Anestrus Sapi Perah dan Penanggulangannya (Studi Kasus di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden, Purwokerto- Jawa Tengah).

ANESTRUS SAPI PERAH DAN PENANGGULANGANNYA
(Studi Kasus di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan
Ternak Baturraden, Purwokerto- Jawa Tengah)

AHMAD FADHIL ASREN

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Anestrus Sapi Perah
dan Penanggulangannya (Studi Kasus Di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul
dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden, Purwokerto-Jawa Tengah) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Ahmad Fadhil Asren
NIM B04088018

ABSTRAK
AHMAD FADHIL ASREN. Anestrus Sapi Perah dan Penanggulangannya (Studi
Kasus di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
Baturraden, Purwokerto- Jawa Tengah). Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus anestrus sapi perah di
BBPTU-HPT Baturraden dan upaya penanggulangannya. Selain itu, tujuan
penelitian ini juga adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian
anestrus pada sapi perah. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei deskriptif
dengan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden,
Purwokerto-Jawa Tengah dalam empat tahun terakhir (2010,2011,2012 dan 2013).
Data diolah dan dianalisa berdasarkan analisis deskriptif, yang disajikan dalam
bentuk tabel. Hasil menunjukkan pada tahun 2010 (61.95%) mencatat kejadian

anestrus tertinggi pada sapi betina, 2011 (20.33%), 2012 (44.48%) dan yang
terendah pada tahun 2013 (16.89%). Faktor penyebab anestrus yang ditemukan di
BBPTU-HPT Baturraden adalah hipofungsi ovari, corpus luteum persisten, sistik
ovari, silent heat dan mumifikasi. Sementara itu, penanggulangan yang dilakukan
adalah penanganan reproduksi termasuk terapi hormonal, perbaikan fisik,
massage, penarikan fetus abnormal dan manajemen nutrisi.
Kata kunci: anestrus, faktor penyebab, penanggulangan, sapi perah

ABSTRACT
AHMAD FADHIL ASREN. Anestrus and Treatment of Dairy Cattle (Case Study
in Livestock Breeding Center for Dairy Excellence and Forage Unit Baturraden,
Purwekerto-Central Java).Supervised by R. KURNIA ACHJADI.
The objective of this research was to learn about anestrus case on dairy
cattle in BBPTU-HPT Baturraden and effort to treatment. In addition, the purpose
of this study is also to determine the factors that affect the incidence of anestrus in
dairy cattle. The procedure was conducted by surveys descriptive method by
collecting secondary data which sourced from the Livestock Breeding Center for
Dairy Excellence and Herd Feed Forages Baturraden, Purwokerto-Central Java in
the last four years (2010,2011,2012 and 2013). The data was processed and
analyzed descriptively and presented in tabular form. The results showed in 2010

the anestrus read (61.95%) recorded the highest incidence of anestrus cows, 2011
(20.33%), 2012 (44.48%) and the lowest in 2013 (16.89%). The cause factors of
anestrus found in BBPTU-HPT Baturraden are ovarian hypofunction, corpus
luteum persistent, cystic ovarian, silent heat and mummification. Meanwhile, the
treatment are mainly related is reproduction treatment, including hormonal
therapy, physical treatment, massage, expulsion of abnormal fetus and
management of nutrisi.
Keywords: anestrus, cause factor, dairy cattle, treatment

ANESTRUS SAPI PERAH DAN PENANGGULANGANNYA
(Studi Kasus di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan
Ternak Baturraden, Purwokerto- Jawa Tengah)

AHMAD FADHIL ASREN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 yaitu Kejadian
Anestrus Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus Di Balai Besr
Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden, PurwokertoJawa Tengah).
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
masukan serta bantuan dari pelbagai pihak. Dengan tersusunnya skripsi ini,
penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Drh R Kurnia Achjadi, MS
sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, ilmu, waktu dan
kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skipsi ini. Disamping
itu, penulis juga berterima kasih kepada Drh Nurhidayat, MS, Ph.D. dosen
pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini dan ucapan terima

kasih kepada drh Yuliati WS selaku Koordinator Medik dan Paramedik di
BBPTU-HPT Baturraden yang telah memberi banyak masukan dan saran. Ribuan
terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta
mama, abah, dan saudara kandung serta teman seperjuangan skripsi saya Andi
Nur Izzati, Norafizah dan Zulfikhiran atas segala dukungan, kasih sayang, dan
semangat yang selalu diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
sahabat Kosan Pondok Anugerah, Mahasiswa PKPMI Bogor, teman-teman
Avenzoar 45, Geochelone 46 dan Acromion 47 atas segala kebersamaan.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Oleh kerena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan.
Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan yang berkempentingan.

Bogor, Januari 2015
Ahmad Fadhil Asren

DAFTAR ISI
ABSTRAK

iv


PRAKATA

viii

DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Tinjauan Umum Holstein Indonesia

2

Hormon

3

Sistem Reproduksi Sapi Betina

5

Kegagalan Estrus/Anestrus

6

Faktor Penyebab Anestrus

6


METODE

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Keadaan Umum Lokasi BBPTU-HPT, Baturraden

10

Populasi Ternak Di BBPTU-HPT, Baturraden

11

Kejadian Anestrus Yang Terjadi Di BBPTU-HPT Baturraden

11


Faktor Penyebab Anestrus Sapi Perah dan Upaya Penanggulangan di BBPTUHPT Baturraden
12
SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

15

RIWAYAT HIDUP


18

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Persyaratan kuantitatif bibit sapi perah betina Holstein Indonesia
Persyaratan kuantitatif bibit sapi perah jantan Holstein Indonesia
Persyaratan produksi susu
Data populasi sapi perah di BBPTU-SP Baturraden
Data Populasi Sapi Perah Impor di BBPTU-SP 2010-2013
Jumlah kejadian kasus anestrus di BBPTU-SP Baturraden
Faktor penyebab anestrus sapi perah di BBPTU-SP Baturraden

3
3
3
11
11
11
12

DAFTAR GAMBAR
1. Sapi perah jantan Holstein Indonesia
2. Sapi perah betina Holstein Indonesia

3
3

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
Baturraden adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis dibawah Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
BBPTU-HPT Baturraden sebagai pusat pembibitan sapi perah nasional,
mempunyai tugas pokok untuk melaksanakan pemuliaan, pemeliharaan, produksi
dan pemasaran. BBPTU-HPT Baturraden berfungsi untuk penyusunan program
dan evaluasi kegiatan pemuliaan, pemeliharaan, produksi dan pemasaran bibit sapi
perah unggul. Selain itu, fungsi BBPTU-HPT Baturraden adalah melaksanakan
pemuliaan bibit unggul sapi perah, uji performan (betina) dan uji progeni (jantan)
sapi perah unggul, pencatatan pembibitan sapi perah unggul, pemeliharaan bibit
unggul sapi perah, perawatan kesehatan bibit unggul sapi perah dan pengawasan
higienis produksi susu segar. BBPTU-HPT Baturraden juga berfungsi sebagai
pemberian teknis pemuliaan, pemeliharaan dan produksi bibit unggul sapi perah,
melaksanakan distribusi pemasaran dan informasi hasil produksi bibit unggul sapi
perah dan hasil ikutannya serta pengengolaan Tata Usaha dan Rumah Tangga
BBPTU-HPT.
Oleh karena itu, kajian-kajian ilmiah di bidang reproduksi menjadi hal yang
penting agar fungsi BBPTU-HPT Baturraden tetap optimal. Kegagalan estrus atau
anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari banyak faktor lain yang
mempengaruhi siklus estrus. Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan
betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama.
Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas
ovaria atau akibat aktivitas ovaria yang tidak teramati. Anestrus sering merupakan
penyebab infertilitas pada sapi betina (Achjadi 2013).
Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak
kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu
kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi seperti anestrus.
Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan kelambanan
perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan ternak
yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi
reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula
(Hayati dan Choliq 2009).
Perumusan Masalah
Kelainan reproduksi yang tinggi akan mempengaruhi rendahnya penampilan
reproduksi bagi suatu usaha peternakan, sehingga penting untuk dilihat dan
diketahui.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kasus anestrus pada ternak
sapi perah betina yang terdapat di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan
Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden dan upaya penanggulangannya
serta adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anestrus pada sapi perah.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang kejadian
anestrus pada sapi perah dan hubungannya dengan peningkatan produktivitas,
populasi sapi perah serta dijadikan bahan masukan dan evaluasi bagi Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT)
Baturraden.

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Holstein Indonesia
Bibit sapi perah Holstein Indonesia merupakan salah satu aspek penting
dalam peningkatan proses produktivitas dan populasi Holstein di Indonesia. Untuk
mencapai hal tersebut diatas dibutuhkan ketersediaan bibit sapi perah jenis
Holstein di Indonesia yang berkualitas dan jumlah yang cukup (BSN 2014).
Secara umum kriteria bibit sapi perah jenis Holstein Indonesia didasarkan
pada sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif. Standarisasi Nasional Indonesia (SNI)
bibit sapi perah Holstein Indonesia merupakan port of folio sapi perah Indonesia
dalam pemanfaatannya harus selalu mengikuti perubahan yang ada di masyarakat
sesuai tuntutan pembangunan (BSN 2014).
Menurut BSN (2014), bibit sapi perah Holstein Indonesia merupakan bibit
sapi tipe perah jenis Holstein yang lahir dan beradaptasi di Indonesia dan
mempunyai ciri serta kemampuan produksi sesuai persyaratan tertentu sebagai
bibit yang bertujuan untuk menghasilkan anak (pedet) dan produksi susu.
Persyaratan mutu produk mencakup persyaratan kualitatif dan persyaratan
kuantitatif. Persyaratan kualitatif bibit sapi perah mempunyai silsilah (pedigree)
sampai dengan 2 (dua) generasi di atasnya untuk bibit dasar dan bibit induk, bebas
dari penyakit menular, tidak memiliki cacat fisik, memiliki alat reproduksi
normal, bentuk ideal (tipe sapi perah) serta struktur kaki dan kuku yang kuat.
Adapun persyaratan kuantitatif sapi perah betina dan jantan mencakup umur,
tinggi pundak minimum, berat badan minimum, lingkar dada minimum, dan
lingkar scrotum.
Cara pengukuran sapi perah dilakukan dengan pengamatan langsung
dilakukan pada posisi sapi berdiri sempurna di atas keempat kaki pada lantai atau
permukaan yang rata, berdasarkan catatan kelahiran, pengukuran tinggi pundak,
pengukuran lingkar dada dan pengukuran lingkar scrotum [RSNI3 2745:2014]
(BSN 2014)

3
Persyaratan kualitatif bibit sapi perah Holstein Indonesia Jantan dan Betina
Warna hitam putih atau merah putih, tidak bertanduk (dehorning)

Gambar 2 Sapi Perah Jantan

Gambar 3 Sapi Perah Betina

Persyaratan Kuantitatif
Tabel 1. Persyaratan kuantitatif bibit sapi perah betina Holstein Indonesia
Umur

(Bulan)
15-18

Parameter
Lingkar dada (minimum)
Tinggi pundak (minimum)
Berat badan (minimum)

Satuan
CM
CM
KG

Persyaratan
155
121
325

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (BSN) 2014
Tabel 2. Persyaratan kuantitatif bibit sapi perah jantan Holstein Indonesia
Umur (bulan)
18-24

Parameter
Lingkar dada (minimum)
Tinggi pundak (minimum)
Berat badan (minimum)
Lingkar Scrotum

Satuan
CM
CM
KG
CM

Persyaratan
188
144
540
33

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (BSN)2014
Tabel 3. Persyaratan produksi susu
No

Bibit sapi perah Holstein Indonesia

1
2

Produksi susu induk (305.2XME) pada laktasi
Bapak berasal dari induk yang mempunyai produksi
susu (305.2XME) pada laktasi

Persyaratan (KG)
Betina
Jantan
≥5000
≥6000
≥6000
≥7000

Keterangan :
-(305.2XME) jumlah hari diperah selama 305 hari dengan frekuensi pemerahan 2
kali sehari setara dewasa (mature equivalent).
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (BSN) 2014
Hormon
Proses reproduksi berkaitan dengan mekanisme sistem hormonal, yaitu
hubungan antara hormon-hormon hipotalamus hipofisa yakni Gonadotrophin
releasing hormone (GnRH), Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing
Hormone (LH), hormon-hormon ovarium (estrogen dan progesteron) dan hormon
uterus (prostaglandin) (Hafez dan Hafez 2000). Hormon ovarium yang
mempunyai peranan besar terhadap reproduksi adalah estrogen dan progesteron.

4
Gonadotropin Relasing Hormon
GnRH adalah hormon peptida yang dihasilkan oleh hipotalamus, yang
menstimulasi sel-sel gonadotrop pada hipofisa anterior. Di hipotalamus sendiri
pengeluaran GnRH diatur oleh nukleus arkuata. Neuron pada nukleus arkuata
memiliki kemampuan untuk memproduksi dan melepas gelombang GnRH ke
hipofisa. Gonadotropin meliputi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan
Luteinizing Hormone (LH) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisa anterior
(Hafez dan Hafez 2000).
Folikel Stimulating Hormon dan Luteinizing Hormon
Kelenjar adenohipofisa mensekresikan hormon gonadotropin FSH dan LH.
Hormon-hormon ini sangat penting dalam pengaturan ovarium dan testis untuk
produksi ovum dan spermatozoa dan pelepasan hormon-hormon gonad yaitu
testosteron, estradiol, dan progesteron. Fungsi utama FSH adalah stimulasi
pertumbuhan dan pematangan folikel De Graaf di dalam ovarium. FSH murni
menstimulir pertumbuhan folikel pada hewan betina yang dihipofisektomi tetapi
tidak menyebabkan ovulasi, luteinisasi, atau stimulasi terhadap jaringan
interstistial ovarium (Bearden 2004).
LH bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan
pelepasan estrogen. Sesudah pematangan folikel, LH menyebabkan ovulasi
dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. LH mungkin
juga ikut berpengaruh terhadap pembentukan korpus luteum yang berasal dari
folikel yang sudah pecah. Sekresi LH yang terus menerus mungkin penting untuk
mempertahankan korpus luteum dan sekresi progesteron untuk kelanjutan
kebuntingan pada sapi (Bearden 2004).
FSH dan LH bersifat sinergistik dalam pengaruhnya terhadap gonad.
Keduanya terdapat dalam berbagai perbandingan yang berimbang sesuai dengan
berbagai kondisi atau tahap siklus kelamin dari berbagai jenis hewan. Potensi
relatif FSH dan LH pada berbagai ternak mungkin bertanggug jawab atas
perbedaan-perbedaan spesies dalam lamanya estrus, waktu ovulasi, dan kejadian
silent heat (Bearden 2004).
Estrogen
Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan
sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto 1995). Fungsi utama
hormon estrogen adalah untuk merangsang berahi, merangsang timbulnya sifatsifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem saluran ambing betina dan
pertumbuhan ambing. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel theca
interna dan folikel De Graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan
aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dan siklus berahi (WodzickaTomaszewska et al. 1991).
Progesteron
Progesteron adalah nama umum untuk grup steroid yang terdiri dari 21 atom
karbon. Progesteron salah satu hormon penting yang berhubungan dengan
reproduksi yang disekresikan oleh sel-sel luteal corpus luteum (CL). Progesteron
berfungsi menghambat FSH, LH dan menjaga kebuntingan dengan cara
mempersiapkan uterus untuk implantasi melalui peningkatan glandula sekretori di

5
dalam endometrium dan menghambat motilitas myometrium (Hafez dan Hafez
2000).
Prostaglandin
Protaglandin (PGF2α) merupakan hormon yang diproduksi didalam uterus.
Hormon ini merupakan hormon luteolitik uterus utama pada jenis-jenis hewan.
Selama masa kebuntingan, fetus mungkin menghambat sekresi PGF2α oleh uterus
sehingga korpus luteum tetap dipertahankan. Prostaglandin merupakan hormon
yang meregulasi beberapa fenomena fisiologik seperti kontraksi otot polos pada
saluran reproduksi dan saluran gastrointestinal, transpor sperma, ovulasi,
kelahiran dan turun susu, menstimulasi kontraksi uterus, serta meregenerasi
korpus luteum (Toelihere 1997).
Oksitosin
Oksitosin adalah suatu oktapeptida yang mengandung 8 asam amino yaitu
tirosin, leusin, isoleusin, prolin, asam glutamik, asam aspartic, glisin dan sistin
dan disekresikan oleh hipofisa posterior. Aktifitas oksitosin adalah kontraksi
uterus dan let down atau penurunan air susu. Dalam kedua hal ini, hormon
tersebut dihubungkan dengan kejadian-kejadian sewaktu kopulasi, kelahiran dan
pemberian makanan postpartum kepada anak. Kontraksi uterus yang meningkat
sebagai akibat pengaruh okitosin mempermudah pengangkutan spermatozoa
dalam saluran kelamin betina setelah kopulasi. Secara klinis, oksitosin telah lama
dipakai untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus
(Hafez dan Hafez 2000).
Sistem Reproduksi Sapi Betina
Siklus Estrus
Siklus estrus adalah interval waktu, mulai dari permulaan periode estrus
yang pertama sampai ke periode estrus berikutnya. Siklus estrus pada setiap
hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies
(Partodiharjo 1992). Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau
periode yaitu ; proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali et al. 2001).
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de
graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang
semakin bertambah (Marawali et al. 2001). Fase yang pertama kali dari siklus
estrus ini dianggap sebagai fase penumpukan atau pemantapan dimana folikel
ovarium yang berisi ovum membesar terutama karena meningkatnya cairan folikel
yang berisi cairan estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran
darah merangsang peningkatam vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam
persiapan untuk berahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson 1996).
Estrus adalah periode penerimaan seksual pada hewan betina, yang
terutama ditentukan oleh tingkat sirkulasi estrogen. Selama atau segera setelah
periode itu terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam
darah dan penaikan tingkat LH. Estrus berakhir kira-kira pada pecahnya folikel
ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson 1996). Pemecahan folikel terjadi secara
spontan pada kebanyakan spesies hewan. Akan tetapi pada kucing, kelinci, mink,
ferret dan beberapa hewan lainnya, pemecahan itu hanya dapat terjadi apabila

6
berlangsung koitus. Karena disebabkan oleh tertundanya refleks neuroendokrin
yang melibatkan pelepasan hormon dari pituitari, yang disebabkan oleh stimulasi
karena koitus. Maka hal ini disebut juga ovulator refleks (Frandson 1996).
Metestrus adalah fase pasca ovulasi dimana korpus luteum berfungsi.
Panjangnya metestrus dapat tergantung pada panjangnya waktu LTH (luteotropik
hormon) disekresi oleh adenohipofise. Selama ini terjadi penurunan estrogen dan
penaikan progesteron yang dibentuk oleh ovari (Frandson, 1996).
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus, korpus
luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi
menjadi nyata (Marawali et al. 2001).
Kegagalan Estrus/Anestrus
Definisi Anestrus
Anestrus adalah suatu keadaan pada hewan betina yang tidak
menunjukkan gejala berahi secara klinis dalam waktu lama. Hewan betina yang
menderita anestrus akan ditandai dengan tidak adanya manifestasi gejala berahi
(Hardjopranjoto 1995).
Menurut Achjadi (2013), anestrus post partus adalah tidak munculnya
tanda estrus secara nyata (dari pengamatan) setelah 50-60 hari melahirkan.
Penyebab utamanya adalah rendahnya nutrisi saat bunting, sehingga setelah
melahirkan pada pemeriksaan rektal, ovariumnya dalam keadaan licin (tidak ada
perkembangan folikel).
Anestrus menjadi masalah jika sapi tidak menunjukkan gejala estrus,
kegagalan dalam mengamati dan mendeteksi estrus merupakan penyebab utama.
Sebaiknya tinjau kembali prosedur pengamatan estrus dan efisiensi pengamatan
estrus. Kebuntingan juga merupakan faktor penyebab anestrus dan harus menjadi
acuan sebelum menentukan dugaan penyebab lainnya, lakukan palpasi ovarium
untuk mengetahui apa penyebab anestrus (Eilts 2004).
Faktor Penyebab Anestrus
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya anestrus. Faktor
tersebut dapat ditemukan pada hewan berusia muda atau hewan dewasa, dari sisi
waktu terjadinya dapat berjalan lama dan dapat berjalan singkat. Beberapa faktor
yang mempengaruhi anestrus adalah umur hewan, dalam periode kebuntingan dan
laktasi, kekurangan pakan, musim, lingkungan yang kurang mendukung, adanya
kondisi patologis pada ovarium dan uterus serta penyakit kronis (Achjadi 2013).
Menurut Achjadi (2013) bentuk anestrus pada dasarnya dapat
dikelompokkan pada dua golongan besar yaitu kegagalan berahi dengan corpus
luteum persisten (CLP) dan kegagalan berahi karena insufisiensi gonadotropin.
Kegagalan berahi dengan adanya CLP setelah palpasi perektal disebabkan oleh
faktor uterus dimana ditemukan faktor penyebab anestrus karena kebuntingan,
peradangan, pyometra dan mummifikasi
Anetrus kelompok kedua karena kagagalan berahi adalah insufisiensi
gonadodotropin dan dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor lingkungan dan
faktor abnormalitas ovarium. Faktor lingkungan yang menyebabkan anestrus
adalah musim, pakan, nutrisi dan laktasi manakala faktor abnormalitas ovarium

7
yang menyebabkan anestrus adalah hipofungsi ovari, hipoplasi ovari, sistik ovari
dan freemartinism (Achjadi 2013).
Musim dan Pakan
Pada musim kemarau akan menyebabkan kualitas pakan yang buruk
sehingga ternak akan mengalami kekurangan pakan dalam hal komposisi dan
nutrisi yang bisa mengakibatkan gangguan reproduksi (Manan 2001).
Menurut Sudono et al. (2001), pakan merupakan faktor utama yang akan
mempengaruhi kesehatan tubuh maupun kesehatan reproduksi ternak. Kualitas
dan kuantitas pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
suatu peternakan sapi perah. Ternak unggul sapi perah akan kurang
keunggulannya jika pakan yang diberikan tidak berkualitas dan jumlah yang tidak
memadai.
Pakan sebagai faktor gangguan reproduksi dan kemajiran yang bersifat
majemuk dimana kekurangan suatu zat dalam suatu ransum pakan dengan pakan
yang lain (Arthur et al. 2001).
Defisiensi Nutrisi
Defisiensi mineral atau vitamin dapat menyebabkan anestrus. Menurut
Achjadi (2013) faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan
atau nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang
lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi
rendah dan akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan
mempengaruhi fungsi hipofisa anterior sehingga produksi dan sekresi hormone
Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) rendah,
akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).
Laktasi
Kadar hormon LTH atau prolaktin yang tinggi dalam darah pada hewan
yang sedang laktasi dapat mendorong terbentuknya korpus luteum persisten. Hal
ini berkaitan dengan kadar progesteron dalam darah meningkat tajam sebagai
mekanisme umpan balik negatif pada kelenjar hipofisa anterior dan menghambat
sekresi hormon gonadotropin. Keadaan ini menyebabkan folikel baru tidak
tumbuh dan tidak ada sekresi estrogen sehingga terjadi anestrus (Ratnawati et al.
2007).
Hipofungsi Ovarium
Hipofungsi ovari adalah suatu kejadian dimana ovarium mengalami
penurunan fungsinya sehingga tidak terjadi perkembangan folikel dan tidak terjadi
ovulasi. Menurut Hafez dan Hafez (2000) bahwa anestrus akibat hipofungsi ovari
sering berhubungan dengan gagalnya sel-sel folikel menanggapai rangsangan
hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi hormonal,
menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus-pituitariaovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin, sehingga
tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan. Kekurangan nutrisi akan
mempengaruhi fungsi hipofise anterior sehingga produksi dan sekresi hormon
Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) rendah, yang
menyebabkan ovarium tidak berkembang ataupun mengalami hipofungsi (Suartini

8
et al. 2013). Pemeriksaan secara palpasi rektal pada kasus hipofungsi ovari
menunjukkan keadaan ovarium yang berukuran normal dengan permukaan licin
atau tidak dijumpai adanya perkembangan folikel maupun korpus luteum (Suartini
et al. 2013).
Hipoplasi Ovarium
Hipoplasi ovarium pada dasarnya ovarium tidak berkembang atau tidak
berfungsi dengan baik. Kondisi ini ditandai dengan perkembangan yang tidak
lengkap atau digenesis ovarium sehingga ovarium kurang dalam folikel
primordial. Hipoplasi ovarium dapat terjadi sebagian atau seluruhnya pada satu
atau kedua ovarium dan sulit untuk ditemukan dengan palpasi parektal. Ovarium
mungkin terasa tipis, sempit, struktur seperti tali lingkar yang keras (Peter et al.
2009). Metode yang paling efektif untuk mendiagnosa hipoplasi ovarium adalah
dengan palpasi perektal meskipun struktur yang lebih kecil.
Sistik Ovari
Menurut Peter (2004), sistik ovari merupakan suatu kondisi folikel matang
yang gagal berovulasi pada saat ovulasi dalam waktu siklus estrus. Ovarium
dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih cairan yang menetap di
ruangan (folikel), lebih besar dari folikel matang (Arthur et al. 2001). Penyakit
sistik ovari biasanya sering terjadi pada sapi perah dibandingkan ras lain pada
waktu 30-60 hari setelah kelahiran pada sapi perah unggul (Gordon 1996).
Freemartinism
Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya (lebih dari 92%)
mengalami abnormalitas yang disebut dengan freemartin. Abnormalitas ini terjadi
pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di dalam kandungan),
kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui
anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena
adanya intersexuality (kelainan kromosom). Organ betina sapi freemartin tidak
berkembang (hipoplasi ovari) dan ditemukan juga organ jantan (glandula
vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di
sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten (Ratnawati et al. 2007).
Corpus Luteum Persisten (CLP)
Menurut Hardjopranjoto (1995), tidak tumbuhnya folikel baru pada
ovarium menyebabkan terjadinya kejadian anestrus dan ternak yang mengalami
korpus luteum persiten selalu mengalami gejala anestrus dalam waktu yang
panjang. Kadar estrogen pada kasus CLP sangat rendah dibandingkan pada
kondisi normal. Kadar progesteron pada kasus CLP memilik kadar yang tertinggi
dibanding kasus anestrus karena hipofungsi ovarium dan pyometra (Rimayanti
1997).
Kebuntingan
Hewan yang sedang bunting, pada ovarium terdapat korpus luteum
graviditatum yang mampu menghasilkan hormon progesteron yang berperan
menjaga kebuntingan dalam jumlah besar. Hormon progesteron menghambat
kerja kelenjar hipofisa anterior karena adanya mekanisme umpan balik negatif dan

9
disertai sekresi hormon gonadotropin yang menurun sehingga tidak mendorong
pertumbuhan folikel baru pada ovarium (karena tidak ada hormon estrogen yang
dapat disekresi). Keadaan ini yang menyebabkan berahi tidak timbul dan selalu
dalam keadaan anestrus (Ratnawati et al. 2007).
Peradangan
Endometritis merupakan gangguan reproduksi yang biasa terjadi dalam
waktu dua minggu atau dua puluh hari post partus, khususnya partus yang
abnormal (Achjadi 2013) dan merupakan peradangan pada lapisan mukosa uterus
(Boden 2005). Endometritis sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu endometritis
klinis dan endometritis subklinis. Endometritis klinis merupakan peradangan
endometrium yang ditandai dengan keberadaan eksudat purulen atau mukopurulen
di dalam vagina pada 21 hari atau lebih setelah postpartum dan tidak
menimbulkan gejala sistemik. Sedangkan endometritis subklinis merupakan
peradangan endometrium yang biasanya ditentukan berdasarkan sitologi, dan
tidak terdapatnya eksudat purulen pada vagina (Sheldon et al. 2006). Menurut
Kasimanickam et al. (2005), endometritis subklinis digambarkan dengan adanya
poliymorphonuclear leukocytes (PMN) dalam sampel sitologi uterus.
Pyometra
Pyometra berasal dari kata pyo artinya nanah dan metra artinya uterus.
Pyometra berarti peradangan yang kronis dari mukosa uterus (endometrium)yang
ditandai dengan adanya pengumpulan nanah dalam uterus, dapat menyebabkan
gangguan reproduksi yang bersifat sementara (infertil) atau permanen (majir).
Kasus Pyometra secara sepintas mirip dengan sapi yang sedang bunting karena
keduanya menyebabkan pembesaran perut (Susanti 2011).
Pada pemeriksaan kasus pyometra dibedakan menjadi dua yaitu
pemeriksaan luar dan pemeriksaan eksplorasi rektal (Susanti 2011). Pemeriksaan
luar terlihat adanya pembesaran perut yang bersifat simetris, bulu suram, badan
kelihatan kurus, pada saat berbaring akan keluar kotoran dari alat kelamin
manakala pemeriksaan eksplorasi rektal terasa ada pembesaran uterus yang
bersifat simetris karena cairan nanah akan mengisi kedua kornu uteri, terasa
dinding uterus lebih tebal dari normal dan pada mukosa uterus tidak teraba adanya
karunkula, arteri uterina media kecil atau tidak teraba, bila uterus ditekan terasa
berfluktuasi karena ada cairan, sedang bila ditekan terus, ujung jari tidak meraba
adanya fetus (Susanti 2011).
Mummifikasi
Mumifikasi merupakan kejadian kematian fetus dalam uterus tanpa
disertai pencemaran mikroorganisme, disertai dengan penyerapan cairan
fetus oleh dinding uterus setelah terjadi proses autolisis sehingga tubuh fetus
menjadi kering dan keras, serta diikuti dengan proses involusi uteri yang
normal, sering terjadi pada umur kebuntingan 5-7 bulan (Jainudeen
dan Hafez 2000).
Penyebab terjadinya mumifikasi adalah kematian fetus non infeksi, torsio
uteri, serta adanya tali pusar yang terjepit sehingga terjadi gangguan sirkulasi
darah dan mengganggu suplai nutrisi dari induk ke anak. Kondisi mumifikasi
dapat diidentifikasi bila sapi gagal memperlihatkan perkembangan kelenjar

10
ambing dan gagal melahirkan pada waktu yang telah ditentukan. Makin lama
proses mumifikasi berlangsung, makin banyak cairan yang diserap maka fetus
akan semakin keras. Pada palpasi perektal akan didapatkan massa keras dalam
uterus, dinding uterus tipis dan tegang, uterus dan isinya dapat dipalpasi tanpa
dapat diabsorbsi, tidak ada karunkula, dan tidak ada fremitus (Jainudeen dan
Hafez 2000).

METODE
Penelitian ini berdasarkan metode deskriptif dengan pengumpulan data
sekunder. Data sekunder diperoleh di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan
Hijauan Pakan Ternak Baturraden, Purwekerto, Jawa Tengah, Indonesia mulai
tahun 2010 sampai 2013. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisa
berdasarkan analisis deskriptif, yang disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi BBPTU-HPT, Baturraden
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
(BBPTU-HPT) Baturraden terletak di Lereng Selatan Gunung Slamet, 14 km ke
arah utara dari Kota Purwokerto, Jawa Tengah. BBPTU-HPT Baturraden
merupakan Pelaksana Teknis dibawah Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam bidang
peternakan sapi perah Frisian Holstein (FH).
Secara geografis, letak BBPTU-HPT Baturraden berada pada ketinggian
650-700 m dari permukaan laut (dpl) dengan curah hujan rata-rata 6000
mm/tahun. Jenis tanah yang ada pada lahan BBPTU-HPT Baturraden adalah
andosol coklat kekuningan yaitu jenis tanah yang berasal dari bahan induk abu
vulkan. Asosiasi latosol terbentuk dari batuan gunung api yang mengalami proses
pelapukan lanjut. Regosol coklat merupakan endapan abu vulkanik baru yang
memiliki butir kasar, dengan temperatur lingkungan antara 18οC sampai 30οC dan
kelembaban antara 70% sampai 80%. BBPTU-HPT Baturraden memiliki luas
lahan sekitar 242 Ha yang terdiri daripada empat lokasi yaitu lokasi Tegal Sari
seluas 34.802 Ha digunakan untuk perkantoran, perumahan, kandang ternak,
lapangan penggembalaan dan kebun rumput. Lokasi kedua adalah Munggang Sari
seluas 10.098 Ha yang digunakan untuk perumahan dan pusat latihan atau
magang. Lokasi Limpakuwus memiliki lahan seluas 96.787 Ha yang digunakan
untuk kandang ternak, kebun rumput dan perumahan. Lokasi terakhir yaitu
Manggala memiliki lahan seluas 100 Ha digunakan untuk pengembangan
pemeliharaan ternak.

11
Populasi Ternak Di BBPTU-HPT Baturraden
Berdasarkan data empat tahun terakhir yaitu 2010, 2011, 2012 dan 2013
yang diperoleh dari BBPTU-HPT Baturraden, jumlah populasi sapi perah dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Data Populasi Sapi Perah di BBPTU-HPT 2010-2013
Data Sapi

Tahun
2010
205
0
156
62
423

Betina Dewasa
Jantan Dewasa
Betina Muda
Jantan Muda
Jumlah

2011
241
0
278
89
608

2012
344
5
624
99
1072

2013
598
5
377
230
1210

Tabel 5 Data Populasi Sapi Perah Impor di BBPTU-HPT 2010-2013
Data Sapi

Tahun
2010

Betina Dewasa
Jantan Dewasa
Betina Muda
Jantan Muda
Jumlah

2011

2012

110

399

110

399

2013

Dapat dilihat pada Tabel 4 di tahun 2010, populasi sapi perah di BBPTUHPT sebanyak 423 ekor termasuk sapi betina dan jantan baik muda maupun yang
dewasa. Pada tahun 2011, populasi sapi perah meningkat dari 423 ekor menjadi
608 ekor sapi perah dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 1072 ekor sapi
perah. Pada tahun 2013, jumlah populasi sapi perah di BBPTU-HPT meningkat
menjadi 1210 ekor sapi perah. Data ini menunjukkan adanya peningkatan populasi
sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden terutama pada tahun 2011, 2012 dan 2013
disebabkan oleh adanya impor sapi perah serta kelahiran dari sapi-sapi impor
tersebut. Tabel 5 menunjukkan pada tahun 2011 sebanyak 110 ekor dan pada
tahun 2012 sebanyak 399 ekor sapi betina muda diimpor dari negara Australia.
Kejadian Anestrus Yang Terjadi Di BBPTU-HPT Baturraden
Jumlah kejadian kasus anestrus di BBPTU-HPT Baturraden pada tahun
2010 sampai dengan 2013 dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6 Jumlah Kejadian Kasus Anestrus di BBPTU-HPT Baturraden 2010-2013
Tahun

2010
2011
2012
2013

Kasus Anestrus (ekor)

127
49
153
101

Jumlah Populasi Sapi Perah Betina
Dewasa
205
241
344
598

Kasus
Anestrus
(%)
61,95
20,33
44,48
16,89

Tabel 6 menunjukkan jumlah kasus anestrus sapi perah di BBPTU-HPT
Baturraden dapat dilihat pada tahun 2010 terjadinya kasus anestrus sebanyak

12
61.95%, 2011 sebanyak 20.33%, 2012 sebanyak 44.48% dan 2013 sebanyak
16.89%. Sepanjang empat tahun tersebut, pada tahun 2010 mencatat angka persen
tertinggi dan pada tahun 2013 mencatat angka persen terendah.
Menurut Achjadi (2013) apabila angka anestrus tinggi pada suatu
peternakan sapi perah dapat dianggap balai peternakan tersebut mengalami
masalah dalam manajemen reproduksi dan manajemen pakan. Hal ini dapat dilihat
dari pengamatan penulis sistem pemberian pakan di BBPTU-HPT Baturraden
diberikan secara ad libitum untuk dikandang freestall dan 3 kali sehari untuk
dikandang ikat. Kuantitas pakan diberikan sesuai bobot badan ternak dan status
reproduksi, contohnya kuantitas pakan 60 kg ditambahkan 8 kg konsentrat ratarata untuk induk dewasa. Faktor tata laksana kandang yang kurang baik karena
kandang yang terlalu sempit. Ini menyebabkan munculnya salah satu faktor
penyebab anestrus.
Faktor Penyebab Anestrus Sapi Perah dan Upaya Penanggulangan di
BBPTU-HPT Baturraden
Hasil data faktor penyebab anestrus sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden
disajikan pada tabel 7. Faktor penyebab anestrus sapi perah yang terjadi di
BBPTU-HPT Baturraden disebabkan oleh hipofungsi ovari, sistik ovari, corpus
luteum persisten (CLP), silent heat dan mumifikasi.
Tabel 7 Data Faktor Penyebab Anestrus Sapi Perah di BBPTU 2010-2013
Faktor Penyebab Anestrus
Hipofungsi Ovari
Sistik Ovari
Corpus Luteum
(CLP)
Silent Heat
Mummifikasi
Jumlah

Persisten

Tahun
2010
44
4
71

2011
20
11
16

2012
116
26
5

2013
76
10
11

8
127

2
49

5
1
153

3
1
101

Hipofungsi Ovari
Menurut Khamas (2011) hipofungsi ovari adalah ovarium yang mengalami
penurunan fungsi disebabkan oleh sapi perah yang mengalami kukurangan gizi
dan menyebabkan anestrus. Kasus hipofungsi ovari pada tahun 2010 sebanyak 44
ekor, 2011 sebanyak 20 ekor, 2012 sebanyak 116 ekor dan 2013 sebanyak 76
ekor. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup tinggi disebabkan sapi
perah mengalami gangguan hormonal, faktor adaptasi ternak impor pasca
melahirkan dan adaptasi ternak terhadap pakan yang diberikan. Toelihere (1997)
menyatakan bahawa hipofungsi ovarium pada sapi periode postpartum disebabkan
oleh kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal.
Penanggulangan yang dilakukan oleh BBPTU-HPT Baturraden, terhadap
kasus hipofungsi ovari adalah dengan melakukan massage manual pada ovarium
secara lembut untuk merangsang sirkulasi darah disekitar ovarium. Hal ini juga
dinyatakan Hunter (1995) melakukan massage pada ovarium dapat merangsang
pelepasan prostaglandin, oksitosin dan hormon peptida lainnya. Selain itu,
dilakukan penanggulangan pada sapi yang memiliki Body Condition Score (BCS)

13
rendah dengan ditempatkan penempatan terpisah untuk mendapatkan pakan
tambahan khusus agar membantu nutrisi ternak.
Menurut Achjadi (2013) faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan
faktor pakan atau nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka
waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi
reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan
nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisa anterior sehingga produksi dan sekresi
hormone Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)
rendah, akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi). Kasus hipofungsi
dapat ditangani melalui perbaikan kualitas dan kuantitas pakan serta pemberian
preparat FSH dan LH (McDougall dan Compton 2005).
Sistik Ovari
Menurut Youngquist dan Threlfall (2007) sistik ovari adalah struktur pada
ovarium yang berisi cairan atau struktur keras yang berdiameter 2.5 cm dan
menetap di ruang permukaan ovarium selama 10 hari atau lebih.
Kejadian sistik ovari sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden pada tahun
2010 sebanyak 4 ekor, tahun 2011 sebanyak 11 ekor, tahun 2012 sebanyak 26
ekor dan pada tahun 2013 sebanyak 10 ekor.
Terapi yang dilakukan di BBPTU-HPT Baturraden untuk menanggulangi
kejadian sistik ovari adalah dengan pemberian GnRH. Menurut Brito dan Palmer
(2004) penanganan kasus sistik ovari dilakukan dengan pemberian preparat GnRH
untuk merangsang peningkatan langsung sekresi LH dan luteinasi dari sistik.
Corpus Luteum Persisten (CLP)
Corpus Luteum Pesisten (CLP) merupakan kejadian tertahannya corpus
luteum di ovarium oleh tertahannya prostaglandin dari uterus oleh sebab-sebab
tertentu (Arsyad dan Yudistira 2011). CLP menyebabkan kadar progesteron tinggi
diluar masa kebuntingan. Progesteron yang meningkat menyebabkan sekresi FSH
dan LH dihambat sehingga folikel tidak tumbuh. Hal ini mengakibatkan tidak
adanya hormon estrogen dan muncul gejala anestrus.
Kejadian CLP sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden pada tahun 2010
sebanyak 71 ekor, tahun 2011 sebanyak 16 ekor, tahun 2012 sebanyak 5 ekor dan
pada tahun 2013 sebanyak 11 ekor. Penurunan kasus CLP yang cukup besar pada
tahun 2011 karena adanya penanganan yang dilakukan dengan baik dan tepat
terhadap sapi perah yang mengalami CLP.
Terapi yang dilakukan di BBPTU-HPT Baturraden terhadap kasus CLP
adalah dengan penyuntikan PGF2 intrauterina untuk mempermudah regresi
corpus luteum persisten. Menurut Noakes et al. (2008) pemberian PGF2 dapat
menyebabkan regresi corpus luteum dengan cepat.
Mumifikasi
Mumifikasi merupakan kejadian kematian fetus dalam uterus tanpa
disertai pencemaran mikroorganisme. Terjadi penyerapan cairan fetus oleh
dinding uterus setelah terjadi proses autolisis sehingga tubuh fetus menjadi kering
dan keras. Terjadi proses involusi uteri yang normal dan sering terjadi pada umur
kebuntingan 5-7 bulan (Jainudeen dan Hafez 2000).

14
Tahun 2010 dan 2011 tidak ditemukan kasus kejadian mumifikasi, pada
tahun 2012 dan 2013 masing-masing 1 ekor. Kejadian mumifikasi pada tahun
2012 dan 2013 menunjukkan adanya gangguan reproduksi pada sapi perah di
BPPTU-SP, Baturraden.
Penanganan untuk kasus mumifikasi di BBPTU-HPT Baturraden adalah
dengan melakukan ekspulsi fetus yang mumifikasi, dibantu dengan injeksi
estrogen, oksitosin dan prostaglandin secara intra muskular. Setelah serviks
membuka ditambahkan cairan obstetrical lubricant sebanyak 10-20 liter secara
intra uterine lalu dilakukan penarikan secara manual. Menurut Kumaresan et al.
(2013) pemberian estradiol dosis rendah kombinasi dengan prostaglandin
merupakan terapi yang efektif untuk kejadian mumifikasi pada fetus dan tidak
mengganggu kesuburan sapi pada masa kedepannya.
Silent Heat
Silent heat atau berahi tenang pada sapi perah mempunyai siklus
reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala berahinya tidak terlihat (Arsyad dan
Yudistira 2011). Berahi tenang mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui
waktu sapinya berahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat.
Tahun 2010 sebanyak 8 ekor sapi perah yang mengalami silent heat, 2011
sebanyak 2 ekor, 2012 sebanyak 5 ekor, dan 2013 sebanyak 3 ekor. Kasus-kasus
seperti silent heat (berahi tenang) disebabkan oleh rendahnya kadar hormon
estrogen. Penangan silent heat di lapangan dilakukan dengan perbaikan
manajemen pakan dan menyuntikan hormon estrogen tergantung kondisi sapi
perah.
Menurut Arsyad dan Yudistira (2011) pemberian hormon estrogen dosis
rendah akan menyebabkan timbulnya berahi. Penanganan kasus silent heat dapat
dilakukan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan agar ternak mendapat
cahaya yang cukup, peningkatan kualitas pakan agar ternak mendapat nutrisi yang
cukup sehingga mekanisme hormonal dalam tubuh dapat berjalan dengan baik.
Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2α dan diikuti
dengan pemberian GnRH (Ratnawati et al. 2007)

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Anestrus disebabkan oleh beberapa faktor antara lain hipofungsi ovari,
CLP, sistik ovari, silent heat dan mumifikasi. Pada tahun 2013 kasus anestrus
mengalami penurunan cukup tinggi dan penanganan anestrus perlu ditingkatkan
untuk meningkatkan produktifitas dan populasi sapi perah. Penangan kasus
anestrus perlu diteruskan dan ditingkatkan sehingga angka anestrus tidak
mengalami kenaikan yang tinggi.
Saran
Dalam usaha untuk mengurangi faktor penyebab anestrus perlu dilakukan
perbaikan kualitas pakan ternak baik berupa konsentrat, maupun hijauan untuk

15
mengurangi kasus defisiensi nutrisi pada ternak. Penanganan kejadian gangguan
reproduksi dan kasus klinis lain dengan lebih baik, optimalisasi kemampuan
produksi dan reproduksi sapi sebagai usaha peningkatan pendapatan. Selain itu,
perlu adanya perbaikan recording, dalam hal penampilan reproduksi, kasus
penyakit, kualitas susu, silsilah dan peningkatan kualitas SDM yang menangani
kesehatan reproduksi.

DAFTAR PUSTAKA
Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti.
Yogyakarta(ID): Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia.
Arsyad, Yudistira. 2011. Penanganan Kesehatan Hewan. Kasus Gangguan
Reproduksi Pada Ternak Sapi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Lampung.
Arthur GH, David EN, Pearson H. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetrics
8th ed. London (US): Balliere Tindall.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2014. Bibit Sapi Perah Holstein Indonesia.
Jakarta(ID): Badan Standarisasi Nasional.
Baerden HJ. 2004. Applied Animal Reproduction. Upper Saddle River: New
Jersey.
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden.
2013. Profil BBPTU-HPT Baturraden. Dirjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary. London: A & C Black.
Brito LFC, Palmer CW. 2004. Cystic Ovarian Disease in Cattle. Large Animal
Veterinary Rounds :1-6.
Eilts BE. 2004. Disturbances of The Bovine Estrous Cycles: Anestrus.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-7. diterjemahkan
oleh Srigandono B dan Praseno K. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University
Press.
Gordon I. 1996. "The Cow's Oestrous Cycle." Controlled Reproduction in Cattle
and Buffaloes. Wallingford: CAB International 123-125.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Anatomy of Male Reproduction. In Reproduction in
Farm Animals . Edisi-7. Lippincott William & Wilkins. A Wolter Kluwer
Company.
Hardopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya(ID): Airlangga
University Press.
Hayati, Choliq. 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta(ID): PT. Mutiara Sumber
Widya.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Bandung(ID). Penerbit ITB Bandung dan Penerbit Universitas Udayana.
Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Reproduction Failure in Females. Di dalam:
Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal 7th Edition. South Carolina:
Reproduction Health Center.

16
Kasimanickam R, Duffield TF, Foster RA, Gartley CJ, Leslie KE, Walton JS,
Johnson WH. 2005. The effect of a single administration of cephapirin or
cloprostenol on the reproductive performance of dairy cows with subclinical
endometritis. Theriogenology 63(3): 818-830.
Khamas DJ. 2011. Hormonal Treatments of Inactive Ovaries of Cows and
Buffaloes. Jurnal Veterinary Science. 44 (2): 7-13.
Kumaresan A, Chand S, Suresh S. 2013. Effect of estradiol and cloprostenol
combination therapy on expulsion of mummified fetus and subsequent fertility
in four crossbred cows. Veterinary Research Forum 4(2): 85 – 89.
Manan D. 2001. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Banda Aceh(ID): Departeman
Pendidikan Nasional,
Marawali A, Hine MT, Burhanuddin HLL, Belli. 2001. Dasar-dasar ilmu
reproduksi ternak. Jakarta(ID). Departemen pendidikan nasional direktorat
pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia timur.
McDougall S, Compton C. 2005. Reproductive Performance of Anestrous Dairy
Cows Treated with Progesterone and Estradiol Benzoate. Jurnal Dairy Science.
88: 2388.
Noakes DE, Pearson H, Parkinson TJ. 2008. Arthur’s Veterinary Reproduction
and Obstetric. Philadelphia (US): Saunders.
Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta(ID). PT. Mutiara Sumber
Widya.
Peter AT. 2004. An update on cystic ovarian degeneration in cattle. Reproduction
Domestic Animal 39:1-7.
Peter AT, Levine H, Drost M, Bergfelt DR. 2009. "Compilation of Classical and
Contemporary Terminology Used to Describe Morphological Aspects of
Ovarian Dynamics in Cattle." Theriogenology 71 : 1343-1357.
Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy S. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan.
Rimayanti. 1997. Pengukuran Kadar Hormon Progesteron dan Estrogen Dalam
Deteksi Kejadian Kegagalan Berahi pada Sapi-sapi Perah di Tuban. Media
Kedokteran Hewan.
Sheldon IM, Lewis GS, LeBlanc S, Gilbert RO. 2006. Defining postpartum
uterine disease in cattle. Theriogenology 65:1516-1530.
Suartini NK, Trilaksana IGHB, Pemanyun TGO. 2013. Kadar estrogen dan
munculnya estrus setelah pemberian Buserelin (Agonis GnRH) pada sapi Bali
yang mengalami anestrus postpartum akibat hipofungsi ovarium. Jurnal Ilmu
dan Kesehatan Hewan.
Sudono A, Rosdiana F, Budi S. 2003. Beternak Sapi Perah. Jakarta(ID): PT.
Agromedia Pustaka.
Susanti AE. 2011. Penanganan Pyometra Pada Sapi. Indonesia: BPTP Sumatera
Selatan.
Toelihere MR. 1997. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung(ID): Angkasa.

17
Youngquist RS, Threlfall WR. 2007. Ovarian follicular cysts. In: Youngquist RS,
Threlfall WR (Ed.). Current Therapy in Large Animal Theriogenology. St.
Louis, MO: Saunders Elsevier. pp. 379-383.
Wodzicka-Tomaszewska M, Sutama IK, Putu ID, Chaniago TD. 1991.
Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta(ID):
Gramedia Pustaka Utama.

18

RIWAYAT HIDUP
Ahmad Fadhil Asren dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal 10 Oktober
1990 dari pasangan Mohamad Syuaib Asren dan Mutmainah Rahman. Penulis
merupakan anak kesepuluh dari sebelas bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan awal (TK) Tadika Chung Hwa, Kota
Kinabalu dan dilanjutkan ke sekolah dasar, SRJK (C) Chung Hwa Kota
Kibnabalu, Sabah sampai tahun 2002. Kemudian melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah La Salle Tanjung Aru Kota Kinabalu , Sabah sehingga tahun
2007. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organasasi seperti
Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI) Cabang Bogor dan
Kelab Umno Luar Negara (KULN) Cabang Bogor.

Dokumen yang terkait

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

2 23 39

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

0 9 60

PERBANDINGAN NILAI MPPA PRODUKSI SUSU ANTARA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DAN PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO

0 4 39

SERVICE PER CONCEPTION PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

2 16 40

SERVICE PER CONCEPTION PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

1 23 58

CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

1 11 54

CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

1 16 54

Evaluasi Tren Fenotipik Dan Genetik Sapi Bali Di Balai Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak Denpasar.

0 3 31

STUDI PERFORMANS PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI SATU SAMPAI LAKTASI EMPAT DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI PERAH (BBPTU-SP) BATURRADEN.

1 2 2

KURVA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DAN KORELASINYA PADA PEMERAHAN PAGI DAN SORE PERIODE LAKTASI SATU (Studi Kasus Di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden).

1 6 2