Hubungan Antara Konsumsi Pangan Dan Frekuensi Ispa Dengan Status Gizi Pada Balita Peserta Program Edukasi Dan Rehabilitasi Gizi (Pergizi).

HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI PANGAN DAN
FREKUENSI ISPA DENGAN STATUS GIZI PADA BALITA
PESERTA PROGRAM EDUKASI DAN REHABILITASI GIZI
(PERGIZI)

NUR KHOIRIYAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara
Konsumsi Pangan dan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi pada Balita Peserta
Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Nur Khoiriyah
NIM I1411006

4

ABSTRAK
NUR KHOIRIYAH. Hubungan antara Konsumsi Pangan dan Frekuensi ISPA
dengan Status Gizi pada Balita Peserta Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi
(PERGIZI). Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan YEKTI WIDODO.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsumsi
pangan dan frekuensi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan status gizi
sampel. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil kegiatan PERGIZI di
Kabupaten Kutai Timur dengan desain kuasi ekperimen. Sampel kegiatan

PERGIZI yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 58 balita. Data umur,
konsumsi pangan dan frekuensi ISPA dikumpulkan dengan cara pencatatan
langsung, sedangkan berat badan diukur secara langsung dengan menggunakan
timbangan digital. Status gizi ditentukan berdasarkan indikator BB/U. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan status gizi dan konsumsi
pemberian makanan tambahan (PMT) yang signifikan sesudah adanya kegiatan
PERGIZI. Frekuensi ISPA memilliki hubungan yang signifikan (p1/4 porsi sampai dengan
1/2 porsi (skor 2), >1/2 porsi sampai dengan 3/4 porsi (skor 3), dan >3/4 porsi
(skor 4). Selanjutkan untuk keperluan analisis dihitung skor peningkatan porsi dan
skor penjumlahan dari setiap kategori. Skor peningkatan porsi makan digunakan
untuk mencari nilai peningkatan porsi makan PMT yang didapatkan dari hasil
selisih skor antara porsi makan PMT sesudah dan sebelum program kegiatan.
Nilai skor peningkatan porsi PMT berkisar antara 0 (skor minimum) sampai 4
(skor maksimum). Total skor penjumlahan porsi makan digunakan untuk mencari
nilai konsumsi PMT selama kegiatan PERGIZI yang didapatkan dari hasil
penjumlahan skor konsumsi pangan balita selama 7 kali pengukuran porsi makan
PMT. Total skor penjumlahan porsi makan PMT berkisar antara 7 (skor
minimum) sampai 28 (skor maksimum).
Frekuensi ISPA didapatkan dari menghitung kejadian sakit ISPA pada balita
di 7 titik pemeriksaan kesehatan dan pengobatan selama 24 minggu intervensi.

Frekuensi ISPA dianalisis berdasarkan banyaknya kejadian ISPA yang dialami
balita dengan mengkategorikan balita ISPA (skor 1) dan tidak ISPA (skor 0),
sehingga total skor minimum adalah 0 dan maksimum adalah 7.
Kriteria kesehatan rumah dianalisis berdasarkan pada kriteria rumah sehat
dalam riset kesehatan dasar tahun 2011 yang mengacu pada Kepmenkes RI No.
829/Menkes/SK/VII/1999. Kriteria rumah seahat yang dijelaskan apabila
memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan),
jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami
cukup, dan tidak padat huni (≥ 8m2/orang) (Kemenkes RI 2010). Kriteria rumah
sehat dianalisis berdasarkan hasil skor terhadap setiap kriteria dengan kategori
memenuhi (skor 1) dan tidak memenuhi (skor 0), sehingga total skor minimum
adalah 0 dan maksimum adalah 7.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensia dengan
menggunakan aplikasi microsoft excel dan SPSS 16.0 for window. Analisis
deskriptif dilakukan dengan cara menghitung frekuensi dan crosstab antara

9
variabel. Jenis uji yang digunakan adalah uji beda dengan menggunakan uji
Wilcoxon dan uji hubungan dengan menggunakan Rank Spearman. Uji beda
Wilcoxon dilakukan untuk menganalisis perbedaan konsumsi pangan (porsi makan

PMT), status kesehatan, dan status gizi antara sebelum dan sesudah program
kegiatan. Sedangkan uji hubungan dilakukan antara setiap variabel yaitu menguji
hubungan antara karakteristik balita dengan konsumsi PMT selama program
kegiatan, menguji hubungan antara kondisi sosial ekonomi keluarga dengan
konsumsi PMT selama program kegiatan dan kondisi kesehatan rumah, menguji
hubungan frekuensi ISPA dengan konsumsi PMT selama program kegiatan dan
kondisi kesehatan rumah, serta menguji hubungan antara peningkatan porsi
konsumsi PMT dan frekuensi ISPA dengan status gizi.
Definisi Operasional
Berat lahir adalah berat badan bayi pada saat lahir. Berat badan lahir rendah
(BBLR) adalah kondisi bayi dengan berat badan lahir 10% dari luas lantai),
pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (≥ 8m2/orang).
Kondisi ekonomi adalah kondisi ekonomi keluarga yang dinilai berdasarkan
kepemilikan barang berharga atau simpanan berupa deposito. Barang
berharga yang dimaksudkan yaitu televisi, DVD player, kulkas, sepeda
motor, mobil, rekening tabungan, perhiasan, handphone, dan kepemilikan
rumah tinggal..
Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) adalah program yang
memiliki kegiatan utama untuk memperbaiki cara merawat anak dan
kebiasaan memberi makan anak dengan tujuan agar tercapainya peningkatan

status gizi pada balita. Program ini terdiri atas pemberian makanan
tambahan bersama (PMT), pemberian micronutrient, penyuluhan gizi dan
kesehatan, pemeriksaan kesehatan serta pengobatan, penimbangan berat
badan dan pengukuran tinggi badan.
Pemberian micronutrient adalah pemberian sirop zink yang secara langsung
diberikan oleh kader kepada sampel sebagai bentuk intervensi untuk dapat
meningkatkan nafsu makan.
PMT adalah pemberian makanan tambahan untuk balita yang dimakan secara
bersama-sama di tempat pelaksanaan kegiatan PERGIZI. Makanan yang
diberikan berupa makanan padat energi dan protein yang terdiri atas
makanan pokok (nasi), sayur, dan sumber protein hewani atau nabati yang
dimasak oleh ibu balita bersama kader.
Sampel adalah anak balita laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 6-59
bulan yang mengikuti kegiatan Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi
(PERGIZI) dengan status gizi buruk dan gizi kurang serta hadir pada
minggu terakhir evaluasi.
Usia MPASI pertama adalah usia pertama bayi menerima makanan selain ASI
baik itu termasuk makanan prelaktal atau makanan padat lainnya.

10


HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sampel Balita
Sampel yang dianalisis terdiri atas 58 balita dengan rincian 6 balita gizi
buruk dan 52 balita gizi kurang. Karakteristik sampel balita diindentifikasikan
berdasarkan status gizi awal yaitu status gizi minggu ke-0 pada Program Edukasi
dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Karakteristik balita terdiri atas usia balita, jenis
kelamin, berat badan lahir dan usia awal pemberian makanan pendamping ASI
(MPASI). Sebaran sampel balita berdasarkan karakteristik dan status gizi dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran sampel balita berdasarkan karakteristik dan status gizi awal
Karakteristik
Usia (rata-rata±SD, bulan)
6-11
12-23
24-35
36-47
48-59
Total
Jenis kelamin

Laki-laki
Perempuan
Total
Berat lahir (rata-rata±SD, gram)
< 2500
≥ 2500
Total
Usia MPASI (bulan)
0-1
2-5
6
Total

Gizi buruk
%
(25.2±11.2)
0
0.0
3
50.0

2
33.3
1
16.7
0
0.0
6
100.0

Gizi kurang
n
%
(31.6±12.9)
2
3.8
14
26.9
17
32.7
9

17.3
10
19.2
52
100.0

Total
n
%
(30.9±12.8)
2
3.5
17
29.3
19
32.8
10
17.2
10
17.2

58
100.0

3
50.0
3
50.0
6
100.0
(2583.3±421.5)
2
33.3
4
66.7
6
100.0

34
65.4
18

34.6
52
100.0
(2836.5±415.4)
8
15.4
44
84.6
52
100.0

37
63.8
21
36.2
58
100.0
(2810.3±419.6)
10
17.2
48
82.8
58
100.0

n

5
0
1
6

83.3
0.0
16.7
100.0

25
17
10
52

48.1
32.7
19.2
100.0

30
17
11
58

51.7
29.3
19.0
100.0

Sampel balita gizi buruk memiliki rata-rata usia yang lebih rendah
dibandingkan balita gizi kurang. Jenis kelamin pada balita gizi buruk memiliki
persentase yang sama antara laki-laki dan perempuan, sedangkan pada balita gizi
kurang jumlah balita laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Rata-rata
berat badan lahir pada balita gizi buruk lebih rendah dibandingkan pada balita gizi
kurang. Sebagian besar (83.3%) balita gizi buruk menerima MPASI pada usia
yang lebih dini yaitu kurang dari 1 bulan, sedangkan lebih dari separuh balita gizi
kurang menerima MPASI pada usia lebih dari 1 bulan.
Devi (2010) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar
balita yang memiliki nilai z-score BB/U < -2 SD berada pada rentang usia 7 - 37
bulan. Selain itu, Sab‟atmaja et al. (2010) dalam hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa sebagian besar balita di wilayah dengan prevalensi status gizi kurang yang
tinggi memiliki jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan Tabel 2 juga menunjukkan

11
bahwa sebagian besar sampel balita gizi buruk dan gizi kurang memiliki riwayat
berat lahir yang normal dan berat lahir pada balita gizi buruk lebih rendah
dibandingkan pada balita gizi kurang. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Anugraheni (2012) yang menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang
mengalami masalah kurang gizi berdasarkan TB/U (86.2%) memiliki riwayat
berat lahir yang normal. Hal ini diduga karena selama proses pertumbuhan terjadi
gagal tumbuh (faillure to thrive atau growth faltering ) pada usia balita.
Brown (2011) menyebutkan bahwa faillure to thrive atau growth faltering
atau gagal tumbuh adalah suatu kondisi ketika terjadi penurunan atau
keterlambatan pertumbuhan secara fisik. Faillure to thrive merupakan suatu
keadaan yang dapat disebabkan karena kondisi asupan energi yang tidak adekuat,
keterbatasan akses pangan, rendahnya pengetahuan terkait pangan dan gizi,
kondisi sakit pada balita, adanya pembagian makan dengan saudara kandung atau
kondisi penghambat lainnya yang menyebabkan akses balita terhadap pangan
menjadi rendah. Selain itu, Pantandianan et al. (2015) menunjukkan terdapat
hubungaan positif antara berat badan lahir dengan status gizi balita yang berarti
bahwa semakin tinggi nilai berat badan lahir maka akan semakin tinggi nilai status
gizi berdasarkan z-score BB/U, sehingga dapat diduga bahwa balita gizi kurang
memiliki riwayat berat badan lahir yang lebih tinggi dibandingkan pada balita gizi
buruk.
Lebih dari separuh balita mendapat MPASI pada usia