Biosensor berbasis glukosa oksidase teramobil nanopartikel kitosan dalam elektroda pasta karbon termodifikasi nanoserat polianilin

BIOSENSOR BERBASIS GLUKOSA OKSIDASE TERAMOBIL
NANOPARTIKEL KITOSAN DALAM ELEKTRODA PASTA
KARBON TERMODIFIKASI NANOSERAT POLIANILIN

ANEISTI SEPTIANI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biosensor Berbasis
Glukosa Oksidase Teramobil Nanopartikel Kitosan dalam Elektroda Pasta Karbon
Termodifikasi Nanoserat Polianilin adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Aneisti Septiani
NIM G84100087

ABSTRAK
ANEISTI SEPTIANI. Biosensor Berbasis Glukosa Oksidase Teramobil
Nanopartikel Kitosan dalam Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Nanoserat
Polianilin. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan POPI ASRI
KURNIATIN.
Biosensor berbasis glukosa oksidase dikembangkan untuk mendeteksi
glukosa secara lebih tepat, cepat, dan sensitif. Pengembangan biosensor yang
dilakukan memanfaatkan enzim glukosa oksidase teramobil pada nanopartikel
kitosan dalam elektroda pasta karbon termodifikasi. Penelitian bertujuan
menentukan kondisi optimum untuk menghasilkan nanopartikel kitosan dan
mengetahui karakteristik glukosa oksidase/elektroda pasta karbon termodifikasi.
Hasil uji menunjukan kondisi optimum untuk membuat nanopartikel kitosan, yaitu

pada volume 300 mL dan waktu sonikasi 10 menit. Penambahan polianilin pada
glukosa oksidase/elektroda pasta karbon termodifikasi dapat meningkatkan arus.
Glukosa oksidase/elektroda pasta karbon termodifikasi memiliki kondisi optimum
pada pH 5.0 dan konsentrasi glukosa sebesar 20 mM. Daerah linier berada pada 0.61.8 mM dan nilai sensitivitas elektroda sebesar 0.20 mA/mM. Nilai Km dan Imaks
pada sebesar 1.934 mM dan0.937 mA ditentukan dengan metode Lineweaver-Burk.
Hasil penelitian ini akan digunakan selanjutnya untuk pengembangan biosensor
glukosa.
Kata kunci: biosensor glukosa, glukosa oksidase, nanopartikel kitosan, polianilin.

ABSTRACT
ANEISTI SEPTIANI. Biosensor Based on Immobilized Glucose Oxidase on
Chitosan Nanoparticles in Modified Carbon Pasta Electrode by Polyaniline
Nanofibers as Biosensor Applications. Supervised by LAKSMI AMBARSARI and
POPI ASRI KURNIATIN.
Biosensor based on glucose oxidase enzyme has been developed to detect
glucose levels more precise, rapid, and sensivity. The development of biosensor
was used glucose oxidase immobilized on chitosan nanoparticles in modified
carbon paste electrode. The purpose of this study were to determine the optimum
condition in order to produce chitosan nanoparticles and to obtain characteristic of
glucose oxidase/modified carbon pasta electrode. The result showed that optimum

conditions were obtained to make chitosan nanoparticles with 300 mL of volume
and 10 minutes of ultrasonication time. The addition of polyaniline on glucose
oxidase/modified carbon pasta electrode increased the current. Glucose
oxidase/modified carbon pasta electrode had optimum conditions at pH 5.0 and
glucose concentration was 20 mM. Linier range was 0.6-1.8 mM dan sensitivity
value of electrode was 0.20 mA/mM. Km and Imax value were 1.934 mM was 0.937
mA determined by Lineweaver-Burk method. These result will be further used for
development of glucose biosensor.
Key words: glucose biosensor, glucose oxidase, chitosan nanoparticles, polyaniline.

BIOSENSOR BERBASIS GLUKOSA OKSIDASE TERAMOBIL
NANOPARTIKEL KITOSAN DALAM ELEKTRODA PASTA
KARBON TERMODIFIKASI NANOSERAT POLIANILIN

ANEISTI SEPTIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Biosensor Berbasis Glukosa Oksidase Teramobil Nanopartikel
Kitosan dalam Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Nanoserat
Polianilin
Nama
: Aneisti Septiani
NIM
: G84100087

Disetujui oleh

Dr Laksmi Ambarsari, MS
Pembimbing I


Popi Asri Kurniatin, SSi, Apt, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrahmannirrahiim
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat yang
diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik.
Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
junjungan dan pedoman umat, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umatnya menuju kesempurnaan dalam ibadahnya. Karya Ilmiah yang berjudul
Biosensor Berbasis Glukosa Oksidase Teramobil Nanopartikel Kitosan dalam
Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Nanoserat Polianilin ini merupakan wujud

dari pencapaian ilmu sebelumnya dan pembekalan penulis dalam kehidupan
mendatang. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian unggulan Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) atas nama Dr Laksmi Ambarsari,
MS. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Januari 2014 sampai Mei
2014 di Laboratorium Penelitian Biokimia IPB, Laboratorium Biofisika Material
Fisika IPB, Laboratorium Analisis Bahan Fisika IPB, dan Laboratorium Kimia
Bersama IPB.
Banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak berupa moril, materil,
spiritual, maupun administrasi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Ayahanda Usman Hamzah, Ibunda Erdawati, Ervra Ustika,
Juhri, dan Riswan Septiandi atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Penulis juga
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr Laksmi Ambarsari, MS
dan Popi Asri Kurniatin, SSi, Apt, MSi selaku pembimbing atas dukungan,
bimbingan, doa, dan sarannya dalam karya ilmiah ini. Penghargaan dan terima
kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen dan staf Biokimia IPB atas
bantuan, saran, dan bimbingannya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Ibu Henny Purwatiningsih Suyuti, Bapak Eko Firmansyah, dan Bapak Iwan
Saskiawan atas bantuannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Subekti Imarwoto atas kesabaran, doa, bantuan, dan dukungannya selama ini.
Terima kasih kepada Rini, Ana, Murzani, Putri, Ucin, Irna, Bellen, Lia, Eni, Nazula,

Puji, Ziah, Uwi, Ime, Wewen, Emmy, Uti, Nanat, keluarga biokimia 47, Kamar 61,
GDYers, dan seluruh teman penulis yang tidak terucapkan atas persahabatan, rasa
perjuangan, bantuan, doa, dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang biokimia.
Bogor, Agustus 2014

Aneisti Septiani
NIM. G84100087

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur

3

HASIL


5

Formula dan Ukuran Nanopartikel Kitosan

5

Kinerja Elektroda Pasta Karbon dan Elektroda Pasta karbon Termodifikasi

5

pH Optimum

7

Kinetika Enzim

8

PEMBAHASAN


9

Formula dan Ukuran Nanopartikel Kitosan

11

Kinerja Elektroda Pasta Karbon dan Elektroda Pasta KarbonTermodifikasi

12

pH Optimum

12

Kinetika Enzim

14

SIMPULAN


16

SARAN

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Hasil pengukuran nanopartikel kitosan dengan peningkatan volume
variasi waktu ultrasonikasi
2 Arus puncak anoda EPK dan EPKT

dan
5
6

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Voltamogram siklik EPK dan EPKT
Voltamogram siklik elektroda enzim termodifikasi pada variasi pH
Pengaruh pH terhadap nilai arus elektroda glukosa oksidase/EPKT
Hubungan konsentrasi glukosa dan nilai arus elektroda enzim glukosa
oksidase/EPKT
5 Linieritas konsentrasi glukosa dan nilai arus elektroda glukosa
oksidase/EPKT
6 Kurva Lineweaver-Burk pada elektroda glukosa oksidase/EPKT

5
6
8
8
9
9

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Diagram alir penelitian
Karakteristik kitosan
Perhitungan rendemen nanopartikel kitosan
Hasil pengukuran nanoserat polianilin dengan uji SEM
Arus elektroda glukosa oksidase/EPKT variasi pH
Arus elektroda glukosa oksidase/EPKT variasi konsentrasi
Analisis nilai sensitivitas elektroda glukosa oksidase/EPKT
Dokumentasi kegiatan

20
21
21
21
21
22
22
23

PENDAHULUAN
Biosensor merupakan alat yang menggunakan reaksi biokimia spesifik yang
dimediasi oleh enzim, sistem kekebalan tubuh, jaringan, organel, atau seluruh sel
yang diisolasi untuk mendeteksi senyawa kimia oleh sinyal listrik, panas, atau optis
(Fadhilah 2013). Teknologi biosensor dihasilkan dari inovasi metode untuk
menentukan kadar suatu analat secara lebih tepat, cepat, dan sensitif. Salah satu
pengembangan biosensor yang telah ada adalah biosensor glukosa yang pertama
kali dikembangkan oleh Leland C. Clark pada tahun 1962. Clark memanfaatkan
enzim glukosa oksidase bereaksi spesifik terhadap β-D-glukosa yang banyak
dihasilkan dari kelompok fungi genus Penicillium dan genus Aspergillus. Glukosa
oksidase dikenal sebagai β-D-glukosa: oksigen-1-oksidoreduktase (EC 1.1.3.4)
merupakan enzim yang mengkatalisis oksidasi β-D-glukosa menjadi D-glukono-δlakton yang akan terhidrolisis secara non-enzimatis menjadi asam glukonat dan
H2O2 serta memerlukan oksigen sebagai akseptor elektron (Sabir et al. 2007).
Pengembangan biosensor glukosa oksidase terus dilakukan untuk
menyempurnakan biosensor yang sudah ada. Pengembangan ini dilakukan untuk
mengatasi kelemahan, antara lain tidak dapat digunakan berulang, daya variasi
kurang tinggi, waktu respon yang lebih rendah, rentang linear yang sempit,
sensitivitas rendah, kurang stabil, serta presisi dan deteksi yang masih rendah
(Wang et al. 2008). Kelemahan biosensor ini dapat disebabkan oleh sifat enzim
mudah rusak dan harganya mahal. Upaya mengatasi kelemahan tersebut dapat
dilakukan dengan teknik amobilisasi yang telah banyak dikembangkan. Beberapa
teknik amobilisasi enzim yang telah ada, antara lain pengikatan silang (crosslinking), penjebakan (entrapment), adsorpsi (adsorption), enkapsulasi, dan
pengikatan secara kovalen pada bahan padat pendukung (carrier-binding) (Gorecka
dan Jastrzebska 2011). Banyak bahan penyangga atau matriks juga banyak yang
dikembangkan untuk meningkatkan teknik amobilisasi. Colak et al. (2012)
memanfaatkan glutaraldehida sebagai matriks amobilisasi enzim glukosa oksidase,
akan tetapi matriks ini memiliki efek toksik dan harganya mahal untuk digunakan
pada biosensor. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan matriks amobilisasi
alami yang dapat digunakan sebagai aplikasi biosensor adalah kitosan.
Kitosan merupakan biopolimer alami yang dapat dihasilkan dari kitin melalui
proses deasetilasi. Kitosan banyak ditemukan secara alami pada organisme, seperti
fungi, ragi, dan beberapa komponen bagian luar skeleton pada kepiting, udang,
lobster, serta udang kecil (Shi et al. 2011b). Menurut Nakorn (2008), kitosan
merupakan matriks amobilisasi enzim yang sangat menjanjikan karena memiliki
kemampuan membentuk membran yang sangat baik, harga yang murah, tidak
toksik, imunogenesitas rendah, kekuatan mekanik yang tinggi, memiliki gugus
amina, dan bersifat hidrofilik sehingga dapat meningkatkan kestabilan. Kitosan
diketahui memiliki banyak kelebihan untuk amobilisasi enzim, tetapi kitosan
berukuran nanopartikel akan menambah kelebihan sebelumnya. Narkorn (2008)
menjelaskan bahwa enzim glukosa oksidase yang diamobilisasi dengan
nanopartikel kitosan memiliki biokatalitik yang lebih tinggi dari enzim yang
diamobilisasi dengan ukuran mikro dan makropartikel kitosan. Hal ini disebabkan
oleh luas permukaan yang meningkat dan bertambahnya jumlah gugus fungsi yang
dapat berikatan dengan molekul enzim.

2
Perancangan biosensor yang lebih inovatif terus dilakukan untuk
menyempurnakan biosensor yang ada. Inovasi lain yang dilakukan pada penelitian
ini menggunakan karbon pasta yang dimodifikasi dengan penambahan nanoserat
polianilin. Menurut Keyhanpour et al. (2012), polianilin adalah polimer konduktif
yang dapat membantu perpindahan pasangan elektron dari hasil reaksi enzimatik
dalam elektroda. Hal ini akan menyebabkan biosensor memiliki respon yang cepat
dan kestabilan yang tinggi. Penelitian biosensor glukosa oksidase banyak
dilakukan, akan tetapi penelitian mengenai perancangan biosensor dengan enzim
glukosa oksidase diamobilisasi pada nanopartikel kitosan dalam elektroda pasta
karbon termodifikasi polianilin belum pernah dilakukan. Sedangkan inovasi
perancangan biosensor glukosa perlu dilakukan untuk mendeteksi glukosa dalam
industri farmasi maupun makanan secara lebih tepat, cepat, dan sensitif.
Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi optimum berupa volume dan
waktu ultrasonikasi optimum untuk menghasilkan nanopartikel kitosan. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan mengetahui karakteristik glukosa oksidase/elektroda
pasta karbon termodifikasi berupa pH optimum, konsentrasi substrat optimum,
sensitivitas, dan kinetika enzim. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai volume dan waktu ultrasonikasi optimum untuk menghasilkan
nanopartikel kitosan dan dapat digunakan sebagai matriks amobilisasi enzim alami
dan dapat menjadi pengganti matriks amobilisasi enzim komersial yang telah ada.
Karakteristik glukosa oksidase teramobil nanopartikel kitosan dalam elektroda
pasta karbon termodifikasi pada nanoserat polianilin yang diperoleh dapat menjadi
informasi untuk pengujian lebih lanjut pada proses perancangan biosensor.

METODE
Penelitian yang dilakukan meliputi optimasi pembuatan nanopartikel
kitosan dan karakterisasi ukuran partikel dengan PSA (particle size analyzer),
preparasi elektroda pasta karbon (EPK) dan elektroda pasta karbon termodifikasi
(EPKT), amobilisasi glukosa oksidase teramobil pada nanopartikel kitosan dalam
elektroda pasta karbon termodifikasi nanoserat polianilin, dan karakterisasi glukosa
oksidase teramobil nanopartikel kitosan dalam elektroda pasta karbon termodifikasi
nanoserat polianilin.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kitosan
diperoleh dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, enzim glukosa oksidase
(EC.1.1.3.22 dimurnikan dari Aspergillus niger, aktivitas 7200 Unit/mL) dan
glukosa diperoleh dari Sigma Aldrich, sodium tripolifosfat (STPP) diperoleh dari
Kimia Organik IPB, polianilin diperoleh dari hasil penelitian Akhirudin Maddu
(Departemen Fisika IPB tahun 2014), serbuk grafit dan parafin cair diperoleh dari
Kimia Fisik IPB, bovine serum albumin (BSA), asam asetat glasial, serbuk natrium
asetat, serbuk Na2HPO4, serbuk NaH2PO4, serbuk KCl, dan kalium ferisianida
diperoleh dari Laboratorium Biokimia IPB, serta akuades.

3
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan kaca,
homogenizer (Dispergierstation TB.10 IKA), ultrasonic processor (130 Watt 20
kHz, Cole-Parmer), VASCO particle size analyzer dilengkapi perangkat lunak
nanoQ, pH meter (HANNA pH 21), tabung Effendorf, pipet mikro, penangas air,
neraca analitik, tabung kaca diameter luar 1.2 cm dan diameter dalam 0.9 cm,
tabung teflon diameter 0.9 cm, kawan tembaga, eDAQ Potensiostat-Galvanostat
(Ecorder 410) yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0 dengan sistem 3
elektroda (elektroda Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding, elektroda karbon
pasta sebagai elektroda kerja, elektroda platina sebagai elektroda bantu), dan
pengaduk magnet.
Prosedur
Pembuatan Nanopartikel Kitosan (modifikasi Nakorn 2008)
Sebanyak 20 mg kitosan dilarutkan ke dalam 40 mL asam asetat 2 % v/v
dengan pengaduk magnet dalam gelas piala 100 mL. Setelah itu, larutan
dihomogenisasi dengan kecepatan 13500 rpm selama 10 menit sambil ditambahkan
20 mL tripolifosfat (TPP) 0.75 mg/mL pada suhu ruang. Sebanyak 30 mL larutan
kitosan dari stok awal, diletakkan ke dalam gelas piala 100 mL dan diultrasonikasi
dengan amplitudo 40 % selama 5 menit. Hal ini dilakukan hingga semua larutan
nanopartikel kitosan tersonikasi. Nanopartikel kitosan diperoleh dengan
disentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan 12000 rpm lalu disimpan dalam
akuabides agar tetap stabil pada suhu 4oC. Pembuatan nanopartikel kitosan juga
dilakukan dengan 5 kali volume formula awal, yaitu 300 mL dalam gelas piala 600
mL dan divariasikan waktu ultrasonikasi selama 5, 10, dan 15 menit. Karakterisasi
yang dilakukan, yaitu analisis ukuran partikel dengan particle size analyzer (PSA).
Preparasi Elektroda Pasta Karbon (Colak et al. 2012)
Elektroda pasta karbon (EPK) terbentuk dari campuran serbuk grafit dan
parafin cair. Sebanyak 0.15 gram serbuk grafit dicampurkan sempurna dengan 100
µL parafin cair dalam mortar. Pasta karbon kemudian dimasukkan ke dalam
elektroda tabung kaca (diameter 0.9 cm, panjang 4 cm) dengan tinggi 0.7 cm yang
telah terhubung dengan kawat tembaga. Elektroda pasta karbon termodifikasi
(EPKT) terbentuk dari campuran serbuk grafik, parafin cair, dan polianilin.
Sebanyak 2 mg polianilin ditambahkan dengan 0.15 gram serbuk grafit yang telah
dicampurkan 100 µL parafin cair di dalam mortar. Setelah itu, permukaan elektroda
dihaluskan dengan kertas untuk menghasilkan elektroda kerja yang baik.
Preparasi Glukosa Oksidase/Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi
(modifikasi Colak et al. 2012)
Bufer yang digunakan untuk amobilisasi enzim, yaitu bufer asetat 0.1 M pH
4.0-6.0 dan bufer fosfat 0.1 M pH 6.5-8.0 dengan interval 0.5. Sebanyak 37 µL
enzim glukosa oksidase (7200 Unit/mL), 1 mg bovine serum albumin (BSA), 63 µL
bufer uji variasi pH 4-8, dan 30 µL nanopartikel kitosan 2.5% dicampurkan hingga
homogen. Setelah itu, larutan enzim diinkubasi selama 15 menit pada suhu 30oC.
Kemudian larutan enzim diteteskan di atas elektroda karbon termodifikasi dan
dikeringkan pada suhu 4oC hingga pelarutnya menguap/mengering. Elektroda
dicuci dengan larutan bufer sesuai pH yang digunakan untuk menghilangkan enzim

4
dan nanopartikel kitosan yang tidak teramobilisasi. Elektroda diletakkan pada suhu
4oC di dalam bufer selama tidak digunakan.
Pengukuran Elektrokimia (modifikasi Colak et al. 2012)
Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan seperangkat alat eDAQ
potensiotat-galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0. Elektroda
yang digunakan adalah elektroda Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding, platina
sebagai elektroda bantu, dan elektroda enzim sebagai elektroda kerja. Modifikasi
yang dilakukan, yaitu penambahan kalium ferisianida sebagai mediator berdasarkan
hasil penelitian Fadhilah (2013). Larutan glukosa yang digunakan diinkubasi pada
suhu ruang selama 24 jam sebelum digunakan untuk pengujian.
Sebanyak 1 mL larutan bufer 0.1 M, 1 mL kalium ferisianida 100 mM, dan
180 µL glukosa ditambahkan ke dalam sel elektrokimia. Sel elektrokimia
selanjutnya diamati puncak arus anoda dan katoda. Elektroda karbon pasta
termodifikasi tanpa enzim digunakan sebagai blanko.
Penentuan pH Optimum (Colak et al. 2012)
Bufer asetat dan fosfat 0.1 M dengan kisaran pH 4-8 digunakan sebagai
bufer reaksi dalam pengujian elektroda enzim termodifikasi. Elektroda karbon pasta
tanpa enzim digunakan sebagai blanko. Sebanyak 1 mL larutan bufer kisaran pH 48, 1 mL kalium ferisianida 100 mM, dan 180 µL larutan glukosa 250 mM
ditambahkan ke dalam sel elektrokimia dan diamati puncak arus anoda. Perbedaan
puncak arus anoda yang diperoleh dari variasi pH digunakan sebagai parameter
penentuan pH optimum elektroda karbon pasta termodifikasi. Puncak arus anoda
tertinggi pada pH tertentu digunakan sebagai pH optimum. pH optimum yang
diperoleh dari hasil pengukuran digunakan untuk penentuan konsentrasi substrat
dan suhu optimum.
Penentuan Konsentrasi Substrat Maksimum (Colak et al. 2012), Sensitivitas
(Fadhilah 2013), dan Parameter Kinetika Enzim(Hoshino et al. 2012)
Konsentrasi substrat enzim glukosa oksidase yang divariasikan, yaitu Dglukosa dengan kisaran 0.1 mM-60 mM. Larutan bufer yang digunakan diperoleh
dari hasil penentuan pH optimum, yaitu bufer asetat pH 5.0. Sebanyak 1 mL larutan
bufer asetat pH 5.0, 1 mL kalium ferisianida 100 mM, dan 180 µL D-glukosa
dengan variasi konsentrasi dimasukkan ke dalam sel elektrokimia dan diamati
puncak arus anoda. Puncak arus anoda tertinggi pada konsentrasi substrat tertentu
digunakan sebagai parameter penentuan konsentrasi substrat maksimum.
Parameter kinetika enzim glukosa oksidase yang diamobilisasi ditentukan
dengan menggunakan persamaan Michaelis-Menten :
I =

Imaks [D-glukosa]
Km + [D-glukosa]

dengan Imaks adalah respon arus maksimum yang terukur, Km adalah konstanta
Michaelis Menten, dan [D-glukosa] adalah konsentrasi glukosa. Persamaan
Michaelis Menten yang diperoleh dibuat turunannya, yaitu plot Lineweaver-Burk.

5

HASIL
Formula dan Ukuran Nanopartikel Kitosan
Nanopartikel kitosan diperoleh melalui metode gelasi ionik dengan
membentuk emulsi yang stabil dan berwarna agak keruh. Emulsi nanopartikel
kitosan yang diperoleh setelah mengalami proses ultrasonikasi cenderung lebih
jernih dibandingkan sebelum ultrasonikasi. Hasil pengukuran nanopartikel kitosan
dengan peningkatan volume dan variasi waktu ultrasonikasi dapat dilihat pada
Tabel 1. Formula A dengan volume 60 mL dan waktu ultrasonikasi 5 menit
memiliki rata-rata ukuran partikel sebesar 152.90 nm dengan nilai indeks
polidispersitas (IP) sebesar 0.09. Pembuatan nanopartikel dengan peningkatan 5
kali volume dari formula A, yaitu formula B, C, dan D menghasilkan ukuran
partikel yang berbeda. Nilai rata-rata ukuran nanopartikel kitosan yang dihasilkan
pada formula B, yaitu 200.34 nm dengan nilai IP sebesar 0.35. Nilai rata-rata ukuran
partikel yang dihasilkan pada formula C sebesar 131.65 nm dengan nilai IP sebesar
0.02. Formula D menghasilkan rata-rata ukuran partikel sebesar 207.22 nm dengan
nilai IP 0.50.
Nilai rata-rata ukuran partikel dan IP dari formula C cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan formula B dan D. Formula B menunjukkan belum
sempurnanya proses ultrasonikasi sehingga partikel yang dihasilkan masih lebih
besar dengan nilai IP yang besar. Sedangkan formula D menunjukkan terjadinya
ketidakstabilan hasil ultrasonikasi sehingga partikel yang dihasilkan berukuran
lebih besar dan nilai IP yang meningkat pula. Hal ini menunjukkan formula terbaik
untuk memperoleh nanopartikel kitosan, yaitu formula A dan C.
Proses sentrifugasi dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh
nanopartikel kitosan dalam bentuk serbuk. Endapan yang diperoleh disimpan pada
suhu 4oC di dalam akuabides untuk menjaga kestabilan nanopartikel kitosan dan
dikeringkan hingga akubides menguap sebelum digunakan. Rendemen nanopartikel
kitosan yang diperoleh dari formula A, yaitu 88.89%. Nanopartikel kitosan yang
diperoleh dari hasil penelitian yang digunakan pada penelitian selanjutnya adalah
formula A. Hal ini disebabkan peningkatan volume dan variasi waktu ultrasonikasi
dari formula A yang dilakukan hanya digunakan sebagai referensi untuk produksi
nanopartikel kitosan dalam skala besar.
Tabel 1 Hasil pengukuran nanopartikel kitosan dengan peningkatan volume dan
variasi waktu ultrasonikasi
Formula

Volume
(mL)

Waktu ultrasonikasi
(menit)/Aa

Kisaran ukuran
partikel (nm)

Rata-rata ukuran
partikel (nm)

IP

A

60
300
300
300

5 /40 %
5 /40 %
10 /40 %
15 /40 %

58.90 - 407.49
35.49 - 1349.32
85.14 - 204.23
30.91 - 1950.36

152.90
200.34
131.65
207.22

0.09
0.35
0.02
0.50

B
C
D
a

A: amplitudo, IP: indeks polidispersitas.

Kinerja Elektroda Karbon Pasta dan Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi
Penentuan arus yang dihasilkan oleh elektroda pasta karbon (EPK) dan
elektroda karbon pasta termodifikasi (EPKT) perlu dilakukan sebelum digunakan
sebagai elektroda enzim untuk biosensor glukosa. Penentuan elektroda dilakukan
untuk menghasilkan biosensor glukosa yang lebih sensitif dan murah. Pasta karbon

6
terbuat dari serbuk grafit dan parafin cair. Pasta karbon yang dihasilkan pada
penelitian ini memiliki karakteristik, antara lain berwarna hitam, lunak, tidak padat,
dan dapat dimasukkan ke dalam tabung kaca yang terhubung dengan kawat
tembaga.
Modifikasi yang dilakukan elektroda pasta karbon termodifikasi (EPKT)
berupa penambahan nanoserat polianilin sebagai polimer bersifat konduktif yang
dapat meningkatkan arus pada puncak anoda yang dihasilkan. Nanoserat polianilin
yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian Akhiruddin
Maddu (2014). Ukuran nanoserat polianilin yang digunakan pada penelitian ini
memiliki ukuran 110-120 nm berdasarkan hasil uji SEM pada perbesaran 7500 kali.
Voltamogram siklik dari EPK dan EPKT terlihat pada Gambar 1 terbentuk
dari kinerja kedua elektroda terhadap KCl 3 M dengan kondisi pengukuran yang
sama. Berdasarkan voltamogram siklik yang terbentuk, EPK menghasilkan puncak
arus anoda yang lebih kecil dari puncak arus anoda yang dihasilkan oleh EPKT.
Peningkatan nilai arus puncak anoda pada EPKT menunjukkan bahwa EPKT
merupakan elektroda yang lebih baik daripada EPK dan akan digunakan untuk
penelitian selanjutnya.
Voltamogram pada Gambar 1 menunjukkan respon EPK dan EPKT
terhadap energi potensial yang diberikan yang terlihat dari besaran arus yang
dihasilkan. Nilai arus diperoleh dari puncak anoda (reaksi oksidasi) dan puncak
katoda (reaksi reduksi) terjadi pada EPK dan EPKT. Besar arus yang dihasilkan
oleh EPK pada puncak anoda, yaitu sebesar 0.276 × 10-4 A, sedangkan arus yang
dihasilkan oleh EPKT mengalami kenaikan arus pada puncak anoda sebesar 1.209
× 10-4 A (Tabel 2).
CPE
MCPE
0.0010

I (A)

0.0005

0.0000

-0.0005

-0.0010

-0.6

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

E (V)

Gambar 1 Voltamogram siklik EPK dan EPKT pada laju pemayaran 100 mVs-1,
potensial 1 V, Initial E 0 mV, final E 0 mV, upper E 1000 mV, dan
lower E -500 mV.
elektroda pasta karbon,
elektroda pasta
karbon termodifikasi.
Tabel 2 Arus puncak anoda elektroda pasta karbon (EPK) dan elektroda pasta
karbon termodifikasi (EPKT)
Sampel
Elektroda Pasta Karbon
Elektroda Pasta Karbon
Termodifikasi

Energi Potensial (V)

Arus Maksimum (A)

-0.304

0.276 × 10-4

-0.085

1.209 × 10-4

7
pH Optimum
Pengaruh pH terhadap respon glukosa oksidase/EPKT memiliki peran
penting dalam menentukan penyebaran muatan pada sisi aktif enzim yang
berpengaruh pada aktivitas enzim. Enzim glukosa oksidase diamobilisasi terlebih
dahulu pada nanopartikel kitosan yang diacu dari hasil penelitian Nakoron (2008).
Nanopartikel kitosan yang digunakan pada penelitian ini dilarutkan terlebih dahulu
di dalam bufer fosfat pH 7. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Nakorn (2008)
yang menjelaskan bahwa enzim glukosa oksidase dapat diamobilisasi secara
optimal pada bufer fosfat pH 7. Enzim glukosa oksidase yang telah diamobilisasi
dengan nanopartikel kitosan kemudian diamobilisasi kembali pada EPKT.
Penentuan pH optimum pada glukosa oksidase/EPKT akan dilakukan
dengan menggunakan bufer pH 4-8 dengan interval 0.5. Nilai arus yang dihasilkan
pada puncak anoda akan sebanding aktivitas enzim yang digunakan untuk
menentukan pH optimumnya. Voltamogram siklik pengaruh pH terhadap arus yang
dihasilkan enzim glukosa oksidase pada EPKT dengan perlakuan suhu 25oC dan
konsentrasi glukosa 0.25 M ditunjukkan pada Gambar 2. Nilai arus yang terlihat
pada puncak anoda yang dihasilkan oleh enzim glukosa oksidase pada EPKT
dengan variasi pH berbeda juga. Besar arus pada puncak anoda yang paling tinggi
dihasilkan enzim glukosa oksidase/EPKT pada bufer pH 5.0 dan terendah pada
bufer pH 6.0.
Hubungan pengaruh pH terhadap nilai arus elektroda glukosa
oksidase/EPKT ditunjukkan Gambar 3. Nilai arus yang diperoleh pada puncak
anoda tersebut pada pH 5.0 sebesar 1.8655 mA. Sedangkan nilai arus terendah
dihasilkan pada bufer asetat pH 6.0, yaitu sebesar 0.2898 mA. Nilai arus tertinggi
menunjukkan enzim glukosa oksidase yang teramobilisasi pada elektroda pasta
karbon termodifikasi memiliki respon maksimum pada bufer pH 5.0. Oleh karena
itu, bufer pH 5 yang merupakan pH optimum akan digunakan untuk tahapan
selanjutnya pada penelitian selanjutnya dalam aplikasi perancangan biosensor
glukosa.
pH 4.0
pH 4.5
pH 5.0
pH 5.5
pH 6.0
pH 6.5
pH 7.0
pH 7.5
pH 8.0

0,0030
0,0025
0,0020
0,0015

I (A)

0,0010
0,0005
0,0000
-0,0005
-0,0010
-0,0015
-0,0020
-0,0025
-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

E (V)

Gambar 2 Voltamogram siklik elektroda enzim termodifikasi pada variasi pH
dengan laju pemayaran 100 mVs-1, potensial 2 V, initial E -500 mV,
final -500 mV, upper E 2000 mV, dan lower E -500 mV.
pH 4.0,
p pH 4.5,
pH 5.0,
pH 5.5,
pH 6.0,
pH 6.5, p
pH 7.0,
pH 7.5,
pH 8.0.

8
2

I (mA)

1,5
1
0,5
0
3,5

4

4,5

5

5,5

6

6,5

7

7,5

8

8,5

pH
Gambar 3 Pengaruh pH terhadap nilai arus elektroda glukosa oksidase/EPKT (suhu
25oC, glukosa 0.25 M).
Kinetika enzim
Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim disebabkan adanya
kemampuan sisi aktif enzim berikatan dengan substrat. Regresi non linier hubungan
konsentrasi substrat dengan arus yang menunjukkan aktivitas enzim pada elektroda
enzim glukosa oksidase/EPKT ditunjukkan Gambar 4. Nilai arus yang diperoleh
pada puncak anoda akan sebanding dengan aktivitas enzim glukosa oksidase.
Pengaruh konsentrasi substrat yang digunakan terhadap aktivitas enzim yang
dihasilkan menggunakan variasi konsentrasi dengan rentang 0.2-60 mM. Ketika
konsentrasi glukosa berada di bawah 20 mM, reaksi berada saat enzim belum terikat
seluruhnya pada substrat. Ketika konsentrasi glukosa mencapai 20 mM, aktivitas
enzim mulai mencapai maksimum sebesar 1.44765 mA yang menunjukkan bahwa
enzim sudah terikat semuanya pada substrat sehingga penambahan substrat yang
lebih tinggi tidak memberikan pengaruh yang signifikan bahkan menurunkan
aktivitas enzim. Hal ini menunjukkan enzim glukosa oksidase telah jenuh dengan
substrat.
Regresi non linier pada Gambar 4 menunjukkan representasi hubungan
konsentrasi substrat dan aktivitas enzim. Representasi regresi non linier ini
memiliki kelemahan, yaitu kemungkinan adanya distorsi dari hiperbola sehingga
nilai Km yang dihasilkan dapat 10 kali lebih besar dan 10 kali lebih kecil dari nilai
Km yang sebenarnya (Bisswanger 2002). Oleh karena itu, dilakukan penentuan nilai
Km dari daerah yang linier pada hubungan konsentrasi substrat dan aktivitas enzim
yang ditunjukkan pada Gambar 5.
4

y = 0,4359ln(x) + 0,4145
R² = 0,8056

ΔI (mA)

3
2
1
0
-1

0

20

40

60

80

[Glukosa] (mM)
Gambar 4 Hubungan konsentrasi glukosa dan nilai arus elektroda enzim glukosa
oksidase/EPKT.

9

ΔI (mA)

Linieritas konsentrasi substrat dan nilai arus pada elektroda glukosa
oksidase/EPKT ditunjukkan pada Gambar 5. Rentang daerah linier konsentrasi
glukosa dengan aktivitas enzim berada pada 0.6-1.8 mM yang diperoleh dari nilai
koefisien determinasi tertinggi, yaitu 0.9955. Nilai sensitivitas elektroda enzim
glukosa oksidase/EPKT yang diperoleh dari kurva linieritas sebesar 0.20 mAmM-1
(Lampiran 7). Analisis kinetika ditentukan melalui turunan dari kurva MichaelisMenten dengan metode Lineweaver-Burk.
Analisis kinetika enzim glukosa/EPKT dengan metode Lineweaver-Burk
ditunjukkan pada Gambar 6. Nilai Km dan Imaks diperoleh dari persamaan regresi y
= 1.9887x + 1.0280 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9962. Nilai
Km dan Imaks yang diperoleh masing-masing dari metode Lineweaver-Burk, yaitu
1.934 mM dan 0.973 mA.
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

y = 0,2049x + 0,1172
R² = 0,9955

0

0,5

1

1,5

2

[Glukosa] (mM)
Gambar 5 Linieritas konsentrasi glukosa dan nilai arus elektroda glukosa
oksidase/EPKT.
5
y = 1,9887x + 1,028
R² = 0,9962

ΔI-1 (mA-1)

4
3
2
1
0

-1

-0,5

0

0,5

[Glukosa]-1

1

1,5

2

(mM-1)

Gambar 6 Kurva Lineweaver-Burk pada elektroda glukosa oksidase/EPKT.

PEMBAHASAN
Formula dan Ukuran Nanopartikel Kitosan
Kitosan merupakan matriks amobilisasi enzim yang baik dengan
peningkatan kemampuannya dalam bentuk nanopartikel (Nakorn 2008). Metode
yang digunakan untuk memperoleh nanopartikel kitosan pada penelitian ini adalah
metode gelasi ionik. Mekanisme metode gelasi ionik adalah pembentukan
nanopartikel kitosan berdasarkan interaksi elektrostatik antara gugus amina positif
pada kitosan (-NH2) dengan gugus muatan negatif dari polianion, contohnya

10
sodium tripolifosfat (STPP). Kompleksitas interaksi ini menyebabkan kitosan
mengalami gelasi ionik dan terpresipitasi membentuk partikel (Xu dan Du 2003).
Bentuk nanopartikel kitosan pada penelitian ini diperoleh dengan
melarutkan kitosan ke dalam asam asetat 2 % dan ditambahkan STPP 0.75 mg/mL
sebagai agen penaut silang. Metode ini merupakan metode yang dimodifikasi dari
penelitian yang dilakukan oleh Nakorn (2008) berupa modifikasi penambahan
tahapan homogenisasi. Penambahan asam asetat 2% pada kitosan berfungsi untuk
melarutkan kitosan. Hal ini disebabkan adanya gugus amina pada kitosan yang
dapat terprotonasi oleh H+ dari asam yang dihasilkan dari polielektrolit kation
dalam air (Harahap 2012). Oleh karena itu, kelarutan kitosan akan meningkat
seiring dengan penurunan nilai pH. Pelarutan kitosan ke dalam asam asetat 2%
menggunakan pengaduk magnetik. Suptijah et al. (2011) menjelaskan bahwa proses
pelarutan kitosan dengan pengaduk magnetik dapat dikendalikan secara merata
pada kecepatan tinggi sehingga menghasilkan partikel yang homogen dan stabil.
Sodium tripolifosfat (Na5P3O10) yang dilarutkan terdahulu di dalam air
menyebabkan terbentuknya ion hidroksil dan ion tripolifosfat. Kitosan yang
dilarutkan di dalam asam akan terprotonasi membentuk -NH3+ dan memberikan
kondisi asam pada proses penautan silang. Bhumkar dan Pokkharkar (2006)
menjelaskan bahwa proses penautan silang dapat terjadi pada 2 pH, yaitu pH 3 dan
pH 9. Kondisi penautan silang pada pH 3 hanya akan didominasi oleh interaksi
ionik antara ion polifosfat dengan –NH3+ dari kitosan. Kondisi yang berbeda pada
pH 9, yaitu ion hidroksil dan ion polifosfat yang dihasilkan akan berkompetisi untuk
berinteraksi dengan –NH3+ dan akan didominasi oleh deprotonasi ion hidroksil.
Emulsi nanopartikel kitosan diperoleh dengan penambahan sodium
tripolifosfat yang bersifat anion multivalen dapat berfungsi sebagai penaut silang
dengan kitosan yang bersifat kationik. Lin et al. (2008) menjelaskan bahwa hasil
nanopartikel kitosan yang diperoleh dengan tripolifosfat bersifat lebih stabil dan
dapat menembus membran lebih baik. Teknik homogenisasi berfungsi untuk
menyatukan larutan kitosan dengan STPP dan membuat partikel menjadi lebih
homogen. Teknik homogenisasi yang dilakukan mengacu pada penelitian Hardi
(2012) dengan partikel yang dihasilkan berukuran ± 1000 nm. Menurut Ekaputra
(2014), homogenisasi bertujuan menyatukan dan menyeragamkan ukuran dalam
bentuk nanopartikel.
Hasil homogenisasi selanjutnya diultrasonikasi dengan amplitudo 40%
selama 5 menit. Kondisi amplitudo ini merupakan kondisi yang digunakan dalam
penelitian Nakorn (2008) yang didukung dengan penelitian Mujib (2011). Hal ini
disebabkan emulsi yang dihasilkan dengan kondisi tersebut lebih stabil dan efisien
terhadap waktu. Menurut Wahyono et al. (2011), metode ultrasonikasi bertujuan
memecah molekul-molekul yang berukuran besar menjadi bagian-bagian lebih
kecil. Menurut Nikmatin et al. (2011), prinsip ultrasonikasi berkaitan dengan efek
kavitasi akustik.
Kavitasi adalah peristiwa pembentukan, pertumbuhan, dan meledaknya
gelembung di dalam cairan yang melibatkan sejumlah energi sangat besar.
Hielscher (2005) menyebutkan bahwa adanya fenomena kavitasi akustik pada
medium cairan dapat menyebabkan terbentuknya gelembung atau rongga di dalam
medium cairan tersebut. Hal ini disebabkan oleh gelombang ultrasonikasi yang
menjalar menyebabkan terjadinya rapatan dan regangan. Terjadinya regangan
akibat penurunan tekanan akan membentuk gelembung yang mampu menyerap

11
energi ultrasonikasi. Gelembung tersebut selanjutnya memuai yang diikuti dengan
mencapai bentuk maksimum hingga akhirnya pecah. Pecahnya gelembung tersebut
diikuti dengan pecahnya partikel sehingga ukuran partikel menjadi berkurang.
Kavitasi dipengaruhi beberapa faktor, seperti frekuensi ultrasonikasi, suhu, tekanan,
konsentrasi, dan viskositas.
Emulsi yang telah diultrasonikasi akan memiliki ukuran yang lebih seragam
dan berukuran nanopartikel. Ukuran nanopartikel kitosan pada penelitian ini
ditentukan dengan particle size analyzer (PSA). Lidiniyah (2011) menjelaskan
bahwa pengukuran partikel dengan PSA lebih akurat untuk partikel berorde
nanometer dan submikron yang cenderung beraglomerasi. Menurut Aprianto
(2014), prinsip kerja dari PSA menggunakan Dynamic Light Scattering (DLS)
dengan metode basah, yaitu menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan
material uji.
Hasil PSA dari nanopartikel kitosan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
emulsi nanopartikel kitosan yang dibuat dalam volume 60 mL dengan waktu
ultrasonikasi 5 menit (formula A) menghasilkan rata-rata kitosan masih termasuk
ke dalam rentang nanopartikel, yaitu 10-10000 nm (Mohanraj dan Chen 2003).
Akan tetapi, nilai rata-rata ukuran dari hasil penelitian ini lebih kecil dibandingkan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Nakorn (2008), yaitu 215 nm. Nilai ratarata ukuran partikel kitosan yang lebih kecil dapat disebabkan oleh adanya
homogenisasi yang menyebabkan partikel berukuran lebih kecil dan seragam.
Selain itu, Mardliyati et al. (2012) juga menjelaskan bahwa karakteristik partikel
yang dihasilkan dari metode gelasi ionik dipengaruhi oleh ukuran awal kitosan,
konsentrasi kitosan, konsentrasi sodium tripolisfat, dan rasio volume kitosan
terhadap sodium tripolifosfat. Nilai indeks polidispersitas (IP) yang dihasilkan
dengan formula A sebesar 0.09. Hal ini menunjukkan emulsi memiliki distribusi
yang sempit dan berukuran nanopartikel yang seragam karena nilai IP yang
diperoleh berada di bawah 0.3 (Yen et al. 2008).
Nilai rata-rata ukuran partikel yang diperoleh pada peningkatan 5 kali
volume formula A masih termasuk ke dalam rentang ukuran nano, yaitu 10-10000
nm (Mohanraj dan Chen 2003) dan lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata
ukuran partikel yang dihasilkan oleh penelitian Nakorn (2008). Nilai rata-rata
ukuran partikel yang dihasilkan peningkatan 5 kali volume formula A berbeda
sesuai dengan hasil penelitian Tsai et al. (2008) yang menyatakan bahwa semakin
lama proses ultrasonikasi pada kitosan-sodium tripolifosfat akan menghasilkan
diameter partikel yang semakin berkurang. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan Ekaputra (2014) menyatakan bahwa energi
ultrasonikasi yang terlalu besar dan lama dapat menyebabkan ketidakstabilan
nanopartikel lemak padat dan terjadinya aglomerasi. Adanya perbedaan volume
ultrasonikasi dan luas permukaan wadah yang digunakan juga berpengaruh
terhadap proses kavitasi yang terjadi. Perbedaan fenomena kavitasi yang terjadi
akan menghasilkan ukuran rata-rata dan indeks polipdispersitas nanopartikel
kitosan yang berbeda. Nilai indeks polidispersitas yang lebih kecil pada formula C
menunjukkan partikel yang dihasilkan berukuran nano yang lebih kecil dengan
distribusi partikel yang sempit dan seragam (Yen et al. 2008).
Rendemen nanopartikel kitosan ditentukan berdasarkan presentase berat
nanopartikel kitosan yang dihasilkan terhadap berat serbuk awal kitosan yang
ditambahkan. Nilai rendemen yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan

12
rendemen yang dihasilkan oleh penelitian Kurniasih et al. (2011) dengan
pangadukan dan filtrasi, yaitu 88.49%. Nilai rendemen dari hasil penelitian ini juga
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Suptijah et al. (2011) dengan
pengaduk magnetik dan homogenizer, yaitu 81.30% dan 40.00%. Hal ini
menunjukkan rendemen yang dihasilkan dengan metode ini lebih tinggi namun
tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian sebelumnya.
Kinerja Elektroda Pasta Karbon dan Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi
Elektroda pasta karbon (EPK) yang diuji pada penelitian ini terbuat dari
serbuk grafik dan parafin cair. Serbuk grafit pada komposisi pasta karbon berfungsi
sebagai penguat dan memperkecil gesekan serta meningkatkan ketahanan arus
(Surianty et al. 2013). Penambahan parafin cair pada pasta karbon digunakan untuk
pengikat grafit sehingga campuran menjadi stabil dan sifatnya tidak ikut bereaksi
pada pengukuran (Svancara et al. 2002). Karakteristik fisik karbon pasta yang
dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Vytras et al (2009), yaitu lunak, tidak padat, dan harus disimpan di dalam badan
elektroda yang terhubung dengan kawat tembaga. Kawat tembaga digunakan
sebagai penghantar elektron yang dihasilkan pada reaksi biokimia dan
menghubungkannya pada sumber listrik.
Elektroda pasta karbon termodifikasi (EPKT) terbuat dari nanoserat
polianilin, serbuk grafit, dan parafin cair. Karbon pasta termodifikasi yang
dihasilkan juga memiliki karakteristik fisik yang sama dengan karbon pasta yang
belum termodifikasi. Surianty et al. (2013) menyatakan bahwa penambahan
polianilin pada pasta karbon dilakukan agar tidak ada ruang kosong antara partikel
grafit yang satu dengan yang lainnya. Hal ini menyebabkan polianilin yang
ditambahkan ke dalam karbon pasta dapat masuk dalam rongga kosong tersebut dan
dapat meningkatkan konduktivitas listrik pada elektroda karena jalannya elektron
tidak terputus.
Analisis EPK dan EPKT dilakukan dengan menggunakan larutan KCl 3 M.
Larutan KCl 3 M berfungsi sebagai larutan elektrolit yang mengurangi gaya tarikmenarik elektrostatik antara muatan elektrode dan muatan ion-ion analit serta
mempertahankan kekuatan ion (Wang 2001). Puncak anoda yang terbentuk pada
voltamogram adalah representatif pergerakan elektron yang berkala dari reaksi
yang terjadi di permukaan elektroda (Surianty et al. 2013). Puncak anoda pada
EPKT lebih tinggi dibandingkan dengan puncak anoda pada EPK sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Surianty et al. (2013) yang menyatakan bahwa
EPKT memiliki puncak arus yang lebih tinggi daripada EPK walaupun tidak terlihat
terlalu signifikan pada puncak anoda. Peningkatan nilai arus yang dihasilkan oleh
EPKT disebabkan penambahan polianilin. Gaikward et al. (2006) menyatakan
bahwa polianilin merupakan polimer bersifat konduktif yang memiliki kemampuan
untuk menghantarkan elektron dari hasil reaksi biokimia. Konduktivitas polianilin
disebabkan oleh penambahan HCl sebagai doping asam protonik pada saat
polimerisasi (Maddu et al. 2008).
pH Optimum
Penentuan pH optimum akan berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Enzim
yang digunakan pada penelitian ini adalah enzim glukosa oksidase bereaksi spesifik
terhadap substrat glukosa sehingga dapat diaplikasikan untuk biosensor. Aktivitas

13
enzim glukosa oksidase ditentukan dengan metode voltametri siklik. Menurut
Liyonawati (2013), metode voltametri siklik merupakan salah satu metode
elektroanalitik berdasarkan pada reaksi oksidasi reduksi pada permukaan elektroda
kerja. Teknik pengukuran biosensor yang dilakukan selama setengah reaksi
oksidasi reduksi berlangsung disebut biosensor amperometrik (Wei dan Ivaska
2006). Kelebihan teknik ini adalah sensitivitasnya yang tinggi, limit deteksi yang
rendah, dan memiliki daerah linier yang lebar (Mulyani et al. 2012).
Enzim glukosa oksidase yang digunakan pada penelitian ini diamobilisasi
dengan nanopartikel kitosan. Proses amobilisasi glukosa oksidase pada
nanopartikel kitosan dilakukan pada pH 7. pH 7 merupakan pH optimum untuk
amobilisasi glukosa oksidase pada nanopartikel kitosan dari hasil penelitian yang
dilakukan Nakorn (2008). Nakorn (2008) menjelaskan bahwa pH optimum
menyebabkan konformasi enzim dapat berikatan dengan kuat dengan nanopartikel
kitosan. Glukosa oksidase, bovine serum albumin, dan nanopartikel kitosan yang
telah dicampurkan selanjutnya diinkubasi pada suhu 30oC selama 15 menit.
Inkubasi dilakukan untuk mengkondisikan lingkungan yang sesuai agar jumlah
glukosa oksidase yang teramobilisasi pada nanopartikel kitosan optimum.
Teknik amobilisasi glukosa oksidase pada nanopartikel kitosan yang
dilakukan pada penelitian ini, yaitu amobilisasi enzim pada permukaan
nanopartikel kitosan. Polikationik alami pada kitosan dan adanya gugus amina
primer pada struktur kimianya menyebabkan kitosan berpotensi untuk
mengamobilisasi berbagai jenis enzim (Tang et al. 2006). Selain itu, Nakorn (2008)
menjelaskan bahwa ukuran nanopartikel kitosan dapat meningkatkan luas
permukaan dan gugus fungsi yang dapat berikatan dengan enzim sehingga
meningkatkan amobilisasi enzim pada permukaan.
Glukosa oksidase yang telah diamobilisasi pada nanopartikel kitosan
selanjutnya diamobilisasi pada EPKT. Enzim glukosa amobil diletakkan di
permukaan EPKT dan dikeringkan di suhu 4oC. Pengeringan pada suhu ini
berfungsi untuk menguapkan pelarut, memberikan kondisi yang sesuai untuk
amobilisasi enzim, dan mencegah kerusakan aktivitas enzim (Surianty 2014).
Enzim glukosa oksidase yang teramobilisasi pada nanopartikel kitosan akan
menempel pada permukaan polianilin. Pengukuran aktivitas elektroda kerja enzim
didasarkan pada proses transfer elektron yang permukaan elektroda kerja. Enzim
glukosa oksidase akan menghasilkan elektron yang dihasilkan dari reaksi enzimatik
pada substrat glukosa.
Penelitian ini menggunakan kalium ferisianida [K3(Fe(CN6)] sebagai
mediator yang berperan sebagai fasilitator atau penghubung dari proses transfer
elektron tidak mungkin terjadi secara langsung antara permukaan elektroda dengan
pusat redoks enzim (Rachmawati 2007). EPKT dengan mediator kalium ferisianida
menghasilkan puncak anoda dan katoda sehingga EPKT yang terukur sebelum
penambahan enzim dapat menimbulkan arus. Oleh karena itu, arus dari puncak
anoda yang terbentuk pada EPKT sebelum penambahan enzim akan digunakan
sebagai blanko terhadap elektroda enzim.
Reaksi enzimatik glukosa oksidase menyebabkan aktivitas enzim dalam
bentuk arus yang terukur akan berbanding lurus pada konsentrasi produk yang
dihasilkan. Arus tertinggi yang dihasilkan pada pH 5.0 menunjukkan aktivitas
enzim glukosa oksidase tertinggi pada elektroda enzim. Nilai pH optimum yang
dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan pH optimum dari hasil penelitian Colak

14
et al. (2012) dengan matriks amobilisasi berupa glutaraldehida dan polianilin. pH
optimum enzim amobil yang dihasilkan pada penelitian ini juga mengalami
pergeseran dari pH optimum enzim bebas, yaitu dari 5.5 ke 5.0 (Triana 2013).
Optimasi pH yang dilakukan bertujuan mengetahui kondisi lingkungan yang paling
sesuai untuk struktur dan sisi aktif enzim berikatan dengan substrat dan melakukan
proses katalisis.
Perubahan pH optimum yang terjadi pada penelitian ini dapat disebabkan
oleh perubahan konformasi enzim. Menurut Triana (2013), perubahan pH optimum
dapat disebabkan oleh perubahan sisi aktif serta struktur enzim akibat adanya
perubahan ionisasi pada asam amino penyusunnya. Gugus samping pada asam
amino akan mengalami ionisasi akibat adanya pengaruh banyaknya ion H+ dan OHpada pH tertentu. Tahap ionisasi pada pH tertentu akan berpengaruh terhadap
pengikatan kompleks enzim dan substrat yang akan meningkatkan arus yang
dihasilkan. Selain itu, perubahan pH optimum dapat disebabkan oleh pengaruh
penambahan polianilin dalam meningkatkan arus. Colak et al. (2012) menjelaskan
bahwa polianilin memiliki daya konduktivitas yang lebih tinggi pada larutan pH 5.2
dan pH 7.3. Hal ini disebabkan oleh aktivitas katalisis dari leukoemeraldin yang
telah sebagian tereduksi untuk mereduksi oksigen sehingga daya konduktivitas
meningkat pula. pH optimum yang diperoleh digunakan untuk tahap analisis
aktivitas enzim selanjutnya.
Kinetika Enzim
Pengukuran elektroda glukosa oksidase/EPKT dengan variasi konsentrasi
substrat dilakukan pada suhu ruang untuk memudahkan pada aplikasi bisensor yang
lebih praktis. Kurva Michaelis Menten pada Gambar 4 menunjukkan laju
pembentukan kompleks enzim-substrat dan laju produk dihasilkan. Kondisi
penambahan konsentrasi glukosa sebelum 20 mM menunjukkan enzim belum
berikatan secara seluruhnya pada substrat . Penambahan substrat yang lebih dari 20
mM menunjukkan bahwa enzim telah mencapai kondisi jenuh dengan substrat
sehingga peningkatan jumlah substrat tidak berpengaruh signifikan (Mikkelsen dan
Corton 2004). Lineritas suatu pengukuran digunakan untuk mengetahui daerah
kerja maksimum dari elektroda enzim. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh
hampir memenuhi syarat yang ditetapkan. Menurut Safrizal (2011), nilai koefisien
determinasi memenuhi syarat yang ditetapkan ICH (1995), yaitu sebesar 0.9970.
Kinetika enzim glukosa oksidase/EPKT ditentukan dengan metode
Lineweaver-Burk berupa konstanta Michaelis-Menten (Km) dan laju reaksi
maksimum yang dinyatakan dalam arus maksimum (Imaks). Nilai Km menunjukkan
afinitas enzim terhadap substratnya. Nilai Km besar menunjukkan enzim mengikat
substrat lemah sehingga jumlah substrat yang lebih tinggi untuk menjenuhkan
enzim. Nilai Km yang kecil menunjukkan enzim mengikat substrat kuat sehingga
untuk menjenuhkan enzim diperlukan konsentrasi substrat yang rendah yang baik
untuk aplikasi biosensor. Hal ini menunjukkan biosensor yang dihasilkan memiliki
respon yang lebih cepat dan kemampuan membentuk kompleks enzim-subsrat kuat.
Nilai Imaks yang tinggi menunjukkan aktivitas enzim tinggi yang ditunjukkan dalam
arus elektrik dan sebaliknya (Liyonawati 2013).
Nilai Km yang diperoleh dari penelitian ini lebih rendah dibandingkan
dengan Km glukosa oksidase murni, yaitu 33-110 mM (Sigma Aldrich 2014). Nilai
Km yang lebih rendah menunjukkan bahwa enzim glukosa oksidase yang telah

15
diamobilisasi memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap substrat dibandingkan
dengan enzim glukosa oksidase murni. Nilai Km yang lebih rendah dipengaruhi oleh
penggunaan nanopartikel kitosan sebagai matriks amobilisasi enzim. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Tang et al. (2006) yang mengamobilisasi enzim lipase
murni pada nanopartikel kitosan akan menurunkan nilai Km dari 1.01× 102 g/L
menjadi 0.37 ×102 g/L dan meningkatkan aktivitas katalitik enzimnya. Tang et al.
(2006) juga menjelaskan bahwa peningkatan aktivitas katalitiknya terjadi dengan
pengikatan enzim dan nanopartikel kitosan untuk melindungi dari inaktivasi enzim.
Selain itu, nilai Km yang dihasilkan lebih rendah juga dipengaruhi oleh
penggunaan n