Uji efek penurunan glukosa darah ekstrak etanol ganggang (Gracilaria verrucosa) dan (Kappaphycus alvarezii) dengan metode toleransi glukosa oral dan metode induksi aloksan

(1)

i

DENGAN METODE TOLERANSI GLUKOSA ORAL DAN METODE INDUKSI ALOKSAN TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Far)

Oleh

Putri Tsaniah Amalia

NIM: 107102001646

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIFHIDAYATULLAH

JAKARTA

2012


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Judul : Uji efek penurunan glukosa darah ekstrak etanol ganggang (Gracilaria verrucosa) dan (Kappaphycus alvarezii) dengan metode toleransi glukosa oral dan metode induksi aloksan.

Telah diuji aktivitas penurunan glukosa darah dari ekstrak etanol Gracilaria verrucosa dan ekstrak etanol Kappaphycus alvarezii dengan metode toleransi glukosa oral dan metode induksi aloksan pada tikus putih jantan. Pada metode toleransi glukosa oral menunjukkan penurunan kadar glukosa darah pada menit ke-60 hingga menit ke-180. Persentase penurunan yang besar terjadi pada kelompok dosis 600 mg/kg bb ekstrak Gracilaria verrucosa dengan persentase penurunan secara berturut-turut, yaitu 36,47 %, 48,52 %, 51,17 %, 47,95 %, dan 60,16 % dan dosis 600 mg/kg bb ekstrak Kappaphyucus alvarezii dengan persentase 9,69 %, 25,15 %, 35,05 %, 46,78 %, dan 49,85 %. Pada uji ANOVA kelompok dosis rendah dan dosis sedang Gracilaria verrucosa pada menit ke-60 tidak berbeda secara bermakna dengan kontrol normal dan kontrol positif. Pada metode induksi aloksan, penurunan glukosa darah mulai terjadi pada hari ke-4. Penurunan yang paling besar dan stabil terjadi pada kelompok dosis 1200 mg/kg bb ekstrak Gracilaria verrucosa dengan persentase penurunan secara berturut, yaitu 53.66%, 48.08%, dan 70.5%.dan dosis 1200 mg/kg bb Kappaphycus alvarezii dengan persentase penurunan 71.84%, 72. 2%, 73.8%.Pada uji ANOVA menunjukkan bahwa kedua ganggang tersebut tidak berbeda secara bermakna dengan kontrol positif dan kontrol normal pada hari ke-15.

Keyword : diabetes, glukosa darah, aloksan, Gracilaria verrucosa, Kappaphycus alvarezii


(6)

vi

verrucosa and Kappaphycus alvarezii by oral glucose tolerance method and alloxan induction method.

Antidiabetic activity of ethanol extracts of Gracilaria verrucosa and Kappaphycus alvarezii had beenexamined by glucose tolerance method on rats and on aloxan-induced diabetic mice. In the oral glucose tolerance method showed the levels of blood glucose are decreased on 60, and 180 minutes after administration of Gracilaria verrucosa extract at a dose of 600 mg/kg bw, blood glucose levels are decreased by 36,47%, 48,52%, 51,17%, 47,95% and 60,16%, while administration of Kappaphycus alvarezii extracts at a dose of 600 mg/kg bw , blood glucose levels are decreased by 9,69%, 25,15%, 35,05%, 46,78%, and 49,85%. The ANOVA test showed that both of extracts aren’t significantly different with positive control and normal control. In alloxan induction method, blood glucose levels are decreased on 4th – 15th day. Blood glucose levels are decreased by 53,66%, 48,08%, and 70,5% at a dose 1200 mg/kg bw of Gracilaria verrucosa and 71.84%, 72. 2%,and 73.8% at a dose of 1200 mg/kg bw Kappaphycus alvarezii. The ANOVA test for this method showed that both of extracts aren’t significantly different with positive control and normal control.

Keywords : antidiabetic, blood glucose, alloxan, Gracilaria verrucosa, Kappaphycus alvarezii,


(7)

vii

Segala puji dan Syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan nikmat, karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut-Nya yang telah membawa umat-Nya dari zaman kegelapan hingga zaman yang kaya akan Ilmu Pengetahuan dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Efek penurunan glukosa darah ekstrak etanol ganggang Gracilaria verrucosa dan Kappaphycus alvarezii dengan metode toleransi glukosa oral dan metode induksi aloksan”.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjuddin, Sp.And selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.

2. DR. Yanis Musdja, M.Sc, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah sekaligus dosen penguji I (pertama) yang telah memberikan masukan, kritik, saran dan motivasi untuk penyusunan skripsi ini dan pelaksanaan penelitian ini.

3. Dr. Azrifitria, M.Si, Aptselaku dosen pembimbing I (pertama) yang telah meluangkan waktu, tenaga dan buah pikirannya untuk mendidik, membimbing dan memotivasi kami.

4. Drs. Ahmad Musir, M.Sc, Aptselaku dosen pembimbing II (kedua) yang telah meluangkan waktu, tenaga dan buah pikirannya untuk mendidik, membimbing dan memotivasi kami.

5. Orang tua saya yakni Bpk H. Tanudji dan Ibu Hj. Hafshoh Kurniawati serta Saudara kandung saya yakni Nissa, Shofa, dan Hanna yang telah memberikan


(8)

viii

6. Teman-teman seperjuangan selama di farmasi yakni Muhardi, Ibel, upi, intan, regi, dimas, bhanu, kaniya, dan fanny.

7. Muhamad Irwan Prima yang selalu memberi semangat dalam penelitian. 8. Teman-teman satu Kelas Farmasi B yang tetap kompak, peduli, setia kawan,

saling dapat merasakan satu sama lain dan teman-teman Farmasi angkatan 2007 yang ikut serta membantu selama penelitian ini.

9. Kak Eris, Kak Rahmadi,S.Si, Kak Niken, S.Si, Kak Novi, S.Si, Kak Yopi Mulyana, S.Far, Kak Tiwi, S.Far dan Kak Lisna Fauzia, S.Far yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk menyediakan tempat (laboratorium), menyiapkan alat-alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan selama penelitian. 10. Dosen-dosen Farmasi dan Staf akademik Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan saran dan dukungannya terhadap penelitian yang kami laksanakan.

11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan seperti pribahasa berikut “Tidak ada gading yang tak retak” Oleh karena itu, penulis menerima saran, masukan dan kritik dari para pembaca untuk memperbaiki kemampuan menulis pada kesemapatan berikutnya.

Jakarta, Maret 2012 Penulis


(9)

ix

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan Skripsi ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

KataPengantar ... vi

Daftar Isi ... vii

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.6. Batasan Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) 2.1.1. Klasifikasi ... 5

2.1.2. Deskripsi ... 5

2.1.3. Kandungan ... 6

2.1.4. Manfaat Tumbuhan ... 6

2.2. Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) 2.2.1. Klasifikasi ... 7

2.2.2. Deskripsi ... 7

2.2.3. Kandungan ... 8

2.2.4. Manfaat Tumbuhan ... 8

2.3. Hewan Uji... 8

2.4. Diabetes Mellitus 2.4.1. Pengertian... 10

2.4.2. Gejala Klinik Diabetes Mellitus... 11


(10)

x

2.5.2. Metode Uji Diabetes Aloksan ... 12

2.6. Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Metode Enzimatik ... 13

2.7. Terapi Obat ... 13

2.8. Acarbose ... 16

2.9. Glibenklamid ... 17

2.10. Na-CMC ... 18

2.11. Aloksan ... 19

2.12. Simplisia ... 21

2.12.1. Pengelolaan simplisia ... 22

2.13. Ekstraksi ... 25

2.13.1. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut ... 26

2.13.1.1. Cara dingin ... 26

2.13.1.2. Cara panas ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan waktu penelitian ... 28

3.2. Determinasi tanaman ... 28

3.3. Pengambilan simplisia ... 28

3.4. Bahan dan alat ... 28

3.5. Pola penelitian ... 29

3.6. Pembuatan ekstrak Gracilaria verrucosa danEucheuma alvarezii 3.6.1. Persiapan rumput laut Gracilaria verrucosadan Kappaphycus alvarezii ... 29

3.6.2. Ekstraksi ... 30

3.6.3. Penapisan fitokimia ... 30

3.6.4.Pengujian parameter non spesifik ekstrak ... 33

3.6.5. Penghitungan rendemen ... 34

3.7. Rancangan percobaan ... 34

3.7.1. Pembagian kelompok perlakuan ... 35


(11)

xi

3.10. Uji pendahuluan pada metode induksi aloksan ... 38

3.11. Kelompok perlakuan ... 39

3.12. Uji statistik terhadap kadar glukosa darah ... 43

BAB IV HASIL 4.1. Hasil penelitian ... 45

4.1.1. Determinasi tanaman... 45

4.1.2. Ekstraksi ... 45

4.1.3. Hasil penapisan fitokimia ... 45

4.1.4. Hasil pengukuran kadar glukosa darah pada metode toleransi glukosa oral ... 46

4.1.5. Hasil pengukuran kadar glukosa darah pada metode induksi aloksan ... 49

BAB V PEMBAHASAN ... 53

BAB VI KESIMPULAN ... 60

Daftar Pustaka... 61


(12)

xii

Gambar 2. Rumus bangun glibenklamid ... 17

Gambar 3. Rumus bangun aloksan ... 19

Gambar 4. Kurva penurunan kadar glukosa darah pada metode induksi aloksan ... 45

Gambar 5. Kurva kadar glukosa darah pada metode induksi aloksan 51 Gambar 6. Kappaphycus alvarezii ... 68

Gambar 7. Gracilaria verrucosa ... 68

Gambar 8. Tikus putih jantan ... 68

Gambar 9. Aloksan monohidrat ... 68

Gambar 10. Ekstrak Gracilaria verrucosa ... 68

Gambar 11. Ekstrak Kappaphycus alvarezii ... 68

Gambar 12. glukotest ... 68

Gambar 13. Strip glukotest ... 68

Gambar 14Saponin ... 69

Gambar 15. Flavonoid ... 69

Gambar 16. Tanin ... 69

Gambar 17Saponin ... 69

Gambar 18. Flavonoid ... 69


(13)

xiii

Tabel 2.Kelompok perlakuan pada metode toleransi glukosa oral ... 35

Tabel 3. Kelompok perlakuan pada metode induksi aloksan ... 35

Tabel 4. Hasil penapisan fitokimia ... 45 Tabel 5.Kadar glukosa darah pada metode toleransi glukosa oral .... 46 Tabel 6. Persentase penurunan pada metode toleransiglukosa oral .. 47 Tabel 7. Nilai rerata dan standar deviasi pada metode induksi

aloksan ... 49 Tabel 8. Persentase penurunan kadar glukosa darah... 50 Tabel 9. Faktor konversi hewan ... 88 Tabel10. Hasil pengukuran glukosa darah pada metode toleransi

glukosa oral ... 84 Tabel11. Hasil pengukuran glukosa darah pada metode induksi

aloksan ... 85 Tabel 12.Bobot Badan Tikus Selama Perlakuan ... 86 Tabel 13. Uji Normalitas Gracilaria verrucosa dengan metode toleransi

glukosa oral ... 91 Tabel 14. Uji Homogenitas Gracilaria verrucosa dengan metode toleransi

glukosa oral ... 92 Tabel 15. Uji Anova ekstrak Gracilaria verrucosa ... 93 Tabel 16. Uji Kruskal Wallis ekstrak Gracilaria verrucosa ... 93 Tabel 17. Uji BNT kelompok ekstrak Gracilaria verrucosa metode

toleransi glukosa oral ... 94 Tabel 18. Uji Normalitas ekstrak K. alvarezii metode

toleransi glukosa oral ... 103 Tabel 19. Uji Homogenitas ekstrak E.cottonii

metode toleransi glukosa oral ... 104 Tabel 20. Uji ANOVA Data Penurunan kadar glukosa darah

pada menit ke-0, ke-30, ke-60 dan ke-90 ... 105 Tabel 21.Uji Kruskal Wallis Kappaphycus alvarezii pada


(14)

xiv

Tabel 23. Uji Homogenitas Gracilaria verrucosa pada metode

induksi aloksan ... 109 Tabel 24. Uji Kruskal Wallis Gracilaria verrucosa pada metode

induksi aloksan ... 110 Tabel 25. Uji BNT Gracilaria verrucosa pada metode induksi

aloksan ... 110 Tabel 26.Uji normalitas pada K. alvarezii dengan metode

induksi aloksan ... 116 Tabel 27. Uji Homogenitas K. alvarezii pada metode

induksi aloksan ... 117 Tabel 28. Uji ANOVA K. alvarezii dengan metode

induksi aloksan ... 119 Tabel 29. Uji Kruskal Wallis K. alvarezii pada metode

induksi aloksan ... 119 Tabel 30. Uji BNT K. alvarezii pada metode induksi


(15)

xv

Lampiran2. Hasil skrining ... 69

Lampiran 3. Surat Determinasi hewan uji ... 70

Lampiran 4. Surat Determinasi Gracilaria verrucosa ... 71

Lampiran 5. Surat Determinasi K. alvarezii ... 72

Lampiran 6. Skema Kerja Pembuatan ekstrak etanol 70% Gracilaria verrucosadan ekstrak etanol Kappaphycus alvarezii ... 73

Lampiran 7. Skema Aklimatisasi Hewan Uji ... 74

Lampiran8. Skema Kerja Uji Metode Toleransi Glukosa Oral ... 75

Lampiran9. Skema Kerja Uji Metode induksi aloksan ... 76

Lampiran 10. Perhitungan Dosis ... 77

Lampiran 11. Pemeriksaan parameter ekstrak ... 81

Lampiran 12. Perhitungan persentase kadar glukosa darah ... 88


(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ganggang baik yang tumbuh liar maupun yang dibudidayakan telah lama digunakan dalam diet makanan serta obat tradisional di negara-negara Asia (Faten, 2009). Sejak zaman dulu ganggang telah digunakan manusia sebagai makanan dan obat-obatan (Winarno, 1996). Banyak metabolit yang diisolasi dari ganggang laut dan telah terbukti memiliki efek bioaktif (Faten, 2009).

Pada umumnya ganggang dapat dikelompokkan menjadi empat kelas,yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga coklat (Phaecophyceae), dan alga merah (Rhodopyceae). Gracilaria verrucosa dan Eucheuma alvarezii termasuk dalam kelas Rhodophyceae yang banyak ditemukan di Indonesia terutama Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Maluku dan Irian (Winarno, 1996).

Ganggang dipertimbangkan juga sebagai sumber yang kaya akan antioksidan. Senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan diidentifikasi dari polifenol, seperti asam fenolik, flavonoid, tannin dan beberapa pigmen, seperti fukoxantin. Aktivitas biologi dari antioksidan telah diketahui juga sebagai antiinflamasi, antikoagulan, dan antidiabetes (Fard et al, 2011).

Eucheuma alvarezii dikenal sebagai penghasil karagenan (Astawan, 2004). Jenis karaginan yang dihasilkan oleh Eucheuma alvarezii adalah kappa karagenan (Bawa, 2007). Karagenan ini memiliki sifat antimikroba, antiinflamasi, antipiretik,


(17)

antikoagulan dan aktivitas biologis lainnya. Eucheuma alvarezii juga mengandung flavonoid yang banyak dimanfaatkan sebagai antioksidan (Lalopua, 2011).

Gracilaria verrucosa adalah jenis ganggang penghasil agar-agar (Nontji, 2002). Ganggang merah Gracilaria verrucosa mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh (Khotimchenko, 2005), prostaglandin (Nevshupova, 1999), glikolipid (Son, 1990) dan fenolik (Ninan, 2008).

Beberapa ganggang merah telah diteliti dan berpotensi sebagai antidiabetes, yaitu potensi inhibitor α-glukosidase yang dimurnikan dari ganggang merah Grateloupia elliptica (Kim et.al, 2008), potensi inhibitor α -glukosidase dimurnikan dari ganggang merah Polyopes lancifolia (Young, 2010) dan beberapa penelitian uji aktivitas Gracilaria verrucosa telah dilakukan juga,yaitu aktivitas antioksidan dan kadar fenolik total dari ganggang merah Gracilaria verrucosa ( Ninan, 2008), aktivitas antioksidan dari ekstrak dan fraksi semi murni dari Gracilaria verrucosa (Faten,2009).

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolism kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat ,lipid dan protein sebagai insufisiensi fungsi insulin. Infusiensi insulin juga disebabkan oleh gangguan tau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling serius dan kronis yang tingkat insiden meningkat dengan tingkat peningkatan obesitas dan juga dengan umur populasi umum dunia. Saat ini, diperkirakan 150 juta orang di seluruh dunia


(18)

mengidap diabetes dan hal ini akan meningkat menjadi 220 juta pada tahun 2010 dan 300 juta pada tahun 2025 (Kim et al, 2008). Pada penderita diabetes mellitus ditemukan adanya ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan dalam plasma pendertita diabetes, maka penderita diabetes memerlukan asupan antioksidan dalam jumlah besar karena peningkatan radikal bebas akibat hiperglikemia (Widowati, 2008 ; Setiawan, 2005).

Maka mengingat potensi sebagai antidiabetes pada kedua ganggang merah metode induksi aloksan sebagai metode yang mendekati keadaan penderita diabetes. Perlu dilakukan penelitian secara terus menerus untuk lebih mengetahui seluruh aktivitas yang dapat dilakukan Gracilaria verrucosa

dan Eucheuma alvarezii kemudian mengembangkan penggunannya di bidang

kesehatan.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol Gracilaria verrucosa dan ekstrak etanol Eucheuma alvarezii dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus putih.

1.3. Hipotesis

Ekstrak etanol Gracilaria verrucosa dan ekstrak etanol Eucheuma alvarezii pada dosis tertentu dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus putih jantan diabetes yang dibebani glukosa dan diinduksi aloksan.


(19)

1.4 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh dan potensi pemberian ekstrak etanol Gracilaria verrucosa dan ekstrak etanol Eucheuma alvarezii terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan diabetes yang diinduksi dengan aloksan.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi salah satu obat alternatif untuk pengobatan diabetes dan menambah informasi tentang manfaat dari ekstrak ganggang merah dan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam usaha penemuan obat-obat dari sumber alam.

1.6 Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas penurunan kadar glukosa darah dari ekstrak etanol Gracilaria verrucosa dan Ekstrak etanol Eucheuma alvarezii.


(20)

5

2.1. Gracilaria verrucosa

2.1.1. Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi Gracilaria verrucosa adalah sebagai berikut :

Klasifikasi

Dunia : plantae

Filum : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Bangsa : Gigartinales

Suku : Gracilariaceae

Marga : Gracilaria

Jenis : Gracilaria verrucosa (HUDSON)

2.1.2. Deskripsi

Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri thallus silindris, halus,licin,pinggir bergerigi, membentuk rumpun radial seperti umbi tanaman jahe, percabangan berseling tidak beraturan dan memusat ke arah pangkal. Ukuran thalus panjang 25cm dan diameter thalus 0,5-1,5 mm. Tumbuh melekat pada substrat batu, umumnya di daerah terumbu karang. Di perairan laut, Gracilaria hidup di daerah litoral dan sublitoral sampai ke dalam tertentu yang masih dapat ditembus oleh


(21)

cahaya matahari. Beberapa jenis hidup di perairan keruh, sungai atau tempat yang sering terjadi pengadukan yang tinggi akibat pencampuran air tawar dan air laut. Suhu air yang baik untuk pertumbuhan gracilaria antara 20-28oC. Dengan kisaran ph 6-9 dan kedalaman air antara 0,5-1,0 m (Anggadiredjo, 2006).

2.1.3. Kandungan

Kandungan phycoerithrin yang terdapat dalam Rhodophyceae menyebabkan rumput laut tersebut berwarna merah (Komarov, 1999). Gracilaria verrucosa mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh (Khotimchenko, 2005), steroid (Idler, 1968), prostaglandin (Nevshupova, 1999), juga glikolipid (Son, 1990) dan fenolik (Ninan, 2008)

2.1.4. Manfaat tumbuhan

Ganggang ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat, misalnya sebagai obat cacingan, obat batuk, obat asma, bronkhitis, pendarahan hidung dan pengobatan penyakit gangguan akibat kekurangan iodium (Anggadiredjo, 2006), sebagai antiinflamasi (Dang et al, 2008), antioksidan (Ninan, 2008).

2.2. Kappahycus alvarezii

2.2.1. Klasifikasi

Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi K. alvarezii adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae


(22)

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Solieracea

Genus : Kappahycus

Species : Kappahycus alvarezii (Doty)

2.2.2. Deskripsi

Ganggang jenis ini mempunyai ciri-ciri yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berwarna cokelat kemerahan, cartilageneus (menyerupai tulang rawan atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (system percabangan tiga-tiga) Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesa. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni (Anggadiredjo, 2006). K. alvarezii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati.


(23)

2.2.3. Kandungan

sumber iodium, seng, selenium. dan vitamin seperti vitamin B1, B2, B6, B12, β–karoten, C dan E.α-karoten, fikoeritrin (Luning, 1990), karaginan (Winarno, 1996), flavonoid (Fard, 2011).

2.2.4. Manfaat Tumbuhan

Menurunkan kadar kolestrol darah (Hardoko, 2008), antioksidan dan antiinflamasi (Fard, 2011). Dalam dunia kedokteran dan farmasi, Eucheuma sp. digunakan sebagai bahan obat asma, bronkhitis, TBC, cacingan, sakit perut, demam, rematik, antihiperkolesterol, anti kanker.

2.3. Hewan Uji

Klasifikasi hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Sharp et al, 1998):

Regnum : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Mammalia Bangsa : Rodentia

Keluarga : Muridae Anak keluarga : Murinae

Marga : Rattus


(24)

Rattus norvegicus adalah salah satu spesies tikus yang paling umum dijumpai di perkotaan. Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan (dikenal sebagai tikus putih) dan sebagai hewan peliharaan dengan warna bervariasi (Sharp et al, 1998).

Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan dalam penelitian karena memiliki beberapa kelebihan antara lain: mudah dipelihara dalam populasi yang sangat besar, dapat berkembang biak dengan pesat, dan memiliki ukuran yang lebih besar daripada mencit sehingga untuk beberapa percobaan tikus lebih menguntungkan. Tikus putih (Rattus norvegicus) memperlihatkan masa hamil yang singkat (21-23 hari), jumlah anak yang cukup banyak (6-12 ekor), dan dapat hidup sampai 4 tahun.Seekor tikus putih dewasa membutuhkan 15 gram makanan dan 20-45 ml air per 100 gram berat badan per hari. Suhu kandang yang dibutuhkan tikus 18-27 oC dan kelembaban relatif 40-70%.

Ada berbagai galur tikus putih antara lain : Long-Evans, Sprague-Dawley, dan Wistar. Tikus putih (Rattus novergicus L) galur Wistar mempunyai ciri-ciri : warna tubuh putih, mata berwarna merah (albino), ukuran kepala dan ekor lebih pendek dari badannya; galur Sprague-Dawley mempunyai ciri-ciri : warna tubuh putih, mata berwarna merah (albino), ukuran kepala yang kecil, dan ekor lebih panjang dari badannya; sedangkan galur Long-Evans ditandai dengan warna hitam dibagian kepala, dan tubuh bagian depan.

2.4. Diabetes Mellitus 2.4.1. Pengertian

Diabetes mellitus adalah penyakit gula atau kencing manis yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal (hiperglikemik) akibat tubuh


(25)

kekurangan insulin, baik absolute maupun relative. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terlambat serta metabolismenya diganggu. Pada diabetes mellitus semua proses tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi terutama diperoleh dari metabolism protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri relative tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali. Yang nyata berbahaya ialah glikosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretic osmotic, sehingga diuresis sangat meningkat disertai hilangnya beberapa elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita diabetes yang tidak diobati. Karena adanya dehidrasi, maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum(polidipsia). Badan kehilangan kalori untuk setiap gram glukosa yang diekskresi. Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Suherman, 2007).

2.4.2. Gejala Klinik Diabetes Mellitus

a. Pada diabetes mellitus (DM) tipe I, gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah,iritabilitas dan pruritis.

b. Pada diabetes mellitus (DM) tipe II, gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada, tapi DM ini sering kali muncul tanpa diketahui. Penanganan baru dilakukan beberapa tahun ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM tipe II umumnya lebih mudah terinfeksi dan sukar sembuh dari luka dan umumnya penderita hipertensi,hiperlipidemia,obesitas dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (anonim, 2006).


(26)

2.4.3. Diagnosis

Diagnosis klinis DM umumnya akan ada keluhan khas DM berupa poliuria, polifagia, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa lemas, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritis vulvae pada wanita. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Dan apabila tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu abnormal tinggi (>200mg/dl) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126mg/dl), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan >200mg/dl (Suherman, 2007).

2.5. Metode Pengujian Diabetes

2.5.1. Metode uji toleransi Glukosa

Kepada tikus yang telah dipuasakan selama kurang lebih 20-24 jam, diberikan larutan glukosa per oral setengah jam sesudah pemberian sediaan obatyang diuji. Pada awal percobaan sebelum pemberian obat, dilakukan pengambilan cuplikan darah vena telinga dari masing-masing


(27)

kelinci sejumlah 0,5 ml sebagai kadar glukosa awal. Pengambilan cuplikan darah vena diulangi setelah perlauan pada waktu-waktu tertentu. Penurunan kadar glukosa darah pada kelompok uji diketahui dengan membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil dari kelompok control positif. Semua data dievaluasi secara statistic dengan menggunakan ANOVA dan uji t. Dapat dibuat kurva dosis respons kadar gula darah sebagai fungsi dosis dan waktu penentuan kadar gula darah.

2.5.2. Metode uji diabetes aloksan

Induksi diabetes dilakukan pada tikus yang diberi suntikan aloksan monohidrat dengan dosis 70mg/kg BB. Penyuntikan dilakukan secara intravena pada ekor tikus. Perkembangan hiperglikemia diperiksa setiap hari. Pemberian obat antidiabetik secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan terhadapa tikus positif. Perhitungan untuk kadar glukosa darah dilakukan sama dengan perhitungan untuk tikus. Semua data dimuat dalam table dan dievaluasi secara statistic dengan ANOVA dan uji t. Dapat dibuat kurva dosis respons kadar glukosa darah sebagai fungsi dosis yang diberikan dan waktu pemeriksaan kadar gula darah.

2.6. Metode pemeriksaan kadar glukosa darah (Baver DJ, 1982)

Metode enzimatik

Kadal glukosa darah diukur dengan metode enzimatik (glukosa oksidase) menggunakan glukometer Roche. Prinsip kerja penggunaan alat ini yaitu: oksigen dengan bantuan enzim glukosa oksidase mengkatalis proses oksidasi glukosa


(28)

menjadi glukoronat dan hydrogen peroksida. Dalam reaksi yang kedua enzim peroksidase mengkatalis reaksi oksidasi khromogen (akseptor oksigen yang tidak berwarna), kemudian oleh hydrogen peroksida membentuk suatu produk khromogen teroksidasi berwarna biru,yang diukur dengan glukometer. Tes strip pada glukometer Roche mengandung bahan kimia glukosa oksidase lebih dari sama 0,8 IU; peroksisase 5,6 IU; garam naftalen asam sulfat 42 mikrogram;dan 3-metil-2-benzothiazolim hidrazon.

2.7. Terapi Obat

Jika pasien sadar dan dapat menelan dapat diberikan gula, manias atau air jeruk. Jika pasien tidak sadar, dapat dipakai salah satu cara dari 3 cara berikut ini.

1) Glukosa IV berikanlah 20-50ml glukosa 50% IV dengan perlahan-lahan. Segera setelah kesadarannya pulih, pemberian makan peroral dapat dimulai.

2) Glukagon 1 mg IM akan memulihkan glukosa darsah ke normal jika cadangan glikogen hatinya memadai. Pemberian glukosa melalui rectal jika pasien tidak sadarkan diri dan glukosa IV tidak tersedia, glukosa per rectal dapat menyelamatkan penderita lalu tambahkan 2 sendok the madu ke dalam 1 pint (0,568L) air hangat dan berikanlah perlahan-lahan melalui rectum.

3)Obat-oba Hipoglikemik Oral

Obat-obat ini berguna dalam pengobatan pasien diabetes tidak tergantung insulin (NIDDM) yang tidak dapat diperbaiki dengan hanya diet. Pasien yang mungkin berespons terhadap obat hipoglikemik oral adalah mereka yang


(29)

diabetesnya berkembang setelah berumur 40 tahun dan telah menderita diabetes kurang dari 5 tahun (Mycek, 2001).

a. Sulfonilurea

Mekanisme kerja sulfonylurea termasuk : merangsang pelepasan insulin dari sel β pancreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan meningkatkan peningkatkan insulin pada jaringan target dan reseptor (Mycek, 2001)

Obat-obat golongan sulfonylurea yang biasa digunakan adalah

Tolbutamid tersedia dalam tablet 0,5 g. Berikanlah dosis awal sebesar 2g sehari dalam dosis terbagi dan turunkanlah dengan cepat ke dosis efektif minimal. Dosis penunjang rata-rata 0,5 – 1,5g sehari dalam dosis terbagi. Reaksi toksik jarang terjadi.

Klorpropamid tersedia dalam tablet 100 dan 250 mg dan mempunyai masa kerja yang jauh lebih lama dari tolbutamid (sampai 3-5hari).

Asetoheksamid tersedia dalam tablet 250mg dan 500 mg dan tolazamid sebagai tablet 100 mg dan 250 mg. Lama masa kerjanya adalah diantara lama kerja tolbutamid dan klorpropamid.

b. Derivat biguanid

Mekanisme kerja derivate ini tidak dengan merangsang sekresi insulin tetapi dengan meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin endogen dan merangsang glikosis anaerob sehingga glukosa yang masuk ke sel otot lebih banyak serta merangsang perubahan asam laktat kembali menjadi glukosa (Ganiswara, 2005)


(30)

c. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Akarbosa menghambat α-glukosidase pada vili-vili usus intestinal (brush border) sehingga menurunkan absorbs starch dan disakarida. Akibatnya, gula darah setelah makan akan meningkat. Akarbosa tidak merangsang pelepasan insulin dari pancreas ataupun meningkatkan kerja insulin di jaringan perifer (Mycek, 2001).

d. Insulin Sensitizing Agent

Thiazolidiones adalah golongan obat yang dapat mempertinggi sensitivitas hepatic dan mengurangi resistensi insulin. Efek amping obat ini sangat minimal yang meliputi retensi cairan. Contoh obat golongan ini adalah rosiglitazon, dan pioglitazon (Bascher, 1998).

e. Derivat asam benzoate

Strukturnya jelas berasal dari golongan sulfonylurea tetap sama mekanismenya untuk menstimulasi sekresi insulin. Obat ini didesain untuk mensekresi waktu makan dan mengntrol waktu makan. Contoh obat ini adalah : meglitinide dan repaglinide (Bascher, 1998).


(31)

2.8. Acarbose (C25H43NO18)

Gambar 1. Rumus Bangun Acarbose

Nama generic : acarbose

Nama dagang : gluvobay tab 50 mg dan 100mg

Dosis sehari : 50-200mg, 3 kali sehari, dimulai dengan dosis kecil. Diminum sebelum makan dengan sedikit air dan tidak boleh dikunyah.

Mekanisme kerja akarbosa :

Obat ini bekerja dengan cara memperlambat proses pencernaan karbohidrat menjadi glukosa sehingga kadar glukosa darah setelah makan tidak meningkat sekaligus. Sisa karbohidrat yang tidak dicernakan dimanfaatkan oleh bakteri yang ada di usus besar dan ini menyebabkan perut menjadi kembung, sering buang angin, mencret dan sakit perut. Obat ini tidak diberikan pada penderita dengan usia kurang dari 18 tahun, gangguan pencernaan kronis, maupun wanita hamil dan menyusui. Acarbose efektif pada pasien yang banyak makan karbohidrat dan kadar gula darah puasa lebih dari 180mg/dl (Dalimartha, 1996 ; Merck Index, 2006).


(32)

Efek sampingnya yang paling sering berupa terbentuknya banyak gas di usus dan kejang usus. Efek-efek ini diakibatkan penumpukan karbohidrat yang tidak dicerna dalam kolon dan peningkatan penguraiannya oleh flora usus menghasilkan gas. Selain itu dapat menyebabkan diare pada dosis lebih tinggi dan bila digunakan bersamaan dengan gula. Biasanya efek ini berkurang dalam waktu beberapa minggu/ bulan (Windolz, 1983).

2.9. Glibenklamid (Parfitt, 1983)

Gambar 2. Rumus bangun glibenklamid

Sinonim : Glibenklamid (BP), Glyburide, glybenclamide Rumus Molekul : C23H28C1N3O5S

Bobot Molekul : 494,0

Pemerian : Serbuk Kristal, warna putih, sedikit berbau, sedikit berasa. Kelarutan : praktis tidapat larut dengan air dan eter. Larut dalam

1:330 alkohol, 1:36 kloroform dan 1:250 metyl alcohol. Dosis : Dosis 5 mg/hari selama 7 hari, dosis 2,5mg-5mg/ hari

sampai 15 mg/ hari.

Absorpsi : Glibenklamid diabsorpsi dari lambung dan sangat bagus di protein plasma, dikeluarkan lewat fese dan dimetabolisme di urin. Glibenklamid adalah golongan sulfonylurea yang mempunyai aksi sama dengan klorpropamid. Setelah diberikan dosis tunggal dari glibenklamid, gula darah turun 3 jam dan


(33)

konsentrasi berkurang kira-kira 15 jam. Pasien yang usia lanjut membutuhkan dosis yang lebih kecil. Sebagian pasien mengontrol dengan insulin dapat juga dikontrol dengan glibenklamid.

2.10. Na-CMC (Wade, 1994)

Sinonim : Carboxymethylcellulosum natricum, carboxymethyl sodium, cellulose gum USP XXII mendeskripsikan Na-CMC sebagai garam natrium sodium dari policarboxy metyl ether dari selulosa.

Bobot molekul : 90.000 – 700.000

Pemerian : serbuk warna putih, tidak berbau, serbuk bergranul

Kelarutan : praktis tidak larut dalam aseton, etanol, eter dan toluene, mudah terdispersi dalam air pada seluruh temperature membentuk larutan koloid yang bening.

Stabilitas : CMC stabil, materi higroskopik pada kondisi lembab. Na-CMC dapat menyerap air dalam kuantitas yang besar pada tablet hal ini diasosiasikan dengan penurunan kekerasan tablet.

OTT : Larutan asam, garam besi terlarut, beberapa logam alumunium, merkuri, seng, xanthan gum.

Aplikasi : Na-CMC biasa digunakan pada formula oral dan topical

Tabel.1 kegunaan dan konsentrasi Na-CMC

Kegunaan Konsentrasi (%)

Emulsi Agent 0,25 – 1,0

Agen pembentuk gel 4,0 – 6,0

Pengikat tablet 1,0 – 6,0

Larutan oral 0,1 – 1,0


(34)

Rumus Molekul : C4H2N2O4

Nama lain : 2,4,5,6(H1,H3)-pyrimidinetetrone 2,4-5,6 tetraoxohexahydropyrimidine,

mesoxalylurea,mesoxalycarbamide

Rumus kimia :

Gambar 3. Rumus bangun aloksan

Injeksi aloksan ke dalam hewan menyebabkan penurunan dari sel β pada pulau langerhans yang sangat kecil. Sejak sel ini disintesis olehh hormon insulin, aloksan sering digunakan untuk induksi diabetes pada percobaan hewan (Halliwel et al, 1999).

Aloksan terdapat dalam tiga bentuk senyawa, yaitu aloksan anhidrat, aloksan monohidrat, aloksan tetrahidrat. Aloksan mempunyai bentuk hablur Kristal, tidak berair, warna merah muda pada suhu 230oC dan tidak stabil pada suhu 256oC. LD50 pada dosis 200mg/kg bb secara intravena.

Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan biasanya 65mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya (szkudelski, 2001).

Penyimpanan pada suhu rendah dalam wadah tidak tembus cahaya dan tertutup rapat. Aloksan yang berwarna merah jambu kelarutannya dalam air


(35)

berkurang.Hal ini dapat terjadi aloksan disimpan pada suhu kamar dan dibiarkan kontak dengan udara dengan kelembaban tinggi (Windolz et al, 1983).

Keadaan diabetes permanen pada hewan percobaan dapat dicapai dengan pemberian dosis aloksan yang optimum. Sebelum mencapai keadaan tersebut, hewan akan mengalami beberapa tahapan yang fluktuatif dimana terjadi fase hiperglikemia, fase hipoglikemia dan kadang-kadang secara spontan kembali normal bahkan dapat terjadi kematian. Adapun fase-fase yang terjadi adalah :

Pertama : Setelah 5 sampai 19 menit pemberian aloksan secara intravena akan terjadi fase hipoglikemia awal dimana saraf otonom akan mempengaruhi sel beta pancreas agar melepaskan insulin yang tersimpan sehingga insulin masuk ke peredaran darah dan mnyebabkan hipoglikemia. Fase ini berlangsung singkat namun dapat berakibat fatal pada hewan.

Kedua : dalam fase ini mula-mula terjadi stimulasi orhtosimpatik dimana terjadi kekurangan insulin yang disebabkan adanya inhibisi sekresi insulin dalam sel-sel beta pancreas. Fase ini berlangsung 30 sampai 120 menit setelah pemberian aloksan. Dalam fase ini kadang-kadang kadar glukosa dalam darah mencapai 6 g/dl.

Ketiga : pada fase ini terjadi hipoglikemia sekunder dan kadang terjadi konvulsi pada hewan. Pada fase ini kadar glukosa darah menurun dan mencapai keadaan yang lebih gawat dari semula. Tahap yang terjadi antara jam ketoga atau jam kesepuluh setelah pemberian aloksan secara intravena yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Untuk keadaan fatal dianjurkan pemberian glukosa.


(36)

Keempat : fase terjadinya hiperglikemia awal permanen. Pada fase ini hewan menjadi hiperglikemia permanen. Terjadi setelah 2 sampai 8 jam setelah pemberian aloksan secara intravena. Tetapi pada fase ini hewan dapat pula mnejadi normal kembali secara spontan setelah selang waktu tersebut. Oleh karena itu sebaiknya pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan setelah tahap keempat tersebut atau hari ke-3. Diperkirakan sindrom diabetes permanen terjadi akibat rusaknya sebagian sel-sel beta pulau Langerhans, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa hanya fungsi sel-sel beta langerhans saja yang ambang rangsangnya menurun.

2.12. Simplisia

Sumber bahan baku obat tradisional atau yang di kenal dengan nama simplisia cukup melimpah di Indonesia, hampir di setiap daerah tumbuh tanaman obat. Untuk menjamin mutu obat tradisional, yang perlu diperhatikan oleh industri obat tradisional sebagai langkah awal adalah memilih simplisia yang mutunya baik. Untuk memberi keyakinan akan kebenaran dan kualitas simplisia yang diperoleh, masing-masing industri obat tradisional hendaknya mempunyai standar minimal untuk simplisia yang digunakan. Dengan adanya standar tersebut pembelian simplisia tidak dipengaruhi oleh harga. Maksudnya walaupun ada simplisia yang harganya lebih murah tidak otomatis dipilih bilamana mutunya di bawah standar minimal (Depkes RI, 1999).

Simplisia adalah bentuk jamak dari kata simpleks yang berasal dari kata simple, berarti satu atau sederhana. Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam wujud aslinya atau belum


(37)

mengalami perubahan bentuk. Departemen kesehatan RI membuat batasan tentang simplisia sebagai berikut. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Berdasarkan hal itu maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan/mineral (Depkes RI, 1979)

2.12.1. Pengelolaan Simplisia

Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar dari cemaran industri obat tradisional dalam mengelola simplisia sebagai bahan baku pada umumnya melakukan tahapan kegiatan berikut ini.

a. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal.

b. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di


(38)

dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.

c. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan.

d. Pengeringan

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.

Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10 %. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan.

e. Sortasi Kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan


(39)

pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Pada simplisia bentuk rimpang, sering jumlah akar yang melekat pada rimpang terlampau besar dan harus dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia dibungkus(Depkes RI, 1999).

f. Penyimpanan

Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplsia satu dengan lainnya. Selanjutnya, wadah-wadah yang berisi simpilisia disimpan dalam rak pada gudang penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengepakan dan penyimpanan simplisia adalah cahaya, oksigen atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang terjadi antara kandungan aktif tanarnan dengan wadah, penyerapan air, kemungkinan terjadinya proses dehidrasi, pengotoran atau pencemaran, baik yang diakibatkan oleh serangga, kapang atau lainnya.

Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.


(40)

2.13. Ekstraksi

Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat. Dalam buku Farmakope Indonesia Edisi 4 disebutkan bahwa :

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes RI, 1995;Depkes RI, 2000).Ada beberapa macam metode ekstrasi diantaranya:

2.13.1. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut 2.13.1.1. Cara dingin

a. Maserasi

Yaitu proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan.

b. Perkolasi

Adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan paa temperatur ruangan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih banyak.


(41)

2.13.1.2. Cara panas

a. Refluks

Adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapt termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Soxhlet

Adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

c. Digesti

Adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 oC.

d. Infus

Adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).


(42)

27

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berlangsung mulai dari bulan oktober 2011 sampai dengan Januari 2012.

3.2 Determinasi Tanaman

Sampel rumput laut G. verrucosa dan K. alvarezii diperiksa di Oseanografi untuk menentukan spesies dari rumput laut tersebut.

3.3 Pengambilan Simplisia

G. verrucosa dan K. alvarezii diperoleh dari tambak desa Tenjo Ayu Kecamatan Tirtayasa Serang – Banten.

3.4. Bahan dan Alat 3.4.1 Bahan

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah etanol 70%, rumput laut G. verrucosa dan K. alvarezii, glukosa, aloksan monohidrat yang digunakan sebagai penginduksi diabetes, dan pereaksi kimia untuk penapisan fitokimia yang terdiri dari : Dragendorf, Meyer, serbuk Mg, Hcl pekat, amil alkohol, FeCl3, eter, kloroform dan larutan amoniak.


(43)

2. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus novergicus) jantan, yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150-250 yang diperoleh dari IPB Bogor.

3.4.2.Alat

Alat yang digunakan seperti: alat-alat gelas seperti: gelas piala, tabung reaksi, corong, lumpang dan alu, rotary evaporator, kain flannel, timbangan analitik, timbangan tikus, Hotplate, Batang pengaduk, blender, glukometer dan tes strip, kandang tikus, sonde oral, kapas, spuit injeksi.

3.5. Pola penelitian

Pengumpulan bahan dan Pembuatan Simplisia, Pemeriksaan simplisia (Determinasi), Ekstraksi, Penapisan fitokimia, Perhitungan Rendemen, Persiapan Hewan percobaan (aklimatisasi), Pembuatan sediaan uji dan Dosis, uji Pendahuluan (Induksi hewan coba), Pelaksanaan uji efek toleransi glukosa oral dan diabetes aloksan Ekstrak etanol G. verrucosa dan ekstrak etanol K. alvarezii.

3.6. Pembuatan Ekstrak

3.6.1. Persiapan Rumput laut G. verrucosa dan K. alvarezii

Sampel yang digunakan adalah rumput laut G. verrucosa, diawali dengan pengambilan rumput laut dari tambak di Kronjo, Tangerang dan K. alvarezii yang berasal dari Madura. Selanjutnya rumput laut dicuci dengan menggunakan air tawar dengan pembilasan berkali-kali sampai bersih dan biofouling hilang. Lalu


(44)

dikeringkan di udara terbuka selama 3 hari. Setelah rumput laut kering dilakukan perajangan sampai rumput laut tersebut menjadi bentuk yang lebih kecil.

3.6.2 Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi dingin menggunakan etanol 70%. Rumput laut yang sudah dibuat menjadi derajat yang lebih halus dimasukkan ke dalam Erlenmeyer besar dan diberi pelarut etanol 70% hingga seluruh simplisia terendam. Pelarut dilebihkan setinggi kurang lebih 2,5 cm diatas permukaan simplisia. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang dan sesekali diaduk hingga tidak ada lagi senyawa yang terekstrak dengan ditandai warna pelarut yang jernih. Filtrat yang diperoleh diuapkan etanolnya dengan rotavapor hingga didapat ekstrak yang kental.

3.6.3 Penapisan Fitokimia

Pada pemeriksaan terhadap kandungan golongan senyawa kimia dari ekstrak rumput laut G. verrucosa dan K. alvarezii seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, steroid/terpenoid, kuinon, minyak atsiri dan kumarin.

a. Identifikasi Alkaloid

Sebanyak ±5 gram serbuk dilembabkan dengan 5ml ammoniak 25% digerus dalam mortar, kemudian ditambahkan 20ml kloroform dan digerus kembali dengan kuat, campuran tersebut disaring dengan kertas saring, filtrat berupa larutan organikdiambil (sebagai larutan A), sebagai larutan A sebanyak 10 ml diekstraksi dengan 10 ml larutan HCl 1:10 dengan pengocokan dalam tabung reaksi, diambil larutan bagian atasnya (sebagai larutan B) Larutan A diteteskan beberapa tetes pada kertas saring dan


(45)

disemprot atau ditetesi dengan pereaksi drangedorff, terbentuk warna merah atau jingga pada kertas asaring menunjukkan adanya senyawa alkaloid. Larutan B dibagi 2 tabung reaksi, ditambahkan masing-masing pereaksi dragendorff dan pereaksi Mayer, terbentuk endapan merah bata dengan pereaksi drangendorff atau endapan ptuih dengan pereaksi Mayer menunjukkan adanya senyawa alkaloid.

b. Identifikasi Flavonoid

Sebanyak ± 10 gram serbuk ditambahi 100ml air panas, didihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Ambil filtratnya sebanyak 5 ml dan masukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan serbuk Mg secukupnya dan 1 ml asam klorida pekat dan 2ml amil alcohol, kocok kuat dan biarkan memisah. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alcohol menunjukkan adanya flavonoid.

c. Identifikasi Saponin

Serbuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas. Setelah dingin kocok kuat secara vertical selama 10 detik. Terbentuknya busa yang stabil menunjukkan adanya saponin, bila ditambahkan dengan 1 tetes HCl 1% busa tetap stabil.

d. Identifikasi Tanin

Sebanyak ±10 gram serbuk ditambahkan 10 ml air, lalu dididihkan selama 15 menit, setelah dingin kemudian di saring dengan kertas saring, filtrate ditambah 1-2 tetes FeCl3 1% terbentuknya warna biru, hijau agtau hitammenunjukkan adanya senyawa golongan tannin.


(46)

e. Identifikasi Steroid

Sebanyak ±5 garam serbuk dimaserasi dalam 20ml eter selama 2 jam kemudian disaring. Diuapkan dalam cawan penguap sampai kering. Ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat ke dalm residu. Terbentuknya warna hijau atau merah menunjukkan adanya steroid atau terpenoid.

f. Identifikasi Kuinon

Sebanyak ±1 gram serbuk dipanaskan dalam air selama 5 menit, disaring. Sebanyak 1ml filtrate ditambahkan 5ml NaOH 1N, terbentuk warna merah menunjukkan adanya kuinon.

g. Identifikasi Kumarin

Sebanyak ± 2 gram serbuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml kloroform. Corong yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air dipasang pada mulut tabung. Kemudian dipanaskan selama 30 menit, setelah dingin disaring. Filtrat diuapkan dengan cawan penguap hingga kering, sisa ditambah air panas 10 ml. dinginkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml ammoniak 1%. Diamati di bawah sinar UV 366nm, flouresensi biru atau hijau menunjukkan adanya kumarin.

3.6.4. Pengujian Parameter Non Spesifik Ekstrak a. Susut Pengeringan

Ekstrak ditimbang dengan seksama sebanyak 1 gram sampai 2 gram dan dimasukan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara.


(47)

Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan menggoyang-goyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, kemudian dimasukan ke dalam oven, buka tutupnya. Pengeringan dilakukan pada suhu penetapan yaitu 105oC hingga diperoleh bobot tetap lalu ditimbang. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu kamar (Depkes RI, 2000).

b. Kadar Air

Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara kurang lebih 3 gram ekstrak dimasukkan dan ditimbang seksama dalam wadah yang telah ditara. Ekstrak dikeringkan pada suhu 105oC selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25 %.

c. Kadar Abu

Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukan kedalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, lalu ekstrak diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan, ditimbang. Jika arang tidak dapat hilang, ditambahkan air panas, disaring dengan menggunakan kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa abu dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap berat ekstrak dan dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI, 2000).


(48)

3.6.5. Perhitungan rendemen

Perhitungan rendemen dilakukan dengan menghitung jumlah ekstrak kental yang didapat terhadap jumlah serbuk kering sebelum dilakukan ekstraksi kemudian dikalikan 100%.

3.7. Rancangan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan galur ssd, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-250 gram diaklimatisasi selama 2 minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Selama proses adaptasi, dilakukan pengamatan kondisi umum dan penimbangan berat badan.

Hewan uji dipillih sebanyak 30 ekor tikus putih jantan secara acak untuk dibagi menjadi 10 kelompok, masing-masing terdiri dari 3 ekor.

Penentuan jumlah tikus tiap kelompok, dihitung berdasarkan rumus federer: Rumus Federer : (n-1)(9-1) ≥ 15

(n-1)(9-1) ≥15 8n = 15+8 N ≥ 2.88~ 3

Dimana t menunjukkan jumlah perlakuan dan n menunjukkan jumlah ulangan minimal dari tiap perlakuan. Adapun pembagian kelompok adalah sebagai berikut

3.7.1. Pembagian kelompok perlakuan

Tabel 2. Kelompok perlakuan pada metode toleransi glukosa oral Kelompok

hewan

Perlakuan Jumlah

tikus


(49)

K(+) Diberi akarbose + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

KN Diberi air suling + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

D1 Diberi dosis 300 mg/kg bb G.verrucosa + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

D2 Diberi dosis 600 mg/kg bb G.verrucosa + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

D3 Diberi dosis 1200 mg/kg bb G.verrucosa + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

E1 Diberi dosis 300 mg/kg bb G.verrucosa + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

E2 Diberi dosis 600 mg/kg bb G.verrucosa + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

E3 Diberi dosis 1200 mg/kg bb G.verrucosa + lar.glukosa 1 g/kg bb 3

Tabel 3. Kelompok perlakuan pada metode induksi aloksan Kelompok

hewan

Perlakuan Jumlah

tikus

KN Diberi air suling 3

K(+) Diinduksi aloksan, diberi glibenklamid 3

KN Diinduksi aloksan, diberi air suling 3

D1 Diinduksi aloksan, diberi dosis 300 mg/kg bb G.verrucosa 3

D2 Diinduksi aloksan, diberi dosis 600 mg/kg bb G.verrucosa 3

D3 Diinduksi aloksan, diberi dosis 1200 mg/kg bb G.verrucosa 3

E1 Diinduksi aloksan, diberi dosis 300 mg/kg bb K. alvarezii 3

E2 Diinduksi aloksan, diberi dosis 600 mg/kg bb K. alvarezii 3


(50)

Keterangan :

KN : Kontrol normal K(+) : Kontrol positif K(-) : Kontrol negatif

D1 : Dosis rendah G. verrucosa D2 : Dosis sedang G. verrucosa D3 : Dosis tinggi G. verrucosa E1 : Dosis rendah K. alvarezii E2 : Dosis sedang K. alvarezii E3 : Dosis tinggi K. Alvarezii

3.7.2. Persiapan Hewan percobaan (diaklimatisasi)

30 ekor tikus putih (Rattus novergicus) jantan dari jenis Sprague Dawley dengan berat 180-250 gram dibagi menjadi 10 kelompok. Masing masing kelompok terdiri dari 3 tikus. Sebelum penelitian ini dimulai, hewan uji diaklimatisasi selama kurang lebih 2 minggu, diberi pakan pellet, diberi air minum yang bersumber dari air tanah, dan dipuasakan sehari sebelum mendapat perlakuan. Selama perlakuan, diberikan pakan dan minum.

3.8. Pembuatan sediaan dosis uji

Dosis yang digunakan pada ekstrak etanol G. verrucosa dan ekstrak K.alvarezii adalah dosis 300 mg/kg bb, 600 mg/kg bb dan 1200 mg/kg bb yang kemudian dikonversikan ke dalam dosis tikus masing-masing menjadi 60 mg/200 gr bb, 120 mg/200 gr bb, dan 240 mg/200 gr bb.


(51)

1) Dosis akarbose sebagai kontrol pembanding

Acarbose diberikan dalam bentuk larutan sesuai dosis oral efektif pada manusia, yaitu, 50 mg/60 kg bb yang dikonversikan , yaitu dosis untuk setiap 200g bb tikus menjadi 1,02 mg.

2) Dosis glibenklamid sebagai kontrol pembanding

Glibenklamid diberikan dalam bentuk larutan sesuai dosis oral efektif pada manusia, 5 mg/60 kg bb yang dikonversikan, yaitu dosis untuk setiap 200g bb tikus menjadi 0,1 mg.

3) Dosis Aloksan

Dosis aloksan secara intravena yang digunakan dalam percobaan ini adalah 100 mg/kg bb atau untuk tikus dengan berat badan 200g adalah 20 mg/200 gr bb.

4) Dosis Glukosa

Dosis glukosa yang digunakan dalam percobaan ini untuk meningkatkan kadar gula darah adalah 1 g/kg bb, dalam larutan dengan konsentrasi 50%

3.9. Pengambilan Darah dan Pengaruh Kadar Glukosa Darah

Sebelum pengambilan darah, tikus dimasukkan ke dalam kandang kecil sedemikian hingga tidak dapat bergerak. Kemudian ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya diambil darah secara intravena melalui ujung ekor dan diukur kadar gula darah dengan alat glukometer.


(52)

3.10. Uji pendahuluan pada metode induksi aloksan

Uji pendahuluan merupakan upaya peningkatan kadar glukosa darah dengan menginduksi tikus dengan aloksan. Pada hari ke-0 diukur glukosa darah, setelah penginduksian tersebut, kadar glukosa darah tikus dikontrol pada hari ke-3,8 dan 14 untuk meyakinkan bahwa aloksan dengan dosis tersebut menyebabkan pankreas. Uji pendahuluan dilakukan dengan cara :

1) Larutan aloksan disuntikan di bagian ekor tikus pada 10 kelompok tikus. Setelah penyuntikan diberi makan dan minum seperti biasa kemudian setelah 2 jam dilakukan lagi pengambilan sampel darah sebagai kadar glukosa darah minggu ke-1

2) Pada hari ke-3 diamati berat badan tikus. Kadar glukosa darah diukur secara kuantitatif. Kemudian ditunggu selama 6 hari untuk menstabilkan hiperglikemia pada tikus.

3) Pada hari ke-8 diamati berat badan tikus. Kadar glukosa darah diukur secara kuantitatif. Kemudian ditunggu selama 6 hari untuk menstabilkan hiperglikemia pada tikus.

4) Hari ke-14 dilakukan pengambilan darah. Hasil pengukuran kadar glukosa darah ditetapkan sebagai kadar glukosa darah hiperglikemia awal.

3.11. Kelompok Perlakuan

a) Kontrol Normal

Tikus dipuasakan selama 16 jam. Sebelum diberikan perlakuan, darah tikus diambil melalui vena ekor tikus dan diukur sebagai kadar glukosa puasa


(53)

menggunakan glukometer. Kemudian tikus diberi air suling menggunakan sonde lambung. 30 menit setelah pemberian, tikus diberikan larutan glukosa 50% dengan dosis 1 g/kg bb, lalu segera ambil darah tikus dan kadar glukosanya diukur sebagai kadar glukosa darah pada menit ke-0, selanjutnya darah tikus diambil pada menit ke 30,60,90,120,150 dan 180. Data yang diperoleh merupakan hasil uji toleransi glukosa oral.

Setelah uji toleransi glukosa oral, lalu tikus kembali diberi makan dan minum secara normal setiap hari. Setelah 14 hari glukosa darah tikus diperiksa sebagai kadar glukosa awal. Lalu pada setiap harinya diberikan suspensi CMC pembanding. Pada hari ke 17, 22 dan 28, ukur glukosa darah masing-masing tikus, sebelum diukur gula darahnya, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam. Setelah itu darah tikus diambil dan diukur kadar glukosanya dengan glukometer. Data yang diperoleh merupakan hasil uji hipoglikemia.

b) Kontrol negatif

Tikus dipuasakan selama 16 jam. Sebelum diberikan perlakuan, darah tikus diambil melalui vena ekor tikus dan diukur sebagai kadar glukosa puasa menggunakan glukometer. Kemudian tikus diberi air suling menggunakan sonde lambung. 30 menit setelah pemberian, tikus diberikan larutan glukosa 50% dengan dosis 1g/kg bb, lalu segera ambil darah tikus dan kadar glukosanya diukur sebagai kadar glukosa darah pada menit ke-0, selanjutnya darah tikus diambil pada menit ke 30,60,90,120,150 dan 180. Data yang diperoleh merupakan hasil uji toleransi glukosa oral.


(54)

Setelah uji toleransi glukosa oral, tikus diberi aloksan monohidrat secara intravena, lalu tikus kembali diberi makan dan minum secara normal setiap hari. Setelah 14 hari glukosa darah tikus diperiksa sebagai kadar glukosa hiperglikemia awal. Lalu pada setiap harinya diberikan suspense CMC Na. Pada hari ke 17, 22 dan 28, ukur gula adarah masing-masing tikus, sebelum diukur gula darahnya, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam. Setelah itu darah tikus diambil dan diukur kadar glukosanya dengan glukometer. Data yang diperoleh merupakan hasil uji hipoglikemia.

c) Kontrol positif

Tikus dipuasakan selama 16 jam. Sebelum diberikan perlakuan, darah tikus diambil melalui vena ekor tikus dan diukur sebagai kadar glukosa puasa menggunakan glukometer. Kemudian tikus diberi acarbose menggunakan sonde lambung. 30 menit setelah pemberian, tikus diberikan larutan glukosa 50% dengan dosis 1g/kg bb, lalu segera ambil darah tikus dan kadar glukosanya diukur sebagai kadar glukosa darah pada menit ke-0, selanjutnya darah tikus diambil pada menit ke 30,60,90,120,150 dan 180. Data yang diperoleh merupakan hasil uji toleransi glukosa oral.

d) Kelompok uji dosis rendah

Tikus dipuasakan selama 16 jam. Sebelum diberikan perlakuan, darah tikus diambil melalui vena ekor tikus dan diukur sebagai kadar glukosa puasa menggunakan glukometer. Kemudian tikus diberi larutan ekstrak etanol G. verrucosa dosis rendah menggunakan sonde lambung. 30 menit setelah pemberian, tikus diberikan larutan glukosa 50% dengan dosis 1g/kg bb, lalu segera ambil darah tikus dan kadar glukosanya diukur sebagai kadar glukosa


(55)

darah pada menit ke-0, selanjutnya darah tikus diambil pada menit ke 30,60,90,120,150 dan 180. Data yang diperoleh merupakan hasil uji toleransi glukosa oral.

Setelah uji toleransi glukosa oral, lalu tikus kembali diberi makan dan minum secara normal setiap hari. Lalu pada setiap harinya diberikan suspense ekstrak etanol G. verrucosa. Pada hari ke 17, 22 dan 28, ukur gula adarah masing-masing tikus, sebelum diukur gula darahnya, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam. Setelah itu darah tikus diambil dan diukur kadar glukosanya dengan glukometer. Data yang diperoleh merupakan hasil uji hipoglikemia.

Lakukan perlakuan yang sama pada kelompok hewan uji ekstrak etanol K. alvarezii dosis rendah.

e) Kelompok uji dosis sedang

Tikus dipuasakan selama 16 jam. Sebelum diberikan perlakuan, darah tikus diambil melalui vena ekor tikus dan diukur sebagai kadar glukosa puasa menggunakan glukometer. Kemudian tikus diberi larutan ekstrak etanol G. verrucosa dosis sedang menggunakan sonde lambung. 30 menit setelah pemberian, tikus diberikan larutan glukosa 50% dengan dosis 1g/kg bb, lalu segera ambil darah tikus dan kadar glukosanya diukur sebagai kadar glukosa darah pada menit ke-0, selanjutnya darah tikus diambil pada menit ke 30,60,90,120,150 dan 180. Data yang diperoleh merupakan hasil uji toleransi glukosa oral.

Setelah uji toleransi glukosa oral, lalu tikus kembali diberi makan dan minum secara normal setiap hari. Lalu pada setiap harinya diberikan suspense


(56)

ekstrak etanol G. verrucosa. Pada hari ke 17, 22 dan 28, ukur gula adarah masing-masing tikus, sebelum diukur gula darahnya, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam. Setelah itu darah tikus diambil dan diukur kadar glukosanya dengan glukometer. Data yang diperoleh merupakan hasil uji hipoglikemia.

Lakukan perlakuan yang sama pada kelompok hewan uji ekstrak etanol K. alvarezii dosis sedang.

f) Kelompok uji dosis tinggi

Tikus dipuasakan selama 16 jam. Sebelum diberikan perlakuan, darah tikus diambil melalui vena ekor tikus dan diukur sebagai kadar glukosa puasa menggunakan glukometer. Kemudian tikus diberi larutan ekstrak etanol G. verrucosa dosis tinggi menggunakan sonde lambung. 30 menit setelah pemberian, tikus diberikan larutan glukosa 50% dengan dosis 1g/kg bb, lalu segera ambil darah tikus dan kadar glukosanya diukur sebagai kadar glukosa darah pada menit ke-0, selanjutnya darah tikus diambil pada menit ke 30,60,90,120,150 dan 180. Data yang diperoleh merupakan hasil uji toleransi glukosa oral.

Setelah uji toleransi glukosa oral, lalu tikus kembali diberi makan dan minum secara normal setiap hari. Lalu pada setiap harinya diberikan suspense ekstrak etanol G. verrucosa dosis tinggi. Pada hari ke 17, 22 dan 28, ukur gula adarah masing-masing tikus, sebelum diukur gula darahnya, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam. Setelah itu darah tikus diambil dan diukur kadar glukosanya dengan glukometer. Data yang diperoleh merupakan hasil uji hipoglikemia.


(57)

Lakukan perlakuan yang sama pada kelompok hewan uji ekstrak etanol K. alvarezii dosis tinggi.

3.12. Uji statistik terhadap kadar glukosa darah a. Pengolahan Data

Data yang diperoleh diolah secara statistik menggunakan SPSS. Analisis yang dilakukan yaitu uji homogenitas dan uji kenormalan, selanjutnya dilakukan analisis varian satu arah ( ANOVA ) untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan.

Bila terdapat perbedaan bermakna, maka untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Hipotesis :

Ho : tidak ada perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok. Ha : terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok. Pengambilan Keputusan :

Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima. Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak.

b. Persentase penurunan kadar glukosa darah dengan rumus sebagai berikut:

GO - Gt x 100% GO

Keterangan :

GO : gula darah puasa sebelum diberikan sediaan uji Gt : gula darah puasa setelah diberikan sediaan uji


(58)

43

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di LIPI Oseanografi, Ancol. Hasil Determinasi menunjukkan bahwa Rumput laut ini adalah jenis ganggang merah G. verrucosa dan K. alvarezii.

4.1.2. Ekstraksi

Sebanyak 300 gram serbuk G. verrucosa dimaserasi dengan Etanol 70% kemudian dipekatkan dengan rotavapor dan didapatkan ekstrak kental 30 g K. alvarezii juga dimaserasi dan dipekatkan dan didapatkan 12 g.

4.1.3. Penapisan Fitokimia

Berdasarkan hasil pemeriksaan penapisan fitokimia G. verrucosa dan K.alvarezii terdapat saponin dan terpenoid pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil penapisan fitokimia

Karakteristik ekstrak Ekstrak Etanol G. verrucosa

Ekstrak Etanol K. alvarezii

a. Alkaloid - -


(59)

c. Saponin + +

d. Steroid/ triterpenoid + +

e. Tannin - -

f. Kuinon - -

g. Minyak Atsiri - -

Keterangan : (+) : positif (-) : negatif

4.1.4. Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Pada Merode Toleransi Glukosa Oral

a. Nilai rerata dan standar deviasi

Pengukuran pada metode toleransi glukosa oral memperlihatkan nilai rerata dan standar deviasi dari tiap kelompok. Kenaikan kadar glukosa darah terjadi pada menit ke-30 setelah sebelumnya diberi larutan glukosa, dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Nilai rerata dan standar deviasi pada metode toleransi glukosa oral

Kel. Perlaku an

Kadar rata-rata glukosa darah dan standar deviasi (mg/dl) Waktu (Menit )

0 30 60 90 120 150 180

KN 103.6±6 110.3 ±10.06 109±13.45 110.3±11.5 109±9.16 109.3±10.1 102±5.29 K(+) 116±3.6 165.67±5.03 113.67±15.5 96±7 87±6.9 104.3±4.93 96.3±4.7 K(-) 108.7±6 213.67±45.9 181±29.46 239±50.68 220.3±52.8 203±41.94 108.3±6.8 D1 90.7±7.5 156.3±24 132.67±14.4 122.67±17.6 123.3±11.1 127.67±3 95±8.88 D2 95±17.8 226.67±34.6 144±23.89 116.67±10.1 110.67±11 118±32.05 90.3±4.72


(60)

D3 110.3±3 236.67±15.5 190.7±45.56 219±39.5 208.3±5.51 177.3±24.5 175.3±28.74 E1 98±15.5 184.7±54 195.7±102.5 159±46.2 136±35.1 120.7±9.6 101±7.8 E2 99±6.5 196±46 177±49.8 146.7±35.5 127.3±12.6 104.3±7.4 98.3±10.06 E3 89±11 208.7±77.7 205.7±98.6 188.3±101.5 164.3±101 152±76.3 133.67±49.9 Keterangan :

KN : Kontrol normal K(+) : Kontrol positif K(-) : Kontrol negatif

D1 : Dosis rendah G. verrucosa D2 : Dosis sedang G. verrucosa D3 : Dosis tinggi G. verrucosa E1 : Dosis rendah K. alvarezii E2 : Dosis sedang K. alvarezii E3 : Dosis tinggi K. alvarezii

b. Persentase penurunan kadar glukosa darah

Pada tabel 6 menunjukkan persentase penurunan kadar glukosa darah pada tiap kelompok, penurunan yang paling besar dan stabil terjadi pada kelompok D2 dan kelompok E2.

Tabel 6.Persentase penurunan pada metode toleransi glukosa oral

Kelompok perlakuan

Waktu ( Menit )

Ke-60 Ke-90 Ke-120 Ke-150 Ke-180 K(+) 31,38 % 42,06 % 47,49 % 37,05 % 41,88 % D1 15,09 % 21,49 % 21,11 % 18,29 % 39,22 % D2 36,47 % 48,52 % 51,17 % 47,95 % 60,16 %


(61)

D3 19,43 % 7,47 % 11,99 % 25,09 % 25,94 % E1 -5,95 % 13,91 % 26,36 % 34,65 % 45,32 % E2 9,69 % 25,15 % 35,05 % 46,78 % 49,85 % E3 1,44 % 9,77 % 21,27 % 27,17 % 35,94 % Keterangan :

KN : Kontrol normal K(+) : Kontrol positif K(-) : Kontrol negatif

D1 : Dosis rendah G. verrucosa D2 : Dosis sedang G. verrucosa D3 : Dosis tinggi G. verrucosa E1 : Dosis rendah K. alvarezii E2 : Dosis sedang K. alvarezii E3 : Dosis tinggi K. alvarezii

c. Grafik kadar glukosa darah

Seluruh kelompok uji mengalami penurunan kadar gula darah di menit ke-60. Penurunan yang bermakna terjadi pada kelompok D2 dilihat pada gambar 4.

0 50 100 150 200 250 300

0 30 60 90 120 150 180

K ad ar g lu ko sa d ar ah (m g /d l) KN K(+) K(-) D1 D2 D3 E1 E2 E3


(1)

Tabel 29

.

Uji Kruskal Wallis K. Alvarezii pada metode induksi aloksan

Keputusan : Nilai signifikansi

0,05 maka Ho ditolak, artinya data penurunan

kadar glukosa darah seluruh kelompok perlakuan pada hari ke- 4 dan ke-15

berbeda secara bermakna, maka dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant

Difference) atau uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Uji BNT merupakan uji lanjutan

yang dilakukan apabila hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan yang

bermakna antar kelompok. Pada hari ke-8, nilai signifikan

0,05 maka seluruh

kelompok uji tidak ada perbedaan bermakna

Tabel 30

.

Uji BNT K. Alvarezii pada metode induksi aloksan

LSD

Dependent

Variable (I) kelompok (J) kelompok

Mean Difference (I-J)

Stdosis Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound hari_1 kontrol normal kontrol positif -97.667 64.087 .153 -237.30 41.97

kontrol negative -105.333 64.087 .126 -244.97 34.30 dosis rendah K. Alvarezii -135.000 64.087 .057 -274.63 4.63

dosis sedang K. Alvarezii -153.000* 64.087 .034 -292.63 -13.37

dosis tinggi K. Alvarezii -278.667* 64.087 .001 -418.30 -139.03

kontrol positif kontrol normal 97.667 64.087 .153 -41.97 237.30 kontrol negative -7.667 64.087 .907 -147.30 131.97 Test Statisticsa,b

hari_8 Chi-Square 14.240

Df 5


(2)

dosis rendah K. Alvarezii -37.333 64.087 .571 -176.97 102.30

dosis sedang K. Alvarezii -55.333 64.087 .405 -194.97 84.30

dosis tinggi K. Alvarezii -181.000* 64.087 .015 -320.63 -41.37

kontrol negatif kontrol normal 105.333 64.087 .126 -34.30 244.97 kontrol positif 7.667 64.087 .907 -131.97 147.30 dosis rendah K. Alvarezii -29.667 64.087 .652 -169.30 109.97

dosis sedang K. Alvarezii -47.667 64.087 .471 -187.30 91.97

dosis tinggi K. Alvarezii -173.333* 64.087 .019 -312.97 -33.70

dosis rendah K. Alvarezii

kontrol normal 135.000 64.087 .057 -4.63 274.63 kontrol positif 37.333 64.087 .571 -102.30 176.97 kontrol negative 29.667 64.087 .652 -109.97 169.30 dosis sedang K. Alvarezii -18.000 64.087 .784 -157.63 121.63

dosis tinggi K. Alvarezii -143.667* 64.087 .045 -283.30 -4.03

dosis sedang K. Alvarezii

kontrol normal 153.000* 64.087 .034 13.37 292.63 kontrol positif 55.333 64.087 .405 -84.30 194.97 kontrol negative 47.667 64.087 .471 -91.97 187.30 dosis rendah K. Alvarezii 18.000 64.087 .784 -121.63 157.63

dosis tinggi K. Alvarezii -125.667 64.087 .074 -265.30 13.97

dosis tinggi K. Alvarezii

kontrol normal 278.667* 64.087 .001 139.03 418.30 kontrol positif 181.000* 64.087 .015 41.37 320.63 kontrol negative 173.333* 64.087 .019 33.70 312.97 dosis rendah K. Alvarezii 143.667* 64.087 .045 4.03 283.30

dosis sedang K. Alvarezii 125.667 64.087 .074 -13.97 265.30

hari_4 kontrol normal kontrol positif 23.333 38.276 .553 -60.06 106.73 kontrol negative -113.667* 38.276 .012 -197.06 -30.27 dosis rendah K. Alvarezii -84.667* 38.276 .047 -168.06 -1.27

dosis sedang K. Alvarezii -50.333 38.276 .213 -133.73 33.06

dosis tinggi K. Alvarezii -5.333 38.276 .891 -88.73 78.06

kontrol positif kontrol normal -23.333 38.276 .553 -106.73 60.06 kontrol negatif -137.000* 38.276 .004 -220.40 -53.60 dosis rendah K. Alvarezii -108.000* 38.276 .015 -191.40 -24.60


(3)

dosis tinggi K. Alvarezii -28.667 38.276 .468 -112.06 54.73

kontrol negatif kontrol normal 113.667* 38.276 .012 30.27 197.06 kontrol positif 137.000* 38.276 .004 53.60 220.40 dosis rendah K. Alvarezii 29.000 38.276 .463 -54.40 112.40

dosis sedang K. Alvarezii 63.333 38.276 .124 -20.06 146.73

dosis tinggi K. Alvarezii 108.333* 38.276 .015 24.94 191.73

dosis rendah K. Alvarezii

kontrol normal 84.667* 38.276 .047 1.27 168.06 kontrol positif 108.000* 38.276 .015 24.60 191.40 kontrol negatif -29.000 38.276 .463 -112.40 54.40 dosis sedang K. Alvarezii 34.333 38.276 .387 -49.06 117.73

dosis tinggi K. Alvarezii 79.333 38.276 .060 -4.06 162.73

dosis sedang K. Alvarezii

kontrol normal 50.333 38.276 .213 -33.06 133.73 kontrol positif 73.667 38.276 .078 -9.73 157.06 kontrol negatif -63.333 38.276 .124 -146.73 20.06 dosis rendah K. Alvarezii -34.333 38.276 .387 -117.73 49.06

dosis tinggi K. Alvarezii 45.000 38.276 .263 -38.40 128.40

dosis tinggi K. Alvarezii

kontrol normal 5.333 38.276 .891 -78.06 88.73

kontrol positif 28.667 38.276 .468 -54.73 112.06 kontrol negatif -108.333* 38.276 .015 -191.73 -24.94 dosis rendah K. Alvarezii -79.333 38.276 .060 -162.73 4.06

dosis sedang K. Alvarezii -45.000 38.276 .263 -128.40 38.40

hari_8 kontrol normal kontrol positif 25.667 28.661 .388 -36.78 88.11 kontrol negatif -118.333* 28.661 .001 -180.78 -55.89 dosis rendah K. Alvarezii -132.667* 28.661 .001 -195.11 -70.22

dosis sedang K. Alvarezii -48.667 28.661 .115 -111.11 13.78

dosis tinggi K. Alvarezii -11.667 28.661 .691 -74.11 50.78

kontrol positif kontrol normal -25.667 28.661 .388 -88.11 36.78 kontrol negatif -144.000* 28.661 .000 -206.45 -81.55 dosis rendah K. Alvarezii -158.333* 28.661 .000 -220.78 -95.89

dosis sedang K. Alvarezii -74.333* 28.661 .024 -136.78 -11.89

dosis tinggi K. Alvarezii -37.333 28.661 .217 -99.78 25.11

kontrol negatif kontrol normal 118.333* 28.661 .001 55.89 180.78 kontrol positif 144.000* 28.661 .000 81.55 206.45


(4)

dosis rendah K. Alvarezii -14.333 28.661 .626 -76.78 48.11

dosis sedang K. Alvarezii 69.667* 28.661 .032 7.22 132.11

dosis tinggi K. Alvarezii 106.667* 28.661 .003 44.22 169.11

dosis rendah K. Alvarezii

kontrol normal 132.667* 28.661 .001 70.22 195.11 kontrol positif 158.333* 28.661 .000 95.89 220.78 kontrol negatif 14.333 28.661 .626 -48.11 76.78 dosis sedang K. Alvarezii 84.000* 28.661 .013 21.55 146.45

dosis tinggi K. Alvarezii 121.000* 28.661 .001 58.55 183.45

dosis sedang K. Alvarezii

kontrol normal 48.667 28.661 .115 -13.78 111.11 kontrol positif 74.333* 28.661 .024 11.89 136.78 kontrol negatif -69.667* 28.661 .032 -132.11 -7.22 dosis rendah K. Alvarezii -84.000* 28.661 .013 -146.45 -21.55

dosis tinggi K. Alvarezii 37.000 28.661 .221 -25.45 99.45

dosis tinggi K. Alvarezii

kontrol normal 11.667 28.661 .691 -50.78 74.11

kontrol positif 37.333 28.661 .217 -25.11 99.78 kontrol negatif -106.667* 28.661 .003 -169.11 -44.22 dosis rendah K. Alvarezii -121.000* 28.661 .001 -183.45 -58.55

dosis sedang K. Alvarezii -37.000 28.661 .221 -99.45 25.45

hari_15 kontrol normal kontrol positif 29.000 24.161 .253 -23.64 81.64 kontrol negatif -113.667* 24.161 .001 -166.31 -61.02 dosis rendah K. Alvarezii -158.333* 24.161 .000 -210.98 -105.69

dosis sedang K. Alvarezii -14.000 24.161 .573 -66.64 38.64

dosis tinggi K. Alvarezii -.333 24.161 .989 -52.98 52.31

kontrol positif kontrol normal -29.000 24.161 .253 -81.64 23.64 kontrol negatif -142.667* 24.161 .000 -195.31 -90.02 dosis rendah K. Alvarezii -187.333* 24.161 .000 -239.98 -134.69

dosis sedang K. Alvarezii -43.000 24.161 .100 -95.64 9.64

dosis tinggi K. Alvarezii -29.333 24.161 .248 -81.98 23.31

kontrol negatif kontrol normal 113.667* 24.161 .001 61.02 166.31 kontrol positif 142.667* 24.161 .000 90.02 195.31 dosis rendah K. Alvarezii -44.667 24.161 .089 -97.31 7.98

dosis sedang K. Alvarezii 99.667* 24.161 .001 47.02 152.31


(5)

dosis rendah K. Alvarezii

kontrol normal 158.333* 24.161 .000 105.69 210.98 kontrol positif 187.333* 24.161 .000 134.69 239.98

kontrol negatif 44.667 24.161 .089 -7.98 97.31

dosis sedang K. Alvarezii 144.333* 24.161 .000 91.69 196.98

dosis tinggi K. Alvarezii 158.000* 24.161 .000 105.36 210.64

dosis sedang K. Alvarezii

kontrol normal 14.000 24.161 .573 -38.64 66.64

kontrol positif 43.000 24.161 .100 -9.64 95.64

kontrol negatif -99.667* 24.161 .001 -152.31 -47.02 dosis rendah K. Alvarezii -144.333* 24.161 .000 -196.98 -91.69

dosis tinggi K. Alvarezii 13.667 24.161 .582 -38.98 66.31

dosis tinggi K. Alvarezii

kontrol normal .333 24.161 .989 -52.31 52.98

kontrol positif 29.333 24.161 .248 -23.31 81.98 kontrol negatif -113.333* 24.161 .001 -165.98 -60.69 dosis rendah K. Alvarezii -158.000* 24.161 .000 -210.64 -105.36

dosis sedang K. Alvarezii -13.667 24.161 .582 -66.31 38.98

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Kesimpulan :

1.

Pada hari ke-1, kelompok kontrol normal tidak berbeda secara

bermakna dengan seluruh kelompok perlakuan bila dilihat dari nilai

signifikansi



0,05.

2.

Pada hari ke-4, kelompok kontrol normal tidak berbeda secara

bermakna dengan kelompok dosis sedang dan tinggi K. Alvarezii bila

dilihat dari nilai signifikansi



0,05. Namun berbeda secara

bermakna dengan kelompok kontrol negatif, dosis rendah K. Alvarezii,

bila dilihat dari nilai signifikansi



0,05.

3.

Pada hari ke-4, 8, dan 15, kelompok kontrol normal berbeda secara

bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dosis

rendah

K. Alvarezii, bila dilihat dari nilai signifikansi



0,05.


(6)

Namun tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif, dosis sedang dan dosis tinggi

K. Alvarezii, bila dilihat dari

nilai signifikansi



0,05.