Evaluasi pelaksanaan program buku bicara (talking book) di yayasan mitra netra Lebak Bulus Jakarta Selatan

(1)

(TALKING BOOK)

DI YAYASAN MITRA NETRA LEBAK BULUS

JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Ismul Azham

105054102074

JURUSAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H/2011 M


(2)

(3)

(4)

Evaluasi Pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus Jakarta Selatan

Tunanetra yang mendapat kesempatan untuk mengenyam dunia pendidikan regular sangat memerlukan bantuan untuk menunjang kegiatan belajar mereka. Apalagi di sekolah tempat mereka belajar tidak menyediakan pelayanan khusus untuk mereka. Meski pemerintah membuat peraturan melalui program pendidikan inklusif untuk mereka, namun keterbatasan fasilitas itu masih harus mereka hadapi. Untuk itu yayasan Mitra Netra melalui program Buku Bicara ini berusaha untuk mewujudkan dan membantu tunanetra dalm program pemerintah dalam pendidikan inklusif itu. Dengan program ini tunanetra dapat mengakses buku-buku pelajaran sekolah sehingga dapat mereka baca dan pelajari layaknya teman-teman mereka yang awas membaca buku yang sama.

Skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program buku bicara ini agar mengetahui nilai terhadap hasil pelaksanaannya, keberhasilan program dalam membantu tunanetra. Serta hambatan-hambatan apa yang terdapat dalam pelaksanaan program.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan datanya adalah melalui interview, observasi, wawancara dan dokumentasi.

Kerangka teori yang digunakan adalah model evaluasi CIPP yang telah dikemukakan oleh Daniel L Stufflebeum yang meliputi; evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam skripsi ini penulis memfokuskan pada evaluasi proses pelaksanaan program buku bicara di yayasan Mitra Netra.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa hasil dari proses pelaksanaan program Buku Bicara ini adalah sangat positif dan membantu klien dalam kebutuhan mereka. Program ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap pendidikan mereka. Melalui program buku bicara ini, tunanetra mampu mengakses semua buku-buku bacaan, buku-buku pelajaran dan tugas-tugas sekolah yang disiapkan oleh sekolah-sekolah mereka untuk dapat mereka pelajari ulang di luar jam belajar sehingga mereka mampu megikuti siklus belajar sesuai dengan jadwal. Dan dengan peralihan teknologi dari analog menjadi digital menjadikan program ini semakin tidak memiliki hambatan dalam pelaksanaannya.


(5)

i

ِمْيِح رَّا ِنَمْح رَّا ِها ِمْسِِِِب

Tiada kata yang lebih pantas penulis untaikan selain mengucapkan Alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur serta puja dan puji hanya kehadirat Allah SWT. Tuhan yang telah menjadikan alam semesta beserta isinya dengan segala kenikmatan yang tak pernah terhingga. Dan atas berkat rahmat, taufik dan hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga tekcurahkan kepada Rasul alam, junjungan umat manusia, Nabi akhir zaman, Nabi besar Muhammad SAW serta segenap keluarga, dan para sahabat beliau.

Penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Evaluasi Pelaksanaan

Program Buku Bicara (Talking Book) Di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus Jakarta Selatan “. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Kesejahteraan Sosial.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Dengan hati yang terbuka dan tulus penulis akan menerima kritik, saran dan pendapat agar menjadi tambahan dan pembelajaran untuk penulis kedepannya agar menjadi lebih baik lagi.

Tidak sedikit waktu yang dibutuhkan dan melalui berbagai macam rintangan dan cobaan, namun berkat perjuangan yang disertai bantuan dari semua pihak yang terus membantu dan selalu memberikan dorongan akhirnya semua rintangan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, dorongan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini :


(6)

ii dengan nilai skripsi amat baik.

2. Ibu Siti Napsiyah MSW selaku ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial dan sekaligus

Dosen pembimbing untuk skripsi ini, yakni yang telah sangat banyak memberikan arahan, bimbingan dan ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Ahmad Zaky, M.Si selaku sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial

sekaligus Dosen pembimbing Praktikum, yang juga telah banyak membantu, mendampingi dan memberi dukungan sehingga penulis dapat melewati semua proses akademik dan sampai menyelesaikan study di Jurusan Kesejahteraan Sosial.

4. Bapak Ismet Firdaus M.Si selaku penguji dalam sidang munaqasyah sekaligus

dosen yang telah banyak membimbing penulis dalam skripsi ini serta telah memberikan penilaian dan arahan.

5. Dosen-dosen di Jurusan Kesejahteraan Sosial, Ibu Ellies, Ibu Nurhayati Nurbus,

Bapak Asep Usman Ismail, Ibu Lisma Dyawati Fuaida dan dosen-dosen lain yang tidak dapat tertuliskan satu persatu yang telah memberikan penulis segudang ilmu dan pengetahuan sehingga penulis mendapatkan pemahaman dan pengamalan yang bermanfaat dan berguna.


(7)

iii

menjalani masa perkuliahan di Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Pimpinan Staf Perpustakaan Utama, kepustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan

Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam masa study.

8. Pimpinan Yayasan Mitra Netra beserta seluruh Staf, khususnya Bapak Irwan,

Bapak Firdaus, Bapak Nur Ichsan, Mbak Endah, Mbak Indah, Mas Adi Ariyanto, Ibu Rini, serta Senna Rusli dan Fajar yang telah banyak membantu, mendukung, membimbing penulis dalam masa penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya.

9. Yang terhormat dan tercinta kedua orang tua penulis, Almarhum Ayahanda Rusli

dan Ibunda Salamah semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan nikmat, kemuliaan dan keselamatan dunia dan akhirat sebagai balasan atas cinta dan kasih sayang yang tak terhingga serta pengorbanan tulus mereka untuk penulis hingga akhir hayat. Amin.

10.Kakak-kakak dan adik tercinta; Almarhum Abanganda Jonimar, kakanda

Mairidhah Nur, kakanda Ernis Marliza, Uponda tersayang Mulyanti, kakanda Safrizal, kakanda Farliyansyah, serta adinda Elsa Janerta. Terima kasih untuk dukungan dan semangat kalian untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Keluarga besar Umi H. Faridah, Bang Rais, Kak Siti, Fuad dan Mang Anjay


(8)

Sahabat-iv motivasi dan saran-sarannya.

12.Special untuk Muthmainnah sebagai pendamping dan penyemangat yang telah

memberikan banyak hal yang berarti, motivasi dan inspirasi. Selalu mengingatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Terima kasih

untuk cinta dan kasih sayangnya yang tulus. You Are My Everything.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

terdapat kekurangan dan kelemahan baik dari segi isi, metodologi, maupun analisanya. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca akan disambut dengan segala kelapangan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat sedikit memberikan

manfaat bagi semua. Amin Ya Rabbal Alamin..

Jakarta, 23 September 2011


(9)

v

Hal

Halaman Judul Lembar Persetujuan Lembar Pengesahan Abstrak

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel dan Gambar ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis Penelitian ... 12

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 12

4. Sumber Data ... 12

5. Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

6. Tehnik Pemilihan Informan... 13

7. Tehnik Analisis Data ... 15

8. Tehnik Penulisan ... 15


(10)

vi

2. Model Evaluasi ... 20

3. Manfaat dan Kegunaan Evaluasi ... 22

B. Program ... 23

a. Definisi Program... 23

b. Tujuan Program ... 24

C. Evaluasi Program ... 24

D. Buku Bicara a. Definisi Buku Bicara ... 25

b. Rangkuman Definisi ... 25

c. Sejarah Perkembangan Buku Bicara ... 26

d. Perkembangan Buku Bicara di Dunia menurut Encyclopedia e. Americana Volume ... 28

E. Definisi Pendidikan Inklusif ... 30

a. Menurut Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman ... 31

b. Menurut Dyah. S ... 31

F. Hakikat Tunanetra ... 32

1. Pengertian Tunanetra ... 33

2. Klasifikasi Tunanetra ... 33


(11)

vii

A. Latar Belakang ... 36

B. Sejarah Singkat Perjalanan Mitra Netra Menuju Rumah Sendiri di Gunung Balong-Lebak Bulus ... 37

C. Alamat Yayasan Mitra Netra ... 41

D. Tokoh-Tokoh Pendiri Yayasan Mitra Netra ... 41

E. Visi dan Misi Yayasan Mitra Netra ... 47

F. Aspek Hukum dan Legalitas Yayasan Mitra Netra ... 48

G. Prestasi ... 49

H. Produk-Produk Yayasan Mitra Netra ... 49

I. Struktur Organisasi ... 51

J. Program Layanan ... 52

K. Sejarah Program Buku Bicara di Yayasan Mitra Netra ... 59

L. Penggalangan Dana ... 71

BAB IV HASIL EVALUASI A. Evaluasi Pelaksanaan Program ... 73

1. Fasilitas Program Buku Bicara ... 77

2. Pelayanan Program Buku Bicara... 85

B. Hambatan-Hambatan ... 90

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan hak bagi tiap warga negara dan sudah semestinya pemerintah yang mengemban beban dan tanggung jawab nasional berkewajiban menjunjung tinggi amanat konstitusional itu dalam upaya memenuhi hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas tanpa adanya pengecualian dan bersifat merata. Sebagaimana yang telah tertuang dalam

UUD 1945 pasal 31 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

pengajaran”.

Sejauh ini pendidikan di Indonesia bisa dikatakan sudah berkembang sangat baik, banyak lahir lembaga-lembaga pendidikan baik dari sektor swasta maupun negeri. Semua itu menunjukkan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang berwawasan pendidikan dan memandang pendidikan sebagai prioritas utama untuk modal dasar pembentukan watak dan pengembangan diri serta memiliki peran penting dalam pembangunan nasional.

Namun, yang masih menjadi persoalan adalah pendidikan yang semestinya dapat diakses bagi seluruh warga negara ini belum merata. Masih ada sebagian warga negara yang belum bisa berpartisipasi dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan formal. Dalam hal ini para penyandang cacat tunanetra misalnya. Saat ini komunitas tunanetra masih belum bisa mengakses seluruh bidang pendidikan formal secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari


(13)

masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam upaya membantu dan mengantarkan tunanetra untuk sampai kepada tujuan itu. Padahal pemerintah juga telah berupaya secara konstitusi yaitu dengan membuat peraturan-peraturan khusus tentang pendidikan yang ditujukan bagi para penyandang cacat. Seperti yang diterangkan

dalam Peraturan Pemerintah No.72 tahun 1991 bahwa “Pendidikan luar biasa

adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar sehingga dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau

mengikuti pendidikan lanjutan” .

Jelaslah bahwa siapa saja yang termasuk dalam data warga negara maka secara hak mereka harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik dan adil agar mereka dapat mengembangkan diri dan mengenyam pendidikan tersebut tanpa adanya diskriminasi. Selain pemerintah, sektor-sektor pendidikan negeri maupun swasta hendaknya lebih peka dalam merespon permasalahan ini dan dapat memfokuskan program-programnya pada bidang pelayanan pendidikan khususnya bagi para penyandang cacat ini.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.

4 tahun 1997 tentang penyandang cacat bahwa “ Pembangunan nasional bertujuan

untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia “


(14)

seluruh aspek kehidupan bangsa yang di selenggarakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Kegiatan masyarakat dan pemerintah saling menunjang, mengisi, dan melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya pembangunan nasional itu.

Kemudian dilanjutkan dalam Undang-Undang Pemerintah tahun 2004 tentang Pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif adalah program pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kelainan fisik dalam pendidikan formal dan dapat berbaur dengan anak-anak normal sebayanya di sekolah umum. Pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut. Sehingga anak-anak berkebutuhan khusus ( cacat ) itu dapat belajar bersama-sama dalam suasana belajar yang kondusif.

Program Pendidikan Inklusif untuk Disabilitas ini tentunya akan berjalan baik jika saja semua pihak memberikan motivasi dan dukungan baik materi maupun partisipasi langsung secara paralel dan konsisten. Selama ini, program pemerintah ini bisa dikatakan belum maksimal karena masih banyak para penyandang cacat yang belum mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena alasan tidak mendapatkan fasilitas belajar untuk dapat mengikuti poros kegiatan belajar di sekolah-sekolah dalam pendidikan formal. Secara teknis mereka memerlukan fasilitas belajar khusus agar dapat mengikuti dan berkompetisi di kelas pendidikan formal. Tunenetra membutuhkan respon dari orang-orang di sekitar mereka untuk membantu dan mendampingi mereka dalam menghadapi masa depan baik secara individual maupun kelembagaan.


(15)

Telah muncul sebuah lembaga yang merespon baik permasalahan tersebut, lembaga itu adalah Yayasan Mitra Netra. Yayasan Mitra Netra hadir untuk menjembatani tunanetra agar sampai pada tujuan Pendidikan Inklusif itu. Melalui program-programnya yayasan ini terus menjalankan peran dan mengembangkan diri dalam upaya mendampingi tunanetra untuk menghadapi persaingan global di dunia pendidikan dan bahkan dunia kerja. Bisa dikatakan bahwa yayasan ini merupakan pelopor dan teladan bagi lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang layanana pendidikan bagi penyandang cacat tunanetra di negeri ini. Dan tentunya semua itu juga berkat orng-orang yang berada didalamnya yang memiliki semangat juang yang luar biasa, profesional dan mempunyai SDM yang baik. Antara program dan para penggerak organisasi saling mengisi dan mendukung dalam mempertahankan visi dan misi untuk keberhasilan yayasan dan eksistensinya dalam membantu sahabat netra mengejar cita-cita hidup dan masa depan mereka.

Menurut Prof. Sidarta Ilyas yakni salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra yang berprofesi sebagai Dokter Mata dan juga merupakan seorang Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau mengaku sangat bangga pada Mitra Netra, beliau mengatakan "Ibarat bola, saya selalu merasa Mitra Netra menggelinding lebih cepat dari yang saya bayangkan" . Kata-kata ini senantiasa disampaikannya saat beliau berbicara dengan masyarakat maupun ketika bertatap

muka dengan segenap jajaran personil di Mitra Netra1.

1

Data Yayasan Mitra Netra, update 2011. www.mitranetra.ac.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(16)

Beliau melanjutkan, jauh sebelum Mitra Netra berdiri secara sendiri-sendiri sejumlah kecil tunanetra di Indonesia telah berupaya menempuh pendidikan di sekolah umum dan perguruan tinggi. Dari jumlah yang sedikit itu, sebagian kecil

di antaranya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi2. Menurut Prof. Ilyas hal

ini biasanya terjadi karena tunanetra tersebut mendapatkan dukungan penuh dari keluarga yang secara ekonomi mampu atau yang bersangkutan memiliki daya juang yang luar biasa. Dan ini tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan fasilitas yang dibutuhkan agar mereka dapat menempuh jenjang pendidikan dasar,

menengah, bahkan hingga jenjang pendidikan tinggi” 3.

Tunanetra membutuhkan usaha dan biaya yang melebihi usaha dan biaya yang dibutuhkan oleh mereka yang bukan tunanetra. Misalnya ketika mereka memerlukan buku dan ternyata saat itu tidak ada lembaga yang menyediakannya, maka tunanetra harus mengupayakan buku itu sendiri. Misalnya juga saat mengerjakan ujian sekolah, tunanetra harus membutuhkan seseorang untuk membantu membacakan soal serta menuliskan jawaban. Tidak selamanya dan tidak semua tunanetra menginginkan hal itu terus menerus terjadi, mereka juga memiliki potensi layaknya manusia normal lain. Potensi itu dapat mereka kembangkan dan pada akhirnya tunanetra tidak lagi harus menggunakan jasa orang lain. Untuk itu, apa yang dilakukan oleh Mitra Netra adalah upaya memberdayakan tunanetra dalam mengatasi permasalan-permasalahan mereka.

2

Data Yayasan Mitra Netra, update 2011. www.mitranetra.ac.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).

3

Data Yayasan Mitra Netra, update 2011. www.mitranetra.ac.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(17)

Prof. Sidarta Ilyas juga berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan permanen, baik buta total maupun lemah penglihatan masih dapat menjalani kehidupan yang berkualitas. Akan tetapi diperlukan bantuan khusus pada mereka untuk membuat para tunanetra menjadi mandiri dan

berfungsi di masyarakat4.

Mengapa Mitra Netra? Karena penulis telah menjalani aktifitas akademisi mata kuliah jurusan Kesejahteraan Sosial di yayasan ini semenjak dua semester terakhir dalam kegiatan Praktikum I dan Praktikum II. Sejauh perkenalan dengan yayasan ini, penulis melihat dan menyaksikan bahwa program-program yang dilaksanakan oleh Mitra Netra sangat potentif dan tepat sasaran. Dengan program-program itu Mitra Netra telah banyak mencetak tunanetra yang berkualitas yakni yang mampu berkompetisi di dunia pendidikan formal dan bahkan dunia kerja. Dari itu, penulis sangat tertarik untuk menggali lebih dalam tentang program-program di Yayasan Mitra Netra ini dengan memilih salah satu program-programnya

sebagai objek penelitian. Salah satu programnya itu adalah “Buku Bicara (Talking Book)” .

Mengapa Talking Book? Karena program ini merupakan salah satu dari

program lain yang ada sejak awal lahirnya Yayasan Mitra Netra. Penulis ingin mengatahui lebih jauh tentang aktifitas program ini secara teknis pelaksanaan dan keberhasilan yang telah dicapai oleh Mitra Netra melalui program tersebut sejak lahirnya program itu hingga saat ini.

4

Data Yayasan Mitra Netra, update 2011. www.mitranetra.ac.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(18)

Program Buku Bicara sangat berperan banyak dalam membantu dan mendampingi tunanetra di Yayasan Mitra Netra khususnya dalam bidang pendidikan. Untuk itu penulis tertarik untuk menggali lebih dalam tentang program ini yaitu dalam proses pelaksanaan, konten dan produk program serta hasil yang dicapai. Dengan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul:

“ EVALUASI PROGRAM BUKU BICARA (TALKING BOOK) DI

YAYASAN MITA NETRA LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN “

B. BATASAN MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka penulis

membatasi masalah untuk meneliti mengenai “Evaluasi Program Buku Bicara

(Talking Book) di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus, Jakarta Selatan”.

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah pokok sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) di Yayasan

Mitra Netra lebak bulus, Jakarta Selatan dalam membantu tunanetra untuk mencapai pendidikan inklusif?

2. Hambatan-hambatan apa yang ada dalam pelaksanaan Program Buku

Bicara (Talking Book) di Yayasan Mitra Netra lebak bulus, Jakarta


(19)

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) serta

sejauh mana perannya dalam upaya membantu sahabat tunanetra untuk menuju pendidikan inklusif.

2. Menjelaskan evaluasi terhadap hambatan-hambatan yang ada dalam

pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) di Yayasan Mitra Netra

lebak bulus.

D. MANFAAT PENELITIAN

a. Manfaat Akademis dari penulisan Skripsi ini adalah :

1. Menambah wacana pengetahuan bagi pengembangan ilmu

kesejahteraan sosial khususnya mengenai pendampingan untuk tunanetra dan wawasan baru bagi seluruh mahasiswa/mahasiswi yang tertarik terhadap permasalahan tunanetra sebagai tambahan bahan bacaan bagi yang berminat membahas program ini.

2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi Universitas khususnya

jurusan bahwasanya skripsi ini bisa menjadi salah satu studi kasus dalam mata kuliah Perilaku Manusia dan Lingkungan Sosial, Analisis Masalah sosial sehingga dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi kompetensi pekerja sosial di bidang pelayanan sosial khususnya bagi lembaga yang memiliki program yang sama.


(20)

b. Manfaat Praktis dari penulisan Skripsi ini adalah :

1. Merupakan masukan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut,

khususnya penelitian terapan yang berkaitan dengan program Talking Book bagi penyandang cacat netra.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengurus Yayasan Mitra Netra

dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan program-programnya dalam membantu meningkatkan kesejahteraan serta pengembangan potensi tunanetra terutama dalam bidang pendidikan.

E. METODOLOGI PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk mencapai suatu maksud, sehubungan dengan upaya tertentu, maka metode menyangkut masalah kerja, yaitu cara kerja untuk mendapatkan informasi atau fakta terhadap suatu masalah yang dihadapi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menurut Nawawi pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi-informasi dalam situasi sewajarnya,


(21)

utnuk dirumuskan menjadi suatu generalisasi yang dapat diterima oleh

akal sehat manusia5.

Sedangkan Bodgan dan mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Meleong, penelitian kualitatif mempunyai karakteristik yang penting antara lain : berada pada latar alamiah (konteks dari suatu keutuhan/ entry), memandang manusia (peneliti) sebagai alat atau instrumen penelitian, analisa data bersifat induktif, dan menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data, lebih

mementingkan proses dari pada hasil6.

Penelitian ini mengambil bentuk Evaluasi Program yakni yang merupakan proses penilaian terhadap program Talking Book untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan program dan hambatan-hambatan yang terdapat di dalamnya melalui rangkaian informasi yang diperoleh evaluator yang hendaknya membantu pengembangan, implementasi, pertanggung jawaban, seleksi, menambah pengetahuan dan informasi.

Dalam penelitian untuk keilmuan Kesejahteraan Sosial dikenal sebuah metode yaitu metode Context, Input, Process, Product ( CIPP ) yang

5

Nawawi Hadari. “Instrumen Penelitian Bidang Sosial“ (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992). h. 209.

6

Meleong, Lexy J. “Metodologi Penelitian Kualitatif” (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001). h. 3.


(22)

merupakan salah satu metode evaluasi yang terdiri dari evaluasi Konteks, Input, Proses, dan Produk. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stufflebeam 1971Seperti pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. Sampel Model Evaluasi CIPP

konteks Input proses produk

objektif Solusi strategi

Desian prosedur

implementasi Dihentikan

Dilanjutkan Dimodifikasi Program ulang

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan analisanya dalam tahapan-tahapan yang dijalankan oleh program Talking Book. Yaitu analisa pelaksanaan program, analisa apa-apa yang menjadi hambatan dan analisa hasil program. Evaluasi program ini melihat pada kegiatan selama implementasi, serta memberikan informasi sebagai alat untuk menilai kesuksesan dan kegagalan terhadap program itu. Evaluasi Program ini mengambil lokasi di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus.

Alasan memilih lokasi ini sebagai penelitian adalah dimulai dari ketertarikan penulis ketika melaksanakan kegiatan praktikum I dan II di Yayasan Mitra Netra bahwa banyak anak-anak usia sekolah menengah dan kuliah bahkan yang belum sekolah beraktifitas dengan program-program di Yayasan Mitra Netra.


(23)

2. Jenis Penelitian

Jenis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi program, yaitu sebuah bentuk penilaian dari data-data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang dapat diamati. Tujuannya adalah untuk membuat suatu gambaran sistematis, faktual dan akurat tentang program yang diselidiki dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan dilaksanakan adalah melalui :

a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung dalam

pelaksanaan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di yayasan tersebut.

b. Interview yang dilakukan untuk memperoleh data dari berbagai

narasumber. Pencarian data dengan metode ini juga penting karena akan mendapat informasi lebih banyak dan lebih real.

c. Dokumentasi, yaitu menyelidiki benda-benda atau alat-alat yang

berada di lingkungan tempat dilaksanakan penelitian ini. Alat-alat kantor, alat-alat perpustakaan, studio recording dll.

4. Sumber Data

a. Data Primer yaitu data-data yang diperoleh dari sumber utama (


(24)

Perpustakaan, Kabid Penelitian dan Pengembangan, dan beberapa orang Klien pengguna Talking Book di Yayasan Mitra Netra ).

b. Data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari literatur yang

berhubungan dengan tulisan ini seperti para pengamat dan tokoh-tokoh sosial.

5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Yayasan Mitra Netra jl. Gunung Balong no. 21 Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Waktu penelitian selama 3 bulan yang terhitung dari bulan Maret 2011 sampai bulan Mei 2011.

6. Teknik Pemilihan Informan

Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berupaya memperoleh informasi tentang pelaksanaan program Talking Book dan apa saja yang menjadi konten program tersebut maka dalam penelitian ini

menggunakan non probability sampling7. Dimana tidak setiap populasi

mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Tidak representatif, dan peneliti tidak dibolehkan untuk membuat generalisasi hasil penelitian. Dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan besarnya sample, yang penting adalah kelengkapan data dan sumber informasi sesuai tujuan penelitian, dan sumber tersebut disebut informan.

Moleong mengemukakan bahwa informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi

7

Alston, Margareth. & Bowles, Wendy. (1998). Research For Sosial Worker : An Introduction to Methods. Canberra : Allen and Unwin Pty Ltd.


(25)

latar penelitian8. Sementara Taylor dan Grinnel mengatakan bahwa informan yang baik adalah mereka yang memahami latar penelitian, terlibat secra aktif di dalamnya, bersedia membantu, dapat meluangkan waktunya, dan memberikan tanggapan berdasarkan perspektif masing-masing. Untuk lebih jelasnya Lihat tabel 2 berikut yang menyajikan informasi & informan dalam penelitian :

Table 2. Informasi & Informan Penelitian

No Data Yang Dibutuhkan Informan Jumlah

1

2

3

Pelaksanaan Program

Buku Bicara (Talking

Book)

Evaluasi Hambatan

Program Buku Bicara (Talking Book)

Evaluasi SDM dan

Fasilitas Program Buku

Bicara (Talking Book)

1. WaDir Mitra Netra 2. Kabid Perpustakaan 3. Klien

1. Staff Perpustakaan 2. Kabid Perpustakaan 3. Klien

1. Kabid Litbang 2. Kabid perpustakaan 3. Staff Perpustakaan 4. Klien 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 8

Meleong, Lexy J. “Metode Penelitian Kualitatif”. (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001). h. 90.


(26)

7. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif secara teoritis merupakan proses penyusunan data untuk memudahkan penafsirannya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif biasanya berbentuk data deskriptif, yaitu data yang berbentuk uraian yang memaparkan keadaan obyek yang diteliti berdasarkan fakta-fakta aktual atau sesuai kenyataannya sehingga menuntut penafsiran peneliti yang dinyatakan oleh sasaran peneliti yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.

Pengolahan data dilakukan berdasarkan pada setiap perolehan data dari hasil observasi, wawancara dengan tiap-tiap informan dan studi dokumentasi untuk direduksi, dideskripsikan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan. Prosedur analisis terhadap masalah tersebut lebih difokuskan pada upaya menggali fakta sebagaimana adanya, dengan teknik analisis pendalaman kajian (verstehen). Untuk memberikan gambaran data tentang hasil penelitian. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyajikan data deskriptif mengenai pelaksanaan program Talking book yang difokuskan pada evaluasi peran dan konten program Talking Book tersebut.

8. Teknik Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku

“pedoman penulisan karya ilmiah skripsi, tesis, dan disertasi”, yang


(27)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis menyusun kedalam lima bab. Dimana setiap bab terdiri dari sub-sub bab tersendiri. Agar pembaca dapat memahami uraian selanjutnya, maka penulis mensistematisasikan pembahasan yang akan ditulis kedalam bab-bab sebagai berikut :

BAB I. Pendahuluan, memuat : Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II. Tinjauan Teoritis, merupakan paparan dari berbagai literature yang berhubungan dengan penelitian meliputi pembahasan mengenai metode-metode belajar atau program-program sebagai alat bantu

bagi tunanetra di yayasan mitra netra pada umumnya dan Program Talking

Book khususnya.

BAB III. Gambaran umum lokasi penelitian, yakni menggambarkan secara umum tentang Yayasan Mitra Netra: Sejarah singkat, visi dan misi,

program layanan, struktur organisasi dan Program Talking Book .

BAB IV. Hasil Penelitian, yakni sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian diuraikan tentang hasil penelitian dalam bentuk deskriptif, termasuk data-data faktual dan studi dokumentasi dengan

menjelaskan pelaksanaan program Talking Book yang ada di Yayasan

Mitra Netra. Analisis hasil penelitian, yang merupakan analisa hasil penelitian tentang proses pelaksanaan dan faktor-faktor lain dalam


(28)

program talking book tersebut. Sebagai analisa adalah konsep-konsep dan kerangka pemikiran yang ada di bab dua.

BAB V. Penutup yakni kesimpulan yang berisikan penilaian dari hasil evaluasi pelaksanaan program sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Terakhir dikemukakan beberapa saran yang terkait dengan permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan Program Talking Book khususnya mengenai proses dan hasil dilapangan.


(29)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Evaluasi

1. Pengertian Evaluasi

Menurut bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris "Evaluation",

yang berarti penilaian/penaksiran. Dan menurut pengertian istilah, evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan

tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.9

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Evaluasi diartikan dengan

penilaian.10 Menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan yang

bertujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu program. Dengan demikian, penelitian evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat efektifitas pelaksanaan program dengan cara mengukur hal-hal yang

berkaitan dengan keterlaksanaan program tersebut.11

Pius A. Partanto dan Al-Barry dalam kamus ilmiah popular mengartikan bahwa evaluasi secara etimologi adalah panaksiran, penilaian,

perkiraan keadaan dan penentu nilai.12 Sedangkan menurut terminology

9

M. Chatib Toha, “Teknik Evaluasi Pendidikan”, (Jakarta : Rajawali Press,1991), Cet Ke- 1, h.1.

10

Tim Penyusun, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet Ke-4.

11Suharsimi Arikunto, “

Penilaian Program Pendidikan”, (Jakarta : PT Bina Aksara, 1998), Cet.Ke-l, h. 8.

12

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. “Kamus Ilmiah Populer”, (Surabaya: Arloka.l994). h. l63.


(30)

pengertian Evaluasi menurut Casley dan Kumar adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi, kinerja, efesiensi dan dampak suatu proyek dikaitkan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, sementara Fink dan Kocekoff memberikan defmisi evaluasi adalah merupakan serangkaian

prosedur untuk menilai mutu sebuah program.13 Tetapi pada dasarnya

evaluasi dibutuhkan dalam setiap program untuk mengetahui keberhasilan dan kemajuannya serta sasaran apakah yang sudah tercapai atau belum dan hasilnya nanti diperbaiki menjadi lebih baik pada program selanjutnya.

Kemudian Stufflebeam juga membedakan Proaktictive Evaluation

untuk melayani pemegang keputusan, dan Retroactive Evaluation untuk

keperluan pertanggung jawaban. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi formatif, yaitu evaluasi yang dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk dan sebagainya). Fungsi Sumatif, yaitu Evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi,

menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.14

Dengan demikian dapat disimpulkan evaluasi program merupakan proses pemeriksaan dan penilaian sebuah program untuk mengetahui efektifitas masing-masing komponennya melalui rangkaian informasi yang diperoleh evaluator yang hendaknya membantu pengembangan,

13

Fredy S. nggao, “Evaluasi Program” (Jakarta, Nyansa Mandiri; 2003), h. 15.

14


(31)

implementasi, kebutuhan suatu program perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan informasi.

2. Model Evaluasi Program

Ada berbagai macam model-model evaluasi program, model-model tersebut merupakan alternatif-alternatif yang dipilih oleh evaluator sesuai dengan masalah dan tujuan evaluasi, salah satu diantaranya yaitu model evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Pietrzak, Ramler, Renner, Ford dan Gilbert guna mengawasi suatu program secara lebih seksama yaitu :

evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi hasil.15 Dengan pengertian

dibawah ini:

a. Evaluasi Input

Evaluasi ini dilakukan pada berbagai unsur yang masuk dalam pelaksanaan suatu program. Setidaknya ada tiga variabel utama yang terkait dengan evaluasi input ini yaitu : klien, staf dan program.

b. Evaluasi Proses

Evaluasi proses menurut Pietrzek (1990) memfokuskan diri pada aktifitas program yang melibatkan interaksi langsung antara klien dengan

staf terdepan (line staff) yang merupakan pusat dari pencapaian tujuan

(objektif) program.

c. Evaluasi Hasil

15

Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis) Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2003), h. 189.


(32)

Evaluasi hasil menurut Piertzek, diarahkan pada evaluasi keseluruhan

dampak (overall impact) dari suatu program terhadap penerimaan layanan

(recipient).16

Berdasarkan penjelasan tersebut dalam konteks ini penulis akan menggunakan pendekatan model evaluasi CIPP yang telah dikemukakan oleh Daniel L. Stufflebeam yaitu berupa evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam hal ini penulis akan memfokuskan penjelasan pada evaluasi pelaksanaan / proses. Berikut penjelasannya.

Evaluasi proses memfokuskan diri pada penilaian dinamika internal dan pengoperasian program. Dalam evaluasi ini yang dinilai adalah perjalanan operasi lembaga dan kualitas layanan yang diberikan. Aktivitas program yang dinilai mencakup interaksi langsung antara klien dengan staf

terdepan (line staff) dan yang terkait langsung dengan pencapaian tujuan

progam. Evaluasi proses berupaya menganalisa dan menilai keseluruhan proses berdasarkan kriteria yang relevan seperti: standar praktek terbaik (best practice standard), kebijakan lembaga, tujuan proses (proses goals) dan kepuasan klien.

Beberapa pertanyaan yang ada dalam evaluasi proses yang

dikemukakan oleh Prof. Dr. Suharsini Arikunto dalam bukunya “evaluasi

program pendidikan” diantaranya adalah17 :

a. Apakah pelaksanaan program tersebut sudah sesuai dengan jadwal ?

16

Ibid, h,189.

17

Suharsimi Arikunto, “Evaluasi Program Pendidikan”, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008), h. 47.


(33)

b. Apakah staff yang terlibat didalam pelaksanaan program sanggup menangani kegiatan selama program berlangsung dan kemungkinan jika program itu dilanjutkan?

c. Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara

maksimal?

d. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan

program dan kemungkinan jika program itu dilanjutkan?

3. Manfaat dan kegunaan Evaluasi

Feurstein menyatakan ada 10 manfaat dan keguanaan evaluasi yaitu :

a. Pencapaian, guna apa yang sudah dicapai

b. Mengukur kemajuan, Melihat kemajuan dikaitkan dengan objek

program

c. Meningkatkan pemantauan. Agar tercapai manajemen yang lebih baik

d. Mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan. Agar dapat memperkuat

program itu sendiri.

e. Melihat apakah usaha sudah dilakukan secara efektif. Guna melihat

perbedaan apa yang telah terjadi setelah diterapakan suatu program.

f. Biaya dan manfaat (cost benefit) melihat apakah biaya yang

dikeluarkan cukup masuk akal (reasonable).

g. Mengumpulkan informasi. Guna merencanakan dan mengelola


(34)

h. Berbagi pengalaman. Guna melindungi pihak lain terjebak dalam kesalahan yang sama, atau untuk mengajak seseorang untuk ikut melaksanakan metode yang serupa bila metode yang dijalankan telah berhasil dengan baik.

i. Meningkatkan keefektifan. Agar dapat memberikan dampak yang lebih

luas.

j. Memungkinkan terciptanya perencanaan yang lebih baik. Karena

memeberikan kesempatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, komunitas fungsional dan koraunitas lokal.

B. Program

1. Pengertian Program

Program adalah sederetan rencana kegiatan yang akan

dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok organisasi, lembaga, bahkan Negara. Menurut Suharsimi Arikunto program adalah sederetan rencana

kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai satu tujuan tertentu.18

2. Tujuan Program

Tujuan program merupakan suatu yang pokok dan harus dijadikan pusat perhatian. Jika suatu program tidak memiliki tujuan yang bermanfaat, maka program itu tidak perlu dilaksanakan, karena tujuan menentukan apa yang akan diraih oleh suatu program.

Tujuan program dibagi menjadi dua yaitu: 1. Tujuan Umum

18

Suharsimi Arikunto, “Penilaian Program Pendidikan”, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1998). h. 1


(35)

2. Tujuan Khusus

Tujuan umum biasanya menunjukkan Output dari program jangka

panjang. Sedangkan tujuan khusus Outputnya untuk jangka pendek.19

C. Evaluasi Program

Agar mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh suatu program, maka harus melakukan Evaluasi, Evaluasi merupakan satu kegiatan untuk

mengukur dan menilai sebuah hasil dari suatu program atau kegiatan.20

D. Buku Bicara

a. Definisi Buku Bicara (Talking Book)

Berdasarkan buku modul yang berjudul Apa dan Siapa Yayasan

Mitra Netra tahun 1999 halaman 1. Buku bicara (talking book} adalah

buku dalam bentuk kaset (disebut analog talking book) atau dalam bentuk

compact disc/CD (disebut dengan istilah digital talking book). Menurut Kamus Pendidikan karya Dra. Lenny Fanggidaesij halaman 195. “Talking book adalah sebuah buku yang dibaca dengan suara keras pada audio-tape

untuk digunakan oleh orang-orang buta”21.

Menurut Benet’s Readers dalam Encyclopedia of America

Literature, definisi asli dari talking book/buku bicara adalah "The books recorded for the use of the blind artinya buku yang direkam untuk dipergunakan oleh orang-orang buta.

19

Ibid, h. 35

20

Wayan Nurkacana, “Evaluasi Pendidikan” (Surabaya: Usaha Nasional, 1976), h. 85.

21


(36)

Definisi Talking Book menurut kamus Word Reference.Com adalah : “Talking book are sound recording of someone reading a book, frequently

used by blind people”, artinya rekaman suara dari seorang pembaca buku

yang sering dipergunakan oleh orang tunanetra. b. Rangkuman Definisi Buku Bicara

Dari definisi diatas maka dapat diambi kesimpulan:

1. Buku yang direkam ke dalam pita analog kaset atau dalam bentuk

Compact Disc (CD)

2. Memiliki dua macam bentuk, yaitu kaset atau Compact Disc (CD)

3. Dibacakan oleh satu orang pembaca naskah (tunggal) atau lebih dari

satu orang.

4. Penggunaan buku bicara ditujukan untuk orang-orang tunanetra.

c. Sejarah Perkembangan Buku Bicara menurut Jenifer Lindsey dalam Artikelnya yang Berjudul Talking Book.

Konsep buku bicara telah dikenal pada 5000 tahun yang lalu dengan cara yang masih tradisional yaitu dengan membacakan cerita dan puisi dengan lisan secara langsung kepada para penyimak atau penonton. Namun, ketika teknologi telali berkembang dan telah diciptakan mesin alat

perekam suara maka lahirlah audio Talking Book.

Kongres membuat sebuah sebuah program buku bicara, yang diberi nama Proyek Buku untuk Orang-orang Tunanetra Dewasa pada tahun 1931. Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi tunanetra dewasa.


(37)

Pada tahun 1932, buku bicara yang pertama dibuat oleh Organisasi Tunanetra Amerika dan Organisasi Pengembangan Mesin Radio untuk membuat alat pemutar kaset, pada tahun 1933 telah dapat memproduksi mesin pemutar kaset. Pada tahun 1934, kongres membuktikannya dengan pengiriman buku bicara melalui pos untuk warga Negara yang membutuhkan tanpa dipungut biaya. Dan ketika tahun 1935 program buku bicara telah sepenuhnya berjalan.

Tujuan dasar dari program ini adalah untuk melayani orang tunanetra yang dewasa. Namun, pada tahun 1952 program ini telah dapat melayani kebutuhan anak-anak, tahun 1966 program ini terus dikembangkan hingga meliputi individu yang memiliki keterbatasan atau ketidak mampuan dalam membaca buku.

Jaringan organisasi NLS (National Library Service untuk Tunanetra

dan Cacat Fisik), telah mengedarkan lebih dari 21 juta kopi, buku Braile, dan majalah untuk 761.300 pembaca di tahun 1992. Kaset-kaset ini dikirim kepada masyarakat yang membutuhkan melalui jaringan perpustakaan lokal dan daerah.

Kaset audio menjadi sangat pupuler pada akhir tahun 1960, ketika kaset masuk ke pasaran. Pertama, yang ada di pasaran kebanyakan adalah kaset yang memberikan instruksi atau petunjuk, membantu untuk mempelajari bahasa asing, kemudian muncul kaset panduan. Pada tahun

1970-an, sebuah perusahaan yang bernama Book on Tape membuat buku


(38)

masyarakat. Dan perusahaan memberikan layanan peminjaman melalui

internet. Perusahaan Book on Tape mengembangkan pelayanannya dengan

adanya bagian pelayanan.

Dukungan dan kontribusi untuk mempopulerkan buku bicara dilakukan oleh radio. Radio umum milik masyarakat membuat sebuah program yang mendorong pendengar untuk dapat terbiasa inendengar kata-kata.

Pada akhir tahun 1970 ketika buku bicara sangat populer, beberapa perusahaan memulai untuk berbisnis audio book. Perusahaan yang pertama

kali memulai bisnis ini adalah Recorded Books berdiri pada tahun 1979

dan Olivers Audio Books pada 1980, sampai dengan tahun 1990 bisnis buku bicara terus berkembang pesat. Ketika, tahun 1991 dibuat sebuah festival penghargaan untuk buku bicara terbaik, seperti layaknya sebuah Academy Award. Di tahun 1997 masyarakat Amerika membuat sebuah Klub pengguna buku bicara. Yang beranggotakan tidak hanya orang buta, tetapi orang normal pun ikut serta.

d. Perkembangan Buku Bicara di Dunia menurut Encyclopedia Americana Volume 4

Sejak pertama kali kehadiran Braile, penggunaanya sudah tersebar luas. Pada tahun 1868, perpustakaan Umum di Boston yang pertama kali memiliki koleksi Braile dan membuat sebuah unit lembaga untuk anggota pembaca perpustakaan runantera dengan koleksi 8 buah buku timbul (Braile). Selama perang dunia I, Palang Merah Dunia memulai


(39)

mentranslitkan atau memindahkan buku orang normal kedalam buku Braile, sehingga permintaan terhadap pemesanan braile meningkat pesat.

Pada tahun 1931, kebijakan Pratt-Smoot mengesahkan bahwa pemerintah

memberikan wewenang kepada perpustakaan umum untuk memberikan pelayanan kepada tunanetra dibawah pengarahan dewan perpustakaan untuk tunanetra.

Pertama kali progran ini masih terbatas hanya pada buku Braile. Namun, pada tahun 1934 program ini semakin luas hingga produksi buku

bicara (talking book). Buku bicara merekarn buku-buku dan

majalah-majalah, nembaca naskah dibacakan oleh aktor profesional yang diproduseri atau didanai oleh Yayasan untuk orang-orang tunanetra dan Percetakan Buku Braile Amerika. Buku bicara didistribusikan ke perpustakaan daerah tanpa dikenai biaya pengiriman. Di tahun 1966 program perpustakaan ini terus dikembangkan sampai menawarkan program-program seperti buku dan kamus untuk direkam kedalam kaset, musik Braile dan kursus membaca tuhsan Braile yang ditujukan untuk para sukarelawan. Dewan Perpustakaan untuk Tunanetra merevisi persyaratan dalam kemudahan penggunaan buku bicara dapat dmikmati oleh para tunanetra dan orang-orang penyandang cacat lainnya. Beberapa sukarelawan membantu dalam perekaman buku-buku teks berdasarkan permintaan. Organisasi yang sangat aktif dalam membuat perekaman kaset untuk tenanetra telah memiliki cabang di 16 kota di Amerika. Beberapa organisasi tersebut adalah Yayasan John Milton, Perkumpulan Al Kitab


(40)

Amerika, dan beberapa organisasi khusus buku-buku Braille dibidang Agama. Semuanya adalah organisasi yang aktif membuat buku bicara.

Program buku bicara di Inggris telah dikenal pada tahun 1935 bersamaan dengan rekaman dalam bentuk Compact Disc (CD), yang dalam bentuk kaset lalu dipindahkan kedalam bentuk CD. Buku bicara telah dikenal di seluruh Eropa dan Kanada, Australia, New Zealand, Afrika Utara, India, Sri Langka, Jepang, dan Amerika Latin.

Dewan Braille Dunia memiliki peranan yang sangat penting dalam mendorong upaya pengembangan Braille di tiap-tiap daerah dan penyebaran bahan buku Braile dalam bermacam-macam bahasa. Penyeragaman kode untuk Braille bahasa Spanyol telah dilakukan pada tahun 1951. Kemudian konfrensi untuk membahas penyelenggaraan produksi pembuatan Braille dan buku bicara Spanyol diselenggarakan di Buenos Aires pada tahun 1996.

Perkembangan digital talking book diseluruh dunia terus maju pesat,

selling dengan kebutuhan yang bertambah banyak. Maka disetiap Negara

memiliki sistem dan alat digital talking book yang berbeda-beda. Oleh

karena untuk keseragaman dan kemudahan bagi pengguna di seluruh dunia maka perpustakaan buku bicara diseluruh dunia membuat sebuah kesreragaman dengan membentuk sebuah konsorsium yang diberi nama Digital Audio Information System atau DAISY pada tahun 1994 di

Swedia. DAISY juga membuat Play back atau alat untuk memutar


(41)

E. Definisi Pendidikan Inklusif

Pendidikan Inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah / kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali, meliputi : anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama, penyandang HIV/ AIDS, dan sebagainya. Mereka dididik dan diberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan cara yang ramah dan penuh kasih

sayang tanpa diskriminasi22.

a. Menurut Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman

Pendidikan Inklusif adalah penggabungan pendidikan regular dan pendidikan khusus ke dalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa. Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinnekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal nuntuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan

Yang Maha Esa23.

22

Written by Dedekusn. “Pentingnya Pendidikan Inklusif”. Last Updated on Monday, 1 February 2010 06:14 pm .

23

Written by Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman. “Anak Berkebutuhan Khusus”. Sunday, February 8th, 2009 at 07:37 pm.


(42)

b. Menurut Dyah. S

Pendidikan Inklusif pada hakikatnya adalah bagaimana memahami segala kesulitan pendidikan yang dihadapi oleh peserta didik. Peserta didik berkelainan misalnya, mereka mendapatkan kesulitan untuk mengikuti beberapa kurikulum yang ada, atau tidak mampu mengakses cara baca tulis secara normal, atau kesulitan mengakses

lokasi sekolah dan sebagainya24.

F. Hakikat Tunanetra

Dari segi bahasa tunanetra dari kata tuna dan netra. Tuna berarti

rusak, luka, kurang. atau tidak memiliki, sedangkan netra berarti mata. Maka

tunanetra adalah orang yang rusak atau luka matanya sehingga tidak dapat atau kurang dalam penglihatannya. Tunantera ada 2 macam yaitu buta total

dan buta sebagian (low vision).

Secara sederhana tunanetra dapat diartikan sebagai penglihatan tidak normal. Ada 2 pendekatan yang umumnya dipakai untuk mengartikan tunanetra, yaitu tunanetra secara legal (kedokteran) dan arti tunanetra sudut pandang pendidikan.

Menurut American Foundation for the Blind, seperti dikutip oleh

Norris G. Harring, tunanetra secara “legal” adalah mereka yang memiliki ketajaman penglihatan sentral 20/200 kaki atau lebih kecil (lebih buruk) atau mereka yang luas pandangannya demikian sempit sehingga tidak lebih dari 20

24Dyah. S. “

Pengkajian Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”. H. 4.


(43)

derajat (Legally blind people have cebtral visual acuity of 20/200 feet, or have periherd vision is 20 degress or less in the better eyes).

1. Pengertian Tunanetra

Menurut Kirk seperti dikutip oleh Mulyono Abdurrahman dan

Soedjadi, arti tunanetra secara pendidikan adalah mereka yang penglihatannya tidak sempurna, cacat atau rusak sehingga ia tidak dapat dididik dengan metode-metode yang menggunakan penglihatan (awas) sehingga memerlukan metode khusus dalam pengajaran.

Dilihat dari segi pendidikan siswa yang mengalami kesulitan dalam mengjkuti pendidikan yang dirancang untuk siswa awas. Sehingga mereka memerlukan metode khusus dalam pengajaran, misalnya: dalam proses pembelajaran mereka memerlukan pendekatan-pendekatan dan alat bantu secara khusus, misalnya: alat tulis Braille.

Sedangkan arti tunanetra secara pendidikan menurut Surai dan Rizzo

seperti dikutip oleh Frieda Mangunsong membagi tunanetra menjadi 2

(dua) kelompok, mencakup siswa tuanetra yang tergolong buta akademis dan siswa tunanetra yang melihat sebagian. Maksudnya buta akdemis adalah buta secara keseluruhan tidak dapat melihat sedikit pun.

2. Klasifikasi Tunanetra

Tunanetra terbagi menjadi dua yaitu buta total yaitu mereka yang sama sekali tidak berfimgsi indera penglihatannya karena sudah rusak sulit

untuk disembuhkan dan yang kedua adalah law vision yaitu mereka yang


(44)

Menurut Soekini Pradopo secara garis besar membagi menjadi dua yaitu:

 Ditinjau dari waktu terjadinya kecacatan dapat digolongkan atas.

1) Penderita tunanetra sebelum dan sesudah lahir, yaitu mereka yang

sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan

2) Pendidikan tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yang

sudah memiliki kesan-kesan dan pengalaman visual, tetapi kuat dan mudah terlupakan.

3) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja;

kesan-kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

4) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu dengan segala

kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuain diri.

5) Penderita tuanetra dalam usia lanjut, yang sebagian besar sudah

sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

 Klasifikasi tunanetra berdasarkan kemampuan daya lihat.

a) Penderita Tunanetra Ringan (Defective Vision/Low Vision)

Yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan seperti rabun, juuling, myopia ringan dan masih mampu mengikuti program pendidikan biasa dan masih mampu berjalan sendiri tanpa tongkat atau melakukan pekerjaan yang


(45)

memerlukan penglihatan seperti membaca, bermain badminton, mengetik, dll.

b) Tunanetra Setengah Berat (Partially Sighted)

Yaitu mereka yang kehilangan sebaaian daya penglihatan. Hanya dengan menggunakan kaca mata pembesar mereka masih bisa mengikuti program pendidikan atau masih bisa mengikuti program pendidikan atau masih mampu membaca tulisan yang berhuruf tebal. Masih bisa melihat muka orang yang diajak bicara namun kurang jelas dan masih bisa melihat benda-benda besar dihadapan tapi tidak jelas seperti kusi, pintu, tembok,dIl

c) Tunanetra Berat (Totally Blind)

Yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat (gelap sama sekali) yang oleh masyrakat disebut buta.

3. Karakteristik Tunanetra Kurang Lihat (Low Vision)

Low Vision termasuk kedalam klasifikasi tunanetra yang ringan, maka kemungkinan dapat disembuhkan. Pada anggota perpustakaan Yayasan Mitra Netra banyak ditemui tunanetra yang mengalami low vision, karena itu perlu diketahui karateristiknya, adalah sebagai berikut:

a. Menanggapi rangsang cahaya yang daring padanya.

Bila ada benda yang terkena sinar cahaya, tunanetra kurang lihat bereaksi atau merespon benda tersebut dengan cara mencari benda


(46)

yang terkena sinar matahari dan tidak akan berhenti mencari bila belum dapat melihataya

b. Selalu mencoba mengadakan fixation terhadap suatu benda.

memfokuskan terhadap ritik benda, yaitu dengan cara mengerutkan dahi dengan tujuan melihat benda yang ada disekitarnya.

c. Merespon warna

Tunaneta kurang lihat selalu berusaha memberi komentar pada warna benda yang dilihatnya, terutama warna-warna mencolok.

d. Bergerak dengan penuh percaya diri.

Karena tunanetra kurang lihat masih dapat melihat siluet-siluet benda didepannya.

e. Dapat menghindari rintangan-rintangan yang berukuran besar. Dengan

sisa penglihatan yang dimilkinya maka rintangan-rintangan yang berukuran besar masih dapar dihindarinya.

f. Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa penglihatannya.

g. Selalu melihat benda dengan menyeluruh. Keterbatasannya dalam

melihat menyebabkan tunanetra kurang lihat tidak jeli melihat benda secara detail atau rinci.


(47)

BAB III

YAYASAN MITRA NETRA

A. Latar Belakang

Yayasan Mitra Netra merupakan satu-satunya lembaga swasta yang menjadi pelopor dalam program pelayanan terhadap tunanetra. Banyak prestasi yang telah dicapai dan menghasilkan produk-produk yang inovatif. Yayasan ini lahir di latarbelakangi oleh fenomena minimnya kepedulian masyarakat terhadap eksistensi dan fungsi tunanetra dalam dunia pendidikan dan bahkan dunia kerja. Mitra Netra membangun sebuah model-model pelayanan yang sangat tepat untuk mendampingi tunanetra yaitu dengan program-programnya.

Yayasan Mitra Netra ini adalah organisasi nirlaba yang memusatkan programnya pada upaya meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Mitra Netra Didirikan di Jakarta tanggal 14 Mei 1991, dan berstatus sebagai badan hukum dengan terdaftar pada Tambahan Berita Negara tanggal 14/12 tahun 2001 nomor 100. Yayasan ini didirikan oleh beberapa orang tunanetra yang berhasil menyelesaikan studinya di perguruan tinggi bersama-sama dengan sahabat-sahabat mereka yang bukan tunanetra. Mitra Netra juga diartikan kerja sama antara tunanetra dengan mereka yang bukan tunanetra. Hal ini tercermin dalam struktur organisasi Yayasan ini yaitu hampir di setiap organ organisasi senantiasa terdiri dari unsur tunanetra dan mereka yang bukan tunanetra. Mitra Netra


(48)

berprinsip bahwa yang paling memahami masalah dan kebutuhan para tunanetra adalah tunanetra itu sendiri. Akan tetapi untuk mengatasi masalah serta memenuhi kebutuhan tersebut tunanetra tidak dapat melakukannya

sendirian, tunanetra harus bermitra dengan mereka yang tidak tunanetra25.

Semangat kemitraan ini tidak hanya di dalam institusi Mitra Netra saja, tetapi juga diaktualisasikan pada kiprah Yayasan ini di masyarakat. Dalam menyelenggarakan dan mengembangkan layanan untuk tunanetra, Mitra Netra senantiasa bekerja sama dengan lembaga atau organisasi lain baik pemerintah

maupun swasta, dengan maksud untuk membangun sinergi26.

B. Sejarah Singkat Perjalanan Mitra Netra Menuju Rumah Sendiri di Gunung Balong Lebak Bulus

Mitra Netra beroperasi d Gunung Balong pada tahun 2002 yaitu setelah Yayasan ini berumur 11 tahun. Sebelumnya, lembaga yang secara konsisten melayani para tunanetra di negeri ini masih harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat awal didirikan, Mitra Netra menempati ruangan berukuran3 x 3 m yang berada di sebuah perusahaan penerbit buku (Jambatan) yang terletak di jalan Keramat. Ibu Roswita Singgih yang merupakan salah seorang pengurus kala itu adalah pemilik perusahaan tersebut, beliau yang bersedia meminjamkannya kepada Mitra Netra. Hanya kurang lebih dua tahun berada di sana, Mitra Netra harus pindah karena ruangan itu harus direnovasi dan dimanfaatkan oleh sang pemilik. Dari

25

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).

26

Data update 2011 www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(49)

Keramat, Mitra Netra kemudian melanjutkan perjalanan hidupnya ke Lenteng Agung, meminjam sebuah rumah yang sedang dalam proses dijual. Tentu ini bukan situasi yang menenangkan hati, sama seperti sebelumnya, karena Yayasan ini harus siap setiap saat meninggalkan rumah tersebut tatkala sang pemilik baru akan menghuni rumah itu.

Hanya kurang lebih satu tahun bermukim di Lenteng Agung, Yayasan ini mendapatkan pinjaman tempat di salah satu ruangan milik Yayasan Pamentas di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan. Hal ini terjadi karena prestasi Mitra Netra dalam memproduksi bahan-bahan konferensi Disable People International (DPI) dalam huruf Braille untuk peserta tunanetra, yang kala itu diselenggarakan di Jakarta. Atas prestasi ini, ketua panitia konferensi yang juga ketua Yayasan Pamentas mengijinkan Mitra Netra menempati salah satu ruangan berukuran 7 x 5 di lingkungan Yayasan ini. Pada periode inilah kegiatan Mitra Netra mulai tumbuh dan berkembang. Produksi buku bicara mulai dilengkapi dengan studio rekaman kedap suara, meski dalam bentuk yang sederhana. Tidak hanya itu, buku Braille pun mulai diproduksi karena telah memiliki mesin Braille embosser meski masih dalam skala yang kecil yaitu 40 karakter per detik dan hanya mampu mencetak satu sisi (single sided printing).

Karena makin banyaknya kegiatan serta penyebaran tunanetra yang dilayani yaitu hampir di lima penjuru Jakarta, menempati satu ruangan di Yayasan Pamentas saja tidak cukup. Pak Sidarta Ilyas, yang berprofesi sebagai dokter kemudian mengupayakan penambahan fasilitas ruangan kantor.


(50)

Melalui pertemanan dengan DR. Sujudi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI, Mitra Netra kemudian mendapatkan pinjaman ruangan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang berada di jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat. Ruangan berukuran 35 meter persegi ini kemudian dimanfaatkan untuk kantor sekretariat dan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra untuk wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara.

Dari sisi manajemen, organisasi sudah memiliki dua kantor secara terpisah yang mana di saat kondisi organisasi masih relatif muda dan belum mapan ini bukanlah hal yang mudah. Kondisi ini akan memperpanjang waktu koordinasi, dan dari sisi biaya ini tentu tidak efisien. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan layanan, keberadaan kantor Mitra Netra di Jakarta Pusat sangat memudahkan tunanetra yang berada di sekitarnya untuk mengakses layanan Mitra Netra meski tidak semuanya, sehingga tidak perlu datang ke pusat layanan yang ada di Jakarta Selatan. Kala itu Mitra Netra dapat dikatakan tidak punya pilihan. Dalam kondisi terus tumbuh di satu sisi dan keterbatasan fasilitas yang dimiliki di sisi lain, kabar gembira datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang pada waktu itu dijabat oleh Wardiman. Setelah bertemu dengan para pengurus dan mengetahui peran Mitra Netra dalam melayani tunanetra, Pak Menteri memutuskan untuk memberikan pinjaman kantor kepada Yayasan ini, dan tempat yang dipilih adalah di lingkungan sekolah luar biasa (SLB) untuk tunanetra di jalan Pertanian Raya Lebak Bulus Jakarta Selatan. Keputusan itu adalah, bahwa Mitra Netra


(51)

diperbolehkan menggunakan kantor tersebut selama Yayasan ini membutuhkannya.

Kantor dua lantai berukuran 200 meter persegi kemudian dibangun di bagian belakang sekolah untuk tunanetra di Jakarta Selatan tersebut. Hanya ada yang berbeda dari apa yang telah diputuskan sang Menteri dan yang telah diinformasikan kepada Mitra Netra. Setelah melalui proses disposisi, perintah Menteri dikerjakan oleh eselon yang ada di tingkatan lebih bawah. Dan di level inilah keputusan itu diubah. Ruangan kantor dua lantai yang oleh Menteri sedianya boleh dimanfaatkan selama Mitra Netra membutuhkannya, diubah menjadi hanya dipinjamkan dalam waktu tiga tahun. Setelah ruangan kantor yang dipinjamkan itu usai dibangun, kegiatan layanan Mitra Netra yang berada di Yayasan Pamentas lalu dipindahkan ke kantor baru tersebut. Sedangkan kantor sekretariat yang berada di jalan Percetakan Negara tetap dipertahankan.

Sepanjang periode berada di lingkungan SLB ini upaya untuk memiliki kantor sendiri terus dilakukan. Tapi belum memberikan hasil. Dan Karena tidak memiliki alternatif lain, memasuki tahun ketiga masa peminjaman kantor

tersebut. Mitra Netra menyampaikan permohonan perpanjangan

penggunaannya kepada instansi yang memiliki aset tersebut. Akan tetapi bukan persetujuan yang diterima, melainkan pemberitahuan untuk segera pindah karena gedung yang sebenarnya secara fisik sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk menampung sarana dan fasilitas yang Mitra Netra miliki ini akan dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dan kondisi ini membuat


(52)

Mitra Netra memiliki alasan kuat untuk membuat salah satu partnernya yaitu Foundation Dark & Light Blind Care (DLBC) dari Belanda, yang sejak tahun 1999 membiayai program produksi dan distribusi buku Braille serta buku bicara, akhirnya menyetujui permintaan Yayasan ini untuk membelikan kantor baru dan menjadikan kantor itu milik Mitra Netra sendiri.

Ibarat pepatah mengatakan “ Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke

tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian “. Itulah yang Mitra

Netra alami. Selalu dihadapkan dalam kondisi terdesak yang mana harus berpindah-pindah dari kantor-kantor yang sifatnya hanya pinjaman itu telah membuat Mitra Netra sejak tahun 2002 dapat terus bertahan dan terus mengembangkan eksistensinya hingga kini sampai di tempat yang sudah menjadi hak milik Mitra Netra sendiri yaitu tepatnya di jalan Gunung Balong II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan.

C. Alamat Yayasan Mitra Netra

Jl. Gunung Balong II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan. D. Tokoh-Tokoh Pendiri Yayasan Mitra Netra

1. Lukman Nazir

Lukman, pria berdarah sunda ini menjadi tunanetra saat berusia 40 tahun karena glaukoma (meningginya tekanan cairan bola mata), beliau merasakan betapa sulitnya menjadi orang yang baru saja mengalami kebutaan tanpa dukungan layanan serta fasilitas yang memadai. Sebagai pria dewasa yang telah merasakan bekerja dan mencapai puncak karir sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, beliau bingung


(53)

dan tidak tau pekerjaan apa yang bisa ia lakukan setelah menjadi orang buta. Sebagaimana kebanyakan orang, yang ia tahu saat itu adalah tunanetra hanya bisa menjadi pemijat, tapi ia tidak mau menjalani pekerjaan itu karena itu bukan minatnya. Beliau mengatakan "Pasti ada bidang pekerjaan lain yang bisa dilakukan tunanetra, atau bahkan akan lebih produktif jika dilakukan oleh tunanetra", begitu yang sering ia katakan untuk selalu mendorong Mitra Netra, selain memberikan layanan

di bidang pendidikan, juga merintis program diversifikasi

(penganekaragaman) peluang kerja untuk tunanetra27.

2. Bambang Basuki

Pak Bambang Menjadi tunanetra saat usia remaja karena glaukoma, dan telah menghabiskan lima tahun tanpa melakukan apapun. Beliau mengatakan "hanya menunggu mati". Akan tetapi semangatnya mulai bangkit saat beliau memutuskan mengubah nama panggilannya

setelah ia menjadi butayaitu dengan panggilan “Bambang”. Semula ia

dipanggil Basuki, setelah bertemu dengan Joni Watimena, seorang tunanetra yang menjadi guru di sekolah luar biasa untuk tunanetra. Muncullah keinginannya untuk dapat berguna bagi anak-anak tunanetra, ia memutuskan menjadi guru di sekolah luar biasa untuk tunanetra. Pak Bambang mendaftarkan diri ke IKIP Jakarta - sekarang Universitas Negeri Jakarta, dan memilih jurusan pendidikan bahasa Inggris. Sudah bisa

27

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(54)

dipastikan kesulitan yang ia hadapi saat itu, tanpa dukungan dari lembaga

penyedia layanan seperti Mitra Netra28.

Dari pengalaman pribadi beliau ketika menjalani masa studi di perguruan tinggi yang sangat "menekan" itulah maka Pak Bambang turut mendorong pendirian Yayasan Mitra Netra di tahun 1991, dan sejak tahun 2001 beliau diminta menduduki jabatan Direktur Eksekutif hingga sekarang. Pengalaman sulit di masa awal menjadi tunanetra serta di saat menempuh studi di jurusan Bahasa Inggris IKIP Jakarta telah memberikan inspirasi serta energi bagi Pak Bambang yang secara bertahap terus mengembangkan ide-ide kreatifnya hingga menjadikan Mitra Netra seperti

saat ini yaitu satu-satunya lembaga yang menyediakan dan

mengembangkan layanan untuk tunanetra secara komprehensif, dan menjadikan Yayasan yang dilahirkannya berfungsi sebagai "lokomotif" pendorong kemajuan tunanetra di negeri ini.

3. Nicoline N. Sulaiman

Perempuan berdarah asli belanda ini ibarat "Ibu" bagi Yayasan Mitra Netra. Hatinya tersentuh ketika ada seorang perempuan tunanetra yang datang kepadanya dan ingin belajar bahasa Belanda. Saat itu pula, Nicoline yang biasa dipanggil "Ibu Nina", yang juga merupakan guru besar di Universitas Nasional bidang Bahasa Inggris, terkesan karena ada tunanetra di Indonesia yang berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Menurut beliau seharusnya ada lebih banyak tunanetra yang bisa

28

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(55)

berpendidikan tinggi. Untuk mewujudkan keadaan ini, tentu harus ada lembaga yang memberikan layanan pendukung untuk mereka. Dan, Yayasan Mitra Netra adalah wujudnya.

Akan tetapi Tuhan tidak mengijinkan Ibu yang telah mendedikasikan sebagian harinya untuk para tunanetra ini mendampingi Mitra Netra saat Yayasan ini tumbuh pesat. Di tahun 1993 hanya dua tahun setelah Mitra Netra dilahirkannya, sang Maha Pencipta memanggilnya, meninggalkan rasa kehilangan yang amat sangat pada orang-orang yang telah bersamanya melahirkan Mitra Netra, serta para tunanetra yang dilayani oleh Mitra Netra. Sebelum beliau berpulang, Nicoline telah memberikan amanah pada suami tercinta yaitu Sulaiman M. Sumitakusuma untuk melanjutkan perjuangan yang baru ia rintis di Mitra Netra. Dan sepeninggal Nicoline, Pak Sulaiman kemudian melanjutkan

tugas-tugas Ibu Nicoline menjadi penasehat Yayasan Mitra Netra29.

4. Mariani Lusli

Mimi (nama panggilannya) menjadi tunanetra pada usia 10 tahun. Dan Mimi pulalah yang telah mengilhami Nicoline Sulaiman untuk mendirikan Yayasan Mitra Netra. Beliaulah tunanetra yang datang pada Ibu Nicoline dan ingin belajar bahasa Belanda. Seperti halnya Pak Bambang Basuki, pengalamannya selama menjalani pendidikan tanpa dukungan fasilitas dan layanan yang dibutuhkan telah mengilhaminya serta memberinya energi untuk bekerja bersama-sama Mitra Netra yaitu

29

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(56)

untuk menyediakan dan mengembangkan layanan pendukung pendidikan bagi tunanetra.

Karena kesibukannya di masyarakat, sejak tahun 2001 Mimi tidak lagi aktif di Yayasan yang didirikannya ini. Setelah menyelesaikan masternya di Inggris, di tahun 2007 Mimi bergabung dengan Helen Keller Internasional/Indonesia (HKI/Indonesia) yaitu sebuah organisasi asal Amerika yang mempromosikan upaya-upaya pencegahan kebutaan di dunia termasuk Indonesia, dan sejak enam tahun terakhir organisasi ini juga kembali aktif mempromosikan pendidikan inklusif untuk anak-anak tunanetra setelah sebelumnya di tahun 80an mereka merintis pendidikan terpadu. Di lembaga ini, Mimi aktif mempromosikan sistem pendidikan inklusi untuk murid-murid berkebutuhan khusus termasuk murid

tunanetra30.

2. Sidarta Ilyas

Pak Prof, begitu beliau biasa di panggil di Mitra Netra. Beliau adalah dokter spesialis ahli mata. Tapi beliau tidak seperti rekan sejawatnya, ibeliau memiliki kepedulian lebih pada para pasien yang secara medis tidak lagi bisa disembuhkan artinya mengalami gangguan penglihatan permanen. Pak Bambang dan Bu Mimi adalah pasiennya. Dan karena kepeduliannya itu, saat Bu Mimi dan Bu Nicoline mengajaknya mendirikan Mitra Netra, beliau menyambut gembira. Beliau berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan permanen, baik

30

Data update 2011. www.mitranetra.or.id(Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(57)

buta total maupun lemah penglihatan masih dapat menjalani kehidupan yang berkualitas. Untuk itu diperlukan bantuan khusus pada mereka untuk

membuat para tunanetra menjadi mandiri dan berfungsi di masyarakat31.

Ketiadaan layanan dan sarana khusus yang tepat bagi tunanetra di bidang pendidikan mengakibatkan tidak adanya kesamaan kesempatan melalui kesetaraan perlakuan bagi tunanetra di bidang tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan sumber daya manusia tunanetra tidak dapat mengembangkan potensinya, sehingga sulit bersaing di dunia kerja, baik di sektor formal maupun non formal.

Dilatarbelakangi situasi inilah maka, pada 14 Mei 1991, Lukman Nazir, Bambang Basuki, Mimi Mariani, Nicoline, Sidarta Ilyas dan beberapa sahabat yang lain bersepakat mendirikan Yayasan Mitra Netra. Para pendiri Mitra Netra memiliki keyakinan bahwa:

1. Tunanetra dapat menjalani kehidupan yang mandiri, cerdas, bermakna dan

bahagia serta berfungsi di masyarakat apabila diberikan:

o Rehabilitasi yang dapat mengura ngi dampak kecacatannya,

o Pendidikan dan latihan yang dapat mengembangkan potensinya,

o Peluang kerja yang seluas-luasnya,

o Serta sarana atau layanan khusus yang dibutuhkan.

2. Tidak semua tunanetra dan keluarganya mampu menyediakan dan

membiayai sendiri kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga yang membantu mengupayakannya untuk mereka.

31

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(58)

3. Untuk menjamin agar program yang diselenggarakan sesuai dengan aspirasi tunanetra, maka, tunanetra harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasi suatu program. Para tunanetralah yang paling mengerti dan memahami kebutuhan mereka.

4. Untuk meringankan tantangan yang dihadapi, diperlukan sinergi antara

tunanetra dengan sahabat-sahabat yang bukan tunanetra, serta antara Mitra Netra dengan organisasi lain.

5. Dengan menggunakan pendekatan secara inklusif yang

mengakomodasikan berbagai jenis perbedaan, perlakuan diskriminatif akan dapat dikurangi atau dihindari.

E. Visi Dan Misi

Sebagai bagian dari komponen bangsa, Yayasan Mitra Netra mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang inklusif masyarakat yang dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan, bebas hambatan dan berdasarkan atas hak. Dalam masyarakat semacam ini, tunanetra akan dapat hidup mandiri, cerdas, bermakna dan bahagia serta berfungsi di masyarakat. Dalam upaya memberikan perannya untuk mewujudkan cita-cita itu, visi Yayasan Mitra Netra adalah:

"BERFUNGSI SEBAGAI PENGEMBANG DAN PENYEDIA

LAYANAN, GUNA TERWUJUDNYA KEHIDUPAN TUNANETRA YANG MANDIRI, CERDAS DAN BERMAKNA DALAM MASYARAKAT YANG INKLUSIF" 32

32

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(59)

Mitra Netra adalah lembaga yang terus tumbuh, dan dalam perannya sebagai organisasi lokomotif yang mendorong kemajuan bagi tunanetra di Indonesia, Yayasan ini juga melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas lembaga lain, sehingga lembaga-lembaga tersebut makin meningkat kemampuannya dalam melayani dan memberdayakan tunanetra. Dan dalam perannya Sebagai sebuah pusat layanan dan pelatihan bagi tunanetra dan organisasi lain, Yayasan ini hadir di tengah-tengah masyarakat dengan misi sebagai berikut:

 Mengurangi dampak ketunanetraan melalui rehabilitasi

 Mengembangkan potensi tunanetra melalui pendidikan dan pelatihan

 Memperluas peluang kerja tunanetra melalui upaya diversifikasi dan

penempatan kerja

 Mengembangkan keahlian dan sarana khusus yang dibutuhkan melalui

penelitian

 Meningkatkan kapasitas lembaga penyedia layanan bagi tunanetra yang

lain dengan menyebarluaskan keahlian serta mendistribusikan produk yang dihasilkan

 Melakukan advokasi guna mendorong terwujudnya masyarakat inklusi

yang mengakomodir berbagai perbedaan33.

F. Aspek Hukum Dan Legalitas

 Akte Notaris, No. 31/Notaris Agus Majid, Tgl 14 Mei 1991.

 Surat izin Dinas Sosial DKI Jakarta No. 387/ ORSOS /1992.

33

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).


(60)

 Surat izin BKKKS DKI Jakarta. No. 054/ BKKKS/KU/SK/ DU/IX/1996.

 Surat izin Kanwil Depsos DKI Jakarta No. 387/ ORSOS/ 1992

 Telah terdaftar Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No.100 pada

tanggal 14 Desember 2001 sebagai Yayasan yang berbadan hukum34.

G. Prestasi

Berikut ini adalah Beberapa penghargaan yang telah Mitra Netra raih:

1. Index Award 2000

2. Penghargaan Menteri Sosial Ri Tahun 2003

3. Samsung Digitall Hope 2004

4. Asia Pacific Ngo Awards 2005

5. Samsung Digitall Hope 2005

6. Penghargaan Musium Rekor Indonesia (MURI) tahun 2006

7. Penghargaan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jakarta tahun 200835

H. Produk-Produk Yayasan Mitra Netra

Sebagai hasilnya, Mitra Netra senantiasa mempersembahkan karya-karya kreatif itu kepada Negara, dengan menghibahkannya ke seluruh lembaga yang bekerja di bidang pemberdayaan tunanetra. Berikut ini adalah uraian tentang karya-karya inovatif Mitra Netra.

1. Mitranetra Braille Converter (MBC)

MBC adalah perangkat lunak yang digunakan untuk memproduksi buku Braille. Perangkat lunak ini memiliki kemampuan untuk:

34

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).

35Azham, Ismul. “Laporan Akhir Praktikum 1”.


(1)

B. HASIL OBSERVASI

 Rabu, 06 April 2011. Pukul 09.00 WIB

Saya menyaksikan 5 orang tunanetra dalam ruang perppustakaan, 2 orang sedang menggunakan alat Victor Reader (alat pemutar CD), dan 3 orang yang lain sedang konsultai dengan staff perpustakaan.

 Rabu, 06 April 2011. Pukul 09.45 WIB

Saya menemui bapak Kepala Bagian Produksi dan Perpustakaan yakni untuk melakukan wawancara untuk penelitian skripsi tentang Program Buku Bicara di Yayasan Mitra Netra.

 Kamis, 07 April 2011. Pukul 08.00 WIB

Saya menyaksikan para staff yayasan yang baru tiba di yayasan. Ada yang diantar oleh keluarga dan ada juga yang menggunakan kendaraan umum lalu berjalan menuju yayasan dengan hanya di bantu oleh tongkat.

 Kamis, 07 April 2011. Pukul 09.30 WIB

Saya menemui staff perpustakaan untuk melakukan wawancara tentang sepitar pelayanan program buku bicara di yayasan mitra netra.

 Kamis, 07 April 2011. Pukul 10.30 WIB

Saya melihat 2 orang tunanetra yang saling bergandengan sedang berjalan menuju gedung yayasan, 1 orang berusaha memastikan jalan, dan yang 1 lagi mengikuti arah yang ditunjuk oleh yang memegang tongkat. Kondisi ini sering Nampak dilingkungan yayasan mitra netra. Biasanya tunanetra yang telah menghafal rute jalan-jalan di sekitar yayasan menjadi penuntun untuk teman yang belum memahami situasi dan lingkungan yayasan.  Kamis, 07 April 2011. Pukul 11.00 WIB

Saya menemui dan sekaligus mewawancarai bapak Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Program yayasan mitra netra yang dalam hal ini adalah Bapak Nur Ichsan. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data skripsi. Wawancara berlangsung 30 menit di ruang tunggu tamu.

 Kamis, 07 April 2011. Pukul 13.50 WIB

Wawancara dengan informan Senna Rusli. Wawancara berlangsung 25 menit di halaman belakang yayasan. Wawancara berlangsung sangat ramah karena informan sangat merespon baik maksud saya untuk mengumpulkan informasi seputar program buku bicara yang akan dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan skripsi.

 Jum’at, 08 April 2011. Pukul 09.00 WIB

Menyaksikan sekaligus membantu 2 orang siswi praktek yang sedang melakukan tugas di ruang perpustakaan. Tugas yang mereka lakukan adalah memburning CD dan memasangkan label pada CD mata pelajaran untuk tunanetra. CD ini adalah hasil dari program buku bicara yang siap


(2)

dibaca oleh klien. Kami bersama saling membantu untuk penyelesaian tugas yang diberikan oleh staff perpustakaan ini.

 Jum’at 08 April 2011. Pukul 14.00 WIB

Saya menyaksikan seorang tunanetra yang tergolong lansia sedang asik memainkan rubik di ruang tunggu tamu. Bapak ini juga merupakan salah seorang klien dan sekaligus menjadi pelatih rubik untuk teman-teman tunanetra di yayasan mitra netra. Dengan lihai dan penuh konsentrasi sang bapak tunanetra memutar-mutar untuk menyelesaikan pola-pola dari alat permainan itu.

 Jum’at 08 April 2011. Pukul 14.30 WIB

Saya kembali ke ruang produksi untuk melanjutkan tugas memasang label pada bagian depan CD yang sudah diburning.

 Rabu, 13 April 2011. Pukul 11.00 WIB

Melakukan pertemuan kedua dengan kepala bidang produksi dan perpustakaan untuk melakukan wawancara dan konsultasi seputar skripsi. Kebetulan Bapak Firdaus juga merupakan sal;ah seorang alumni dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain memberikan informasi, beliau juga membantu mengarahkan dalam penulisan dan pengumpulan informasi untuk skripsi saya.

 Rabu, 13 April 2011. Pukul 14.00 WIB

Saya menyaksikan seorang klien yayasan yang sedang dibimbing untuk menghafal langkah demi langkah seputaran yayasan. Tunanetra yang masih berada di sekolah dasar ini adalah seorang gadis kecil asal singapur yang baru pindah ke Indonesia. Dia sangat mengikuti arahan pembimbing. Dan mereka menggunakan komunikasi dengan bahasa inggris tentunya.  Rabu, 13 April 2011. Pukul 15.00 WIB

Mewawancarai informan Fajar setelah sebelumnya menunggunya karena harus terlebih dahulu melaksanakan bimbingan belajar di ruang bimbingan belajar untuk mata pelajaran sekolah.

 Rabu, 13 April 2011. Pukul 16.00 WIB

Menyaksikan pergelaran music angklung di halaman belakang yayasan. Pergelaran dilakukan oleh tunanetra bekerja sama dengan kelompok music yang barasal dari luar yayasan. Meski kekurangan tidak menjadikan tunanetra tidak bisa berekspresi di dunia kesenian. Disini terlihat jelas bahwa dalam diri mereka juga masih terdapat potensi-potensi yang bahkan tidak dimiliki oleh orang-orang awas. Kebanyakan dari tunanetra memainkan alat angklung. Namun ada juga yang sangat mahir memainkan ritme piano.


(3)

DOKUMENTASI

Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus


(4)

Meja Registrasi dan Informasi Untuk Program Digital Talking Book dan Braille di Ruang Perpustakaan Yayasan Mitra Netra


(5)

(6)

Rak Buku