Potensi Biomassa Dan Karakteristik Makroalga Gracilaria Verrucosa Sebagai Sumber Energi Alternatif Biogas

POTENSI BIOMASSA DAN KARAKTERISTIK
MAKROALGA Gracilaria verrucosa
SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIOGAS

DEA FAUZIA LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Potensi Biomassa dan
Karakteristik Makroalga Gracilaria verrucosa sebagai Sumber Energi Alternatif
Biogas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Dea Fauzia Lestari
NIM C551130021

RINGKASAN
DEA FAUZIA LESTARI. Potensi Biomassa dan Karakteristik Makroalga
Gracilaria verrucosa sebagai Sumber Energi Alternatif Biogas. Dibimbing oleh
MUJIZAT KAWAROE dan SALUNDIK
Makroalga dari laut menjadi salah satu pilihan sumber biomasaa yang dapat
dikonversi menjadi energi biogas melalui proses degradasi anerobik karena
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan biomassa lainnya seperti
pertumbuhan yang relatif cepat, efektif menyerap CO2, kandungan ligninya relatif
rendah, dan dapat dibudidaya di air limbah. Ketersediaan sumber makroalga di
kawasan tambak Desa Tanara, Banten yang tidak layak jual (rejected) mendorong
pemanfaatan biomassa sebagai bahan biogas di daerah tersebut. Kegiatan ini
membutuhkan bantuan mikroorganisme pendegradasi seperti konsorsium bakteri
pada rumen ataupun feses sapi sebagai starter. Biogas mengandung beberapa
senyawa seperti metana (CH4), karbondioksida (CO2), dan hidrogen sulfida (H2S).

Gas H2S merupakan salah satu gas yang bisa menimbulkan bau dan korosif
sehingga butuh penanganan seperti melakukan filter untuk mengurangi
kandungannya dalam biogas.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode batch dengan
volume digester sebesar 1500 L dan volume kerja digester sebesar 1200 L.
Biomassa yang digunakan selama satu siklus batch sebanyak 25 kg makroalga
kering. Kandungan karbohidrat makroalga rejected dianalisis dengan uji proximat.
Sebelum pemasukan substrat tersebut, pertama-tama bakteri yang ada dalam
kotoran sapi diaklimatisasi dengan memasukan makroalga sebanyak 2% setiap 4
hari sampai kondisi pH netral dan gas keluar dari digester. Besarnya degradasi dapat
dianalisis dengan mengukur Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS),
Volatile Solid (VS), dan kadar air. Volume biogas dari digester diukur
menggunakan gas flow meter. Analisis gas CH4, H2S, dan CO2 dilakukan dengan
menggunakan gas spektrometri. Gas yang dihasilkan bisa dioptimalisasikan
hasilnya menggunakan H2S scrubber dengan tujuan untuk mengurangi bau dan efek
korosi. Biogas yang dihasilkan diujicobakan pada lampu dan kompor biogas.
Kandungan karbohidrat makroalga Gracilaria verrucosa rejected adalah
sebesar 21.46%, lebih kecil dibandingkan kandungan pada makroalga yang
berkualitas baik. Nilai pH saat aklimatisasi dan produksi biogas berfluktuasi karena
adanya aktivitas bakteri pendegradasi makroalga. Nilai COD, TS, VS mengalami

penurunan dari nilai awal masing-masing sebesar 40%, 77%, dan 92%, sedangkan
kadar air meningkat 9% dari nilai awalnya. Volume rata-rata biogas yang dihasilkan
selama 31 hari pengamatan adalah 74.4 L.hari-1 atau 92.2 L.kg-1. Volume yang
paling tinggi diproduksi pada hari ke-15 sebesar 132 L, sedangkan yang paling
rendah pada hari ke-30 sebesar 21.5 L. Proses filter menggunakan H2S scrubber
berpengaruh terhadap konsentrasi H2S menjadi tidak terdeteksi, sedangkan
konsentrasi CH4 dan H2S meningkat dikarenakan adanya akumulasi biogas yang
terfilter dalan scrubber. Uji coba biogas makroalga dilakukan terhadap pemakaian
lampu biogas yang menghabiskan 1.8 L.min-1 dan kompor biogas menghabiskan 6
L.min-1 gas dari digester.
Kata kunci: Biomassa, makroalga, Gracilaria verrucosa, energi alternatif, biogas

SUMMARY
DEA FAUZIA LESTARI. The Biomass Potential and Characteristic of Macroalgae
Gracilaria verrucosa as Biogas Alternative Energy Resource. Supervised by
MUJIZAT KAWAROE and SALUNDIK.
Marine macroalgae become one of the biomass resource that can be
converted into biogas energy by anaerobic digestion process because it has some
advantages compared with others biomass such as high biomass growth rate, high
CO2 absorption, low lignin content, and can grow in wase water. Rejected

macroalgae availability in ponds at Tanara village, Banten support for biogas
energy development. This process requires degraded microorganism such as
consorcium bacteria that is very abundant in cow's rumen or feces to start the
process. Biogas contain methan (CH4), carbondioxide (CO2), and hydrogen
sulphide (H2S). Hidrogen sulphide is a trace gas that cause odour and corrosive
effect, thus have to treat by filtering in order to reduce the concentration in biogas.
Batch method was applied in digester that its volume was 1500 L and
working volume was 1200 L. Biomassa of macroalgae was 25 kg in dry condition.
Carbohydrate content was analyzed by proximate test. The first step before
anaerobic degradation was bacteria actimatization with macroalgae by inputing
these substrate gradually as much 2% every 4 days until neltal pH condition and
produce biogas. Degradation activities might be analyze by Chemical Oxygen
Demand (COD), Total Solid (TS), Volatile Solid (VS), and water content
measurement. Biogas production was measured using gas flow meter. Analysis of
CH4, H2S, and CO2 were analyzed by gas spectrometry methods. The resulting
biogas was optimized by H2S scrubber in order to reduce odors and corrosion
effects. Biogas from digester was applied for switch on biogas lamp and stove.
Carbohydrate content of rejected macroalgae Gracilaria verrucosa was
21.46% lower than high quality macroalgae. The acidity (pH) value were
fluctuative, caused by degradation activities of macroalgae substrate. The value of

COD, TS, VS were decrease from initial as much 40%, 77%, dan 92%, while water
content was increase 9% from initial value. The average volume of biogas
production during 31 observation days was 74.4 L.day-1 or 92.4 L.kg-1. The highest
volume production was 132 L at 15th days, while the lowest volume production was
21.5 L at 30th days. Filtration process using H2S scrubber was affected to H2S
concentration become undetectable, then CH4 and CO2 were increase because of
biogas accumulation on scrubber. Biogas was applied for houshold equipments,
volume that required to switch on biogas lamp was L.8 l.min-1, while biogas stove
was 6 L.min-1 from the digester.
Keywords: Biomass, macroalgae, Gracilaria verrucosa, alternative energy, biogas

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


POTENSI BIOMASSA DAN KARAKTERISTIK
MAKROALGA Gracilaria verrucosa
SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIOGAS

DEA FAUZIA LESTARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA

Judul Tesis : Potensi Biomassa dan Karakteristik Makroalga Gracilaria

verrucosa sebagai Sumber Energi Alternatif Biogas
Nama
: Dea Fauzia Lestari
NIM :
C551130021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi
Ketua

Dr Ir Salundik, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan


Dr Ir Neviaty P Zamani, MSc

Tanggal Ujian:
16 Desember 2015

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini adalah
mengenai energi alternatif dari laut, dengan judul Potensi Biomassa dan
Karakteristik Makroalga Gracilaria verrucosa sebagai Sumber Energi Alternatif
Biogas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mujizat Kawaroe MSi dan
Bapak Dr Ir Salundik MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran

dan masukan dalam penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Haris Nasution SPi dan Bapak Agus sebagai pemilik dan pengelola
tambak di Desa Tanara, Banten telah membantu selama pengumpulan data di
lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh
keluarga, sahabat, dan teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Dea Fauzia Lestari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1  PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian





3


2  METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Metode Analisis



4

7

3  HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Biomassa Makroalga
Karakteristik Kandungan Makroalga
Kondisi pH Aklimatisasi dan Degradasi Anaerobik
Nilai COD, TS, VS, dan Kadar Air Substrat
Produksi dan Komposisi Biogas Makroalga
Uji Coba dan Konversi Biogas Makroalga

14 
14 
15 
16 
17 
18
21

4  SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

22 
23 
23 

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Bahan penelitian potensi biogas dari makroalga G. verrucosa
Alat penelitian potensi biogas dari makroalga G. verrucosa
Komposisi kandungan Gracilaria
Nilai Chemical Oxygen Demand, Total Solid, Volatile Solid, dan kadar
air pada substrat selama degradasi anaerobik
5 Konsentrasi gas CH4, CO2, dan H2S pada biogas makroalga sebelum dan
sesudah filtrasi dengan H2S scrubber
6 Volume biogas makroalga dalam pemanfaatan lampu dan kompor
 



15 
18 
20 
22 

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi penelitian biogas makroalga
2 Tahap penelitian biogas makroalga
3 Instalasi fix dome digester dilengkapi dengan flow meter dan H2S
scrubber yang disambungkan pada kompor biogas
4 Konversi sederhana aplikasi biogas makroalga
5 Produksi makroalga di Desa Tanara, Banten
6 Nilai pH saat aklimatisasi substrat makroalga dan kotoran sapi
7 Nilai pH saat produksi biogas
8 Produksi biogas makroalga harian
9 Produksi biogas makroalga kumulatif
10 Kompisisi gas CH4, CO2, dan H2S dalam biogas makroalga
11 Aplikasi biogas makroalga dalam kehidupan sehari-hari: (a) kompor
biogas, (b) lampu biogas




13 
14 
16 
17 
19 
19 
21 
22 

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data produksi bulanan makroalga Gracilaria verrucosa di Desa Tanara,
Banten
2 Data nilai pH harian saat aklimatisasi kotoran sampi dan makroalga
3 Data nilai pH harian saat degradasi anaerobik (produksi biogas)
4 Data volume produksi biogas harian dan kumulatif biogas makroalga
5 Data komposisi gas penyusun biogas makroalga
6 Foto kegiatan penelitian

28
28
29
30
31
31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketergantungan terhadap energi fosil, terutama minyak bumi dalam
pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih tinggi, yaitu sebesar 96% (minyak
bumi 48%, gas 18%, dan batubara 30%) dari total konsumsi energi nasional,
sementara upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan belum
dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan. Total konsumsi energi nasional
dengan memperhitungkan biomassa tradisional diproyeksikan meningkat menjadi
300 juta TOE pada tahun 2025 dan 827 juta TOE pada tahun 2050 atau mengalami
kenaikan rata-rata masing-masing sebesar 4.9% per tahun selama periode 20132025 dan 4.1% per tahun periode 2025-2050. Dalam sepuluh tahun terakhir (20032013), konsumsi energi final di Indonesia mengalami peningkatan dari 79 juta TOE
menjadi 134 juta TOE, atau tumbuh rata-rata sebesar 5.5% per tahun. Sejalan
dengan meningkatnya konsumsi energi tersebut, penyediaan energi primer juga
mengalami kenaikan. Namun, upaya untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam
negeri juga terkendala oleh keterbatasan infrastruktur energi, seperti pembangkit
listrik, kilang minyak, pelabuhan, serta transmisi dan distribusi (Dewan Energi
Nasional 2014).
Tingginya kebutuhan akan energi tersebut mendorong eksplorasi sumber
daya energi terbarukan yang aplikatif dan dapat digunakan langsung oleh
masyarakat. Bioenergi menjadi sumber yang paling signifikan diminati dan
menawarkan nilai ekonomi dalam skala besar (Romagnoli et al. 2010, Hughes et al.
2012). Bioenergi berbasis biomassa telah banyak diteliti demi terpenuhinya
kebutuhan energi yang semakin meningkat salah satunya makroalga yang dapat
menghasilkan bahan bakar dan bahan kimia (Kawaroe et al. 2012, Wei et al. 2013).
Makroalga memiliki banyak keuntungan dalam aplikasi energi terbarukan
karena efisien dalam mengonversi foton menjadi biomassa melalui asimilasi yang
memanfaatkan sinar matahari, karbon dioksida, dan bahan anorganik (Aresta et al.
2005, Subadhra & Edward 2010). Tingkat fiksasi karbon dioksidanya yang lebih
tinggi dari biomassa terestrial dan memungkinkan untuk merestorasi karbon yang
lebih besar (Gao & McKinley 1994, Jeong & Park 2009, Kawaroe et al. 2012).
Selain itu, hasil produksi makroalga per satuan luas secara signifikan lebih tinggi
daripada biomassa terestrial (Gao & McKinley 1994, Aresta et al. 2005).
Kandungan lignin makroalga lebih rendah daripada kandungan yang dimiliki
sebagian besar tanaman darat (Briand & Morand 1997, Bruhn et al. 2011, John et
al. 2011) sehingga lebih mudah untuk dipolimerisasi dan dihidrolisis (Wargacki et
al. 2012, Horn et al. 2000).
Makroalga dapat dikembangkan menjadi sumber biomassa secara
berkelanjutan untuk menghadapi persaingan dengan tanaman pangan (John et al.
2011). Namun kini pun dengan kebutuhan akan bahan baku makroalga spesies
tertentu seperti Gracilaria sp. dan Euchema cottonii dalam industri menurunkan
efektifitas penggunaan biomassanya dalam kegiatan pengembangan energi
alternatif sehingga biomassa yang dapat digunakan adalah bahan yang tidak layak
untuk industri (rejected) atau mennggunakan spesies lain yang belum menjadi
ekonomis tisnggi. Makroalga dapat dikonversi menjadi biofuel dengan berbagai

2
proses termasuk proses pemanasan (Zhou et al. 2010) dan fermentasi (Goh & Lee
2010, Adams et al. 2009). Metode yang dapat langsung digunakan untuk
memperoleh bioenergi dari biomassa yaitu degradasi anaerobik atau
memfermentasi makroalga menjadi biogas dengan bantuan bakteri dari kotoran sapi.
Degradasi anaerobik terjadi akibat kegiatan bakteri pada substrat untuk
menghasilkan gas metana. Organisme yang berasal dari rumen seperti bakteri,
protozoa, jamur, dan bakteriofag bertindak sebagai pengurai bahan organik
(Beauchemin et al. 2008). Machado et al. (2014) juga telah menganalisis produksi
biogas dari beberapa spesies makroalga menggunakan campuran bakteri rumen.
Kotoran sapi memiliki tingkat biodegradabilitas anaerobik yang ideal karena
mengandung konsorsium bakteri pendegradasi sebagai inokulum (Sunarso et al.
2010). Bakteri ini memerlukan aklimatisasi untuk beradaptasi di substrat yang
berbeda.
Klein dan Shimon (2013) menjelaskan bahwa proses degradasi anaerobik
menghasilkan beberapa produk gas seperti metana (CH4), karbon dioksida (CO2),
hidrogen sulfida (H2S). Produk gas metana mudah terbakar dan dapat digunakan
sebagai sumber energi terbarukan. Hidrogen sulfida menimbulkan bau yang
merupakan karakteristik dari biogas. Selain itu, gas ini mejadi kontaminan yang
paling bermasalah karena beracun dan korosif bagi sebagian besar peralatan.
Pembakaran H2S menyebabkan emisi sulfur dioksida dan memiliki dampak
berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk
mengurangi efek dari keberadaan gas tersebut salah satunya dengan filtrasi.

Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Serang, Banten merupakan salah satu kawasan budidaya
makroalga untuk keperluan domestik maupun ekspor. Salah satu spesies yang
dibudidayakan adalah Gracilaria verrucosa dari kelas makroalga merah
(Rhodophyceae). Kegiatan budidaya tersebut menghasilkan biomassa makroalga
yang tidak layak pakai (rejected) dan belum ada upaya pemanfaatannya.
Menindak lanjuti penelitian skala laboratorium yang telah dilakukan
sebelumnya mengenai biopotensi beberapa makroalga laut seperti Euchema
cottonii (Kawaroe et al. 2015), Ulva sp., dan Gracilaria sp. (Krisye 2015) sebagai
bahan energi alternative biogas, maka penelitian selanjutnya akan melakukan
aplikasi skala lapang atau skala rumah tangga. Aplikasi yang dilakukan skala
lapang ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku yang ada yaitu spesies
makroalga Gracilaria verrucosa. Produk biogas yang dihasilkan akan diujicobakan
sebagai sumber penerangan lampu dan bahan bakar kompor biogas. Perumusan
masalah yang muncul dari adanya hal-hal di atas diantaranya yaitu:
1. Bagaimana produksi makroalga di tambak Desa Tanara, Banten?
2. Bagaimana karakteristik proksimat substrat G. verrucosa?
3. Bagaimana kondisi pH substrat saat aklimatisasi dan degradasi anaerobik?
4. Bagaimana kondisi Chemical Oxygen Demand (COD), Tota Solid (TS),
Volatile Solid (VS) dan kadar air substrat selama proses degradasi anaerobik
berlangsung?
5. Bagaimana volume biogas dan komposisi gas penyusunnya pada saat
sebelum dan setelah filtrasi dengan H2S scrubber?

3
6. Bagaimana hasil uji coba dan konversi biogas makroalga menjadi energi
alternatif?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Menganalisis produksi biomassa makroalga di Desa Tanara, Banten.
Menganalisis karakteristik kandungan substrat dari G. verrucosa.
Menganalisis kondisi pH substrat saat aklimatisasi dan degradasi anaerobik.
Menganalisis kondisi COD, TS, VS, dan kadar air substrat selama proses
degradasi anaerobik.
5. Menganalisis hasil produksi dan komposisi biogas pada saat sebelum dan
sesudah fitrasi dengan H2S scrubber.
6. Melakukan uji coba biogas makroalga dan menghitung konversi energi gas
menjadi energi alternatif.
1.
2.
3.
4.

Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai potensi makroalga G. verrucosa sebagai sumber biogas
ini dapat diaplikasikan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi alternatif yang
ramah lingkungan dalam skala rumah tangga di kawasan peisisir dan mengukur
seberapa besar potensi biogas yang dihasilkan dari rejected makroalga G. verrucosa.
Selain itu, penelitian ini sebagai upaya meningkatkan nilai sumber daya biomassa
yang tidak dimanfaatkan menjadi suatu produk yang lebih bermanfaat. Sebagai
implikasinya, diharapkan penelitian ini menjadi dasar ilmu pengetahuan dalam
penerapan energi terbarukan yang berasal dari biomassa.
Ruang LingkupPenelitian
Penelitian ini diawali dengan pemilihan lokasi untuk pemasangan fix dome
digester dengan kapasitas 1500 liter di area yang mudah mendapatkan sumber
biomassa makroalga. Kemudian dilakukan analisis substrat makroalga untuk
mengetahui kandungannya sebagai bahan baku biogas. Selanjutnya pencampuran
substrat makroalga dengan kotoran sapi sebagai inokulum penyedia bakteri
anaerobik sampai mencapai kondisi aklimatisasai. Pengukuran kondisi substrat,
produksi biogas, dan komposisi biogas dilakukan berkala sesuai metode yang telah
ditentukan. Biogas yang dihasilkan diujicobakan pada alat lampu dan kompor
biogas untuk mengetahui potensinya dalam skala rumah tangga.

4

2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2014 sampai dengan Mei 2015 di
tambak budidaya Pesisir Desa Tanara, Banten dan Laboratorium Surfactant and
Bioenergy Research Centre (SBRC) Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Lokasi penelitian biogas makroalga
Lokasi tambak ini merupakan wilayah pesisir yang terdapat di daerah serang
Banten. Wilayahnya berdekatan dengan laut dan beberapa wilayah ditumbuhi
mangrove. Sebagian warga bermata pencaharian sebagai petani tambak udang,
bandeng, dan makroalga atau rumput laut. Namun lebih banyak diantaranya
memilih makrolaga karena resiko yang usahanya kecil dan nilai jualnya cukup
ekonomis. Jenis yang dibududayakan adalah monokultur Gracilaria verrucosa.
Selain tambak, terdapat pula gudang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan
sementara hasil panen. Waktu tempuh ke lokasi tersebut sekitar 1 jam perjalanan
dari Kota Serang.
Alat dan Bahan
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel
1 dan 2 sebagai berikut.
Tabel 1 Bahan penelitian potensi biogas dari makroalga G. verrucosa
Alat
Keterangan
G. verrucosa (rejected)
50 kg biomassa basah
Kotoran sapi
200 L
Air tawar
±2500 L

5
Tabel 2 Alat penelitian potensi biogas dari makroalga G. verrucosa
Alat
Keterangan
Digester 1500 Liter
Bahan fiber
H2S scrubber
t = 1.5 m, d = 20 cm
Itron ACD G1.6
Gas flow meter
Gas kolektor
Bahan plastik, V= 1 L
Kompor dan lampu uji
Khusus biogas
Pengaduk
t=2m
pH meter
HANNA instrument
Refraktometer
ATAGO S/Mill-E
Gas kromatografi
Shimadzu GC-14A, Dilengkapi
FID dan TCD
Spektrofotometer
λ = 670 nm
Prosedur Penelitian
Penelitian dimulai dengan studi lokasi kemudian pemasangan alat digester,
pengumpulan biomassa, persiapan inokulum, degradasi anaerobik, analisi gas,
pengukuran parameter lingkungan, dan uji coba biogas. Gambar 2 menunjukan
tahapan penelitian biogas yang dilakukan.
Studi lokasi

Pemasangan/instalasi
alat digester
Pengumpulan
substrat makroalga
Persiapan inokulum
(kotoran sapi) +makroalga)

Aklimatisasi
substrat

Perendaman
makroalga
Pengukuran pH
substrat

Degradasi anaerobik
(sistem batch)

Analisis kandungan gas

Parameter lingkungan

Uji coba alat biogas

Potensi biogas
Gambar 2 Tahapan penelitian biogas makroalga

6
Studi Lokasi
Studi lokasi dilakukan untuk mengetahui keadaan lapang dan kesesuaian
tempat yang membutuhkan aplikasi biogas. Selain itu, studi ini bertujuan untuk
memastikan ketersediaan bahan baku (makroalga) dan kualitas lingkungan. Selain
itu, kegiatan wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tambahan
mengenai potensi dan produksi makroalga di Desa Tanara, Banten.
Beberapa data yang didapat dari hasil wawancara adalah jumlah produksi
makroalga G. verrucosa basah dan kering di tambak seluas ±12 Ha. Data ini dapat
digunakan untuk melihat potensi dan penurunan kadar air dalam biomassa
makroalga. Jumlah panen dilihat setiap bulan sehingga dapat diketahui bagaimana
trend dari produksinya dalam setahun.
Salah satu yang menjadi pertimbangan lain adalah adanya sumber air tawar
yang bisa digunakan untuk menjadi campuran substrat biogas dalam digester.
Selain itu air tersebut digunakan untuk pencucian makroalga yang berasal dari
tambak. Sungai yang berada di sekitar tambak menjadi salah satu pendukung untuk
pengembangan pemanfaatan makroalga sebagai sumber energi dari biomasa
Pemasangan Digester
Digester dengan kapasitas 1500 L terbuat dari fiber dilengkapi dengan dua
bak sebagai input dan output substrat lumpur. Dua kran atau katup terdapat pada
digester untuk mengalirkan biogas, satu terhubung dengan flowmeter dan H2S
scrubber, lainnya dibiarkan tertutup sebagai tempat pengambilan sampel gas
sebelum melewati filter. Flowmeter berfungsi untuk mengukur jumlah produksi gas
dengan laju aliran Qmax = 3 m3.jam-1; Qmin = 0.16 m3.jam-1. Scrubber yang
digunakan merupakan filter biologi, mengandung mikroba pengurai H2S dan
dikultur pada media sabut kelapa atau sawit (Suwardin et al. 2007). Selain itu, filter
dilengkapi dengan butiran kelereng yang berfungsi sebagai pemecah gas agar
terdistribusi merata ke segala arah. Setelah melewati H2S scrubber, biogas
diujicobakan untuk menyalakan lampu dan kompor biogas.

Gambar 3 Instalasi fix dome digester dilengkapi dengan flow meter dan H2S
scrubber yang disambungkan pada kompor biogas

7
Persiapan Substrat
Tahap pertama mencuci substrat G. verrucosa (rejected) yang diambil dari
tambak untuk menghilangkan pasir dan lumpur kemudian dikeringkan untuk
mengurangi kandungan garam dalam biomassa (Bruhn et al. 2011). Makroalga
sebanyak 25 kg siap untuk dicampur dengan kotoran sapi, namun sebelumnya
direndam dalam air tawar selama 2 jam untuk mengurangi kadar garam dan lumpur
yang menempel. Setelah itu ditambahkan air yang baru hingga volume menjadi 500
L. Sebanyak 100 gram diambil untuk diuji karakteristiknya.
Degradasi Anaerobik
Degradasi anaerobik dilakukan meggunakan sistem batch yaitu memasukan
substrat sekaligus pada awal proses dengan kondisi mesopilik yaitu pada suhu 2045 °C. Substrat terlebih dahulu diaklimatisasi agar bakteri pengurai pada kotoran
sapi dapat beradaptasi dengan makroalga sampai inokulum siap untuk diproses.
Komponen campuran terdiri dari 800 L air, 100 L kotoran sapi (kondisi basah), dan
makroalga. Makroalga dimasukan secara bertahap yaitu 2% (24 L) dari kapasitas
substrat setiap 4 hari dan dikeluarkan dengan jumlah yang sama. Pada metode batch
ini digester tidak diisi penuh karena menyediakan ruang untuk hasil produksi gas
serta harus dilakukan pengadukan agar proses degradasi berjalan dengan baik
(Briand & Morand 1997, Gregor & Grilc 2012). Pemasukan substrat sebanyak 2%
dihentikan setelah gas muncul dan atau pH stabil, setelah itu dilanjutkan pemasukan
makroalga sekaligus sebanyak 300 L.
Kelebihan sistem batch ini adalah memiliki resiko kecil dari kontaminasi
luar dan jangka waktunya yang mudah untuk menentukan siklus degradasi
anaerobik. Namun kekurangannya adalah adanya penurunan produksi gas dari
waktu ke waktu karena ketersediaan substrat pada digester berkurang sebagai
konsekuensi dari proses degradasi yang dilakukan oleh bakteri anaerobik.
Pengamatan lapang dilakukan selama 31 hari sebanyak dua ulangan. Suhu dan pH
tidak terkontrol, tergantung pada kondisi lingkungan.
Metode Analisis
Produksi Biomassa Makroalga
Data produksi didapat dari hasil wawancara dan data primer berupa bobot
basah sebelum dilakukan penjemuran dan bobot kering setelah dilakukan
penjemuran sehingga dapat dilakukan perhitungan penurunan kadar air setelah
melakukan dilakukam pengeringan.
% penurunan kadar air =
Keterangan:

   

x 100%

W = bobot basah (ton)
W1 = bobot kering (ton)

Karakteristik Kandungan Makroalga
Karakteristik kandungan atau proksimat yang terdiri dari kadar air, kadar abu,
karbohidrat, protein, lemak, dan kadar serat yang dianalisis berdasarkan SNI 012891-1992.

8
1. Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Pertama, mengeringkan cawan porselen di dalam oven pada suhu 105 °C
selama 1 jam. Setelah itu, memasukan cawan tersebut ke dalam desikator selama
10 menit kemudian ditimbang. Memasukan dan menimbang sampel seberat 1-2
gram ke dalam cawan kemudian dioven pada suhu 105 °C selama 3-4 jam sampai
beratnya stabil. Selanjutnya, memasukan kembali cawan ke dalam desikator selama
10 menit kemudian ditimbang. Menghitung kadar air menggunakan rumus:
x 100%

Kadar air (%) =
Keterangan :

W = bobot sampel sebelum dikeringkan (gram)
W1 = kehilangan bobot setelah dikeringkan (gram)

2. Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Mengeringkan cawan porselen di dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam,
kemudian memasukannya ke dalam desikator selama 10 menit dan menimbangnya.
Setelah itu, menimbang sampel seberat 2-3 gram dan membakarnya di atas
penangas air sampai kering. Setelah itu memasukan cawan tersebut ke dalam tanur
untuk pengabuan dengan suhu 550 °C sampai pengabuan sempurna. Selanjutnya
memasukan cawan ke dalam desikator selama 10 menit dan menimbangnya.
Menghitung kadar abu menggunakan rumus:
Kadar abu (%) =
Keterangan :

x 100%

W = bobot sampel sebelum diabukan (gram)
W1 = bobot cawan dan sampel sesudah diabukan (gram)
W2 = bobot cawan kosong (gram)

3. Kadar Karbohidrat (SNI 01-2891-1992)
Memasukan sampel sebanyak 5 gram ke dalam labu erlemeyer 500 ml dan
menambahkan larutan HCL 3% sebanyak 200 ml kemudian mendidihkannya
selama 3 jam dengan pendingin tegak. Selanjutnya menetralkan larutan yang sudah
dididihkan dengan larutan NaOH 30% dan CH3COOH 3% kemudian
memindahkannya pada labu 500 ml dengan menyaring terlebih dahulu 10 ml
larutan dan menambahkan 25 ml Luff serta 15 ml air suling. Setelah itu,
mendidihkan larutan campuran tersebut selama 10 menit lalu mendinginkannya
menggunakan air es, lalu menambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml larutan
H2SO4 25% perlahan-lahan. Menitrasi larutan tersebut dengan Tiosulfat 0.1 N dan
menggunakan larutan kanji 0.5% sebagai indikator. Kemudian melakukan hal yang
sama pada larutan blanko. Menghitung kadar karbohidrat menggunakan rumus:
Kadar karbohidrat (%) =
Keterangan :

   

Karbohidrat
W1
W
Fp

x 100%
= 0.9 x kadar glukosa
= bobot sampel (gram)
= glukosa yang terkandung untuk ml tiosulfat
yang digunakan (mg) dilihat dari tabel
= faktor pengenceran

9
4. Kadar Protein (SNI 01-2891-1992)
Mencampur 0.51 gram sampel dengan 2 gram selen dan l25 ml arutan H2SO4
pekat kemudian memanaskannya di atas penangas sampai larutan mendidih dan
menjadi bening kehijau-hijauan (2 jam). Membiarkan larutan menjadi dingin dan
mengencerkannya menjadi 100 ml pada labu ukur sampai garis tera. Memipet 5 ml
larutan tersebut dan memasukannya ke dalam alat penyuling, kemudian
menambahkan 5 ml larutan NaOH 30% dan dan beberapa tetes indikator PP.
Menyuling campuran tersebut selama 10 menit serta menggunakan 10 ml larutan
asam borat 2% yang telah dicampur indikator sebagai penampung. Kemudian
membilas ujung pendingin dengan air suling dan menitrasi dengan larutan HCl 0.01
N, selanjutnya melakukan hal yang sama pada larutan blanko. Menghitung kadar
protein menggunakan rumus:
Kadar protein (%) =

      .

         

x 100%

Keterangan : W = bobot sampel (gram)
V1 = volume HCL 0.001 N yang digunakan untuk titrasi sampel
V2 = volume HCL 0.001 N yang digunakan untuk titrasi balnko
N = normalitas HCl
fk = faktor konversi untuk protein dari sampel secara umum
fp = faktor penegnceran
5. Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)
Memasukan sampel sebanyak 1-2 gram ke dalam selongsong kertas yang
dialasi dengan kapas. Mengeringkan terlebih dahulu sampel selama satu jam pada
suhu 80 °C dan memasukannya ke dalam alat soxhlet yang telah terhubung labu
lemak dan bobotnya telah diketahui. Selanjutnya melarutkannya dengan pelarut
heksana atau pelarut lemak lain selama 6 jam. Memisahkan larutan heksana dan
mengeringkan ekstrak lemak dalam oven pada suhu 105 °C. Kemudian menimbang
bobot lemak yang dihasilkan pada labu. Menghitung kadar lemak menggunakan
rumus:
Kadar lemak (%) =
Keterangan :

x 100%

W = bobot sampel (gram)
W1 = bobot labu sebelum ekstraksi (gram)
W2 = bobot labu setelah ekstraksi kososng (gram)

6. Kadar Serat (SNI 01-2891-1992)
Membebaskan lemak dari 2-4 gram sampel dengan cara ekstraksi
menggunakan soxhlet atau mengaduknya dengan pelarut organik sebanyak 3 kali.
Kemudian mengeringkan dan memasukannya ke dalam erlemeyer 500 ml.
Menambahkan 50 ml H2SO4 1.25% dan mendidihkan sampel selama 30 menit
menggunakan pendingin tegak, lalu menambahkan 50 ml larutan NaOH sebanyak
3.25% dan mendidihkannya lagi selama 30 menit. Menyaring sampel dengan
corong bucher yang berisi kertas saring tak berbau whatman 54.41 atau 541 yang
telah dikeringkan dan diketahui bobotnya saat sampel dalam keadaan panas.
Kemudian mencuci endapan yang terdapat pada kertas saring berturut-turut dengan

10
H2SO4 1.25%, air panas, dan etanol 96%. Mengangkat kertas saring beserta isinya
kemudian menimbang dan mengeringkannya pada suhu 105 °C sebelum ditimbang
kembali. Jika kasar serat lebih besar dari pada 1% maka mengabukan kertas saring
beserta isinya sampai bobot tetap. Menghitung kadar serat menggunakan rumus:
a) Bila serat kasar ≤ 1%
Kadar serat (%) =

x 100%

b) Bila serat kasar ≥ 1%
Kadar serat (%) =

x 100%

Keterangan : W = bobot sampel (gram)
W1 = bobot abu (gram)
W2 = bobot endapan pada kertas saring (gram)
Kondisi pH Aklimatisasi dan Degradasi Anaerobik
Nilai pH substrat pada digester diukur setiap hari menggunakan pH meter.
Kondisi pH aklimatisasi diukur saat pemasukan awal inokulum dan substrat
makroalga secara bertahap untuk mengetahui kapan siklus batch bisa dilakukan.
Setelah pH stabil dan biogas keluar dari digester baru dilakukan pemasukan substrat
sekaligus dan diukur pH nya setiap hari sampai dengan akhir pengamatan.
Nilai COD, TS, VS, dan Kadar Air Substrat
Nilai Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS), Volatile Solid
(VS), dan kadar air dianalisis setiap pada hari ke-5, 15, dan 25 untuk mengetahui
kondisi substrat makroalga selama degradasi anaerobik. Hari tersebut dipilih untuk
mewakili waktu awal, pertengahan, dan akhir dari satu siklus batch. Nilai COD,
TS, VS, dan kadar awal dan akhir berguna untuk menentukan potensi substrat
sebagai sumber energi biogas. Nilai COD, TS, dan VS di analisis berdasarkan
APHA 1998, sedangkan kadar air berdasarkan SNI 01-2891-1992.
1. Chemical Oxygen Demand (COD) (APHA 1998)
Memasukan sampel sebayak 30 ml ke dalam erlenmeyer dan menambahkan
5 ml K2Cr2O7 0,025 N, kemudian mendiamkannya selama 1 menit. Menambahkan
7.5 ml asam sulfat pekat lalu mendiamkannya selama 30 menit. Meneteskan 2 tetes
indikator ferroin dan mentitrasinya dengan FAS 0.025 N hingga terjadi perubahan
warna dari biru kehijauan menjadi merah kecoklatan. Kemudian mencatat volume
yang digunakan (B). Dengan melakukan prosedur yang sama, melakukan titrasi
terhadap blanko air suling sebanyak 20 ml dengan menggunkan 0.025 FAS (A).
Menghitung nilai COD dengan persamaan:
COD (mg O2.L-1) =
Keterangan:

 

A
= ml titrasi blanko
B
= ml titrasi sampel
M
= Molaritas (0.025)
8000 = miliequivalent berat oksigen x 1000 ml.L-1

11
2. Total Solid (TS) (APHA 1998)
Mengeringkan cawan porselen dalam oven dengan suhu 105 °C selama 1 jam
dan memasukannya ke dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang.
Sampel sebanyak 3 ml dimasukkan ke dalam cawan porselen kemudian
memanaskannya dengan suhu 105 °C selama 2-3 jam. Memasukan cawan ke dalam
desikator selama 10 menit dan menimbangnya. Menghitung TS menggunakan
rumus:
Total Solid (mg.L-1)
Keterangan:

 

 

A = bobot akhir setelah dikeringkan (mg)
B = bobot cawan kosong (mg)

3. Volatile Solid (VS) (APHA 1998)
Analisis VS merupakan lanjutan dari analisis TS. Sampel yang telah diukur
kadar TS-nya kemudian dimasukkan ke dalam tanur untuk diabukan dengan suhu
600 °C selama 3 jam. Setelah itu, memasukan cawan tersebut ke dalam desikator
selama 10 menit kemudian ditimbang. Menghitung TS menggunakan rumus:
Volatile Solid (mg.L-1) =
Keterangan:

 

 

A = bobot akhir setelah diabukan (mg)
B = bobot cawan kosong (mg)

Produksi dan Komposisi Biogas Makroalga
Produksi biogas harian diukur menggunakan flowmeter dengan melihat
selisih jumlah gas hari ini dan sebelumnya. Selain itu, produksi biogas kumulatif
merupakan jumlah total gas yang dihasilkan selama proses degradasi anaerobik.
Produk biogas dari kran sebelum dan sesudah filtrasi dikumpulkan pada kantong
sampel gas. Selama 10-15 detik kran dibuka sebelum dihubungkan langsung pada
kantong plastik untuk memastikan sampel merepresentasikan gas dalam digester
(Yen & Brune 2007).
Komposisi biogas ditentukan dengan alat gas kromatografi (GC) dilengkapi
dengan Flame Ionization Detector (FID) untuk CH4 dan Thermal Conductivity
Detector (TCD) untuk CO2. Kotak penangkap metana dan CO2 memiliki ukuran
40x40x60 cm dan 40x20x15 cm. Sebanyak 0.5 ml sampel gas diinjeksikan ke dalam
alat kromatografi pada suhu kolom 45°C dengan menggunakan helium sebagai gas
pembawa.
Sensor FID terdiri dari hidrogen atau air flame dan collector plate, sampel
yang keluar dari kolom dilewatkan ke flame yang menguraikan molekul organik
dan menghasilkan ion-ion. Ion-ion tersebut dihimpun pada biased electrode
(collector plate) dan menghasilkan sinyal elektrik. Sinyal elektrik tersebut
diinterpretasikan ke dalam bentuk peak. Analisis sampel gas CH4 menggunakan
Gas Kromatografi.
Sensor TCD terdiri dari electrically-heated wire atau thermistor. Temperatur
sensing element bergantung pada thermal conductivity dari gas yang mengalir di

12
sekitarnya. Perubahan thermal conductivity seperti ketika adanya molekul organik
dalam sampel yang dibawa carrier gas menyebabkan kenaikan temperatur pada
sensing element yang diukur sebagai perubahan resistensi. Analisis sampel gas CO2
menggunakan Gas Kromatografi.
Hidrogen sulfida dianalisis dengan metode metilen biru (SNI-7.117.7-2005).
Volume contoh uji gas yang diambil, dikoreksi pada kondisi normal (25 0C, 760
mm Hg) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Vs = V x

x

Keterangan: Vs
Pa
Pm
Pv
T
298
273
760

 

 

= volume contoh uji gas yang terambil dalam
kondisi normal (L)
= tekanan udara atmosfer (mm Hg)
= tekanan dibaca pada gas meter (mm Hg)
= tekanan uap air jenuh pada temperatur, t °C (mm
Hg) lihat tabel tekanan uap air jenuh
= temperatur gas dibaca pada gas meter (°C)
= konversi temperatur pada kondisi normal (25 °C)
ke dalam Kelvin
= konversi temperatur pada kondisi normal (0 °C) ke
dalam Kelvin
= tekanan udara standar (mmHg)

Konsentrasi H2S dalam contoh uji dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

C=

   

Keterangan:

C
a
200
20
Vs

= konsentrasi H2S dalam emisi gas (ppm atau µl.L-1)
= jumlah H2S dari contoh uji (µl)
= volume contoh uji yang diencerkan dalam labu
ukur 200 ml
= volume contoh uji yang dipipet
= volume contoh gas uji dalam kondisi normal pada
25 °C, 760 mmHg (L)

Uji Coba dan Konversi Biogas Makroalga
Uji coba gas dilakukan dengan melewatkan biogas pada instalasi selang
yang diatur menggunakan kran. Selang biogas disambungkan pada kompor dan
lampu. Kompor uji merupakan kompor 1 tungku yang khusus digunakan untuk
biogas. Besar kecilnya api dapat diatur menggunakan tombol seperti pada kompor
LPG yang biasa. Biogas memiliki tekanan rendah sehingga sifatnya tidak terlalu
explosive. Saat menyalakan kompor ini tidak dapat langsung mengeluarkan api
namun harus dibantu dengan pematik agar api bisa keluar dari biogas.
Lampu biogas serupa dengan lampu petromaks yang nyalanya bisa diatur
berdasarkan besar kecilnya gas yang mengalir pada lampu dan juga sama halnya

13
dengan kompor biogas membutuhkan pematik untuk bisa menyala. Perawatan yang
dilakukan untuk menjaga lampu agar tetap bisa menyala salah satunya adalah
dengan mengganti kaos lampu petromaks. Kaos lampu ini dapat berpijar pada suhu
yang tinggi sehingga menerangi ruangan di sekitarnya. Berikut adalah mekanisme
konversi menggunakan lampu dan kompor uji.
Kompor (L.min-1)
Biomassa
makroalga
(kg)

Volume Gas
(L)

Lampu pijar (L.min-1)
Gambar 4 Konversi sederhana aplikasi biogas
Konversi dilihat dari total gas yang diperlukan untuk menyalakan lampu dan
kompor biogas setiap menitnya. Jumlah gas yang digunakan terukur pada flow
meter. Uji coba juga dilakukan dengan mendidihkan air tawar sebanyak 1 liter
menggunakan kompor biogas. Pengujian dilakukan berulang untuk menghasilkan
data pengukuran yang akurat. Beberapa langkah tersebut dilakukan untuk
mengetahui volume yang dibutuhkan (L) dalam penggunaan alat-alat di atas.
Konversi biomassa menjadi biogas dihitung dengan mengalkulasikan jumlah
biogas yang diproduksi (L) atau volume kumulatif dibagi dengan jumlah hari yang
dilakukan dalam pengamatan. Selain itu, untuk melihat potensi per satuan biomassa
konversi dilakukan dengan menjumlahkan volume kumulatif biogas dibagi dengan
biomassa substrat yang digunakan (kg).
Produksi per biomassa (L.kg-1) =
Keterangan:

V = volume kumulatif biogas (L)
m = bobot bahan makroalga (mg)

Produksi per hari (L.hari-1) =
Keterangan:

V = volume kumulatif biogas (L)
t = lama waktu siklus batch (hari)

14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Biomassa Makroalga
Produksi makroalga dapat diketahui dari hasil panen yang dilakukan
ditambak. Hasilnya berupa biomassa basah yang kemudian dikeringkan selama
beberapa hari tergantung dengan intensitas penyinaran matahari. Pengeringan
dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga memudahkan dalam distribusi dan
menjaga kualitas biomassa makroalga tersebut. Diagram di bawah menunjukan
produksi bulanan makroalga pada lahan ±120 Ha tambak di Desa Tanara, Banten.

Produksi biomassa (Ton)

70
60
50
40
30
20
10
0

Basah

Kering

Gambar 5 Produksi makroalga di Desa Tanara, Banten
Penurunan kadar air rata-rata setelah proses pengeringan sebesar 56.64%.
Nilai ini berasal dari selisih bobot basah dan kering dari makroalga hasil panen
(Lampiran 1). Jumlah produksi makroalga basah paling tinggi terdapat pada bulan
September 2014 sebesar 64.5 ton, sedangkan yang paling rendah terdapat pada
bulan Desember 2014 sebesar 5.8 ton (Lampiran 2). Hasil panen disortir
berdasarkan kualitas morfologinya seperi warna, ukuran, dan tingkat kebersihan
talus dari lumpur atau pasir. Kualitas yang tidak layak jual biasanya ditumpuk di
pinggir tambak sampai membusuk atau dikumpulkan di gudang dan dijual dengan
harga yang semurah-murahnya.
Musim penghujan khususnya bulan November-Februari, petani memilih
untuk mengurangi kegiatan budidaya karena air hujan akan menurunkan kualitas
dan kuantitas makroalga. Selain itu, dengan rendahnya penyinaran menghambat
proses pengeringan sehingga makroalga menjadi busuk dan berjamur. Sehingga
dapat dilihat pada diagram jumlah produksi pada bulan-bulan tersebut lebih rendah.
Hal serupa terjadi pada kegiatan budidaya makroalga Euchema cottonii di Nusa
Tenggara Timur dan Tanzania, dimana selama musim hujan aliran air tawar
meningkat signifikan dan mengakibatkan makroalga yang ditanam di dasar (bottom
off) menjadi mati (Radiarta et al. 2013, Msuya et al. 2007).

15
Menurut Radiarta et al. 2013 musim tanam produktif umumnya terjadi pada
bulan di mana curah hujan rendah (musim kemarau) dan suhu udara juga rendah
(24-27°C). Pada musim panas atau bulan-bulan sebelum November petani merasa
diuntungkan dengan penyinaran yang baik sehingga pertumbuhan makroalga
sangant baik dan juga memudahkan dalam proses pengeringannya yang secara
langsung dilakukan di pinggir-pinggir tambak.
Karakteristik Kandungan Makroalga
Gracilaria sp. merupakan genus makroalga yang dapat dimakan, tergolong
pada kelas alga merah (Rhodophyta) (Norziah & Ching 2000, Dawczynski et al.
2007) dan memiliki kandungan gizi yang baik bagi tubuh. Makroalga segar
dikonsumsi oleh masyarakat luas terutama oleh orang-orang yang tinggal di daerah
pesisir. Dalam beberapa tahun terakhir makroalga semakin diminati dalam
eksplorasi bidang farmasi bahkan telah terbukti menjadi sumber utama senyawa
bioaktif dan biomaterial alami (Francavilla et al. 2013). Namun beberapa negara
membudidayakan makroalga untuk produksi biogas (Hughes et al. 2012). Setiap
spesies memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda. Tabel 3 menunjukkan
hasil uji proksimat dari beberapa spesies Gracilaria.
Tabel 3 Komposisi kandungan Gracilaria
Komposisi Gracilaria
Gracilaria
(%)
crassa(a)
salicornia(b)
Kadar air
15.63
Protein
5.18
11.21
Karbohidrat
42.00
24.47
Lemak
1.30
0.35
Serat
30.94
Kadar abu
43.18
17.37

Gracilaria Gracilaria Rejected
sp.(c)
verrucosa(d) sampel(e)
9.38
11.60
16.65
6.59
25.35
9.33
41.64
43.10
21.46
0.68
1.05
0.41
8.92
7.50
11.84
32.76
15.30
40.31

(a)Baghel et al. 2014; (b)Kawaroe et al. 2013; (c)Yunizal 2004; (d)Anggadiredja et al. 2006;
(e)Penelitian ini

Substrat G. verrucosa (rejected) merupakan makroalga yang tidak
dimanfaatkan karena ditolak dari industri. Makroalga ini memiliki kualitas rendah
dilihat dari penampilan morfologi seperti warna yang pucat, ukuran yang lebih
kecil, talus yang kurang segar, serta sisa lumpur atau pasir yang masih banyak
menepel. Analisis proksimat menunjukkan bahwa rejected sampel memiliki
kandungan karbohidrat yang lebih rendah daripada beberapa spesies lainnya.
Selisih kandungan karbohidrat dengan G. verrucosa kualitas baik mencapai 1822%. Kadar abu pada rejected sampel mencapai 40.31% dan nilainya paling besar
diantara nilai kandungan proksimat yang lainnya. Kadar abu ini menunjukan nilai
mineral yang berguna sebagai suplemen bagi tubuh (Baghel et al. 2014), namun
perlu dianalisis jenis mineralnya.
Kandungan dan kualitas polisakarida termasuk karbohidrat dalam biomassa
menentukan jumlah dan kekuatan gel yang terkandung di dalamnya (Duckworth et
al. 1971). Semua senyawa organik pada substrat menjadi sumber biogas.
Komponen karbohidrat memiliki korelasi posistif dengan jumlah produksi metana.
Selain itu, konten agar pada Gracilaria sp. mudah terurai dalam degradasi
anaerobik (Bird et al. 1990).

16
Kotoran sapi dipilih sebagai campuran makroalga karena mengandung
banyak bakteri pendegradasi sebagai pengurai bahan organik. Beberapa penelitian
menggunakan kotoran sapi sebagai campuran substrat makroalga (Hansson 1983,
Briand & Morand 1997, Bruhn et al. 2011, Machado et al. 2014), limbah pertanian
(Meggyes 2012), limbah makanan (Ni'mah 2014, Somashekar et al. 2014) untuk
menghasilkan biogas.
Kondisi pH Aklimatisasi dan Degradasi Anaerobik
Substrat memerlukan aklimatisasi untuk meningkatkan produksi metana
dalam proses degradasi anaerobik. Hal ini bertujuan untuk memecah struktur
organik kompleks menjadi molekul sederhana yang agar mudah terdegradasi oleh
mikroba. Selain itu untuk mengadaptasikan inokulum bakteri tersebut pada substrat
yang baru. Ada beberapa cara yang dilakukan dalam aklimatisasi seperti
penyesuaian suhu, penambahan asam, penambahan nutrien, ataupun pemasukan
substrat secara bertahap. Pada penelitian ini dilakukan aklimatisasi dengan
pemasukan substrat secara bertahap agar keadaan pH dalam digester stabil dan
bakteri dari kotoran sapi dapat tumbuh baik dalam substrat makroalga.
Keasaman atau pH merupakan parameter penting yang memengaruhi
pertumbuhan mikroba selama degradasi anaerobik. Kondisi pH pada digester harus
dijaga dalam kisaran yang diinginkan dari 6.8-7.2 atau pH netral dengan masukan
substrat yang optimum (Yadvika et al. 2004). Dalam penelitian ini nilai pH lebih
dari 7 karena bahan substrat merupakan campuran kotoran sapi dan makroalga
rejected dari tambak masih mengandung kadar garam walaupun sudah mengalami
pencucian, sehingga pH-nya lebih dari. Gambar 6 menunjukkan nilai pH selama
proses aklimatisasi.
8.5

pH aklimatisasi

8
7.5
7
6.5
6
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Hari
ulangan 1

ulangan 2

Gambar 6 Nilai pH saat aklimatisasi substrat makroalga dan kotoran sapi
Selama proses aklimatisasi rentang pH berkisar antara 7.0-8.3 (Lampiran 2).
Nilai ini berfluktuasi karena dilakukan penambahan makroalga setiap 4 hari ke
dalam digester yang telah diisi kotoran sapi dan air. Kecenderungan nilai pH naik
setelah penambahan substrat makroalga. Proses loading makroalga (2%) dihentikan
ketika digester menghasilkan gas dan atau nilai pH stabil.

17
Produksi biogas dan efisiensi degradasi susbstrat lebih tinggi pada nilai pH
7 dibandingkan dengan nilai pH lainnya (Ghaly et al. 2000, Mahajoeno et al. 2008,
Astuti et al. 2013). Nilai pH selama produksi biogas berkisar antara 7.2-8.4
(Lampiran 3). Nilai pH optimum dalam proses anaerobik makroalga berkisar antara
7.0-7.2 (Nagamani & Ramasamy et al. 1999) dan 7.0-7.7 (Hansson 1983) untuk
meningkatkan hasil biogas, sementara pH rendah (