Analisis Kelayakan Pengelolaan Penyediaan Kompos untuk Pembangunan Hutan Kota Jakarta (Studi Kasus di Kebun Pengomposan Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan)

ANALISIS KELAYAKAN PENGELOLAAN
PENYEDIAAN KOMPOS UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN
KOTA JAKARTA
(Studi Kasus di Kebun Pengomposan Karinda,
Lebak Bulus, Jakarta Selatan)

PUSPA DIVA NUR AQMARINA

MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelayakan
Pengelolaan Penyediaan Kompos untuk Pembangunan Hutan Kota Jakarta (Studi
Kasus di Kebun Pengomposan Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014
Puspa Diva Nur Aqmarina
NIM E14100062

ABSTRAK
PUSPA DIVA NUR AQMARINA. Analisis Kelayakan Pengelolaan Penyediaan
Kompos untuk Pembangunan Hutan Kota Jakarta (Studi Kasus di Kebun
Pengomposan Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan). Dibimbing oleh DUDUNG
DARUSMAN.
Hutan Kota Srengseng (HKS) merupakan salah satu hutan kota di Jakarta.
Permasalahan utama HKS ialah banyaknya sampah yang sengaja dibuang warga
sekitar HKS ke dalam kawasan. Dibutuhkan dasar pemahaman terkait pengelolaan
sampah yang baik dan benar. Oleh sebab itu, dilakukan studi kasus pengelolaan
sampah menjadi kompos di Kebun Karinda, Jakarta Selatan. Diketahui nilai

tambah dan kelayakan usaha pengomposan sehingga dapat diimplementasikan
oleh HKS sebagai strategi penyediaan kompos dimasa mendatang dan agar bisa
dijadikan dasar penyuluhan kepada warga sekitar HKS tentang pengelolaan
sampah organik. Nilai tambah pengeloaan sampah sebesar Rp 542.35/kg atau
75.43%. Pengomposan Karinda tergolong layak dalam aspek pasar, manajemen,
teknik, sosial, dan finansial. Berdasarkan analisis finansial, NPV yang didapat dari
usaha sebesar Rp 33 492 850 dengan BCR sebesar 1.12 dan IRR sebesar 45%.
Pemanfaatan sampah kebun HKS dapat menghasilkan 12 474 kg pupuk kompos
setiap tahun. Pupuk ini dapat dijadikan penyediaan pupuk kompos untuk
penghijauan HKS pada masa yang akan datang.
Kata kunci: hutan kota, kelayakan usaha, kompos, nilai tambah

ABSTRACT
PUSPA DIVA NUR AQMARINA. Feasibility Analysis of Compost Supply
Management for Jakarta Urban Forest Development (Case Study at Karinda
Garden Composting, Lebak Bulus, South Jakarta). Supervised by DUDUNG
DARUSMAN
Srengseng Urban Forest (SUF) is one of the urban forest in Jakarta. SUF’s
main problem is the amount of waste that is deliberately thrown away by residents
around the SUF area . It takes a basic understanding of proper waste management.

Therefore, a case study was conducted on the management of turning waste into
compost at Karinda Garden, South Jakarta. As well to know the added value and
feasibility of composting, so that it can be implemented by SUF as a strategy in
providing compost in future times to come and it can be used as basic education to
the residents around SUF about how to manage the organic waste. The added
value through waste management of Rp 542.35/kg or by 75.43%. Karinda Garden
composting is considered feasible in aspects of market, management, technique,
social, and financial. Based on financial analysis, the NPV obtained from
operations amounted up to Rp 33 492 850 with BCR of 1.12 and IRR of 45 %.
SUF garden waste utilization can produce 12 474 kg of compost in a year. This
fertilizer can be used to provide compost in the future for greening the SUF area.
Keywords: added value, compost, feasibility, urban forest

ANALISIS KELAYAKAN PENGELOLAAN
PENYEDIAAN KOMPOS UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN
KOTA JAKARTA
(Studi Kasus di Kebun Pengomposan Karinda, Lebak Bulus,
Jakarta Selatan)

PUSPA DIVA NUR AQMARINA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Pengelolaan Penyediaan Kompos untuk
Pembangunan Hutan Kota Jakarta (Studi Kasus di Kebun
Pengomposan Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan)
Nama
: Puspa Diva Nur Aqmarina
NIM
: E14100062


Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MScFTrop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan
sebagai syarat kelulusan pada Program Studi Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian ini diselesaikan berdasarkan pengamatan
langsung di beberapa daerah di Jakarta dengan mengangkat judul Analisis
Kelayakan Pengelolaan Penyediaan Kompos untuk Pembangunan Hutan Kota

Jakarta (Studi Kasus di Kebun Pengomposan Karinda, Lebak Bulus, Jakarta
Selatan).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dudung Darusman,
MA selaku dosen pembimbing. Apresiasi penulis sampaikan kepada Bapak dan
Ibu Djamaludin, Bapak dan Ibu Artomo, Ibu Las, staf Karinda maupun HKS, dan
pihak lain yang membantu dalam proses pengambilan data. Terima kasih
senantiasa terucap untuk Papa, Mama, Belva, serta seluruh keluarga besar, dan
sahabat (Ayu, Tiwi, Adis) yang tak kunjung bosan memberi dukungan dengan
limpahan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada seluruh teman seperjuangan
MNH 47, seluruh Rimpala khususnya R15 (Mentari Purwakasiwi, Galuh Ajeng,
Fajar Alif, Anxious Yoga, Nurani Hardikananda, Nursinta Arrifiani, Mentari
Medinawati, Iqbal Nizar, Fitri Maharani, Anggi Gustiani) yang senantiasa
memberi semangat. Penulis berharap agar karya ilmiah ini bermanfaat bagi
pembaca. Apabila ada kekurangan pada penulisan karya ilmiah ini penulis mohon
agar dapat dimaklumi.

Bogor, November 2014

Puspa Diva Nur Aqmarina


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODOLOGI

2


Metode Pengumpulan Data

2

Pemilihan Responden

3

Alat dan Bahan

3

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

6


Kondisi Umum Lokasi Penelitian

6

Pola Operasional Pengomposan

8

Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Pengomposan

11

Potensi Kompos HKS

19

SIMPULAN DAN SARAN

21


Simpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Format Perhitungan Nilai Tambah Hayami
Input, Output, dan Harga
Nilai Tambah
Input Sumbangan Lain dalam Analisis Nilai Tambah
Pendapatan dan Keuntungan dari Nilai Tambah
Proyeksi Penerimaan dan Penjualan Pupuk
Hasil Analisis Finansial Usaha Pengomposan Karinda

3
11
12
12
13
16
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kondisi Pengomposan Karinda
Kondisi HKS
Komposter: A. Bambu; B. Bata; C. Semen; D. Keranjang
Proses Pencampuran Bahan Organik dengan Aktivator
Bahan Baku Sampah Kebun
Kemasan Kompos Karinda 7 kg
Struktur Organisasi Pengomposan Karinda
Kondisi Pelatihan dan Penyuluhan Pengomposan
Kondisi Tanah HKS
Timbunan Sampah Warga di HKS

7
7
8
11
12
14
15
16
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Denah Lokasi Pengomposan Karinda
Peta Kawasan HKS
Alat dan Bahan Pengomposan
Komponen Arus Masuk
Komponen Arus Keluar
Cashflow

23
24
25
26
27
28

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan kota ialah hamparan lahan tempat tumbuhnya pepohonan yang
kompak dan rapat dalam wilayah perkotaan di tanah negara maupun hak yang
ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang (Peraturan Pemerintah No
63 Tahun 2002). Hutan Kota Srengseng (HKS) merupakan salah satu hutan kota
yang terletak di Jakarta Barat. Kawasan HKS ditetapkan sebagai hutan kota
berdasarkan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 202 tahun 1995 yang
memiliki fungsi sebagai wilayah resapan air, plasma nutfah, wisata, dan pusat
aktivitas masyarakat (DKPP 2011).
HKS memiliki kendala dalam pengelolaannya yaitu banyak masyarakat
sekitar hutan kota yang dengan sengaja membuang sampah rumah tangganya ke
dalam kawasan HKS. Berdasarkan penelitian (Saputro 2013), perilaku kurang
bertanggungjawab masyarakat sekitar HKS disebabkan akibat situasi, kondisi
ekonomi, dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap dampak perilaku
mereka. Sampah tersebut mengganggu fungsi HKS sebagai paru-paru kota dan
keindahan kota. Saat hutan kota dipenuhi sampah, maka akan berkuranglah
kualitas lingkungan hutan kota tersebut. Sebelumnya pernah dilakukan
pendekatan dengan masyarakat sekitar HKS, namun tidak ada reaksi dari
masyarakat.
Dibutuhkan adanya penyuluhan lebih lanjut mengenai penanganan sampah
di HKS. Masyarakat perlu dibekali ilmu pengelolaan sampah rumah tangga.
Sampah akan memiliki nilai tambah saat sudah diubah bentuknya.
Oleh sebab itu, dilakukan studi kasus usaha pengomposan skala rumah
tangga di Kebun Pengomposan Karinda, Perumahan Bumi Karang Indah (BKI),
Jakarta Selatan untuk mengidentifikasi pola operasional, nilai tambah, dan
kelayakan usaha yang dihasilkan dari pengeololaan sampah agar menguatkan
masyarakat untuk melakukan hal serupa demi mendukung pemeliharaan hutan
kota supaya tidak ada lagi kegiatan pembuangan sampah ke dalam kawasan HKS
dan sebagai pemenuhan kebutuhan kompos HKS dimasa mendatang dengan
pemanfaatan serasah daun agar dipercepat proses dekomposisinya menjadi
kompos.
Perumusan Masalah
Permasalahan sampah menjadi salah satu permasalahan yang harus fokus
ditangani pihak HKS. Di beberapa sudut hutan kota, terdapat tumpukan sampah
yang mengganggu keindahan hutan kota disertai bau yang tak sedap. Hal ini
menyebabkan perlunya dilakukan studi kasus pengelolaan sampah di Kebun
Pengomposan Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan agar dapat dianalisis pola
operasional, nilai tambah pengelolaan sampah organik menjadi kompos dan
kelayakan usaha untuk digunakan sebagai bahan penyuluhan kepada warga sekitar
HKS serta digunakan sebagai dasar bagi pengelola HKS dalam penerapan
pengelolaan sampah di masa yang akan datang guna pemenuhan kebutuhan pupuk
kompos untuk pemeliharaan tanaman di dalam hutan kota.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui pola operasional pengelolaan sampah organik menjadi kompos
di Kebun Pembibitan Karinda agar bisa dikembangkan di lokasi lainnya.
2.
Menganalisis nilai tambah dan kelayakan usaha pengelolaan sampah
organik menjadi kompos.
3.
Menghitung potensi sampah organik Hutan Kota Srengseng untuk dijadikan
pemenuhan kompos bagi pemeliharaan hutan kota.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Wawasan dan pengetahuan bagi khalayak terkait pola operasional
pengelolaan sampah organik menjadi kompos.
2.
Masukan bagi pengembang usaha Karinda terkait nilai tambah kompos dan
kelayakan usaha.
3.
Masukan bagi pengelola hutan kota agar mengimplementasikan pola
pengomposan pada kawasan hutan kota sebagai pertimbangan kebijakan
pembangunan hutan kota dan sebagai acuan dasar melakukan penyuluhan
kepada warga sekitar hutan kota.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.
Analisis kualitatif ialah pola operasional pengomposan dan analisis kuantitatif
adalah analisis nilai tambah pengelolaan sampah organik menjadi kompos dengan
bantuan nilai tambah Metode Hayami dan kelayakan usaha pengomposan dari
segi finansial serta non finansial. Hasil analisis akan dijadikan acuan pihak HKS
untuk penyuluhan kepada masyarakat sekitar HKS untuk menanamkan pola
pengelolaan sampah terpadu agar tercipta kesadaran masyarakat sekitar HKS
untuk tidak lagi membuang sampah ke dalam kawasan HKS dan dapat dijadikan
landasan pihak HKS membuat pengomposan sederhana di kawasan HKS guna
membantu mempercepat proses dekomposisi serasah sebagai pemenuhan
kebutuhan pupuk kompos HKS di masa yang akan datang.

METODOLOGI
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei deskriptif yaitu
pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan langsung, dan dokumentasi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapang, wawancara
dipandu kuesioner. Data sekunder didapat melalui studi literatur yakni pencarian
informasi dengan mengutip dari buku, jurnal, surat kabar, dan dari media lainnya
sebagai bahan pelengkap.

3

Pemilihan Responden
Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau secara
sengaja. Metode purposive sampling adalah metode pengambilan contoh yang
dipilih secara sengaja berdasarkan tujuan tertentu sesuai keadaan yang
dikehendaki (Walpole 1993). Pertimbangan responden adalah pihah-pihak yang
terkait langsung dalam kegiatan usaha pengomposan dan pihak pengelola hutan
kota yakni Departemen Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta bagian Kehutanan.
Jumlah responden tidak ditentukan karena mementingkan responden yang dapat
memberikan informasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah kamera, alat perekam, alat tulis,
kalkulator, laptop, kuesioner, software Microsoft Word, dan Microsoft Excel.
Prosedur Analisis Data
Analisis Nilai Tambah Metode Hayami
Menurut Chelst dan Canbolat (2011), nilai tambah adalah nilai yang
menyatakan besarnya nilai yang diberikan dari suatu proses produksi terhadap
nilai jual suatu produk. Format perhitungan nilai tambah Hayami disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1 Format Perhitungan Nilai Tambah Hayami
Keluaran (Output) Masukan (Input) dan Harga
Output/Produk Total (kg/Proses Produksi)
Input Bahan Baku (kg/Proses Produksi)
Input Tenaga Kerja (HOK/Proses Produksi)
Faktor Konversi (kg Output/kg Bahan Baku)
Koefisien Tenaga Kerja (HOK/kg Bahan Baku)
Harga Output (Rp/kg)
Pendapatan dan Keuntungan Nilai Tambah
Harga Input Bahan Baku (Rp/kg)
Sumbangan Input Lain (Rp/kg)
Nilai Output (Rp/kg)
a. Nilai Tambah (Rp/kg)
b. Rasio Nilai Tambah (%)

Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/kg)
Bagian Tenaga Kerja (%)
Keuntungan
Bagian Keuntungan

Keterangan
A
B
C
D = A/B
E = C/B
F
Keterangan
H
I
J=DXF
K = J-I-H
L % = K/J X 100%

M=ExG
N % = M/K x 100%
O = K-M
P = O/K x 100%

Sumber: Marimin dan Magfiroh (2013)

Suatu proses produksi memiliki 2 faktor yakni faktor teknis dan pasar.
Faktor teknis terdiri dari kapasitas produk, jumlah bahan baku, dan tenaga kerja.
Faktor pasar terdiri dari harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, nilai

4
input-input lain selain input bahan baku, dan tenaga kerja. Secara matematis,
perhitungan nilai tambah Hayami et al. (1987):
Nilai tambah= f (K,B,T,U,H,h,L)
Keterangan:

K= Kapasitas produksi (kg)
B= Bahan baku digunakan (kg)
T= Tenaga kerja
U= Upah (Rp)
H= Harga output (Rp/kg)
h= harga bahan baku
L= Nilai input lainnnya

Analisis Aspek Kelayakan Usaha
Studi kelayakan diperlukan untuk mengetahui gambaran usaha yang sedang
dijalankan atau akan dijalankan. Studi kelayakan dapat dijadikan pedoman usaha
dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan Umar (2005), studi kelayakan dinilai
dari aspek non keuangan meliputi aspek pasar, teknis, manajemen, dan sosial.
Aspek keuangan yang dinilai dari analisis finansial berdasarkan pemasukan dan
pengeluaran.
Kelayakan Usaha Aspek Non Keuangan
Berdasarkan Kotler (2002), pemasaran adalah keseluruhan sistem yang
berhubungan dengan kegiatan usaha untuk tujuan merencanakan, menentukan
harga, mempromosikan barang hingga mendistribusikan barang dan jasa untuk
memuaskan kebutuhan konsumen.
Menurut Umar (2005), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam aspek
teknis adalah lokasi usaha, sumber bahan baku, kapasitas produksi, jenis, dan
jumlah investasi yang diperlukan. Pemilihan lokasi yang tepat akan mengurangi
dampak negatif dan mendapatkan lokasi dengan banyak faktor produksi, akan
terjadi pula peminimuman biaya.
Aspek manajemen adalah kegiatan yang mengatur adanya kerjasama
antara sekelompok orang dalam ikatan formal dengan memiliki tujuan dan
kepentingan bersama. Kegiatan ini akan tercapai dengan pembagian tugas dan
tanggung jawab yang teratur (Hasibuan dan Malayu 1997).
Aspek sosial harus mempertimbangkan secara teliti pengaruh negatif dan
positif dari kegiatan yang dilakukan di daerah tersebut. Dipertimbangkan apakah
usaha memberi manfaat sosial (Gitinger 1986).
Kelayakan Usaha Aspek Finansial
Analisis kelayakan usaha di Pengomposan Karinda memakai analisis
finansial berdiskonto. Analisis finansial diperoleh dari perhitungan besarnya
manfaat dan biaya yang sedang berlangsung dalam jangka waktu tertentu sesuai
harga pasar yang disusun dalam cashflow.
Analisis kelayakan usaha diperlukan untuk menilai tingkat kelayakan usaha
pengomposan. Analisis kelayakan usaha aspek finansial dilakukan dengan
pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit
Cost Ratio (BCR).
a. Net Present Value (NPV)

5
NPV adalah manfaat bersih sekarang yang diperoleh selama umur
usaha. NPV adalah selisih antara nilai sekarang (present value) dari
manfaat (benefit) dari biaya pada suku bunga tertentu. Jika suatu usaha
memiliki NPV > 0 maka usaha layak dijalankan. Apabila NPV ≤ 0 maka
usaha tidak layak secara finansial.


Keterangan:
Bt = Total penerimaan usaha pengomposan pada tahun ke-t
Ct = Total biaya usaha pengomposan pada tahun (t)
i = Bunga yang ditetapkan
n = Umur ekonomis usaha pengomposan

b. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah persentase tingkat pengembalian investasi yang
diperoleh selama usaha yang dinyatakan dalam persen. Jika IRR usaha
sama dengan tingkat suku bunga, maka NPV tersebut sama dengan nol
sehingga jika IRR ≥ tingkat suku bunga yang ditetapkan, usaha layak
dijalankan. Jika IRR < tingkat suku bunga, maka usaha tidak layak
dijalankan.

Keterangan :
i1= Discount Rate yang menghasilkan NPV positif
i2= Discount Rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV1= Nilai bersih sekarang positif
NPV2= Nilai bersih sekarang negatif

c. Benefit Cost Ratio (BCR)
BCR adalah besarnya nilai tambahan manfaat dari tiap biaya
sebesar 1 rupiah. BCR adalah rasio manfaat dan biaya yang diperoleh bila
nilai sekarang manfaat dibagi dengan nilai sekarang biaya. Jika BCR ≥ 1
maka usaha layak dijalankan. Apabila nilai BCR < 1, maka usaha tidak
layak dijalankan.



Keterangan:
Bt = Penerimaan usaha pengomposan
Ct = Biaya usalah pengomposan
i = Tingkat bunga yang ditetapkan
n = Umur ekonomis usaha pengomposan

Analisis kelayakan finansial menggunakan beberapa dasar perhitungan, yaitu:
1. Permintaan pupuk organik (kompos) cukup potensial.
2. Biaya investasi pembuatan bangunan dibiayai oleh Yayasan Surya
Andana Asih sebesar Rp 15 000 000.

6

3. Pemasukan dari pelatihan yakni sebanyak 2 kali pelatihan setiap
bulannya, sehingga setiap tahun sebanyak 48 kali pelatihan dengan
biaya Rp 25 000 sekali pelatihan untuk setiap orangnya. Dalam 1 kali
pelatihan ada 20 orang peserta.
4. Pemasukan dari penjualan keranjang Takakura setiap tahunnya
sebanyak 120 sampai 200 keranjang. Harga jual setiap keranjang Rp
75 000 sampai Rp 105 000.
5. Warga perumahan menyumbang per bulan sebesar Rp 10 000 per
kepala keluarga (50 KK) di awal tahun 2005 dan pada tahun 2006
sampai 2015 menyumbang Rp 15 000 per KK sebagai pengganti nilai
sampah dalam pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
6. Tidak ada biaya sewa lahan karena sudah mendapat pinjaman dari
kontraktor tanpa harus membayar sewanya.
7. Usia proyek ditentukan 10 tahun, hal ini untuk mengantisipasi adanya
perubahan harga input produksi yang terlalu besar pada tahun
berikutnya.
8. Produksi kompos pada tahun awal tahun 2006 sampai 2010 sebanyak
4000 kg per tahun dan pada 2011 sampai 2015 mencapai 4500 kg
setiap tahunnya.
9. Harga yang digunakan dalam perhitungan biaya adalah harga beli
tahun 2014.
10. Biaya utilitas (air dan listrik) dianggap sama sebesar Rp 1 200 000
setiap tahun, karena sudah termasuk biaya utilitas pemilik usaha yang
digabung dengan pengeluaran rutin rumah tangga.
11. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 7.5% yakni mengacu pada
rata-rata tingkat suku bunga BI (Bank Indonesia) Agustus 2014.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kebun Pembibitan Pengomposan Karinda,
Perumahan Bumi Karang Indah Blok C2 No. 28, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Lahan 300 m2 dimanfaatkan sepasang suami istri Ir Djamaludin Suryohadikusumo
dan Dra Sri Murniati Djamaludin, Apt, MS untuk aktif melakukan pengomposan.
Pengomposan Karinda dimulai sejak tahun 2006 dengan berlatar-belakang
kepedulian terhadap lingkungan tempat tinggal agar tetap terjaga kebersihannya.
Hingga saat ini Karinda dijadikan tempat percontohan, penyuluhan, dan pelatihan
pengelolaan sampah terpadu. Tercatat lebih dari 11 000 peserta sudah belajar
pengomposan di Karinda. Kondisi Karinda dapat dilihat dalam Gambar 1.
Penelitian juga dilakukan di HKS yakni hutan kota buatan yang dibangun di
atas lahan seluas 15 ha. Letak HKS ialah di jalan Haji Kelik, Kelurahan Srengseng,
Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Semula HKS merupakan TPS (Tempat
Pembuangan Sampah) di Srengseng. Sejak tahun 1995 dilakukan penanaman jenis
tanaman kehutanan, pelindung, maupun tanaman buah oleh Dinas Kehutanan DKI

7
Jakarta. Hingga saat ini sudah ada lebih dari 65 jenis pohon yang ditanam di HKS.
Pohon-pohon yang tumbuh antara lain adalah jati, akasia, flamboyant, ketapang,
dan mahoni. Kawasan ini merupakan bagian dari formasi aluvial, endapan
pematang pantai, dan tuf banten. Tapak topografi bervariasi dari datar hingga
curam (0 hingga lebih dari 25%). Fungsi kawasan HKS ialah sebagai kawasan
lindung flora fauna, sarana rekreasi, wahana penelitian, plasma nutfah, sarana
bermain dan pelatihan. Potensi rekreasi HKS cukup memadai karena dilengkapi
beberapa fasilitas. Fasilitas yang ada di HKS yakni taman bermain, danau buatan,
stadium tempat berkumpul, papan panjat, dan tempat parkir yang memadai.
Kondisi fasilitas HKS seperti papan panjat sudah tidak begitu baik keadaannya.
Meskipun begitu, tidak menurunkan minat pengunjung untuk berkunjung setiap
minggunya. Jumlah pekerja di HKS sebanyak 10 orang yang bertugas menjaga
kawasan HKS, memelihara seluruh tanaman yang ada, serta menjaga fasilitas
yang sudah tersedia. Kondisi HKS tertera pada Gambar 2.

Gambar 1 Kondisi Pengomposan Karinda

A
Gambar 2 Kondisi HKS (A. Stadium Pertunjukan; B. Danau)

B

8
Pola Operasional Pengomposan
Pengomposan adalah cara alamiah mengembalikan material organik ke
dalam bentuk penggemburan tanah. Proses pengomposan adalah proses
dekomposisi materi organik menjadi pupuk kompos melalui reaksi biologis
mikroorganisme secara aerobik terkendali (Djamaludin dan Wahyono 2006).
Wadah pengomposan yang digunakan bisa beragam, berupa kotak, kayu,
bambu, drum 200 liter, semen, barang bekas, atau pun bak dari batu bata yang di
susun selang-seling berukuran 80 x 80 x 100 cm. Sirkulasi udara dibuat dengan
melubangi wadah bagian belakang dan dasarnya. Wadah pun dilengkapi tutup.
Wadah pengomposan tertera pada Gambar 3.

Gambar 3 Komposter: A. Bambu; B. Bata; C. Semen; D. Keranjang
Jenis Pengomposan
Terdapat 2 jenis pengomposan, yakni pengomposan aktif dan pasif.
Pengomposan aktif ialah pengomposan yang memerlukan bantuan manusia
memberikan upaya pengolahan supaya mempercepat pengomposan dibantu oleh
bakteri aerob. Pengomposan pasif adalah pengomposan yang tidak dilakukan
perlakuan, hanya membiarkan tumpukan sampah terdekomposisi alami dengan
bantuan bakteri anaerob.
Pengomposan aktif pada intinya melakukan pengomposan di dalam wadah
pengomposan dengan memperhatikan sistem pengairan, sirkulasi udara, suhu, dan
komposisi sampah agar pengomposan dapat terjadi dengan baik tanpa
mengeluarkan bau tak sedap. Pengomposan pasif dapat dilakukan apabila
memiliki pekarangan yang luas.
Faktor yang Penting Diperhatikan saat Pengomposan
Berdasarkan Djamaludin dan Wahyono (2006), beberapa faktor yang
penting diperhatikan saat melakukan pengomposan:
a. Perbandingan C/N
Perbandingan sampah coklat (kaya karbon) : sampah hijau (kaya nitrogen)
yakni 1:2 atau 1:3.
b. Suhu Pengomposan
Suhu tumpukan dijaga sekitar 55ºC pada 2 minggu pertama dan akan
menurun mendekati suhu ruangan saat aktivitas mikroba menurun apabila
mendekati pematangan kompos.
c. Aerasi

9

d.

e.
f.

g.

h.

Mikroba aerob membutuhkan udara dalam proses pengomposan. Cara
menjaga kestabilan aerasi adalah sering diaduk agar memasukkan udara
segar. Pengadukan dilakukan minimal 1 minggu sekali.
Kelembaban
Dibutuhkan kelembaban 50-60%. Jika sampah terlalu kering maka
mikroorganisme kekurangan air sehingga pengomposan akan berjalan
lambat. Jika terlalu basah maka ruang antar partikel tersumbat sehingga
udara tidak bisa masuk sehingga mikroba aerob mati dan digantikan
dengan mikroba anaerob yang menyebabkan pembusukan sehingga
menghasilkan bau busuk selama proses pengomposan. Cara untuk
menjaga kelembaban tetap stabil adalah dengan selalu menutup sampah
yang akan dikomposkan agar tidak terkena air hujan langsung.
Tingkat Keasaman (pH)
Pengomposan ideal akan terjadi pH basa yakni antara kisaran 5-8
Ukuran Partikel
Ukuran partikel berpengaruh terhadap aerasi dan efektivitas luas
permukaan partikel yang diuraikan mikroba.
Ukuran Wadah
Ukuran wadah pengomposan yang ideal adalah 1x1x1 m karena pada
ukuran ini dapat dipertahankan suhu dan kelembabannya sehingga masih
ada ruang untuk udara segar saat kegiatan pembalikan.
Aktivator
Aktivator adalah bahan yang dapat mempercepat penguraian bahan
organik. Penggunaan aktivator dapat meningkatkan proses pengomposan
meskipun tidak terlalu nyata. Terdapat 2 jenis aktivator yakni aktivator
alami (kompos matang, kotoran ternak, topsoil) dan aktivator buatan
(EM4, MOL, air gula, dll).

Proses Pengomposan Aktif
Tahapan melakukan pengomposan sampah dapur adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan komposter, ukurannya bergantung volume sampah
dapur yang tersedia. Didalamnya sudah diberikan ⅓ kompos matang
atau tanah subur sebagai pemancingnya. Rincian alat dan bahan
pengomposan tertera pada Lampiran 3.
2. Memisahkan sampah organik dapur mudah membusuk (tulang, daging,
susu, keju, kotoran hewan, dan ikan) karena mengundang lalat dan
belatung.
3. Mengecilkan sampah dapur yang sudah dipisahkan (sisa sayuran, kulit
buah, dan makanan) dengan mencacahnya.
4. Memasukkan sampah dapur yang sudah dicacah kedalam komposter.
Perhatikan kelembabannya, jika terlalu kering bisa diberikan sedikit air.
Namun, jika terlalu basah tambahkan lagi kompos matang atau serbuk
gergaji sebagai penambah unsur karbon. Campur rata kompos matang
dengan sampah dapurnya.
5. Menutup komposter sehabis melakukan pengomposan agar suhu dan
kelembaban tetap terjaga.
6. Melakukan penambahan sampah dapur dan pengadukan tumpukan
sampah setiap harinya. Pengadukan dilakukan setiap minggu.

10
7. Melakukan tahapan yang sama hingga kompos sudah matang saat
berusia 6-7 minggu yaitu saat kompos sudah hitam dengan struktur
kompos remah.
8. Mengayak kompos yang sudah matang lalu disimpan ke dalam wadah
penyimpanan yang terbebas dari kelembaban berlebih.
Tahapan Pengomposan Sampah Kebun adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan komposter bervolume 100 x 100 x 100 cm dengan
sirkulasi udara baik.
2. Memperhatikan komposisi sampah hijau dan coklat sebesar 2:1 atau
3:1. Bahan yang kaya karbon berciri kering, kasar, berserat, dan
berwarna coklat; sedangkan bahan yang kaya nitrogen berciri sampah
daun segar, potongan rumput, sampah dapur, dan kotoran ternak.
3. Memisahkan bagian daun dengan ranting sebab ranting akan lebih sulit
terdekomposisi. Cacahlah sampah apabila ukurannya masih besar agar
memudahkan dekomposisi.
4. Gunakan aktivator seperti EM4 dan air gula sebagai biang maupun
pemancing mikroba. Takaran memberikan EM4 adalah hanya
sebanyak 1 cc untuk 1 kg sampah. Isi 1 tutup botol EM4 adalah 10 cc
sehingga digunakan untuk 10 kg sampah kebun ditambah dengan 1
liter air. Dicampur pula dengan air gula merah dengan perbandingan ½
kg gula merah untuk 1 liter air. Takaran pemberian air gula merah
sama dengan EM4. Proses pengomposan akan tetap berjalan meskipun
tidak diberikan aktivator. Proses pencampuran aktivator dilihat pada
Gambar 4.
5. Menata sampah kebun di dalam komposter bertujuan agar menghindari
adanya ruang yang kosong. Periksa kelembaban airnya. Saat kering
maka ditambahkan air dan saat terlalu basah hendaknya air dikurangi
dengan memadatkan sampah kebun sampai ada air yang terbuang dari
bagian bawah wadah. Kelembaban baik ialah saat bahan baku
digenggam terasa seperti spons basah yang sudah diperas.
6. Menghindarkan kompos terkena air hujan secara langsung, sehingga
dibutuhkan penutup wadah komposter. Penutup digunakan untuk
menjaga temperatur agar tetap tinggi dan menghindari binatang
pengganggu yang masuk.
7. Dibutuhkan pengadukan setiap 3 hari sekali atau paling tidak 1 minggu
sekali untuk menjaga kondisi aerobik optimal. Pengadukan
dimaksudkan mempercepat proses pengomposan, menjaga tumpukan
tetap panas, membuat tumpukan tidak memadat, dan mencegah
timbulnya bau busuk.
8. Pengecekan proses pengomposan berjalan baik adalah dengan
memeriksa suhunya dengan termometer pada hari kedua. Jika suhu
diatas 55ºC maka pengomposan berjalan baik. Bila tidak ada
termometer, gunakan sebatang kayu 30 cm yang dimasukkan ke dalam
tumpukan kompos selama 5 menit. Apabila saat diangkat kayu terasa
panas maka proses pengomposan berjalan baik, namun apabila saat
diangkat kayu hanya hangat maka periksa kelembaban air maupun
udaranya.

11
9. Memanen kompos bisa dilakukan saat kompos berusia 6-8 minggu.

Gambar 4 Proses Pencampuran Bahan Organik dengan Aktivator
Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Pengomposan
Analisis Nilai Tambah
Proses pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos akan
menyebabkan adanya nilai tambah pada sampah organik yang sebelumnya tidak
memiliki nilai pasar menjadi barang yang bernilai pasar. Nilai tambah adalah
penambahan nilai yang terdapat pada suatu barang setelah dilakukan pengolahan
lebih lanjut sehingga nilai barang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Produksi kompos di pengomposan Karinda membutuhkan waktu 6 hingga 8
minggu untuk setiap siklus produksi. Perhitungan nilai tambah menggunakan
estimasi waktu 8 minggu. Perhitungan memakai hasil panen kompos bulan
Agustus 2014. Perhitungan difokuskan pada nilai tambah dari sampah kebun.
Perbandingan input, output, dan harga dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Input, Output, dan Harga
Variabel
Output (Kg)
Input (Kg)
Faktor konversi (Rendemen)
Input Tenaga Kerja (HOK)
Koefisien Tenaga Kerja
Harga Output (Rp /Kg)

Perhitungan
604
1800
0.34
36
0.02
2143

Berdasarakan Tabel 2, input yang digunakan adalah sampah organik daun
dari Perumahan BKI yang diukur dengan satuan kg bahan baku. Input bahan baku
dapat dilihat pada Gambar 5. Output adalah penjumlahan produk yang dihasilkan
selama satu periode produksi yang diukur dalam satuan kg produk. Input bahan
baku adalah 1800 kg yang menghasilkan kompos sebanyak 604 kg. Terjadi
penyusutan (rendemen) sebesar 0.34.
Tenaga kerja yang dihitung sebanyak 2 orang tenaga kerja laki-laki yakni
tukang kebun dan supir. Tukang kebun memiliki separuh waktu kerjanya dipakai
bekerja di pengomposan Karinda dan separuhnya lagi bekerja sebagai tukang
kebun pribadi pemilik rumah sehingga waktu kerja diasumsikan 50% dan supir
mengerjakan kompos hanya sebagai tambahan sehingga diasumsikan 25%. Waktu
kerja penuh yang digunakan dalam perhitungan adalah 6 hari kerja dalam satu

12
minggu dengan jam kerja selama 8 jam. Perhitungan untuk menentukan input
tenaga kerja dalam HOK ialah dengan mengalikan hari kerja dengan proses
produksi dan porsi kerja. Didapat total 36 HOK.
Koefisien tenaga kerja didapat dari hasil perhitungan input tenaga kerja
(HOK) yang dibagi dengan input bahan baku sehingga didapat koefisien sebesar
0.02 Nilai koefisien tenaga kerja menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk melakukan pengolahan satu kg bahan baku sampah kebun
adalah 0.02 HOK. Harga output kompos Rp 2143 per kg. Penerimaan dan
keuntungan diketahui dari besarnya harga bahan baku, harga sumbangan lain,
nilai output, nilai tambah, dan keuntungan. Hasil perhitungan nilai tambah dapat
dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3 Nilai Tambah
No
1
2
3
4

Penerimaan dan Keuntungan
Harga Bahan Baku (Rp /kg)
Sumbangan Input Lain (Rp /kg)
Nilai Output (Rp /Kg)
a. Nilai Tambah (Rp /kg)
b. Rasio Nilai Tambah (%)

Perhitungan
100
76.7
719.04
542.35
75.43

Gambar 5 Bahan Baku Sampah Kebun
Berdasarkan Tabel 3, harga input bahan baku yakni besaran yang
dibayarkan saat baku sampah disetorkan dari petugas kebersihan. Setiap karung
bahan baku yang disetorkan dihargai Rp 1000 dengan asumsi per karung terdapat
10 kg bahan baku, sehingga bahan baku dihargai Rp 100/kg. Harga input lain
dalam proses ini adalah pemakaian plastik kemasan 35x30cm, penggunaan
staples, dan penggunaan EM4. Dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 4 Input Sumbangan Lain dalam Analisis Nilai Tambah
Uraian
EM4
Plastik
Gula
Isi Staples

Biaya (Rp)
20 000/botol 1 l (1 l =1000 kg bahan baku)
16 000/50 lembar (1lembar=7 kg kompos)
3500/1 l (1l=1000 kg bahan baku)
5000/700 kg kompos
Total Sumbangan Input Lain

Biaya (Rp/kg)
20
46
3.5
7.2
76.7

Berdasarkan Tabel 4, harga 1 liter botol EM4 sebesar Rp 20 000. Aturan
pakai EM4 adalah 1 tutup botol berisi sebanyak 10 ml EM4 untuk 100 kg sampah
kebun dengan air sebanyak 1 liter. Di dalam botol 1 liter EM4 dapat dipakai untuk

13
1000 kg sampah kebun. Sehingga harga sumbangan input lain untuk EM4 sebesar
Rp 20/kg. Harga plastik kemasan 35 x 50 cm adalah Rp 16 000 yang berisi 50
buah. Harga sebuah plastik kemasan ialah Rp 320. Di dalam sebuah plastik dapat
menampung 7 kg kompos, sehingga harga sumbangan input lain plastik sebesar
Rp 46/kg. Harga isi staples sebesar Rp 5000 dengan asumsi dapat digunakan
untuk mengemas 700 kg kompos atau 100 plastik kemasan. Sehingga harga
sumbangan input lain untuk isi staples sebesar Rp 7.2/kg. Total biaya untuk harga
sumbangan input lain sebesar Rp 76.7/kg.
Nilai output adalah perkalian dari faktor konversi sebesar 0.34 dengan harga
output sebesar Rp 2143 per kg. Nilai output sebesar Rp 719.10 per kg. Nilai
tambah dipengaruhi oleh nilai output, harga bahan baku, dan harga sumbangan
input lain. Nilai output setelah dikurangi harga bahan baku dan harga sumbangan
input lain akan mendapat nilai tambah sebesar Rp 542.35 per kg atau sebesar
75.43%. Rasio nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan sampah
organik menjadi kompos skala industri rumah tangga tergolong tinggi karena
nilainya > 50%.
Tabel 5 Pendapatan dan Keuntungan dari Nilai Tambah
Pendapatan dan Keuntungan
Nilai Karinda
Nilai Umum
Upah Rata-rata Tenaga Kerja (Rp/HOK)
70 833
25 000
Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/kg)
1416.67
500
Bagian Tenaga Kerja(%)
261
92.19
42.35
Keuntungan (Rp/kg)
-874.31
Bagian Keuntungan (%)
-161.22
7.81
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa nilai Karinda mengalami kerugian
karena upah rata-rata tenaga kerja tinggi yakni sebesar Rp 70 833/HOK.
Pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 1416.67/kg sehingga bagian tenaga kerja
yang didapat adalah 261%. Upah tenaga kerja tinggi karena pekerja yang
digunakan bukan pekerja yang spesifik pada bidang pengomposan, melainkan
pekerja yang juga memiliki tanggung jawab mengerjakan pekerjaan rumah
pribada pemiliki usaha.
Nilai umum ialah penyaduran upah dari penelitian Yusuf (2012) tentang
usaha pengomposan skala rumah tangga di daerah Bogor. Apabila upah tenaga
kerja per orang sebesar Rp 300 000 per bulan, maka upah rata-rata tenaga kerja di
Karinda sebesar Rp 25 000/HOK. Usaha mengalami keuntungan menjadi Rp
42.35/kg dengan bagian keuntungan 7.81%.
Aspek Pasar
Potensi pasar kompos Karinda berasal dari permintaan konsumen yang tiap
bulannya mencapai 300-500 kg. Pangsa pasar adalah warga sekitar perumahan
BKI hingga warga di luar perumahan yang mendapat informasi produk kompos
secara verbal maupun dari media sosial. Kompos dipasarkan dalam kemasan
plastik bening 7 kg seharga Rp 15 000. Kompos yang dihasilkan sudah diuji
berdasarkan SNI (Standart Nasional Indonesia). Kompos yang dihasilkan dapat
dipastikan mampu bersaing, sebab kualitasnya sudah terjamin. Dibuktikan pula
dengan adanya penghargaan Juara I Adipura katagori pengomposan terbaik seJakarta Selatan pada tahun 2007. Hanya saja, dalam pengemasan kompos Karinda

14
masih kurang menonjolkan produk kompos Karinda karena hanya dikemas dalam
plastik bening. Kemasan kompos dapat dilihat dalam Gambar 6.

Gambar 6 Kemasan Kompos Karinda 7 kg
Ketersediaan input sampah organik belum dimanfaatkan optimal, maka
pengelolaan sampah di BKI memiliki prospek keberlanjutan usaha yang baik.
Adanya permintaan kompos yang cukup banyak juga menambah nilai
keberlanjutan usaha. Kepuasan konsumen terhadap hasil kompos menjadikan nilai
tambah bagi pengelolaan sampah di kebun Karinda menjadi layak dilaksanakan.
Aspek Teknis
Lokasi usaha dilakukan di kebun pengomposan Karinda dalam perumahan
BKI. Setiap bulannya selalu dihasilkan kompos dari kebun Karinda. Saat
persediaan kompos Karinda habis, maka akan diambil hasil pengomposan dari
rumah pengomposan milik Ibu Julia yang letaknya tidak begitu jauh dari Karinda.
Tidak dibutuhkan biaya transportasi karena letak keduanya tidak berjauhan.
Hingga saat ini produksi masih berjalan lancar, namun perlu diupayakan lagi
penambahan wadah pengomposan agar hasilnya dapat maksimal. Secara aspek
teknis pengelolaan Karinda layak dilaksanakan.
Aspek Manajemen
Aspek manajemen mencakup struktur organisasi dan ketenagakerjaan. Hal
ini penting agar tercipta kondisi usaha yang sistematis dan terjadwal. Struktur
organisasi Karinda masih tergolong sangat sederhana, sebab masih terbatasnya
aktivitas yang dilakukan oleh usaha. Pengelola ialah komite lingkungan
perumahan BKI dikepalai seorang ketua yang dibantu 6 orang anggota dan 3
orang tenaga kerja tetap dan 4 tenaga kerja tidak tetap. Struktur organisasi dapat
dilihat pada Gambar 7.

15
Pengelola
Komite Lingkungan BKI RW 9

Ketua
Djamaludin Suryohadikusumo

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Anggota
Sri Murniati Djamaludin
Refrizal Nasution
Riadjeng Soeprobo
Yulia Refrizal
Titin Nanggala
Rano Karno

Pekerja Tetap
Rianto, Niman, Eka

Pekerja Kebersihan RT
4 Tukang Sapu

Masyarakat

Gambar 7 Struktur Organisasi Pengomposan Karinda
Hasil analisis aspek manajerial menunjukkan bahwa tercipta hubungan
harmonis di dalam struktur organisasi. Tercipta kerjasama yang baik antar tenaga
kerja karena pembagian tugas dilakukan secara merata. Berdasarkan aspek
manajerial, usaha pengomposan masih layak dilaksanakan.
Aspek Sosial
Aspek sosial ialah melibatkan kepedulian pengelola terhadap lingkungan
sekitar. Setiap bulan dilakukan penyuluhan rutin di lingkungan RT maupun RW
dalam hal pengelolaan sampah secara benar, maupun bagi masyarakat di luar
perumahan. Kondisi pelatihan dan penyuluhan pengomposan dapat dilihat pada
Gambar 8. Pengomposan Karinda mendapatkan beberapa penghargaan yakni
Juara I Adipura kategori pengomposan terbaik se-Jakarta Selatan tahun 2007 dan
2010 dan penghargaan Kalpataru DKI Jakarta kategori Pengabdi Lingkungan pada
2010. Sering mendapat kunjungan beberapa instansi pemerintahan untuk
memantau kegiatan yang dilakukan dan hingga saat ini ada belasan ribu orang
yang sudah menjadi peserta penyuluhan-pelatihan. Manfaat sosial yang diterima
sebagai hasil dari pengelolaan sampah menjadikan usaha Pengomposan Karinda
ini layak untuk dilaksanakan.

16

Gambar 8 Kondisi Pelatihan dan Penyuluhan Pengomposan
Aspek Analisis Kelayakan Finansial
Usaha pengomposan Karinda dimulai sejak tahun 2006. Persiapan
pembangunan dilakukan sejak tahun 2005 dan Januari tahun 2006 merupakan
permulaan produksi kompos Karinda. Akan diproyeksikan kelayakan finansial
usaha pengelolaan sampah Karinda selama 10 tahun.
Komponen Inflow Usaha Pengelolaan Sampah Karinda
Komponen inflow dihitung berdasarkan manfaat yang diterima, terdiri dari:
a. Produksi total
Penjualan pupuk kompos Karinda dimulai dari tahun 2006. Proyeksi
penerimaan penjualan pupuk karinda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Proyeksi Penerimaan Penjualan Pupuk Kompos Karinda
Tahun
2006-2010
2011-2015

Jumlah Produksi (kg/tahun)
4000
5000

Harga Satuan (Rp/kg)
2142.85
2142.85

Nilai (Rp/tahun)
8 571 428.6
9 642 857.1

Berdasarkan Tabel 6, hasil produksi pupuk kompos pada tahun 20062010 mencapai 4000 kg per tahunnya. Harga jual pupuk adalah Rp 2143
per kg sehingga diperoleh pemasukan Rp 8 571 429 pada tahun 20062010. Pada tahun 2011-2015 terjadi peningkatan jumlah produksi menjadi
4500 kg/tahun sehingga meningkatkan pemasukan menjadi Rp 9 642 857.
b. Pinjaman
Tanah seluas 300 m2 dipinjami pengembang tanpa sewa. Tidak
dihitung biaya sewa tanah dalam proyeksi pengeluaran.
c. Penjualan Keranjang Takakura
Produk unggulan Karinda adalah paket keranjang Takakura. Takakura
merupakan modifikasi keranjang cucian untuk pengomposan sampah
dapur skala rumah tangga yang menjadi salah satu produk andalan
Karinda. Tiap bulan terjual sebanyak 120-200 paket keranjang Takakura
dengan harga jual keranjang sebesar Rp 75 000 hingga Rp 105 000 per

17
paket. Pemasukan sebesar Rp 9 000 000 hingga Rp 21 000 000 per tahun.
Rincian pemasukan dari paket Takakuran tercantum dalam Lampiran 4.
d. Pelatihan dan Penyuluhan
Setiap bulan dilakukan 2 kali pelatihan dengan jumlah peserta minimal
20 orang. Dikenakan biaya pelatihan sebesar Rp 25 000 setiap peserta.
Pemasukan pelatihan dan penyuluhan sebesar Rp 12 000 000 setiap tahun.
e. Bantuan (Grants)
Usaha Karinda mendapatkan bantuan dari Yayasan Surya Andana Asih
untuk membangun rumah kompos dan saung untuk pelatihan. Besarnya
bantuan digunakan sebagai modal awal sebesar Rp 15 000 000. Adapula
dana iuran warga perumahan BKI sebesar Rp 10 000 per kepala keluarga
pada tahun 2005. Pada tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 15 000 per
KK. Pemasukan iuran warga sebesar Rp 6 000 000 pada awal tahun dan
meningkat menjadi Rp 9 000 000 pada tahun berikutnya.
f. Nilai sisa
Nilai sisa berasal dari peralatan yang tidak habis dipakai selama umur
proyeksi. Penaksiran nilai sisa dilakukan dengan metode penyusutan per
tahun. Rincian nilai sisa tercantum dalam Lampiran 4.
Komponen Outflow Usaha Pengelolaan Sampah Karinda
Komponen outflow dihitung berdasarkan sejumlah biaya yang dikeluarkan
unit usaha, terdiri dari:
a. Biaya Investasi
Biaya investasi ini dikeluarkan pada tahun 2005. Biaya yang
dikeluarkan adalah biaya membangun saung dan membangun 15
komposter dari paving blok. Terdapat pula penyediaan sarana prasarana
seperti membuat meja dan kursi dari kayu hitam. Rincian biaya investasi
tercantum dalam Lampiran 5.
b. Biaya Operasional
Biaya operasional dalam penelitian pengomposan Karinda terdiri dari
biaya membeli peralatan untuk proses produksi. Rincian peralatan yang
dibutuhkan dalam produksi dapat dilihat pada Lampiran 5.
c. Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya gaji tenaga kerja dan biaya utilitas. Gaji
tenaga kerja tetap yakni tukang kebun mendapat Rp 800 000 dari total
gajinya Rp 1 600 000 karena waktu bekerja 50% untuk pengomposan.
Supir mendapat Rp 475 000 dari total gajinya sebesar Rp 1 900 000 karena
hanya bekerja 25% untuk pengomposan. Pembantu mendapat Rp 480 000
dari total gajinya sebesar Rp 1 600 000 karena hanya bekerja 30% untuk
pengomposan. Total gaji sebesar Rp 1 755 000 per bulan, sehingga
dibutuhkan Rp 21 060 000 per tahunnya.
Tenaga kerja tidak tetap yakni 4 orang tukang sapu yang diberi gaji
sesuai banyaknya sampah serasah yang didapat. Dalam satu tahun bisa
mendapat 12 000 hingga 13 500 kg bahan baku sehingga bisa mendapat
gaji sebanyak Rp 1 200 000 hingga Rp 1 350 000 per tahun.
Biaya utilitas dihitung sama sebesar Rp 1 200 000 per tahun sebab
biaya listrik dan air disatukan dengan rumah pemilik usaha. Rincian biaya
tercantum dalam Lampiran 5.

18
d. Biaya Perawatan
Biaya perawatan sebesar Rp 2 000 000 setiap tahunnya, digunakan
untuk merawat sarana dan prasarana seperti perbaikan lantai, atap, LCD,
dan lain-lain. Perincian komponen cashflow tercantum dalam Lampiran 6.
Hasil Analisis Finansial
Berdasarkan analisis finansial, pengomposan karinda memiliki NPV sebesar
Rp 33 492 850 menunjukkan bahwa usaha pengolahan sampah menjadi kompos
memberi manfaat bersih Rp 33 492 850 selama jangka waktu 10 tahun proyeksi.
Berdasarkan kriteria NPV maka usaha pengomposan Karinda layak untuk
dilaksanakan. Hasil analisis finansial dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7 Hasil Analisis Finansial Usaha Pengomposan Karinda
Kriteria
NPV
BCR
IRR

Nilai

Rp 33 492 850
1.12
45%

Berdasarkan Tabel 7, nilai BCR sebesar 1.12 % menunjukkan setiap Rp 1
yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih 1.12. Nilai BCR lebih dari 1
menunjukkan usaha pengomposan Karinda layak dilaksanakan berdasarkan
kriteria BCR. Nilai IRR yang diperoleh sebesar 45%. Hal ini menunjukkan tingkat
pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada pengomposan Karinda sebesar
45%. Nilai IRR yang didapatkan lebih tinggi daripada tingkat discount rate yang
digunakan yaitu 7.5%. Maka dapat dikatakan bahwa usaha pengomposan Karinda
layak dilaksanakan berdasarkan kriteria IRR.
Hasil analisis secara keseluruhan menunjukkan ketiga kriteria yakni NPV,
BCR, dan IRR memenuhi syarat kelayakan, sehingga usaha dapat dijalankan
karena mendatangkan manfaat secara finansial dan manfaat lainnya dari sisi non
finansial.
Hubungan Analisis Nilai Tambah dengan Analisis Finansial
Diketahui bahwa usaha Karinda mengalami kerugian usaha apabila hanya
melakukan usaha penjualan kompos saja, meskipun nilai tambah pengelolaan
sampah organik menjadi kompos menunjukkan angka yang tinggi sebesar
75.43%. Berdasarkan perhitungan analisis finansial, usaha layak dan
menguntungkan karena tidak hanya dilihat dari penjualan kompos saja, melainkan
adanya inovasi seperti pelatihan-penyuluhan pengomposan rutin, penjualan
produk paket keranjang Takakura, iuran warga, dan dari penjualan komposnya
sendiri; sehingga, usaha dapat dikatakan layak dijalankan. Penggunaan tenaga
kerja sebaiknya adalah orang yang khusus tugasnya di bidang pengomposan, agar
sebanding antara produk yang dihasilkan dengan pengeluaran yang dikeluarkan.
Usaha Karinda adalah contoh usaha yang mengedepankan segi sosial dan ekologi
daripada segi ekonomi.

19
Potensi Kompos HKS
Pengomposan HKS
Sebagian besar sampah hutan kota adalah sampah daun yang setiap hari
berguguran di dalam kawasan. Berdasarkan Mulia (2005), limbah padat yang
mengandung bahan organik dan tidak mengandung bahan berbahaya dapat
diproses secara biologi untuk mengurangi volumenya atau dapat memperoleh
produk berguna seperti kompos. Wardhana (2004) menyatakan bahwa bahan
buangan organik sebaiknya dikumpulkan untuk diproses menjadi kompos agar
bertambah nilai gunanya karena pengomposan berarti mendaur ulang limbah
organik yang berdampak positif bagi lingkungan hidup manusia.
Sampah daun gugur di hutan kota sebaiknya dibuat pengomposan dengan
bantuan manusia. Pengomposan dengan bantuan manusia di HKS bertujuan
mempercepat proses dekomposisi. Pengomposan alami membutuhkan waktu 6
bulan bahkan bisa mencapai beberapa tahun. Cara pengomposan di HKS
dilakukan dengan menumpuk sampah daun agar terdekomposisi secara alami.
Kegiatan ini membutuhkan waktu lama sampai kompos siap diserap tanaman.
Pengomposan dengan bantuan manusia berupa kegiatan pengadukan sampah,
pemberian aktivator EM4, dan adanya kegiatan pengaturan suhu serta
kelembabannya akan mempercepat proses pengomposan.
Berdasarkan penelitian Yulipriyanto (2010) menunjukkan bahwa, hasil
pembalikan selama 2-3 kali dalam tiap bulan pengomposan akan memaksimalkan
kesuburan kompos, jika tanpa pembalikkan akan mengurangi kesuburan
komposnya. Dibutuhkan waktu 6 hingga 8 minggu apabila melakukan
pengomposan dengan bantuan manusia.
Kompos pada HKS berfungsi sebagai penyedia nutrisi tanah, meningkatkan
kapasitas pegang air, menambah unsur hara makro mikro dalam tanah, dan dapat
digunakan sebagai penyediaan pupuk organik untuk hutan kota. Tanah di HKS
merupakan tanah bekas TPS sehingga memiliki topsoil yang sangat tipis karena
saat digali terlihat banyaknya sampah yang mengendap dalam tanah namun belum
terdekomposisi sempurna. Dengan bantuan kompos, maka tanaman akan
mendapat nutrisi tambahan. Jika dibuat pengomposan di HKS, maka tidak akan
ada biaya tambahan untuk pengadaan pupuk. Kondisi tanah HKS dapat dilihat
dalam Gambar 9.

Gambar 9 Kondisi Tanah HKS

20
Sampah warga yang sudah terlanjur dibuang ke dalam kawasan HKS tidak
bisa lagi dijadikan bahan baku pengomposan, karena sampah sudah membusuk
dan sudah tercampur antara anorganik dengan organik, apabila dijadikan bahan
baku pengomposan akan menurunkan kualitas kompos yang dihasilkan.
Dibutuhkan pembuatan galian untuk menimbun sampah warga atau dengan
mengeluarkan seluruh timbunan sampah ke TPS terdekat. Timbunan sampah
warga dapat di lihat dalam Gambar 10.

Gambar 10 Timbunan Sampah Warga di HKS
Potensi Kompos HKS berdasarkan Jumlah, Harga, dan Kapasitas
Rata-rata setiap harinya dikumpulkan bahan baku serasah sebanyak 15
karung seberat 7 kg setiap karung. Dalam sehari sudah terdapat 105 kg bahan
baku di dalam kawasan hutan kota. Dalam sebulan terdapat bahan baku sebanyak
3150 kg. Bahan baku ini tidak bisa langsung terdekomposisi semuanya.
Dibutuhkan waktu 6 bulan bahkan satu tahun untuk bahan baku bisa terserap
tanah secara sempurna. Dalam waktu 1 tahun sudah ada 37 800 kg bahan baku.
Jika 37 800 kg bahan baku serasah dibuat pengomposan, maka akan
menghasilkan kompos sebanyak 12 474 kg dengan asumsi adanya penyusutan
sebesar 33% dari berat bahan baku semula. Bila harga jual Rp 1000 per kg, maka
akan terdapat pemasukan sebesar Rp 12 474 000 dari pengelolaan pupuk kompos
ini.
Penyediaan bahan baku sampah coklat diperoleh dari serasah daun HKS
dan sampah hijau diperoleh dari daun bekas penebangan, penjarangan, dan
pemotongan rumput maupun dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan
untuk turut serta menyumbang sampah organik sisa rumah tangga agar
masyarakat tidak serta merta membuang seluruh sampahnya ke dalam kawasan
hutan kota, namun diajak untuk memanfaatkannya menjadi pupuk kompos.

21