Glukosa oksidase teramobil glutaraldehida pada elektroda pasta karbon termodifikasi nanoserat polianilin sebagai biosensor glukosa

GLUKOSA OKSIDASE TERAMOBIL GLUTARALDEHIDA
PADA ELEKTRODA PASTA KARBON TERMODIFIKASI
NANOSERAT POLIANILIN SEBAGAI BIOSENSOR
GLUKOSA

RINI KURNIASIH

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Glukosa Oksidase
Teramobil Glutaraldehida pada Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Nanoserat
Polianilin sebagai Biosensor Glukosa” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014

Rini Kurniasih
NIM G84100058

ABSTRAK
RINI KURNIASIH. Glukosa Oksidase Teramobil Glutaraldehida pada
Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Nanoserat Polianilin sebagai Biosensor
Glukosa. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan AKHIRUDDIN MADDU.
Enzim glukosa oksidase (GOD) sedang banyak dikembangkan dalam
aplikasi sensor glukosa salah satunya untuk mengukur kadar glukosa darah,
karena sifatnya yang spesifik terhadap oksidasi glukosa. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan kondisi optimum dan parameter kinetika aktivitas enzim
glukosa oksidase secara voltametri sebagai biosensor glukosa. Enzim GOD
diamobilisasi dengan glutaraldehida secara cross linking pada elektroda pasta
karbon termodifikasi polianilin. Polianilin disintesis dengan metode polimerisasi
interfasial, menghasilkan morfologi berupa nanoserat berukuran 100-120 nm, dan

memiliki konduktivitas yang baik. Kinerja elektroda pasta karbon termodifikasi
(EPKT) polianilin lebih baik dibandingkan elektroda pasta karbon (EPK).
Pengaruh pH dan suhu pada kinerja elektroda GOD/EPKT dianalisis secara
voltametri, yang menunjukkan kinerja optimum GOD pada pH 4.5 bufer asetat
konsentrasi 0.1 M dan pada suhu 650C. Parameter kinetika enzim diukur pada
kondisi pH optimum, diperoleh nilai Km dan Imaks masing-masing sebesar 0.70
mM dan 4.24 mA dengan sensitivitas sebesar 1.81 mAmM-1.
Kata kunci: glukosa oksidase, polianilin, glutaraldehida, elektroda karbon pasta,
biosensor

ABSTRACT
RINI KURNIASIH. Glucose Oxidase immobilizied with Glutaraldehyde
on Modified Carbon Paste Electrode by Polyaniline Nanofiber as Biosensor of
Glucose. Supervised by LAKSMI AMBARSARI and AKHIRUDDIN MADDU.
Glucose oxidase (GOD) is being developed in many applications such as
glucose sensor to measure blood glucose levels, due to the specific activities of
the oxidation of glucose. The purpose of this research is to determine optimum
and kinetic parameters of glucose oxidase activity as biosensor by voltametry.
GOD immobilized by cross linking with glutaraldehyde on polyaniline modified
carbon paste electrode. Polyaniline synthesized by interfacial polymerization

method, produces morphological form of nanofibers 100-120 nm, and has a good
conductivity. The performance of modified carbon paste electrode (EPKT)
polyaniline is better than carbon paste electrode (EPK). Effect of pH and
temperature on the GOD electrode performance analyzed by voltametry, which
showed optimum performance at pH 4.5 0.1 M acetate and at 650C. Enzyme
kinetic parameters were measured at optimum pH conditions, and the Km values
obtained Imaks respectively 0.70 mM and 4.24 mA with a sensitivity of 1.81
mAmM-1.
Keywords: glucose oxidase, polyaniline, glutaraldehyde, carbon paste electrode,
biosensor.

GLUKOSA OKSIDASE TERAMOBIL GLUTARALDEHIDA
PADA ELEKTRODA PASTA KARBON TERMODIFIKASI
NANOSERAT POLIANILIN SEBAGAI BIOSENSOR
GLUKOSA

RINI KURNIASIH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Judul

Nama
NIM

: Glukosa Oksidase Teramobil Glutaraldehida pada Elektroda Pasta
Karbon Termodifikasi Nanoserat Polianilin sebagai Biosensor
Glukosa
: Rini Kurniasih
: G84100058


Disetujui oleh

Dr Laksmi Ambarsari, MS
Pembimbing I

Dr Akhiruddin Maddu, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul ” Glukosa Oksidase Teramobil
Glutaraldehida pada Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Nanoserat Polianilin

sebagai Biosensor Glukosa” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Penelitian ini diajukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Departemen Biokimia, yang
dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Mei 2014 di Laboratorium Biokimia,
Laboratorium Bersama Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Pengujian Hasil
Hutan, Balai Penelitian Kehutanan, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Laksmi Ambarsari, MS dan
Dr. Akhiruddin Maddu, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan saran,
kritik, bantuan dan bimbingannya selama penelitian berlangsung. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga atas doa, bantuan serta dukungan
moril yang telah diberikan selama masa perkuliahan hingga tugas akhir ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf laboratorium dan staf
komisi pendidikan Departemen Biokimia IPB, Kepala laboratorium bersama Dr.
Henny Purwaningsih, SSi MSi dan staf laboratorium bersama departemen Kimia
IPB atas pemberian izin menggunakan Potentiostat selama penelitian ini
berlangsung. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Surianty, MSi
atas bantuan, dukungan serta saran untuk penelitian ini, teman-teman Biokimia
47 atas dukungan yang telah diberikan, teman-teman Kimia 47 atas kerja

samanya dalam penggunaan Potentiostat, serta semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini.
Karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis
menerima kritik dan saran sehingga tercapai hasil yang lebih baik dalam
penelitian berikutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis,
masyarakat, serta negara.

Bogor, Mei 2014

Rini Kurniasih
NIM G84100058

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN

1

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur Penelitian

3

HASIL

5


Hasil Sintesis dan Morfologi Nanoserat Polianilin

5

Voltamogram Siklik EPK dan EPKT

6

pH Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT

8

Suhu Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT

9

Parameter Kinetika Enzim
PEMBAHASAN


11
14

Hasil Sintesis dan Morfologi Nanoserat Polianilin

14

Kinerja Elektroda Pasta Karbon (EPK) dan EPK Termodifikasi (EPKT)

15

pH Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT

17

Suhu Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT

19

Parameter Kinetika Enzim


20

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR GAMBAR
1 Proses polimerisasi interfasial pada sintesis polianilin
2 Morfologi polianilin
3 Voltamogram siklik EPKdan EPKT
4 Voltamogram siklik GOD/EPKT pada pengaruh pH
5 Kurva pengaruh pH terhadap kinerja elektroda GOD/EPKT
6 Voltamogram siklik GOD/EPKT pada pengaruh suhu
7 Kurva pengaruh suhu terhadap kinerja elektroda GOD/EPKT
8 Hubungan ln I dan 1/T
9 Voltamogram siklik GOD/ EPKT terhadap konsentrasi glukosa
10 Kurva pengaruh konsentrasi glukosa terhadap kinerja GOD/ EPKT
11 Linieritas antara konsentrasi glukosa dan kinerja GOD/ EPKT
12 Kurva Lineweaver-Burk
13 Reaksi sintesis polianilin

6
6
7
8
9
10
11
11
12
13
13
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Alur penelitian
Nilai arus oksidasi glukosa pada pengaruh pH
Nilai arus oksidasi glukosa pada pengaruh suhu
Hubungan ln I dan 1/T
Nilai arus oksidasi glukosa pada pengaruh konsentrasi glukosa
Nilai arus oksidasi glukosa pada daerah linieritas
Persamaan Lineweaver-Burk
Perhitungan sensitifitas elektroda GOD/EPKT
Dokumentasi

26
27
27
27
27
28
28
28
28

PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
menjadi permasalahan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut data
WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita DM di
dunia. Prevalansi DM termasuk tinggi di Indonesia yaitu mencapai 7.5% pada
tahun 2001 dan 10.4% pada tahun 2004. DM menyebabkan 4.2% kematian pada
kelompok umur 15-44 tahun di daerah perkotaan dan merupakan penyebab
kematian tertinggi ke-6. Selain itu, DM juga merupakan penyebab kematian
tertinggi ke-2 pada kelompok umur 45-54 tahun di perkotaan (14.7%) dan
tertinggi ke-6 di daerah perdesaan (5.8%). Pada tahun 2010, penderita DM tercatat
88.48% diderita oleh perempuan, lebih banyak dibandingkan penderita DM pada
laki-laki sebesar 11.52% (Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI 2012).
Agar dapat menekan tingginya prevalensi DM di Indonesia, tindakan
pencegahan dan diagnosa dini merupakan langkah awal yang sangat penting untuk
dilakukan. Namun hal ini mengalami kendala dikarenakan teknik diagnosa yang
umum digunakan memiliki beberapa kekurangan, sehingga belum bisa
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat. Teknik tersebut diantaranya adalah
penggunaan kit diagnostik yang harganya tinggi karena merupakan produk impor.
Hal ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat maupun penderita Diabetes
tidak dapat melakukan tindakan pencegahan maupun diagnosa dini. Selain itu,
terdapat salah satu terapi yang paling banyak dilakukan oleh penderita DM yaitu
dengan penyuntikan hormon insulin. Penyuntikan insulin harus dilakukan dengan
hati-hati, karena jika berlebihan dapat menyebabkan hiperinsulin. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu alat pengukur kadar glukosa darah yang memiliki sensitifitas
yang tinggi serta harga yang ekonomis.
Sensor berbasis enzim merupakan salah satu jenis biosensor, yakni sebagai
suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa hayati dengan suatu
tranduser (Wang et al. 2007). Peranan enzim begitu penting dalam biosensor,
terutama enzim glukosa oksidase (GOD) yang bersifat sensitif terhadap glukosa
dan memiliki kemampuan mengoksidasi glukosa dalam darah menjadi asam
glukonat dan hidrogen peroksida, dengan menggunakan molekul oksigen sebagai
penerima elektron (Simpson et al. 2007). Kemampuan tersebut menjadikan enzim
glukosa oksidase sangat berpotensi digunakan sebagai sensor dalam deteksi kadar
glukosa darah. Proses amobilisasi enzim dapat meningkatkan kinerja biosensor
karena kelebihan yang dimiliki enzim amobil dibandingkan enzim dalam kondisi
bebas, yaitu dapat digunakan secara berulang dan berkesinambungan,
memudahkan pemisahan enzim dengan produk dan larutan reaksi, serta
meningkatkan kestabilan enzim. Sifat-sifat tersebut sangat diperlukan dalam
kinerja enzim sebagai biosensor (Shuler dan Kargi 2012).
Sensor berbasis enzim umumnya menggunakan elektroda pasta karbon
sebagai media dalam transfer elektron yang dihasilkan oleh reaksi enzimatis
dengan pengukurannya menggunakan metode voltametri, amperometri, maupun
potentiometri. Namun, penggunaan elektroda pasta karbon dalam biosensor
berbasis enzim memiliki kelemahan dalam proses penghantaran elektron hasil
reaksi enzimatis. Oleh karena itu diperlukan senyawa lain yang memiliki
kemampuan meningkatkan sifat konduktivitas elektroda biosensor berbasis enzim.

2
Polianilin (PANI) merupakan polimer konduktif yang mempunyai ikatan rantai
terkonjugasi yang terbuat dari monomer anilin. Polianilin sangat berpotensi
diaplikasikan dalam biosensor sebagai konduktor dalam reaksi enzimatis maupun
matriks penjerap enzim, karena sifatnya yang mudah disintesis, monomernya
murah dan memiliki kestabilan konduktivitas yang lebih baik dibandingkan
polimer konduktif lainnya. Polianilin yang berukuran nano memberikan luas
permukaan yang memungkinkan untuk bereaksi lebih besar dengan senyawa lain
seperti enzim maupun substrat, sehingga polianilin dapat digunakan sebagai
media massa elektron karena kemampuannya untuk mentransfer elektron yang
dihasilkan oleh reaksi reduksi-oksidasi dari analat sehingga terbaca pada
potensiometer (Gospodinova dan Terlemezyan 1998). Proses amobilisasi enzim
menggunakan glutaraldehida secara cross linking, yaitu senyawa penjerap yang
umum digunakan dalam teknik amobilisasi.
Berdasarkan informasi yang menyatakan bahwa penderita Diabetes
Melitus semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun upaya pencegahan dan
diagnosa dini belum efektif dan optimal yang dikarenakan terdapat kekurangan
dalam teknik diagnosa yang ada, maka penelitian mengenai pengembangan
glukosa oksidase sebagai biosensor glukosa ini dilakukan. Tujuan penelitian ini
adalah menentukan kondisi optimum (pH dan suhu) dan parameter kinetika
aktivitas enzim glukosa oksidase sebagai elektroda enzim secara voltametri.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi
optimum serta parameter kinetika dari kinerja elektroda GOD/EPKT tersebut,
sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik lagi sebagai biosensor pada
penelitian berikutnya, sehingga dapat diaplikasikan dalam beberapa bidang seperti
biomedis berupa biosensor glukosa yang memiliki kinerja sensor yang baik dan
harga yang ekonomis untuk masyarakat luas.
Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan (Januari hingga Mei 2014).
Adapun tempat penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia,
Laboratorium bersama Departemen Kimia IPB, serta Laboratorium Pengujian
Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Bogor.

METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, antara lain enzim
Glukosa Oksidase (EC 1.1.3.22 dimurnikan dari Aspergillus niger SIGMA,
aktivitas 5204,3 Unit/mL), anilin 1 M, Amonium peroxidisulfat ((NH)4)S2O8),
HCl 1 M, toluena, akuabides, parafin, serbuk grafit, glutaraldehida 2.5%, bufer
asetat 0.1 M, glukosa, KCl 0.1 M, kalium ferisianida (Fe(CN)6), akuades,
elektroda tembaga, elektroda Pt dan elektroda Ag/AgCl.
Peralatan yang digunakan antara lain alat-alat gelas, neraca analitik, tabung
sentrifus, sentrifus (Beckman USA Mode J2-21), kertas membran, kain nilon, pipa
kaca (ukuran panjang 4 cm dan 1 cm), tabung Teflon, kawat tembaga, pipet mikro,

3
pipet volumetrik, mortar, parafilm, Potentiostat, desikator, pH meter (HANNA pH
21 pH/Mv meter), mikroskop elektron (SEM), thermometer, penangas dan stirrer.
Prosedur Penelitian
Sintesis dan Karakterisasi Nanoserat Polianilin (Modifikasi Maddu et al
2008)
Nanoserat polianilin disintesis dengan metode polimerisasi interfasial
sistem dua fasa larutan organik/air. Fasa organik terdiri dari larutan anilin 1 M
dalam toluena sebagai pelarutnya dengan volume total 50 mL. Fase air terdiri dari
larutan HCl 1 M sebanyak 50 mL ditambahkan 0.6 gram ammonium
peroxydisulfhide ((NH)4S2O8). Kedua larutan fasa tersebut dicampurkan ke dalam
satu botol, tanpa diaduk. Campuran larutan tersebut diinkubasi sepanjang malam
agar proses polimerisasi berlangsung sempurna. Endapan yang terbentuk dari
proses polimerisasi kemudian dicuci melalui sentrifugasi menggunakan akuabides.
Pencucian endapan tersebut dilakukan hingga tujuh kali. Selanjutnya, endapan
dikeringkan dalam desikator. Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji morfologi
dengan SEM (Scanning Electron Microscopy), yang dilakukan di Laboratorium
Pengujian Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil
Hutan Bogor.
Pengukuran Voltamogram Siklik Elektroda Pasta Karbon (EPK) dan
Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi (EPKT) (Colak et al 2012)
Preparasi EPK dan EPKT. Elektroda Pasta Karbon (EPK) disiapkan
dengan 100 µL parafin dicampur dengan 0,15 gram serbuk grafit di dalam mortar.
Lalu, tabung elektroda yang telah disiapkan dari teflon (diameter 0,8 cm, panjang
3 cm) diisi dengan karbon pasta tersebut. Campuran parafin dan serbuk grafit
dibuat tiga kali untuk dimasukkan ke dalam elektroda karbon pasta hingga tinggi
karbon pasta dalam tabung sekitar 0,7 cm. Permukaan elektroda dihaluskan
dengan kertas minyak hingga licin. Kontak listrik dibuat dari plat tembaga.
Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi (EPKT) disiapkan dengan 2 mg polianilin
dicampur dalam mortar dengan 100 µL parafin dicampur dengan 0,15 gram
serbuk grafit. Campuran parafin, polianilin dan serbuk grafit dalam EPKT juga
dibuat tiga kali.
Pengukuran Voltamogram Siklik Kinerja EPK dan EPKT.
Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat eDAQ
potensiostat-galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0.
Elektroda yang digunakan ialah elektroda Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding,
elektroda platina sebagai elektroda bantu, dan EPK serta EPKT sebagai elektroda
kerja. Larutan KCl 3 M sebanyak 3 mL ditambahkan ke dalam sel elektrokimia.
Elektroda EPK, Pt, dan Ag/AgCl dimasukkan ke dalam sel elektrokimia tersebut
dan voltamogram siklik yang terbentuk diamati. Elektroda EPKT juga diukur
voltamogram sikliknya dengan cara yang sama seperti elektroda EPK.

4
Uji Akitivas Glukosa Oksidase sebagai Elektroda pada EPKT
Preparasi Elektroda Enzim (GOD/EPKT) (Colak et al 2012). Sebanyak
50 µL enzim glukosa oksidase (5204,3 Unit/Ml), 1 mg bovine serum albumin
(BSA), 50 µL 0,1 M bufer asetat pada variasi pH yang diuji (4.0 hingga 6.0), dan
30 µL 2,5% glutaraldehida dicampurkan dalam tabung eppendorf dan dikocok
perlahan. Kemudian campuran tersebut diteteskan di atas permukaan EPKT.
Elektroda GOD/EPKT tersebut dikeringkan pada suhu -40C. Setelah elektroda
GOD/EPKT kering, lalu dicuci beberapa kali dengan bufer asetat pada masingmasing pH yang diuji untuk menghilangkan enzim maupun glutaraldehida yang
tidak teramobilisasi. Elektroda disimpan dalam lemari pendingin refrigerator pada
suhu 40C dalam bufer asetat 0.1 M sesuai pH ketika tidak sedang digunakan.
Penentuan pH Optimum pada Kinerja Elektroda GOD/EPKT.
Penentuan pH optimum dilakukan secara elektrokimia seperti pengukuran
aktivitas EPK dan EPKT. Sebanyak 1 mL larutan bufer asetat 0.1 M pada masingmasing pH yang diuji, larutan kalium ferisianida 0.1 M, dan 180 µL glukosa 0.25
M ditambahkan ke dalam sel elektrokimia. Elektroda GOD/EPKT, Pt, dan
Ag/AgCl dimasukkan ke dalam sel elektrokimia tersebut, kemudian voltamogram
siklik yang terbentuk diamati.
Penentuan Suhu Optimum pada Kinerja Elektroda GOD/EPKT.
Penentuan suhu optimum dilakukan secara elektrokimia seperti pengukuran
aktivitas pH optimum. Penetuan suhu optimum tersebut dilakukan pada kondisi
pH optimum yang telah diketahui dari penentuan pH optimum sebelumnya.
Sebanyak 1 mL larutan bufer asetat 0.1 M pH 4.0, larutan kalium ferisianida 0.1
M, dan 180 µL glukosa 0.2 mM ditambahkan ke dalam sel elektrokimia, lalu
diukur aktivitasnya pada variasi suhu yang diuji yaitu 200C, 350C, 450C, 550C,
650C, dan 750C. Suhu diatur dengan dipanaskannya larutan uji pada penangas
yang terus diamati melalui thermometer. Elektroda GOD/EPKT, Pt, dan Ag/AgCl
dimasukkan ke dalam sel elektrokimia tersebut, kemudian voltamogram siklik
yang terbentuk diamati.
Penentuan Parameter Kinetika. Penentuan parameter kinetika enzim
ditentukan dengan penentuan aktivitas enzim pada variasi konsentrasi substrat,
dan pH optimum yang telah diketahui. Larutan glukosa digunakan sebagai
substrat. Larutan glukosa dibuat dengan beberapa konsentrasi berbeda, yaitu
konsentrasi 0.2 – 8.0 mM. Larutan glukosa yang telah dibuat kemudian didiamkan
semalam agar terjadi proses mutarotasi, yaitu perubahan glukosa dari α-D-glukosa
menjadi β-D-glukosa.
Masing-masing larutan glukosa tersebut kemudian diuji pengaruhnya
terhadap aktivitas enzim glukosa oksidase secara elektrokimia. Sebanyak 180 µL
larutan glukosa, ditambah 1 mL bufer asetat 0.1 M pH 4.5 dan 1 mL kalium
ferisianida sebagai mediatornya dimasukkan ke dalam sel elektrokimia. Elektroda
Pt dan Ag/AgCl juga digunakan sebagai elektroda pembantu dan pembanding.
Voltamogram siklik yang terbentuk kemudian diamati dan dibuat kurva hubungan
antara konsentrasi glukosa dan arus yang dihasilkan., yang disebut dengan kurva
Michaelis-Menten.

5
Penentuan parameter kinetika elektroda GOD/EPKT ditentukan dengan
terlebih dahulu dibuat kurva linieritas dari kurva Michaelis-Menten, lalu daerah
linieritas yang diperoleh kemudian dibuat plot Lineweaver-Burk, kemudian
ditentukan nilai Km dan Imaks.

HASIL
Hasil Sintesis dan Morfologi Nanoserat Polianilin
Sintesis polianilin bertujuan untuk memperoleh polianilin yang memiliki
morfologi yang baik untuk digunakan sebagai bahan modifikasi dalam elektroda
pasta karbon (EPK) yang dapat meningkatkan kinerja elektroda. Polianilin
disintesis melalui metode polimerisasi interfasial yang mengacu pada penelitian
Maddu et al. (2008), yaitu suatu metode sintesis polianilin dalam dua larutan fasa
yang berbeda. Proses polimerisasi tersebut berlangsung diantara batas dua fasa
larutan, yaitu fasa organik yang terdiri atas monomer anilin dalam larutan toluena
sebagai pelarut dan fasa air yang terdiri atas Amonium peroxidisulfat dan HCl.
Toluena dipilih sebagai pelarut dalam fasa organik, dikarenakan anilin
merupakan senyawa organik aromatik dengan rumus molekul C6H7N yang larut
dalam senyawa organik. Selain toluena juga dapat menggunakan senyawa organik
lain seperti benzena, heksan, karbon tetraklorida, dietil eter, metilen klorida,
karbon disulfida, dan kloroform (Huang dan Kaner 2003). Jenis senyawa organik
yang digunakan sebagai pelarut dalam sintesis polianilin menurut Huang dan
Kaner (2003) tidak terlalu berpengaruh terhadap bentuk dan ukuran polianilin
yang dihasilkan. Sesaat setelah pencampuran kedua fasa tersebut, terjadi
pemisahan larutan karena perbedaan fasa. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1,
fasa organik berada pada lapisan atas (berwarna oranye) dan fasa air berada pada
lapisan bawah (berwarna putih).
Proses polimerisasi dicirikan dengan terbentuknya endapan halus berwarna
hijau kebiruan diantara batas lapisan fasa tersebut, yang kemudian secara perlahan
bermigrasi menuju fasa air. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Polimerisasi dibiarkan selama 24 jam. Semakin lama waktu polimerisasi, endapan
yang terbentuk diantara dua fasa menjadi berwarna hijau kehitaman, dengan
jumlah yang semakin banyak pada fasa air. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi
polimerisasi telah berlangsung sempurna. Endapan tersebut merupakan polianilin
yang dihasilkan dari proses polimerisasi interfasial. Setelah dilakukan proses
pencucian beberapa kali dengan akuabides melalui sentrifugasi untuk
menghilangkan pengotor pada endapan polianilin dan pengeringan dalam
desikator, diperoleh endapan polianilin sebanyak 0.4 gram pada setiap pembuatan
polianilin.
Morfologi polianilin yang disintesis secara polimerisasi interfasial tersebut
diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM). Morfologi permukaan
polianilin diambil menggunakan SEM dengan perbesaran 500 kali dan 7500 kali.
Morfologi permukaan polianilin ditunjukkan pada Gambar 2. Pada Gambar 2A
permukaan polianilin terlihat berongga dan berserat. Morfologi polianilin dapat
lebih jelas terlihat dengan perbesaran 7500 kali yang ditunjukkan pada Gambar
2B. Struktur polianilin yang terlihat berbentuk nanoserat dengan ukuran sekitar

6
110 – 120 nm. Polianilin tersebut saling berikatan satu sama lain, sehingga
membentuk pori dan serat. Morfologi polianilin yang diperoleh pada penelitian ini
cukup baik untuk digunakan dalam elektroda GOD.

Gambar 1 Proses polimerisasi interfasial polianilin
A

B

Gambar 2 Morfologi polianilin. (a) perbesaran 500 kali, (b) perbesaran
7500 kali
Voltamogram Siklik Elektroda Pasta Karbon (EPK) dan Elektroda Pasta
Karbon Termodifikasi (EPKT)
Pengukuran voltamogram siklik Elektroda Pasta Karbon (EPK) dan
Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi (EPKT) diperlukan untuk mengetahui
kinerja elektroda dalam mendeteksi reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi dalam
teknik sensor. Voltamogram siklik merupakan suatu siklik yang menggambarkan
pergerakan elektron yang dihasilkan dari suatu reaksi redoks yang terjadi pada
permukaan elektroda kerja, seperti elektroda pasta karbon (EPK) dan elektroda
pasta karbon termodifikasi (EPKT) (Zhang et al. 2014).
Pengukuran voltamogram siklik (VC) EPK dan EPKT dilakukan secara
siklik voltametri, yaitu suatu metode pengukuran arus pada elektroda kerja
sebagai fungsi dari potensial yang dioperasikan. Voltamogram EPK dan EPKT
berupa kurva nilai arus terhadap tegangan pada reaksi oksidasi larutan elektrolit,
KCl 3 M. Voltamogram siklik yang terbentuk dari EPK dan EPKT menunjukkan
kinerja dari kedua elektroda tersebut terhadap larutan KCl 3 M dengan scan rate

7
dan elektroda bantu serta elektroda referensi yang sama. Voltamogram siklik yang
terbentuk dari kinerja EPKT memiliki luas daerah siklik yang lebih besar
dibandingkan voltamogram siklik EPK, yang dapat dilihat pada Gambar 3. Pada
voltamogram siklik EPKT tersebut terbentuk puncak oksidasi yang lebih tinggi
dibandingkan puncak oksidasi yang dihasilkan dari kinerja EPK.
Berdasarkan voltamogram siklik yang terbentuk, dapat diketahui nilai arus
oksidasi pada puncak oksidasi yang dihasilkan dari kinerja kedua elektroda yang
dapat dilihat pada Tabel 1, diketahui bahwa nilai arus oksidasi pada puncak anoda
dari EPK diperoleh sebesar 2.76 x 10-5 A pada tegangan sebesar -0.304 V,
sedangkan nilai arus oksidasi pada puncak anoda dari EPKT lebih besar
dibandingkan EPK yaitu sebesar 12.09 x 10-5 A pada tegangan sebesar -0.085 V.
Terjadi peningkatan arus serta pergeseran nilai tegangan dari reaksi
oksidasi pada EPK ketika dimodifikasi dengan penambahan nanoserat polianilin
(EPKT). Peningkatan arus serta pergeseran nilai tegangan dari kedua elektroda
karbon pasta tersebut jelas terlihat pada Gambar 3. Peningkatan arus pada EPKT
tersebut menunjukkan bahwa kinerja EPKT dalam reaksi oksidasi suatu senyawa
elektrolit lebih baik dibandingkan EPK. Hal ini dikarenakan pengaruh polianilin
yang terdapat dalam EPKT sebagai bahan modifikasi, yang dapat meningkatkan
kinerja elektroda.
Tabel 1 Arus oksidasi puncak anoda EPK dan EPKT
Sampel

Potensial maksimum (V)

Arus maksimum (A)

EPK

-0.304

2.76 x 10-5

EPKT

-0.085

12.09 x 10-5

CPE
MCPE
0.0010

I (A)

0.0005

0.0000

-0.0005

-0.0010

-0.6

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

E (V)

Gambar 3 Voltamogram siklik kinerja EPK dan EPKT pada laju pemayaran 100
mVs-1, potensial 1 V, Initial E 0 mV, final E 0 mV, upper E 1000 mV
dan lower E -500 mV. E = tegangan, I = arus,
EPK,
EPKT

8
pH Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT
Penentuan pH optimum dari aktivitas enzim Glukosa Oksidase (GOD)
sebagai elektroda enzim dalam deteksi glukosa merupakan salah satu hal penting
untuk mengetahui karakteristik dari enzim tersebut, agar dapat dikembangkan
lebih lanjut dalam aplikasinya sebagai biosensor glukosa.
Kinerja elektroda GOD/EPKT dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti kondisi pH dalam suatu reaksi. Penentuan pH optimum dalam kinerja
elektroda GOD/EPKT dilakukan secara siklik voltametri dengan larutan kalium
ferisianida sebagai mediator dalam reaksi elektrokimia tersebut, serta penggunaan
elektroda Pt sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektroda referensi.
Pengaruh pH pada kinerja elektroda GOD/EPKT ditentukan pada bufer asetat
konsentrasi 0.1 M dengan rentang pH 4.0 – 6.0.
Berdasarkan nilai pH yang diuji (4.0, 4.5, 5.0, 5.5, dan 6.0), hasil
voltamogram siklik yang diperoleh dari penentuan pH optimum tersebut
menunjukkan terjadi reaksi oksidasi-reduksi dari elektroda GOD/EPKT yang
dapat dilihat pada Gambar 4. Reaksi oksidasi lebih mudah diamati dibandingkan
reaksi reduksi, melalui puncak oksidasi yang terbentuk pada voltamogram siklik.
Berlangsungnya reaksi oksidasi pada elektroda GOD/EPKT ditandai
dengan peningkatan arus pada puncak oksidasi pada voltamogram siklik. Semakin
baik kinerja elektroda GOD/EPKT terhadap substrat glukosa konsentrasi 0.25 M,
maka puncak oksidasi yang terbentuk semakin tinggi. Berdasarkan hasil
voltamogram siklik yang diperoleh, kinerja elektroda GOD/EPKT pada pengaruh
pH yang diuji menunjukkan kinerja optimum pada kondisi pH 4.5 yang ditandai
dengan terbentuknya puncak oksidasi tertinggi.
0.006

0.004

I (A)

0.002

0.000

-0.002

-0.004

-0.006
-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

E (V)

Gambar 4 Voltamogram siklik elektroda GOD/EPKT pada pengaruh pH bufer
asetat konsentrasi 0.1 M dengan laju pemayaran 100 mVs-1, potensial
5 V, Initial E -500 mV, final E -500 mV, upper E 2000 mV dan lower
E -500 mV. E = tegangan, I = arus,
bufer Asetat pH 4.0,
pH
4.5,
pH 5.0,
pH 5.5,
pH 6.0

9
Nilai arus oksidasi pada voltamogram siklik tersebut kemudian dibuat
kurva yang menghubungkan pengaruh pH terhadap nilai arus yang dihasilkan dari
kinerja elektroda GOD/EPKT, yang dapat dilihat pada Gambar 5. Kurva tersebut
menunjukkan bahwa reaksi enzim pada pH di bawah dan di atas 4.5 menghasilkan
nilai arus yang rendah, sedangkan reaksi pada pH 4.5 menghasilkan arus tertinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa pH 4.5 merupakan pH optimum untuk aktivitas GOD
sebagai biosensor yang diamobil oleh glutaraldehida pada elektroda pasta karbon
termodifikasi nanoserat polianilin secara elektrokimia.
4.5
4

I (mA)

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
3.50

4.00

4.50

5.00

5.50

6.00

6.50

pH

Gambar 5 Pengaruh pH terhadap kinerja elektroda GOD/EPKT dalam glukosa
konsentrasi 0.25 M
Suhu Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT
Penentuan suhu optimum dari aktivitas enzim Glukosa Oksidase (GOD)
sebagai elektroda enzim dalam deteksi glukosa juga merupakan salah satu hal
penting untuk mengetahui karakteristik dari enzim tersebut selain pH, karena pH
dan suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktivitas suatu enzim.
Penentuan suhu optimum dalam kinerja elektroda GOD/EPKT dilakukan
secara siklik voltametri dengan larutan kalium ferisianida sebagai mediator dalam
reaksi elektrokimia tersebut, serta penggunaan sistem tiga elektroda meliputi
elektroda Pt sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektroda referensi.
Penentuan suhu optimum tersebut dilakukan pada kondisi pH optimum yang telah
diperoleh dari pengujian sebelumnya, yaitu dalam bufer asetat pH 4.5 konsentrasi
0.1 M. Variasi suhu yang diuji untuk mengetahui kondisi optimum kinerja
elektroda GOD/EPKT yaitu 200C, 350C, 450C, 550C, 650C, dan 750C diuji pada
konsentrasi glukosa 0.2 mM.
Berdasarkan hasil pengujian pengaruh suhu tersebut, voltamogram siklik
yang terbentuk menunjukkan terjadi perbedaan kinerja elektroda GOD/EPKT
pada tiap variasi suhu yang diuji. Puncak oksidasi pada voltamogram siklik yang
terbentuk menunjukkan kinerja elektroda GOD/EPKT dalam mengoksidasi
glukosa yang dinyatakan dalam nilai arus. Puncak oksidasi yang terbentuk pada

10
voltamogram siklik semakin tinggi dengan nilai arus yan semakin besar seiring
tercapaikan suhu yang optimum untuk akitivitas enzim GOD (Gambar 6).
0.03

0.02

I (A)

0.01

0.00

-0.01

-0.02

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

E (V)

Gambar 6 Voltamogram siklik kinerja elektroda GOD/EPKT terhadap pengaruh
suhu. Glukosa 0.2 mM.
200C,
350C,
450C,
550C,
650C,
750C
Nilai arus oksidasi pada voltamogram siklik tersebut kemudian dibuat
kurva yang menghubungkan pengaruh suhu terhadap nilai arus yang dihasilkan
dari kinerja elektroda GOD/EPKT, yang dapat dilihat pada Gambar 7. Kurva
tersebut menunjukkan bahwa kinerja elektroda GOD/EPKT optimum pada suhu
650C dengan menghasilkan nilai arus oksidasi tertinggi yaitu sebesar 18.811 mA.
Hal ini menunjukkan bahwa enzim glukosa oksidase yang teramobil oleh
glutaraldehid pada elektroda pasta karbon termodifikasi nanoserat polianilin
bersifat termostabil, yakni dapat bertahan pada suhu tinggi. Proses amobilisasi
menunjukkan dapat meningkatkan kestabilan enzim terhadap faktor lingkungan
yang menentukan kinerja enzim tersebut.
Pada pengujian pengaruh suhu ini selain dapat mengetahui suhu optimum
kinerja enzim glukosa oksidase sebagai elektroda enzim, juga dapat mengetahui
besarnya energi aktivasi reaksi oksidasi glukosa dengan katalis enzim glukosa
oksidase tersebut. Energi aktivasi tersebut dapat diperoleh dari slope pada
persamaan kurva (Gambar 8) yang menghubungkan ln I dan 1/T, mengikuti
persamaan Arhenius :
ln I = ln I0 – Ea/RT
Berdasarkan persamaan tersebut, elektroda GOD/EPKT memiliki energi aktivasi
reaksi oksidasi glukosa (Ea) sebesar 1.405 kJ/mol. Energi aktivasi oksidasi
glukosa dalam katalis enzim GOD sebagai elektroda pada penelitian ini termasuk
energy aktivasi yang cukup kecil dibandingkan penelitian lain, sehingga dapat
dikatakan bahwa kinerja GOD sebagai katalis reaksi oksidasi memiliki kinerja
yang cukup baik yang ditunjukkan dengan rendahnya energi aktivasi yang

11

I (mA)

ditimbulkannya, dapat menurunkan energi aktivasi oksidasi glukosa dengan
sangat besar.
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0

20

40

Suhu

60

80

(0C)

Gambar 7 Pengaruh suhu terhadap kinerja elektroda GOD/EPKT dalam glukosa
konsentrasi 0.2 mM

0.0035
0.0034

y = -0.0005x + 0.0044
R² = 0.9473

ln I

0.0033
0.0032
0.0031
0.003
0.0029
0.0028
1.5

1.7

1.9

2.1

2.3

2.5

2.7

2.9

3.1

1/T

Gambar 8 Hubungan ln I dan 1/T
Parameter Kinetika Enzim
Penentuan parameter kinetika enzim GOD diperlukan untuk mengetahui
karakteristik dari aktivitas GOD tersebut sebagai elektroda enzim, yang dapat
digunakan sebagai informasi dasar untuk pengembangan elektorda GOD tersebut
selanjutnya. Parameter kinetika GOD yaitu nilai Km dan Imaks ditentukan
berdasarkan hasil dari uji kinerja GOD/EPKT terhadap konsentrasi substrat
glukosa yang divariasikan pada rentang konsentrasi 0.2 – 8.0 Mm secara siklik

12
voltametri. Voltamogram siklik yang dihasilkan dari kinerja GOD/EPKT terhadap
variasi konsentrasi glukosa yang diuji dapat dilihat pada Gambar 9. Voltamogram
siklik tersebut menunjukkan terbentuknya puncak oksidasi dari elektroda tersebut.
0.020

0.015

I (A)

0.010

0.005

0.000

-0.005

-0.010

-0.015
-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

E (V)

Gambar 9 Voltamogram siklik elektroda GOD/EPKT pada pengaruh konsentrasi
glukosa.
0.2 mM,
0.4 mM,
0.6 mM,
0.8 mM,
1.0
mM,
1.2 mM,
1.4 mM,
1.6 mM,
1.8 mM,
2.0 mM,
4.0 mM,
6.0 mM,
8.0 mM
Puncak oksidasi pada voltamogram siklik tersebut menunjukkan terdapat
reaksi oksidasi glukosa oleh enzim GOD. Berdasarkan puncak oksidasi pada
voltamogram siklik tersebut, dapat diketahui nilai arus oksidasi yang dihasilkan
dari reaksi oksidasi glukosa pada setiap konsentrasi.
Dalam penentuan parameter kinetika, terlebih dahulu ditentukan kurva
Michaelis-Menten dan kurva linieritas hubungan antara konsentrasi glukosa dan
nilai arus oksidasi elektroda GOD/EPKT. Kurva Michaelis-Menten diperoleh
dengan menghubungkan nilai arus yang dihasilkan pada puncak oksidasi dalam
voltamogram siklik elektroda GOD/EPKT terhadap konsentrasi substrat glukosa
yang diuji. Berdasarkan kurva Michaelis-Menten yang dapat dilihat pada Gambar
10, ketika konsentrasi glukosa di bawah 4 mM, kinerja elektroda GOD/EPKT
terhadap substrat terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan
konsentrasi glukosa, aktivitas enzim meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi substrat. Namun, ketika konsentrasi glukosa mencapai 4 mM aktivitas
GOD mulai mencapai maksimum, sehingga peningkatan konsentrasi glukosa yang
lebih tinggi dari 4 mM tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap nilai
arus oksidasi yang dihasilkan oleh elektroda GOD/EPKT.
Kurva linieritas antara konsentrasi substrat glukosa terhadap nilai arus
elektroda GOD/EPKT ditentukan berdasarkan kurva Michaelis-Menten (Gambar
10). Daerah linier dari kinerja elektroda GOD/EPKT berada pada rentang
konsentrasi 0.2 – 1.0 mM, dengai nilai regresi (R2) sebesar 0.9851 (Gambar 11).
Persamaan Lineweaver-Burk dalam penentuan nilai Km dan Imaks ditentukan
berdasarkan kurva linieritas yang diperoleh (Gambar 12). Berdasarkan persamaan

13
tersebut, diketahui bahwa nilai Km dan Imaks untuk aktivitas Glukosa oksidase
dalam elektroda pasta karbon termodifikasi nanoserat polianilin sebagai biosensor
glukosa masing-masing sebesar 0.70 mM dan 4.24 mA. Berdasarkan nilai arus
dan konsentrasi pada kurva linieritas tersebut juga ditentukan nilai sensitivitasnya,
diperoleh sensitivitas untuk kinerja elektroda GOD/EPKT terhadap oksidasi
glukosa pada penelitian ini sebesar 1.18 mAmM-1.

4.5

y = 0.7275ln(x) + 2.3477
R² = 0.9692

4
3.5

I (mA)

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0

2

4

6

8

10

Konsentrasi glukosa (mM)

Gambar 10 Pengaruh konsentrasi substrat glukosa terhadap nilai arus elektroda
GOD/EPKT

1.200
y = 0.1645x + 0.2358
R² = 0.9851

1.000

I (mA)

0.800
0.600
0.400
0.200
0.000
0.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

[Glukosa] (mM)

Gambar 11

Linieritas antara konsentrasi substrat glukosa dan aktivitas
GOD/EPKT

14

1.200

y = 0.1645x + 0.2358
R² = 0.9851

1.000

1/I (mA-1)

0.800
0.600
0.400
0.200

-2.000

0.000
0.000
-0.200

2.000

4.000

6.000

1/[Glukosa] (mM-1)

Gambar 12 Kurva Lineweaver-Burk dalam penentuan parameter kinetika
PEMBAHASAN
Hasil Sintesis dan Morfologi Nanoserat Polianilin
Polianilin yang disintesis pada penelitian ini dengan metode polimerisasi
interfasial, merupakan polianilin dalam bentuk garam emeraldin, yang bersifat
hidrofilik (Maddu et al. 2008). Sifat hidrofilik tersebut menyebabkan endapan
polianilin yang terbentuk berdifusi secara reaktif ke dalam fasa air (Virji et al.
2009; Huang dan Kaner 2004)
Sintesis polianilin dengan metode polimerisasi interfasial berhasil
membentuk nanopartikel polianilin dengan morfologi yang menunjukkan
berbentuk serat, berpori, dan berukuran sekitar 100-120 nm. Ukuran nanoserat
polianilin yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Huang dan Karen (2003), yang berukuran rata-rata 30 nm. Hal ini dapat
dikarenakan rasio konsentrasi Amonium peroksidisulfat sebagai oksidan dan
anilin yang digunakan berbeda. Namun, menurut Huang dan Karen (2003), faktor
utama yang mempengaruhi bentuk serta ukuran polianilin adalah tingkat
polimerisasi polianilin.
Semakin tinggi tingkat polimerisasi, maka polianilin yang terbentuk
memiliki struktur yang semakin berserat dan berukuran semakin kecil. Tingkat
polimerisasi tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi asam yang digunakan, yang
berperan penting dalam proses protonasi yang merupakan salah satu tahap dari
polimerisasi polianilin. Protonasi tersebut adalah penambahan proton oleh asam
kuat terhadap gugus nitrogen imina pada basa emeraldin atau anilin. Gugus imina
lebih mudah terserang oleh proton dari asam kuat tersebut (Song dan Choi 2013).
Semakin tinggi konsentrasi asam, maka semakin tinggi pula konsentrasi proton
yang ditambahkan dalam tahap protonasi tersebut, sehingga semakin banyak
terbentuknya radikal aktif kation. Radikal aktif kation mempermudah terjadinya

15
ikatan antara monomer anilin melalui ikatan head-to-tail. Hal ini menyebabkan
meningkatnya proses polimerisasi (Li et al. 2008).
Proses polimerisasi yang meningkat, akan meningkatkan pembentukan
serat, sehingga polianilin yang dihasilkan memiliki struktur nanoserat yang baik
dengan ukuran nano (Nishio et al. 1995; Li et al. 2008). Faktor lain seperti jenis
oksidan, suhu, serta metode polimerisasi tidak terlalu berpengaruh besar terhadap
sifat dari polianilin (Huang dan Kaner 2003). Sintesis polianilin dengan metode
polimerisasi interfasial dapat dilihat pada Gambar 13, yang terdiri dari tahap
protonasi dan oksidasi yang bersifat reversibel.
Polianilin berukuran nano memiliki luas daerah permukaan yang lebih luas
dibandingkan polianilin berukuran makro (Virji et al. 2009). Luas daerah
permukaan yang lebih luas tersebut meningkatkan interaksi antara polianilin
dengan senyawa molekul lain, seperti glukosa oksidase (Virji et al. 2009).
Glukosa oksidase dapat terikat lebih banyak pada permukaan polianilin tersebut
karena permukaannya yang lebih luas, sehingga dapat meningkatkan kinerja
elektroda GOD/EPKT dalam mengoksidasi glukosa. Berdasarkan sifat polianilin
tersebut, morfologi polianilin yang baik yakni berserat dan berukuran nano
merupakan salah satu faktor penting yang diperlukan dalam peningkatan kinerja
elektroda, terutama kinerja elektroda GOD/EPKT pada penelitian ini. Selain itu
polimer dengan ukuran nano juga memiliki sifat mekanik, katalitik, magnetik, dan
optik yang lebih baik dibandingkan polimer dalam bentuk makromolekul (Geneis
et al. 1985).

Pernigranilin

HX

(NH4)2S2O8
NH3.H2O

Reduksi

Oksidasi

deprotonasi
Garam Emeraldin

HX
protonasi

Basa Emeraldin
Reduksi

Oksidasi

Leukoemeraldin

Gambar 13

Sintesis polianilin secara polimerisasi interfasial. Reaksi reversible
garam/basa, protonasi/deprotonasi, dan redoks polimerisasi
polianilin (Huang dan Karen 2005)

Kinerja Elektroda Pasta Karbon (EPK) dan Elektroda Pasta Karbon
Termodifikasi (EPKT)
Aplikasi glukosa oksidase (GOD) sebagai biosensor untuk deteksi kadar
glukosa dilakukan dengan metode elektrokimia voltametri. Dalam pengukuran

16
aktivitas GOD sebagai biosensor secara elektrokimia tersebut diperlukan suatu
elektroda kerja dengan sifat konduktivitas, kestabilan dan respon yang baik
terhadap reaksi elektrokimia yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengukuran kinerja elektroda pasta karbon (EPK) dan elektroda pasta karbon
termodifikasi (EPKT) sebelum digunakan sebagai elektroda GOD. Pengukuran
kinerja kedua elektroda tersebut dilakukan dengan metode siklik voltametri, dan
terbentuk voltamogram siklik yang menggambarkan kinerja elektroda tersebut.
Voltamogram siklik hasil dari pengukuran kinerja kedua elektroda tersebut
menunjukkan kinerja yang berbeda antar kedua elektroda. Besar arus yang
dihasilkan oleh EPK pada puncak oksidasi sebesar 2.760 x 10-5 A pada tegangan 0.304 V. Nilai tegangan dari reaksi oksidasi pada kinerja EPK yang dihasilkan
pada penelitian ini sedikit berbeda dari tegangan yang terukur dalam penelitian
Maddu et al. (2013) sebesar -0.2 V, dan nilai tegangan pada penelitian ini juga
berada diluar range tegangan berdasarkan literatur, yang menyatakan bahwa
range tegangan untuk EPK dalam larutan netral (KCl merupakan larutan yang
bersifat netral) yaitu -1.3 V dan 1.4 V.
Perbedaan nilai tegangan reaksi oksidasi EPK dapat dikarenakan permukaan
elektroda yang kurang halus saat preparasi elektroda, maupun pengisian pasta
karbon yang kurang padat pada elektroda, sehingga dapat mempengaruhi kinerja
elektroda tersebut. Selain itu, jenis karbon yang digunakan juga dapat
menghasilkan kinerja elektroda yang berbeda (McCreery 2008). Berdasarkan
voltamogram siklik tersebut, dapat dikatakan bahwa EPK yang digunakan
memiliki sifat konduktivitas yang cukup baik, namun perlu dilakukan modifikasi
dengan penambahan polimer konduktif untuk meningkatkan aktivitasnya.
EPK yang telah diketahui sifat konduktivitasnya tersebut kemudian
dimodifikasi dengan penambahan polimer konduktif berupa nanoserat polianilin
yang telah disintesis dan diketahui sifat morfologinya, menjadi elektroda pasta
karbon termodifikasi (EPKT). Terjadi peningkatan arus oksidasi dari kinerja
EPKT dibandingkan EPK, yaitu sebesar 12.09 x 10-5 A pada tegangan sebesar 0.085 V. Peningkatan arus oksidasi yang terjadi pada kinerja EPKT tersebut
merupakan pengaruh dari polianilin dalam elektroda. Polianilin merupakan
polimer konduktif, yang memiliki sifat konduktivitas elektrik yang sangat baik
akibat pengaruh dari proses protonasi oleh asam kuat pada proses polimerisasinya
(Reda dan Al Ghannam 2012).
Konduktivitas polianilin tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi asam kuat
dalam proses protonasi. Semakin tinggi konsentrasi asam kuat, sifat konduktivitas
polianilin semakin baik. Hal ini dikarenakan pentransferan proton meningkat
dalam proses protonasi, sehingga semakin banyak jumlah H+ yang terkandung
dalam struktur polianilin tersebut, yang dapat meningkatkan sifat
konduktivitasnya. Berdasarkan kandungan H+ yang terdapat dalam polianilin
tersebut, maka polianilin disebut sebagai konduktor positif atau proton konduktor
yaitu konduktor yang bermuatan positif, dimana proton tersebut yang berperan
dalam penghantaran sinyal listrik atau elektron yang dihasilkan dari suatu reaksi
elektrokimia menuju pasta karbon untuk kemudian dideteksi oleh elektroda
(Maddu et al. 2013). Peningkatan konduktivitas polianilin yang dipengaruhi
konsentrasi asam kuat tersebut memiliki batas konsentrasi optimum. Menurut
Stejskal (2002), pada konsentrasi asam kuat yaitu HCl 1 M, polimerisasi
polianilin berlangsung lebih cepat dan menghasilkan konduktivitas yang tinggi.

17
Namun pada konsentrasi HCl lebih dari 2 M konduktivitas polianilin yang
dihasilkan menurun.
Pengaruh polianilin terhadap kinerja EPKT selain dikarenakan memiliki
konduktivitas yang baik, juga dikarenakan sifat morfologi polianilin tersebut yang
berserat dengan ukuran nano serta memiliki luas daerah permukaan yang besar.
Polianilin yang berserat memiliki kemampuan penghantaran listrik yang lebih
baik dibandingkan polianilin dengan bentuk globular. Polianilin yang berukuran
nano dan luas permukaan polianilin yang besar akan mempengaruhi luas
permukaan elektroda. Penambahan polianilin pada elektroda akan meningkatkan
luas permukaan elektroda tersebut. Menurut Zhu (2012), elektroda pasta karbon
grafit memiliki luas permukaan yang rendah yaitu sebesar 16.30 m2/g, setelah
penambahan polianilin luas permukaan elektroda meningkat secara signifikan
menjadi 29.26 m2/g. Hal ini menunjukkan bahwa polianilin yang berukuran nano
dapat meningkatkan luas permukaan elektroda, yang berpengaruh terhadap kinerja
elektroda tersebut.
Semakin luas permukaan suatu elektroda, maka semakin banyak terjadi
interaksi antara larutan elektrolit terhadap permukaan elektroda (Virji et al. 2009).
Interaksi tersebut berupa peningkatan difusi ion elektrolit ke dalam bahan
elektroda, sehingga terjadi peningkatan efisiensi transfer ion dalam elektroda. Hal
ini ditunjukkan dengan arus oksidasi yang dihasilkan pada EPKT lebih besar
dibandingkan EPK (Maddu et al. 2013). Oleh karena itu EPKT lebih potensial
digunakan sebagai elektroda glukosa oksidase dalam aplikasinya sebagai
biosensor glukosa, karena memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kinerja
EPK.
pH Optimum Kinerja Elektroda GOD/EPKT
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor
penting yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim adalah kondisi pH lingkungan
atau larutan uji pada reaksi enzimatis. Setiap enzim memiliki kondisi pH optimum
dalam aktivitasnya (Fabiano et al. 2002). Berdasarkan hasil pengujian pengaruh
pH pada kinerja elektroda GOD/EPKT yang dapat dilihat pada Gambar 5,
diperoleh bahwa pH optimum untuk kinerja elektroda GOD/EPKT pada penelitian
ini adalah pH 4.5, yang ditunjukkan dengan nilai arus oksidasi yang dihasilkan
pada pH tersebut merupakan nilai arus terbesar diantara pH yang diuji lainnya.
Perubahan pH larutan uji tersebut dapat mempengaruhi struktur, bentuk, dan
ionisasi asam amino suatu enzim, selain itu juga menyebabkan perubahan pada
bentuk dan muatan substrat (Fabiano et al. 2002). Hal ini dapat mempengaruhi
aktivitas enzim tersebut.
Jika kondisi lingkungan reaksi enzimatis berada pada pH optimum
aktivitas enzim, maka enzim akan mengalami ionisasi pada asam-asam amino
yang berperan penting dalam aktivitas katalitiknya. Tahap ionisiasi pada pH
optimum tersebut meningkatkan interaksi enzim untuk mengikat substrat dan
membentuk kompleks enzim-substart (ES), sehingga pembentukan kompleks ES
dapat berlangsung lebih cepat dan menyebabkan peningkatan laju pembentukan
produk.
Jika terjadi perubahan pH dari pH optimumnya, maka akan terjadi
perubahan ionisiasi dari asam amino tersebut. Perubahan tersebut dapat

18
mengurangi interaksi enzim dalam mengikat substrat, sehingga mekanisme enzim
terhadap substrat meliputi mekanisme induced fit maupun lock and key sulit
tercapai dengan baik. Hal ini dikarenakan antara sisi aktif enzim dan substrat tidak
dapat bersesuaian dengan baik untuk terikat membentuk kompleks enzim-substrat
(ES), sehingga laju pembentukkan kompleks ES menurun. Berkurangnya laju
pembentukkan kompleks ES tersebut menyebabkan laju reaksi pembentukan
produk pun berlangsung lambat, terjadi penurunan aktivitas enzim. Hal ini
memungkinkan enzim akan kehilangan aktivitasnya yang disebabkan struktur
enzim terdenaturasi secara irreversible pada kondisi pH ekstrim (Price dan
Stevens 1988).
pH optimum kinerja elektroda GOD/EPKT yang diperoleh pada penelitian
ini berbeda dengan literatur yang menjadi acuan dalam penelitian ini, dimana
menurut Colak et al. (2012), pH optimum kinerja elektroda GOD/EPKT yaitu
pada pH 5.0 bufer fosfat konsentrasi 0.1 M. Perbedaan pH optimum tersebut dapat
dikarenakan berbedanya jenis bufer yang digunakan.
Terdapat faktor lain yang mempengaruhi perubahan pH optimum suatu
enzim, yaitu kondisi lingkungan dari polimer konduktif, yaitu suatu polimer yang
digunakan dalam modifikasi elektroda enzim dengan sifatnya yang dapat
meningkatkan kinerja elektroda. Pada penelitian ini polimer konduktif yang
digunakan adalah nanoserat polianilin. Pada enzim yang diamobil dalam elektroda
yang terdapat suatu matriks polimer konduktif, molekul enzim dapat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan dari pori-pori matriks polimer tersebut. Muatan yang
terkandung pada permukaan matriks polimer dapat menyebabkan perubahan pH
optimum untuk aktivitas enzim. pH optimum suatu enzim dapat menjadi lebih
tinggi atau lebih rendah dari pH optimum sebenarnya (Fabiano et al. 2002).
Suatu polimer yang mengandung banyak muatan positif (H+) dalam
strukturnya menyebabkan lingkungan sekitar elektroda enzim menjadi kaya akan
H+ tersebut, sehingga hanya perlu sedikit tambahan H+ agar kondisi lingkungan
elektroda enzim mencapai kondisi pH optimum bagi aktivitasnya. Hal ini
menyebabkan nilai pH optimum yang tercatat pada aktivitas elektroda enzim
tersebut meningkat dari kondisi optimum sebenarnya. Namun, jika muatan H+
dalam polimer jumlahnya terbatas, maka perlu tambahan H+ yang lebih banyak
untuk mencapai kondisi pH optimum bagi aktivitas enzim, sehingga nilai pH
optimum yang tercatat pada pengujian akt