Analisis Faktor Adopsi Dan Efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih : Studi Kasus Di Kabupaten Grobogan-Jawa Tengah

(1)

ANALISIS FAKTOR ADOPSI DAN EFEKTIVITAS VARIETAS

UNGGUL JAGUNG PUTIH: STUDI KASUS DI KABUPATEN

GROBOGAN JAWATENGAH

LAILA KADAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor Adopsi dan Efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih : Studi Kasus di Kabupaten Grobogan-Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2016

Laila Kadar

H152130171

1 Pelimpahan hak cipt atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait


(4)

RINGKASAN

LAILA KADAR. Analisis Faktor Adopsi dan Efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih : Studi Kasus di Kabupaten Grobogan-Jawa Tengah. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Jagung merupakan kebutuhan pangan pokok kedua setelah padi yang potensial dan mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk meningkatkan pendapatan petani dan menunjang program diversifikasi pangan. Khusus Jagung Putih menjadi alternatif makanan pokok pengganti beras di Kabupaten Grobogan dan dari luas total pertanaman jagung sekitar 95.000 ha dan 15-20% adalah Jagung Putih (Yasin, 2014). Varietas unggul merupakan komponen teknologi yang memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas, potensi hasil dan komponen pengendalian hama/penyakit. Tujuan penelitian ini adalah : 1) mengetahui karaketrisasi dan minat/motivasi petani terhadap Varietas Unggul Jagung Putih berdasarkan faktor pertimbangannya; 2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi Varietas Unggul Jagung Putih dalam mencapai transfer alih teknologi, 3) menganalisis efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih, dan 4) mengetahui hubungan efektifitas dengan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi Varietas Unggul Jagung Putih. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah (Desa Jatipohon, Godan dan Karangasem). Lokasi ditentukan secara

purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 120 petani dan 15 petani termasuk nara sumber (peneliti/penyuluh, mitra bisnis/pemasok). Analisis data secara deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan persentase, diagram dan tabel. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi dianalisis dengan model regresi logistik sedangkan dalam melihat efektivitas menggunakan analisis Importance Performance Analysis (IPA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inovasi teknologi Varietas Unggul Jagung Putih dinilai positif bagi petani dengan tingkat adopsi sekitar 66,7 persen. Minat/motivasi petani adopsi berdasarkan faktor pertimbangannya adalah varietas unggul, indeks pertanaman bisa 2-3 kali, harga benih lebih murah, benih dapat ditangkar sendiri oleh petani, kesesuaian agroekosistem, mudah diterapkan/tidak rumit. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap adopsi Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) adalah : Pendapatan (faktor internal), Pengetahuan/informasi teknologi, Dukungan penyuluh, Hama penyakit, dan Ketersediaan benih (faktor eksternal). Sedangkan faktor umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, dan luas lahan petani tidak berpengaruh nyata terhadap adopsi Varietas Unggul Jagung Putih. Untuk meningkatkan minat petani dalam adopsi teknologi Varietas Unggul Jagung Putih di Kabupaten Grobogan, khususnya tiga desa tersebut diperlukan dukungan dan kerjasama secara terpadu antara petani, Badan Litbang Pertanian (Balit dan BPTP), Pemerintah Daerah/Dinas setempat dan Mitra bisnis terkait dalam penyebaran informasi hasil penelitian (Diseminasi).

Secara keseluruhan, tingkat kesesuaian (Tki) antara kepentingan dan kinerja di Kabupaten Grobogan sebesar 84,19 persen. Efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) yang menjadi prioritas utama dalam memenuhi kepentingan/harapan petani karena kinerjanya belum memuaskan adalah produksi, daya tahan, dan harga (kuadran A). Sedangkan yang harus tetap dipertahankan adalah daya hasil, potensi hasil, toleran terhadap kekeringan, ketersediaan benih,


(5)

dukungan kelembagaan, dan kandungan nutrisi (kuadran B). Tingkat efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih di Kabupaten Grobogan yaitu Desa Jatipohon, Godan dan Karangasem perlu dilakukan perbaikan berdasarkan urutan prioritas kuadran yang dimulai dari prioritas utama menuju kuadran B (pertahankan prestasi), yaitu kuadran A menuju kuadran B, kuadran C bertahap ke kuadran A menuju kuadran B, dan kuadran D bertahap ke kuadran C kemudian kuadran A menuju kuadran B.

Hubungan antara indikator efektivitas dengan faktor yang mempengaruhi adopsi menunjukkan bahwa indikator kualitas (daya tahan) berkorelasi Sedang (ρ mendekati 0,599), nyata/signifikan (p<0,05) dan positif (searah) dengan dukungan penyuluh tetapi negatif (tidak searah) dengan hama penyakit. Sedangkan indikator efisiensi (harga) berkorelasi Sedang, nyata/signifikan (p<0,10) dan positif (searah) dengan pendapatan petani.

.

Kata kunci: Adopsi teknologi, Efektivitas, Importance and Performance Analysis, Inovasi, Regresi logistik, Varietas Unggul


(6)

SUMMARY

LAILA KADAR. Analysis of adoption factor and effectiveness of high yielding Varieties of White Maize : a case study of Grobogan Regency, Central Java. Supervised by HERMANTO SIREGAR and EKA INTAN KUMALA PUTRI

Maize is national commodity that potentially good for food security and to increase income of farmers. It is the second commodity after rice in term of fulfilling the basic food needs, high economic value and to support food diversification program. White maize, in particular, is an alternative staple food in Grobogan Regency. Varieties is a component of technology that plays a prominent role to increase productivity, disease resistance, and environment suitability (specific location). The aims of the study are to analyse: 1) farmers’ characteristic and adoption interest on white maize varieties based on factors they considered; 2) the influential factors of adoption the white maize varieties in order to achieve transfer of technology; 3) effectiveness of white maize varieties; 4) correlation between influence factors of adoption and effectiveness attributes/indicator of white maize varieties. The study was carried out in three village of Grobogan Regency, Central Java: Sumber Jatipohon, Godan, and Karangasem. Locations were determined with purposive sampling. Number of respondents interviewed was 120 farmers. Logistic regression method was used for data analysis.

The results of this study showed that the interest of farmers to adopt the superior variety of white maize was quite good around 66.7 percent. Farmers’ interest towards white maize may consider factors with high adoption rate were: varieties, planting index of 2-3 times, cheaper seeds price, possibility to breed the seeds themselves, suitability of agro-ecosystem, and ease implementation (not

complicated). While factors that significantly influence the adoption were included

income, knowledge or information on technology, agriculture extension support, pest, and availability of seeds, on the other hand, factors which were not significantly affecting the adoption were included age, formal education, farmers’ experience, and land size. To increase the interest of farmers and adoption white maize varieties in Grobogan Regency, especially in the three villages, support and cooperation are needed continously among farmers, IAARD, local government and business partners involved in the distribution of information form research outputs (dissemination) towards white maize varieties (Anoman and Srikandi Putih).

Overall, the level of concordance between interests and performance in Grobogan Regency is 84,19 percent. The effectiveness of white maize varieties (Anoman and Srikandi Putih) that priorty in fulfill the interests/expectations of farmers but its performance is not satifactory are production, durability, and price (A quadrant/main priority). Where as that must be retained is yield, drought tolerance, availability of seeds, institutional support, and nutrient (B quadrant). The level of effectiveness of white maize varieties in Grobogan Regency (Jatipohon, Godan, and Karangasem) needs to be improved in order of quadrant priority, starting from main priority to maintain achievement (B quadrant) are A quadrant to B quadrant, C quadrant  A quadrant  B quadrant, D quadrant  C quadrant  A quadrant  B quadrant.

The correlation between influenced factors of adoption and indicator of effectiveness showed that quality (durability) has medium (ρ ~ 0,599), significant (p<0,05),and positif with support extension but negatif with pest. While, the price (eficiency) has medium (ρ ~ 0,599), significant (p<0,10) and related positive with income.

Keywords: Adoption of technology, Effectiveness, Importance Performance Analysis, Innovation, Logistic regression, White maize varieties.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

(9)

ANALISIS FAKTOR ADOPSI DAN EFEKTIVITAS VARIETAS

UNGGUL JAGUNG PUTIH: STUDI KASUS DI KABUPATEN

GROBOGAN JAWATENGAH

LAILA KADAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan proposal penelitian ini. Proposal ini berjudul “Analisis Faktor Adopsi dan Efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih : Studi Kasus di Kabupaten Grobogan-Jawa Tengah“, disusun sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian dan menyusun tesis. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2015 di Provinsi Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Grobogan (Desa Sumber Jatipohon, Godan, dan Karangasem).

Dalam kesempatan ini ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Prof Dr Ir Hermanto Siregar, M.Ec dan Ibu Dr Ir Eka Intan Kumala Putri,

M.Si sebagai dosen pembimbing.

2. Ketua Program Studi dan segenap dosen Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) IPB.

3. Pimpinan Badan Litbang Pertanian atas beasiswa dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB dan staf khususnya bagian perencanaan dan kepegawaian atas bantuannya.

4. Peneliti/pemulia Jagung Putih Balai Penelitian Serealia Maros, Ibu Dr Ekaningtyas Kushartanti, MS dan staf pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, dan Bapak Ir. A. Zulfa Kamal dan Ibu Wiwik, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Grobogan, Kepala UPTD dan PPL/PPS Kecamatan Grobogan, Tawangharjo dan Wirosari serta pihak terkait lainnya.

5. Ibu, Bapak, Kakak-kakak, dan Adik-adik tercinta untuk doa dan dukungannya. 6. Teman-teman PWD khususnya angkatan 2013 dan seluruh civitas PWD.

Penulis menyadari tidak ada karya yang sempurna sehingga penulis mengharapkan saran dan masukan dalam perbaikan dan penyelesaian tesis ini. Penulis juga berharap semoga pelaksanaan penelitian berjalan lancar dan dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Bogor, November 2016


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA 7

Varietas Unggul 7

Sistem Produksi dan Distribusi Benih 9

Diseminasi (Penyebaran Informasi Hasil Penelitian) 11

Adopsi Inovasi 12

Efektivitas 14

Analisis Regresi Logistik 15

Importance and Performance Analysis 16

Tinjauan Penelitian Terdahulu 17

Kerangka Pemikiran Penelitian 21

Hipotesis Penelitian 24

METODE PENELITIAN 26

Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Jenis dan Sumber Data 26

Metode Pengumpulan Data 26

Metode Analisis Data 27

GAMBARAN UMUM 35

Geografis dan Iklim 35

Kependudukan 38

Sektor Pertanian 42

ANALISIS FAKTOR ADOPSI DAN EFEKTIVITAS VARIETAS 45 UNGGUL JAGUNG PUTIH

Karakteristik petani adopsi Varietas Unggul Jagung Putih 45 Minat/motivasi petani berdasarkan faktor pertimbangannya 49 Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi Varietas Unggul Jagung Putih 50 Efektivitas teknologi Varietas Unggul Jagung Putih 53 Hubungan Faktor-faktor yang mempengaruhi Adopsi dan Efektivitas 57 Varietas Unggul Jagung Putih

Implikasi Kebijakan 58

SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 66


(14)

DAFTAR TABEL

1. Luas Tanam, Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Nasional 1 Tahun 2009–2014

2 Wilayah Potensi Produksi dan Kontribusi Jagung di Provinsi Jawa Tengah 4 Tahun 2012-2013

3 Varietas Unggul Jaung dan Stok Benih Sumber yang dihasilkan Balitsereal 8

4 Alur Penyediaan Benih Sumber 10

5 Produksi, Kontribusi Pemasokan Jagung dan Rumah Tangga Petani 22 di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013

6 Matrik Tujuan, Alat Analisis dan Sumber data Penelitian 27

7 Skala Indikator Dalam Analisis Persepsi 31

8 Indikator dan Atribut Penilaian Kinerja Dan Kepentingan/Harapan 32 Pada Efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih

9 Luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan berdasarkan kecamatan di 36 Kabupaten Grobogan

10 Rata-rata jumlah curah Hujan dan banyaknya hari hujan Kabupaten 37 Grobogan Tahun 2014

11 Rata-rata jumlah curah Hujan dan banyaknya hari hujan menurut 38 Kecamatan di Kabupaten Grobogan Tahun 2014

12 Jumlah Penduduk Per Kecamatan Tahun 2013 39

13 Luas wilayah, jumlah penduduk, Kepadatan Penduduk dan tingkat 40 kepadatan penduduk Tahun 2013

14 Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Grobogan menurut Kecamatan 42 tahun 2013

15 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas jagung menurut Kecamatan 43 Di Kabupaten Grobogan

16 Karakteristik Responden berdasarkan desa di Kabupaten Grobogan 45 17 Hubungan antara variabel independen (uji multikolinearitas) 51 18 Hasil analisis fungsi logit faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi 51

Varietas Unggul Jagung Putih

19 Skor penilaian atribut efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih dengan

metode IPA 54

20 Analisis atribut/indikator efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih

menurut kuadran 55

21 Nilai hubungan efektivitas dengan faktor-faktor yang mempengaruh 57 adopsi Varietas Unggul Jagung Putih

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi Jagung Nasional Tahun 2013 – 2014 Menurut Provinsi 2 Di Indonesia

2 Grafik Produktivitas Jagung Nasional di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009 – 2014 3

3. Sistem Pendistribusian Benih dengan Rantai Kelembagaan 11

4 Mekanisme Alih Teknologi 14


(15)

6 Kerangka Pemikiran Penelitian 25

7 Peta Wilayah Kabupaten Grobogan 35

8 Jumlah Penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin 39

9 Peta Kepadatan Penduduk Tahun 2013 41

10 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut 41 lapangan usaha tahun 2013

11 Faktor-faktor yag dipertimbangkan petani dalam mengadopsi Varietas 50 Unggul Jagung Putih

12 Diagram efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih dengan Importance and 54

Performance Analysis (IPA)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Analisis Adopsi Petani dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi 67 Adopsi Varietas Unggul Jagung Putih

2 Kuesioner Efektivitas Teknologi Varietas Unggul Jagung Putih 95 untuk Responden/Petani

3 Kuesioner Inventor, Lembaga dan Mitra untuk Efektivitas Teknologi 103 Varietas Unggul Jagung Putih


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sektor pertanian berperan strategis dalam perekonomian nasional dengan menempatkan padi, jagung, kedelai, daging sapi dan gula sebagai lima komoditas pangan utama. Dalam nomenklatur tanaman pangan Indonesia, jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi/beras. Namun,dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan, sehingga diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit (Kasryno. et.al. 2005). Permintaan jagung akan sangat dinamis di masa mendatang sehingga perubahan pola permintaan jagung ke depan perlu dijadikan acuan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia. Pengembangan produksi jagung yang bersumber dari dalam negeri harus diupayakan untuk tetap terpenuhi seiring dengan adanya peningkatan permintaan jagung nasional. Dengan adanya potensi sumberdaya lahan dan kinerja usahatani jagung memberikan peluang yang cukup besar mengingat produktivitas rata-rata nasional yang dicapai saat ini masih dibawah produksinya. Hal ini membuka peluang dalam menarik minat petani dan investor untuk membudidayakannya, ketersediaan teknologi dan budidaya komoditas yang sederhana sehingga mudah diadopsi oleh petani.

Di Indonesia, jagung menempati urutan kedua setelah padi untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok, bahan baku pakan ternak, sumber pendapatan petani, berpotensi dan mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk dikembangkan menjadi produk-produk makanan dan minuman. Daerah penyebaran jagung ditanam mulai dari lingkungan berproduktivitas tinggi (lahan subur) sampai berproduktivitas rendah (lahan suboptimal dan marjinal), sehingga perlu teknologi produksi spesifik lokasi sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Potensi pengembangan jagung dimungkinkan karena masih tersedianya lahan pertanian untuk usahatani jagung dengan budidaya jagung yang dilakukan pada lahan sawah maupun lahan kering. Dukungan sumberdaya yang tercukupi dengan baik, seperti sumberdaya alam dan manusia akan memperbesar peluang tersebut. Setiap tahun permintaan jagung di dalam negeri cenderung meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan, sehingga dari sisi ketahanan pangan fungsi jagung menjadi strategis. Produktivitas jagung nasional sampai tahun 2013 baru mencapai 4.8 ton per hektar (BPS, 2014).

Tabel 1. Luas Tanam, Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Nasional Tahun 2010 - 2014

Tahun Luas tanam (juta,ha)

Luas Panen (juta,ha)

Produktivitas (ton/ha)

Produksi (juta,ton)

2010 2.87 4.13 4.44 18.33

2011 3.24 3.86 4.57 17.64

2012 3.64 3.96 4.90 19.39

2013 4.21 3.82 4.84 18.51

2014 4.75 3.83 4.96 19.03


(17)

Produksi jagung nasional tahun 2013-2014 menurut provinsi terdapat lima penghasil jagung terbesar yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara (Gambar 1). Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah sentra jagung terbesar ke-2 setelah Jawa Timur, terdiri dari 35 Kabupaten/Kota dengan wilayah potensial jagung 31 Kabupaten/Kota. Rumah Tangga Pelaku usaha tanaman jagung mencapai 5.057.532 RT atau sekitar 58.64 persen dan luas tanam 2.161.491 hektar dengan rata-rata luas tanam 4.274 m2 (Sensus pertanian, 2013). Produksi jagung Jawa Tengah mencapai 2.930.911 ton/tahun pada tahun 2013 dan 3.051.516 ton/tahun pada tahun 2014.

Sumber : BPS, 2015

Gambar 1. Produksi jagung nasional tahun 2013 – 2014 menurut provinsi di Indonesia

Peraturan Menteri Pertanian No. 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian dalam pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa perlu menetapkan kawasan pertanian nasional. Penentuan kawasan baru dapat didasarkan pada komoditas yang potensial, dan ketersediaan lahan yang sesuai untuk mendukung pengembangan komoditas tersebut (commodity-driven). Sebagai komoditas pangan, daerah penyebaran jagung didominasi oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam usaha pengembangan tanaman jagung, Pemerintah mengembangkan Daerah Sentra Produksi menjadi 5 rayon termasuk Jawa Tengah (Grobogan, Blora, Rembang, Purworejo, Kendal, Temanggung, Semarang) dengan urutan teratas yang mempunyai jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak sebesar 4,3 juta rumah tangga setelah Jawa Timur.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan pengelolaan pertanaman secara intensif dan penggunaan benih bermutu dari varietas unggul jagung baik varietas hibrida maupun bersari bebas. Program Gema Palagung merupakan upaya awal pemerintah dalam membantu petani untuk meningkatkan produksi jagung secara terus menerus dan berkesinambungan. Namun, petani masih menemui beberapa kendala yang memerlukan perhatian dan bantuan berbagai pihak, baik dalam aspek permodalan, teknologi pasca panen, serta


(18)

aspek pemasaran yang berkaitan dengan fluktuasi harga jual petani. Trend produktivitas jagung nasional di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 – 2014 terus meningkat (Gambar 2). Upaya pemerintah/kelembagaan dalam mendukung pengembangan kawasan tanaman pangan khususnya untuk komoditas jagung di Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Grobogan dengan terbitnya Permentan 50 tahun 2012 pasal 4 ayat (2), diteruskan dengan Kepmentan No. 03/Kpts/PD.120/1/2015 tanggal 2 Januari 2015 tentang penetapan kawasan padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu nasional.

Sumber : BPS, 2015

Gambar 2. Grafik Produktivitas Jagung Nasional di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2014

Kabupaten Grobogan menjadikan Jagung Putih sebagai bahan pangan pokok pengganti beras sejak dahulu secara turun temurun. Penelitian dan pengembangan Jagung Putih belum seintensif dibandingkan jagung kuning namun pertumbuhannya sampai tahun 2000an berkisar 3,0%, dibandingkan Filipina 2,0% dan China 3,8% dan perkembangan tertinggi di Mexico yaitu 4,6% (CIMMYT 2000). Di tingkat dunia, Jagung Putih mulai menempati posisi luasan yang nyata, walaupun belum seluas areal jagung kuning. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010), varietas jagung komposit mampu mencapai produksi 5-6 ton per ha sedangkan Balit Serealia (2008) untuk ditingkat penelitian produktivitas jagung dapat mencapai 5-9 t/ha tergantung pada kondisi lahan, lingkungan setempat, dan teknologi yang diterapkan. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui cara mengadopsi dan mengembangkan inovasi teknologi baru serta menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien. Inovasi teknologi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses produksi dan bagian dalam pembangunan pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian sudah banyak tetapi belum dapat dimanfaatkan/diadopsi seluruhnya oleh petani karena adanya keterbatasan dan faktor-faktor lainnya. Teknologi yang dikembangkan untuk percepatan adopsi teknologi adalah terus menciptakan varietas unggul baru yang lebih baik dan mendistribusikan benih sumber kepada pengguna melalui diseminasi oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) berkoordinasi dengan Badan Benih Nasional dan Dinas TPH serta Instansi/Mitra Bisnis terkait.

4,62 4,84

5,33 5,50 5,51 5,67

1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00

2009 2010 2011 2012 2013 2014

To

n

/H

a

Tahun

Produktivitas jagung di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 - 2014


(19)

Suatu program yang telah dibuat dan dijalankan hendaknya perlu dievaluasi utuk memberikan bahan masukan berupa saran dan perbaikan yang relevan tentang ketidaksesuaian antara kinerja dengan kepentingan yang diharapkan dapat dikatakan berhasil. Kriteria evaluasi atau penilaian bermacam-macam, menurut Dumn, 2003 dalam Yulianti, 2012 bahwa kriteria evaluasi dalam menilai hasil kebijakan antara lain efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan. Dalam hal ini, kriteria yang digunakan adalah mengukur efektivitas, apakah varietas unggul baru (VUB) Jagung Putih inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian telah memenuhi kepentingan/harapan petani sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Perumusan Masalah

Provinsi Jawa Tengah merupakan produsen jagung nasional tertinggi kedua di Indonesia dimana memiliki beberapa kabupaten yang melakukan usahatani jagung. Salah satunya adalah Kabupaten Grobogan sebagai sentra produksi yang sangat berpotensi dalam mengambil peluang tersebut. Kontribusinya terhadap produksi jagung di Jawa Tengah meningkat dari 18,41 persen tahun 2012 dan 19,09 persen tahun 2013 (Tabel 2) dibandingkan dengan empat kabupaten sentra produksi lainnya (Wonogiri 7,79%, Blora 9,14%, Kendal 4,19%, dan Rembang 6,67%). Sedangkan untuk jumlah rumah tangga jagung Kabupaten Grobogan sebesar 160.873 RT (14,52%) terbanyak dari kabupaten lainnya (BPS Prov. Jateng, 2014). Tabel 2. Wilayah Potensi Produksi dan Kontribusi Jagung di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2012-2013

No Kabupaten Tahun 2012 Tahun 2013

Produksi (ton)

Kontribusi (%)

Produksi (ton)

Kontribusi (%)

1 Grobogan 559.835 18,41 559.543 19,09

2 Wonogiri 315.841 8,83 267.973 7,79

3 Blora 268.664 10,38 228.428 9,14

4 Kendal 189.162 3,82 195.565 4,19

5 Rembang 116.269 6,22 122.720 6,67

6 Lainnya (26 kab.) 1.591.859 52,34 1.556.682 53,11

Jumlah 3.041.630 100,00 2.930.911 100,00

Sumber : BPS Prov. Jateng, 2014

Khusus jenis Jagung Putih di Kabupaten Grobogan menjadi makanan pokok

pengganti beras. Data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Grobogan menunjukkan, areal tanam Jagung Putih tahun 2012 sekitar 50 ha, sedangkan jagung kuning mencapai 113 ribu ha. Kartini (2013) melaporkan bahwa dari luas total pertanaman jagung monokultur di Kab. Grobogan Jawa Tengah setiap tahun sekitar 95.000 ha, 15-20% diantaranya adalah Jagung Putih. Hal tersebut disebabkan petani kurang berminat menanam Jagung Putih dan masih mempertahankan varietas lokal yang sudah turun temurun. Permasalahan umum yang dihadapi sektor pertanian di pedesaan adalah 1) Belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya pertanian, 2)


(20)

Kurangnya informasi dan penguasaan teknologi pertanian, 3) Kurangnya akses terhadap modal, pasar dan kelembagaan pendukung lainnya, 4) Penguasaan lahan usaha tani yang terbatas. Di Indonesia, jagung ditanam pada agroekosistem yang beragam, mulai dari lingkungan berproduktivitas tinggi (lahan subur) sampai berproduktivitas rendah (lahan suboptimal dan marjinal). Karena itu diperlukan teknologi produksi spesifik lokasi sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Penerapan teknologi budidaya jagung oleh petani saat ini umumnya masih bersifat parsial, khususnya bagi wilayah berproduktivitas rendah. Mengkombinasikan sejumlah komponen teknologi produksi diharapkan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani jagung.

Pemkab Grobogan mulai tahun 2013 mengembangkan Jagung Putih (komposit) melalui rekomendasi dari Badan Litbang Pertanian melalui Balitsereal untuk membudidayakan Varietas Unggul Jagung Putih (Srikandi Putih dan Anoman) dengan melihat kesesuaian dengan agroekosistem wilayah tersebut. Pengembangan luas areal tanaman Varietas Unggul Jagung Putih disertai pemupukan yang dianjurkan dapat meningkatkan produksi hingga tiga kali lipat produksi Jagung Putih varietas lokal, pada luas areal yang sama. Prosedur dan teknik perakitan varietas Jagung Putih sama seperti pada jagung kuning dan petani/kelompok tani dapat berperan sebagai penangkar benih Jagung Putih varietas bersari bebas. Petani skala kecil disarankan menanam varietas bersari bebas untuk jangka pendek, tetapi apabila pasar Jagung Putih telah berkembang, varietas hibrida cukup layak untuk dianjurkan.

Upaya dalam meningkatkan produktivitas Jagung Putih, kegiatan penyuluhan dan demo teknologi perlu dilakukan di lahan petani (Effendi et al. 2005). Suatu inovasi hasil dari Badan litbang pertanian dalam ketahanan pangan khususnya Jagung Putih mempunyai peluang sebagai bahan diversifikasi pangan nasional atau untuk subtitusi beras, industri tepung, pangan olahan, dan makanan alternatif bagi penderita kencing manis (diabetes melitus). Dengan adanya dukungan sumberdaya alam, SDM dan potensi wilayah yang dimiliki serta dukungan pemerintah daerah setempat (Dinas TPH Grobogan) diharapkan dapat mempercepat proses adopsi teknologi kepada petani serta menarik Badan Usaha lainnya untuk mengembangkannya dalam skala luas bagi kesejahteraan petani. Hal ini merupakan salah satu cara dalam mencapai swasembada pangan nasional, apabila Jagung Putih dipopulerkan sebagai bahan pangan pokok nasional.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian (Balitbangtan, Kementan) memberikan dukungan teknologi hasil-hasil penelitian dan pengkajian kepada petani untuk mengatasi berbagai permasalahan pada sektor pertanian. Penggunaan teknologi tepat guna adalah inovasi yang memenuhi kriteria yaitu: (1) secara teknis teknologi tersebut dapat diterapkan oleh pengguna, (2) secara ekonomi memberi nilai tambah dan insentif yang memadai, (3) secara sosial budaya dapat diterima oleh masyarakat, (4) teknologi tersebut ramah lingkungan berperan dalam mendukung usahatani (Adnyana 2001). Teknologi tepat-guna yang dihasilkan Balitbangtan adalah varietas unggul baru (VUB) dalam proses pemuliaan/perakitan benih inti ~ benih penjenis (Breeder Seed/BS) ~ benih dasar (Foundation Seed/FS/BD) ~ benih pokok (Stock seed/SS/BP). Perbenihan dan perbibitan perlu langkah tepat dan didukung oleh penerapan pendekatan pengembangan agribisnis dan pola kemitraan, yaitu tepat varietas, mutu, jumlah, waktu, lokasi, dan harga termasuk mengembangkan penangkar produsen benih


(21)

melalui pemberian bantuan pengembangan sistem produksi benih hingga ke pemasarannya (Kementan, 2011). Salah satu faktor pendukung upaya tepat varietas dan mengisi peluang pasar benih jagung dengan adopsi teknologi untuk mendistribusikan benih dasar (FS) kepada penangkar dan pengguna supaya mencapai sasaran dan dikomersialisasikan kepada investor sehingga benih yang dihasilkan dari Badan Litbangtan dapat memenuhi kebutuhan benih nasional.

Upaya Badan Litbang dalam mempertahankan atau meningkatkan produktivitas jagung secara berkelanjutan dan meningkatkan efisiensi produksi senantiasa memperhatikan kondisi sumber daya setempat, sehingga teknologi yang diterapkan di suatu lokasi dapat berbeda dengan lokasi yang lain karena bersifat sinergistik dan spesifik lokasi. Berdasarkan kondisi diatas, penelitian ini untuk mengetahui minat dan motivasi petani adopsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi serta efektivitas teknologi Varietas Unggul Jagung Putih inovasi Balitbangtan, termasuk peran kelembagaan dan petani dalam penerapan yaitu :

1. Bagaimana karakteristik dan minat petani terhadap teknologi Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) berdasarkan faktor pertimbangan/ pandangan petani?

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi petani terhadap Varietas Unggul Jagung Putih ?

3. Bagaimana efektivitas teknologi Varietas Unggul Jagung Putih termasuk peran kelembagaan daerah dalam mencapai transfer alih teknologi ini?

4. Bagaimana hubungan efektivitas dengan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi Varietas Unggul Jagung Putih ?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik dan minat/motivasi petani berdasarkan faktor pertimbangannya terhadap Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) di Kabupaten Grobogan

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi petani terhadap teknologi Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih ).

3. Menganalisis efektivitas teknologi Varietas Unggul Jagung Putih terhadap petani/ pengguna dalam mencapai transfer alih teknologi.

4. Mengetahui hubungan efektivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi petani teknologi Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih ).

Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi pemulia untuk mengembangkan Varietas Unggul Jagung Putih khususnya Anoman dan Srikandi Putih yang potensial, dan bagi penentu kebijakan untuk membuat strategi agar Varietas Unggul Jagung Putih tepat sasaran, produksi tinggi dan meningkatkan pendapatan rumah tangga petani


(22)

2. Bagi pemerintah Pusat/Daerah dan pihak swasta berperan aktif dalam industri benih dan pemasaran hasil, tingkat harga jual di tingkat petani yang relatif menguntungkan, dan perluasan areal di lahan-lahan kehutanan, perkebunan dan lahan kering untuk dimanfaatkan sehingga terjalin kerjasama antara petani dengan pemilik lahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian berdasarkan tujuan yang akan dicapai, yaitu :

1. Daerah potensi produksi jagung di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah (Desa Sumber Jatipohon, Godan dan Karangasem) yang merupakan desa binaan Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikulura Kabupaten Grobogan dalam rangka adopsi teknologi Varietas Unggul Jagung Putih (komposit) inovasi Badan Litbang Pertanian.

2. Responden adalah petani Jagung Putih komposit di tiga desa binaan Ditjen TPH Kabupaten Grobogan yang mengadopsi dan tidak mengadopsi teknologi inovasi Badan Litbang Pertanian yaitu Varietas Unggul Anoman dan Srikandi Putih.

TINJAUAN PUSTAKA

Varietas Unggul

Varietas unggul merupakan komponen teknologi yang memegang peranan yang cukup menonjol, terutama dalam kontribusinya untuk meningkatkan produktivitas. Peranannya menonjol baik dalam potensi peningkatan hasil per satuan luas maupun sebagai salah satu komponen pengendalian hama/penyakit. Selain potensi produksi dan ketahanannya terhadap penyakit, karakter tanaman lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesesuaiannya dengan kondisi lingkungan (tanah dan iklim) antara lain toleran kekeringan dan tanah masam, serta preferensi terhadap karakter lain diantaranya umur dan warna biji. Varietas jagung berdasarkan genotipenya digolongkan menjadi 2, yaitu bersari bebas (komposit) dan hibrida. Varietas bersari bebas (VBB) dicirikan adanya penyerbukan acak (random mating) antar tanaman dalam varietas, sehingga merupakan suatu populasi. Varietas bersari bebas dibentuk dari beberapa galur murni atau berbagai plasmanutfah.

Varietas-varietas yang telah dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) masing-masing mempunyai karakter spesifik yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pengguna. Namun, varietas-varietas tersebut masih belum banyak dikenal oleh petani, hanya beberapa daerah yang telah menerapkan dalam usahataninya, sehingga masih sangat terbatas dijumpai pada pertanaman petani. Hal ini menjadikan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan hasil jagung di tingkat petani dengan hasil penelitian yang masih cukup besar. Perbanyakan benih varietas jagung unggul secara berkelanjutan dapat dimanfaatkan oleh pengguna dalam meningkatkan produksi dan produktivitas sehingga penerapan teknologi jagung inovatif dapat mencapai tujuannya. Varietas yang dihasilkan oleh Balitsereal dengan stok benih sampai 17 April 2015 dapat dilihat pada Tabel 3.


(23)

Tabel 3.Varietas Unggul Jagung dan benih sumber yang dihasilkan Balitsereal No. Varietas

Benih Sumber Breeder

Seed

Foundation seed

Stock

seed Jenis

1 BISMA 1.110 1.945 2.932 Hibrida

2 LAMURU 3.460 3.330 1.840 Komposit

3 SUKMARAGA 1.395 4.060 - Komposit

4 SRIKANDI KUNING

1.225 - -

Komposit

5 SRIKANDI PUTIH 540 1.835 - Komposit

6 ANOMAN 430 3.825 - Komposit

7 GUMARANG 1.085 1.320 - Komposit

8 ARJUNA - 2.360 - Komposit

9 LAGALIGO 620 - - Komposit

10 PROVIT A1 455 260 - Hibrida

11 PROVIT A2 - 1.830 - Hibrida

12 PULUT URI 710 - - Hibrida

Jumlah 11.030 20.978 4.772

Sumber : UPBS Balit Sereal, 2015 (17 April 2015)

Varietas komposit adalah varietas yang benihnya diambil dari pertanaman sebelumnya, atau dapat dipakai terus-menerus dari setiap pertanamannya dan belum tercampur atau diserbuki oleh varietas lain. Jagung komposit yang dilepas semuanya berasal dari Badan Litbang Pertanian, dengan potensi hasil 7.0 sampai 8.0 ton per hektar. Menurut Tota S. (2012) bahwa produktivitas jagung komposit lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida dan memiliki peluang yang lebih baik untuk dikembangkan pada lahan kering. Keuntungan varietas komposit adalah benihnya tidak mahal dan dapat diproduksi oleh petani, kendati hasil produksinya lebih rendah dibandingkan varietas hibrida. Badan Litbang Pertanian telah merakit dan menghasilkan varietas unggul baru Jagung Putih dengan kelebihan dalam hal kandungan protein sehingga menjadikan salah satu alternatif bahan baku diversifikasi pangan bergizi dalam menunjang kemandirian pangan yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah. Jagung Putih ini merupakan suatu inovasi teknologi yang diperoleh dari hasil persilangan galur dan jagung komposit putih pertama yang dilepas Badan Litbang Pertanian yaitu Anoman Putih (tahun 2006) dan Srikandi Putih (tahun 2004). Karakteristik jagung tersebut adalah sebagai berikut :

1. Srikandi Putih (2004)

 Merupakan jagung komposit putih pertama dilepas Badan Litbang Pertanian tahun 2004

 Hasil persilangan 8 inbrida asal CIMMYT dan telah diadaptasi dengan lingkungan tropis.

Endosperm biji mengandung 10,44% protein

dengan persentase lisin dan triptofan dua kali lebih tinggi dari jagung pada umumnya.

 Tahan hama penggerek batang

O. furnacalis dan hawar daun H. maydis dan karat daunPuccinia sp.


(24)

 Jagung QPM (Protein Berkualitas Tinggi) tergolong yang mempunyai gen resesif alias hanya bisa kawin atau saling menyerbuk diantara sesamanya

 Rata-rata hasil : 5,89 t/ha pipilan kering  Potensi hasil : 8,09 t/ha pipilan kering

 Ketahanan hama : tahan hama penggerek batang O. Furnacalis

 Daerah adaptasi : dianjurkan ditanam di dataran rendah diutamakan pada musim penghujan

2. Anoman (2006)

 Merupakan jagung komposit yang diperoleh dari hasil persilangan galur CIMMYT toleran kekeringan, Tuxpeno Sequia.

 Rasanya jagung ini enak dan agak pulen.

 Ketahanan penyakit : agak tahan terhadap bulai dan tergolong moderat terhadap hawar daun serta bercak daun kelabu

 Ketahanan abiotis : toleran kekeringan (IK > 1,0; kandungan klorofil daun 30,91 – 36,94%)

 Rata-rata hasil : 4,6 t/ha  Potensi hasil : 6,6 t/ha

 Daerah adaptasi : lingkungan kering bercurah hujan pendek (800-1.200mm/th) dan dataran rendah sampai dataran tinggi (1.100 m dpl)

Sistem produksi dan distribusi benih

Berdasarkan fungsi dan cara produksi, benih terdiri alas benih inti (nucleous seed), benih sumber, dan benih sebar. Benih inti adalah benih awal yang penyediaannya berdasarkan proses pemuliaan dan/atau perakitan suatu varietas tanaman oleh pemulia pada lembaga penyelenggara pemuliaan (Balai Penelitian Komoditas). Benih inti merupakan benih yang digunakan untuk perbanyakan atau menghasilkan benih penjenis (breeder seed/BS). Benih sumber terdiri alas tiga kelas, yaitu benih penjenis (breeder seed/BS), benih dasar (foundation seed/FS/BD), dan benih pokok (stock seed/SS/BP).

Benih penjenis merupakan perbanyakan dari benih inti, yang selanjutnya akan digunakan untuk perbanyakan benih kelas-kelas selanjutnya, yaitu benih dasar dan benih pokok. Benih Penjenis (Breeder Seed/BS) adalah benih sumber yang diproduksi dan dikendalikan langsung oleh pemulia (breeder) yang menemukan atau diberi kewenangan untuk mengembangkan varietas tersebut. Saat ini benih penjenis dikelola oleh UPBS di Balai Penelitian Komoditas, untuk jagung di Balitsereal. Dalam sertifikasi, benih penjenis dicirikan oleh label berwarna putih (rencana menjadi warna kuning) yang ditandatangani oleh pemulia dan Kepala Institusi penyelenggara pemuliaan tersebut. Benih penjenis digunakan sebagai benih sumber untuk produksi atau perbanyakan benih dasar (FS/BD).

Benih Dasar (Foundation Seed/FS/BD) adalah benih dari hasil perbanyakan benih penjenis (BS) yang diproduksi dibawah bimbingan intensif dan pengawasan


(25)

yang ketat sehingga kemurnian varietas yang tinggi dan intensitas genetisnya dapat tepelihara. Benih ini diproduksi oleh produsen/instansi/penangkar benih yaitu BBI, BPTP, perusahaan benih BUMN/swasta yang profesional dan pengendalian mutunya melalui sertifikasi benih (BPSB atau Sistem Manajemen Mutu). Benih ini juga diberi label berwarna putih. Benih dasar merupakan benih sumber untuk perbanyakan/produksi benih pokok (SS/BP). Untuk penyediaan benih jagung unggul bersubsidi bagi petani, Balitsereal akan membantu memproduksi benih dasar (FS/BD). Benih pokok (Stock Seed/SS/BP) adalah benih sumber yang diperbanyak dari benih dasar atau penjenis dengan memperhatikan tingkat kemurnian varietas, memenuhi standar mutu oleh produsen penangkar benih/swasta di daerah yang ditunjuk dan pengendalian mutunya melalui sertifikasi benih (BPSB atau Sistem Manajemen Mutu). Benih pokok (SS) diberi label ungu. Benih turunan dari benih pokok, yang ditanam oleh petani untuk tujuan konsumsi adalah benih sebar (extension seed/ES/BR) disebut juga benih komersial.

Tabel 4. Alur Penyediaan Benih Sumber Alur produksi

benih sumber

Hasil (kelas benih)

Pelaku (produsen)

NS ~ BS BS Balitsereal

BS~BD BD (FS) Balitsereal, BPTP, BBI, BUMN, Swasta (Perusahaan Perorangan) BD~ BP BP (SS) Balitsereal, BPTP, BBI, BBU,

BUMN, Swasta

BP~ BR BR (ES) Produsen benih (BUMN/Swasta)

BR~ PETANI ~ Petani (pengguna benih) Sumber : Pedoman Umum Produksi Benih Sumber, Badan Litbang Pertanian, 2011

Distribusi benih adalah rangkaian kegiatan penyaluran benih sehingga dapat dijangkau/diterima oleh petani. Berdasarkan volume benih yang disebarluaskan maka distribusi benih terdiri atas distribusi benih varietas publik dan varietas komersial. Varietas publik adalah varietas yang dirakit oleh pemulia, baik yang bernaung di bawah lembaga pemerintah maupun non pemerintah, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Varietas publik dapat dimiliki oleh masyarakat umum dan memproduksinya dengan bebas. Varietas komersial adalah varietas yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah atau swasta yang kepemilikannya merupakan monopoli produsen benih, masyarakat yang membutuhkan dapat membelinya dari agen-agen atau di kios-kios yang sudah ditentukan di pasar. Balai Penelitian Tanaman Serealia adalah salah satu Balai Penelitian Badan Litbang Pertanian yang menghasilkan varietas unggul jagung berdaya hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman lingkungan.

Bila dilihat dari alur distribusinya, penyaluran benih dapat dibagi atas: 1. Alur Distribusi Benih Varietas Publik

Penyaluran benih penjenis (BS) kepada balai benih tingkat propinsi atau institusi perbenihan lainnya dilakukan oleh Direktorat Perbenihan atau langsung dari institusi penyelenggara pemuliaan (Balitsereal).


(26)

 Penyaluran benih dasar (FS/BD) kepada balai benih, perusahaan benih swasta atau penangkar benih profesional di tingkat kabupaten dilakukan oleh Dinas Pertanian Provinsi atau Balai Benih Provinsi.

 Penyaluran benih pokok (SS/BP) kepada perusahaan benih swasta atau penangkar benih dilakukan oleh balai benih di tingkat kabupaten atau perusahaan benih swasta/penangkar benih profesional.

Balitsereal, Maros

Direktorat Perbenihan, Jakarta

Balai Benih Induk, Propinsi

Balai Benih Utama, Kabupaten BPSB TPH

Penangkar

Pengguna/Petani

Sumber : Pedoman Umum Produksi Benih Sumber, Badan Litbang Pertanian, 2011 Gambar 3. Sistem pendistribusian benih dengan rantai kelembagaan 2. Alur Distribusi Benih Varietas Komersial oleh BUMN atau swasta adalah :

 Produsen ~ Pedagang besar ~ Pengecer ~ Petani  Produsen ~ Distributor ~ Penyalur ~ Pengecer ~ Petani

Diseminasi/Penyebaran informasi hasil penelitian pertanian

Diseminasi adalah suatu cara dan proses penyampaian hasil-hasil penelitian/ teknologi kepada masyarakat atau pengguna untuk diketahui dan dimanfaatkannya teknologi tersebut oleh masyarakat atau pengguna. Salah satu kegiatan diseminasi dan sosialisasi berupa pengenalan, peragaan dan demonstrasi teknologi hasil penelitian di lapang dihadapan masyarakat pengguna atau petani untuk penyampaian hasil-hasil teknologi. Kegiatan diseminasi ini dapat dilakukan dengan pendekatan seperti : 1) temu informasi teknologi, 2) pertemuan aplikasi paket teknologi pertanian, 3) gelar teknologi, 4) temu lapang, dan 5) pengembangan informasi teknologi pertanian seperti demfarm, demplot, promosi, dan gelar teknologi. Badan Litbang Pertanian melalui Unit Kerja dan Unit Pelaksana Teknis mengharuskan kegiatan diseminasi dalam penganggarannya sehingga dari kegiatan tersebut dapat diketahui efektivitas dari masing-masing pendekatan yang diterapkan


(27)

untuk mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi teknologi kepada pengguna/petani dan masyarakat.

Peran diseminasi ini dilaksanakan oleh Instansi Badan Litbang Pertanian Pusat yang berada di daerah yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk melakukan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi dan berperan serta memberikan arah kebijakan pembangunan di daerah dalam rangka mempercepat proses trasnfer teknologi kepada petani/pengguna. Namun jenis pogram tersebut tidak mengikat karena harus disesuaikan dengan kemampuan seperti : ketesediaan SDM (jumlah, kualifikasi tingkat pendidikan dan bidang keahlian), fasilitas pendukung, dan prioritas pembangunan daerah setempat. BPTP merupakan unit keja Badan Litbang yang berada di tingkat provinsi, mempunyai kedudukan dan fungsi yang strategis harus mampu menjadi instansi terdepan dalam sektor pertanian di wilayah kerjanya. (Tahlim Sudaryanto, 2005)

Adopsi Inovasi

Inovasi adalah suatu ide atau penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya dan dianggap baru oleh seseorang, dapat berupa teknologi baru, gagasan, metode atau alat, cara organisasi baru, cara pemasaran hasil pertanian baru dan sebagainya. Sedangkan Invensi adalah penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak ada (reka cipta). Menurut Harper (1989), untuk mengembangkan inovasi supaya berhasil diadopsi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: 1) Kemudahan untuk dikomunikasikan (communicability), 2) kesiapan adopter atau unit sosial untuk menerima resiko (percived risk) dari inovasi yang diadopsi, dan 3) terjadi proses perembesan (pervasiveness). Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) ada pada diri seseorang sejak orang mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi. Usaha yang dilakukan dalam memperkenalkan suatu teknologi baru (inovasi) kepada seseorang adalah ketika sebelum orang tersebut mau menerapkannya terdapat suatu proses yaitu proses adopsi. Proses ini mempunyai tahapan-tahapan yang dimulai dari yang belum diketahui sesuatu oleh seseorang sampai diterapkannya inovasi tersebut. Rogers (2003), adopsi inovasi suatu usahatani dapat dilihat pada lima faktor, yaitu : 1) Keuntungan relatif (relative advantage) : suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide-ide sebelumnya, dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, prestice sosial, atau dengan cara lainnya, 2) Kesesuaian (compatibility): suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan potensial adopter (penerima), 3) Kerumitan (complexity): suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan, 4) Dapat diuji coba

(triability): suatu inovasi dapat dicoba dengan skala yang terbatas. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala kecil biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dahulu, dan 5) Dapat diamati (observability): hasil suatu inovasi dapat dengan mudah dilihat sebagai keuntungan teknis ekonomis, sehingga mempercepat proses adopsi.


(28)

Soekartawi (2005) dalam Thobias Serah (2014) bahwa adopsi inovasi teknologi adalah sebuah proses pengubahan sosial dengan adanya penemuan baru yang dikomunikasikan kepada pihak lain, kemudian diadopsi oleh masyarakat. Sedangkan proses adopsi merupakan proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal yang baru tersebut. Semua produk tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk di diterima oleh konsumen, beberapa produk bisa menjadi populer hanya dalam waktu satu malam sedangkan yang lainnya memerlukan waktu yang sangat panjang untuk di terima atau bahkan tidak pernah diterima secara luas oleh konsumen. Karakteristik produk menentukan kecepatan terjadinya proses adopsi inovasi ditingkat petani sebagai pengguna teknologi pertanian. Dalam kecepatan proses adopsi inovasi ditentukan oleh beberapa faktor seperti: saluran komunikasi, ciri ciri sistem sosial, kegiatan promosi dan peran komunikator.

Dalam penerimaan inovasi terdapat lima tahapan yang dilalui sebelum seseorang bersedia menerapkan inovasi yang diperkenalkan kepadanya, yaitu : 1)

Sadar, seseorang belajar tentang ide baru, produk atau praktek baru dan hanya mempunyai pengetahuan umum mengenai ide baru tersebut, tidak mengetahui kualitasnya dan pemamfaatanya secara khusus. 2) Tertarik, seseorang tidak hanya mengetahui keberadaan ide baru itu, tapi ingin mendapatkan informasi yang lebih banyak dan lebih mendetail: apa inovasinya, apa yang dapat dikerjakan dan cara kerja ide baru tersebut, mendegar dan membaca informasi mengenai ide baru tersebut. 3) Penilaian, seseorang menilai informasi yang diketahuinya dan memutuskan apakah ide baru baik untuknya. 4) Coba-coba, seseorang yang memutuskan bahwa dia menyukai ide baru tersebut, maka dia akan mengadakan percobaan. Dapat terlaksana dalam kurun waktu yang lama atau dalam skala yang terbatas. 5) Adopsi, tahap dimana seseorang menyakini akan kebenaran dan keunggulan ide baru tersebut sehingga menerapkannya dan kemungkinan juga mendorong orang lain untuk ikut mengadopsinya.

Dalam mempercepat proses penyampaian dan pengadopsian teknologi pertanian dimulai tahun 2005 Badan Litbang Pertanian melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Suatu program implementasi model diseminasi teknologi yang mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi teknologi dengan lembaga penyampaian (delivery system). Segmen rantai pasok inovasi teknologi pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem) merupakan bottle neck yang menyebabkan lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian.

Inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian salah satunya adalah Varietas Unggul Baru (VUB) jagung yang menghasilkan benih inti yaitu benih penjenis (BS) dan diperbanyak menjadi benih dasar (FS) oleh Balai Penelitian Komoditas (Balitsereal) dan penyebarannya didiseminasikan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) melalui pendekatan PTT. Kerjasama dengan Balai penelitian dan Instansi terkait seperti Pemda/Dinas diperlukan dukungan yang sinergi untuk mendistribusikannya kepada penangkar/petani/pengguna. Invensi ataupun inovasi


(29)

teknologi unggulan yang dihasilkan Badan Litbangtan pada umumnya memiliki nilai HKI/PVT (Hak Kekayaan Intelektual/Perlindungan Varietas Tanaman). Keduanya merupakan obyek alih teknologi yang dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme yaitu (1) komersial : untuk memperoleh keuntungan finansial; atau (2) mekanisme non komersial : untuk CSR (corporate social responsibility) Badan Litbangtan sebagai lembaga pelayanan publik.

Dalam hal komersialisasi, Badan Litbangtan telah menawarkan hasil invensinya untuk dialih-teknologikan kepada investor/mitra swasta dengan memberikan hak ekslusif berupa penawaran menjadi lisensor dengan kerjasama lisensi, sedangkan invensi yang dialih-teknologikan secara non komersial untuk dapat digunakan masyarakat secara cuma-cuma kemudian menjadi public domain

(Gambar 4). Dalam hal ini investor/mitra swasta yang berperan dalam melakukan komersialisasi dan penyebarluasan hasil invensi, inventor yang melakukan invensi dan inovasi melalui lembaga penelitian, sehingga kemudian hasil invensinya dapat dimanfaatkan oleh petani dan pengusaha di sektor pertanian, serta masyarakat secara luas.

Gambar 4. Mekanisme alih teknologi Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mempunyai makna dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Berbagai sudut pandang (view point) dan dinilai dengan berbagai cara mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Apabila suatu program atau usaha mencapai tujuannya sehingga dapat dikatakan efektif dan idealnya efektivitas dapat dinyatakan dengan ukuran yang dapat dihitung seperti dalam persentase. Efektivitas juga kadang dikaitkan dengan efisiensi, padahal efektivitas lebih memfokuskan pada akibat atau pengaruh sedangkan efisiensi menekankan pada ketepatan mengenai sumber daya, mencakup anggaran, waktu, tenaga, alat dan cara supaya dalam pelaksanaannya tepat waktu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa efisiensi berarti melakukan atau mengerjakan sesuatu secara benar, “doing things right”, sedangkan efektivitas melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat pada sasaran


(30)

“doing the right things”. Dipandang dari sudut ilmu pemerintahaan efektivitas sangat penting karena merupakan salah satu kriteria yang harus diperhatikan dalam ilmu pemerintahan.

Pengukuran efektivitas sering menghadapi kesulitan karena keluaran

(output) yang dihasilkan lebih banyak bersifat tidak berwujud (intangible) sehingga tidak mudah untuk dikuantifikasi pencapaian hasil (outcome). Ukuran efektivitas seringkali tidak dapat diketahui dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang setelah program berhasil dan biasanya dinyatakan secara kualitatif (berdasarkan pada mutu) dalam bentuk pernyataan saja (judgement), artinya apabila mutu yang dihasilkan baik, maka efektivitasnya baik pula. Hubungan efektivitas dinyatakan dengan (Efektivitas = Outcome/Output). Hal ini dapat dikatakan bahwa efektivitas adalah menggambarkan seluruh siklus input, proses dan output yang mengacu pada hasil guna daripada suatu organisasi, program atau kegiatan yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai, serta ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai target-targetnya.

Ukuran atau kriteria efektivitas menurut Gibson et.al, 1989 bahwa indikator efektivitas dapat diukur melalui : 1) produktivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk memproduksi jumlah dan mutu output sesuai dengan permintaan lingkungan, 2) kualitas, yaitu suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan, 3) efisiensi, yaitu perbandingan (ratio) antara output dengan input, 4) fleksibilitas respons terhadap suatu organisasi atau perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu organisasi, 5) kepuasaan, yaitu ukuran untuk menunjukan tingkat dimana organisasi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, 6) keunggulan, yaitu kemampuan bersaing dari organisasi dan anggota organisasi terhadap perubahan-perubahan yang ada, dan 7) pengembangan, yaitu mengukur kemampuan organisasi untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi tuntutan masyarakat.

Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan produktivitas. Dari pendapat beberapa ahli bahwa pengertian efektivitas, yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatnya, cara mengatur dan bahkan cara menentukan indikator efektivitas, sehingga akan lebih sulit bagaimana cara mengevaluasi tentang efektivitas. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga secara fisik dan non fisik untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal.

Analisis Regresi Logistsik

Regresi logistik adalah metode yang digunakan untuk menjelaskan pola hubungan (secara sistematik) antara dua variabel atau lebih untuk mendeskripsikan hubungan antara peubah respon (dependent variable) yang memiliki dua kategori atau lebih dengan satu atau lebih peubah penjelas (independent variable) berskala kategori atau interval (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Regresi Logistik merupakan


(31)

regresi non linear, digunakan untuk menjelaskan hubungan antara X dan Y yang bersifat tidak linear, ketidak normalan sebaran Y, keragaman respon tidak konstan yang tidak dapat dijelaskan dengan model regresi linear biasa (Agresti, 1996). Model regresi dengan variabel kualitatif terdapat beberapa macam teknik pendekatan model yang salah satunya adalah model logit dimana variable dependent (terikat) dan mempunyai dua kemungkinan nilai, misalnya keinginan petani untuk mengadopsi suatu teknologi (ya – tidak). Variabel kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan nilai ini disebut dengan variable biner. Dalam mengestimasi model logit terdapat beberapa metode dan sering digunakan yaitu metode maximum likelihood. Peubah respon (Y) di dalam Regresi Logistik adalah bersifat biner

Analisis regresi logistik sebenarnya sama dengan analisis regresi linier berganda biasa, hanya variabel terikatnya merupakan variabel dummy (0 dan 1). Deskripsi hubungan peubah respon yang memiliki sifat kualitatif atau kategorik dengan peubah penjelas yang memiliki dua kategori atau lebih tidak dapat diselesaikan dengan model regresi linear biasa yang menggunakan metode ordinary least square (OLS). Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi hasil dari suatu proses untuk mengetahui faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi adopsi. Regresi logistik mempermudah dalam memberikan penjelasan satuan variabel terikat (dependen) karena variabel Y merupakan dummy (Y1=responden yang mengadopsi dan Yo=responden yang tidak mengadopsi). Dalam suatu survey kadang kita berhadapan dengan peubah respon (dependent variable) bersifat kualitatif yang mempunyai skala pengukuran nominal dan ordinal. Nilai peubah respon kualitatif bersifat terbatas bahkan sering hanya bernilai dua kemungkinan (YA atau TIDAK).

Beberapa peneliti menggunakan pendekatan ini dalam bidang sosial ekonomi pertanian. Dalam hal ini akan memprediksi bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi seperti umur, pendidikan, pendapatan, pengalaman, luas lahan, pengetahuan/Informasi teknologi, dukungan penyuluh, hama penyakit dan ketersediaan benih terhadap adopsi teknologi VUB Jagung Putih inovasi Balitbangtan. Beberapa peneliti lainnya adalah Gunawan (1988) menggunakan alat analisis ini dalam disertasinya berjudul “Adoption and Bias of New Agricultural Innovation in Jawa Barat”; Syafaat dan Supena (1995) dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan LIPI mengungkap “Faktor-faktor yang mempengaruhi Konservasi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian”; Hendayana (1997) menganalisis “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Petani Menerapkan Teknologi Baru dalam Usahatani Padi”, dipublikasikan dalam Jurnal Agro Ekonomi. Model lain yang juga biasa digunakan untuk menganalisis regresi yang memiliki peubah respon bersifat kategori adalah Probit. Namun dalam prakteknya pada kasus tertentu pendekatan dua model Logistik dan Logit ini tidak menunjukkan perbedaan yang prinsip bahkan relatif sama. Oleh karena itu tidak dapat direkomendasikan mana yang lebih baik atau efisien.

Importance and Performance Analysis (IPA)

Metode Importance and Performance Analysis (IPA) atau Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja bertujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi


(32)

konsumen dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai

quadrant analysis (Brandt dan Latu & Everett, 2000). IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi berkaitan dengan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen sangat mempengaruhi kepuasan dan loyalitas mereka, dan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan. Metode IPA secara konsep merupakan suatu model multi-atribut dan penerapan tekniknya dimulai dengan identifikasi atribut-atribut yang relevan terhadap situasi pilihan yang diamati. Daftar atribut-atribut dapat dikembangkan dengan mengacu kepada literatur-literatur, melakukan interview, dan menggunakan penilaian manajerial. Di lain pihak, sekumpulan atribut yang melekat kepada barang atau jasa dievaluasi berdasarkan seberapa penting masing-masing produk tersebut bagi konsumen dan bagaimana jasa atau barang tersebut dipersepsikan oleh konsumen. Evaluasi ini biasanya dipenuhi dengan melakukan survey terhadap sampel yang terdiri atas responden/konsumen. Atribut dikumpulkan dan diklasifikasikan ke dalam kategori tinggi atau rendah dengan menggunakan pengukuran ranking, skor kepentingan dan kinerja kemudian dengan memasangkan kedua set rangking tersebut, masing-masing atribut ditempatkan ke dalam salah satu dari empat kuadran kepentingan kinerja (Crompton dan Duray, 1985). Skor kinerja dan kepentingan digunakan sebagai koordinat untuk memplotkan atribut-atribut individu pada matriks dua dimensi (Gambar 5).

Kepentingan/ Harapan

Kuadran A Prioritas Utama

Kuadran B Pertahankan Prestasi Y

Kuadran C Prioritas Rendah

Kuadran D Berlebihan

X Pelaksanaan

(Kinerja/kepuasan) Gambar 5. Diagram Importance and Performance Matriks

Keterangan :

A. Prioritas Utama : Atribut ini memiliki tingkat kepentingan yang cukup tinggi, namun memiliki kinerja di bawah rata-rata atau dinilai konsumen kurang memuaskan. Kinerja atribut-atribut pada kuadran ini harus ditingkatkan agar dapat memuaskan konsumen.

B. Pertahankan Prestasi : Atribut ini memiliki tingkat kepentingan dan kinerja yang tinggi sehingga menjadi kekuatan produk. Semua atribut harus tetap dipertahankan karena merupakan keunggulan dari produk tersebut.

C. Prioritas Rendah : Atribut ini memiliki tingkat kepentingan dan kinerja yang relatif rendah. Peningkatan kinerja atribut-atribut sebaiknya dilakukan setelah kinerja atribut-atribut pada kuadran A telah ditingkatkan sehingga sesuai dengan harapan konsumen karena peningkatan kinerja atribut-atribut pada kuadran C dianggap tidak penting oleh konsumen.


(33)

D. Berlebihan : Atribut ini adalah atribut yang memiliki kinerja relatif baik namun tingkat kepentingannya rendah. Kinerja atribut-atribut pada kuadran ini dianggap berlebihan oleh konsumen sehingga nvestasi pada atribut-atribut pada kuadran ini sebaiknya dialihkan pada peningkatan kinerja atribut-atribut pada Kuadran A.

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang analisis tingkat adopsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang telah diterbitkan dalam jurnal internasional, nasional dan tesis serta disertasi. Pada jurnal internasional dan nasional antara lain seperti : Ebojeil (2012), Khonje

et.al. (2015), Kariyasa dan Dewi (2012), Pribadi (2002), Hendayana (2012), Nur Alam (2010), Yuliarmi (2006). Sedangkan analisis efektivitas teknologi VUB Jagung Putih di Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah inovasi Badan Litbang Pertanian menggunakan metode IPA yang merefer hasil kajian Astuti (2008) mengenai Analisis Preferensi dan Kepuasan Konsumen Terhadap Beras di Kecamatan Mulyorejo Surabaya Jawa Timur menggunakan metode Important Performance Analysis (IPA) dalam melihat preferensi dan kepuasan konsumen terhadap atribut-atribut beras.

Ebojeil et.al. (2012) dalam penelitiannya yang berjudul : “Socio-Economic Factors Influencing The Adoption Of Hybrid Maize In Giwa Local Government Area Of Kaduna State, Nigeria”. Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi jagung hibrida di Giwa di Area Pemda negara bagian Kaduna, Nigeria. Dengan menggunakan data survei rumah tangga pertanian sebanyak 160 petani jagung pada bulan Oktober-Desember 2009 (MT 2009-2010). Metode yang digunakan untuk menentukan faktor yang mempengaruhi adopsi petani jagung hibrida adalah Model Logit dengan

maximum likelihood. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata adopsi teknologi adalah umur (p<0,013), pendapatan (p <0,034), pendidikan (p <0,001) dan dukungan penyuluh (P < 0,017). Sebaliknya, pengalaman usahatani, jumlah tanggungan keluarga, dan luas lahan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap partisipasi dalam adopsi jagung hibrida. Karena sebagian besar rumah tangga tidak memiliki pendidikan formal, program penyuluhan harus ditujukan kepada petani kurang berpendidikan dengan pelatihan khusus, seminar, demonstrasi lapang dan dukungan teknis untuk petani jagung. Selain itu, fasilitas kredit khususnya prosedur untuk pinjaman harus dibuat sederhana untuk meningkatkan tingkat adopsi jagung hibrida di daerah penelitian.

Khonje et.al. (2015), dalam penelitian berjudul “Analysis of Adoption and Impacts of Improved Maize Varieties in Eastern Zambia” menganalisis adopsi dan dampak kesejahteraan dari perbaikan varietas jagung di Zambia Timur dengan data sampel yang diperoleh lebih dari 800 rumah tangga petani. Dengan menggunakan model logit mengestimasi penentu adopsi perbaikan varietas jagung menunjukkan bahwa adopsi sangat signifikan berhubungan dengan pendidikan, tanggungan rumah tangga, akses dan informasi teknologi, asset (luas lahan yang dimiliki), dukungan kelompok tani, dukungan penyuluh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi varietas jagung dapat ditingkatkan melalui peningkatan akses ke informasi, pasar, dan aset yang masih produktif. Kemudahan akses ke pasar dan


(34)

ketersediaan informasi pasar memainkan peran utama dalam mengurangi tinggi biaya transaksi kepada petani. Namun, akses yang dapat diandalkan dan informasi pasar yang kompetitif tetap menjadi tantangan, disebabkan pelayanan infrastruktur dan dukungan yang masih minim. Semenjak faktor input dan output pasar dalam kondisi tidak sempurna, muncul inovasi kelembagaan seperti koperasi petani untuk pemasaran kolektif yang dapat mengurangi biaya transaksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan varietas jagung memiliki dampak yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan di Zambia timur. Dengan adanya implikasi kebijakan untuk mempromosikan adopsi dan dampak dari varietas modern di Zambia.

Kariyasa dan Dewi (2012), penelitiannya berjudul “Analysis Of Factors Affecting Adoption Of Integrated Crop Management Farmer Field School (Icm-Ffs) In Swampy Areas”. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dari program ICM-FFS di lahan rawa menggunakan survey dan random sampling stratified terhadap 159 responden. Analisis yang digunakan adalah model regresi logistik. Variabel signifikan yang mempengaruhi tingkat peluang peningkatan adopsi adalah usia, pendidikan, jarak ke pertanian sumber informasi teknologi, jarak ke tempat pertemuan dan produktivitas. Di antara variabel-variabel ini, tingkat produktivitas adalah sebagai pertimbangan utama petani untuk mengadopsi program ICM-FFS. Oleh karena itu, upaya keberlanjutan untuk meningkatkan produktivitas padi harus diperhitungkan sebagai prioritas untuk mendorong lebih banyak petani dalam mengadopsi program ini. Peluang petani untuk mengadopsi program ini juga diharapkan menjadi bahkan lebih luas ketika upaya untuk meningkatkan produktivitas juga didukung oleh upaya dalam meningkatkan kualitas dan meningkatkan efisiensi penggunaan input.

Hendayana (2012) dengan penerapan metode regresi logistik dalam menganalisis adopsi teknologi pertanian merupakan suatu pengkajian yang dilaksanakan untuk menguji hubungan antara adopsi VUB padi dengan faktor-faktor peubah penjelasnya, dilakukan melalui survey terhadap 155 orang petani padi yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan pada tahun 2009, terutama di agroekosistem lahan rawa lebak. Peubah-peubah (variable) yang diduga mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap VUB Padi adalah tingkat umur responden (tahun), tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh responden (dipresentasikan dalam tahun sekolah, misalnya tamat SD = 6 tahun, SMP = 9 tahun, SMU = 12 tahun), jumlah tanggungan keluarga (jiwa), pengalaman berusaha tani (tahun), luas lahan usahatani yang dimiliki (hektar), jarak dari rumah responden ke lokasi usahatani (km), jarak dari lokasi usahatani ke jalan raya (km), jarak dari lokasi usahatani ke lokasi pasar input (km), jarak dari lokasi usahatani ke lokasi pasar output (km), jarak dari rumah responden ke lokasi sumber permodalan (km), jarak dari rumah ke lokasi sumber teknologi (km), rasio modal sendiri terhadap keseluruhan modal usahatani (proporsi dalam bentuk persentase). Semua peubah tersebut diasosiasikan kepada responden yang mengadopsi teknologi dan yang tidak mengadopsi teknologi. Hasil analisis yang ditunjukkan oleh signifikansi model yang tinggi, hasil uji parsial yang efektif, penafsiran hasil melalui Odd ratio, dan tampilan ukuran asosiasi antara peubah respon dengan peubah penjelas menunjukkan hubungan yang kuat dan sekaligus menunjukkan semakin baiknya daya prediksi model sebagaimana ditunjukkan oleh besarnya nilai Concordant serta kecilnya nilai Discordant dan Ties. Faktor kunci


(35)

untuk mendapatkan hasil duga Regresi Logistik yang baik, adalah besaran jumlah responden yang representatif dengan keragaman relatif tinggi. Oleh karena itu validasi data menjadi faktor penentu dan krusial dilakukan sebelum analisis data.

Pribadi (2002) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan penentu adopsi teknologi Sawit Dupa pada usahatani padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa teknologi Sawit Dupa dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah lahan, pupuk, dan tenaga kerja dalam keluarga. Proses adopsi teknologi sawit dupa di Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh ketersediaan benih varietas unggul dan resiko produksi yang cukup besar. Teknologi Sawit Dupa pada umumnya diadopsi oleh petani yang mempunyai pendapatan rendah, dimana mereka tidak memiliki akses yang baik terhadap jenis pekerjaan lain sehingga penerapan teknologi Sawit Dupa ini memberikan kesempatan kerja yang luas dalam peningkatan pendapatan.

Nur Alam (2010), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani Kakao dalam adopsi inovasi teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara) menunjukkan bahwa: 1) tingkat adopsi teknologi usahatani kakao pada usahatanai kakao di desa Lambandia kabupaten Kolaka sebagian besar termasuk kategori sedang (83.20 persen). Artinya paket teknologi usahatani kakao yang dianjurkan berupa paket teknologi pemeliharaan kakao, perbaikan tanaman kakao dan panen dan pascapanen belum diterapkan secara utuh. Untuk itu perlu upaya perbaikan pembinaan dan penyuluhan dengan menerapkan metode penyampaian teknologi (diseminasi) yang tepat kepada petani, 2) Adopsi teknologi usahatani kakao oleh petani di desa Lambandia beragam, tetapi secara umum teknologi yang dianjurkan rata-rata termasuk adopsi sedang. Adopsi rendah pada kegiatan penimbunan cangkang kakao (skor 16.00) dan rehabilitasi tanaman metode sambung samping (skor 32.00) sehingga perlu mendapat perhatian lebih besar dalam perbaikan produktivitas kakao, 3) Analisis regresi berganda dengan menggunakan peubah independen berupa umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman usahatani kakao, penguasaan lahan usahatani kakao, tenaga kerja dalam keluarga, pemupukan modal, pendapatan usahatani kakao, aktivitas mencari informasi teknologi, persepsi terhadap teknologi dan keberanian ambil resiko, perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan pemerintah daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dukungan pemasaran, menunjukkan hubungan yang linear dan berpengaruh nyata terhadap peubah tingkat adopsi, dengan nilai F-hitung (23.204)>F-tabel (2.19). Besarnya pengaruh peubah independen terhadap peubah tingkat adopsi ditandai dengan nilai R2 sebesar 0.798, atau 79.80 persen pengaruh variabel independen terhadap tingkat adopsi teknologi dapat dijelaskan. Sedangkan sisanya 20.20 persen dipengaruhi/dijelaskan oleh faktor lain di luar model, dan 4) Hasil uji t pada peubah tenaga kerja keluarga, keberanian ambil resiko dan perilaku petani berpengaruh nyata (signifikan) terhadap tingkat adopsi teknologi usahatani kakao. Agar teknologi yang disampaikan dapat mudah diadopsi kepada petani maka faktor-faktor yang berpengaruh nyata tersebut menjadi pertimbangan utama.


(36)

Yuliarmi (2006) melakukan penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah dengan sistem skor, faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengadopsi teknologi pemupukan berimbang dengan model logit di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategori sedang. Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan garapan petani, biaya pupuk, dan harga gabah. Sedangkan produksi padi sawah dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan, jumlah pupuk, dan tenaga kerja luar keluarga. Faktor pendorong bagi petani dalam menerapkan teknologi pemupukan berimbang adalah produksi yang lebih tinggi dan faktor penghambatnya adalah tidak adanya jaminan harga yang layak. Penerapan teknologi pemupukan berimbang yang telah dilaksanakan di Kecamatan Plered secara statistik tidak signifikan dalam meningkatkan produksi padi sawah yang diperoleh petani. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan yang dihadapi di tingkat lapang, seperti ketersediaan pupuk yang tidak tepat waktu dan penggunaan pupuk yang belum sesuai dengan rekomendasi spesifik lokasi.

Astuti (2008), judul penelitian Analisis Preferensi dan Kepuasan Konsumen Terhadap Beras di Kecamatan Mulyorejo Surabaya Jawa Timur menggunakan metode Importance and Performance Analysis (IPA) dalam melihat preferensi dan kepuasan konsumen terhadap atribut-atribut beras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden sebagian besar berjenis kelamin perempuan, telah menikah, pekerjaan ibu rumah tangga, bersuku Jawa dengan usia matang. Berdasarkan perhitungan IPA pada seluruh responden diketahui bahwa kepuasan total konsumen yang telah terpenuhi oleh atribut-atribut beras yang berada dalam penelitian ini sebesar 70,03 persen. Sisanya belum terpuaskan karena atribut-atribut yang dianggap penting oleh konsumen seperti keseragaman butir, daya tahan beras, dan harga beras kinerjanya belum memuaskan. Hasil dari proses keputusan pembelian dan IPA, diketahui bahwa sebagian besar gap tersebut dipengaruhi oleh kinerja dua atribut beras yang dianggap penting namun kinerjanya belum memuaskan, yaitu kemudahan mendapatkan beras dan pelayanan di tempat pembelian beras

Kerangka Pemikiran

Jagung mempunyai fungsi multiguna, yaitu sebagai bahan pangan, industri dan sumber pendapatan petani. Provinsi Jawa Tengah merupakan penghasil utama jagung setelah Jawa Timur, yang kontribusinya 15,83 persen dengan produktivitas 5,5 t/ha pada tahun 2013. Daerah sentra produksi jagung potensial di Provinsi Jawa Tengah meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Grobogan, Wonogiri, Blora, Kendal dan Rembang. Kabupaten Grobogan berpotensi menjadi salah satu sentra produksi jagung di Indonesia Tengah, karena didukung potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kebijakan pemerintah kabupaten yang mendukung perkembangan pertanian jagung. Jenis jagung yang dibudidayakan adalah jagung kuning yang lebih diutamakan untuk kebutuhan industri pakan, makanan kecil bahan baku industri rumah tangga dan Jagung Putih dimanfaatkan sebagai bahan pangan sebagai pengganti beras dan kudapan karena rasanya lebih pulen.


(37)

Dilihat dari sumber daya alam, Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten terluas kedua di Provinsi Jawa Tengah, dengan luas wilayah 197.586,42 Ha. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan areal pertanian, terdiri dari tanah sawah 63.955 Ha, dan tanah bukan sawah 133.631 Ha. Lahan itu meliputi lahan sawah irigasi teknis, lahan sawah tadah hujan, lahan tidur atau lahan kering yang belum dimanfaatkan untuk pertanian. Semua lahan itu sangat berpotensi untuk ditanami jagung. Selama ini pola tanam yang dilakukan petanipun sangat mendukung untuk kestabilan produksi jagung yaitu palawija (untuk lahan sawah), padi-jagung-jagung, dan jagung-jagung-jagung (untuk lahan tegalan/lahan hutan) (BPS Grobogan, 2010). Kontribusinya sebesar 559.543 ton (19,09%) sehingga dapat dikatakan sebagai sentra produksi jagung potensi terbesar di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan Kabupaten lainnya yaitu berturut-turut Wonogiri (9,14%), Blora (7,79%), Kendal (6,67%) dan Rembang (4,19%) seperti dalam tabel 5. Sedangkan untuk jumlah rumah tangga usahatani jagung di Kabupaten Grobogan sebanyak 160.873 RT (14,52%). Selain itu, Kabupaten Grobogan termasuk dalam pengembangan kawasan tanaman pangan nasional (Permentan No. 50 tahun 2012) dan penetapan kawasan padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu nasiona (Kepmentan No. 03 tahun 2015).

Tabel 5. Produksi, Kontribusi Pemasokan Jagung dan Rumah Tangga Petani di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013

No Kabupaten Produksi

(ton)

Kontribusi (%)

Rumah Tangga Petani

%

1 Grobogan 559.543 19,09 160.873 14,52

2 Wonogiri 267.973 9,14 116.347 10,50

3 Blora 228.428 7,79 103.423 9,33

4 Kendal 195.565 6,67 42.223 3,81

5 Rembang 122.720 4,19 35.029 3,16

6 Lainnya (26 Kabupaten) 1.556.682 53,11 650.405 58,68

Jumlah 2.930.911 100.00 1.108.300 100.00

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2014

Inovasi teknologi Vaietas Unggul Jagung Putih yang dikembangkan di Kabupaten Grobogan adalah varietas Srikandi Putih dan Anoman. Sebelumnya, varietas jagung hibrida telah didiseminasikan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, namun adopsi ditingkat pengguna masih sangat rendah. Sehingga mulai tahun 2013, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Kabupaten Grobogan mulai mengembangkan Jagung Putih (komposit) inovasi Balitbangtan selain jagung hibrida (jagung kuning). Berdasarkan pengamatan pra survey ke lapang bahwa permasalahan yang terjadi di daerah ini adalah 1) petani belum sepenuhnya dapat menerima teknologi inovasi baru, 2) rentan terhadap hama penyakit bulai sehingga petani takut mengalami kegagalan panen, 3) belum ada jaminan harga dan mitra yang menampung hasil produksi Jagung Putih padahal keunggulan Jagung Putih ini rasanya lebih enak (lebih legit) untuk dikonsumsi dan sebagai bahan pangan pengganti beras, dan 4) belum ada pabrik/industri pengolahan benih Jagung Putih sehingga petani kurang berminat untuk menanam Jagung Putih.


(1)

3. Dilihat dari Faktor Teknologi/Hasil Invensi

No. Variabel Penilaian Skala Penilaian1)

1. Kedudukan (posisi) invensi berdasarkan pada kurva daur hidup teknologi

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 2. Kebaruan dan langkah inventif. 1 Sangat Tidak penting

2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 3. Tahap pengembangan teknologi yang dicapai saat

ini.

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 4. Kemudahan pengembangan produksi skala massal 1 Sangat Tidak penting

2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 5. Daya saing terhadap produk yang sudah ada di

pasar

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 6. Fleksibilitas dan kompatabilitas. 1 Sangat Tidak penting

2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 7. Kemungkinan memperoleh technical service dari

Inventor

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 8. Kekhasan invensi dibandingkan dengan teknologi

Lainnya

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting


(2)

109

9. Masa umur teknologi yang dihasilkan dapat bertahan

pada industri sejenis

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 10. Kemudahan teknologi untuk ditiru (rentan

plagiasi),

sehingga mempengaruhi masa dan nilai lisensi.

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting


(3)

KUESIONER INVENTOR/LEMBAGA/MITRA (Kuesioner ini diisi oleh Inventor dan Investor)

No. Variabel Penilaian Skala Penilaian1)

A Penyediaan Layanan Kerjasama 1. Inventor difasilitasi oleh lembaga dalam

mengkomersialisasikan hasil Invensinya

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 2. Investor difasilitasi dengan MOU dalam

kerjasamanya

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 3. Informasi produk hasil invensi yang akan

dikomersialisasikan dapat diperoleh dengan mudah

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 4. Fasilitasi Temu bisnis dan Round Table Meeting

termasuk

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 5. Investor secara terbuka diberi kesempatan untuk

melakukan analisis prospek bisnis sesuai dengan karakter invensinya

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting B Fasilitasi Pendampingan

6. Inventor memberikanan layanan pendampingan selama kerjasama.

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 7. Investor memperoleh transparansi hasil. 1 Sangat Tidak penting

2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting


(4)

111

8. Fasilitasi pendampingan invensi disesuaikan dengan karakteristik/sifat invensinya

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 9. Layanan-layanan tertentu dapat diberikan misalnya

dengan lisensi ekslusif

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 10. Pendampingan perencanaan bisnis dilakukan dari

pihak BPATP sebagai pendamping alih teknologi

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting C Jaminan aturan kerjasama

11. Tersedianya tata cara kerjasama yang menentukan pembagian royaltibagi inventor dan investor

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 12. Layanan perencanaan bisnis dilakukan dalam

konteks komersialisasi

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 13. Rambu-rambu aturan kerjasama ditentukan

bersama sesuai dengan karakter invensi

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 14. Aturan pendampingan dari inventor dilakukan

dalam rangka jaminan mutu hasil

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting 15. Sanksi dari pelanggaran aturan kerjasama yang

telah disepakati untuk dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku

1 Sangat Tidak penting 2 Tidak penting 3 Cukup penting 4 Penting 5 Sangat penting Diadaptasi dari WHO Need Assessment Analysis, 2000.


(5)

(6)

112

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 November 1971 di Jakarta sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara, dari ayah H. Bakaruddin dan ibu Nurbaiti dan

keduanya Alhamdulillah masih sehat wal’afiat. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama di Jakarta tahun 1987, dan Sekolah Menengah Atas di Jakarta tahun 1990. Penulis memperoleh gelar Diploma III (A.Md) pada Akademi Bahasa Asing (LPI ABA Indonesia) tahun 1996 dan saat itu sudah bekerja di Badan Litbang Pertanian sebagai PNS, dan melanjutkan sekolah di Universitas Indonesia sehingga memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia tahun 2003.

Pada tahun 2013, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti tugas belajar S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Imu Perencanaan Pembangunan Wilayah Perdesaan (PWD) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) atas biaya DIPA Kantor Pusat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Penulis mulai diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian tahun 1994 sampai saat ini.