Pemetaan lamun dengan menggunakan Citra Satelit ALOS di Perairan Pulau Pari

(1)

SILFIANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PEMETAAN LAMUN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS DI PERAIRAN PULAU PARI

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Silfiani C54061339


(3)

SILFIANI. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Citra Satelit ALOS di Perairan Pulau Pari. Dibimbing oleh Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si.

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang baik di lingkungan pesisir. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan penting. Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Di sisi lain, lamun juga peka dan terancam dari berbagai aktivitas manusia. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan sebaran lamun, salah satunya dengan teknologi penginderaan jauh. Tujuan penelitian ini adalah memetakan sebaran lamun di perairan Pulau Pari dengan menggunakan citra satelit ALOS dan melakukan pengamatan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, jumlah jenis, dan biomassa lamun pada setiap titik stasiun.

Pemetaan lamun dari citra satelit dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu klasifikasi unsupervised dan klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga. Jumlah titik sampel untuk penentuan kelas klasifikasi sebanyak 116 titik dan 92 titik untuk uji akurasi. Perhitungan uji akurasi dilakukan dengan matriks kontingensi. Studi lapang dilakukan pada 35 titik stasiun untuk mengamati persentase penutupan, biomassa, dan jumlah jenis lamun. Untuk memperoleh kondisi lamun pada tiap stasiun dilakukan teknik skoring untuk tiga parameter diatas dan selanjutnya diklasifikasikan menjadi tiga peringkat yaitu kondisi lamun

“baik”, “sedang”, dan “jelek”.

Luas ekosistem lamun pada peta hasil klasifikasi unsupervised adalah 1,67 km2 sedangkan pada peta klasifikasi algoritma Lyzenga adalah 1,95 km2. Peta hasil klasifikasi unsupervised menghasilkan nilai overall accuracy sebesar 72,82%, nilai ini lebih besar dibanding nilai overall accuracy yang dihasilkan oleh peta hasil klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga yaitu sebesar 65,21%. Hasil identifikasi lamun di titik stasiun menunjukkan persentase penutupan banyak ditemukan > 30%. Biomassa lamun yang ditemukan di 35 titik stasiun berkisar antara 2,43 gbk/m2-139,13 gbk/m2. Pada penelitian ini ditemukan 3 spesies lamun yang tersebar di perairan Pulau Pari yaitu Enhalus acoroides,

Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Kondisi lamun di perairan Pulau Pari pada umumnya tergolong “sedang”. Dilihat dari kondisi lamun yang berada di perairan Pulau Pari diperlukan perhatian yang lebih untuk menjaga kelestarian ekosistem lamun.


(4)

© Hak cipta milik Silfiani, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(5)

SILFIANI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

SKRIPSI

Judul : PEMETAAN LAMUN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS DI PERAIRAN PULAU PARI

Nama : Silfiani NRP : C54061339

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si NIP. 19660721 199103 1 009 NIP. 19620428 199003 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo,M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003


(7)

i Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Citra Satelit ALOS di Perairan Pulau Pari.

Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Drs. Indarto Happy

Supriyadi, M.Si selaku komisi pembimbing yang bersedia berdiskusi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si sebagai penguji tamu yang telah memberikan saran dan pengarahan untuk skripsi ini.

3. Bapak Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si yang telah memberikan izin penggunaan data Citra Satelit ALOS dalam penyusunan skripsi ini 4. Orang tua tercinta (Bapak Shabirin Abdoellah dan Ibu Rusminansih),

kakak, adik penulis yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, doa dan semangat.

5. Segenap staf P2O-UPT Pulau Pari LIPI serta warga Pulau Pari atas bantuan selama kegiatan pengambilan data lapang.

6. Saudara Enda atas dukungan dan bantuannya selama pengerjaan skripsi ini.

7. Seluruh rekan-rekan ITK angkatan 43 untuk semua pengalaman dan kenangan yang tidak akan terlupakan.

8. Warga ITK yang telah memberikan informasi dan pelajaran untuk penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2011


(8)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Lamun (Seagrass) ... 4

2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun... 6

2.3. Satelit ALOS... 10

2.4. Akurasi... 11

3. BAHAN DAN METODE ... 14

3.1. Waktu dan Tempat ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.2.1. Pengolahan data citra ... 15

3.2.2. Perolehan data lapang... 15

3.2.4. Analisis biomassa sampel lamun... 15

3.3. Metode Penelitian... 15

3.3.1. Pengolahan Citra ... 17

3.3.2. Pengambilan Data Lapang ... 19

3.3.3. Analisis data biomassa lamun ... 20

3.3.4. Penilaian kondisi lamun ... 20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Gambaran umum lokasi penelitian ... 22

4.2. Peta hasil klasifikasi ... 23

4.3. Perbandingan klasifikasi kelas lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised dan algoritma Lyzenga ... 25

4.3.1. Klasifikasi unsupervised ... 25

4.3.2. Klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga ... 28

4.4 Kondisi lamun yang di perairan Pulau Pari ... 31

4.4.1. Persentase penutupan lamun... 31

4.4.2. Biomasa Lamun ... 32


(9)

iii

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1. Kesimpulan ... 36

5.2. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

LAMPIRAN ... 41


(10)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kekayaan jenis dan sebaran lamun di Indonesia... 5

2. Spesifikasi satelit ALOS ... 10

3. Contoh matriks kontingensi ... 13

4. Skoring parameter penentu kondisi lamun ... 21

5. Klasifikasi kondisi titik stasiun lamun ... 21

6. Matriks kontingensi klasifikasi unsupervised Pulau Pari... 27

7. Matriks kontingensi klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga diPulau Pari ... 29


(11)

v

Halaman

1. Morfologi Lamun ... 4

2. Ilustrasi pendeteksian substrat dasar dengan citra satelit ... 7

3. Peta lokasi penelitian ... 14

4. Diagram alir penelitian ... 16

5. Peta klasifikasi habitat dasar perairan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi unsupervised (atas) dan algoritma Lyzenga (bawah) ... 24

6. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasar klasifikasi unsupervised ... 26

7. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan algoritma Lyzenga ... 28

8. Sebaran persentase penutupan lamun di tiap titik stasiun ... 31

9. Sebaran biomassa lamun di tiap titik stasiun ... 32

10. Sebaran spesies di tiap titik stasiun ... 34


(12)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai Root Mean Square(RMS) titik koreksi geometrik citra ... 41

2. Data lapang untuk penetuan peta klasifikasi unsupervised ... 42

3. Data Lapang untuk akurasi... 44

4. Hasil observasi jumlah jenis di beberapa lokasi di perairan Indonesia ... 46

5. Standar persentase penutupan (a) dan jenis lamun (b) ... 47

6. Foto-foto penelitian ... 48

7. Histogram hasil transformasi Lyzenga... 49

8. Tabel Pasang Surut Kepulauan seribu (Stasiun Tanjung Priuk) November 2008 ... 50

9. Data Lapang komponen kondisi lamun dan jumlah skoring di perairan Pulau Pari ... 51


(13)

1

1.1. Latar belakang

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan pesisir (Kiswara, 1999). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan penting. Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus sepanjang pantai (Kiswara, 1995). Di sisi lain, lamun juga peka dan terancam dari berbagai aktivitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai (Supriyadi, 2008).

Peranan padang lamun begitu besar namun informasi mengenai ekosistem padang lamun di perairan Indonesia masih sedikit sehingga lamun kurang

diperhatikan keberadaannya. Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 – 40 % akibat aktifitas manusia (Nontji, 2009). Di pesisir Teluk Banten kerusakan dan hilangnya padang lamun mencapai 50 ha atau sekitar 35% dari luasan lamun yang ada akibat perataan bukit dan pembuatan pelabuhan (Kiswara, 1995). Pengamatan yang dilakukan oleh Kiswara (1999) di Pulau Pari menunjukkan bahwa kerusakan pada lamun disebabkan oleh perputaran air akibat pergerakan perahu nelayan. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan luasan padang lamun pada daerah tersebut sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui


(14)

2

kondisi padang lamun saat ini. Perubahan ini dapat dipantau secara kontinyu dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jarak Jauh.

Data penginderaan jauh mampu menghasilkan informasi objektif dan berguna untuk memonitor wilayah pesisir laut yang luas. Penggunaan penginderaan jarak jauh untuk studi pemetaan lamun mempunyai banyak kelebihan, jika dibandingkan dengan cara konvensional menggunakan metode survei ‘in situ’ misalnya dapat menghasilkan informasi secara luas dan relatif lebih murah dan dapat menjangkau daerah yang sulit didatangi manusia. Penelitian mengenai pemetaan dan monitoring ekosistem perairan dangkal

(karang, mangrove dan lamun) telah banyak dilakukan dengan menggunakan citra satelit. Namun di Indonesia sendiri pemetaan lamun menggunakan data citra satelit masih jarang dilakukan, baru beberapa daerah misalnya pemetaan

lamun di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kuriandewa dan Supriyadi, 2005), Teluk Kotania dan Pelitajaya, Seram Barat, Maluku (Supriyadi, 2009), Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur (Supriyadi dan Kuriandewa, 2008), dan Lembeh-Bitung, Sulawesi Utara (Supriyadi, 2008);

Klasifikasi multispektral dalam pemetaan kondisi lamun di pesisir Pulau Pari menggunakan citra satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS) yang memiliki resolusi spasial 10 m. Pemetaan lamun dengan menggunakan

penginderaan jarak jauh, jika digabungkan dengan data insitu lamun seperti persentase penutupan lamun, jumlah jenis dan biomasa lamun pada setiap titik stasiun maka akan diperoleh informasi mengenai kondisi lamun di titik stasiun sehingga akan sangat bermanfaat untuk dijadikan data dasar untuk mengukur perubahan padang lamun di masa yang akan datang.


(15)

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah memetakan sebaran lamun di perairan Pulau Pari dengan menggunakan citra satelit ALOS dan melakukan pengamatan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, jumlah jenis, dan biomasa lamun.


(16)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lamun (Seagrass)

Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas lamun kelihatannya kurang begitu ada artinya, namun

sesungguhnya lamun mempunyai fungsi ekologis yang sangat besar. Dalam suatu lokasi lamun biasanya terdapat jumlah yang cukup besar dan dapat membentuk suatu padang lamun (seagrass bed). Padang lamun adalah hamparan vegetasi lamun yang menutupi area pesisir/laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) yang tumbuh sampai kedalaman yang masih dapat ditembus cahaya matahari serta menerima nutrien dari darat dan laut itu sendiri (Azkab, 2006). Tumbuhan lamun memiliki struktur morfologi (Gambar 1) yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji (Kiswara, 1999).


(17)

Lamun diseluruh dunia berjumlah 58 jenis, 20 jenis diantaranya ditemukan di perairan Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina (Kiswara, 1999). Di Indonesia sendiri dapat ditemukan 12 jenis lamun seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Di wilayah perairan Pulau Pari ditemukan 4 spesies lamun yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acorides, Halophila ovalis,

dan Thallasia hemprichii (Kiswara, 1992)

Tabel 1. Kekayaan jenis dan sebaran lamun di indonesia

Jenis Sebaran

1 2 3 4 5 Halodule uninervis + + + + +

Halodule pinifolia + + + + +

Cymodocea rotundata + + + + +

Cymodocea serullata + + + - +

Syringodium isoetifolium + + + + +

Thalassodendron ciliatum + + + + +

Enhalus acoroide + + + + +

Halophila decipiens - + - - -

Halophila minor + + + + +

Halophila ovalis + + + + +

Halophila spinulosa + + - - +

Thalassia hemprichii + + + + + Sumber : Azkab (1999)

Menurut Hartog (1977) dalam Azkab (2006), Lamun mempunyai beberapa sifat yang menjadikannya mampu bertahan hidup di laut yaitu : (1). Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir

(2). Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang

(3). Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung (4). Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan

Keterangan : + = ada - = tidak ada 1 = Sumatera 2 = Jawa, Bali, Kalimantan 3 = Sulawesi

4 = Maluku dan Nusa Tenggara


(18)

6

(5). Mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur generatif secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air

(6). Mampu hidup di media air asin dengan salinitas (10-40) ‰. (7). Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik

Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus yang datang ke daratan. (Kiswara, 1995). Walaupun lamun di perairan dangkal memiliki peranan yang penting, namun sebaran lamun dapat mengalami pengurangan akibat

ancaman-ancaman dari alam maupun dari luar. Ancaman yang muncul dari aktifitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai (Supriyadi, 2008).

Parameter untuk mengetahui kondisi lamun secara umum di suatu perairan dapat dilakukan dengan mengukur beberapa komponen padang lamun seperti kandungan biomasa, komposisi jenis, persentase tutupan lamun (Kuriandewa

dalam Supriyadi, 2010), kepadatan jenis, kualitas habitatnya (Bjork et al. 1999

dalam Supriyadi, 2010), luas area serta asosiasi flora dan fauna (Short et al. 2004

dalam Supriyadi 2010).

2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun

Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting untuk mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat


(19)

dilakukan dengan menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan jauh (Short et al., 2001). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesan dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun tertutupi oleh kolom perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam air menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman.

Prinsip kerja pendeteksian padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reklektansi langsung yang khas dari tiap objek di dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat

direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm) (Gambar 2).


(20)

8

Gelombang masuk ke kolom air, kemudian diserap dan dipantulkan kembali oleh permukaan air. Gelombang yang dipantulkan kembali menuju satelit adalah perwujudan dari ekstraksi sifat bawah permukaan air. Gelombang ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar (Rasib dan Hashim, 1997).

Pemetaan lamun pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah pemetaan lamun di pesisir Pulau Bintan Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Kuriandewa dan Supriyadi (2005). Pemetaan dilakukan dengan menggunakan 3 band citra satelit Landsat yaitu band 1 (0,45-0,52 μm), band 2 (0,52-0,60 μm), dan band 3 (0,63-0,69 μm). Ketiga band tersebut dipilih karena mampu menembus kolom perairan, sedangkan band 4 (0,75-0.90 μm) digunakan untuk memisahkan area darat dan lautan. Sebelum melakukan analisis survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised

untuk menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang. Data lapang yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan / kerapatan, persen penutupan, biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei lapang akan dicocokkan dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan klasifikasi Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan software Arc.View 3.2.

Selain itu, pemetaan lamun juga pernah dilakukan di daerah Toli-toli, Sulawesi Barat. Tujuan penelitian tersebut adalah memetakan informasi secara spasial sebaran lamun, persentase tutupan lamun dan kondisi lamun dengan menggunakan citra satelit ASTER. Klasifikasi yang dipilih dalam pengolahan citra adalah klasifikasi unsupervised karena dengan ditambahnya data lapang yang


(21)

dimasukkan ke dalam peta hasil klasifikasi maka posisi lamun terpetakan lebih akurat (Supriyadi, 2010).

Penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga juga banyak digunakan untuk memetakan subtrat dasar perairan (karang, pasir dan lamun). Untuk lebih menonjolkan objek dasar perairan dangkal dilakukan penggabungan 2 sinar tampak yaitu band 1 dan band 2, maka akan di dapat citra baru yang

menampakkan dasar perairan dangkal yang lebih informatif. Hasil transformasi citra tersebut dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan histogram hasil

transformasi

Algoritma Lyzenga atau yang disebut juga depth-invariant index

merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk koreksi kolom perairan. Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi band sinar tampak citra satelit. Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana perairan tersebut merupakan perairan yang jernih. Sebelumnya teknik ini digambarkan untuk mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggunakan citra Landsat berdasarkan nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari fungsi linear

reflektansi dasar perairan dan fungsi ekponensial kedalaman air (Lyzenga, 1981). Parameter yang dibutuhkan untuk algoritma ini adalah rasio koefisien atenuasi untuk tiap band yang digunakan. Koefisien atenuasi yang berbeda dari tiap band tergantung pada tipe perairan lokasi perekaman citra satelit. Di perairan Bahama dengan menggunakan citra satelit Landsat band 1-2 diperoleh nilai rasio koefisien atenuasi sebesar 0,24. Rasio koefisien atenuasi dari citra satelit SPOT XS band 1-2 diperoleh sebesar 0,36 (Green et al., 2000).


(22)

10

2.3. Satelit ALOS

Advanced Land Observing Satellite merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumberdaya alam dan pengembangan teknologi (As-syakur dan Adnyana, 2009).

Citra satelit ALOS memiliki data multispektral dengan resolusi spasial sebesar 10 m. ALOS memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi digital dengan resolusi 2,5 m, 2) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

(AVNIR) untuk observasi penutupan lahan dan memiliki resolusi spasial 10 meter, dan 3) Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk observasi lahan dan dapat digunakan siang dan malam hari, serta pada segala cuaca (JAXA, 2008). Spesifikasi satelit ALOS ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi satelit ALOS

Tanggal peluncuran 24 Januari 2006

Kendaraan

peluncuran H-IIA

Lokasi peluncuran Pusat Antariksa Tanegashima

Tipe orbit Sun-Synchronous Waktu orbit 10.30 ± 15 menit

Ketinggian orbit 691.65 km diatas equator

Periode pengulangan 46 hari

Inklinasi 98,16°

Periode orbital 98,7 menit

Band AVNIR-2

band 1 (0,42-0,50 μm) band 2 (0,52-0,60 μm) band 3 (0,61-0,69 μm) band 4 (0,76-0,89 μm) Sumber : JAXA (2008)


(23)

Banyak aplikasi citra satelit ALOS untuk pemetaan lahan, hutan dan daerah pesisir termasuk ekosistem lamun. Citra satelit ALOS mampu

memberikan cakupan yang cukup luas dengan resolusi tinggi sehingga perolehan datanya mendekati data yang sebenarnya. Penelitian sebelumnya mengenai pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit ALOS pernah dilakukan oleh Supriyadi (2008) di daerah Bitung-Manado. Metode yang digunakan yaitu dengan mengintegrasikan antara hasil analisis data citra satelit ALOS dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil analisis spasial klasifikasi, sebaran lamun di daerah Bitung-Manado seluas 6,5 ha yang memiliki tutupan lamun >75% dan klasifikasi kurang dari 25% mencapai 40,1 ha (Supriyadi, 2008). Pemetaan lamun pada penelitian sebelumnya menggunakan data Advanced Visible and Near Infrared Radiometer (AVNIR-2) dari satelit ALOS (Seeni et al., 2008).

2.4 Akurasi

Uji akurasi diperlukan untuk menunjukkan seberapa tepat sebuah citra diklasifikasikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perhitungan akurasi dapat dilakukan dengan membangun matriks kontingensi (Gambar 3). Uji ketelitian dilakukan dengan membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan pada setiap bentuk penutupan atau penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh (Short, 1982 dalam Purwadhi, 2001).

Matriks kontingensi merupakan matriks yang disusun untuk menentukan akurasi seluruhnya (overall accuracy), akurasi pengguna (user’s accuracy) dan akurasi penghasil (producer’s accuracy). Overall accuracy adalah sebuah metode pengukuran yang umum digunakan, dihitung dengan membagi titik sample yang


(24)

12

benar pada diagonal utama dengan jumlah titik observasi. Producer’s accuracy

adalah kemungkinan seberapa besar suatu data referensi dikelaskan dengan benar. Producer’s accuracy diperoleh dengan membagi jumlah total titik data yang terkelaskan dengan benar pada suatu kelas tertentu terhadap jumlah total titik data referensi pada kelas tersebut. User’s accuracy adalah kemungkinan sebuah pixel

dalam peta mewakili dengan benar kelas pada lapangan. User’s accuracy diperoleh dengan membagi jumlah titik data yang terkelaskan dengan benar terhadap jumlah total titik hasil klasifikasi citra.

Pada setiap pengolahan data spasial, tidak terlepas dari error atau kesalahan. Pada matriks kontingensi terdapat 2 jenis error yaitu omission error

(membuang daerah yang seharusnya termasuk dalam kelas)dan commission error

(memasukkan daerah yang seharusnya dibuang dari kelas). Namun untuk overall accuracy tidak memperhitungkan omission error dan commission error

(Conglaton dan Green, 2009).

Ketelitian pemetaan dibuat dalam beberapa kelas X yang dapat dihitung dengan rumus (Short,1982 dalam Purwadhi, 2001) :

pixel Xco pixel Xo pixel Xcr

pixel Xcr M A

 

 ...(1)

Keterangan : MA= Ketelitian pemetaan (mapping accuracy)

Xcr = Jumlah kelas X yang terkoreksi

Xo = Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi) Xco= Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)


(25)

Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (KH) adalah :

 pixel semua Jumlah kelas semua murni pixel Jumlah KH ...(2)

Tabel 3. Contoh matriks kontingensi (Purwadhi, 2001).

Survei Lapang Hasil Interpretasi Total Omisi (Pixel)

1 2 3 4 5 6 7

Laut 468 10 4 0 0 8 0 490 22

Tambak 8 256 4 0 0 2 0 270 14

Sawah 4 2 526 10 2 0 6 550 24

Pemukiman 0 0 4 60 2 0 4 70 10

Jalur jalan 0 2 4 2 22 0 0 30 8

Sungai 2 3 1 0 0 34 0 40 6

Tegalan 0 0 3 3 0 0 44 50 6

Total / OA 482 273 546 75 26 44 54 1500 90

Komisi (Pixel) 14 17 20 15 4 10 10 90

Contoh cara perhitungan ketelitian

pemetaan (MA) 468 22 14

468 laut untuk M A    92,9% Ketelitian hasil interpretasi

      1500 44 34 22 60 526 256 468 94%


(26)

14

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Secara geografi lokasi penelitian terletak pada koordinat 5 o50’20” – 5o50’25” LS dan 106 o34’30” – 106 o38’20” BT (Gambar 3). Pengambilan sampel dan survei lapang dilakukan pada tanggal 19-21 Juni 2010.


(27)

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Pengolahan data citra

Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ER Mapper 6.4, Arcview GIS 3.3, dan MS Office 2003. Bahan penelitian berupa data Citra ALOS-AVNIR akuisisi 21 November 2008 (level 1B), dan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25000 dengan nomor lembar 1210-113 yang diproduksi oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) yang digunakan untuk koreksi geometrik.

3.2.2. Perolehan data lapang

Alat yang digunakan berupa GPS, rol meter 50 m, frame (1m x 1m), sekop, plastik, alat tulis, papan jalan, data sheet, alat dokumentasi, dan perahu motor.

3.2.3. Analisis biomasa sampel lamun

Alat yang digunakan berupa oven untuk mengeringkan lamun dan timbangan analitik untuk menimbang berat kering lamun.

3.3. Metode penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengolahan citra ALOS tahun 2008 dengan klasifikasi multispektral. Pengolahan ini terdiri dari 7 tahap yaitu koreksi

radiometrik, koreksi geometrik, pemisahan daerah daratan dan perairan, mengklasifikasi citra secara tidak terbimbing (Unsupervised Classification), survei lapang, akurasi data dan skoring. Prosedur pemetaan kondisi lamun ditampilkan dalam diagram alir pada Gambar 4.


(28)

16

Gambar 4. Diagram alir penelitian Citra satelit ALOS

Cropping wilayah yang ingin dikaji

Koreksi Radiometrik citra

Koreksi Geometrik citra

Pemisahan darat-laut

Klasifikasi :

1. Unsupervised 2. Algoritma Lyzenga

Survei Lapang

Data Lapang Peta RBI

skoring

Sebaran dan kondisi lamun

di perairan Pulau Pari

Persentase Penutupan

lamun

Biomasa lamun

Jumlah spesies lamun Peta Klasifikasi

Habitat Dasar Perairan


(29)

3.3.1. Pengolahan citra

Pengolahan citra dimulai dari pemotongan citra yang bertujuan untuk membatasi daerah yang akan diolah sesuai dengan lokasi penelitian. Perbaikan citra yang dilakukan setelah pemotongan citra bertujuan untuk mengembalikan tampilan citra sesuai dengan kenampakan aslinya dimuka bumi. Perbaikan citra terdiri dari dua proses yaitu koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.

Citra satelit ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra hasil perekaman sensor AVNIR yang terdiri dari 4 band. Band 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah band panjang gelombang biru, hijau, dan merah, sedangkan band 4 adalah band panjang gelombang inframerah dekat. Citra yang digunakan adalah level 1B, sehingga sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik secara sistematik. Meskipun demikian, koreksi atmosferik tetap dilakukan kembali karena pada daerah bayangan bernilai digital lebih dari 0 (nol). Dari histogram dapat diketahui nilai minimal dari nilai digital citra tersebut. Nilai minimal ini digunakan sebagai nilai pengurang untuk nilai digital semua band (metode histogram adjustment). Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki posisi atau letak objek agar koordinatnya sesuai dengan koordinat geografi (posisi sebenarnya dibumi). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan acuan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25000 yang sudah diregristrasi terlebih dahulu.

Pengkelasan data citra menggunakan 2 metode yaitu penajaman citra dengan algoritma Lyzenga dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised).

Pemakaian 2 metode ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengkelasan. Citra yang sudah terkoreksi diklasifikasi secara tak terbimbing (Unsupervised Classification) untuk mengkaji atau menganalisis sejumlah besar pixel yang tidak


(30)

18

dikenal dan membaginya dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Warna yang nampak dalam citra yang menggambarkan vegetasi lamun adalah hijau kehitam-hitaman. Setelah pengambilan data lapang, titik posisi keberadaan lamun dari tiap stasiun dimasukkan ke dalam tiap kelas hasil klasifikasi tak terbimbing.

Pembanding dari klasifikasi tak terbimbing adalah penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga. Proses penajaman ini merupakan proses penggabungan informasi dari 2 band yang bertujuan untuk mendapatkan penampakan habitat dasar perairan dengan menggunakan persamaan berikut (Green et al. , 2000).

Y = ln (TM 1) – [ki/kj ln (TM 2)]...(3) Keterangan :

Y = Citra hasil ekstraksi dasar perairan TM 1 = Band 1 (biru)

TM 2 = Band 2 (hijau)

ki/kj = Nilai Koefisien atenuasi Dimana :

ki/kj = a + √(a2

+ 1)...(4) a = (var TM 1 – Var TM 2)/(2 * Covar TM1 TM2)...(5)

Kemudian dilakukan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Proses klasifikasi dilakukan dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori.


(31)

3.3.2. Pengambilan data lapang

Metode sampling yang dipilih adalah nonprobability random sampling. Berdasarkan metode ini maka akan dipilih secara acak sampel dari setiap kelas. Catat koordinat geografi titik sampling dengan menggunakan GPS dan catat habitat dasar yang berada di bawah permukaan air (karang, pasir atau lamun). Bentuk titik sampling yang dipilih adalah piksel. Pada penelitian ini didapatkan 116 titik sampel untuk penetuan kelas klasifikasi tak terbimbing (Lampiran 2) dan 92 titik sampel untuk uji akurasi (Lampiran 3).

Pengambilan data pada ekosistem padang lamun dilakukan dengan

menggunakan frame (1m x 1 m). Titik sampel lamun diambil secara acak dimana titik stasiun menyebar di sekitar perairan Pulau Pari. Kemudian perkirakan nilai persen penutupan lamun dan jenis spesies lamun yang terdapat dalam frame

berdasarkan acuan yang dikeluarkan oleh seagrasswacth dalam Mc.Kenzie(2003) yang terlampir pada Lampiran 5. Selain data persen penutupan lamun, data yang diambil untuk penelitian ini adalah data biomasa lamun dalam frame yang sama. Data biomasa lamun diperoleh dengan mengambil sampel daun lamun dari pucuk hingga substrat yang berada dalam frame 20 cm x 20 cm dengan

menggunakan sekop. Sampel kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan alga serta detritus yang menempel. Sampel yang telah dicuci lalu dikeringkan dan ditimbang berat basahnya. Untuk mendapatkan nilai biomasa, sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 60 oC selama 24 jam sehingga didapatkan berat kering dari sampel. Foto-foto kegiatan penelitian terlampir di Lampiran 6.


(32)

20

3.3.3. Analisis data biomasa lamun

Nilai biomasa yang digunakan pada penelitian ini merupakan berat kering lamun dalam luasan area 0,04 m2 yang diperoleh dengan menggunakan rumus (Azkab, 1999):

frame

Luas

ring ke Berat

Biomassa ………..(6)

Keterangan :

Biomasa = nila biomasa lamun dalam gbk/m2 (gram berat kering/m2) Berat kering = berat sampel lamun kering yang telah di oven (gbk)

Luas frame = luas area frame pada saat pengambilan sampel lamun (0,04 m2)

3.3.4. Penilaian kondisi lamun

Pengamatan kondisi titik stasiun lamun dilakukan pada 35 titik stasiun (Lampiran 9). Pada setiap titik stasiun lamun dilakukan penilaian kondisi lamun berdasarkan studi lapang persentase penutupan, jumlah jenis dan biomasa lamun secara kuantitatif dengan cara skoring. Teknik skoring yaitu dengan memberikan skor tertentu pada parameter penentu kondisi lamun dengan skor 5,3,1. Skor ini mencerminkan nilai setiap parameter kondisi lamun.

Kisaran nilai untuk pemberian skor pada setiap parameter berdasarkan data yang diperoleh (Supriyadi, 2010). Namun dilakukan pengecualian untuk

parameter persentase penutupan lamun yang berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004. Kisaran biomasa diperoleh dari hasil pembentukan kelas data menjadi 3 kelas dimana pada setiap kelasnya memiliki lebar kelas berdasarkan pada persamaan dibawah ini.


(33)

kelas jumlah min data max data kelas

Lebar   ...(7)

Secara rinci tabel skoring dan klasifikasi peringkat kondisi lamun disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Skoring parameter penentu kondisi lamun

No Parameter Kisaran Skor

1. Jumlah jenis 1

2 3

1 3 5

2. Biomasa (gbk/m2) 2,43 – 47,99

48,00 – 93,56 93,57 – 139,13

1 3 5 3. Persentase penutupan (%)

(Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004)

< 29,9 30 – 59,9

≥ 60

1 3 5 Jumlah skor dari ketiga parameter kemudian diklasifikasikan menjadi tiga peringkat yaitu kondisi lamun “baik”, “sedang”, dan “jelek” berdasarkan

persamaan 7 (Tabel 5).

Tabel 5. Klasifikasi kondisi titik stasiun lamun

Skor akhir Kondisi lamun

≤ 6 jelek

7-10 sedang


(34)

22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran umum lokasi penelitian

Gugus Pulau Pari merupakan salah satu bagian dari Kepulauan Seribu dan tersusun dari lima buah pulau kecil, antara lain Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau Tikus, dan Pulau Burung masing-masing dipisahkan oleh beberapa buah Goba. Pulau Pari merupakan pulau terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus Pulau Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km dan lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian terpanjang sekitar 400 m (Kiswara, 1992). Secara geografis, gugus pulau pari terletak pada posisi 5 o50’20” LS – 5o50’25” LS dan 106 o

34’30” BT – 106 o38’20” BT.

Perairan Pulau Pari dipengaruhi oleh pasang surut harian. Pasang harian di Pulau Pari tertinggi 1,2 m dan terendah 0,18 m. Salinitas berkisar 30,2‰

-36,7‰ dan temperatur berkisar 26,7 o

C – 32,9 o C, sehingga dari data lingkungan diatas menunjukkan kualitas perairan di Pulau Pari termasuk ke dalam kisaran optimum bagi spesies lamun (Azkab, 1988). Substrat dasar di perairan Pulau Pari berupa pasir, pasir berlumpur dan pasir berkarang dan kedalaman yang dangkal di perairan Pulau Pari memungkinkan kecerahan perairan dapat mencapai 100% (Kiswara, 1992).

Vegetasi lamun tersebar di wilayah perairan Gugus Pulau Pari dengan kedalaman kurang dari 2 meter dengan kondisi arus yang tenang (Kiswara, 1992). Berdasarkan identifikasi jenis lamun di perairan Pulau Pari ditemukan 3 jenis antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii.


(35)

4.2. Peta hasil klasifikasi

Citra satelit yang dipergunakan untuk menghasilkan peta sebaran lamun adalah citra ALOS tahun 2008 yang memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra yang sudah dikoreksi secara geografi (Lampiran 1) dan atmosferik diklasifikasi dengan 2 metode. Klasifikasi pertama adalah klasifikasi unsupervised dan yang kedua adalah klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga (Gambar 5). Hasil dua metode klasifikasi yang digunakan menunjukkan adanya perbedaan luas kelas lamun sebagai objek yang sama.

Luas ekosistem lamun pada peta hasil klasifikasi unsupervised adalah 1,67 km2 sedangkan pada peta klasifikasi algoritma Lyzenga luas ekosistem lamun adalah 1,95 km2. Sama halnya dengan perbedaan luasan lamun, dari kedua peta tampak adanya perbedaan hasil klasifikasi habitat dasar perairan berupa sebaran pasir dan karang. Pada peta klasifikasi unsupervised terlihat adanya sebaran karang di tubir bagian utara sedangkan pada peta klasifikasi dengan menggunakan algoritma Lyzenga banyak ditemukan sebaran karang di goba (lagoon) labangan pasir dan besar 1. Perbedaan ini disebabkan pada saat pengambilan data lapang kelas karang untuk klasifikasi unsupervised hanya ditemukan di bagian barat Pulau Pari dan pada daerah goba sudah terkelaskan menjadi laut dalam. Dalam penelitian ini kelas laut dalam mencakup daerah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 2 meter.


(36)

24

Gambar 5. Peta klasifikasi habitat dasar perairan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi unsupervised (atas) dan algoritma Lyzenga (bawah)


(37)

Sebaran lamun di Gugus Pulau Pari dari kedua peta terlihat tersebar merata di sebelah barat daya serta sebelah barat dari Pulau Pari atau tepatnya tersebar diantara Pulau Pari, Pulau Tengah dan Pulau Burung serta di daerah dekat tubir. Di bagian timur Pulau Pari tidak terlalu banyak sebaran lamun. Hal ini diduga karena sisi timur Pulau Pari banyak dihuni oleh penduduk, sehingga aktivitas manusia dapat mempengaruhi keberadaan lamun itu sendiri. Selain itu faktor alam seperti arus dan pasang surut juga mempengaruhi. Arus yang melalui bagian timur Pulau Pari memiliki kecepatan 0,15 m/detik sedangkan di bagian barat kecepatan arus sebesar 0,09 m/detik sehingga arus yang melalui bagian timur Pulau Pari lebih besar dibandingkan arus yang melewati bagian barat Pulau Pari yang yang terhalangi oleh daratan (LAPAN, 2005). Kedalaman perairan pada saat surut dapat mencapai 0,18 meter menyebabkan terbatasnya jenis lamun yang bisa tumbuh didaerah tersebut (Kiswara, 1992).

Berdasarkan tabel pasang surut perairan Kepulauan Seribu (Stasiun Tanjung Priok) Dishidros TNI AL bulan November 2008 (Lampiran 8), perairan Kepulauan Seribu mengalami surut mulai pukul 07.00 WIB dan mengalami pasang mulai pukul 10.00 WIB. Sehingga perekaman citra ALOS pada tanggal 21 November 2008 pukul 10.30 WIB terjadi saat perairan Kepulauan seribu mulai mengalami pasang.

4.3. Perbandingan klasifikasi kelas lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised dan algoritma Lyzenga.

4.3.1 Klasifikasi unsupervised

Pada awal pemrosesan citra, seteleh proses koreksi dilakukan selanjutnya dilakukan masking untuk memisahkan darat dan laut dengan menggunakan


(38)

band-26

4. Citra satelit ALOS memiliki 3 band tampak yang dapat menganalisis objek bawah laut seperti lamun yaitu band biru (band 1), band hijau (band 2) dan band merah (band 3) yang memiliki panjang gelombang yang lebih kecil yang

memungkinkan untuk menembus kedalam kolom perairan. Citra dibagi menjadi 100 kelas yang selanjutnya di reclass menjadi 5 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang, darat, dan laut dalam seperti yang ditampilkan pada Gambar 5. Pada Gambar 6 menunjukkan sebaran lamun di Gugus Pulau Pari yang dihasilkan oleh klasifikasi unsupervised.

Gambar 6. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi

unsupervised

Berdasarkan data survey yang telah dikumpulkan maka dapat ditentukan nilai overall accuracy (OA), producer accuracy (PA), dan user accuracy (UA) dari peta kondisi lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised (Tabel 6).


(39)

Tabel 6. Matriks kontingensi klasifikasi unsupervised Pulau Pari

Citra Survey Lapang UA (%) OA (%)

Lamun Lain Jumlah

Lamun 20 9 29 68,97

72,82

Lain 16 47 63

Jumlah 36 56 92

PA (%) 55,55

Perhitungan UA lamun di perairan Pulau Pari memberikan informasi bahwa sekitar 68,97% kelas lamun telah terklasifikasi dengan benar. Kemudian PA untuk kelas lamun sebesar 55,55%. Sementara 44,45% piksel yang

seharusnya termasuk dalam kelas lamun terpetakan sebagai kelas lain (omission error) dan 31,03% daerah yang seharusnya bukan lamun telah terpetakan sebagai terumbu karang pada peta hasil klasifikasi (commission error). Hasil perhitungan OA untuk peta hasil klasifikasi unsupervised diperoleh sebesar 72,82%.

Nilai akurasi untuk pemetaan habitat dasar pada setiap citra satelit berbeda-beda. Nilai akurasi pemetaan substrat dasar di Pulau Caicos Turki menggunakan metode klasifikasi unsupervised ditemukan sebesar 81% dengan menggunakan citra satelit SPOT-XT (Sheppard et al., 1995 dalam Green et al., 2000). Dekker (2005) dalam Yang (2009) menemukan nilai akurasi pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit Landsat sebesar 76%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan citra satelit ALOS dimana nilai overall accuracy diperoleh sebesar 72,82%, hal ini diduga dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengolahan citra klasifikasi. Kesalahan tersebut adalah kesalahan tematik dan kesalahan dari segi penentuan posisi. Kesalahan tematik merupakan kesalahan dalam pengelompokkan jenis habitat berdasarkan kelas yang

sebenarnya yang terdapat di lapang pada saat pengambilan data insitu. Sedangkan posisi pada saat di lapang dengan koordinat yang terdapat pada citra satelit ALOS


(40)

28

seharusnya sama, akan tetapi GPS yang digunakan pada saat pengambilan data di lapang menghasilkan galat/error GPS sebesar < 30 meter sehingga koordinat titik sampel akan bergeser

4.3.2 Klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga

Pemetaan kondisi lamun dengan menggunakan algoritma Lyzenga (Gambar 7) diawali dengan menggabungkan tiga band citra RGB 421 sehingga menghasilkan citra komposit. Kemudian dilakukan penajaman citra dengan mengkombinasikan band 1 dan band 2 berdasarkan algoritma penurunan standard exponential attenuation model yang menghasilkan persamaan yang disebut

transformasi Lyzenga.

Gambar 7. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan algoritma Lyzenga


(41)

Setelah pemrosesan dilakukan, maka didapat nilai rasio koefisien band 1 dan band 2 (ki/kj) dimana nilai yang didapat untuk citra adalah 1,18 sehingga algoritma yang digunakan pada citra ini adalah Y = ln (TM 1) - 1,18 ln (TM 2). Hasil dari transformasi Lyzenga berupa tampilan citra baru yang menampakkan kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 7). Setiap kelas habitat dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda. Berdasarkan training area pada citra ALOS, nilai spektral untuk lamun memiliki kisaran 8,031

– 8,467. Untuk mengetahui berapa luasan habitat dilakukan klasifikasi

supervised. Training area dilakukan disetiap vegetasi seperti karang, lamun dan pasir.

Perhitungan matriks kontingensi juga diterapkan pada peta hasil klasifikasi dengan menggunakan algoritma Lyzenga (Tabel 7). Berdasarkan data survey lapang yang telah dilakukan diperoleh nilai OA sebesar 65,21%. Nilai UA lamun didapat sebesar 61,11% kelas lamun telah terklasifikasi dengan benar. Kemudian PA untuk kelas lamun sebesar 30,55%.

Tabel 7. Matriks kontingensi klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga diPulau Pari

Citra Survey Lapang UA (%) OA (%)

Lamun Lain Jumlah

Lamun 11 7 18 61,11

65,21

Lain 25 49 74

Jumlah 36 56 92

PA (%) 30,55

Algoritma Lyzenga atau disebut juga depth-invariant index yang dirumuskan oleh David Lyzenga digunakan untuk koreksi kolom perairan dimana persamaan ini didapat dari perbandingan nilai reflektansi dari beberapa


(42)

30

band citra satelit di suatu perairan yang dangkal dan sangat jernih. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki daya tembus rendah, sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami kekeliruan. Maka dari itu, untuk mendapatkan hasil pemetaan yang lebih akurat, Sagawa et al. (2007) telah mengembangkan sebuah metode koreksi kolom perairan baru bernama reflectance index. Metode ini menggunakan parameter tambahan seperti data kedalaman dan nilai reflektansi.

Penelitian Sagawa et al. (2007) di Teluk Gabes Tunisia dengan

menggunakan citra satelit IKONOS menemukan perbedaan nilai overall accuracy

antara peta hasil transformasi depth invariant index dengan reflectance index.

Nilai overall accuracy yang diperoleh dari depth invariant index sebesar 54% sedangkan nilai overall accuracy yang diperoleh dari reflectance index sebesar 90%. Hal ini menandakan bahwa untuk penggunaan koreksi kolom perairan yang lebih akurat diperlukan parameter pendukung seperti data kedalaman, nilai

reflektansi dan koefisien atenuasi yang diambil saat pengambilan data lapang dengan menggunakan suatu peralatan seperti spektrofotometer.

Pada penelitian ini penggunaan metode klasifikasi yang berbeda didapat nilai overall accuracy (OA) yang berbeda pula. Nilai OA klasifikasi unsupervised

pada pemetaan lamun di perairan Pulau Pari ditemukan lebih tinggi dibanding hasil klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga. Fornes et al. (2006)

menemukan nilai overall accuracy dari pemetaan lamun adalah 84% dengan menggunakan metode klasifikasi supervised citra satelit Ikonos di Pulau Balearic Laut Mediterania. Komatsu et al. (2008) menggunakan ALOS di Akeshi Jepang untuk memetakan lamun (metode klasifikasi supervised) menemukan nilai OA


(43)

peta sebesar 64,20%. Namun dengan menggunakan algoritmaLyzenga, Komatsu

et al. (2008) mendapatkan nilai OA naik menjadi 71,80%.

4.4. Kondisi lamun di Perairan Pulau Pari 4.4.1. Persentase penutupan lamun

Persentase penutupan lamun di perairan Pulau Pari diklasifikasikan menjadi 3 kelas (Gambar 8) berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004. Persentase lamun ≥ 60% masuk dalam kelompok

status lamun “rapat”, persentase penutupan lamun antara 30%-59,9% masuk

dalam kelompok status lamun “kurang rapat” sedangkan lamun yang memiliki persentase penutupan ≤ 29,9% masuk dalam kisaran status lamun “jarang”.

Gambar 8. Sebaran persentase penutupan lamun di tiap titik stasiun

>=60% 30 – 59,9 % <29,9 %


(44)

32

Dari gambar 8 dapat diketahui persentase penutupan yang besar ditemukan di titik stasiun yang berada di selatan Pulau Tengah dan di sebelah barat Pulau Burung. Sedangkan persentase penutupan lamun pada titik stasiun disebelah barat Pulau Pari beragam. Hasil analisis persentase penutupan lamun di perairan Pulau Pari yaitu berkisar antara 5% - 95%.

4.4.2. Biomasa Lamun

Biomasa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun dibawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2), sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomasa lamun dalam selang waktu tertentu. Kesuburan lamun berkorelasi positif dengan besarnya biomasa dan produksi lamun (Hogart, 2007). Sebaran biomasa lamun di tiap titik stasiun di gugusan Pulau pari ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Sebaran biomasa lamun di tiap titik stasiun >=93,57 gbk/m2

48 - 93,56 gbk/m2


(45)

Hasil analisis biomasa lamun di perairan Pulau Pari Biomasa lamun yang ditemukan di titik stasiun berkisar antara 2,43 gbk/m2-139,13 gbk/m2. Rata-rata biomasa lamun sebesar 41,94 gbk/m2. Titik stasiun lamun di perairan Pulau Pari sebagian besar memiliki biomasa lamun < 47,99 gbk/m2 dan banyak tersebar di bagian selatan Pulau Pari. Dari 35 titik stasiun lamun, hanya ada 3 titik stasiun yang memiliki biomasa lamun ≥ 93,57 gbk/m2 yang tersebar di sebelah selatan Pulau Tengah dan di sebelah barat Pulau pari. Penelitian mengenai biomasa lamun pernah dilakukan Azkab (1988) di wilayah Pulau Pari pada jenis lamun

Enhalus acoroides dan diperoleh hasil analisis biomasa sebesar 44,949 gbk/m2– 175,00 gbk/m2. Semakin besar kandungan biomasa lamun maka produktivitas lamun semakin besar, dalam hal ini berhubungan dengan proses fotosintesis (Duarte, 1989).

4.4.3. Jumlah spesies lamun

Hasil identifikasi data lamun di perairan Pulau Pari ditemukan tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii

(Gambar 10) dan jumlah spesies lamun ini relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan lokasi lainnya (Lampiran 4).

Tipe vegetasi lamun di perairan Pulau Pari adalah vegetasi campuran dimana komunitas lamun terdiri atas dua atau lebih jenis lamun yang tumbuh pada tempat yang sama. Dari ke 35 titik stasiun, jenis lamun yang sering ditemukan yaitu Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Di Perairan Pulau Pari

Enhalus acoroides tumbuh pada dasar perairan pasur berlumpur, pasir dan pasir berkarang yang selalu tergenang air. Thalassia hemprichii umumnya tumbuh di perairan dangkal pada dasar pasir dan pasir berlumpur (Kiswara, 1992).


(46)

34

Baik Sedang Jelek Gambar 10. Sebaran spesien lamun di tiap titik stasiun

4.4.4 Analisis kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, biomasa, dan jumlah jenis lamun

Hasil dari pemberian skor pada setiap stasiun kemudian diplotkan yang terbagi menjadi kelas kondisi lamun “baik”, “sedang”, dan “jelek” (Gambar 11).

Gambar 11. Sebaran kondisi lamun di perairan Pulau Pari Sedang Jelek


(47)

Penentuan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, biomasa, dan jumlah jenis yang selanjutnya dilakukan teknik skoring untuk mengetahui apakah

titik stasiun tersebut masuk kedalam kategori lamun “baik”, “sedang” atau “jelek”. Kategori kondisi lamun “baik” menandakan bahwa keanekaragaman

jenis, persentase tutupan dan biomasa lamun masih relatif tinggi.

Berdasarkan Gambar 11, terdapat 42,85% titik stasiun lamun masuk ke

dalam kategori kondisi lamun “sedang”. Dari 35 titik stasiun lamun, ditemukan 15 titik stasiun lamun dalam kondisi “sedang” tersebar di bagian selatan Pulau

Pari dan di bagian utara Pulau Burung. Titik stasiun yang termasuk dalam

kategori “baik” ditemukan ada 10 titik atau 28,57%. Kondisi lamun yang masuk dalam kategori “baik” ditemukan di bagian barat Pulau Burung, di bagian selatan

Pulau Tengah, dan di bagian timur Pulau Kongsi timur. Sedangkan untuk kondisi

lamun yang masuk ke dalam kategori “jelek” ditemukan 28,57% di titik stasuin atau 10 titik stasiun lamun yang tersebar di bagian timur Pulau Pari dekat daratan (mess LIPI), dan di daerah dekat dermaga selatan Pulau Pari. Daerah lamun yang

masuk ke dalam kategori “jelek” seperti halnya di bagian timur Pulau Pari

merupakan daerah yang sering dijadikan lokasi transplantasi lamun dengan tujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan habitat yang mengalami kerusakan (Azkab, 1988).

Parameter penentu untuk mengetahui kondisi lamun secara keseluruhan harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti aspek biologi (persentase penutupan, kerapatan, biomasa, jumlah jenis, dan sebaran lamun), aspek fisik (arus, pasang surut, kedalaman, dan substrat), aspek kimia (kualitas air), aspek ekologi (asosiasi fauna dan flora), dan aspek pengaruh manusia (Kiswara, 1999).


(48)

36

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil pemetaan sebaran lamun di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa hampir di sepanjang pantai terdapat lamun. Luas ekosistem lamun pada peta hasil klasifikasi unsupervised adalah 1,67 km2 sedangkan pada peta klasifikasi

algoritma Lyzenga luas ekosistem lamun adalah 1,95 km2. Pemetaan kondisi lamun di perairan Pulau Pari dengan menggunakan dua metode menghasilkan nilai overall accuracy yang berbeda. Peta hasil klasifikasi unsupervised

menghasilkan nilai overall accuracy sebesar 72,82%, nilai ini lebih besar dibanding nilai overall accuracy yang dihasilkan oleh peta hasil klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga yaitu sebesar 65,21%.

Identifikasi lamun di titik stasiun menunjukkan persentase penutupan lamun umumnya ditemukan masuk dalam kisaran > 30%. Rata-rata biomasa lamun di semua titik stasiun adalah sebesar 41,94 gbk/m2. Pada penelitian ini ditemukan 3 spesies lamun yang tersebar di perairan Pulau Pari yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Kondisi lamun di

perairan Pulau Pari pada umumnya tergolong “sedang”. Kondisi lamun “baik”

berada di sebelah barat Pulau Burung, sedangkan kondisi lamun Kondisi lamun

“jelek” berada di sebelah timur Pulau Pari. .Kondisi lamun saat ini memerlukan perhatian yang lebih, baik dari pemerintah setempat dan masyarakat sehingga kelestarian ekosistem lamun terpelihara.


(49)

5.2. Saran

Untuk mendapatkan peta hasil klasifikasi yang lebih akurat dibutuhkan data lapang yang menyebar dan mewakili tiap kelas substrat dasar. Jumlah titik stasiun sebaiknya lebih merata dan banyak menyebar di setiap tutupan lamun agar mendapatkan area analisis kondisi lamun yang lebih luas. Diperlukan kajian lebih lanjut tentang berbagai aspek yang mempengaruhi kehidupan lamun.


(50)

38

DAFTAR PUSTAKA

As-syakur, A. R., dan I. W. S. Adnyana. 2009. Analisis indeks vegetasi

menggunakan citra ALOS/AVNIR-2 dan sistem informasi geografi (SIG) untuk evaluasi tata ruang kota Denpasar. Jurnal Bumi Lestari. 9(1) : 1-11. Azkab, M.H. 1988. Transplantasi Lamun, Thalassia hemprichii di rataan terumbu

Pulau Pari, h.105-111. In M. Kasim Moosa, Djoko P. Praseno, dan Sukarno (penyunting). Teluk Jakarta : biologi, budidaya, oseanografi, geologi, dan kondisi perairan. Pusat Penelitian oseanografi. LIPI. Jakarta.

Azkab, M.H. 1999. Pedoman inventaris lamun. Oseana. 24(1) : 1-16. Azkab, M.H. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana. 31(3) : 45-55.

Conglaton, R. G dan K. Green. 2009. Assesing the accuracy of remotely sensed data : principles and practices. Lewis Publishers. New York.

Duarte, C.M. 1989. Temporal biomass variability and production/biomass relationships of seagrass communities. Marine ecology progress series. 51 : 269 - 276.

Fornes, A, G. Basterretxea, A. Orfila, A. Jordi, A. Alvarez, dan J. Tintore. 2006. Mapping Posidonia oceanica from IKONOS. ISPRS Journal of

Photogrammetry & Remote Sensing. 60 : 315-322.

Green, P. E, P. J. Mumby, A. J. Edwards, dan C. D. Edwards. 2000. Remote Sensing Handbook for Coastal Management. United Nations Educational, Scientifics, and Cultural organization. Paris. Perancis.

Hemminga, M.A., dan C.M. Duarte. 2000. Seagrass ecology. Cambrige University Press. Cambrige. Inggris.

Hogart, P. 2007. The biology of mangroves and seagrasses.Oxford University Press Inc. Oxford. Inggris.

JAXA. 2008. ALOS data users handbook : revision C. Earth Observation Research and Application Center. Tokyo. Jepang.

Kiswara, W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia. 25 : 31-49. Kiswara, W. 1995. Degradasi padang lamun di teluk Banten : pengaruhnya

terhadap sumber perikanan. Prosiding simposium perikanan Indonesia I, 25-27 Agustus 1993, Jakarta, Indonesia,. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta, Indonesia. Hal. : 329-334.


(51)

Kiswara, W. 1999. Perkembangan penelitian ekosistem padang lamun di

Indonesia. Prosiding seminar tentang oseanologi dan ilmu lingkungan laut dalam rangka penghargaan kepada Prof. Dr. Aprilani Soegiarto, M.Sc tahun 1999, Jakarta, Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta, Indonesia. Hal. : 181-197.

Komatsu, T, T. Sagawa, A. Mohri, H. Ben, M. Fukuda, M. Lanuru, M. I. S. Mohd, Y. Sakanishi, dan T. Belsher. 2008. Utilization of ALOS Data for Mapping Coastal Habitats: Examples of Seagrass Beds From Boreal to Tropical Waters. The 2008 Joint PI Symposium of the ALOS Data Nodes follows the First Symposium, 3 - 7 November 2008. Kyoto, Japan. Hal. : 31. Kuriandewa, T. E., dan I. H. Supriyadi. 2005. Seagrass mapping in Eas Bintan

coastal area, Riau archipelaho Indonesia. Coastal Marine Science. 30(1) : 154-161.

LAPAN, 2005. Sosialisasi dan survey lapangan pemanfaatan data inderaja dan system informasi geografis untuk pengembangan budidaya laut. Jakarta. Indonesia.

Lillesand T.M dan R.W Kiefer. 1990. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Diterjemahkan oleh Dulbahri, P. Suharsono, Hartono, dan Suharyadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia.

Lyzenga, D.R. 1981. Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. International Journal Remote Sensing. 2 (1) : 71-82.

Mc. Kenzie, L. J. 2003. Guidelines for the rapid assessment of seagrass habitats in The western Pacific. Department of Primary Industries Queensland,

Northern Fisheries Centre. SeagrassWacth. Cairns. Australia.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 200 : Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta. Indonesia.

Mount, R. E. 2006. Acquisition of through-water aerial survey images: suface effects and the prediction of sun glitter and subsurface illumination. Photogrammatric Engineering and Remote Sensing. 71(12) : 1407-1415. Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan sumberdaya

Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan ekosistem Lamun. Jakarta, 18 November 2009.


(52)

40

Rasib, A. W., dan M. Hashim. 1997. Mapping seagrass from remote sensing data. http://www.aars-acrs.org/acrs/proceeding/ACRS1997/Papers/PS397-7.htm. Sagawa, T, T. Komatsu, E. Boisnier, K.B Mustapha, A. Hattour, N. Kosaka, dan

S. Miyazaki. 2007. New application method for Lyzenga optical model. Ocean Research Institute, The University of Tokyo, 1-15-1 Minamidai, Nakano-ku, Tokyo. Jepang. Hal. : 13.

Seeni, M. I., N. H. Idris, dan S. Ahmad. 2008. Seagrass mapping from satelite

data. JSPS National Coordinators’meeting. Coastal Marine Science 19-20 Mei 2008. Malaka. Malaysia.

Short, F. T., R.G. Coles dan C.A. Short. 2001. Global seagrass research method. Elsevier Science. Amsterdam. Belanda.

Supriyadi, I. H. 2008. Pemetaan kondisi lamun dan bahaya ancamannya dengan menggunakan citra ALOS di pesisir selatan, Bitung-Manado, Sulawesi Utara. Oseanologi dan limnologi di Indonesia. 34(3) : 445-459.

Supriyadi, I.H., dan T.E. Kuriandewa. 2008. Seagrass distribution at small island : Case study of Derawan archipelago, East Kalimantan Province, Indonesia. Oseanologi dan limnologi di Indonesia. 34 : 83-99.

Supriyadi, I. H. 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi daerah perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitajaya. Oseanologi dan limnologi di Indonesia. 1: 1- 25.

Supriyadi, I.H. 2010. Pemetaan padang lamun di perairan Teluk Toli-toli dan Pulau sekitarnya, Sulawesi Barat. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36(2) : 147-164.

Yang, D, dan C. Yang. 2009. Detection of seagrass distribution from 1991 to 2006 in Xincun Bay, Hainan, wtih satellite remote sensing. Sensor. 9 : 830-844.


(53)

(54)

41

Lampiran 1. Nilai Root Mean Square(RMS) titik koreksi geometrik citra

Point Actual Predicted RMS

Cell-X Cell-Y Cell-X Cell-Y

1 449.794 271.277 450.007 271.217 0.2219 2 457.567 263.991 457.374 263.589 0.4464 3 474.259 260.861 474.188 260.512 0.3562 4 474.011 251.271 473.983 251.211 0.0667 5 508.663 193.283 508.515 193.451 0.2235 6 506.571 212.408 506.216 212.386 0.3558 7 523.942 193.654 523.953 193.598 0.0569 8 523.305 232.728 523.408 232.697 0.1074 9 506.272 245.899 506.252 245.887 0.0235 10 584.565 176.549 584.744 176.397 0.2346 11 584.267 201.65 584.295 201.933 0.2841 12 599.806 170.273 599.684 170.175 0.1559 13 599.507 192.088 599.532 191.981 0.1092 14 617.327 170.384 617.558 170.527 0.2719 15 495.514 233.326 495.234 233.399 0.2892 16 457.862 270.979 458.132 271.281 0.4057 17 459.655 261.117 459.558 261.142 0.1001 18 495.514 251.854 495.644 252.267 0.4328 19 561.854 212.109 562.012 212.326 0.2679 20 559.775 182.832 559.512 182.609 0.3448 21 616.839 185.215 616.914 185.167 0.0889 22 484.146 245.687 484.044 245.642 0.1119 23 373.647 220.696 373.708 221.003 0.3121 24 401.638 220.343 401.611 220.308 0.0440 25 401.682 203.144 401.734 202.757 0.3914 26 425.511 211.576 425.508 211.471 0.1052 27 424.991 202.248 425.030 202.443 0.1986 28 377.838 211.944 377.835 211.86 0.0844 29 367.267 203.335 367.332 203.347 0.0655 30 345.996 184.059 346.069 184.2 0.1587


(55)

Lampiran 2. Data lapang untuk penetuan peta klasifikasi unsupervised

Waypoint y_proj x_proj Keterangan Waypoint y_proj x_proj Keterangan

4 9351706 678233 pasir 44 9351669 676838 lamun

5 9351741 678243 lamun 45 9351660 676828 lamun

6 9351772 678214 lamun 46 9351647 676816 lamun

7 9351870 678155 pasir 47 9351625 676801 lamun

8 9351927 678136 karang 48 9351611 676783 pasir

9 9351932 677990 pasir 49 9351609 676777 pasir

10 9351963 677845 lamun 50 9351597 676748 pasir

11 9351965 677758 pasir 51 9351589 676716 pasir

12 9351973 677661 lamun 52 9351575 676690 pasir

13 9351971 677585 lamun 53 9351553 676668 pasir

14 9351944 677566 lamun 54 9351550 676613 pasir

15 9351918 677535 lamun 55 9351528 676542 pasir

16 9351902 677517 lamun 56 9351494 676511 pasir

17 9351886 677495 lamun 57 9351471 676508 karang

18 9351873 677478 pasir 58 9351470 676510 karang

19 9351860 677464 pasir 59 9351532 676490 pasir

20 9351837 677434 pasir 60 9351576 676470 karang

21 9351819 677408 lamun 61 9351566 676435 karang

22 9351815 677383 pasir 62 9351548 676397 pasir

23 9351810 677367 pasir 63 9351544 676378 pasir

24 9351787 677324 pasir 64 9351606 676244 pasir

25 9351765 677302 pasir 65 9351635 676241 karang

26 9351743 677287 lamun 66 9351650 676246 karang

27 9351729 677273 pasir 67 9351664 676251 karang

28 9351725 677259 pasir 68 9351689 676261 karang

29 9351733 677225 pasir 69 9351717 676272 karang

30 9351745 677190 pasir 70 9351753 676294 pasir

31 9351755 677139 pasir 71 9351821 676377 lamun

32 9351762 677117 pasir 72 9351846 676418 lamun

33 9351789 677079 pasir 73 9351844 676450 lamun

34 9351809 677054 lamun 74 9351849 676433 lamun

35 9351828 677034 lamun 75 9351648 676505 lamun

36 9351837 677020 pasir 76 9351607 676512 pasir

37 9351842 677002 pasir 77 9351555 676517 pasir

38 9351835 676964 pasir 78 9351473 676575 pasir

39 9351820 676933 pasir 79 9351419 676621 pasir

40 9351769 676900 pasir 80 9351401 677823 Laut dalam

41 9351735 676888 pasir 81 9351462 676623 karang

42 9351694 676862 pasir 82 9351428 676697 karang


(56)

43

Waypoint y_proj x_proj Keterangan

84 9351400 676801 lamun

85 9351360 677770 Laut dalam

86 9351367 677795 Laut dalam

87 9351351 676849 lamun

88 9351332 676867 karang

89 9351320 676880 pasir

90 9351278 676940 pasir

91 9351268 676961 pasir

92 9351259 676996 pasir

93 9351232 677073 pasir

94 9351209 677088 lamun

95 9351195 677094 lamun

96 9351169 677098 dangkal

97 9351119 677125 lamun

98 9351131 677104 lamun

99 9351116 677127 lamun

100 9351098 677155 lamun

101 9351102 677204 lamun

102 9351119 677255 lamun

103 9351119 677274 pasir

104 9351113 677298 pasir

105 9351096 677318 pasir

106 9351061 677341 lamun

107 9351040 677356 lamun

108 9351021 677363 lamun

109 9351000 677368 lamun

110 9350972 677378 lamun

111 9350937 677394 pasir

112 9350883 677464 karang

113 9350862 677517 lamun

114 9350874 677640 lamun

115 9350929 677716 lamun


(57)

Lampiran 3. Data Lapang untuk uji akurasi

Way-point y_proj x_proj Data insitu Citra

unsupervised Citra Lyzenga

116 9350969 677797 Lamun Lamun Lamun

117 9350990 677831 Lamun Lamun Lain

118 9351014 677854 Lamun Lain Lain

119 9351036 677864 Lamun Lamun Lain

120 9351055 677876 Lamun Lamun Lamun

121 9351136 677887 Lamun Lamun Lamun

122 9351164 677890 Lamun Lamun Lamun

123 9351212 677890 Lamun Lain Lain

124 9351268 677899 Lamun Lain Lamun

125 9351320 677932 Lamun Lamun Lain

126 9351344 677968 Lain Lain Lamun

127 9351341 678020 Lain Lamun Lain

128 9351336 678044 Lain Lain Lain

129 9351319 678111 Lain Lamun Lain

130 9351276 678187 Lamun Lain Lain

131 9351257 678203 Lamun Lain Lain

132 9351197 678214 Lamun Lamun Lain

133 9351162 678215 Lain Lain Lain

134 9351142 678212 Lain Lain Lain

135 9351441 677876 Lamun Lamun Lain

136 9351495 677901 Lain Lain Lain

137 9351511 677931 Lamun Lamun Lain

138 9351519 677958 Lain Lain Lamun

139 9351539 677988 Lamun Lamun Lamun

140 9351606 678031 Lain Lain Lain

141 9351693 678052 Lamun Lain Lain

142 9351747 678083 Lamun Lain Lamun

143 9351757 678093 Lain Lamun Lamun

144 9351817 678167 Lain Lain Lain

145 9351931 678371 Lain Lain Lain

146 9351985 678404 Lain Lain Lain

147 9352003 678428 Lain Lain Lain

148 9352019 678446 Lamun Lamun Lamun

149 9352084 678521 Lain Lain Lamun

150 9352091 678529 Lain Lain Lain

151 9352145 678581 Lamun Lamun Lain

152 9352284 678696 Lain Lain Lain

153 9352255 678681 Lamun Lamun Lain

154 9352325 678729 Lamun Lamun Lain

155 9352376 678773 Lamun Lain Lamun

156 9352390 678791 Lain Lain Lain

157 9352408 678821 Lain Lain Lain

158 9352422 678842 Lamun Lain Lain

159 9352434 678850 Lamun Lain Lain

160 9352450 678861 Lain Lain Lain

161 9352483 678884 Lain Lain Lain


(58)

45

Way-point y_proj x_proj Data insitu Citra

unsupervised Citra Lyzenga

163 9352519 678899 Lain Lamun Lain

164 9352556 678909 Lamun Lamun Lain

165 9352588 678922 Lamun Lamun Lamun

166 9352484 678742 Lamun Lain Lain

167 9352473 678709 Lain Lain Lain

168 9352446 678644 Lain Lain Lain

169 9352420 678599 Lain Lain Lain

170 9352389 678585 Lain Lain Lain

171 9352321 678541 Lain Lain Lain

172 9352303 678528 Lamun Lamun Lain

173 9352230 678412 Lamun Lamun Lamun

174 9352211 678662 Lain Lamun Lain

175 9352197 678388 Lain Lamun Lamun

176 9352177 678379 Lain Lain Lain

177 9352121 678355 Lain Lain Lain

178 9352037 678304 Lain Lain Lain

179 9352006 678270 Lain Lain Lain

180 9351968 678227 Lain Lain Lamun

181 9351929 678192 Lamun Lain Lain

182 9351604 678335 Lain Lain Lain

183 9351584 678337 Lain Lain Lain

184 9351555 678333 Lain Lain Lain

185 9351532 678345 Lamun Lain Lain

186 9351508 678344 Lain Lain Lain

187 9351480 678359 Lain Lain Lain

188 9351472 678368 Lain Lain Lain

189 9351509 678411 Lamun Lamun Lain

190 9351527 678423 Lain Lain Lamun

191 9351529 678449 Lain Lamun Lain

192 9351562 678440 Lain Lamun Lain

193 9351587 678423 Lain Lain Lain

194 9351603 678400 Lain Lain Lain

195 9351622 678370 Lain Lain Lain

198 9351618 678480 Lain Lain Lain

199 9351561 678554 Lain Lain Lamun

200 9351535 678584 Lamun Lain Lain

201 9351524 678607 Lain Lain Lain

202 9351494 678633 Lamun Lain Lain

203 9351457 678661 Lain Lain Lain

204 9351479 678684 Lain Lain Lain

205 9351543 678725 Lain Lain Lain

206 9351639 678670 Lain Lamun Lain

207 9351696 678615 Lamun Lain Lain

208 9351672 678430 Lain Lain Lain


(59)

Lampiran 4. Hasil observasi jumlah jenis beberapa lokasi di perairan Indonesia

No. Lokasi Jumlah spesies

1. Bintan Timur, Riau Archipelago 10

2. Nusa Dua, Denpasar-Bali 9

4. Rote Island, South east Maluku 9

5. Sebesi Island, Lampung 9

6. Tual, South east Maluku 9

7. Kema, North Sulawesi 9

8. Alor, Nusa Tenggara Timur 9

9. Lembeh Straith, Bitung 8

10. Sanger Island, North Sulawesi 8

11. Kotania, Western Part Seram 7

12. Pari Island, Seribu Archipelgo (2006) 7 13. Tobelo Archipelago, North Maluku 6 14. Derawan Archipelago, East

Kalimantan 6

15. Pari Island, Seribu Archipelgo (1992) 4 Sumber : Supriyadi (2010)


(60)

47

Lampiran 5. Standar persentase penutupan (a) dan jenis lamun (b) (sumber : Mc. Kenzie, 2003)

(a)

Cymodocea rotundata Cymodocea serruta Enhalus acoroides Halodule pinifolia

Halodule uninervis Halophila ovalis Thalassia hemprichii

Halophila minor


(61)

Lampiran 6. Foto-foto penelitian

Foto 1. Pengambilan sampel lamun Foto 2. Survei lapang dengan GPS

Foto 3. Sebaran lamun di selatan Pulau Pari Foto 4. Sebaran lamun di baratPulau Burung

Foto 5. Sampel biomassa lamun

Foto 6. Proses pencucian sampel lamun


(62)

49

Lampiran 7. Histogram hasil transformasi Lyzenga


(63)

Lampiran 8. Tabel Pasang Surut Kepulauan seribu (Stasiun Tanjung Priuk) November 2008


(64)

51

Lampiran 9. Data lapang komponen kondisi lamun dan jumlah skoring di perairan Pulau Pari

Stasiun y_proj x_proj % cover skor Biomass skor Jenis Jumlah Jenis skor jumlah Kondisi

1 9351741 678243 30 3 32,38 1 Ea 1 1 5 jelek

2 9351772 678214 75 5 83,74 3 Ea 1 1 9 sedang

3 9351971 677585 90 5 121,27 5 Ea - Th 2 3 13 baik

4 9351944 677566 70 5 88,81 3 Ea - Th 2 3 11 baik

5 9351902 677517 70 5 73,25 3 Ea - Th 2 3 11 baik

6 9351809 677054 60 5 12,90 1 Ea 1 1 7 sedang

7 9351687 677090 50 3 13,83 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

8 9351652 677061 65 5 10,55 1 Ea - Th 2 3 9 sedang

9 9351827 677051 50 3 40,90 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

10 9351684 676853 10 1 9.74 1 Ea 1 1 3 jelek

11 9351660 676828 50 3 17,77 1 Ea 1 1 5 jelek

12 9351461 676807 70 5 66,88 3 Ea - Cr 2 3 11 baik

13 9351400 676801 85 5 82.41 3 Ea - Cr 2 3 11 baik

14 9351351 676849 75 5 60,39 3 Ea - Cr 2 3 11 baik

15 9351320 677932 30 3 16,96 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

16 9351285 678184 30 3 10,02 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

17 9351258 678193 30 3 3,16 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

18 9351197 678214 80 5 21,35 1 Ea - Cr 2 3 9 sedang

19 9351441 677876 30 3 32,38 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

20 9351511 677931 25 1 8.72 1 Ea 1 1 3 jelek

21 9351539 677988 30 3 2,98 1 Ea 1 1 5 jelek

22 9351693 678052 30 3 26.48 1 Ea - Th 2 3 7 sedang


(65)

Stasiun y_proj x_proj % cover skor Biomass skor Jenis Jumlah Jenis skor jumlah Kondisi

24 9352145 678581 30 3 50.76 3 Ea - Th 2 3 9 sedang

25 9352255 678681 25 1 20,06 1 Ea - Th 2 3 5 jelek

26 9352325 678729 30 3 7,98 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

27 9352429 678823 30 3 19.44 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

28 9352588 678922 75 5 108,84 5 Ea - Th 2 3 13 baik

29 9352562 678908 75 5 100.01 3 Ea - Th 2 3 11 baik

30 9352303 678528 75 5 139,12 5 Ea - Th 2 3 13 baik

31 9352230 678412 50 3 71,64 3 Ea - Th 2 3 9 sedang

32 9351929 678192 25 1 7,44 1 Ea 1 1 3 jelek

33 9351533 678321 40 3 3,19 1 Cr 1 1 5 jelek

34 9351488 678448 25 1 7,93 1 Th-Cr 2 3 5 jelek

35 9351578 678501 25 1 2,43 1 Th-Cr 2 3 5 jelek

Keterangan

Ea = Enhalus acoroides

Th = Thalassia hemprichii


(66)

51

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 26 September 1988 dari Ayah Shabirin Abdoellah dan Ibu Rusminansih. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara. Tahun 2003 – 2006 Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Bogor. Tahun 2006 Penulis

diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan satu tahun kemudian diterima sebagai Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama kuliah, Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Metode

Statistika 2008 – 2009, dan asisten lapang mata kuliah Ekologi Laut Tropis 2010. Penulis juga aktif sebagai Biro Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) ITK IPB periode 2008 – 2009 dan Sekertari Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) ITK IPB periode 2009-2010. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun

skripsi dengan judul ”Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Citra Satelit ALOS di Perairan Pulau Pari”, dibawah bimbingan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si.


(67)

SILFIANI. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Citra Satelit ALOS di Perairan Pulau Pari. Dibimbing oleh Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si.

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang baik di lingkungan pesisir. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan penting. Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Di sisi lain, lamun juga peka dan terancam dari berbagai aktivitas manusia. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan sebaran lamun, salah satunya dengan teknologi penginderaan jauh. Tujuan penelitian ini adalah memetakan sebaran lamun di perairan Pulau Pari dengan menggunakan citra satelit ALOS dan melakukan pengamatan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, jumlah jenis, dan biomassa lamun pada setiap titik stasiun.

Pemetaan lamun dari citra satelit dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu klasifikasi unsupervised dan klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga. Jumlah titik sampel untuk penentuan kelas klasifikasi sebanyak 116 titik dan 92 titik untuk uji akurasi. Perhitungan uji akurasi dilakukan dengan matriks kontingensi. Studi lapang dilakukan pada 35 titik stasiun untuk mengamati persentase penutupan, biomassa, dan jumlah jenis lamun. Untuk memperoleh kondisi lamun pada tiap stasiun dilakukan teknik skoring untuk tiga parameter diatas dan selanjutnya diklasifikasikan menjadi tiga peringkat yaitu kondisi lamun

“baik”, “sedang”, dan “jelek”.

Luas ekosistem lamun pada peta hasil klasifikasi unsupervised adalah 1,67 km2 sedangkan pada peta klasifikasi algoritma Lyzenga adalah 1,95 km2. Peta hasil klasifikasi unsupervised menghasilkan nilai overall accuracy sebesar 72,82%, nilai ini lebih besar dibanding nilai overall accuracy yang dihasilkan oleh peta hasil klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga yaitu sebesar 65,21%. Hasil identifikasi lamun di titik stasiun menunjukkan persentase penutupan banyak ditemukan > 30%. Biomassa lamun yang ditemukan di 35 titik stasiun berkisar antara 2,43 gbk/m2-139,13 gbk/m2. Pada penelitian ini ditemukan 3 spesies lamun yang tersebar di perairan Pulau Pari yaitu Enhalus acoroides,

Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Kondisi lamun di perairan Pulau Pari pada umumnya tergolong “sedang”. Dilihat dari kondisi lamun yang berada di perairan Pulau Pari diperlukan perhatian yang lebih untuk menjaga kelestarian ekosistem lamun.


(68)

PEMETAAN LAMUN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA

SATELIT ALOS DI PERAIRAN PULAU PARI

SILFIANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(69)

1

1.1. Latar belakang

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan pesisir (Kiswara, 1999). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan penting. Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus sepanjang pantai (Kiswara, 1995). Di sisi lain, lamun juga peka dan terancam dari berbagai aktivitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai (Supriyadi, 2008).

Peranan padang lamun begitu besar namun informasi mengenai ekosistem padang lamun di perairan Indonesia masih sedikit sehingga lamun kurang

diperhatikan keberadaannya. Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 – 40 % akibat aktifitas manusia (Nontji, 2009). Di pesisir Teluk Banten kerusakan dan hilangnya padang lamun mencapai 50 ha atau sekitar 35% dari luasan lamun yang ada akibat perataan bukit dan pembuatan pelabuhan (Kiswara, 1995). Pengamatan yang dilakukan oleh Kiswara (1999) di Pulau Pari menunjukkan bahwa kerusakan pada lamun disebabkan oleh perputaran air akibat pergerakan perahu nelayan. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan luasan padang lamun pada daerah tersebut sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui


(1)

Lampiran 5. Standar persentase penutupan (a) dan jenis lamun (b)

(sumber : Mc. Kenzie, 2003

)

(a)

Cymodocea rotundata

Cymodocea serruta

Enhalus acoroides

Halodule pinifolia

Halodule uninervis

Halophila ovalis

Thalassia hemprichii

Halophila minor

(b)


(2)

Lampiran 6. Foto-foto penelitian

Foto 1. Pengambilan sampel lamun

Foto 2. Survei lapang dengan GPS

Foto 3. Sebaran lamun di selatan Pulau Pari

Foto 4. Sebaran lamun di baratPulau

Burung

Foto 5. Sampel biomassa lamun

Foto 6. Proses pencucian sampel lamun


(3)

Lampiran 7. Histogram hasil transformasi Lyzenga


(4)

Lampiran 8. Tabel Pasang Surut Kepulauan seribu (Stasiun Tanjung Priuk)

November 2008


(5)

Lampiran 9. Data lapang komponen kondisi lamun dan jumlah

skoring

di perairan Pulau Pari

Stasiun y_proj x_proj % cover skor Biomass skor Jenis Jumlah Jenis skor jumlah Kondisi

1 9351741 678243 30 3 32,38 1 Ea 1 1 5 jelek

2 9351772 678214 75 5 83,74 3 Ea 1 1 9 sedang

3 9351971 677585 90 5 121,27 5 Ea - Th 2 3 13 baik

4 9351944 677566 70 5 88,81 3 Ea - Th 2 3 11 baik

5 9351902 677517 70 5 73,25 3 Ea - Th 2 3 11 baik

6 9351809 677054 60 5 12,90 1 Ea 1 1 7 sedang

7 9351687 677090 50 3 13,83 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

8 9351652 677061 65 5 10,55 1 Ea - Th 2 3 9 sedang

9 9351827 677051 50 3 40,90 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

10 9351684 676853 10 1 9.74 1 Ea 1 1 3 jelek

11 9351660 676828 50 3 17,77 1 Ea 1 1 5 jelek

12 9351461 676807 70 5 66,88 3 Ea - Cr 2 3 11 baik

13 9351400 676801 85 5 82.41 3 Ea - Cr 2 3 11 baik

14 9351351 676849 75 5 60,39 3 Ea - Cr 2 3 11 baik

15 9351320 677932 30 3 16,96 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

16 9351285 678184 30 3 10,02 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

17 9351258 678193 30 3 3,16 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

18 9351197 678214 80 5 21,35 1 Ea - Cr 2 3 9 sedang

19 9351441 677876 30 3 32,38 1 Ea - Th - Cr 3 5 9 sedang

20 9351511 677931 25 1 8.72 1 Ea 1 1 3 jelek

21 9351539 677988 30 3 2,98 1 Ea 1 1 5 jelek

22 9351693 678052 30 3 26.48 1 Ea - Th 2 3 7 sedang


(6)

Stasiun y_proj x_proj % cover skor Biomass skor Jenis Jumlah Jenis skor jumlah Kondisi

24 9352145 678581 30 3 50.76 3 Ea - Th 2 3 9 sedang

25 9352255 678681 25 1 20,06 1 Ea - Th 2 3 5 jelek

26 9352325 678729 30 3 7,98 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

27 9352429 678823 30 3 19.44 1 Ea - Th 2 3 7 sedang

28 9352588 678922 75 5 108,84 5 Ea - Th 2 3 13 baik

29 9352562 678908 75 5 100.01 3 Ea - Th 2 3 11 baik

30 9352303 678528 75 5 139,12 5 Ea - Th 2 3 13 baik

31 9352230 678412 50 3 71,64 3 Ea - Th 2 3 9 sedang

32 9351929 678192 25 1 7,44 1 Ea 1 1 3 jelek

33 9351533 678321 40 3 3,19 1 Cr 1 1 5 jelek

34 9351488 678448 25 1 7,93 1 Th-Cr 2 3 5 jelek

35 9351578 678501 25 1 2,43 1 Th-Cr 2 3 5 jelek

Keterangan

Ea =

Enhalus acoroides

Th =

Thalassia hemprichii