Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor

ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN
TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR

ALTRI HARWANTO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

ABSTRAK
ALTRI HARWANTO. Analisis Nilai Tambah dan Keuntungan Pengolahan
Tepung Tapioka, di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI RACHMINA.
Nilai ubi kayu akan meningkat bila diolah lebih lanjut menjadi berbagai
bahan pangan, salah satunya dengan mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka.
Pengolahan tapioka dapat dilakukan pada unit pengolahan tepung tapioka dengan
skala yang berbeda. Pengolahan ubi kayu tentunya dapat meningkatkan nilai
tambah, namun besarnya nilai tambah tersebut belum diketahui secara pasti.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya nilai tambah dan keuntungan
dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Analisis dilakukan dengan
membandingkan nilai tambah dan keuntungan per kilogram tepung tapioka pada

skala unit pengolahan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
tambah dan keuntungan unit pengolahan skala besar lebih tinggi yakni Rp 273.60
per kg dan Rp 285.23 per kg dibandingkan nilai tambah dan keuntungan unit
pengolahan skala kecil sebesar Rp 206.74 per kg dan Rp 165.13 per kg. Biaya
produksi pada unit pengolahan skala besar lebih kecil yakni Rp 1 352.27 per kg
dibandingkan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 1 463.00 per kg.
Kata kunci: unit pengolahan tepung tapioka, keuntungan, nilai tambah, ubi kayu

ABSTRACT
ALTRI HARWANTO. Added Value and Profit Analysis of Tapoica Processing in
Bogor. Supervised by DWI RACHMINA.
Cassava added value will be increased if it is processed to other varieties of
food such us tapioca. Tapioca was processed by every level of processing unit.
Though processing is certainly will increase the added value of tapioca, the certain
amount of the added value increased is still unkown. This study aimed to analyze
the added value and profit that was obtained from cassava processing. The
analysis was conducted by comparing the added value and the profit per kilogram
of tapioca for every scale of processing unit. The result indicated that the added
value and the profit of large scale processing unit was higher, by Rp 273.60 per kg
of added value and Rp 285.23 per kg of profit, than the added value and the profit

of small scale processing unit, which were Rp 206.74 per kg added value and Rp
165.13 of profit. Production cost large scale processing unit had lower cost, which
was Rp 1 352.27 per kg, than that of small scale processing unit which was 1
463.00 per kg.
Keywords : added value, cassava, profit, tapioca

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Nilai Tambah
Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014


Altri Harwanto
NIM H34114027

ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN
TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR

ALTRI HARWANTO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka

di Kabupaten Bogor
Nama
: Altri Harwanto
NIM
: H34114027

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina. MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina. MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai kaya akhir
dengan judul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten
Bogor sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Alih Jenis Agribisnis
Institut Pertanian Bogor. Laporan ini merupakan hasil penelitian penulis yang
dilaksanakan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis
sebagai bentuk penghargaan kepada kedua orang tua tercinta yang telah
memberikan dukungan, doa, dan materi yang mengantarkan penulis menuju satu
titik menuju masa depan, Dr Ir Dwi Rachmina MSi sebagai dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Pengusaha unit pengolahan tapioka kasar
di Desa Pasir Laja dan Desa Cijujung yang telah memberikan data, serta semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, Mei 2014

Altri Harwanto


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Unit pengolahan
Perhitungan dan Alokasi Nilai Tambah
Pengaruh Skala Industri Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan
Teknologi Pengolahan Tapioka
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Nilai Tambah
Hubungan Skala Unit Pengolahan dengan Biaya Produksi
Kerangka Pemikiran Operasional

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kecamatan Sukaraja
Gambaran Umum Unit pengolahan Tapioka Kasar
Analisis Nilai Tambah
Keuntungan Total Unit pengolahan Tapioka Kasar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
vii
viii
viii

1
1
4
5
5
5
5
7
9
10
11
11
11
12
14
16
16
16
17
17

19
19
21
25
31
38
38
39
40
41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15
16

Produksi Tanaman Pangan di Jawa Barat Tahun 2008 - 2012 (Ton)
Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Kayu di Pulau Jawa
Tahun 2012
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu di Jawa Barat
Tahun 2008-2012
Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Kayu di Kabupaten Bogor
Tahun 2008-2011
Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami
Klasifikasi Penduduk Kecamatan Sukaraja Menurut Agama Tahun 2011
Jumlah Rumah Tangga Kecamatan Sukaraja Berdasarkan Pekerjaan
Tahun 2011

Karakteristik Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar
dan Skala Kecil Tahun 2013
Perhitungan Rata-Rata Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka Kasar
di Kabupaten Bogor Tahun 2013
Proporsi Penggunaan Tenaga Kerja Unit Pengolahan Tepung Tapioka
Berdasarkan Skala Produksi Tahun 2013
Sumbangan Input Lain Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka
Kasar di Kabupaten Bogor Tahun 2013
Biaya-Biaya Tetap Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor
Tahun 2013
Biaya-Biaya Variabel Pengolahan Tepung Tapioka Skala Besar
di Kabupaten Bogor Tahun 2013
Biaya-Biaya Variabel Pengolahan Tepung Tapioka Skala Kecil
di Kabupaten Bogor Tahun 2013
Perhitungan Keuntungan Unit Pengolahan Tepung Tapioka
di Kabupaten Bogor Tahun 2013
Perbandingan Nilai Tambah Dan Keuntungan Pengolahan Tapioka Kasar
Per Kg Ubi Kayu di Kabupaten Bogor Tahun 2013

1
1
2
3
18
20
20
24
27
28
29
32
34
35
36
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Rata-Rata Biaya Produksi Jangka Panjang
Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Nilai Tambah
Pengolahaan Ubi Kayu
Proses Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka Kasar

13
15
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Distribusi Nilai Tambah Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar
Distribusi Nilai Tambah Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Kecil
Distribusi Marjin Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar
Distribusi Marjin Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Kecil
Penyusutan Alat Pengolahan Tapioka Kasar di Kabupaten Bogor
Tahun 2013
Perhitungan HOK Pengolahan Tepung Tapioka Kasar
di Kabupaten Bogor Tahun 2013

41
41
42
42
46
46

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Subsektor pertanian terdiri dari subsektor tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, perikanan, dan peternakan. Subsektor pertanian memiliki peranan
penting dalam memenuhi kebutuhan pokok manusia, namun yang paling utama
adalah tanaman pangan. Tanaman pangan adalah tanaman yang diproduksi atau
dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok atau pangan
sampingan. Tanaman pangan dapat langsung dikonsumsi atau diolah terlebih
dahulu agar manfaatnya lebih banyak dan memberikan nilai yang lebih tinggi.
Tanaman pangan menurut Badan Pusat Statistik terdiri dari komoditas padi,
jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Produksi
tanaman pangan di Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan yang cenderung
positif berkisar antara 0.74% sampai 15.18% per tahun kecuali pada komoditas
kacang hijau menurun sebesar 1.96% per tahun (Tabel 1).
Tabel 1 Produksi tanaman pangan di Jawa Barat tahun 2008 - 2012 (Ton)
2012

Laju
(%/thn)

Komoditi

2008

2009

2010

2011

Padi
Ubi Kayu
Jagung
Ubi Jalar
Kacang Tanah
Kedelai
Kacang Hijau

10 111 069

11 322 681

11 737 070

11 633 891

11 271 861

2.91

2 034 854

2 086 187

2 014 402

2 058 785

2 131 123

1.20

639 822

787 599

923 962

945 104

376 490

469 646

430 998

429 378

436 577

4.45

78 512

89 454

99 058

73 705

76 574

0.74

32 921

60 257

55 823

56 166

47 425 15.18

12 187

16 195

14 624

14 221

10 198 -1.96

1 028 653 12.88

Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2008 – 2012 (diolah)

Salah satu tanaman pangan yang dapat langsung dikonsumsi dan dapat
juga diolah lebih lanjut adalah ubi kayu. Ubi kayu perlu diolah lebih lanjut untuk
meningkatkan nilai ubi kayu. Jawa Barat menempati urutan ketiga sebagai
propinsi yang memproduksi ubi kayu dengan tingkat produksi ketiga terbanyak
di Pulau Jawa tahun 2012 terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Pulau Jawa tahun
2012
Provinsi
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Barat
Yogyakarta
DKI Jakarta
Total

Luas Panen (Ha)
168 501
194 142
108 678
61 769
5
533 095

Sumber : Badan Pusat Statistik 2012 (diolah)

Produktivitas (Ku/Ha)
205.29
165.12
202.85
148.77
114.18
836.21

Produksi (ton)
345 923.5
320 576.8
220 454.2
91 890.7
5.7
978 850.9

2

Jawa Barat memiliki tingkat produktivitas ubi kayu kedua tertinggi di
Pulau Jawa meskipun luas area panen yang dimiliki hanya berada pada urutan
ketiga tertinggi. Tingkat produksi dan produktivitas tersebut menunjukkan
bahwa ubi kayu di Jawa Barat masih memiliki potensi untuk dikembangkan
lebih lanjut menjadi berbagai bahan makanan yang dapat menambah nilai
ekonomi dari ubi kayu tersebut. Salah satu cara untuk menambah nilai ekonomi
dari ubi kayu yakni dengan mengolah ubi kayu menjadi bahan pangan langsung
atau bahan setengah jadi (bahan baku unit pengolahan). Bahan pangan langsung
misalnya diolah menjadi berbagai macam makanan seperti kue atau keripik,
sedangkan bahan baku unit pengolahan misalnya diolah menjadi tepung tapioka,
tepung mokaf, dan bioethanol.
Luas panen ubi kayu di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang cenderung
menurun. Laju pertumbuhan luas panen ubi kayu menurun sebesar 2.14% per
tahun. Penurunan luas panen tersebut disebabkan karena adanya konservasi
lahan atau alih fungsi lahan yang saat ini banyak terjadi pada lahan pertanian.
Pertumbuhan luas panen ubi kayu di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Jawa Barat tahun
2008-2012
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Laju (%/thn)

Luas Panen (Ha)
109 354.00
110 827.00
105 023.00
103 244.00
100 159.00
-2.14

Produktivitas (Ku/Ha)
186.08
188.24
191.81
199.41
212.77
3.43

Produksi (Ton)
2 034 854.00
2 086 187.00
2 014 402.00
2 058 785.00
2 131 123.00
1.20

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2008 – 2012 (diolah)

Produksi ubi kayu di Jawa Barat memiliki kecenderungan pertumbuhan
yang positif berdasarkan Tabel 3. Laju pertumbuhan produksi ubi kayu di Jawa
Barat sebesar 1.20% per tahun. Laju pertumbuhan produksi yang positif
memberikan arti bahwa ubi kayu adalah komoditas yang memiliki peluang untuk
diolah lebih lanjut karena produksi yang meningkat. Ketersediaan ubi kayu yang
meningkat memungkinkan para pengusaha pengolahan ubi kayu untuk
mengembangkan usahanya. Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat memiliki
kecenderungan yang meningkat, disebabkan karena teknik budidaya yang
semakin berkembang walaupun luas panen ubi kayu semakin berkurang. Ratarata pertumbuhan produktivitas ubi kayu di Jawa Barat sebesar 3.43% per tahun,
menunjukkan bahwa ketersediaan ubi kayu di Jawa Barat semakin meningkat
dan dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam olahan makanan.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang membudidayakan ubi
kayu. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor memiliki pertumbuhan yang
cenderung menurun sebesar 8.22% per tahun karena adanya konservasi lahan
ubi kayu menjadi lahan non ubi kayu. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten
Bogor memiliki pertumbuhan yang positif sebesar 3.29% per tahun.
Produktivitas ubi kayu meningkat karena teknik budidaya yang semakin
berkembang. Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Kabupaten
Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.

3

Tabel 4 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor
tahun 2008-2011
Tahun
Luas Panen (Ha)
Produktivitas (Ku/Ha)
Produksi (Ton)
2008
10 073.00
197.16
198 597.00
2009
8 342.00
192.67
160 728.00
2010
8 357.00
202.36
169 113.00
2011
7 718.00
216.76
167 295.00
Laju (%/thn)
-8.22
3.29
-4.98
Sumber : Departemen Pertanian 2008-2011 (Diolah)

Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan yang
menurun sebesar 4.98% per tahun. Pertumbuhan produksi ubi kayu menurun
disebabkan lahan ubi kayu yang semakin berkurang akibat pergantian komoditas
pada lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Petani
kurang tertarik untuk membudidayakan ubi kayu karena harga ubi kayu relatif
murah walaupun produktivitas ubi kayu memiliki pertumbuhan yang positif.
Ubi kayu merupakan bahan baku industri pengolahan seperti gaplek dan
tapioka. Pengolahan ubi kayu akan meningkatkan nilai tambah. Besarnya nilai
tambah yang diciptakan tergantung dari pengolahan yang dilakukan terhadap ubi
kayu. Ubi kayu dapat diolah menjadi bahan baku unit pengolahan seperti unit
pengolahan tepung tapioka. Adanya unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung
tapioka tentunya memberikan nilai tambah bagi ubi kayu itu sendiri. Teknologi
yang diterapkan oleh masing-masing unit pengolahan tapioka akan
menghasilkan nilai tambah yang bervariasi. Adanya variasi besarnya nilai
tambah yang diciptakan oleh unit pengolahan tapioka dan perbedaan alokasi
nilai tambah dari setiap unit pengolahan menjadi suatu yang unik untuk
dianalisis lebih lanjut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai besarnya
nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka.
Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang
memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah terlebih dahulu menjadi bentuk
lain yang lebih awet salah satunya diolah menjadi tepung tapioka. Tepung
tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain
sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung
jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka
cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai
bahan bantu pewarna putih1. Unit pengolahan tapioka berperan penting untuk
menghasilkan produk tepung tapioka yang berkualitas. Unit pengolahan ubi
kayu menjadi tepung tapioka memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik
yang pertama yaitu unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang
menghasilkan tepung dengan tekstur yang masih kasar, sedangkan karakteristik
yang kedua yaitu unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang
menghasilkan tepung dengan tekstur yang halus.

1

http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=6&doc=6b30 (diakses 2 Mei 2013)

4

Perumusan Masalah
Nilai tambah dipandang cukup penting dalam meningkatkan nilai ubi
kayu. Permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri pengolahan cenderung
lebih besar dari pada permintaan sebagai bahan pangan langsung. Salah satu
yang dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah yakni dengan mengolah ubi
kayu menjadi tepung tapioka. Pengolahan tersebut dilakukan oleh unit
pengolahan tapioka. Unit pengolahan tapioka terdiri dari unit pengolahan
tapioka kasar dan unit pengolahan tapioka halus.
Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dapat dibedakan
menjadi dua tahap pengolahan yaitu tahap pengolahan menjadi tepung tapioka
kasar dan tahap pengolahan menjadi tepung tapioka halus. Masing-masing tahap
diproses pada unit pengolahan yang berbeda. Perbedaan unit pengolahan
tersebut menjadi karakteristik tersendiri bagi unit pengolahan ubi kayu menjadi
tepung tapioka. Masing-masing karakter juga memiliki skala produksi yang
berbeda-beda. Unit pengolahan dengan karakteristik menghasilkan tepung
tapioka kasar merupakan unit pengolahan tapioka kasar yang dijalankan sebagai
tahap awal proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pada unit
pengolahan tapioka kasar, ubi kayu digiling menggunakan mesin penggiling
yang tergolong sederhana dan akan diperoleh output berupa tepung tapioka kasar
sesuai dengan skala produksi. Tepung tapioka kasar yang dihasilkan akan
dijadikan bahan baku pada unit pengolahan tepung tapioka halus guna diolah
lebih lanjut.
Unit pengolahan tepung tapioka halus merupakan unit pengolahan tapioka
yang menghasilkan tepung tapioka halus. Unit pengolahan tapioka halus
mengolah tepung tapioka kasar menggunakan mesin yang lebih canggih dari unit
pengolahan tapioka kasar sehingga dihasilkan tepung tapioka yang lebih halus.
Adanya karakteristik unit pengolahan tapioka yang berbeda, menghasilkan nilai
tambah dan alokasi yang berbeda terhadap tenaga kerja dan pengusaha.
Besarnya nilai tambah pengolahan tepung tapioka belum diketahui secara pasti.
Skala unit pengolahan yang berbeda tentu akan menghasilkan nilai tambah yang
berbeda. Untuk itu peneliti menganalisis besarnya nilai tambah yang diciptakan
dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka.
Pengolahan tepung tapioka selain meningkatkan nilai tambah juga
meningkatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh masing-masing skala
unit pengolahan juga belum diketahui secara pasti. Keuntungan sebagai
indikator keberhasilan unit pengolahan tepung tapioka juga perlu dianalisis demi
keberlanjutan unit pengolahan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka muncul pertanyaan yang perlu dijawab
pada penelitian ini yaitu :
1. Berapakah nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi
tepung tapioka pada masing-masing unit pengolahan ?
2. Berapakah keuntungan yang diperoleh oleh unit pengolahan pada masingmasing skala ?

5

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah :
1. Menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu
menjadi tepung tapioka.
2. Menganalisis keuntungan yang diperoleh unit pengolahan tapioka pada
masing-masing skala.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi unit pengolahan ubi kayu
sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang harus dijalankan
serta keputusan pengembangan usaha yang berkaitan dengan peningkatan nilai
tambah. Penelitian ini juga diharapkan sebagai penerapan ilmu yang telah
diperoleh selama masa perkuliahan bagi penulis sehingga menambah wawasan
dan pengetahuan penulis. Penelitian ini memberikan informasi sebagai referensi
atau literatur bagi pembaca mengenai nilai tambah dan keuntungan pengolahan
ubi kayu menjadi tepung tapioka, selain itu juga sebagai masukkan bagi
penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dan batasan penelitian yang berjudul Analisis Nilai
Tambah Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka di Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor, dikhususkan membahas mengenai analisis nilai tambah
pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada unit pengolahan tapioka
kasar. Unit pengolahan tapioka kasar merupakan unit pengolahan tapioka yang
menghasilkan output berupa tepung tapioka kasar. Penelitian ini juga
membandingkan nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan penggilingan per
skala dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar. Nilai tambah
dan keuntungan yang dibandingkan adalah nilai tambah dan keuntungan dari
setiap kilogram tepung tapioka kasar yang dihasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Unit pengolahan
Ubi kayu (Manihot esculenta, Crautz) termasuk tumbuhan berbatang
pohon lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi
yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan
termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter.
Pemeliharaannya mudah dan produktif. Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah
yang berketinggian 1 200 meter di atas permukaan air laut. Daun ubi kayu

6

memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan
tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut
berwarna kuning, hijau atau merah2.
Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan
kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah di Brasil dan Paraguay. Bentukbentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan
bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun spesies Manihot yang liar ada
banyak, semua varitas M. esculenta dapat dibudidayakan. Ketela pohon atau ubi
kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat dan dalam program diversifikasi
pangan digunakan sebagai bahan pangan alternatif selain beras. Tanaman ubi
kayu bukan merupakan tanaman pokok, namun selalu diusahakan petani untuk
menunjang kebutuhan pangan sehari-hari, terutama masyarakat pedesaan.
Tanaman ini juga dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis karena harga
umbi yang rendah dan selera masyarakat dewasa ini yang kurang menyukai
untuk mengkonsumsi umbinya. Selain diambil umbinya, ubikayu juga dipanen
daunnya sebagai sayuran yang mempunyai nilai gizi3.
Menurut Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian Departemen Pertanian-Jakarta (2005), singkong merupakan bahan
baku berbagai produk unit pengolahan seperti unit pengolahan makanan,
farmasi, tekstil dan lain-lain. Unit pengolahan makanan dari singkong cukup
beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong,
dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam
unit pengolahan makanan, pengolahan singkong dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan
(gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011), singkong
atau ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu sumber
karbohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi
dan jagung. Tanaman ini merupakan bahan baku yang paling potensial untuk
diolah menjadi tepung. Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri
dari kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2.5%, kadar protein 1%, kadar
lemak, 0.5% dan kadar abu 1%, karenanya merupakan sumber karbohidrat dan
serat makanan, namun sedikit kandungan zat gizi seperti protein. Singkong segar
mengandung senyawa glokosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh
enzim linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang
ditandai dengan bercak warna biru, akan menjadi toxin (racun) bila dikonsumsi
pada kadar HCN lebih dari 50 ppm. Pengelompokan ubikayu berdasarkan kadar
HCN menjadi 3 kelompok, yaitu (1) tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN
lebih dari 100 ppm (rasa pahit), seperti varietas Adira II, Adira IV dan Thailand,
(2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN 40 – 100 ppm, seperti varietas
UJ-5 dan (3) boleh dikonsumsi kadar HCN kurang dari 40 ppm (tidak pahit),
seperti varietas Adira I dan Manado. Ada korelasi antara kadar HCN ubikayu
segar dengan kandungan pati. Semakin tinggi kadar HCN semakin pahit dan
kadar pati meningkat dan sebaliknya. Oleh karena itu, unit pengolahan tapioka
umumnya menggunakan varietas berkadar HCN tinggi atau varietas pahit. Di
2
3

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=151 (Diakses 10 April 2013)
http://dinpertantph.jatengprov.go.id/tutorialubikayu.htm (Diakses 10 April 2013)

7

samping itu, ubikayu segar mengandung senyawa polifenol dan bila terjadi
oksidasi akan menyebabkan warna coklat (browning secara enzimatis) oleh
enzim fenolase, sehingga warna tepung kurang putih. Berdasarkan kadar
amilosa, ubikayu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ubikayu gembur (kadar
amilosa lebih dari 20%) yang ditandai secara fisik bila kulit ari yang berwarna
coklat terkelupas dan kulit tebalnya mudah dikupas, dan ubikayu kenyal (kadar
amilosa kurang dari 20%) yang ditandai bila kulit ari warna coklat tidak
terkelupas atau lengket pada kulit tebalnya dan kulit tebalnya sulit dikupas.

Perhitungan dan Alokasi Nilai Tambah
Nilai tambah merupakan nilai yang tercipta akibat adanya proses
pengubahan input dengan berbagai perlakuan sehingga meningkatkan nilai
output yang dihasilkan. Perlakuan tersebut meliputi pengubahan bentuk, waktu,
dan tempat. Nilai tambah yang diciptakan dari hasil pengolahan input pertanian
menjadi berbagai macam output berbeda-beda. Salah satu contoh penelitian
Pertiwi (2013) mengenai analisis nilai tambah dan pemasaran minyak Gaharu
pada CV. Aromindo. Analisis nilai tambah bertujuan untuk mengetahui besarnya
nilai tambah dan balas jasa terhadap faktor-faktor produksi akibat adanya
aktivitas yang terjadi mulai dari pengadaan bahan baku gaharu sampai produk
jadi minyak gaharu. Metode perhitungan nilai tambah yang digunakan adalah
metode Hayami.
Minyak gaharu yang dihasilkan dari bahan baku sebanyak 18 000 kg
adalah 18 kg. Nilai faktor konversi sebesar 0.001 didapat dari pembagian antara
nilai output yang dihasilkan dengan nilai input yang digunakan. Nilai konversi
menunjukkan arti bahwa setiap satu kilogram gaharu yang digunakan akan
menghasilkan 0.001 kg minyak gaharu, atau setiap penambahan 18 000 kg
gaharu akan menghasilkan 18 kg minyak gaharu. Nilai koefisien tenaga kerja
langsung sebesar 0.312 yang diperolah dari pembagian antara nilai hari orang
kerja (HOK) sebesar 5 616 HOK dengan nilai bahan baku yang menunjukkan
bahwa untuk mengolah satu kilogram gaharu menjadi minyak gaharu
dibutuhkan tenaga kerja sebesar 0.312 HOK, atau setiap penambahan 1 000 kg
gaharu menjadi satu kilogram minyak gaharu membutuhkan tenaga kerja
langsung sebanyak 312 HOK. Upah rata-rata tenaga kerja dari pengolahan
gaharu menjadi minyak gaharu sekitar Rp 28 205 per HOK, diperoleh dari hasil
bagi antara total upah tenaga kerja langsung dengan total HOK yang dibutuhkan.
Nilai produk didapat dari perkalian faktor konversi dengan harga produk. Harga
yang ditetapkan adalah Rp 130 000 000 per kilogram miyak gaharu, sehingga
didapat nilai minyak gaharu sebesar Rp 130 000 yang berarti bahwa setiap
pengolahan satu kilogram gaharu akan menghasilkan nilai minyak gaharu
sebesar Rp 130 000 per kilogram. Nilai minyak gaharu dikurangi dengan harga
minyak gaharu dan harga input lain menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 66
342 per kilogram. Nilai tambah tersebut akan menghasilkan rasio nilai tambah
sebesar 51.032% bila dibagi dengan nilai produk. Rasio nilai tambah
menunjukkan arti bahwa dari Rp 130 000 nilai produk, sebesar 51.032
persennya merupakan nilai tambah dari pengolahan produk. Nilai tambah ini
merupakan nilai tambah kotor bagi pengolah karena masih mengandung imbalan

8

terhadap tenaga kerja langsung dan keuntngan perusahaan pengolah. Imbalan
bagi tenaga kerja langsung sebesar Rp 8 800 per kilogram dengan bagian tenaga
kerja terhadap nilai tambah sebesar 13.265%. Nilai imbalan tenaga kerja
langsung diperoleh dari perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah
rata-rata tenaga kerja per HOK. Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan
satu kilogram gaharu menjadi minyak gaharu sekitar Rp 57 542 per kilogram
bahan baku, dimana nilai tersebut merupakan nilai tambah bersih karena telah
dikurangi dengan imbalan tenaga kerja langsung.
Pengolahan minyak gaharu menghasilkan nilai tambah sebesar 51.032%,
dimana 86.735% dialokasikan untuk keuntungan bagi pengusaha dan 13.26%
dialokasikan untuk imbalan tenaga kerja. Hasil alokasi nilai tambah tersebut
menunjukkan bagaimana karakteristik CV. Aromindo. Alokasi terbesar dari nilai
tambah yakni untuk keuntungan pengusaha, artinya bahwa CV. Aromindo
sebagai unit pengolahan minyak gaharu merupakan unit pengolahan yang
memiliki karakteristik padat modal. Sedangkan jika alokasi nilai tambah terbesar
untuk imbalan tenaga kerja CV. Aromindo merupakan unit pengolahan dengan
karakteristik padat karya.
Penelitian mengenai nilai tambah bahan pangan dilakukan oleh
Tunggadewi (2009). Penelitian bertujuan menganalisis profiitabilitas dan nilai
tambah usaha tahu di Kelurahan Tegal Gundil dan usaha tempe di Kelurahan
Cilendek Timur. Tunggadewi (2009) menganalisis profitabilitas dengan
menghitung pendapatan, titik impas, marginal income ratio (MIR), serta
marginal of safety (MOS) dan juga menganalisis nilai tambah menggunakan
metode Hayami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahsa tahu melakukan
produksi sebanyak 300 kg per hari, sedangkan usaha tempe memproduksi 400
kg per hari. Faktor konversi usaha tahu sebesar 2.7 sedangkan usaha tempe
sebesar 2.17 yang menunjukkan bahwa setiap mengolah satu kg bahan baku
akan menghasilkan output sebesar nilai faktor konversi. Harga tahu yang
ditentukan sebesar Rp 4 972 per kg dan harga tempe sebesar Rp 5 283 per kg.
Nilai output yang dihasilkan usaha tahu dan tempe sebesar Rp 13 426 per
kg dan Rp 11 470 per kg kedelai yang diolah. Analisis nilai tambah yang
dilakukan terhadap usaha tahu dan tempe menunjukkan adanya perbedaan nilai
tambah antara kedua usaha. Nilai tambah dari pengolahan kedelai untuk usaha
tahu sebesar Rp 6 881 per kg, sedangkan usaha tempe sebesar Rp 4 947 per kg.
Berdasarkan rasio nilai tambah terhadap nilai output, untuk usaha tahu
menunjukan setiap Rp 100 nilai ouput tahu yang dihasilkan akan diperoleh nilai
tambah sebesar Rp 51 dan usaha tempe memperoleh nilai tambah sebesar Rp 43.
Usaha tahu memiliki nilai tambah yang lebih besar, namun usaha tahu dan
tempe memiliki kesamaan tingkat keuntungan sebesar 93%.
Besarnya
keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kedelai yang dilakukan masingmasing usaha yaitu sebesar Rp 6 381 untuk usaha tahu dan Rp 4 587 untuk
usaha tempe. Usaha tahu memperoleh keuntungan dan nilai tambah yang lebih
besar walau pun kedelai yang diolah usaha tempe lebih banyak karena proses
produksi tahu lebih singkat dibandingkan proses produksi tempe. Proses
produksi tempe lebih singkat karena kedelai yang diolah menjadi tempe harus
melalui beberapa tahapan dalam proses produksinya, yaitu perendaman,
pencucian, dan fermentasi, dimana masing-masing tahapan tersebut
membutuhkan waktu satu hari. Bagian tenaga kerja dari keuntungan nilai

9

tambah yang diperoleh usaha tahu dan tempe sama yaitu satu % dengan besar
imbalan yang diperoleh tenaga kerja pada masing-masing usaha per hari sebesar
Rp 500 untuk usaha tahu dan Rp 360 untuk usaha tempe. Imbalan untuk tenaga
kerja pada masing-masing usaha terlihat kecil, namun kedua Pengusaha usaha
telah mengatasinya dengan memberikan fasilitas seperti tempat tinggal dan
makanan sehari-hari.

Pengaruh Skala Industri Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan
Skala unit pengolahan input bisa jadi mempengaruhi nilai tambah yang
diciptakan, semakin besar skala unit pengolahan maka akan semakin besar nilai
tambah yang diciptakan. Pengaruh skala unit pengolahan terhadap nilai tambah
yang diciptakan dari pengolahan input telah dilakukan oleh banyak peneliti
sebelumnya. Salah satu contoh seperti yang dilakukan oleh Munawar (2010)
yang menganalisis nilai tambah dan pemasaran kayu sengon gergajian.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dengan
mengambil sampel sebanyak 13 pengelola kayu gergajian, distributor dua orang,
pedagang material dua orang, dan pedagang pengecer kayu sengon sebanyak
satu orang. Penggolongan skala unit pengolahan berdasarkan banyaknya mesin
utama gergajian yang digunakan, skala kecil menggunakan satu mesin utama,
skala menengah menggunakan dua mesin utama, dan skala besar menggunakan
tiga mesin utama. Dasar perhitungan nilai tambah pada kegiatan pengolahan
kayu sengon gergajian menggunakan per satuan meter kibuk kayu gergajian
sebagai bahan baku utama. Analisis nilai tambah bertujuan untuk mengetahui
besarnya nilai tambah pengolahan bahan baku kayu menjadi produk kayu
olahan, serta mengetahui distribusi marjin kepada faktor-faktor produksi yang
digunakan.
Munawar (2010) juga membandingkan nilai tambah yang diperoleh
berdasarkan skala unit pengolahan. Masing-masing skala memiliki perbedaan
nilai pada komponen perhitungan nilai tambah. Nilai pada perhitungan nilai
tambah tidak selalu berbanding lurus dengan skala unit pengolahan, terkadang
terdapat nilai unit pengolahan menengah yang lebih besar dari skala unit
pengolahan kecil dan besar. Nilai tersebut terdapat pada komponen koefisien
tenaga kerja, harga output, harga input bahan baku, nilai produk, rasio tenaga
kerja, dan imbalan tenaga kerja. Perbedaan nilai tersebut disebabkan oleh
kualitas dan ukuran kayu, serta biaya transportasi pada masing-masing skala unit
pengolahan.
Nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan kayu gergajian berbanding
lurus dengan skala unit pengolahan. Nilai tambah yang diciptakan oleh skala
unit pengolahan kecli sekitar Rp 103 879 per meter, skala menengah sebesar Rp
117 972 per meter, dan skala besar Rp 137 348 per meter, dengan rasio nilai
tambah untuk unit pengolahan skala kecil sebesar 18%, skala, menengah
19.09%, dan skala besar 24.22%. Distribusi marjin terbesar pertama adalah
kepada perusahaan, kedua adalah sumbangan input lain, dan ketiga adalah
pendapatan tenaga kerja. Kecilnya distribusi marjin kepada tenaga kerja
menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan pada unit pengolahan kayu gergajian
sengon merupakan kegiatan padat modal. Hasil perhitungan nilai tambah yang

10

dilakukan Munawar (2010) pada unit pengolahan kayu gergajian skala kecil,
menengah, dan besar, menunjukkan bahwa adanya pengaruh skala indusri
pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan. Semakin besar skala unit
pengolahan gergajian maka akan semakin meningkatkan nilai tambah.
Skala unit pengolahan tidak selalu berbanding lurus dengan nilai tambah.
Rochaeni et al (2003) meneliti tentang prospek pengembangan unit pengolahan
kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Tujuan penelititan untuk mengkaji
kondisi umum, nilai tambah, dan prospek pengembangan unit pengolahan kecil
tapioka. Penelitian dilakukan dengan menganalisis profitabilitas, nilai tambah,
dan SWOT dari unit pengolahan kecil tapioka. Unit pengolahan tapioka dibagi
menjadi tiga skala yaitu skala besar, sedang, dan kecil. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa skala sedang memiliki nilai tambah dan keuntungan yang
lebih besar dibandingkan dengan skala besar dan kecil. Rochaeni et al (2003)
menggabungkan produk utama dengan produk sampingan yakni tepung kasar
dan onggok, sehingga perhitungan nilai tambah yang dilakukan dengan
menghitung nilai tambah tepung kasar dan onggok. Skala unit pengolahan
berbanding terbalik dengan biaya rata-rata per kilogram yang dikeluarkan.
Semakin besar skala unit pengolahan tapioka maka semakin menurun biaya ratarata per kilogram yang dikeluarkan. Perbedaan penelitian terdahulu dengan
penelitian penulis terletak pada perlakukan produk sampingan. Produk
sampingan pada penelitian terdahulu diperlakukakn sebagai tambahan
pendapatan produk utama, sedangkan penulis memperlakukan produk
sampingan sebagai pengurang biaya produk utama.

Teknologi Pengolahan Tapioka
Pada unit pengolahan tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama tradisional, yaitu unit pengolahan tapioka
yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung
pada musim. Kedua semi modern, yaitu unit pengolahan tapioka yang
menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan.
Ketiga full otomate, yaitu unit pengolahan tapioka yang menggunakan mesin
dari proses awal sampai produk jadi. Unit pengolahan tapioka yang
menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses
produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan
menghasilkan tapioka berkualitas (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian 2005).
Berdasarkan penelitian terdahulu maka peneliti ingin menganalisis lebih
jauh mengenai nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka
berdasarkan skala unit pengolahan. Peneliti akan melihat besarnya nilai tambah
pada masing-masing skala unit pengolahan, kemudian menganalisis keuntungan
secara keseluruhan pada unit pengolahan tapioka kasar.

11

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis merupakan teori-teori yang digunakan untuk
menjawab tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai
tambah dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dan pengaruh skala
unit pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan. Teori yang digunakan
adalah teori yang dikemukakan oleh Hayami et al. (1987) mengenai nilai tambah
yang diciptakan dari hasil kegiatan pengolahan input pada unit pengolahan.

Konsep Nilai Tambah
Menurut Hayami et al (1987), definisi nilai tambah adalah pertambahan
nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada
komoditas tersebut. Input fungsional tersebut berupa proses perubahan bentuk
(form utility), pemindahan tempat (place utility), maupun penyimpanan (time
utility). Nilai tambah dapat dihitung dengan dua cara yaitu menghitung nilai
tambah selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses
pemasaran. Tujuan dari analisis nilai tambah untuk mengukur besarnya balas
jasa yang diterima pelaku sistem (pengolah) dan kesempatan kerja yang dapat
diciptakan oleh sistem tersebut.
Menurut Rahardjo (1986), definisi nilai tambah adalah selisih nilai produk
bruto dengan pengeluaran. Nilai produk bruto yang dimaksud adalah nilai output
ditambah dengan nilai jasa yang diberikan. Total pengeluaran yang dimaksud
meliputi gaji atau upah, bahan baku, bahan bakar, dan biaya lainnya.
Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena
adanya input yang diperlukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan
terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan
bentuk, tempat, dan waktu. Semakin banyak perubahan yang diperlakukan
terhadap komoditas maka akan semakin besar nilai tambah yang diperoleh.
Salah satu perubahan bentuk dapat dilakukan dengan cara mengolah komoditas
agar dapat dikonsumsi.
Secara umum nilai tambah berdasarkan metode Hayami diperoleh dengan
menghitung nilai variabel-variabel output, input, harga output, harga bahan
baku, dan sumbangan input lain serta balas jasa dari masing-masing faktor
produksi. Nilai tambah yang dihasilkan akan dialokasikan untuk keuntungan dan
tenaga kerja. Persentase nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan
produk dapat ditunjukkan dengan rasio nilai tambah. Komponen pendukung
dalam perhitungan nilai tambah terdiri dari tiga komponen yakni faktor
konversi, faktor koefisien tenaga kerja, dan nilai produk. Faktor konversi
menunjukkan banyaknya output yang dihasilkan dari satu satuan input,
sedangkan faktor koefisien tenaga kerja menunjukkan jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk mengolah satu satuan input, dan nilai produk menunjukkan
nilai output persatuan input.

12

Hubungan Skala Unit pengolahan dengan Biaya Produksi
Penggolongan unit pengolahan menurut Hayami et al (1987) didasarkan
pada tempat berlangsungnya kegiatan pengolahan, yaitu: a) dalam rumah tangga
(home processing) yang dilakukan sendiri oleh tenaga kerja dalam keluarga
dengan bahan baku yang berasal dari pertanian mereka sendiri, b) dalam
bangunan yang menempel atau terpisah dari rumah tempat tinggal tetapi masih
dalam satu pekarangan dengan bahan baku yang dibeli dari pasar dan terutama
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, c) dalam perusahaan kecil,
menengah, atau besar yang menggunakan tenaga kerja upahan dengan jumlah
tenaga kerja lebih dari 12 orang,tetapi tenaga kerja dalam keluarga juga
digunakan secara intensif.
Penggolongan unit pengolahan berdasarkan jumlah tenaga kerja menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) terdiri dari empat golongan yaitu:
1. Unit pengolahan Besar, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja
sebanyak 100 orang atau lebih.
2. Unit pengolahan Sedang, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja
sebanyak 20-99 orang.
3. Unit pengolahan Kecil, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja
sebanyak 5-19 orang.
4. Unit pengolahan Rumah Tangga, unit pengolahan yang memiliki tenaga
kerja sebanyak 1-4 orang.
Hoselitz dalam Rahardjo (1986) mengemukakan bahwa nampaknya ada
korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi atau unit pengolahan suatu
negara dengan kriteria kuantitatif yang ditentukan oleh negara bersangkutan
untuk mengukur besar kecilnya perusahaan, ini bisa berdasarkan ukuran modal
(fixed assets), jumlah buruh, dan nilai produksi dalam satu tahun.
Doll dan Orazem (1984) menyatakan skala usaha berkaitan dengan biaya
produksi suatu pengolahan input menjadi output. Terdapat teori tentang
hubungan skala dengan biaya produksi yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Peningkatan skala produksi akan berdampak pada penurunan biaya per satuan
output yang dikeluarkan. Titik A merupakan titik pertemuan kurva rata-rata
biaya per satuan output jangka pendek dengan kurva rata-rata biaya per satuan
output jangka panjang dimana suatu usaha mengeluarkan biaya minimum
dengan kuantitas optimum. Suatu usaha akan mengeluarkan biaya yang lebih
tinggi bila menambah jumlah produksi. Pengusaha cenderung akan
mengembangkan usahanya dengan memperbesar skala usaha seiring dengan
meningkatnya jumlah produksi. Kemampuan manajerial pengusaha akan
meningkat karena adanya pengalaman, pembelajaran dan kematangan. Dalam
jangka panjang pengusaha akan mampu merubah ukuran bisnisnya. Perubahan
yang dilakukan adalah perubahan yang meningkatkan efisiensi produksi
sehingga tujuan usaha tercapai.

13

Rp
LRAC
SRAC
Rp*

0

A

Q*

Q

Gambar 1 Rata-rata biaya produksi jangka panjang
Kurva biaya jangka pendek atau Sort Run Average Cost (SRAC)
menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan oleh
perusahaan dalam jangka pendek. Kurva biaya jangka panjang atau Long Run
Average Cost (LRAC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang
dikeluarkan perusahaan dalam jangka panjang. Kondisi dari nol sampai Q*
merupakan kondisi dimana perusahaan berproduksi dengan biaya rata-rata per
satuan output yang semakin menurun atau disebut juga kondisi decreasing cost.
Sedangkan kondisi dari Q* sampai Q merupakan kondisi dimana perusahaan
berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin menurun
atau disebut juga kondisi increasing cost.

Produk Gabungan dan Produk Sampingan
Proses produksi dalam suatu perusahaan tidak akan terhindar dari biayabiaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk. Perusahaan
adakalanya menghasilkan produk secara serentak dalam satu kali proses
produksi, hal ini disebut produksi gabungan. Perbedaan produk yang dihasilkan
biasanya disebut dengan produk utama dan produk sampingan. Menurut Charles,
Srikant, dan George (2008) produk utama adalah jika proses produksi gabungan
menghasilkan satu produk dengan total nilai jual yang tinggi dibandingkan
dengan total nilai jual produk lainnya dari proses tersebut, sedangkan produk
sampingan adalah produk yang dihasilkan dari proses produksi gabungan yang
memiliki total nilai jual lebih rendah dibandingkan total nilai jual produk utama.
Mulyadi (2005) mengemukakan pengertian produk gabungan dan produk
sampingan. Produk gabungan atau bersama adalah dua produk atau lebih yang
diproduksi secara serentak dengan serangkaian proses atau dengan proses
gabungan. Produk sampingan adalah satu produk atau lebih yang nilai jualnya
relatif lebih rendah, yang diproduksi bersama dengan produk lain yang nilai
jualnya lebih tinggi. Perbedaan antara produk gabungan dan produk sampingan
didasarkan pada nilai jual relatifnya. Metode akuntansi yang digunakan untuk
memperlakukan produk sampingan dibagi dalam dua golongan yakni metode

14

tanpa harga pokok (non-cost methods) dan metode dengan harga pokok ( cost
method).
Perlakuan produk sampingan menggunakan metode tanpa harga pokok
(non-costs method) dibedakan menjdai empat macam yaitu:
1. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pendapatan
di luar usaha.
2. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai tambahan
pendapatan penjualan produk utama.
3. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pengurang
harga pokok penjualan.
4. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pengurang
total biaya produksi.
Ronny (1990) juga mengemukakan pengertian produk gabungan atau
bersama adalah produk yang dihasilkan bersamaan dari suatu proses atau
melalui tahapan proses produksi. Pengertian ini menekankan bahwa dari suatu
proses tercipta beberapa jenis produk yang memiliki hubungan kuantitas
tertentu, namun hubungan ini tidak naik atau turun secara proporsional dalam
arti penambahan dalam satu jenis produk tidak secara otomatis menambah atau
mengurangi produk lain dengan jumlah yang selaras. Produksi sampingan adalah
satu atau lebih produk dalam jumlah yang relatif kecil yang dihasilkan secara
bersama, dengan produk utama yang memiliki nilai relatif besar.
Terdapat tiga jenis produk sampingan yakni pertama, produk sampingan
yang terjadi akibat dari pembersihan produk utama. Kedua, produk sampingan
merupakan sisa pembuangan yang tidak terpakai lagi. Ketiga, produk sampingan
yang tidak diperoleh dari suatu proses pengolahan, melainkan timbul dari
pengolahan bahan baku sebelum diproses ke dalam pabrik untuk memproduksi
produknya. Produk sampingan juga dapat dapat dikelompokkan dalam dua
kategori sesuai dengan kondisi pemasarannya pada saat dipisahkan yakni produk
sampingan yang dapat dijual dalam bentuk seadanya tanpa memerlukkan proses
pengolahan dan produk sampingan yang dapat dijual apabila telah selesai proses
pengolahan lebih lanjut.

Kerangka Pemikiran Operasional
Ubi kayu merupakan komoditas pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pangan langsung atau sebagai bahan baku industri pengolahan. Ubi kayu
atau singkong sebagai bahan baku industri pengolahan memiliki banyak manfaat
yang dapat dijadikan bioethanol, mokaf, tepung tapioka, dan berbagai macam
olahan makanan dari ubi kayu. Permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri
pengolahan lebih besar dibandingkan permintaan ubi kayu sebagai bahan pangan
langsung. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memiliki tambahan
manfaat atau kegunaan yang dihitung melalui besarnya nilai tambah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah yang
didapat dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang dianalisis
menggunakan metode Hayami. Perhitungan nilai tambah dimulai dengan
menghitung output dibagi dengan bahan baku yang dibutuhkan sehingga
didapatkan faktor konversi, kemudian dikalikan dengan harga output untuk

15

mendapatkan nilai output. Nilai output dikurangi dengan sumbangan input lain
dan harga bahan baku akan menghasilkan nilai tambah. Nilai tambah yang
dihitung adalah nilai tambah pada masing-masing skala unit pengolahan ubi
kayu menjadi tepung tapioka. Kemudian akan dibandingkan besarnya nilai
tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada
masing-masing skala unit pengolahan. Dari nilai tambah tersebut dapat dicari
rasio nilai tambah, bagian tenaga kerja, dan keuntungan, setelah itu dapat juga
dicari nilai balas jasa dari masing-masing faktor produksi yaitu imbalan tenaga
kerja, sumbangan input lain dan keuntungan. Secara umum kerangka pemikiran
pada penelitian ini dapat dilihat dari Gambar 2.

Ubi Kayu dapat Dimanfaatkan sebagai Bahan Pangan Langsung atau
Bahan Baku Industri Pengolahan

Industri Pengolahan Tapioka

Unit Pengolahan Tapioka Kasar

Skala
Industri
Pengolahan

Nilai Tambah

Bagian
Tenaga Kerja

Keuntungan

Rekomendasi

Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional analisis nilai tambah pengolahaan
ubi kayu

16

Input produksi merupakan berbagai faktor produksi yang mempengaruhi
besarnya nilai tambah yang diciptakan. Penggunaan input produksi berupa
singkong, tenaga kerja, bahan pembantu lainnya dengan jumlah yang berbeda
akan berpengaruh terhadap besarnya nilai tambah yang diciptakan dan besarnya
nilai tambah yang dialokasikan kepada pekerja dan pengusaha. Selain itu
teknologi yang digunakan juga berpengaruh pada besarnya nilai tambah yang
diciptakan. Teknologi yang digunakan berhubungan dengan faktor konversi.
Penggunaan teknologi yang relatif sama akan menghasilkan faktor konversi
dengan nilai yang sama. Penggunaan input produksi dengan jumlah yang
berbeda juga akan menghasilkan jumlah output produksi yang berbeda. Output
produksi berupa tepung tapioka memiliki tekstur yang kasar dengan warna putih
bersih dan kering.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelititan dilakukan pada unit pengolahan pengolahaan ubi kayu menjadi
tepung tapioka di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor tepatnya di Desa
Cijujung dan Desa Pasir Laja. Pengumpulan data dimulai dari bulan September
hingga November 2013. Lokasi tersebut dipilih karena pertimbangan sebagai
berikut:
1. Bogor merupakan salah satu daerah penghasil tepung tapioka di Jawa Barat.
2. Kecamatan Sukaraja merupakan daerah sentra penghasil tepung tapioka di
Bogor.
3. Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja merupakan desa yang memiliki unit
pengolahan tapioka terbanyak di Kecamatan Sukaraja.
Penelitian ini mengan