Situasi konsumsi pangan dan status gizi anak balita peserta program orangtua asuh gizi di Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Oleh
SRI WAHYUNI
A54105305
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(2)
SITUASI KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA
PESERTA PROGRAM ORANGTUA ASUH GIZI
DI KABUPATEN BIREUEN
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SRI WAHYUNI
A54105305
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(3)
Nama : Sri Wahyuni NRP : A54105305
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Yayat Heryatno, SP, MPS NIP. 131 628 531
NIP. 132 146 236
Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
(4)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Samalanga, Aceh, pada tanggal 4 Mei 1978. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak H. Sulaiman dan Hj. Nuraini.
Pendidikan SD di tempuh dari tahun 1986 sampai tahun 1991 di SDN Mesjid Baro Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen. Tahun 1991 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri I Samalanga hingga tahun 1994 dan pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri I Samalanga Kabupaten Bireuen. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Gizi Depkes RI Banda Aceh dan tamat pada tahun 2001. Pada tahun 2002 penulis di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan bertugas di Puskesmas Simpang Mamplam Kecamatan Simpang Mamplam.
Pada tahun 2005 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor (IPB Bogor).
(5)
karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Situasi Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita Peserta Program Orangtua Asuh Gizi di Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, Ms selaku pembimbing I dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Katrin Roosita, SP, Msi sebagai pemandu seminar dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS sebagai dosen penguji skripsi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen dan staf Departemen GMSK IPB, Kepala Dinas, Kasubdin KIA, Kasi Gizi, beserta seluruh staf Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen serta seluruh kepala puskesmas, tanaga pelaksana gizi puskesmas dan para bidan desa di Kabupaten Bireuen yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami yang telah banyak membantu dalam setiap tahap penyusunan skripsi ini serta kepada bapak, mama, abang, adek, kakak ipar, nenek dan keluarga besar suami juga seluruh teman-teman mahasisiwa Alih Jenjang (Basir, Dian Ghozali, Sutomo, Mutmainnah, Zuryati A), Enta, Eni, Kuswan dan mahasiswa angkatan 40, 41, dan semua pihak yang telah memberikan masukan, motivasi dan dorongan demi kelancaran penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya kecil ini masih jauh dari sempurna, namun penulis sangat menghargai kritik dan saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penelitian ini baik langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan orang-orang tersebut dengan berlipat ganda.
Bogor, 3 Desember 2007
(6)
RINGKASAN
SRI WAHYUNI. Situasi Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita Peserta Program Orangtua Asuh Gizi di Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Dibimbing oleh HADI RIYADI dan YAYAT HERYATNO)
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui situasi konsumsi pangan dan status gizi balita peserta Program Orangtua Asuh Gizi (OTAG) di Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun tujuan khususnya (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan, pendapatan keluarga), karakteristik demografi (umur, jenis kelamin) dan riwayat kesehatan (riwayat kehamilan, kelahiran, penyakit infeksi) anak balita; (2) menganalisis situasi konsumsi pangan anak balita; (3) menganalisis status gizi anak balita sebelum dan sesudah intervensi; (4) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein anak balita; dan (5) menganalisis hubungan tingkat konsumsi energi dan protein dengan status gizi anak balita
Disain penelitian adalah Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama dua bulan yaitu bulan September sampai Oktober 2007. Objek penelitian ini adalah seluruh balita peserta program OTAG tahun 2007 yang berjumlah 46 orang.
Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari data karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan, pendapatan keluarga); karakteristik demografi (umur, jenis kelamin); riwayat kesehatan (riwayat kehamilan, kelahiran, penyakit infeksi); data antropometri (berat badan dan tinggi badan) dan konsumsi pangan anak balita dengan metode recall 1 x 24 jam terakhir. Data sekunder meliputi keadaan umum geografis, karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat, serta sarana kesehatan dan fasilitas umum di lokasi penelitian. Data tersebut dikumpulkan dari Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Statistical Program Social Sciences (SPSS) versi 13.0 for Windows. Hasil pengolahan data, selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan variabel-variabel antara karakteristik keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein serta status gizi balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih separuh (56.5%) balita berasal dari keluarga kecil. Hampir separuh (45.7%) pendidikan terakhir ayah balita adalah SMP (45.7%), sementara itu pendidikan ibu adalah SD dan SMP yang masing-masing sekitar 45.7 persen. Persentase terbesar (39.1%) pekerjaan orangtua balita adalah sebagai petani. Keluarga balita yang rata-rata pendapatan per bulannya ≤ Rp 230.000 sebanyak 67,4 persen. Persentase terbesar (30.4%) umur balita adalah berkisar antara 37-48 bulan dengan jenis kelamin terbanyak (52.2%) adalah laki-laki.
Berdasarkan data riwayat kehamilan, terdapat sebagian kecil (17.4%) ibu balita yang beresiko terhadap kehamilan. Terdapat 19.6 persen ibu balita yang melahirkan >4 kali, sementara itu terdapat 36.9 persen ibu balita yang memiliki jarak kehamilan yang beresiko. Berdasarkan riwayat kelahiran, terdapat 6.5% balita mengalami umur persalinan kurang bulan. Terdapat sebagian kecil (10.9%) kelahiran balita yang ditolong oleh dukun beranak. Sebagian besar (80.4%) balitagilahirkan di rumah sendiri. Berdasarkan data riwayat penyakit, terdapat lebih dari separuh (58.7%) balita pernah mengalami sakit dalam satu bulan terakhir. Hampir separuh (40.7%) balita tersebut mengalami demam.
Sebesar 30.4 persen anak balita berada pada tingkat konsumsi energi kurang (<70% AKG), sedangkan tingkat konsumsi protein yang berada pada kategori kurang (<75% AKG) mencapai lebih dari separuh anak balita (69.9%). Status gizi anak balita sebelum dan setelah menjadi peserta program Orangtua Asuh Gizi (OTAG) terlihat perubahan yang sangat nyata. Sebelum menjadi peserta program OTAG, hampir seluruh (89.1%) anak balita berstatus gizi buruk. Setelah menjadi peserta program OTAG, anak balita yang mengalami gizi buruk hanya 2.2 persen.
Hubungan positif yang signifikan, terdapat antara tingkat pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi (r=0.363, p<0.05); pendapatan keluarga dengan tingkat
(7)
signifikan (p>0.05) antara tingkat pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Tingkat konsumsi protein berhubungan positif secara signifikan (r = 0.630, p<0.01) dengan status gizi. Sementara itu tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara konsumsi energi dengan status gizi.
Berdasarkan hasil penelitian di atas hendaknya Penyuluhan pada program OTAG hendaknya lebih ditekankan pada hal-hal seperti frekuensi makan, kebutuhan gizi, sampai pengolahan makanan. Penyuluh hendaknya tidak hanya dari tenaga kesehatan, tetapi juga dari OTAG. Paket gizi yang diberikan hendaknya ditingkatkan dari segi kuantitas dan kualitas. Perlu diperhatikan faktor lain yang dapat menjadi penyebab gizi kurang pada anak balita seperti penyakit infeksi.
(8)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Samalanga, Aceh, pada tanggal 4 Mei 1978. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak H. Sulaiman dan Hj. Nuraini.
Pendidikan SD di tempuh dari tahun 1986 sampai tahun 1991 di SDN Mesjid Baro Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen. Tahun 1991 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri I Samalanga hingga tahun 1994 dan pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri I Samalanga Kabupaten Bireuen. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Gizi Depkes RI Banda Aceh dan tamat pada tahun 2001. Pada tahun 2002 penulis di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan bertugas di Puskesmas Simpang Mamplam Kecamatan Simpang Mamplam.
Pada tahun 2005 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor (IPB Bogor).
(9)
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI. ... ii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA
...
3Program Orangtua Asuh Gizi ... 3
Strategi Intervensi... 3
Mekanisme Penyaluran Bantuan Biaya Pembelian Makanan. ... 4
Pemantauan dan Evaluasi... 6
Konsumsi Pangan Anak Balita. ... 6
Kebiasaan Makan. ... 7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi ... 8
Besar Keluarga ... 8
Pendidikan Keluarga... 8
Pekerjaan Keluarga. ... 8
Pendapatan Keluarga ... 9
Status Gizi Anak Balita ... 9
KERANGKA PEMIKIRAN ... 12
METODE PENELITIAN
...
14Desain Penelitian, Tempat dan Waktu ... 14
Penarikan Contoh ... 14
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 14
Pengolahan dan Analisis Data ... 15
Definisi Operasional. ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN
...
19Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 19
Gambaran Umum Pelaksanaan Program Orantua Asuh Gizi ... 19
Perencanaan ... 20
Penyaluran Dana Program Orangtua Asuh Gizi... 20
(10)
Biaya Pengadaan Makanan Bagi Program OTAG ... 21
Karakteristik Keluarga ... 21
Besar Keluarga ... 21
Pendidikan Orangtua ... 21
Pekerjaan Orangtua... 22
Pendapatan Keluarga ... 23
Karakteristik Demografi ... 23
Umur ... 24
Jenis Kelamin ... 24
Riwayat Kesehatan... 24
Riwayat Kehamilan ... 24
Umur Ibu Saat Hamil ... 24
Jumlah Kehamilan ... 24
Jarak Kehamilan ... 25
Riwayat Kelahiran... 25
Umur Persalinan ... 25
Pertolongan Saat Melahirkan ... 25
Tempat Persalinan... 26
Penyakit Infeksi... 26
Keikutsertaan Dalam Program Orangtua asuh Gizi ... 27
Situasi Konsumsi Pangan... 28
Kebiasaan Makan Anak Balita... 28
Tingkat Konsumsi Pangan... 29
Status Gizi Anak Balita ... 30
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Balita... 31
Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Status Gizi Anak Balita Setelah Menjadi Peserta Program Orangtua Asuh Gizi ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN... 36
Kesimpulan... 36
Saran ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
(11)
1. Jenis Data Yang dikumpulkan dan Cara Pengumpulannya ... 14
2. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Besar Keluarga... 21
3. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Tingkat Pendidikan Orangtua... 22
4. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ayah... 22
5. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Pendapatan Keluarga per bulan... 23
6. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 24
7. Sebaran Ibu Berdasarkan Riwayat Kehamilan Anak Balita... 25
8. Sebaran Ibu Berdasarkan Riwayat Kelahiran Anak Balita ... 26
9. Sebarab Anak Balita Berdasarkan Riwayat Sakit dalam Satu Bulan Terakhir... 26
10. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Jenis Penyakit Yang Dialami Dalam Satu Bulan Terakhir ... 27
11. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Keikutsertaan Dalam Program OTAG... 27
12. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Kebiasaan Makan... 29
13. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi Dan Protein... 30
14. Sebaran Anak Balita Berdasarkan Status Gizi Sebelum dan Setelah Menjadi Peserta Program OTAG ... 31
15. Rata-rata Konsumsi energi dan Protein Berdasarkan Umur Anak Balita... 32
16. Rata-rata Konsumsi energi dan Protein Anak Balita Berdasarkan Besar Keluarga... 32
17. Rata-rata Konsumsi energi dan Protein Anak Balita Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ayah... 33
18. Rata-rata Konsumsi energi dan Protein Anak Balita Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu ... 33
19. Rata-rata Konsumsi energi dan Protein Anak Balita Berdasarkan Pendapatan Keluarga... 34
20. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein Menurut Status Gizi Anak Balita ... 35
(12)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Bagan Kerangka Pemikiran ... 13
(13)
1. Hasil Uji Korelasi Spearman Antara Karakteristik Keluarga dengan
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Balita ... 41 2. Kartu Pencatatan Makanan yang dibeli Untuk AAGi
selama 30 hari ... 42 3. Laporan Bulanan Bidan desa Ke puskesmas ... 43 4. Laporan Bulanan Puskesmas Ke Dinas Kesehatan
Kabupaten Bireuen... 44 5. Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2)
Satu Bulan Terakhir... 45 6. Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2)... 46 7. Peta Wilayah Kabupaten Bireuen
(14)
PENDAHULUAN
Latar BelakangUsaha peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM) harus dimulai sejak dini agar diperoleh hasil yang maksimal yaitu sejak bayi dalam kandungan (janin) hingga usia tiga tahun (Karyadi 1990 diacu dalam Wahyudin 2003), maka dari itu orang tua harus memperhatikan hal-hal yang menunjang dalam peningkatan SDM, terutama dalam pemenuhan kecukupan gizi. Anak dengan kurang gizi ini akan berdampak pada pertumbuhan fisik, mental, dan intelektualnya. Adanya gangguan dalam pertumbuhan selain menyebabkan tingginya angka kematian anak, juga mengakibatkan berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap penyakit serta berkurangnya produktivitas kerja (Khomsan 2003).
Berdasarkan hasil pelaksanaan Pemantauan Status Gizi (PSG) bayi dan balita di seluruh kecamatan wilayah Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2006, tercatat sebanyak 293 anak balita menderita gizi buruk, dan 1269 berstatus gizi kurang. Berdasarkan Laporan Bulanan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2006), beberapa upaya Dinas Kesehatan dalam meningkatkan keadaan gizi anak balita adalah melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), penyuluhan gizi, dan program Orangtua Asuh Gizi (OTAG).
Program OTAG merupakan salah satu program pengentasan gizi buruk bayi dan balita yang baru dicanangkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen guna menindaklanjuti secara cepat dan tepat dalam kasus gizi buruk yang ada saat ini terutama pasca bencana tsunami, kegiatannya antara lain dengan pemberian makanan tambahan sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG), dan mengikutsertakan masyarakat dalam penanggulangan status gizi buruk khususnya yang berstatus ekonomi menengah ke atas untuk bersedia menjadi orangtua asuh bagi bayi dan balita yang berstatus gizi buruk dari keluarga miskin. Makanan yang diberikan dapat berupa makanan pokok dan makanan ringan selama 90 hari dan mendapat pengawasan penuh dari tenaga kesehatan baik dari puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen serta tim koordinasi baik di tingkat kabupaten, kecamatan maupun desa.
Mengingat keunikan program OTAG yang melibatkan masyarakat menengah ke atas dalam mengatasi balita gizi buruk pada masyarakat miskin, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui situasi konsumsi pangan dan status gizi anak balita peserta program OTAG.
(15)
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi konsumsi pangan dan status gizi anak balita peserta Program Orangtua Asuh Gizi (OTAG) di Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan, pendapatan keluarga), karakteristik demografi (umur, jenis kelamin anak balita) dan riwayat kesehatan (riwayat kehamilan, kelahiran, penyakit infeksi) anak balita.
2. Menganalisis situasi konsumsi pangan anak balita.
3. Menganalisis status gizi anak balita sebelum dan sesudah intervensi. 4. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan tingkat konsumsi
energi dan protein anak balita.
5. Menganalisis hubungan tingkat konsumsi energi dan protein dengan status gizi anak balita.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sehingga menjadi bahan pertimbangan untuk membuat perencanaan dan kebijakan program pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah KEP anak balita selanjutnya. Masyarakat diharapkan dapat mengetahui faktor apa saja yang sering melatarbelakangi terjadinya kurang gizi pada anak balita sehingga tidak ada anggota keluarganya yang mengalami kejadian tersebut.
(16)
3
TINJAUAN PUSTAKA
Program Orangtua Asuh GiziProgram Orangtua Asuh Gizi (OTAG) merupakan salah satu program pengentasan gizi buruk bayi dan balita yang baru dicanangkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen guna menindaklanjuti secara cepat dan tepat dalam kasus gizi buruk yang ada saat ini terutama pasca bencana tsunami, kegiatannya antara lain :
1. Mengidentifikasi seluruh bayi dan balita gizi buruk yang berasal dari keluarga miskin di Kabupaten Bireuen.
2. Penanggulangan kasus gizi buruk tersebut dengan pemberian makanan tambahan dengan kebutuhan kalori sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG).
3. Memberikan penyuluhan langsung kepada keluarga tentang pengetahuan dan pemanfaatan makanan yang bergizi untuk bayi dan balita oleh keluarga.
Berdasarkan penelitian gizi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen diperoleh hasil bahwa setiap balita yang sudah dikategorikan jatuh kedalam gizi buruk akan membutuhkan sejumlah 1.750 kalori dan 82,5 gram protein setiap harinya selama 90 hari berturut-turut untuk bisa kembali ke kondisi semula. Kondisi ini akan lebih baik bila didukung dengan makanan tambahan atau ringan bagi bayi dan balita tersebut.
Hasil penelitian inilah yang mendasari komitmen jajaran kesehatan Kabupaten Bireuen menetapkan pembiayaan untuk perbaikan gizi, setiap anak balita gizi buruk hingga mencapai Rp 6.350 per hari untuk makanan pokok serta laukpauk (beras, ikan, tempe/tahu, sayur, susu, buah, minyak dan gula) dan Rp 316 per hari untuk makanan ringan (seperti roti putih dan jam). Bila dikalikan dengan 90 hari, sama dengan kurang lebih Rp 600.000.
Strategi Intervensi
Ada beberapa strategi yang akan ditempuh oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, khususnya sub dinas pembinaan Kesehatan Keluarga (Kesga) dalam upaya mencapai tujuan dari program pengentasan kasus bayi dan balita gizi buruk, diantaranya :
1. Pemetaan kasus gizi buruk di setiap kecamatan dalam Kabupaten Bireuen untuk memudahkan prioritas intervensi berikutnya.
(17)
2. Penyuluhan langsung tentang pemanfaatan makanan bergizi untuk mengatasi kurangnya pengetahuan dan meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengenali dan memanfaatkan makanan yang bergizi.
3. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada bayi dan balita gizi buruk terutama dari keluarga miskin dengan kadar yang mencukupi kebutuhan gizinya.
4. Bekerja sama dengan lintas program dan lintas sektoral untuk mewujudkan bayi dan balita sehat sejahtera dengan status gizi baik.
5. Mencari alternatif lain untuk pembiayaan PMT bayi dan balita gizi buruk melalui himbauan kepada semua pihak untuk bersedia menjadi Orangtua Asuh Gizi (OTAG) yang akan membantu anak balita gizi buruk keluar dari problematikanya.
Mekanisme Penyaluran Bantuan Biaya Pembelian Makanan
Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen akan melaksanakan koordinasi dengan tim koordinasi kabupaten untuk menetapkan jadwal pertemuan antara pihak Orangtua Asuh Gizi (OTAG) dengan Anak Asuh Gizi (AAGi) dan orang tuanya yang difasilitasi oleh puskesmas dan bidan desa pada masing-masing kecamatan. Pada pertemuan tersebut akan dijelaskan langsung tentang sistem penyaluran bantuan serta sistem pemantauan dan evaluasinya.
Orangtua Asuh Gizi (AAGi) akan menyerahkan dana untuk pembelian makanan kepada AAGi melalui bidan desa yang akan dilakukan sebanyak 3 kali dan setiap satu bulan sekali dalam waktu 3 bulan sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan. Penyerahan dana ini diketahui secara langsung oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, puskesmas dan tim koordinasi sehingga pemantauan dan evaluasi dapat dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait.
Bidan desa dibantu kader kesehatan desa bersama-sama dengan orang tua AAGi akan menggunakan dana tersebut untuk berbelanja kebutuhan pokok harian AAGi sesuai dengan kebutuhan masing-masing AAGi untuk jangka waktu per-minggu untuk bahan makanan tahan lama seperti beras, susu, gula, minyak goreng dan lain-lain, sedangkan sisa dana mingguan diserahkan kepada orang tua AAGi untuk pembelian bahan makanan tidak tahan lama seperti ikan, sayur, tahu, tempe, susu, dan lain-lain.
Mekanisme penyaluran makanan ini akan dilakukan pencatatan dan pelaporan administrasi dengan membuat Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2), kartu pencatatan bahan makanan yang dibeli, laporan bulanan bidan
(18)
5
desa ke puskesmas, laporan bulanan puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan diteruskan ke Subdinas Pembinaan Kesehatan Keluarga (Kesga) dengan tembusan kepada tim koordinasi di setiap tingkatan, serta laporan bulanan dinas kesehatan kepada Orangtua Asuh Gizi (OTAG) tentang penggunaan dana dan laporan tumbuh kembang AAGi. Pengelola OTAG berhak untuk menanyakan dan memantau langsung kondisi perkembangan status gizi AAGi kepada orang tuanya sendiri, atau melalui puskesmas dengan difasilitasi oleh jajaran Kesehatan Kabupaten Bireuen.
Untuk memudahkan pelaksanaan pemberian bantuan biaya untuk pembelian makanan dari OTAG kepada anak asuh gizi (AAGi), maka Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen telah menyusun kriteria OTAG dan AAGi bagi lancarnya proses pelaksanaan pemberian bantuan, baik dari pihak pemberi bantuan maupun dari pihak peserta bantuan. Adapun kriteria tersebut dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kriteria Orangtua Asuh Gizi (OTAG) dan kriteria anak asuh gizi (AAGi).
1. Kriteria Orangtua Asuh Gizi (OTAG)
Semua pihak yang bersedia menjadi donatur yang akan memberikan sumbangan materi untuk pembelian bahan makanan seharga Rp 600.000 untuk 90 hari, yang diperkirakan mampu mengangkat status gizi anak asuh gizi. Orangtua asuh gizi bisa berdomisili di mana saja, namun bantuan akan disalurkan untuk anak asuh gizi yang berada di Kabupaten Bireuen dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan puskesmas setempat. Orangtua Asuh gizi akan memberikan bantuan kepada anak asuh gizi dari keluarga miskin selama 90 hari dengan tidak menutup kemungkinan bantuan lebih lanjut bila dibutuhkan oleh AAGi sesuai dengan kesepakatan.
2. Kriteria anak asuh gizi (AAGi)
AAGi merupakan bayi dan balita dengan status gizi buruk, berusia 13 bulan sampai 59 bulan yang berdomosili di seluruh wilayah Kabupaten Bireuen, diutamakan dari keluarga fakir miskin yang membutuhkan bantuan sangat mendesak baik dari segi medis maupun sosial. Anak asuh gizi mendapat pengawasan penuh dari tenaga kesehatan, baik dari puskesmas maupun dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan tim koordinasi baik dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, sehingga dibutuhkan orangtua yang kooperatif dan bersedia bekerja sama untuk memudahkan proses pemantauan status gizi anak tersebut.
(19)
Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi merupakan komponen penting dalam pelaksanaan program pengentasan gizi buruk melalui bantuan biaya pembelian makanan dari OTAG kepada AAGi. Kegiatan ini dimulai dari proses penyaluran bantuan biaya pembelian makanan dari OTAG kepada AAGi, sampai dengan dikonsumsinya bahan makanan bantuan oleh AAGi.
Tahapan yang dilakukan antara lain : (1) Memantau proses penyampaian bantuan biaya untuk pembelian makanan dari OTAG kepada AAGi melalui bidan desa, (2) Memantau proses pembelian bahan makanan oleh bidan desa atau kader kesehatan bersama-sama dengan orang tua AAGi, (3) Memantau proses pemberian makanan oleh orang tua kepada AAGi, (4) Melakukan tindakan pembinaan untuk keseluruhan proses pelaksanaan program pengentasan gizi buruk melalui OTAG, dan (5) Evaluasi.
Konsumsi Pangan Balita
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki dimana setiap saat harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup manusia. Kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, yang layak, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Widowati & Djoko 2001).
Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Kebutuhan pangan harus dipenuhi dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap kesehatan (Hardinsyah 2002).
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya (Suhardjo 1989), selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Selanjutnya Khomsan (2003) menambahkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada.
Konsumsi pangan keluarga, individu maupun golongan tertentu (balita) dapat diketahui dengan melakukan survei konsumsi pangan. Survei konsumsi pangan dimaksud untuk mengetahui frekuensi konsumsi menurut jenis pangan
(20)
7
yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan. Metode recall adalah salah satu cara survei konsumsi pangan dengan cara mencatat jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (recall 24 jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menyatakan jumlah pangan dan ukuran rumah tangga (URT), kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Kelebihan metode ini adalah murah dan tidak memakan waktu banyak. Kekurangannya yaitu data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversikan URT ke dalam satuan berat, serta adanya variasi URT antar daerah dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran antar responden (Kusharto & Sa’diyah 2002).
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan didefinisikan sebagai pola perilaku yang diperoleh dari pola praktek yang terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang dilakukan secara berulang-ulang. Ada beberapa definisi kebiasaan makan diantaranya, kebiasaan makan (eating habits) dapat dirumuskan sebagai seringnya (kerap kalinya) makanan tertentu dipilih dan dikonsumsi pada jangka waktu tertentu, serta seringkalinya kurang memperhatikan segi-segi lain yang mungkin terkait, misalnya segi harga dan martabat (Susanto 1997).
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar diri manusia) dan faktor instrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia). Yang termasuk faktor ekstrinsik antara lain (1) lingkungan alam, (2) lingkungan sosial, (3) lingkungan budaya, dan (4) lingkungan ekonomi. Adapun Yang termasuk faktor instrinsik antara lain (1) asosiasi emosional, (2) keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit, dan (3) penilaian yang lebih terhadap mutu makanan (Khumaidi 1994).
Penerapan suatu kebiasaan makan yang baik dapat diartikan dengan membiasakan memilih dan mengkonsumsi makanan-makanan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: bermutu gizi seimbang atau sesuai dengan kebutuhan tubuh, aman, halal, beraneka ragam dan susunan zat-zat gizi makro dan mikro didalam makanan lengkap, serta makanan selingan yang berada dalam keseimbangan (Susanto 1993).
(21)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Besar Keluarga
Banyaknya keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Jumlah anggota keluarga yang besar tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan mengakibatkan pendistribusian pangan dalam keluarga tidak merata. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Hal ini terjadi karena, keluarga dengan jumlah anggota lebih banyak akan sulit memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehingga pangan keluarga akan berkurang, maka anak balitanya lebih sering mengalami kurang gizi (Suhardjo 1989).
Faktor besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya. Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan ibu.
Pendidikan Orangtua
Salah satu faktor soaial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa, dkk 2001). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo 1989).
Menurut Yuliana (2004) bahwa pendidikan orangtua menentukan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian keluarga, pendidikan juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan. Menurut Satoto (1990) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua yang tinggi akan menjamin diberikan stimuli yang mendukung bagi perkembangan anak-anaknya dibandingkan orangtua dengan tingkat pendidikan rendah.
Pekerjaan Orangtua
Menurut Singarimbun (1988), diacu dalam Sunandar (2001) pada masyarakat tradisional, suatu pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu ibu untuk merawat anaknya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang ibunya sibuk bekerja maka waktu untuk mengasuh anaknya sangat kurang.
(22)
9
Bagi keluarga miskin, pekerjaan ibu diluar rumah menyebabkan anaknya dilalaikan. Dalam keluarga, terutama wanita berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Peranan wanita dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting. Pekerjaan utama mempengaruhi pula partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan. Jika pekerjaan seseorang membutuhkan waktu yang banyak maka partisipasinya akan rendah karena waktu untuk ikut serta dalam suatu kegiatan akan berkurang.
Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan keluarga secara tidak langsung akan berpengaruh pada konsumsi makan anak balita (Berg 1986). Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Begitu sebaliknya pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan untuk meningkatkan status gizi keluarga.
Pada umumnya peningkatan pendapatan tidak selalu menuju kearah yang lebih baik walaupun biaya pangan yang meningkat. Namun pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Orang yang membelanjakan uangnya lebih beragamnya konsumsi pangan, mungkin juga makan lebih banyak tetapi tidak selalu harus lebih baik. Dengan bertambahnya penghasilan, seringkali beberapa bahan pangan yang dikenal sebagai makanan orang miskin akan di buang dari susunan makanannya Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang di makan itu lebih mahal (Suhardjo 1989).
Status Gizi Anak Balita
Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau bermasalah (gizi salah). Gizi salah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan, dan aktivitas atau produktivitas (Depkes RI 2001). Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
(23)
tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan energi (Supriasa dkk, 2001).
Menurut Riyadi (2001) status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik atau buruk status gizinya. Faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi makan dan keadaan kesehatan (Soekirman 2000). Selanjutnya Soekirman (2000) juga menyatakan bahwa timbulnya kurang energi protein (KEP) tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga penyakit terutama diare dan ISPA. Anak mengkonsumsi makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP.
Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1990). Bayi sampai anak berusia lima tahun, yang lazim disebut balita dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk Kurang Energi dan Protein (KEP). KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Bayi dan balita, ibu hamil dan ibu menyusui merupakan golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. Menurut Engle, Manon & Haddad (1997) anak balita yang mengalami KEP salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian ibu dalam mengasuh anak terutama dalam pemberian makanan misalnya ibu membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum makan.
KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah dan masyarakat bahkan oleh keluarga. Artinya, andaikata di suatu desa terdapat sejumlah anak yang menderita gizi kurang karena KEP, tidak segera menjadi perhatian karena anak tidak tampak sakit. Disamping itu, terjadinya KEP pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan. Artinya, dalam keadaan pangan di pasar berlimpahpun masih mungkin terjadi kasus KEP (Soekirman 2000). Suhardjo (1989) menambahkan, pada umumnya KEP terjadi karena kemiskinan, pangan kurang tersedia, pengetahuan gizi rendah, kebiasaan makan dan faktor lainnya. Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa gizi kurang tidak selalu terjadi pada keluarga-keluarga miskin atau tinggal dilingkungan yang kumuh. Dengan kata lain, anak-anak KEP
(24)
11
juga dapat ditemukan pada keluarga-keluarga mampu (tidak miskin) yang hidup dilingkungan masyarakat yang cukup baik.
Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 1993). Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya.
Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung yang umum digunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di dunia, yaitu masalah gizi buruk (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur (Jellife & Jellife 1989). Pengukuran antropometri dilakukan berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Indeks berat badan menurut umur mencerminkan status gizi saat ini, karena berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti infeksi otot dan tidak cukup makan. (Tarwotjo & Djuwita 1990).
Menurut Jellife & Jellife (1989), pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif murah, obyektif, mudah dilakukan pada populasi yang besar serta memberikan informasi tentang gangguan pertumbuhan. Selanjutnya Gibson (1990) menambahkan bahwa cara antropometri relatif cepat pelaksanaannya, tidak terlalu banyak membutuhkan alat. Cara mana yang digunakan tergantung dari tujuan pengukuran tersebut.
(25)
KERANGKA PEMIKIRAN
Masa yang terpenting dalam periode kehidupan manusia adalah masa balita, karena pada masa balita ini terbentuk dasar-dasar keinderaan, berpikir dan berbicara, serta pertumbuhan mental, intelektual dan juga awal pertumbuhan moral. Tetapi justru pada masa ini banyak ditemui kendala dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik dilihat dari segi konsumsi maupun pemeliharaan kesehatannya, sehingga banyak yang mengalami gizi kurang dan bahkan gizi buruk.
Menurut Hardinsyah (2003), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan individu baik di tingkat keluarga maupun daerah yaitu keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya, lingkungan, pertumbuhan, keadaan fisiologis, daya tahan tubuh, infeksi cacing dalam tubuh, fasilitas kesehatan serta pendidikan. Konsumsi pangan merupakan hal yang sangat berhubungan dengan status gizi seseorang. Jika konsumsi pangan memenuhi semua kebutuhan zat gizi seseorang maka diharapkan seseorang akan memiliki status gizi yang baik sehingga terhindar dari masalah kesehatan.
Peran ibu memiliki peranan besar dalam keluarga, karena ibu yang membelanjakan pangan, mengatur menu keluarga, mendistribusikan makanan dan bertanggungjawab langsung dalam pemeliharaan anak. Pengetahuan ibu terhadap gizi dan permasalahannya sangat berpengaruh pada keadaan gizi keluarga (Suhardjo 1989). Dalam membelanjakan pangan untuk keluarga sangat dipengaruhi dari alokasi pengeluaran pangan keluarga.
Konsumsi pangan anak balita sangat dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi keluarga melalui besar anggota keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan dan pendapatan orangtua. Karena balita merupakan bagian dari keluarga, maka konsumsi pangan balita tersebut tergantung dari konsumsi pangan keluarga. Konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi merupakan rasio atau perbandingan konsumsi aktual dengan angka kebutuhan. Tingkat konsumsi secara langsung mempengaruhi status gizi seseorang. Selain itu, infeksi juga mempengaruhi status gizi. Namun dalam penelitian ini, penyakit infeksi merupakan variabel yang tidak diamati. Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
(26)
13
Keterangan :
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Situasi Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita Peserta Program Orangtua Asuh Gizi (OTAG)
• Ketersediaan pangan Keluarga
• Kebiasaan makan Program OTAG
• Penimbangan berat badan
• Pemberian Makanan Anak Balita
• Penyuluhan gizi
Konsumsi Pangan Balita
• Tingkat Konsumsi
• Kualitas Konsumsi
Status Gizi AAGi Karakteristik Anak Balita
Umur Jenis Kelamin
Karakteristik Keluarga
• Besar Keluarga
• Pendidikan orangtua
• Pekerjaan orangtua
• Pendapatan keluarga
Riwayat Kesehatan Pola Konsumsi Pangan
(27)
METODE PENELITIAN
Disain, Tempat dan WaktuDisain penelitian adalah Cross Sectional Study, yaitu penelitian yang dilakukan satu kali dan hanya menggambarkan keadaan saat penelitian tersebut dilaksanakan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama dua bulan yaitu bulan September sampai Oktober 2007.
Penarikan Contoh
Unit contoh dalam penelitian ini adalah anak usia dibawah lima tahun (anak balita) peserta program Orangtua Asuh Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen. Kriteria anak balita peserta program OTAG yang dipakai adalah berstatus gizi buruk dan berasal dari keluarga miskin. Seluruh anak balita peserta program OTAG tahun 2007 yaitu sebanyak 46 orang dipilih sebagai objek penelitian.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari data karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan, pendapatan keluarga); karakteristik demografi (umur, jenis kelamin); riwayat kesehatan (riwayat kehamilan, kelahiran, penyakit infeksi); data antropometri (berat badan dan tinggi badan) dan konsumsi pangan anak balita dengan metode recall 1 x 24 jam terakhir sebanyak 2 hari.
Data sekunder meliputi keadaan umum geografis, karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat, serta sarana kesehatan dan fasilitas umum di lokasi penelitian. Data tersebut dikumpulkan dari Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan dan cara pengumpulannya
Peubah Jenis Data Cara Pengumpulan Data
Karakteristik sosial ekonomi keluarga Besar Kekuarga
Pendidikan Orangtua Pekerjaan Orangtua
Pendapatan per bulan keluarga
Primer, Sekunder Wawancara, Pengamatan
Karakteristik Demografi Anak Balita Umur
Jenis kelamin
Primer Wawancara
Konsumsi Energi dan protein Primer Recall
Status Gizi Anak Balita Primer Penimbangan
Riwayat Kesehatan Primer Wawancara
Keikutsertaan dalam Program OTAG Primer Wawancara Situasi Konsumsi Pangan Anak Balita Primer Wawancara Keadaan Umum Lokasi Penelitian Sekunder Kantor kecamatan
(28)
15
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul, ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, yaitu data karakteristik keluarga, karakteristik demografi dan riwayat kesehatan. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer
Microsoft Excel dan Statistical Program Social Sciences (SPSS) versi 13.0 for Windows. Hasil pengolahan data, selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan variabel-variabel antara karakteristik keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein serta status gizi anak balita.
Penilaian status gizi dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) dengan cara menentukan z-score yaitu membandingkan berat badan aktual dengan berat badan yang diajurkan dan standar deviasinya pada masing-masing umur dan jenis kelamin menurut rujukan baku WHO-NCHS.
Pangan yang dikonsumsi dikonversikan beratnya dalam gram, kemudian dihitung kandungan energi dan proteinnya dengan menggunakan alat bantu Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Pengambilan data konsumsi dengan metode recall mempunyai kelemahan yaitu hanya mengandalkan daya ingat seseorang sehingga hasilnya belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk memperoleh gambaran tentang tingkat konsumsi gizi anak balita akan digunakan Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) 2004. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk individu maupun keluarga. Secara umum tingkat konsumsi dapat dirumuskan sebagai barikut :
TKGi (%) = (Ki / AKGi) x 100 % Keterangan :
TKGi : Tingkat Konsumsi zat gizi i. Ki : Konsumsi zat gizi i.
AKGi : Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan.
Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan keluarga dibagi menjadi dua kategori yaitu terpenuhi dan tidak terpenuhi. Keluarga dikatakan tidak terpenuhi jika rata-rata TKE keluarga <70%. Maka dikategorikan terpenuhi apabila tingkat konsumsi rata-rata keluarga ≥70%.
Data sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orangtua yang dikelompokkan menjadi: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(29)
(SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Diploma. Pekerjaan utama orangtua dikelompokkan menjadi: (1) Petani, (2) Nelayan, (3) Pedagang, (4) Buruh/Tukang, (5) lain-lain. Konsumsi energi dan protein dibandingkan dengan angka kecukupan rata-rata yang dianjurkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998. Tingkat konsumsi energi digolongkan ke dalam empat kategori:
Lebih : ≥ 100% Baik : 85% - 100% Cukup : 70% - 84,9%
Kurang : < 70% Kecukupan (Gibson 1993)
Sedangkan tingkat konsumsi protein digolongkan menjadi dua kategori yaitu : Baik : ≥ 75%
Kurang : < 75% Kecukupan (Gibson 1993).
Penilaian status gizi anak balita penderita gizi kurang diperoleh dengan pendekatan antropometri berdasarkan pada simpangan baku (Z-Skor) dibagi dalam empat batasan keputusan menurut WHO (1983) yaitu :
Gizi lebih : Z-Skor > 2.0 sd
Gizi baik : Z-Skor -2.0 sampai 2.0 sd Gizi kurang : Z-Skor <-2.0 sampai -3.0 sd Gizi buruk : Z-Skor <-3.0 sd
Besar keluarga dikelompokkan berdasarkan besar keluarga NKKBS dari BKKBN yaitu 4 orang, pengelompokkan dibagi menjadi 2 yaitu :
Kecil : ≤ 4 orang Besar : > 4 orang
(30)
17
Definisi Operasional
Anak Balita adalah anak terkecil dari keluarga yang berusia dibawah lima tahun. Umur Anak Balita adalah umur yang dinyatakan dengan umur penuh dalam
satuan bulan, berdasarkan catatan kelahiran.
Penyakit Infeksi adalah hal yang berkaitan dengan kesehatan anak balita, meliputi jenis dan lama sakit selama satu bulan terakhir.
Karakteristik Keluarga adalah keadaan keluarga yang melalui besar keluarga, tingkat pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, dan jenis pekerjaan orangtua.
Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak serta orang lain yang tinggal seatap dan makan dari dapur yang sama.
Pendidikan Orangtua adalah jumlah tahun orangtua yang mengikuti pendidikan formal yang dihitung dengan satuan waktu tanpa menghitung waktu tinggal kelas.
Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan keluarga yang diperoleh dari kegiatan atau pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya yang dinilai dengan uang selama sebulan terakhir.
Program Orangtua Asuh Gizi (OTAG) adalah program pemberian makanan tambahan dari orangtua asuh gizi kepada anak asuh gizi.
Anak Asuh Gizi (AAGi) adalah anak balita dengan status gizi buruk, berusia 13-59 bulan yang berdomisili di seluruh wilayah Kabupaten Bireuen, diutamakan dari keluarga fakir miskin yang membutuhkan bantuan sangat mendesak baik dari segi medis maupun sosial.
OrangTua Asuh Gizi (OTAG) adalah semua pihak yang bersedia menjadi donatur yang akan memberikan sumbangan materi untuk pembelian bahan makanan seharga Rp 600 000 untuk 90 hari, yang diperkirakan mampu meningkatkan status gizi anak balita.
Hari Makan Anak (HMA) adalah jumlah anak balita usia 13-59 bulan yang mendapat makanan tambahan untuk meningkatkan berat badan anak yaitu selama 90 hari berturut-turut.
Status Gizi Anak Balita adalah keadaan tubuh anak balita yang ditentukan berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) dengan menggunakan baku rujukan NCHS (National Centre for Health Statistic) dan WHO (World Health Organization).
(31)
Konsumsi Pangan Individu adalah jumlah pangan yang dimakan oleh individu atau anggota keluarga yang dikumpulkan dengan menggunakan metode
recall selama 1x24 jam sebanyak 2 hari.
Pola Konsumsi Pangan adalah frekuensi makan anak balita dan jenis pangan yang dikonsumsi selama 1x24 jam terakhir sebanyak 2 hari pada saat penelitian dengan metode recall.
Pola Asuh Makan adalah praktek pengasuhan yang diterapkan oleh pengasuh kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian makan.
Tingkat Konsumsi Energi/TKE adalah perbandingan antara jumlah energi yang dikonsumsi individu dengan kecukupan energi yang dibutuhkan oleh individu tersebut perhari yang diperoleh dengan rumus TKE (%) : Konsumsi Energi / Kecukupan Energi x 100%.
Tingkat Konsumsi Protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi keluarga kemudian dibandingkan dengan Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan dan dinyatakan dalam bentuk persen.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran adalah kejadian ibu hamil sampai melahirkan mencakup beberapa kriteria yaitu umur ibu saat hamil, jumlah kehamilan, jumlah kelahiran, jarak kehamilan, jarak kelahiran, umur persalinan dan pertolongan persalinan.
Jumlah Kehamilan adalah banyaknya kejadian ibu mengalami kehamilan.
Jarak Kehamilan dan Kelahiran adalah selang waktu dalam bulan antara kelahiran hidup ataupun lahir mati termasuk keguguran dengan kehamilan berikutnya.
Umur Persalinan atau Kehamilan adalah kejadian ibu melahirkan di bawah umur 9 bulan.
(32)
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi PenelitianKabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Utara berdasarkan Undang-Undang No 48 tahun 1999 tanggal 12 Oktober 1999 tentang pemerintahan daerah, Undang-Undang No 22 tahun tahun 1999 tentang Desentralisasi / otonomi Daerah. Luas wilayah kabupaten ini adalah 1.901,021 km2 (190.121 Ha) yang terdiri dari 17 Kecamatan, 69 kemukiman dan 552 Desa. Jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Bireuen tahun 2007 adalah 379.724 Jiwa yang terdiri dari 87.503 Kepala Keluarga.
Total jumlah ibu hamil di Kabupaten Bireuen sebanyak 9.138 orang dan 664 orang diantaranya mengalami Kurang Energi Kronik (KEK). Sementara itu tercatat jumlah ibu bersalin sebanyak 7.349 orang. Pada jumlah tersebut, kematian ibu mencapai 8 orang. Total jumlah anak balita di Kabupaten Bireuen sebanyak 6.107 orang. Dari data tersebut, sebanyak 49 anak balita mengalami gizi lebih, 4.496 anak balita mengalami gizi baik, 1.269 mengalami gizi kurang, dan 293 mengalami gizi buruk dan tercatat jumlah kematian bayi mencapai 56 orang. Dari sejumlah anak balita kurang gizi tersebut dipilih sebanyak 46 anak sebagai peserta orangtua asuh gizi (OTAG).
Secara Geografis, Kabupaten Bireuen bagian sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie, dan sebelah Timur berbatasan dengan Aceh Utara. Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Bireuen yaitu 1 buah Rumah Sakit Umum (RSU), 14 puskesmas, 36 puskesmas pembantu, 236 Polindes, 554 Posyandu dan 15 Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren).
Gambaran Umum Pelaksanaan Program Orangtua Asuh Gizi (OTAG) Salah satu akibat krisis ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat termasuk kebutuhan pangan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kecukupan gizi pada masyarakat khususnya pada keluarga miskin dan rawan gizi. Di Kabupaten Bireuen, prevalensi kurang gizi pada anak balita mencapai 293 anak. Keadaan ini sangat memprihatinkan, sehingga perlu penanganan serius dan seksama.
(33)
Program OTAG merupakan salah satu program pengentasan gizi buruk bagi bayi dan balita guna menindaklanjuti secara cepat dan tepat kasus gizi buruk yang ada saat ini dengan melibatkan ibu peserta program OTAG. Selain melibat ibu balita, program OTAG juga mendapat pengawasan penuh dari tenaga kesehatan baik dari Dinas Kesehatan maupun dari Puskesmas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan tim koordinasi baik ditingkat kabupaten, kecamatan dan desa, sehingga dibutukan orangtua yang mau dan bersedia bekerja sama untuk memudahkan pemantauan status gizi anak balita. Menurut petunjuk dari petugas gizi setempat, program OTAG bertujuan supaya dapat menigkatkan status gizi anak balita khususnya dari keluarga miskin, meningkatkan mutu konsumsi gizi sehingga mencapai status gizi yang lebih baik.
Perencanaan
Dalam hal perencanaan, ibu balita dilibatkan seperti pemilihan jenis bahan makanan. Bahan makanan yang diberikan kepada anak balita gizi buruk berupa makanan pokok dan ringan. Menurut petunjuk dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, anak balita sasaran peserta program OTAG adalah anak balita bergizi kurang dan gizi buruk dari keluarga miskin yang berumur 13-59 bulan berjumlah 46 orang anak dengan komposisi zat gizi 1.750 kkal, 82,5 gr protein, selama 90 hari dan didukung dengan makanan tambahan atau makanan ringan bagi anak balita tersebut.
Penyaluran Dana Program OTAG
Dana yang disalurkan dari pengelola program OTAG untuk anak balita dilaksanakan dalam sebulan sekali. Dana ini diberikan apabila telah mempertanggungjawabkan pelaksanaan program OTAG ditingkat kecamatan satu bulan sebelumnya. Mekanisme penyaluran dana ini akan dilakukan pencatatan dan pelaporan administrasi dengan membuat Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2), kartu pencatatan bahan makanan yang dibeli, laporan bulanan bidan desa ke puskesmas, laporan bulanan puskesmas ke Dinas Kesehatan dilanjutkan ke Subdinas Pembinaan Kesehatan Keluarga (Kesga). OTAG berhak untuk menanyakan dan memantau langsung kondisi perkembangan status gizi anak asuh gizi (AAGi) kepada orang tuanya sendiri, atau melalui puskesmas dengan di fasilitasi oleh jajaran kesehatan Kabupaten Bireuen.
(34)
21
Pengolahan Makanan Program OTAG
Sesuai dengan tujuan program OTAG yaitu untuk menambah kualitas gizi makanan anak sehingga makanan yang diberikan harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu bersih dan menyehatkan, kebersihan dalam proses pengolahan makanan dilokasi penelitian ini masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada saat pengolahan makanan, misalnya: belum semua tempat air bersih dan tempat sampah di dapur memakai penutup, pembuangan air limbah di dapur belum lancar.
Biaya Pengadaan Makanan Bagi Program OTAG
Dana program OTAG diberikan melalui bidan desa secara teratur setiap bulannya sebesar Rp 200.000 selama satu bulan per anak. Besarnya dana yang diberikan ini sudah cukup memadai. Apabila dana yang diberikan tidak memadai, maka dilakukan pencarian alternatif bahan yang lebih murah.
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga
Penggolongan besar keluarga merujuk pada NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) dibedakan menjadi 2 kategori yaitu keluarga kecil dengan jumlah keluarga ≤4 orang, dan keluarga besar dengan jumlah keluarga >4 orang. Berdasarkan data besar keluarga anak balita peserta program OTAG yang disajikan pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa secara umum besar keluarga anak balita berkisar antara 3 – 8 orang. Lebih dari separuh anak balita (56.5%) termasuk kategori keluarga kecil, sedangkan sekitar 43.5 persen anak balita yang lain termasuk keluarga besar.
Tabel 2 Sebaran anak balita berdasarkan besar keluarga Jumlah Besar Keluarga
n %
Kecil (≤ 4 orang) 26 56.5
Besar (> 4 orang) 20 43.5
Total 46 100.0
Pendidikan Orangtua
Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar, berlangsung terus menerus, sistematis dan terarah, yang bertujuan mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada setiap individu yang terlibat di dalamnya. Pendidikan formal merupakan segala sesuatu (proses belajar mengajar) yang di upayakan untuk mengubah segenap perilaku seseorang (Gunarsa & Gunarsa 2004). Cahyaningsih (1999) menyatakan bahwa seseorang dengan pendidikan
(35)
relatif tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah.
Berdasarkan data tingkat pendidikan orangtua anak balita yang disajikan pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa sekitar 45,7 persen tingkat pendidikan ayah adalah SMP, sedangkan pendidikan ibu adalah SD dan SMP dengan persentase yang sama (45.7 %). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan terakhir ibu lebih rendah dibandingkan ayah. Menurut Kardjati, Alisjahbana dan Kusin (1985), pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting dan memiliki kaitan dengan tingkat pengertiannya terhadap pengasuhan dan kesehatan anak serta keluarganya
Tabel 3 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat pendidikan orangtua
Ayah Ibu Tingkat Pendidikan
n % n %
SD 12 26.1 21 45.7
SMP 21 45.7 21 45.7
SMA 11 23.9 4 8.6
Diploma 2 4.3 0 0.0
Total 46 100.0 46 100.0
Pekerjaan Orangtua
Berdasarkan jenis pekerjaan orangtua anak balita menunjukkan bahwa hampir separuh (39.1%) ayah bekerja sebagai petani. Sementara itu, sebagian besar ibu memiliki pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga (97.8%) dan sebagian kecil ibu memiliki pekerjaan sebagai pedagang (2.2%) seperti terlihat pada Tabel 4. Dalam keluarga, terutama ibu berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Peran ibu dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi anak sangatlah penting. Ibu yang tidak bekerja dapat memaksimalkan waktunya untuk merawat anak (Singarimbun 1988 diacu dalam Sunandar 2001).
Tabel 4 Sebaran anak balita berdasarkan jenis pekerjaan ayah Jumlah Jenis Pekerjaan Ayah
n %
Petani 18 39.1
Nelayan 6 13.0
Pedagang 4 8.7
Buruh/tukang 5 10.9
Lain-lain (guru mengaji) 1 2.2
(36)
23
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga anak balita dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu pendapatan keluarga kurang dari Rp 230.000, antara Rp 230.001-Rp 571.001, dan lebih besar dari Rp 571.001 seperti terlihat pada Tabel 5. Sebagian besar keluarga anak balita (67.4%) memiliki pendapatan keluarga per bulan masih tergolong rendah (<230.000). Rata-rata pendapatan keluarga per bulan adalah sebesar Rp 299.880,43. Pendapatan keluarga selain diperoleh dari pendapatan kepala keluarga, juga mendapat sumbangan dari pendapatan ibu. Secara persentase rata-rata jumlah pendapatan yang disumbangkan ibu untuk menambah pendapatan keluarga sebesar 2.2 persen dari pendapatan total keluarga.
Tabel 5 Sebaran anak balita berdasarkan pendapatan keluarga per bulan Jumlah
Pendapatan (Rp/bulan)
n %
< 230.000 31 67.4
230.001-571.001 10 21.7
≥ 571.001 5 10.9
Total 46 100.0
Menurut BPS (2007), batas kemiskinan penduduk Kabupaten Bireuen yaitu sebesar Rp 84.803 per bulan. Apabila dibandingkan dengan garis kemiskinan per bulan penduduk kabupaten tersebut, maka rata-rata pendapatan keluarga per bulan anak balita masih rendah. Tingkat pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli keluarga sehingga keluarga mampu membeli pangan dan akan memberikan peluang didalam memilih bahan makanan yang baik dalam jumlah dan jenisnya. Begitu sebaliknya, pendapatan yang lebih rendah menyebabkan daya beli yang lebih rendah pula sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan untuk meningkatkan status gizi (Suhardjo 1996).
Karakteristik Demografi
Karakteristik demografi meliputi umur dan jenis kelamin anak balita. Menurut Soetjiningsih (1995) bahwa pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa laki-laki harus mencari nafkah, sedangkan wanita sesudah kawin akan ikut suami (Monks, Knoerk & Haditono 2002). Selanjutnya Hurlock (1990) mengatakan bahwa jenis kelamin akan mempengaruhi orangtua akan memperlakukan anaknya,
(37)
perbedaan jenis permainan yang diberikan kepada anaknya, dan akan mempengaruhi bagaimana seseorang berpenampilan, bermain dan mengungkapkan emosi.
Tabel 6 Sebaran anak balita berdasarkan umur dan jenis kelamin Jumlah Anak Balita Umur (bulan)
n %
13 – 24 7 15.2
25 – 36 13 28.3
37 – 48 14 30.4
> 49 12 26.1
Total 46 100.0
Rata-rata ± sd 39.3±12.2
Jenis kelamin
Laki-laki 24 52.2
Perempuan 22 47.8
Total 46 100.0
Umur anak balita dibagi empat kelompok yaitu umur 13-24 bulan, umur 25-36 bulan, umur 37-48 bulan, dan umur > 49 bulan seperti yang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa persentase anak balita yang paling besar (30.4%) berumur 37-48 bulan, sedangkan kelompok umur 13-24 bulan mempunyai persentase paling kecil (15.2%). Tabel 6 juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak balita (52.2%) berjenis kelamin laki-laki, sedangkan hampir separuh balita (47.8%) berjenis kelamin perempuan.
Riwayat Kesehatan Riwayat Kehamilan
Umur Ibu Saat Hamil. Sitorus et al (1996) menyatakan bahwa meskipun kehamilan dibawah umur 20 tahun sangat beresiko, tetapi kehamilan diatas usia 35 tahun juga tidak dianjurkan dan sangat berbahaya, sebab mulai usia ini sangat sering muncul penyakit seperti hipertensi, penyakit degeneratif dan persendiaan tulang belakang dan pinggul. Berdasarkan umur ibu saat hamil (Tabel 7) bahwa sebesar 17.4 persen ibu balita mempunyai resiko kehamilan yang kemungkinan berakibat pada kondisi janin yang akan dilahirkan, sedangkan sebagian besar (82.6%) ibu balita tidak beresiko terhadap kehamilan.
Jumlah Kehamilan. Depkes RI (1990) menyatakan bahwa faktor-faktor resiko kehamilan di antaranya ibu hamil dengan paritas tinggi yaitu ibu melahirkan 5 kali atau lebih yang mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami pendarahan. Berdasarkan jumlah kehamilannya (Tabel 7) menunjukkan jumlah kehamilan ibu balita berkisar antara 1 hingga 6 kali, rata-rata 2.57 orang (sd =
(38)
25
1.241). Data jumlah kehamilan menunjukkan bahwa terdapat 19.6 persen ibu balita mengalami kehamilan >4 kali. Hal ini menunjukkan masih terdapat ibu yang beresiko mengalami pendarahan.
Tabel 7 Sebaran ibu berdasarkan riwayat kehamilan anak balita Jumlah Riwayat Kehamilan
n %
Umur ibu saat hamil -Beresiko -Tidak beresiko 8 38 17.4 82.6
Total 46 100.0
Jumlah Kehamilan 1 2 3 >4 8 18 11 9 17.4 39.1 23.9 19.6
Total 46 100.0
Jarak Kehamilan 0 1-2 3-4 5-6 8 17 14 7 17.4 36.9 30.5 15.2
Total 46 100.0
Jarak Kehamilan. Agar kondisi tubuh setelah kehamilan kembali seperti sebelumnya, kesehatan ibu akan mundur secara progresif. Persalinan yang terjadi berturut-turut dalam jangka waktu singkat menyebabkan rahim menjadi kaku dan kontraksinya menjadi kurang baik pada saat persalinan.
Berdasarkan jarak kehamilan (Tabel 7) menunjukkan bahwa hampir separuh ibu balita (36.9%) memiliki jarak kehamilan yang mempunyai resiko. Jarak kehamilan yang terlalu dekat dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Hal ini disebabkan ASI terpaksa dihentikan.
Riwayat Kelahiran
Umur Persalinan. Bayi yang lahir secara prematur mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi (Depkes RI 2000). Berdasarkan umur persalinan anak balita (Tabel 8) menunjukkan bahwa sebagian besar (93.5%) balita mengalami umur persalinan cukup bulan, sedangkan sebagian kecilnya (6.5%) mengalami umur persalinan kurang bulan.
Pertolongan Saat Melahirkan. Berdasarkan pertolongan saat melahirkan (Tabel 8), sebagian besar (89.1%) kelahiran anak balita ditolong oleh tenaga kesehatan, sedangkan sebagian kecil (10.9%) kelahiran anak balita ditolong oleh dukun beranak dengan alasan biaya lebih murah. Pertolongan persalinan oleh dukun beranak dikhawatirkan karena sanitasi kurang baik sehingga dapat mengakibatkan infeksi pada ibu dan balita, misalnya mengunakan gunting yang tidak steril.
(39)
Tempat Persalinan. Berdasarkan tempat kelahiran (Tabel 8), sebagian besar (80.4%) anak balita dilahirkan di rumah sendiri. Banyaknya kelahiran di rumah sendiri terkait dengan sarana transportasi dan menghemat biaya yang dimiliki responden.
Tabel 8 Sebaran ibu berdasarkan riwayat kelahiran anak balita
Jumlah Riwayat Kelahiran
n % Umur Persalinan
-Cukup bulan 43 93.5
-Kurang bulan 3 6.5
Total 46 100.0
Pertolongan Kelahiran
-Tenaga kesehatan 41 89.1
-Dukun 5 10.9
Total 46 100.0
Tempat Persalinan
-Rumah ibu 37 80.4
-Rumah bidan desa 6 13.1
-Puskesmas 3 6.5
Total 46 100.0
Penyakit Infeksi
Sehat atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita seseorang. Berdasarkan riwayat sakit dalam satu bulan terakhir, lebih dari separuh anak balita (58.7%) pernah sakit dalam satu bulan terakhir seperti yang ditampilkan pada Tabel 9. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan anak balita masih belum terjaga. Fenomena ini juga ditandai dengan adanya anak balita yang menderita sakit sampai tiga kali dalam satu bulan terakhir.
Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan riwayat sakit dalam satu bulan terakhir Jumlah Anak Balita
Riwayat sakit
n %
Pernah Sakit 27 58.7
Tidak Pernah sakit 19 41.3
Total 46 100.0
Rata-rata 1.6
± SD 0.5
Berdasarkan jenis penyakit yang dialami dalam satu bulan terakhir (Tabel 10), hampir separuh anak balita mengalami demam (40.7%). Lebih dari seperempat (25.9%) anak balita juga mengalami batuk pilek. Hal ini sejalan dengan Soemanto (1990) yang menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita oleh anak balita adalah batuk, pilek, dan panas badan (demam). Penyakit-penyakit tersebut umumnya dapat dicegah dengan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal agar tidak menjadi sarang penyakit yang dapat membahayakan pertumbuhan anak balita.
(40)
27
Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit yang dialami dalam satu bulan terakhir
Jumlah Anak Balita Jenis Penyakit
n % Lama Sakit (Hari)
Batuk pilek 7 25.9 7
Batuk biasa 4 14.8 4
Pilek 3 11.1 4
Demam 11 40.7 4
Diare 2 7.5 2
Total 27 100.0 21
Keikutsertaan dalam Program Orang Tua Asuh Gizi
Seluruh masyarakat khususnya di Kabupaten Bireuen dapat berperanserta dalam program Orang Tua Asuh Gizi (OTAG). Semua pihak yang bersedia menjadi donatur memberikan sumbangan materi untuk pembelian bahan makanan seharga Rp 600.000 selama 90 yang diperkirakan mampu mengangkat status gizi Anak Asuh Gizi (AAGi).
Tabel 11 Sebaran anak balita berdasarkan keikutsertaan dalam program OTAG Jumlah Anak Balita Jenis
n %
Anjuran ibu ikut program OTAG -Saran kepala desa/ kader posyandu -Saran bidan desa
-Kesadaran sendiri -Diajak tetangga 12 32 0 2 26.0 70.0 0.0 4.0 Terpilih sebagai program OTAG
-Gizi buruk -Keinginan 44 2 96.0 4.0 Rutin ikut program OTAG
-Ya -Tidak 42 4 91.0 9.0 Keikutsertaan dalam penyuluhan
-Ya -Tidak 42 4 91.3 8.7 Kesesuaian topik penyuluhan
-Ya -Tidak 44 2 96.0 4.0
Berdasarkan data keikutsertaan dalam program OTAG (Tabel 11) terlihat bahwa sebagian besar ibu balita (70.0%) mengikuti program OTAG atas anjuran bidan desa wilayah setempat. Hampir seluruh (96.0%) orangtua anak balita terpilih sebagai peserta program OTAG dikarenakan anak balita termasuk gizi buruk. Hampir seluruh (91.0%) ibu balita juga rutin mengikuti program OTAG. Sebagian besar (91.3%) ibu balita ikut serta dalam penyuluhan dan hampir seluruh (96.0%) ibu balita juga menilai topik penyuluhan yang diberikan oleh perwakilan dari dinas kesehatan sesuai dengan maksud program Orangtua Asuh Gizi (OTAG).
(41)
Situasi Konsumsi Pangan Kebiasaan Makan Anak Balita
Seseorang perlu makan untuk menjaga tubuhnya agar tetap sehat dalam melakukan segala proses fisiologi. Makanan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup karena ada yang berfungsi sebagai sumber tenaga, pembangun, dan pelindung serta pengatur berbagai proses didalam tubuh (Irianto 2004). Menurut Suhardjo (1989) bahwa kebiasaan makan pada akhirnya akan membentuk pola makan suatu masyarakat atau daerah.
Berdasarkan data pemberian kolostorum (Tabel 12) terlihat bahwa hampir seluruh anak balita (95.7%) diberikan kolostorum setelah dilahirkan dan hampir seluruh (89.1%) anak balita diberikan Air Susu Ibu (ASI) dengan frekuensi sering. Hampir seluruh anak balita (84.8%) diberi ASI (usia penyapihan) selama dua tahun, sedangkan jika dilihat dari kebiasaan makan anak, hampir seluruh (80.4%) cara ibu atau pengasuh dalam menghadapi anak yang tidak mau makan adalah dengan cara membujuk anak agar mau makan.
Berdasarkan orang yang biasa memberi makan (Tabel 12), seluruh anak balita (100.0%) yang memberi makan adalah ibu. Selain itu hampir seluruh (98.0%) ibu balita juga mengajarkan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebagian besar (76.1%) anak balita terbiasa mengkonsumsi makanan yang beragam. Sebagian besar (87.0%) anak balita juga terbiasa makan secara teratur dan hampir seluruh (95.7%) anak balita terbiasa makan tiga kali sehari. Berdasarkan jenis makanan yang disukai (Tabel 12), hampir separuh (41.3%) anak balita menyukai nasi, telur, sayur dan tahu, sedangkan hampir separuh (45.7%) anak balita memiliki makanan selingan yang paling banyak disukai adalah kue.
Data yang disajikan padaTabel 12 juga memperlihatkan bahwa lebih dari separuh anak balita (69.2%) tidak memiliki makanan pantangan, sedangkan hampir separuh anak balita (30.4%) memiliki makanan pantangan seperti ikan tongkol, udang, indomie dan telur. Bahan makanan tersebut dianggap berbahaya karena menyebabkan alergi. Dari kenyataan tersebut nampak bahwa alasan mereka tidak mengkonsumsi makanan tersebut tidak rasional, karena bahan makanan yang dipantang adalah sumber protein yang sangat diperlukan oleh tubuh terutama untuk pertumbuhan anak. Jika dilihat dari sikap ibu, sebagian besar (73.9%) ibu balita merasa senang jika anak menghabiskan makanan.
(42)
29
Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan kebiasaan makan
Jumlah Anak Balita Jenis n % Pemberian kolostrum -Ya -Tidak 44 2 95.7 4.3 Frekuensi ASI -Sering -Jika menangis 41 5 89.1 10.9 Usia penyapihan -2 tahun -< 2 tahun
39
7
84.8
15.2 Anak tidak mau makan
-Dibujuk -Dipaksa 37 9 80.4 19.6 Yang memberi makan
-Ibu -Nenek 46 0 100.0 0.0 Membiasakan cuci tangan
-Ya -Tidak 45 1 98.0 2.0 Makanan yang disukai
-Nasi, sayur
-Nasi, ikan, sayur, tahu -Nasi, telur, sayur, tahu -Lengkap 8 5 19 14 17.4 10.9 41.3 30.4 Makanan selingan -Kue -Nasi, sayur -Nasi, ikan, sayur -Lengkap 21 8 14 3 45.7 17.4 30.4 6.5 Frekuensi makan
- 2 kali - 3 kali
2 44 4.3 95.7 Makan teratur -Ya -Tidak 40 6 87.0 13.0 Konsumsi makanan beragam
-Ya -Tidak 35 11 76.1 23.9 Makanan pantangan -Ya -Tidak 14 32 30.4 69.2 Makanan Kesukaan -Ada -Tidak 42 4 91.3 8.7 Sikap ibu -Senang -Biasa 34 12 73.9 26.1
Tingkat Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan dan zat gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Makanan yang baik adalah makanan yang mengandung semua zat gizi yang penting dalam jumlah yang cukup dan seimbang untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hardinsyah dan Briawan 1994). Menurut Harper, Deaton dan Drinkel (1986) ada tiga faktor yang
(43)
mempengaruhi konsumsi pangan yaitu jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan dan pengetahuan gizi.
Tabel 13 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein Jumlah
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
n % TKE (%)
Lebih (≥100) 8 17.4
Baik (85-100) 11 23.9
Cukup (70-84.9) 13 28.3
Kurang (<70) 14 30.4
Jumlah 46 100.0
Rata-rata 804.7
±sd 192.8
TKP (%)
Baik (≥75) 14 30.4
Kurang (<75) 32 69.6
Jumlah 46 100.0
Rata-rata 35.1
±sd 8.4
Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita yang disajikan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa hampir separuh (30.4%) anak balita berada pada tingkat konsumsi energi kurang, sedangkan lebih dari separuh (69.6%) anak balita berada pada tingkat konsumsi protein kurang. Diduga hal ini terjadi karena sebagian besar keluarga anak balita memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Khomsan (2003) bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah mengkonsumsi makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada.
Status Gizi Anak Balita
Menurut Riyadi (2001) status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik atau buruk status gizinya. Faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi makan dan keadaan kesehatan (Soekirman 2000).
Berdasarkan penelitian gizi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen diperoleh hasil bahwa setiap anak balita yang sudah dikategorikan jatuh kedalam gizi buruk akan membutuhkan sejumlah 1.750 kalori dan 82,5 gram protein setiap harinya selama 90 hari berturut-turut (Rp 600.000)
(44)
31
untuk bisa kembali ke kondisi semula. Kondisi ini akan lebih baik bila didukung dengan makanan tambahan atau ringan bagi bayi dan balita tersebut. Hasil penelitian inilah yang mendasari komitmen jajaran kesehatan Kabupaten Bireuen menetapkan pembiayaan untuk perbaikan gizi, setiap anak balita gizi buruk hingga mencapai Rp 6.350 per hari untuk makanan pokok dan Rp 316 per hari untuk makanan ringan.
Berdasarkan status gizi anak balita, sebelum menjadi peserta program OTAG, sebagian besar (89.1%) anak balita berstatus gizi buruk. Setelah menjadi peserta program OTAG, angka tersebut menurun sampai 2.2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa anak balita peserta program OTAG mengalami peningkatan status gizi yang cukup signifikan. Hal ini menunjukan keberhasilan pemerintah dalam peningkatan status gizi anak balita, khususnya anak balita di wilayah Kabupaten Bireuen. Meskipun demikian masih terdapat hampir separuh (34.8%) anak balita yang berstatus gizi kurang.
Tabel 14 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi sebelum dan setelah menjadi peserta program OTAG
Sebelum Menjadi Peserta Program OTAG
Setelah Menjadi Peserta Program OTAG Status Gizi Anak
Balita
n % n %
Gizi baik 0 0.0 29 63.0
Gizi kurang 5 10.9 16 34.8
Gizi Buruk 41 89.1 1 2.2
Total 46 100.0 46 100.0
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Balita
Konsumsi pangan baik energi maupun protein pada anak balita salah satu faktor yang mempengaruhinya antara lain umur. Kebutuhan pangan harus dipenuhi dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap kesehatan (Hardinsyah 2002).
Berdasarkan umur anak balita, rata-rata konsumsi energi terbesar (917 kkal) terdapat pada anak balita dengan kelompok umur 25-36 bulan, begitu pula dengan rata-rata konsumsi protein terbesar (39,9 gr) yang berada pada kelompok umur 25-36 bulan, seperti yang ditunjukkan Tabel 15. Rata-rata konsumsi yang berbeda dapat disebabkan oleh kebiasaan makan masing-masing balita berbeda pada satu kelompok umur. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan (r = 0.348, p<0.05) antara umur dengan tingkat konsumsi energi. Hubungan positif
(45)
artinya semakin tinggi umur balita tingkat konsumsi energi rata-rata semakin tinggi.
Tabel 15 Rata-rata konsumsi energi dan protein berdasarkan umur anak balita
Energi Protein Umur Anak Balita
kkal sd % AKE gr sd % AKP
13-24 25-36 37-48 >48 633 917 768 824 157.3 207.5 152.1 168.9 48.7 70.6 59.2 63.8 29.8 39.9 32.7 35.6 9.1 8.1 8.4 6.1 93.2 124.6 102.2 111.2
Rata-rata 804 192.8 61.9 35.1 8.4 109.7
Berdasarkan besar keluarga (Tabel 16), rata-rata konsumsi energi terbesar (867 kkal) terdapat pada anak balita yang termasuk keluarga kecil, begitu juga dengan rata-rata konsumsi protein terbesar (35,3 gr). Besarnya jumlah anggota keluarga ikut menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Semakin besarnya jumlah anggota keluarga, jika pangan yang tersedia terbatas akan menyebabkan berkurangnya pangan yang didapat anak. Sehingga dapat menimbulkan gangguan status gizi pada anak anak balita (Suhardjo 1989). Dengan bertambahnya anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran keluarga terutama untuk makan sehari-hari semakin sulit. Sehingga kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi tidak mencukupi untuk masing-masing anggota keluarga (Sediaoetama 1991).
Tabel 16 Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita berdasarkan besar keluarga
Energi Protein Besar Keluarga
kkal sd % AKE gr sd % AKP
Kecil (≤ 4 orang) Besar (> 4 orang)
867 756 198.7 177.1 66.8 58.3 35.3 38.9 8.6 8.5 110.3 109.1
Rata-rata 804 192.8 61.9 35.1 8.4 109.7
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan (r= -0.122, p<0.05) antara besar keluarga dengan tingkat konsumsi protein. Hubungan negatif artinya semakin besar jumlah anggota keluarga tingkat konsumsi protein semakin rendah. Hal ini sesuai dengan Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya
(46)
33
pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata.
Tabel 17 Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita berdasarkan tingkat pendidikan ayah
Energi Protein Tingkat Pendidikan
Ayah kkal sd % AKE gr sd % AKP
SD 900 161 69.3 38.1 10.8 118.7
SMP 761 214.8 58.6 33.8 8.7 105.6
SMA 796 173.1 61.3 34.5 4.6 107.8
Diploma 728 44.3 56.1 34.4 1.9 107.5
Rata-rata 804 192.8 61.9 35.1 8.4 109.7
Berdasarkan tingkat pendidikan ayah (Tabel 17) terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi terbesar (900 kkal) terdapat pada ayah balita dengan tingkat pendidikan tamat SD sedangkan protein terbesar 38,1 gr (118.7%) terdapat pada ayah dengan tingkat pendidikan tamat SD. Namun demikian, hasil uji korelasi
Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi energi dan protein anak balita.
Tabel 18 Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita berdasarkan tingkat pendidikan ibu
Energi Protein Tingkat Pendidikan
Ibu kkal sd % AKE gr sd % AKP
SD 632 115.3 48.7 31.5 3.7 98.4
SMP 771 180.5 59.4 33.7 7.1 105.3
SMA 870 193.4 67.1 37.2 9.9 116.3
Rata-rata 804 192.8 61.9 35.1 8.4 109.7
Berdasarkan tingkat pendidikan ibu (Tabel 18) terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi terbesar (870 kkal) terdapat pada anak balita dengan tingkat pendidikan ibu tertinggi yaitu tamat SMA. Konsumsi energi anak balita sebagian besar diperoleh dari bahan pangan sumber karbohidrat yaitu nasi, begitu pula dengan rata-rata konsumsi protein terbesar (37,2 gr) terdapat pada anak balita dengan tingkat pendidikan ibu tamat SMA. Sumber protein yang disukai dan sering dikonsumsi anak balita adalah telur. Hasil uji korelasi Rank Spearman
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0.363, p<0.05) antara tingkat pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi. Hubungan positif artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu tingkat konsumsi energi semakin besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuliana (2004) yang menyatakan bahwa
(47)
pendidikan berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan. Selanjutnya Abdoerahman (1999) juga menyatakan bahwa anak dari ibu yang berpendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan tumbuh dan hidup lebih baik karena ibu yang berpendidikan lebih kreatif dan inovatif didalam pengasuhan dan perawatan anak termasuk didalam pemberian makan terhadap anak.
Tabel 19 Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita berdasarkan pendapatan Keluarga
Energi Protein Pendapatan Keluarga
kkal sd % AKE gr sd % AKP
<230.000 795 195.9 61.3 35.5 9.2 110.9
230.001 – 571.001 848 130.6 65.4 34.7 7.6 108.4
>571.001 792 228.4 61.1 36.6 10.5 114.4
Rata-rata 804 192.8 61.9 35.1 8.4 109.7
Berdasarkan pendapatan keluarga (Tabel 19) terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi terbesar (848 kkal) terdapat pada anak balita dengan pendapatan keluarga antara Rp 230.001-Rp 571.001, sedangkan rata-rata konsumsi protein terbesar (36,6 gr) terdapat pada anak balita dengan pendapatan keluarga lebih besar dari sama dengan Rp 571.001. Semakin besar pendapatan keluarga semakin besar kemungkinan orang tua untuk membeli bahan pangan sumber protein.
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0.313, p<0.05) antara tingkat pendapatan keluarga dengan tingkat konsumsi energi. Hubungan positif artinya semakin tinggi pendapatan keluarga, tingkat konsumsi energi juga semakin meningkat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Harper et al (1986) yaitu tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar bagi seluruh anggota keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah dan jenisnya.
Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Status Gizi Anak balita Setelah Menjadi Peserta Program OTAG
Berdasarkan status gizi anak balita (Tabel 20) terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi terbesar (863 kkal) berada pada anak balita yang berstatus gizi baik. Begitu pula dengan rata-rata konsumsi protein terbesar (40,9 gr) yang terdapat pada anak balita dengan status gizi baik. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
(48)
35
konsumsi protein dengan status gizi (r=0.630; p>0.01). Hubungan tersebut bersifat positif, artinya semakin besar konsumsi protein, status gizi anak balita semakin baik.
Tabel 20 Rata-rata konsumsi energi dan protein menurut status gizi anak balita Status Gizi
TKE dan TKP Baik Kurang Buruk
Energi
-kkal 863 694 780
-sd 189.9 161.5 118.1
-% AKE 66.5 53.5 60.1
Protein
-gr 40.9 31.4 36.6
-sd 8.7 6.5 11.1
-% AKP 114.4 98.1 127.8
Hal tersebut menggambarkan bahwa protein mempunyai peran yang cukup besar bagi status gizi anak. Menurut Sajogyo dkk (1994) makanan untuk anak cenderung tergolong rawan pangan, sebaiknya makanan mengandung banyak protein dengan mutu protein yang tinggi. Selain itu menurut Suhardjo dan Kusharto (1988) bahwa tubuh yang menerima cukup makanan bergizi akan mempunyai simpanan-simpanan protein untuk digunakan dalam keadaan darurat, tetapi bila dalam keadaan tidak memenuhi makanan menu seimbang atau mencukupi kebutuhan tubuh berlanjut terus, maka gejala-gejala kurang protein akan timbul.
(1)
Lampiran 1. Hasil Uji Korelasi Spearman Antara Karakteristik Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Balita
Varia bel Umur Ayah Umur Ibu Umur Balita Pendi dikan Ayah Pendi dikan
Ibu Besar Kel Penda patan % AKE % AKP STAT US GIZI SETE LAH Umur
Ayah 1.000 Umur
Ibu .795** 1.000 Umur
Anak .267 .102 1.000 Pendi
dikan Ayah
.017 .029 .070 1.000 Pendi
dikan Ibu
-.032 -.023 .046 .721** 1.000 Besar
Kel .363* .403** .020 -.196 -.209 1.000 Penda
patan .046 -.024 -.102 .380** .162* .137 1.000 %
AKE -.218 -.198 .348* -.090 .363* .026 .313* 1.000 %
AKP -.316* -.270 -.277 .005 .218* .122* .254 .735** 1.000 STAT
US GIZI SETE LAH
-.144 -.161 .492** .331* .248 -.281 .155 .015 .185 1.000
Variabel
Status
gizi TKE TKP
TKE -.018 1
(2)
Lampiran 2. Kartu Pencatatan Bahan Makanan Yang Dibeli Untuk Anak Asuh Gizi selama 30 hari
Nama AAGi :
Desa :
Puskesmas :
No Tanggal Bahan Makanan Yang
Dibeli Harga Total Keterangan
Bidan desa/
Kader Kesehatan desa Orang tua
(3)
Lampiran 3. Laporan Bulanan Bidan Desa Ke Puskesmas
Puskesmas :
Desa :
Kecamatan :
Masa Pemberian Bantuan :
N o
Nama
AAGi Umur
Nama Orang
tua
BB sebelum mendapat
bantuan
BB setelah mendapat bantuan 30
hari
Status gizi saat ini
Ket
..., Tgl ... Bidan Desa
(4)
Lampiran 4. Laporan Bulanan Puskesmas Ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen
Puskesmas :
Kecamatan :
Tanggal/Bulan/Tahun :
Nama Desa
Nama Anak balita
Umur Nma Ortu
BB sbl bantuan
BB stl bantuan
30 hari
Masa bantuan
(30 hr) dr tgl ...s/d
tgl....
Status gizi saat ini
K e t
Mengetahui, ..., Tgl ... Ka. Puskesmas Tenaga Pelaksana Gizi
( ) (__________________) Nip. Nip.
(5)
Lampiran 5. Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2)
Tampak Depan Kwitansi
No : Tahun :
Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2)
Sudah terima dari : Orang Tua Asuh Gizi (OTAG), ...
Uang banyaknya :
Untuk Pembayaran biaya pembelian makanan selama 30 hari kepada AAGi sebagaimana tercantum namanya di belakang kwitansi ini, dengan perincian masing-masing AAGi @ Rp 200 000,-
Yang membayar, (OTAG)
Nama : ...Tgl ... Pekerjaan : Yang menerima : Alamat : Nama` :
Pekerjaan : Bidan desa ... Puskesmas :
Terbilang Rp.
Mengetahui, Saksi:
Ka. Dinkes Kab. Bireuen Ka. Puskesmas c/q. Subdinas Pembinaan Kesga ...
( ) ( ) Nip. Nip.
(6)
Lampiran 6. Surat Tanda Terima Bantuan Biaya (ST2B2)
Tampak Belakang Kwitansi