumi.


(30)

Pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk pribadi seseorang agar dapat memahami, mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi. Dapat menyadari morlitas sebagai manifestasi imannya kepada Tuhan (dimensi kehambaan Tuhan), kemudian dapat mewujudkannya dalam perbuatan dan karya kesalihan (dimensi ahli tauhid), umtuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan Islam sebagai proses pembebasan dari kebodohan, kemiskinan dan kekufuran pada hakikatnya memerlukan metode dan instrument yang sesuai, tidak cukup hanya mengadopsi

konsep barat ataupun timur (Ma‟arifet al., 2003: 27-29). 4. Konsep Humanistik dalam Islam

Dalam tubuh Islam sendiri terjadi dua kubu dalam perkembangan filsafat, ada kubu dengan filsafat yang sifatnya rasionalis, kaum filosof menghendaki adanya pendidikan rasional, yang mementingkan pengembangnan akal pikiran. Para filosof ini beranggapan bahwa akal adalah satu-satunya alat untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran yang sebenarnya adalah yang masuk akal (rasional). Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut para filosof ini adalah mengembangkan daya rasional secara maksimal.

Filsafat yang lain adalah filsafat sufistik, filasafat yang menggabungkan antara potensi akal denga wahyu, atau bisa juga dikenal dengan istilah filsafat Islam. Dalam cara menempatkan kedudukan al-Qur`an ada perbedaan, dari golongan ahl al-Sunnah


(31)

mengatakan bahwa al-Qur`an itu adalah kalam Allah, sedangkan ahl al-Kalam meletakan al-Qur`an itu sebagai makhluk. Ahl al-Sunnah menempatkan al-Qur`an sebagai Kalam Allah karena al-Qur`an ini

merupakan kalam azali, sehingga menimbulkan sikap ta‟dzim

terhadap al-Qur`an maka sikap yang muncul ketika seorang ahl al-Sunnah ini terhadap al-Qur`an terkesan berlebihan.

Berbeda dengan ahl al-Kalam, yang menganggap al-Qur`an itu bukan azali, yang azali menurut ahli ini hanyalah Allah, sehingga al-Qur`an yang disampaikan kepada Muhammad adalah makhluk yang bisa dipelajari secara keseluruhannya. Bukan lagi menjadi hal yang tabu, dengan demikian akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan.

Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok pemikir sufistik yang banyak menaruh perhatian terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Sebagaimana dikemukakan oleh H.M. Arifin, dalam pendidikan Imam Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, yaitu pendidikan itu lebih ditekankan terhadap anak didik. Seorang anak itu tergantung kepada orang tua dan dirinya sendiri, karena pada dasarnya seorang anak itu bersih, suci, murni laksana permata yang amat berharga. (Nata, 2001: 161-162) Sebagaimana pesan Rasulallah saw;


(32)

ىىِ ِا َ ِ َ ُ ىْ َ ىِ ِا َ ِ َ ُُ ىْ َ ىِ ِا َ ِ َ ُُ ىُا َ َُ َفَ ىِ َ ْ ِلْا ى َ َ ىُ َاْ ُُ ىٍ ْ ُاْ َ ى ُ

ُ

م ىا ر

َ

Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orag tuanya lah yang menjadikan anak itu penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Muslim).

Hadis yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali menunjukkan bagaimana seseorang itu mampu merubah kepribadian anak didik tergantung dari cara dia mengajarkan. Seorang akan mampu mencetak generasi yang unggul jika cara atau pendekatan yang digunakan juga tepat dengan kemampuan setiap siswa.

Imam Al-Ghazali adalah yang sangat berperan aktif dalam merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, al-Ghazali juga menjelasakan bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang manusia yang sudah melalui tahapan pembelajaran aka mengetahui posisi atau eksistensinnya sebagai manusia, apa peran sesungguhnya yang harus dimainkan. (Nata, 2001: 161)

ىِن ُ ُبْعَُيِاىَِإىَساِْْ َ ىنِ ْا ىُتْقَ َخى َ َ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56).

Sifat manusia memang seharusnya ketika telah mencapai ma‟rifahnya dalam ranah ilmu pengetahuan, semakin mengetahui posisinya sebagai makhluk, dan konsekuensi yang harus dilakukannya. Cerminan dari ayat tersebut adalah bagaimana seorang


(33)

manusia itu bisa lebih juhud lagi dan qana‟ah terhadap apa yang telah Allah berikan kepadanya.

Sisi kemanusian (human) yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali bukan pada aspek hawa nafsunya, atau hasrat ingin tahu yang harus dicapai berdasar insting hewani manusia. Tetapi lebih kepada manusia itu tahu secara mendalam tujuan manusa itu Allah ciptakan dan tindakan apa yang harus dilakukan, sehingga dengan demikian dia akan mampu mencapai derajat ahsan at-Taqwîm (sebaik-baik penciptaan). Manusia yang berilmu menurut pendapat Al-Ghazali, tidak akan mengedepankan kehidupan dunia karena mengetahui bahwa tidak ada yang kekal dalam kehidupan dunia ini, sehingga semakin tinggi derajat ilmu yang dimiliki oleh seseorang maka dia akan semakin tawadlu` bukan malah menjadi congkak apalagi malah mengingkari perintah Allah.

Dalam hal pendidikan Al-Ghazali juga merumuskan bagaimana pendekatan yang harus dilakukan oleh seorang pendidik diantaranya yang sesuai dengan pendekatan humanistik yaitu:

a. Guru harus mengajarkan pelajaran sesuai dengan kemampuan intelektualnyadan daya tangkap anak didiknya.

b. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa peserta didiknya sehingga selain tidak akan salah dalam menerapka metode pendidikan juga secara emosiaonal, hubungan antara pendidik dengan peserta didik akan terjalin dengan baik.


(34)

Korelasi pendekatan Humanistik dari konsep pendidikan yang diterapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah bagaimana dunia pendidikan yang diperankan secara total oleh guru da siswa harus sejalan dengan fitrah kemanusiaannya sebagai seorang hamba, bukan hanya menjadikan pendidikan itu sebagai salah satu cara untuk mencapai kepopularitasan atau sekedar untuk mencari upah dan penghargaan, yang kesemuanya itu hanya berorientasi pada kehidupan dunia saja. Sedangkan pada dasarnya manusia dengan kemampuan akal yang dibimbing oleh wahyu (Al-Qu`an) mengetahui bahwa hakikat dari kehidupan ini hanya sementara dan akan ada kehidupan yang jauh lebih kekal dan hari itu hari manusia akan menuai hasil dari apa yang dia kerjakan di dunia.

Humanisme yang di bawah Islam dan dipropagandakannya serta dipertahankannya bukanlah humanisme sekular, melainkan apa yang bisa disebut “tauḥῑdic humanism” (humanisme tauḥῑdi). Humanisme yang dibawa oleh Islam adalah manusia dengan pengalaman-pengalaman historisnya sepanjang zaman, dengan menjadi tauhid sebagai yang paling sentral dalam kehidupan. Kepedulian Islam dengan sistem kemanusiaan dengan begitu tertata dengan sangat tertib, hubungan manusia dengan sesamanya (dikenal dengan istilah HAM), kelayakan hidup dan kebahagian manusia di dunia dan akhirat. (Thoha, 2007: 232-233).


(35)

Agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Agama secara umum memiliki peran dan fungsi di masyarakat (Hakim dan Mubarok, 2011: 7). Dengan demikian pendekatan humanistik dalam Islam diberikan ruang selama tidak menyinggung persoalan tauhid atau akidah agama Islam itu sendiri.

5. Humanistik dalam pendidikan Islam

Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana yang dilakukan oleh guru untuk mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal. Potensi ini mencakup potensi jasmani dan rohani sehingga melalui pendidikan seorang peserta didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan dapat mengoptimalkan perkembangan rohaninya agar dengan totalitas pertumbuhan fisik dan perkembangan psikisnya secara serasi dan harmoni (Wiyani, 2012: 1).

Dibentuknya sebuah lembaga pendidikan agar manusia mencapai derajat yang selaras dengan naluriah kemanusiaannya. banyak kasus yang terjadi, dimana manusia bingung dengan perannya sendiri, tujuan hidupnya, dan untuk apa manusia itu diciptakan. Terjadinya pembunuhan, peleceha seksual yang terjadi dilembaga pendidikan khususnya adalah bukti bahwa pendidikan saat ini masih


(36)

belum mencapai tujuan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1994.

Peserta didik bukan sebatas kaset kosong, yang hanya menjadi objek dalam menerima asupan tanpa diberi ruang untuk menentukan mana file yang harus ditolak atau diterima. Dalam Islam masalah pendidik telah banyak dibahas termasuk bagaimana seorang pendidik memberikan pendidikannya kepada peserta didiknya.

Menurut Al-Attas manusia adalah binatang rasional, hal itu menyatu dalam terma „aql. Kemudian muncullah istilah “al-hayawān al-nātiq”, yang artinya; “Manusia adalah hewan yang bisa berbicara”, sebagai bentuk realitas ekspresi dari „aql manusia itu sendiri. „Aql sendiri adalah suatu sifat dalam yang mengikat dan menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana kata-kata (Badaruddin, 2007: 19-20).

Manusia adalah hewan yang mempunyai „aql, berdasarkan penuturan al-Attas tadi, sehingga dalam pendidikan Islam potensi besar yang dimiliki oleh manusia itu harus dikembangkan. Manusia dengan

„aql nya itu harus menjadi makhluk yang ekpresif bukan menjadi mahluk yang pasif. Manusia harus menjadi mahluk yang rasional dan juga religus. Dalam pendidikan Islam kedudukan „aql sepadan dengan qalb (hati). Manusia harus bisa menselaraskan potensi „aql dan qalb, sehingga rasionalitas yang dikembangkan tidak lantas menjadikan manusia lupa kepada Tuhan yang menciptakannya.


(37)

Pendekatan Humanistik dalam Islam berbeda dengan Humanistik yang dibawa oleh humanism barat. Hal ini sama seperti filsafat Islam yang juga berbeda pendekatannya dengan Filsafat barat. Dalam pendekatan humanistik Islam, selain akal juga ada bimbingan wahyu Allah sebagai filter yang harus digunakan. Karena Islam memberikan keluasan dalam berpikir namun juga ada batasan yang tidak bisa akal sembarangan menafsirkan. Karena Islam memilik konsep Humanistik yang berbeda dan dalam hal ini otoritas manusia sejalan dengan ketauhidan yang dimilikinya. Saat pendekatan humanistik ini dirumuskan maka saat itu juga konsep ketauhidan akan menjadi barometer sejauh mana manusia itu merasionalitaskan nilai manusia itu sendiri, tanpa harus menghilangkan unsur tauhid yang dimilikinya.

Rasulallah sering memberikan contoh dalam memberikan pengajaran kepada para sahabat dan umat Islam ketika itu. Seperti pada hadis dari Anas bin Malik, Rasulallau saw bersabda,

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw tentang waktu

shalat subuh, beliau bersabda kepadanya, “shalatlah bersama kami besok!” maka Nabi melakukannya pada waktu ghalas (gelap di akhir

malam), dan pada hari yang kedua beliau mengakhirkannya hingga

wakti isfar (sudah terag) kemudian bertanya, “mana laki-laki yang

bertanya tentang waktu shalat itu?”. Laki-laki tersebut berkata saya

wahai Nabi Allah”. Nabi saw bersabda, bukan kah kamu telah menghadirinya bersama kami kemarin dan hari ini?”. Dia berkata

“Ya benar”. Beliau bersabda, “di antara kedua waktu itu adalah

waktunya”.

Berdasarkan pada hadis tersebut Rasulallah sangat memberikan keluasan kepada para sahabatnya untuk bertanya ketika ada


(38)

permasalahan yang belum difahami. Hal ini merupakan bentuk pengajaran yag bersifat interaktif, sehingga ada proses timbal balik yang sanga kondusif anatara pendidik dan peserta didik. Memberikan ruang berpikir kepada peserta didik agar dengan cermat memahami letak kekurangan dan kesalahan saat proses pendidikan di sampaikan. Dalam hadis tersebut, sahabat yang bertanya sebelumnya telah diberikan pelajaran tentang waktu shalat subuh, hanya saja dia tidak memperhatikan sibuk membicarakan hal yang lain dengan sahabatnya yang lain. Oleh karena itu, ketika dia bertanya lagi masalah yang sudah Rasul sampaikan Rasulallah tidak langsung menjelaska namun mendiamkan dan menyuruhnya untuk memahami secara seksama melalui praktik yang akan lebih mudah dipahaminya dan diperhatikan dengan seksama (Jamaluddin, 2013: 108).

Senada dengan itu, al-Ghazali juga menuturkan bahwa dalam memberikan pengajaran harus dengan cara yang lemah lembut, terutama kepada orang yang tidak tau sama sekali akibat dan hukum dari perbuatannya itu. Al-Ghazali mencontohkan seperti para pelaku

bid‟ah (melakukan perbuatan dalam ranah ibadah wajib yang tidak

dicontohkan oleh Nabi) yang tidak mengetahui bahwa yang

dilakukannya adalah prilaku bid‟ah, maka dalam memberi tahukan bahwa itu adalah bid‟ah haruslah dengan cara yang santun, bukan dengan perdebatan yang menyakiti lawan bicara atau bukan pula


(39)

menegurnya langsung dengan perkataan yang membuatnya malu dan sakit hati (Ihsan dan Ihsan, 1998: 238-239).

Ahmad Dahlan, tokoh yang dikenal sebagai pendiri organisasi terbesar dan tertua di Indosia yaitu Muhammadiyah berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu menurutnya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Bukan dengan pendidikan yang hanya turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman (Nata, 2005: 102).

Ahmad Dahlan dengan jelas mengatakan bahwa pendidikan itu harus disesuaikan dengan kondisi siswa, baik secara personal maupun lingkungannya. Karena di zaman yang serba teknologi ini siswa dituntut untuk bisa mengoperasikan alat-alat teknologi terutama yang diperlukan dalam sarana pendidikan. Hal itu merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap pendidikan. Peserta didik selain harus diperatikan secara ruhaniyah dan jasmaniyah juga perlu diperhatikan fasilitas pendidikannya.

Dalam agama Islam pendidikan yang dikembangkan sangat komplek (multi approach), salah satu diantaranya adalah pendekatan scientific yang menitik beratkan bahwa manusia itu memiliki kemampuan menciptakan (kognitif), berkemauan (kognitif) dan merasa (emosional atau effektif). Pendidikan harus dapat mengembangkan


(40)

kemapuan analitis-sintetis dan reflektif dalam berfikir. Dalam perkembangan manusia pada hakikatnya telah tercermin dalam gaya bahasa yang dituangkan Allah dalam al-Qur`an, mendorng manusia untuk menggunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala kehidupannya sendiri dan gejala alam kehidupan sekitarnya. Dalam ruang lingkup pengembangan akal pikiran inilah, tuhan mendorong manusia untuk berfikir menelitik secara mendalam maksud dari setiap kejadian dan penciptaan yang ada.

Nurcholis Madjid (Hakim dan Mubarok, 2010: 19-20) menjelaskan bahwa manusia yang akan mampu menangkap berbagai isyarat dari Tuhan adalah:

a. Mereka yang berpikir mendalam (ulul al-bāb).

b. Mereka yang memiliki kesadara tujuan dan makna hidup.

c. Mereka yang menyadari penciptaan alam raya sebagai manifestasi wujud transedental

d. Mereka yang berpandangan positif dan optimis terhadap alam raya, menyadari bahwa kebahagiaan dapat hilang karena pandangan negatif dan pesimis terhadap alam.


(41)

Rasulallah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, mengenai cara memberikan pendidikan terhadap anak, sesuai dengan kondisi, usia dan psikologi anak.

وَا َ وِ ِ َ وْ َ وِي ِ َ وْ َ و ٍ ْ َ ُ وِ ْ و ِ ْ َ وْ َ

و:

وِيَللاوُاوُسَروَا َ

-ملس وي ل وهاوىلص

و-و«

وَنِنِسوِ ْشَ وُء َنْ َ وْمَُ و َهْ َلَ وْمُوُ ِ ْضاَ وَنِنِسوِعْبَسوُء َنْ َ وْمَُ وِةَاَصل ِ وْمُكَدَاْ َ وا ُ ُم

وِع ِ َ َ ْلاو ِ وْمُهَ نْ َ واوُ ِ َ َ

Dari „amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari kakeknya

berkata,„bersabda Rasulullah saw: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukullah mereka untuk shalat saat mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkan mereka dalam tempat tidurnya (Abu Dawud, tt: 133).

Hadis ini tentang perintah terhadap orang tua dalam mendidik anaknya mengenai shalat, jenjang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, ketika anak masih berusia tujuh tahun maka orang tua hanya diperintahkan untuk memberikan pengajaran, berupa pengetahuan, perintah dan teguran secara lisan. Ketika anak masuk usia sepuluh tahun, anak harus sudah diperingatkan secara fisik (tindakan) karena pada usia itu lazimnya seorang anak sudah mulai memahami mana yang boleh dikerjakan dan mana yang


(42)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif perhatiannya lebih banyak ditujukan pada pembentukan teori substantif sebagai konsep-konsep yang timbul dari data empiris. Menurut Bogdan dan Tylor Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya. Penelitian kualitatif bersifat generating theory bukan hypothesis-testing sehingga teori yang dihasilkan berupa teori substatif. (Zuriah, 2006: 83-92).

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library sesearch), yaitu penelitian yang objek utamanya adalah bahan-bahan pustaka meliputi sumber primer, sekunder dan pendukung. Oleh karena itu bahan penelitian akan diperoleh dari penelusuran kepustakaan. (Kaelan, 2010: 145)


(43)

B. Sumber Penelitian 1. Data primer

Buku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa kitab karya Imam Al-Ghazali, seperti Ihya Ulumiddin, Ayyuhal Walad,

Mi’yar al-‘Ilm dan Majmū’ah Rasā`il al-Imām al-Ghazālῑ. 2. Data Sekunder

Sumber sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku atau karya ilmiah lain yang di dalamnya terdapat bahasan tentang humanisme dan karya yang memuat pendapat Imam Al-Ghazali yang berkenaan dengan pendidikan, seperti Filsafat Pendidikan karya Zuhairini dkk, yang diterbitkan oleh Bumi Aksara, buku Filsafat Pendidikan Islam karya Abuddin Nata, Islam dan Humanisme karya Hasan Hanafi dkk, dan lain sebagainya yang membahas tema terkait dengan penelitian tersebut.

3. Data Tersier

Sumber tersier dalam penelitian ini berupa buku-buku dan beberapa aplikasi yang digunakan sebagai pendukung. Seperti kamus Al-Munawwir, aplikasi KBBI offline, Maktabah Syamilah dan al-Qur’an terjemah


(44)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan dokumentasi, artinya cara yang ditempuh adalah dengan menghimpun data-data yang berasal dari catatan, transkip, buku, artikel, jurnal, majalah, serta Sumber lain yang berkaitan dengan tema penelitian ini (Arikunto, 2010: 274)

5. Analisis data

Analisis ini menggunakan analisis isi (content alaysis), merupakan teknik analisis data yang ditujukan untuk menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen resmi ataupun buku-buku teks, baik yag bersifat teoritis maupun empiris. Kegiatan analisis ditujukan untuk mengetahui makna, kedudukan dan hubungan antara berbagai konsep, kebijakan, kegiatan dan peristiwa yang terjadi untuk selanjutnya mengetahui mafaat, hasil atau dampak dari hal-hal tersebut (Sukmadinata, 2012: 80-81).


(45)

34

A. Biografi Al-Ghazali

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid al-Ghazali Hujjatu al-Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia (Anwar, 2013: 222) . Keturunan Persia dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak Persia dan Ahwaz (Zainuddin et al., 1991: 7).

Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meniggal ayahnya menitipkan kedua anaknya kepada sahabat setianya. Ia berpesan agar anaknya diasuh dan disempurnakan pendidikannya. Sahabat ayahnya langsung melaksanakan wasiat itu ketika ayahnya meninggal, sampai harta warisan peniggalan ayah al-Ghazali itu pun habis. Setelah itu al-Ghazi beserta saudaranya melanjutkan belajar dengan usaha mereka sendiri (Iqbal, 2015: 88).

Al-ghazali mulai menuntut ilmu agama di desanya, Ghazalah pada seorang sufi sahabat ayahnya. Pada tahun 479 H al-Ghazali melanjutkan pelajarannya ke Jurhan sebuah kota yang terletak tidak jauh dari Khurasan, di sana ia berguru dengan Abu Nashr al-Isma‟ili. Kemudian ia kembali ke Thus dan dari sana ia melanjutkan ke Nasyhabur dan masuk sekolah tinggi Nizamiyah. Ilmu-ilmu yang


(46)

variatif di dapatkannya dari Abu al-Ma‟li Dhiauddin al-Juwayni (w. 1085 M/1478 H). Ilmu yang dipelajarinya diantanranya adalah ilmu kalam dan ilmu ushul (Iqbal, 2015: 88) setelah itu, ia menuju Baghdad dan menjadi guru besar di Universitas yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang perdana menteri Bani

Saljuk (Syar‟I, 2005: 98).

Ketika itu kehidupannya goncang Karena keraguan yang meliputi dirinya,

“apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?” perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ghazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al-munqiżnmin a - alāl menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam bukunya itu tergambar keinginannya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Al-Ghazali mulai tidak percaya kepada pengetahuannya yang diperolehnya melalui panca indera sebab pancaindera sering kali salah dan berdusta. Ia kemudian meletakan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata tidak memuaskan juga. Tasyawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahua tasyawuf yang diperolehnya melalu kalbu membuat al-Ghazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar (Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002: 26).

Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan selama berpuluh tahun dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada Akhir 505 H/19 Desember 1111 M, di hadapan adiknya, Abu Ahmadi Mujidduddin. Al-Ghazali


(47)

meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (al-Ghazali),

karena anak inilah, ia digelarkan “Abu Hamid” (bapak si Hamid).

B. Karya-karya al-Ghazali

Pikiran-pikiran al-Ghazali di samping dibentuk oleh warna religis sebagai ciri khas pendidikan Islam ia lebih cenderung pada bidang rohani. Kecenderungan ini memang sesuai dengan filsafat sufistiknya (Sulaiman, 1986: 20)

Al-ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya, meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasauf, akhlak dan otobiografinya. Berikut adalah beberapa karya al-Ghazali diantranya :

1. Maqa id al-Falasifah 2. ta afut al-Falasifah 3. Al-Ma‟ārif al-„Aqliyah 4. Al-Munqiż min al-Ḋalālah 5. I ya‟Ulum al-Dῑn

6. Minhaj al-Abidin 7. Mizan al-„Amal 8. Misykal al-Anwar 9. Ayyuh al-Walad 10. Kimiya‟ Sa‟adah


(48)

11. Al-Wajiz

12. Al-Isbi ad fi al-I‟tiqad 13. Al-Adab fi al-Dῑn 14. Al-Risat al-Laduniyyah 15. Hujjah al- aq

16. Mufassir al-Khilāf 17. Suluk al- ulāni

18. Al-Qi as al-Mustaqῑm 19. Al-Sir al-Amin

20. Fati ah al-Ulum 21. Al-Darajat

22. Al-Tibr al-Masbuk fi Na ihat al-Mulk 23. Bidayat al- idāyah

24. Kanz al-Qaun 25. Min aq al-Naẓar

Masih banyak karya al-Ghazali yang belum dicantumkan, menurut Badawi abanah ada sekitar 47 karya al-Ghazali yang digolongkan mejadi 4 golongan yaitu; kelompok Fildafat dan Ilmu Kalam, Kelompok Ilmu FIqh dan U ul fiqh, kelompok Ilmu Akhlaq dan Tasawuf dan yang ke empat adalah kelompok Ilmu Tafsir (Iqbal, 2013: 11-12).


(49)

C. Corak pemikiran

Berbagai penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Ghazali sangat komplit sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Menurut gambaran seorang sarjana, al-Ghazali sedemikian komplitnya memberi penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga dapat digambarkan seperti sebuah kamar untuk ummat yang walaupun sangat nyaman tapi kemudin mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam (Iqbal, 2013: vi). Sebagian ada yang mengatakan bahwa al-Ghazali adalah pangkal dari kemunduran Islam, karena hilangnya kebebasan dalam berpikir, diataranya seperti al-Ahwani dan Oemar Amin Hoesin (Rusn, 2009: 2). Hal itu dikarenakan karyanya yang seakan menghentikan kebebasan berpikir, atau berpetualang mencari kebenaran dalam berfilsafat, karyanya yang kemudian mendapatkan banyak kritikan dari sebagian kalangan cendekiawan itu, adalah karyanya yang berjudul Taḥafut al-Falasifah.

Dalam mempelajari filsafat al-Ghazali menemukan argument-argumen filosofis yang yang dipandangnya menyalahi ajaran Islam. Karena itu, ia menyerang kaum filsuf yang diungkap dalam bukunya Maqā id al-Falāsifah. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundissalimus denagn judul Logica et Philosophia al-Gazelis Arabis (Logika menurut Filsuf Arab al-Ghazali; 1145 M). lalu untuk memperjelas kritiknya terhadap filsuf itu, ia menulis buku Taḥafut al-Falasifah. Dalam buku itu al-Ghazali mengkritik sepuluh pendapat filsuf yang mengatakan bahwa: 1) Tuhan tidak mempunyai


(50)

sifat, 2) Tuhan mempunyai substansi sederhana (basῑṭ) dan tidak mempunyai hakikat (māhiyah), 3) Tuhan tidak mengetahui perincian (juz’iyyah), 4) Tuhan tidak dapat diberi sifat jenis (al-Jins/genus)dan al-fa l (spesies), 5) planet-planet adalah bintang-bintang yang bergerak dengan kemauannya sendiri, 6) jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iyyāh (rincian), 7) hukum alam tidak berubah, 8) pembangkitan jasmani tidak ada, 9) alam ini tidak bermula, dan 10) alam ini kekal. Bahkan al-Ghazali berpendapat bahwa tiga di antara 10 pendapat filsuf di atas, yaitu alam kekal (tidak bermula), Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian dan pembangkitan jasmani tidak ada, dapat membawa kepada kekufuran (Tim redaksi Ensiklopedi Islam, 2002: 26).

Sejumlah buku studi Islam banyak yang memberikan keterangan negatif tentang al-Ghazali, seperti buku yang ditulis oleh Metodologi Studi Islam karya seorang alumnus UIN Jakarta, dengan mengutip perkataan Prof. Sutan Takdir

Alisyahbana, “Andai Ibnu Rusyd yang dianut oleh orang-orang Timur bukan al-Ghazali maka yang maju pesat di zaman modern ini adalah negara-negara Islam bukan negara-negara Eropa”. Tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa al-Ghazali merupaka orang yang menyebabkan kebebasan dalam berpikir dan kemunduran Islam adalah kritikan yang tidak didasarkan pada hasil riset yang mendalam (Husaini, 2009:16-17).


(51)

Al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronilogis minimal 4 disiplin ilmu (Ibnu Rusn, 2009:13-21), diantaranya:

1. Al-Ghazali sebagai teolog atau ahli ilmu kalam

Dalam bidang ini, al-Ghazali sangat konsen dalam permasalahan

akidah. Hal tersebut dilatar belakangi karena merajalelanya perbuatan bid‟ah yang dipelopori oleh beberapa aliran seperti Mu‟tazilah yang dipimpin oleh

Wasil bin „Atha Abul Huzail. Aliran ini mendapat dukungan penuh dari

orang-orang Yahudi dan Nasrani. Selain Mu‟tazilah aliran yang juga pelaku

bid‟ah adalah Asy‟ariyyah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan Ali al-Asy‟ari. 2. Al-Ghazali sebagai filsuf

Lahirnya para filosof muslim yang terinspirasi dari filsafat Yunani, khususnya di bawah pengaruh Aristotelianisme. Doktrin-doktrin yang mereka anut banyak yang bertentangan dengan jiwa Islam. Hal ini yang kemudian menjadi motivasi bagi al-Ghazali untuk memperdalam dan menguasai ilmu filsafat yang kemudian diluruskan pada kaidah-kaidah yang benar yang sesuai

dengan syari‟at Islam.

3. Al-Ghazali: Anti aliran kebatinan

Ketidak puasan terhadap kebenaran filsafatnya dan penguasaan akan isi al-Qur`an, hadis dan disiplin ilmu dalam berbagai bidang dijadikan dasar dalam mengadakan koreksi total terhadap seluruh ajaran yang ada dan mengkritik orag-orang yang hidup dalam kesesatan. Ketidakmampuan aliran


(52)

berkesimpulan bahwa imam ma‟sum yang menjadi anggapan para penganut ilmu kebatinan hanyalah tokoh ideal saja, hanya hidup dalam anggapan mereka namun tidak ada dalam dunia yang nyata.

4. Al-Ghazali sebagai Sufi

Dalam dunia tasawuf al-Ghazali menemukan jalan yang mampu membebaskan dirinya dari penyakit keragua-raguan terhadap kebenaran. Dengan tasawuflah manusia dapat mensucikan dirinya dari akhlak yang tercela dan sifat-sifat buruk yang dapat membawa kepada kehancuran. Ilu tasawuflah yang dapat menghindarkan dan mengosongka hati dari gerakan dan semua tari-tarian yang bersifat duniawi sehingga manusia dengan memenuhi dengan żikrullah.

D. Pendekatan Humanistik Dalam Pendidikan Islam Perspektif Imam

Al-Ghazali

Humanistik adalah perspektif psikologi yang menekankan studi seseorang secara utuh. Prilaku manusia dilihat tidak hanya melalui penglihatan pengamat, melainkan juga melalui pengamatan atas prilaku orang dalam bekerja. Psikologi humanistik percaya bahwa bahwa prilaku individu mengintegral dengan perasaan batin dan citranya. (Faturrohman dan Sulistyorini, 2012: 234)

Pendekatan humanistik ini berawal dari tokoh barat diantaranya Arthur Combs (1904-1967) yang berpendapat bahwa ketika seseorang ingin memahami keadaan orang lain maka harus menyelami persepsi orang tersebut, dan jika ingin


(53)

mengubah prilaku seseorang maka harus berusaha mengubah keyakinan orang itu. Abraham Maslow mengasumsikan bahwa di dalam diri manusia ada dua hal, yaitu; suatu usaha yang berkembang dan kekuatan melawan atau menolak perkembangan itu dan Carl Ransom Rogers (1902-1987), dalam bukunya freedom to learn, prinsip pembelajaran humanistiknya dibagi menjadi 10 bagian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa siswa atau peserta didik akan merasa puas dalam proses pembelajarannya apabila kebutuhannya terpenuhi. Seperti sumber-sumber pendidikan yang luas dan memadai, dan pendidik bukan sebagai subjek satu-satunya akan tetapi sebagai fasilitator (Faturrohman dan Sulistyorini, 2012: 235-238).

Jika di Barat munculnya gagasan humanis karena ada permasalahan dalam teologi Kristen, dikarenakan otoriternya gereja dalam mengendalikan hukum. Namun dalam Islam humanistik ini tidak berangkat dari faktor historis, karena Islam sendiri dalam permasalahan teologi, tidak ada permasalahan, Islam mengenal hukum absolut, sedangkan humanis sekularis adalah relativisme. Beragkat dari metode pembelajaran yang diterapkan oleh Rasulallah saw, dalam masalah shalat seperti dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud

ٍماَشِ ُنْب ُلمَؤُم اَنَ ثدَح

ىِرُكْشَيْلا ِِْعَ ي

َةَزََْ َِِأ ٍراوَس ْنَع ُليِعاَِْْإ اَنَ ثدَح

َوَُو َدُواَد وُبَأ َلاَق

َِِرْ يصلا َِِزُمْلا َةَزََْ وُبَأ َدُواَد ُنْب ُراوَس

َلاَق ِ ِدَ ْنَع ِييِبَأ ْنَع ٍ ْيَعُ ِنْب وِرْمَع ْنَع

:

ُلوُسَر َلاَق

ِيللا

-ملسو ييلع ها ىلص

«

ْمَُو اَهْ يَلَع ْمُوُبِرْضاَو َنِنِس ِعْبَس ُءاَنْ بَأ ْمَُو ِةَاصلاِب ْمُكَدَاْوَأ اوُرُم


(54)

Dari Muammal bin Hisyam yakni Ayyasykury dari Ismā’il dari Sawwār

Abī amzah (Abū Dāwud berkata bahwa dia adalah Sawwār bin DāwudAbū

amzah al-muzany a - airafy) dari ‘amr bin Syu’aib dari ayahnya dari

kakeknya berkata,‘bersabda Rasulullah saw: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukullah mereka untuk shalat saat mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkan mereka dalam tempat tidurnya (Abu Dawud, t.th: 495).

Kedudukan hadis ini adalah ḥasan āḥih. Status hadis sudah pernah di teliti oleh Intan Hadayani. Hadis yag membahas perintah shalat bagi anak-anak terdapat dalam 9 kitab yaitu aḥīḥ Ibn Khuzaimah, Sunan Abū Dāwud, Jami’ al

-Kabīr, Mu’jam al-Kabīr, Sunan al-Kabīr, Mustadrak Hakim, Sunan Daruquṭni, Musnad Aḥmad bin anbal .

Hadis dari Abu Dawud tersebut menggambarkan cara memberikan pendidikan dalam praktik shalat, berdasarkan jenjang usia dan tingkat pemahaman. Selain perintah shalat hadis tersebut juga menggambarkan sikap yang harus ditujukan kepada anak yang sudah menginjak dewasa. Nabi Muhammad dengan bimbingan wahyu telah menggunakan pendekatan humanistik, yaitu menerapkan pendidikan dengan memperhatikan kemampuan peserta didik, baik dari aspek fisik maupun psikis. Nabi Muhammad memberikan gambaran dalam mendidikan anak-anak dalam kisaran usia 7 tahun, 10 tahun dan baligh (ditandai dengan haid bagi perempuan).

Pada usia tujuh tahun, ketika orang tua atau pendidik ingin agar anak dalam usia tersebut sudah membiasakan diri melaksanakan shalat, metode yang harus dilakukan adalah dengan lisan, dalam hal ini bisa dengan nasihat, pemahaman,


(55)

dan perintah yang hanya berbentuk verbal saja. Bentuk lisan adalah cara mendidik dan pembiasaan yang bisa dipahami, dan tidak membebani anak.

Ketika anak sudah mencapai usia 10 tahun, atau pada usia dewasa, yaitu apabila anak perempuan sudah mengalami mainstruasi dan anak laki-laki bermimpi. Maka, cara memberikan pengarahan dalam shalat, ketika dengan lisan tidak diindahkan, sehingga cara yang kedua adalah dengan memukulnya. Tindakan peringatan dengan fisik ini adalah alternatif terakhir ketika dengan nasehat belum bisa merubah kebiasaan buruknya, sedangkan dia sudah menjadi mukallaf, maka untuk menyelamatkan unsur fitrah yang ada dalam dirinya (tauhid), harus dengan cara yang bisa mereka rasakan. Namun dalam praktiknya, ketika akan memukul orang tua atau guru harus tau daerah mana yang beresiko dan tidak ketika memberi peringatan tersebut.

Berdasarkan hadis inilah, pendekatan humanistik dalam Pendidikan Islam, menjadi suatu metode yang bisa digunakan dalam memberikan pendidikan pada peserta didik berdasarkan pada segala potensi yang dimiliki, dan perbedaan yang dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat. Rasulallah melalu hadis ini menjelaskan harus ada perlakuan khusus kepada anak pada tiap pertumbuhan karena cara menghadapi anak-anak usia tujuh tahun, akan berbeda dengan anak yang berusia sekitar 15 tahun. Cara mereka menyikapi akan berbeda, sehingga dalam hadis tersebut Rasulallah menyarankan agar tempat tidur bagi anak yan sudah baligh harus dipisahkan, karena secara lahiriah dan batiniah sudah banyak perubahan. Sudah memahami mana yang diperboleh oleh agama


(56)

dan mana yang dilarang. Ketika menginjak dewasa psikologi mereka pun akan banyak berubah, mereka cenderung akan menganggap dirinya mandiri, dan rasa malu dalam beberapa situasi tertentu.

Dalam hubungannya dengan kependidikan yang berlaku bagi manusia itu sendiri. Menurut ajaran Islam dipandang sebagai suatu perkembangan alamiah manusia, yaitu suatu proses yang harus terjadi terhadap diri manusia, oleh karena hal tersebut merupakan pola perkembangan hidupnya yang telah ditentukan oleh Allah atau dikatakan sebagai sunnatullah (Iqbal, 2013: 43). Abu Muhammad Iqbal dalam bukunya Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, urgensi pendidikan bagi manusia, serta hasil dari pendidikan sendiri terhadap kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Pendidikan di sini menggambarkan tentang peran manusia dalam dunia pendidikan, ada pergerakan, ada aktifitas yang hidup, ada saling menyampaikan informasi, ada yang memberi, ada yang menerima informasi, dan ada aplikasi lain yang menghidupkan potensi manusia. Sehingga setiap manusia bisa mengaktualisasikan dirinya dalam sebuah lembaga, komunitas atau lingkungan yang disebut dengan pendidikan.

Pendapat al-Ghazali tentang pengertian pendidikan adalah alat atau proses untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meninggikan derajat manusia bahkan sampai mampu bersejajar dengan para malaikat. Untuk menuju pada derajat tersebut tentu bukan lah proses yang mudah, dalam hal ini potensi yang dimiliki manusia harus difungsikan secara optimal dan proporsional. Potensi terbesar yang


(57)

dimiliki oleh manusia adalah akalnya namun dalam tulisannya al-Ghazali juga menambahkan adanya peran hati atau jiwa atau perasaan manusia.

Di dasarkan pada hadis Nabi saw

ىِ ِا َ ِ َ ُ ىْ َ ى ِ ِا َ ِ َ ُُ ىْ َ ى ِ ِا َ ِ َ ُُ ىا َ َُ َف ىِ َ ْ ِلا ى َ َ ىُ َاْ ُُ ىٍ ْ ُاْ َ ى ُ

ُ

ملسم اور

َ

Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang mnyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Muslim).

Jiwa manusia yang berpikir berhak mendapatkan pengajaran dan menerima gambaran-gambaran pengetahuan melalui kekuatan, kesucian dan sifat- sifat dasar yang dimiliki oleh manusia. Namun sebagian jiwa ada yang terganggu (sakit), sehingga terhambat dalam menerima pendidikan. Dengan jiwa yang sehat mausia akan dengan mudah menerima nasihat, pendidikan sepanjang hayatnya. Jiwa yang selalu dalam keadaan sehat adalah jiwa para nabi, yang tidak tersentuh oleh berbagai penyakit yang bisa merusak kesucian jiwanya. Jiwa tidak akan mencari dan menghilang kreasi akal dalam pencarian ilmu pengetahuan, melainkan dikembalikan kepada jiwa itu sendiri. Jiwa yang sakit cara penyembuhan yang paling efektif adalah dengan pendidikan. Jiwa yang sakit ialah jiwa yang tidak mau terbuka menerima ilmu pengetahuan dan pemahaman, sehingga penolakan dalam jiwanya mempersulit dirinya untuk menerima pendidikan yang diberikan, dengan begitu, mempelajari ilmu dengan benar, dan tidak menutup diri adalah solusi yang baik (al-Ghazali, 1994: 252-253).


(58)

Melihat bagaimana al-Ghazali menganggap penting menjaga dan mengembangkan fitrah manusia, fitrah manusia dalam hadis tersebut adalah akidah yang dibawa pada saat penciptaan sampai manusia terlahir ke dunia. Fitrah tauhid yang harus dijaga dan dikembangkan menjadi sebuah potensi dalam keilmuan Islam. Pendidik yang mengetahui bahwa manusia itu mempunyai satu akidah yang sama, dan memiliki ragam kemungkinan yang bisa merubah fitrahnya tersebut, maka berangkat dari hadis ini, pendidik harus ekstra faham dalam mengenali kondisi dari segala aspek yang melingkupi kehidupan peserta didiknya.

Pendidikan dalam Islam berpijak di atas kaidah pendidikan seumur hidup. Dalam pandangan Islam pendidikan tidak dipilah-pilah secara dikotomis antara pendidikan jalur sekolah, pendidikan luar sekolah, keluarga dan masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai suatu keutuhan yang berproses tiada henti

sepanjang hidup manusia dan dapat berlangsung dimana saja. (Ma‟arif et al., 2003: 16).

Pada kenyataannya, sebagian orang masih memaknai pendidikan dengan begitu sempit, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang berlangsung dalam sebuah

gedung yang bernama “Sekolah”. Kemudian, berakhir dengan Ujian Akhir

Nasional (UAN) dengan mempertaruhkan segala kemampuan untuk mencapai kelulusan guna mendapatkan sertifikat kelulusan. Reduksi pemaknaan pendidikan sedemikian itu telah menyebabkan pendidikan kering dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat holistik. Akibatnya, pendidikan sering dinilai tidak


(59)

fungsional terhadap hakikat kehidupan dan kemanusiaan. Pendidikan seolah terisolasi dari realitas kehidupan sehari-hari. (Ma‟arif et al., 2003: 17).

Dalam banyak pendapat tentang definisi dari pendidikan dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah wahana untuk setiap orang mengembangkan potensinya dibawah arahan dan dukungan pendidik guna mencapai tujuan agar menjadi manusia yang lebih baik , bermanfaat, bermartabat dan semakin dekat dengan Rabb-nya.

Pendidik adalah orang yang memberikan manfaat (pengetahuan) kepada peserta didiknya, sedangkan pendidikan adalah proses memperoleh manfaat itu. Pendidikan ditujukan bukan untuk mendikotomikan antara pengetahuan agama dengan pengetahua dunia, melainkan keduanya itu harus dikomparasikan َةعومجُ. Seorang pendidik harus meluruskan niat dalam melakukan tugas sebagai pendidik, yaitu:

1. Bukan dengan dasar, agar mendapatkan lahan (lading untuk bercocok tanam), untuk memenuhi kebutuhan makan, bukan untuk penghidupan berupa kemewahan, seperti pakaian, bukan untuk memperoleh fasilitas berupa tempat tinggal dan bukan pula semata-mata untuk memperoleh kedudukan.

2. Adanya lembaga sebagai pelayan dan menjadi naungan dalam melaksanakan proses pembelajaran, seperti adanya perusahaan industri besi dan ladang. Keduanya saling berkontribusi, sehingga menghasilkan produk seperti kapas dan wol.


(60)

3. Adalah hasil dari industri pabrik, seperti tepung dan roti dari hasil bumi, rumah yang luas dan seorang tukang jahit adalah merupakan fasilitas. Semuanya itu adalah pemahaman yang dimiliki oleh pelajar dalam bidang industry dan agribisnis. Dan orang yang berpendidikan itu memiliki retorika dalam berbicara secara tertata, bisa menempatkan ketika dia berbicara baik formal maupun non formal, menyanggah, dan memberikan pemahaman kepada orang lain (al-Ghazali, t.th: 22).

Al-Ghazali membagi hukum dari mencari ilmu menjadi dua, yaitu far u

‘ain dan far u Kifāyah. dikatakan far u ‘ain karena berdasar pada hadis dari Rasulallah saw,

ٍمِلْسُم ِلُك ىَلَع ٌةَ يِرَ ِمْلِعْلا ُ َلَ

...

Mencari ilmu dalah kewajiban bagi setiap muslim… (Ibnu Mājah, 273 H: 151)

Hukum pendidikan sebagai far u ‘ain, menimbulkan perbedaan pendapat diantara ulama ahli ilmu. Seorang Mutakallim akan mengatakan bahwa ilmu Kalam itu wajib yaitu ilmu yang membahas tentang Tauhid, wujud dan sifat Allah. Para Fuqaha akan mengatakan bahwa yang wajib itu adalah Ilmu Fiqih, karena menjelaskan tertang macam-macam ibadah, hukum halal dan haram. Ahli Tafsir juga akan mengatakan bahwa pengetahuan tentang al-Qur`an dan hadis adalah yang lebih wajib Karena dua hal itu telah mencakup seluruh ilmu


(61)

(al-Ghazali, t.th: 25). Dan begitu pula menurut ahli ilmu yang lain akan mengatakan bahwa keilmuan yang di kuasainyalah yang paling wajib untuk dipelajari.

Maka sikap yang bijak untuk menyikapi perbedaan pendapat seperti ini adalah, mempelajari semua ilmu sesuai dengan kapasitas masing-masing individu, tanpa mendikotomikan satu ilmu dengan ilmu yang lainnya. Bagi seorang muslim penguasaan terhadap beragam ilmu sangat dianjurkan bahkan dalam situasi tertentu akan menjadi wajib. Karena dengan ilmu pengetahuan lah manusia akan mampu menyelami samudera yang tidak terkira kedalamannya.

Sedangkan hukum yang kedua adalah far u Kifāyah. dalam pendidikan menurut al-Ghazali hukum ini dibagi lagi pada dua Ilmu yakni, ilmu Syari‟at dan

Ilmu Gairu Syari‟at. Ilmu Syari‟at yang pertama adalah U ul seperti al-Quran,

Hadis, Ijma‟ dan Atsar. Yang kedua, Furu‟(Ilmu-ilmu cabang) antara lain ilmu fiqh yang menjelaskan tentang kemaslahatan hidup di dunia, ilmu tentang hati dan akhlak (disebut juga ilmu akhirat). Ketiga ilmu-ilmu Muqaddimah, seperti mempelajari ilmu balagah (bahasa) dan ilmu Nahwu (gramatika). Yang keempat adalah ilmu-ilmu pelengkap, contohnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Ilmu

al-Qur`an. Misalnya, ilmu tajwid, qira‟at dan lain sebagainya.

Dari dua pembagian hukum ilmu di atas menunjukkan banyak hal yang harus manusia pelajari dan kuasai, baik ilmu untuk duniawi maupun ukhrawi. Kedua hukum tersebut sama-sama penting berdasarkan fungsi nya masing-masing. Oleh karena betapa pentingnya sebuah pendidikan, maka cara menyikapi dan pengelolaan terhadap dunia pendidikan harus dilakukan secara bijak,


(62)

professional dan proporsional. Pendidik harus bisa memposisikan dirinya berdasarkan pada kemampuan peserta didik.

Dalam karya al-Ghazali dalam kitab Ihya‟ Ulumiddin dijelaskan panjang lebar bab tentang dunia pendidikan. Diantara yang dibahas terdapat pendekatan humanistik yang secara tersirat dapat diambil dari karyanya tersebut. Seperti dalam Jilid pertamanya, pembahasan tentang peran akal dan keutamaannya dalam proses penyerapan ilmu pengetahuan.

Manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu jasad dan ruh (dualisme). Ada juga

yang mengatakan unsur „aql dan unsur hewan. Dimana kedudukan ruh di sejajarkan dengan „aql, sedangkan jasad disejajarkan dengan unsur hewan. „aql atau unsur ruh memiliki kedudukan yang paling tinggi dibandingkan yang lain, sehingga unsur yang paling tinggi ini harus bisa lebih unggul dibandingkan denga unsur lainnya.

Islam memandang bahwa manusia ialah perkaitan antara badan dan ruh. Bada dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak bergantung kepada yang lain. Islam secara tegas mengatakan kedua subsansi tersebut adalah substansi alam. Sedangkan alam adalah makhluk. Sedangkan makhluk adalah hal yang diciptakan oleh Allah (Zuhairin, 1992: 75).

1. Pendekatan Humanistik Al-Ghazali

Sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar definisi dari humanistik itu sendiri. Kesimpulan dari serangkaian pengertian itu adalah Akal adalah unsur yang ada dalam diri manusia, sebagai pembeda dari makhluk Allah


(1)

84

Qomar, Mujamil. 2012. Pemikiran Islam Metodologis (Model Pemikiran Alternatif dalam Memajukan Peradaban Islam). Yogyakarta: Teras.

Rahman, Fathur dan syamsuddin Asyafi (pen). 1993. Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazali. Bandung: Al-Ma‟arif.

Sadulloh, Uyoh. 2015. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Metode Penelitian Pendidikan.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1986. Bahaṡ fi Al-Mażhab At-Tarbawiy ‘Inda Al-Ghazali. Ahmad Hakim dan Imam Aziz (penj.). Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Supiana dan Karman, Muhammad. 2001. Materi Pendidikan Agama Islam.

Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Syar‟I, Ahmad. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Thoha, Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis.

Jakarta: Gema Insani

Tim Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid 2. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve

Uhbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam (IPI). Bandung: CV Pustaka Setia.

Wahyudin, Yuyun. 2009. “Teori Belajar Humanistik Carl Ransom Rogers

dan Implikasnya terhadap Metode Pembelajaran Pendidikan

Agama Islam”. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga.

Zainuddin (et.al). 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.

Zuhairin (et al). 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Zuriyah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan


(2)

85

Sumber Tersier: KBBI offline 1.5 Maktabah Syamilah

Kementrian Agama. Al-Qur`an Cordova. 2012. Bandung: Syamil Qur`an Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Pendekatan, Strategi dan Metode

Pembelajaran.

https://ayahalby.files.wordpress.com/2012/10/pendekatan-strategi-dan-metode-pembelajaran.pdf. Diakses pada 6 Agustus pukul 8. 15 WIB.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/195404

021980112001-IHAT_HATIMAH/Pengertian_Pendekatan,_strategi,_metode,_t eknik,_taktik_dan.pdf diakses 5 Agustus 2016, pukul 20.30 WIB


(3)

CURRICULUM VITAE Nama : Nur Ismaya Aliatunisa

Tempat Tanggal Lahir: Sukabumi, 18 Februari 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alama : Kp. Cipetir Girang, RT/RW 14/05, Des. Sukamaju, Kec. Kadudampit, Kab. Sukabumi, Jawa Barat

Riwayat Pendidikan :

1. Tingkat Pendidikan Dasar : SD Negeri Lebaksiuh 1 (Lulus Tahun 2006 ).

2. Tingkat Menengah Pertama : SMP Muhammadiyah 3 Cipetir (Lulus Tahun 2009 )

3. Tingkat Menengah Atas : MA Muhammadiyah Sukabumi, (Lulus Tahun 2012)

4. Tingkat Perguruan Tinggi : Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Orang Tua :

1. Nama Ayah : Obih Shobihi 2. Pekerjaan : Tani

3. Nama Ibu : Hamdah

4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 5. Alamat : Sukabumi, Jawa Barat

Pengalaman Organisasi

1. Ikatan Remaja Mesjid : Anggota Bidang keilmuan


(4)

3. IPM Ranting MAM Sukabumi : Sekretaris Bidang KDI 4. IPM Ranting MAM Sukabumi : Ketua Umum (Periode2011)

5. IPM Daerah Sukabumi :Ketua Bidang Kajian Dakwah Islam (Periode 2011)

6. NA Kabupaten Sukabumi :Bendahara Umum (Periode 2011) 7. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah : Sekretaris Umum

Komisariat IMM PUTM Puteri (Periode 2013)

8. Ikatan Mahasiswa Tarjih Muhammadiyah : Ketua Bidang Perkaderan (Periode 2014)


(5)

CATATAN

BIMBINGAN

SKRIPSI

BIMBINGAN

.KE

HARI/TANGGAL CATATAN PEMBIMBING PARAF

PEMBIMBING

(?ou\.

eery6

,&-r

flo

rn*,

,,9.

'*- a<*ala$

4

.

U;"

t,r-(an

o,

(-€?^

g

/d-*{x

W1

/l

il

i)tr

2

zf

tf,^,tz

\

O"^-_\>_\

(7

6/

@4

/ry-'-*>

\fe

{*,t

ft"*.U*^

4-

uT-

e

,ukf

,,,

lU",^1"^

fu

fu-

'tu{^

F

(rlr,,

%^.{r;L

6

Ytfu*

ry


(6)

T'NN'ERSITAS

@

YIfiiYAEARf,A

EAK'I,TAS AGAMA ISLII"Ttf,

JIIRUSAN : DAKW\H /

TnRBrfArI

/ SYARTATI

I{ARTU BIMBINGAN

SITRIPSI

I.

NAMA

2.

NOMOR .' POKOK MAHASISWA

:.

3.

JURUSAN

4.

JUDUL SKRIPSI

5.

TANGGAL MENGA.JUI(AN SKRIPSI

6.

TAI{GGAL SEMINAR PROPOSAL

7,

SELESAI MENULIS SKRIPSI

8.

TANGGALMUNAOASYAH

9.

PEMBIMBING

rO. KETERANGAN

*s:li r:sh

fuialunlsa,

.

?

n+kEI

3_"!h

\'?-

AOgq+..,s

2o\a

YA

2

otz

0?Lo

2.o2.

X"\""""

r""'1""""'

/"ndid,t

n"

Ag,orro

\e\4.r.

T"""""""'o'r'-iY--r

P.p.ltp..qf*lAN Hu

r'l'''''''''"..

MAntrrTrF

Qgv

Aru

...1...

?aU

OrprKAnlj

isL*vr"

...;...

Mt

r,.lu

?-uT

AL

-

6H,4'za

Lr