PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAIN MADUARO YANG MEMILIKI POTENSI INDIKASI GEOGRAFIS

(1)

PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAIN

MADUARO YANG MEMILIKI POTENSI INDIKASI GEOGRAFIS OLEH

RITA LASLUBIATI PUSPAWIJAYA

Kain Maduaro yang merupakan ekspresi budaya dari masyarakat adat Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Lampung secara turun temurun. Kain Maduaro merupakan jenis kain sulam dari Lampung berupa selendang yang umumnya digunakan sebagai penutup kepala, serta sebagai aksesoris dalam upacara adat masyarakat Lampung Pepadun, terbuat dari bahan sutera atau serat nanas yang disulam dengan menggunakan benang kawat tipis. Tetapi motif yang disulamkan untuk kain Maduaro sudah sangat modern. Keunikan dan ragam corak serta kombinasi warna kain dasar kain Maduaro banyak diminati masyarakat di Provinsi Lampung tetapi juga masyarakat yang berada di luar Provinsi Lampung. Keberadaan Indikasi Geografis (IG) masih relatif baru, IG secara yuridis diatur dalam Agreement on Trade Realated Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Indonesia sebagai anggota WTO wajib membuat peraturan perlindungan IG menurut sistem hukum nasional. IG diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative empiris, pendekatan yang dilakukan langsung terkait dengan identifikasi ketentuan peraturan perundang-undangan secara efektif mengenai IG kain Maduaro di Kabupaten Tulang Bawang yang dilengkapi dengan wawancara kepada narasumber. Sehingga dapat menjawab permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap kain Moduaro dan upaya apa saja yang dapay dilakukan Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Tulang Bawang dalam melindungin kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG.

Perlindungan Hukum terhadap kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG di Kabupaten Tulang Bawang maupun Provinsi Lampung belum dilakukan secara optimal. Hal ini didasarkan dengan belum adanya aturan atau Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan kerajinan kain Maduaro, sedangkan untuk mendapatkan sertifikat IG haruslah melalui proses pendaftaran sehingga mendapatkan perlindungan hukumnya. Upaya yang dapat dilakukan Pemerintah daerah dan masyarakat adalah dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas, melsetarikan tradisi turun-temurun kepada masyarakat pengrajin kain Maduaro

Kata kunci: Pemerintah Daerah,Perlindungan Hukum,Indikasi Geografis, Kain Maduaro


(2)

ROLE OF GOVERNMENT REGENCY TULANG BAWANG TO PROVIDE LEGAL PROTECTION MADUARO FABRIC THAT HAS THE

POTENTIAL GEOGRAPHICAL INDICATIONS BY

RITA LASLUBIATI PUSPAWIJAYA

Maduaro fabric is an expression of culture made with hereditary knowledge of indigenous people in Tulang Bawang, Lampung Province. Maduaro fabric is cloth embroidered in the form of a scarf, which is commonly used as a head covering, as well as accessories in traditional ceremonies Pepadun Lampung. Made in the traditional way but has very modern patterns. Using silk or the pineapple fiber that embroidered with thin wire. Maduaro fabric is desirable inside and outside the province of Lampung due to uniqueness, variation of styles and basic color combinations.

The existence of Geographical Indications (GI) is relatively new, even so it clearly regulated in the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Indonesia as a member of the World Trade Organization, shall take the protection of GI under the national legal system. GI regulated by Law No. 15 of 2001 On Brand and Government Regulation No. 51 Year 2007 on Geographical Indications. The approach used in this study is an empirical normative approach, a direct approach via interview, continues with identification legislation on GI fabric Maduro in Tulang Bawang. Produce answers to the problems concerning the legal protection of the fabric Moduaro and effort to do by local governments and communities in Tulang Bawang for protecting Maduaro cloth as potential GI. Legal protection for Maduaro fabric as GI in Lampung, especially in Tulang Bawang is not optimal. It is based on the lack of legislation on national scale or regional regulation relating to Maduaro fabric.

Maduaro fabric must be registered to obtain a certificate of GI as the basic legal protection. Local governments and communities should strive to provide a clear legal protection. In order to preserve the hereditary tradition of craftsmen of Maduaro fabric Keywords : Local Government, Legal Protection, Geographical Indication


(3)

TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat

MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas Hukum Universitas Lampung

Oleh

RITA LASLUBIATI PUSPAWIJAYA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(4)

(Tesis)

Oleh

RITA LASLUBIATI PUSPAWIJAYA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Motif Asli Kain Maduaro ... 70

2. Motif Kain Maduaro Yang Dimodifikasi ... 71

3. Benang Untuk Menyulam Kain Maduaro... 72

4. Jarum Untuk Menyulam Kain Maduaro ……… 72


(6)

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

PERSETUJUAN... iii

PENGESAHAN... iv

PERNYATAAN... v

RIWAYAT HIDUP... vi

MOTO... vii

PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup………... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………... 11

D Kerangka Teori dan Konseptual……… 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual………... 19

1.1. Konsep Dasar Hak Kekayaan Intelektual………... 19

1.2.Pembagian Kategori Dalam Hak Kekayaan Intelektual... 22

1.3.Prinsip-Prinsip Umum Hak Kekayaan Intelektual…………... 23

B. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia... 25

C. Indikasi Geografis Srbagai Bagian Dari Hak Kekayan Intelektua…… 30

3.1. Konsep Dasar Indikasi Geografis………... 30

3.2. TRIPs Sebagai Dasar Pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia………. 33

D. Pengaturan Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia……….. 35

4.1. Pemberlakuan Indikas Geografis Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek………... 35

4.2. Indikasi Geografis Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis……….. 38

4.3. Perbandingan Pengertian Indikasi Geografis dan Indikasi Asal………. 39

4.4. Alasan Perlindungan Indikasi Geografis……… 40

4.5. Perbedaan Antara Merek dan Indikasi Geografis…………... 43


(7)

A. Pendekatan Masalah………... 46

B. Jenis dan Tipe Penelitian………... 47

C. Sumber Data………... 47

D. Responden dan Narasumber………... 48

E. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data………. 49

F. Analisis Data……….. 50

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Kain Maduaro Sebagai Potensi Indikasi Geografis di Kabupaten Tulang Bawang Maupun Provinsi Lampung………... 51

1.1. Perlindungan Hukum Preventif……….... 62

1.2. Perlindungan Hukum Represif……… 66

B. Upaya Yang Dapat Dilakukan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Tulang Bawang Dalam Melindungi Kain Maduaro Sebagai Potensi Indikasi Geografis………... 86

2.1. Upaya yang Dilakukan Pemeritah Kabupaten Tulang Bawang……….. 91

2.2. Upaya yang Dilakukan Masyarakat Kabupaten Tulang Bawang……… 104

2.3. Mengoptimalkan Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Melindunmgi Kain Maduaro Sebagai Potensi Indikasi Geografis. 106 V. PENUTUP A. Simpulan………. 103

B. Saran……… 114


(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakulatas

Hukum Universitas Lampung. Adapun judul tesis

ini

'oPeranan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Kain Maduaro Yang Memiliki Potensi Indikasi Geografis".

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak riungkin terselesaikan tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga. Semoga Allah SWT membalas amalkebaikannya :

Dr.

Wahyu Sasongko, S.H.,

M.H.,

selaku Pembimbing

I,

atas ilmu pengetahuan, waktu dan motivasi yang diberikan ketika membimbing penulis sampai akhir penulisan tesis ini

Dr.

Hamzah, S.H., M.H., selaku Pembimbing

II,

atas arahan, ilmu pengetahuan dan masukan yang diberikan agar tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dr.

Muhammad Fakih., S.H., M.S., selaku Penguji Utama, atas saran, kritik dan masukannya untuk perbaikan tesis serta pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis sejak masa perkuliahan'

l.

2.


(9)

5.

Dr. HS. Tisnanta,. S.H,. M.H, selaku Penguji Anggota, atas saran, kritik dan

masukannya untuk perbaikan tesis ini.

6.

Seluruh dosen pengajar pada program Pascasarjana Maginster Hukum

Universitas Lampung, atas ilmu pengetahuan yang telah penulis dapatkan sejak awal sampai akhir perkuliahan

7.

Seluruh staf administrasi pada program Universitas Lampung, atas segala bantuan awal dan samapi akhir perkuliahan.

Pascasarjana Magister Hukum yang telah penulis dapatkan dari

8. Seluruh teman-teman Angkatan 2012 Reg A Magister Hukum. Novekawati, Ihsan Subekti, Indara. ZR, Butet Vera Septiana Hutapea, Aris Tianto Husin,

Dina Haryati Sukardi, Dina Adhareni, Dedi Fernando, M Zainal, Cahandra Mulyawan, Tora Yuliana, Andrika Fedrosa, Nissa Yulvina, Fenny Andriani, Meria Nurpi, Harina Hayati Harfa, Winni Feriana, Muhammad Suhendra, Ria Melinda, Derry, Putri Musda, Umi Ratul, Maliki, Muhtadi, atas kebersamaan selama ini yang indah dan persahabatan yang tulus. Semoga sukses selalu.

Amin

Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman terbaik yang selalu

memberikan semangat dan motivasi Vina, Ira,

Kiki,

Tina, Rio,' Agung terimakasih atas kebersamaan dan persahabatan yang telah kita lalui bersama.

Semoga Allah SWT memberika kebahagian, kesuksesen untuk kita semua.

Amin.


(10)

Tulang Bawang, Dinas Koprasi UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulang Bawang, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung, dan Pengrajin kain Maduaro Tulang Bawang,

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna, namum penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih yang tak terhingga atas semua kebaikan semua semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala yang setimflal.

Bandar Lampung, Desember 2014


(11)

l.

Tim Penguji

Ketua Tim Penguji

:

Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.H.

Sekretaris

:

Dr. Hamzaho S.H., M.H.

Penguji Utama

:

Dr. Muhammad X'akih, S.H., M.S.

1

:

Dr. Dra. Nunung Rodliyah, M.A.

Anggota

:

Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.H.

s Hukum

f,yandi, S.H., M.S. 09 198703 1 003

Anggota

Program Pascasariana

udiarwo, M.S. 528198103 I 002


(12)

Nama Mahasisua No. Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Program Studi Fakultas

MADUARO YANG MEMILIKI POTENSI INDIKASI

GEOGRAFIS

RITA LASLUBIATI PUSPAWIJAYA

1222011076 Hukum Bisnis

Program Pascasarjana Magister Hukum Hukum

MENYEfUJUI Dosen Pembimbing

Pembimbing Pendamping

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana

Program studi Magister Hukym Fakultas Hukum

ar, S.H., M.Hum.

Pembimbing U

Dr. Wahyu s.H., M.H.

NIP. 19580527 198403 1 001

,,1.:r^ffin.r.

NIP. 1 9690s20 199802 1 001

".-Ljaiversitas -\-].,'--,'-;'.,,::iI i,;: ;*.t' ]:L..

7.i".;i )^','.,"5 ,1 i irl:",'"i

*ffiffi

NIP. 19550314 198603 l00t


(13)

1.

Dengan ini saya menyatakandengan sebenarnya bahwa:

Tesis dengan

judul

Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang Dalam Memberikan Perlindungan

Hukum

Terhadap Kain Maduaro Yang Memiliki Potensi Indikasi Geogralis adalah hasil karya sendiri dan saya tidak melalrukan penjiplakan atau pengutipan atas karya

penulis lain melalui tata caru yaqg tidak sesuai dengan etika ilmiah yang berlaku dalam masayarakat akademik atau yang disebut plagiatisme;

Hak

intelektual atas karya

ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Demikian pemyataan

ini

saya buat apabila dikemudian hari temyata ditemukan

adanya ketidak benaran atas pernyataan saya ini, maka saya bersedia menanggung akibat dan sangsi hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2014

Rita Laslubiati Puspawiiaya

NPM. 122201rc76


(14)

MOTO

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu untuk dirimu sendiri”

(QS. Al-Isra :7)

Orang lain mungkin ada untuk membantu kita, menolong kita, membimbing kita, melangkah di jalan kita, tetapi pelajaran yang dipelajari tetap milik kita.


(15)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur atas nikmat Allah SWT. Penulis persembahkan tesis ini kepada:

Ayahhanda H. Rizani Puspawidjaja., S.H., dan Ibunda Hj. Maria Farida Yang telah memberikan kasih sayang, perlindungan dan pedidikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan magister. Semoga Allah

SWT memberikan pahala yang setimpal kepada mereka berdua.

Kepada Suamiku, Rahmad Faizi., S.E dan anakku Muhammad Daffa Rizadi, yang telah berkorban selama penulis menyelesaikan studi magister. Terimakasih atas semua kebahagian ini, dan somoga Allah SWT memberiak pahala yang setimpal.


(16)

Penulis dilahirkan di Telukbetung, 16 Mei 1978, anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 1990 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) 2 Durian Payung, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 5 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1993, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1996.

Tahun 1996, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan mengambil Jurusan Ekonomi Manajemen. Penulis kembali melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2012


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara Gemah Ripah Loh Jinawi yang tidak hanya mengandalkan pada kekayaan sumber daya alam tetapi juga kekayaan sumber daya manusia dengan segala kreativitasnya, telah memberikan kekayaan intelektual yang tidak ternilai harganya. Salah satu contoh keanekaragaman yang ada di Indonesia adalah munculnya berbagai macam kreasi intelektual yang berada dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Seperti yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat: “keanekaragaman suku bangsa dimana terdapat lebih kurang 900 suku bangsa, yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Dari keanekaragaman tersebut telah dikembangkan berbagai bentuk produk yang berbasis budaya dari masing-masing suku bangsa”.1 Berbagai produk tersebut memiliki ciri khas tertentu dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat, serta memiliki daya saing yang berpotensi ekonomi untuk dapat dikomersialkan.

Sebagai negara yang kaya akan berbagai produk seperti pengetahuan, tradisi, budaya, dan iklim tropis yang menghasilkan berbagai macam produksi yang memiliki potensi ekonomi yang tidak kecil. Sudah seharusnya Indonesia memiliki sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya disebut HKI)

1

Koentjaraningrat dalam Sudarmanto. “Produk Kategori Indikasi Gopgrafis Potensi Kekayaan

Intelektual Masyarakat Indonesia”. (Depok: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional


(18)

yang memadai. Berbagai produk unggulan daerah yang dihasilkan telah mendapatkan tempat di pasar internasional, seperti Kopi Gayo, Ubi Cilembu, Kopi Kintamani, Kopi Toraja, Lada Hitam Lampung, Lada Hitam Muntok, Apel Batu, Kain Songket Palembang, Kain Batik Cirebon. Produk-produk daerah tersebut memiliki ciri khas yang mencerminkan kualitas, yang dapat dibedakan dengan produk sejenis lainnya.

Wujud nyata dari hasil pemikiran dan ide kreatif yang dituangkan dalam bentuk karya seni adalah keberadaan kain tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif ragam hiasnya sangat asli dan dikerjakan oleh pengerajin yang masih sangat sederhana. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Selain itu, ada pula kain Maduaro yang merupakan ekspresi budaya dari masyarakat adat Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Lampung secara turun- temurun. Kain Maduaro merupakan salah satu warisan adi luhung budaya bangsa sejak abad 18 yang patut dilestarikan. Kain Maduaro merupakan jenis kain sulam dari Lampung berupa selendang yang umumnya digunakan sebagai penutup kepala, serta sebagai aksesoris dalam upacara adat masyarakat Lampung Pepadun.


(19)

Di Kabupaten Tulang Bawang kerajinan kain Maduaro untuk sementara dipusatkan di Kecamatan Banjar Agung dalam proses produksi/pembuatannya.

Pada dasarnya kain Maduaro adalah kain berbahan sutera atau serat nanas yang disulam dengan menggunakan benang kawat tipis. Berbeda dengan kain tapis pada umumnya kain Maduaro tidak menggunakan benang emas, serta cara menyulamnya masih sangat sederhana. Tetapi motif yang disulamkan untuk kain Maduaro sudah sangat modern. Keunikan dan ragam corak serta kombinasi warna kain dasar kain Maduaro banyak diminati masyarakat di Provinsi Lampung tetapi juga masyarakat yang berada di luar Provinsi Lampung.

Awalnya, kain Maduaro ini hanya dikenakan oleh kelompok masyarakat tertentu saja atau para istri, anak gadis dari keturunan raja atau bangsawan saja yang dalam adat Lampungnya disebut penyimbang, pada saat upacara adat Lampung Pepadun. Kini, kain Maduaro ini berfungsi menjadi benda yang bersifat ekonomis karena saat ini semua pihak dapat memilikinya. Kain Maduaro sudah digunakan sebagai motif pakaian, motif penutup meja, motif peci, motif sarung bantal kursi dan masih banyak lagi lainnya.

Berdasarkan informasi dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Tulang Bawang di bawah binaan Ny. Erna Suud Hanan A. Razak yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Tulang Bawang, telah membawa kain Maduaro meraih penghargaan kategori kriya tekstil. Yang diserahkan oleh Ketua Umum Dekranas Ny Herawati Budiono di Jakarta. Dinas Koperindag Kabupaten Tulang


(20)

Bawang juga akan mengikutsertakan kain Maduaro dalam Asian Community Tahun 2015. 2

Karena peranan dan prinsip masyarakat adat Lampung adalah dalam rangka menjaga keaslian dan kelestarian kain Maduaro yang sangat erat kaitannya dengan upacara adat masyarakat Lampung antara lain untuk menjaga ragam hias yang melekat pada setiap produk kain Maduaro. Saat ini masyarakat Lampung lebih mengenal kain Maduaro sebagai kain Maduaro Tulang Bawang. Hal ini terlihat dari berbagai macam pemberitaan mencantumkan nama Kabupaten Tulang Bawang sebagai daerah sentra produksi kain Maduaro.

Masyarakat Lampung adalah masyarakat yang secara administratif mendiami Provinsi Daerah Tingkat I Lampung. Namun secara etnik, melampaui batas administrasi tersebut. Sebagai suatu masyarakat, masyarakat Lampung telah mengembangkan berbagai tatanan bagi kehidupan bersama dalam berbagai bidang kehidupan; politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang dapat dibedakan dengan masyarakat lainnya.3

Sebagaimana dipahami bahwa masyarakat adat Lampung terdiri dari dua kelompok besar yaitu: pertama, masyarakat beradat Pepadun yang terdiri dari Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Rarem Mega Pak, Bunga Mayang Sungkai, Way Kanan Lima Kebuwaiyan serta Melinting dan Jabung; kedua, masyarakat beradat Saibatin yang dapat dikelompokkan berdasarkan wilayah

2

Wawancara Dengan Kepala Dinas Koprasi UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulang Bawang, Supriyati, Dilakukan pada Tanggal 28 Desember 2013

3

Rizani Puspawidjaja. Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran. (Lampung: Univesitas Lampung), 2006, hlm. 1


(21)

mukimnya, yaitu: Sebatin diwilayah Lampung Barat, Pesisir Barat, Semaka Tanggamus dan Kalianda.4

Dengan adanya keanekaragam yang ada di Provinsi Lampung maka perlu adanya perlindungan hukum yang jelas. Perlindungan hukum merupakan perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan atas kepentingan manusia.5

Jika dikaitkan dengan perlindungan hukum HKI, yang dimaksud dengan perlindungan hukum HKI adalah upaya untuk melindungi kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia yang dapat berupa berbagai karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Kain Maduaro yang ada di Kabupaten Tulang Bawang adalah merupakan salah satu karya seni yang dirasa harus mendapatkan perlindungan hukum yang memadai bagi produk tersebuat.

Pada tanggal 2 November 1994, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994,6 Indonesia terikat komitmen untuk menyesuaikan hukum nasionalnya terhadap kesepakatan internasional tersebut. Oleh karenanya, pembentukan hukum nasional yang

4

Ibid, hlm. 24

5

Philipus M Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. (Surabaya: Bina Ilmu), 1987, hlm. 19

6

Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan

Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Pedagangan Dunia). Lembaga Negara Tahun 1994 Nomor 57 TLN Nomor 3564


(22)

seharusnya dilakukan berdasarkan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri serta dilakukan berdasarkan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945, harus juga mempertimbangkan sumber lain di luar itu berdasarkan komitmen tersebut. Salah satu hukum yang terkena dampak adalah hukum yang terkait di bidang HKI.7 Ada tujuh jenis perlindungan HKI sebagaimana terdapat dalam Persetujuan TRIPs, termasuk perlindungan Indikasi Geografis (untuk selanjutnya disebut IG).8 Dengan demikian, keberadaan IG diakui secara internasional sebagai bidang HKI yang berdiri sendiri. 9 Di Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang HKI sesungguhnya tidak didasarkan pada kepentingan atau kebutuhan dari mayoritas penduduknya sendiri.

Sejak itu peraturan perundang-undangan nasional dibidang HKI dilakukan perubahan secara menyeluruh untuk disesuaikan dengan ketentuan dalam perjanjian TRIPs. Keberadaan perjanjian TRIPs dimaksudkan sebagai standar perlindungan HKI bersifat internasional yang harus dijadikan acuan oleh negara-negara anggota WTO (World Trade Organization) dalam menyusun perundang-undangan nasionalnya. Perjanjian WTO sebagai induk dari perjanjian TRIPs. Indonesia wajib menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tingkat perlindungan atas tujuh jenis HKI sebagaimana terdapat dalam Persetujuan TRIPs.

7

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2004, hlm. 1

8

Diatur dalam Part II, Section 1 sampai dengan Section 7 TRIPs Agreement. Ketujuh bidang HKI tersebut, yaitu: (1) Copyright and Related Rights; (2) Tredemarks; (3) Geographical Indocations; (4) Industrial Designs; (5) Patents; (6) Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuits; (7) Undisclosed Information.

9

Wahyu Sasongko. Ringkasan Desertasi Indikasi Geografis Setudi Tentang Kesiapan Indonesia Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Produk Nasional (Jakarta: Universitas Indonesia), 2010, hlm. 1


(23)

Selain itu pelaksanaan peraturan perlindungan HKI tersebut harus dijalankan dengan benar, dimana dalam hal ini memerlukan penyempurnaan dan peningkatan peran aparatur pelaksana dan aparat penegak hukum. Sebagai salah satu langkah dalam rangka pelaksanaan komitmen tersebut, Indonesia telah melaksanakan amandemen terhadap sejumlah undang-undang di bidan HKI.

Indonesia mengintegrasikan perlindungan IG ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek10 (BAB VII Bagian I tentang IG, BAB VII Bagian II tentang Idikasi Asal). Pada perinsipnya Undang-Undang Merek menentukan bahwa IG mendapat perlindungan setelah terdaftar,11 sedangkan ketentuan mengenai tata cara pendaftaran IG diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.12

Pelaksanaan amanat Pasal 56 ayat (9) Undang-Undang Merek, pada tanggal 4 September 2007 tentang IG yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG (selanjutnya disebut PPIG 51/2007).13 Walupun masih berupa PP, namun dilihat dari materi atau substansi yang diatur di dalamnya, memuat substansi yang lengkap seperti undang-undang, yang antara lain mengatur secara komperhensif tentang pendaftaran IG. Bahkan sebagai mana yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal HKI pada suatu kesempatan, mengidentifikasikan geografis produk unggulan di setiap wilayah di Indonesia sangat penting untuk dilakukan, karena banyak sekali potensi yang ada di Indonesia, dan sangat

10

Lihat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 56 Ayat (1)

11

Lihat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek , Pasal 56 Ayat (2)

12

Lihat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek , Pasal 56 Ayat (9)

13


(24)

disayangkan jika tidak mendapat pengaturan geografis karena memungkinkan pihak luar negeri untuk memainkan peranannya di Indonesia.

Namun sebagaimana yang dikemukakan di atas, tujuh tahun lebih setelah diterbitkannya PPIG 51/2007 jumlah sertifikat pendaftaran IG di Indonesia masih tergolong relatif sedikit apabila dibandingkan dengan potensi produk IG yang dimiliki Indonesia. Pada saat yang bersamaan, efektivitas perlindungan IG justru disuarakan dalam rangka perjanjian multilateral. Salah satu contoh adalah rekomendasi CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) antara Indonesia dan Uni Eropa, di mana secara khusus ditekankan tentang efektivitas dalam implementasi perlindungan hukum IG.14

Berdasakan hal-hal yang dikemukakan di atas nampak jelas bahwa pendaftaran IG merupakan aspek penting dan bahkan syarat utama dari pelaksana perlindungan hukum IG di Indonesia secara efektif. Indonesia menganut sistem pendaftaran yang bersifat konstitutif, yaitu menerapkan asas first to file (pihak yang mendaftarkan terlebih dulu yang memperoleh hak). Hal ini mengkomersialisasikan IG sehingga pemegang hak dapat menikmati keuntungan ekonomi. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut mempunyai implikasi lebih luas dalam konteks perlindungan IG secara internasional, mengingat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (9) TRIPs, tidak terdapat kewajiban untuk memberikan perlindungan IG terhadap IG yang tidak dilindungi di negara asal. 15

14

...Delegationof the European Union, Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Pedagangan. Kelompok Visi untuk Meningkatkan Perdagangan dan Investasi Antara Indonesia dan Uni Eropa, Penguatan Kemitraan Indonesia-UE Menuju PerjanjianKemitraan Ekonomi Komperhensif (CEPA). (Jakarta : Delegation of the European Union, Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Perdagangan, 2010)

15

Lihat Pasal 24 Ayat (9). Agreement of Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Part II Section 3. World Trede Organizatin.


(25)

Dengan kata lain perlindungan internasional terhadap suatu IG tidak dimungkinkan tanpa adanya perlindungan IG tersebut di negara asalnya, yaitu secara nasional.

Meskipun merupakan unsur penting pendaftaran IG bukan satu-satunya cara untuk menilai efektivitas pelaksanaan hukum IG di Indonesia. Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi efektivitas perlindungan hukum terhadap IG di Indonesia perlu ditelusuri lebih lanjut, baik dari sudut pandang ketentuan maupun pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, kain Maduaro dari Kabupaten Tulang Bawang dapat dijadikan sebagai potensi IG. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 dan PPIG 51/2007 Oleh karena itu penulis akan memfokuskan penelitian dengan judul

“PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG

DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAIN

MADUARO YANG MEMILIKI POTENSI INDIKASI GEOGRAFIS ”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah diperlukan guna mempermudah pelaksanaan dan supaya sasaran penelitian menjadi jelas, tegas, terarah dan mencapai hasil yang dikehendaki. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka terdapat dua rumusan masalah yang akan dijadikan pokok permasalahan, yaitu :


(26)

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG di Kabupaten Tulang Bawang maupun Provinsi Lampung?

2. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah dan masyarakat Tulang Bawang dalam melindungi kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Bisnis terutama tentang pelaksanaan atau pengaturan dalam perlindungan hukum, serta upaya masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Tulang Bawang terhadap potensi IG di bidang kerajinan kain Maduaro. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan PPIG 51/2007.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum HKI dalam potensi IG kain Maduaro di Kabupaten Tulang Bawang

b. Untuk menganalisis pelaksanaan perlindungan hukum kain Maduaro sebagai potensi IG. Melakukan analisis terhadap upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang dalam mendorong tumbuhnya perlindungan IG kain Maduaro sebagai produk potensi IG.


(27)

2. Kegunaan Penelitian

Di dalam penelitian ini penulis berusaha untuk memberikan manfaat atas persoalan penelitian hukum terhadap potensi IG , khususnya di bidang kerajinan tradisional kain Maduaro yang masih belum mendapatkan perhatian. Di antara manfaat yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis :

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum HKI, khususnya tentang potensi IG yang ada di Kabupaten Tulang Bawang dan Provinsi Lampung umumnya, dan hasil penelitian ini memiliki aspek-aspek teoritis yang bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan informasi dan refrensi, khususnya berkenaan dengan peraturan IG, sehingga dapat dikembangkan secara partikular dalam pengaturan IG di Kabupaten Tulang Bawang dan Provinsi Lampung.

b. Kegunaan Praktis :

1) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang dalam memberikan perlindungan hukum dalam bentuk perlindungan IG berupa Peraturan Daerah (Perda) dikaitkan dengan kondisi yang ada di Kabupaten Tulang Bawang terhadap produk potensi IG kain Maduaro yang saat ini sedang mulai di galakkan di Kabupaten Tulang Bawang. 2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

pemahaman pada masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang mengenai perlindungan IG terhadap kain Maduaro.


(28)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Satjipto Raharjo, mengatakan bahwa hukum merupakan suatu institusi yang dipakai oleh masyarakat, maka itu berarti bahwa masyarakat juga menentukan sendiri bagaimana hukum itu mereka terima. Jadi menurutnya perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.16

Perlindungan hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh hukum dalam menanggulangi pelanggaran, yang terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:17

a. Perlindungan hukum yang bersifat preventif, yaitu perlindungan hukum yang dibuat dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

b. Perlindungan hukum yang bersifat represif, yaitu perlindungan hukum yang dibuat untuk menyelesaikan sengketa.

Dikaitkan dengan perlindungan hukum HKI, yang dimaksud dengan perlindungan hukum HKI adalah upaya untuk melindungi kekayaan yang timbul dari intelektual manusia yang dapat berupa berbagai karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. IG merupakan ruang lingkup HKI, sehingga di perlukan juga perlindungan hukumnya. Perlindungan IG merupakan perlindungan terhadap suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari

16

Satjipto Raharjo. Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. (Bandung : Alumni), 1979, hlm. 16

17


(29)

kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan, yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum.

Istilah HKI merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. IPR sendiri pada prinsipnya merupakan perlindungan hukum atas HKI yang kemudian dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum yang disebut “Intellectual Property Right”. Sangat jelas bahwa lahirnya IPR melalui TRIPs Agreement adalah tidak lain sebagai hasil dari perjuangan negara-negara maju untuk melindungi kepentingan ekonominya dalam intellectual property yang dihasilkan. Sehingga sistem IPR yang dibangun oleh negara-negara maju tersebut sama sekali tidak melihat kepentingan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Prinsip utama dari HKI adalah bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektual maka individu yang menghasilkannya memperoleh hak kepemilikkan berupa Hak Alamiah (natural right), termasuk penggunaan daya intelektual sebagai pelaksanaan hak alamiah tersebut untuk diekspresikan.

Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, ditambah lagi posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa (mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian tradisional. Hingga saat ini, telah tercatat beberapa kasus pemanfaatan kekayaan intelektual masyarakat adat tanpa ijin oleh pihak asing, khususnya dalam bidang kesenian tradisional asli Indonesia.


(30)

Akan tetapi, semuanya tak berarti apa-apa jika komoditas itu "dicuri" pihak asing. Sudah beberapa kali produk asal negara kita dibajak negara lain.

Permasalahan mengenai HKI akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek hukum, aspek teknologi, aspek industri, aspek sosial, aspek budaya, dan berbagai aspek lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan HKI tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan HKI.

Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam lingkup kajian HKI adalah perlindungan hukum baik secara preventif maupun secara represif terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional berupa kesenian tradisional, kerajinan tradisional atau karya-karya tradisional.

Jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin dalam sistem HKI sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan antara peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat. Dalam hal perlindungan hukum HKI di Indonesia salah satunya adalah perlindungan terhadap IG. Perlindungan IG merupakan perlindungan terhadap suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,


(31)

memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan, yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum.

Bentuk perlindungan hukum preventif bagi IG dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tercantum dalam Pasal 56-60 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu IG dilindungi dengan cara didaftarkan terlebih dahulu. Tetapi karena pengaturannya masih tergabung dengan Undang-Undang Merek, sehingga ketentuan dalam pasal-pasalnya pun mengacu pada ketentuan tentang merek.

Teori HKI sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia.18 Pemikiran Locke lebih memusatkan pada kebebasan atau kemerdekaan individu (individual liberty). Namun, dalam penelitian ini teori tentang Hukum Alam milik Locke tidak digunakan, karena IG memiliki karakteristik spesifik berkenaan dengan hak-haknya yang bersifat kolektif.

18

Syafrinaldi. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi (Jakarta: UI Press), 2010, hlm. 7


(32)

Pengkajian terhadap sistem hukum IG juga dapat dilakukan dengan menggunakan teori perundang-undangan (Legislative theory) dari A. Hamia. S. Attamimi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi:19

a. Asas tujuan yang jelas; b. Asas perlunya pengaturan;

c. Asas organ/lembaga dan muatan materi yang tepat; d. Asas dapatnya dilaksanakan;

e. Asas dapatnya dikenali;

f. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;

g. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu.

Dengan mengacu pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, dapat diharapkan terciptanya peraturan perundang-undangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pemerintah juga seharusnya berdasar asas pembentukan peraturan perundang-undangan di atas untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, memiliki manfaat yang baik bagi masyarakat tentang IG.

Uraian dari teori-teori tersebut diatas menjadi acuan pemikiran bahwa hukum adalah sebuah sistem, maka melihat fenomena hukum di masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga dapat dipahami sebagai situasi bagaimana hukum beroprasi sebagai suatu sistem dalam masyarakat.

Kerangka teori ini sebenarnya ingin ditegaskan bahwa dalam membuat kebijakan yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap kain Maduaro asal Kabupaten Tulang Bawang sebagai potensi IG, baik yang berada dalam lingkup substansi

19

Maria Farida Indrati.S. Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan). (Yogyakarta: Kanisius), 2007, hlm. 256


(33)

hukum, struktur maupun penciptaan budaya hukum dalam masyarakat, harus tetap diarahkan untuk dapat mengakomodasi nilai-nilai budaya dan kepentingan masyarakat lokal dengan mendasarkan pada teori yang dijadikan landasan adanya perlindungan hukum terhadap kain Maduaro sebagai potensi IG.

2. Konseptual

Perlu diketahui terlebih dahulu pengertian konsep IG menurut Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.20

Konsep kepemilikian pada rezim HKI, lazimnya didasarkan pada hak individual yang diakui sejak dulu, sehingga dapat dikatakan sebagai konsepsi yang bersifat konvensional. Berbeda dengan IG, yang mendasarkan pada kolektivitas atau komunalitas sehingga merupakan konsepsi non konvensional. IG tidak diberikan kepada individu atau perusahaan pribadi melainkan kepada kelompok, sehingga disebut hak koleltif (collective right).21

Adapun pengertian-pengertian dasar dari istilah yang penulis gunakan dalam tesis ini sebagai berikut :

a. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan

20

Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Indikasi Geografis, http://www.dgip.go.id diakses Juni 2013

21


(34)

kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.22

b. Perlindungan IG adalah perlindungan terhadap suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum.

c. Produk IG adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian atau pun hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan.

d. Kekhususan menunjukkan ciri dan kualitas pada produk potensi IG, yang tidak terdapat pada produk lain.

e. Kain Maduaro merupakan jenis kain yang disulam dengan menggunakan benang kawat, yakni berupa selendang yang biasa dijadikan sebagai penutup kepala bagi kaum perempuan Lampung yang beradat Lampung Pepadun, dan biasa digunakan pada saat acara-acara adat.

f. Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya.23

22

Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2000, hlm. 54

23


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual

1. Konsep Dasar Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal dengan sebutan Intellectual

Property Rights (IPR). Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dua macam istilah hukum : Hak Milik Intelektual dan HKI.

Perbedaan terjemahan terletak pada kata property. Kata tersebut memang dapat

diartikan sebagai kekayaan, dapat juga sebagai milik. Padahal tidak semua HKI

itu merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya.24 IPR sendiri merupakan

perlindungan hukum atas HKI yang kemudian dikembangkan menjadi suatu

lembaga hukum yang disebut Intellectual Property Rights.25 Direktorat Jenderal

HKI mendefenisikan HKI sebagai hak yang timbul bagi hasil olah fikir otak yang

menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.26

HKI tergolong benda, benda diartikan segala sesuatu atau yang dapat dikuasai

manusia dan dapat dijadikan obyek hukum.27 Benda dalam kerangka hukum

perdata diklasifikasikan dalam berbagai kategori. Salah satunya adalah kategori

24

H.OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayan Intelektual (Intellectual Property Rights).(Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2013, hlm. 11

25

Afrillyanna Purba. Hukum HKI Indonesia Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. (Bandung: Alumni), 2009, hlm. 19

26

Tomi Suryo Utomo. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2010, hlm. 2

27


(36)

benda berwujud (materiil), dan benda tak berwujud (immateriii).28 Pendapat

Abdulkadir Muhammad, barang (tangible good) adalah benda materiil yang ada

wujudnya, karena dapat dilihat dan diraba. Sedangkan yang dimaksud hak (intangible good) adalah benda immateriil yang ada, tidak ada wujudnya, karena

tidak dapat dilihat dan diraba.29 Setelah benda tak berwujud itu keluar dari

pikiran manusia, kemudian dituangkan dalam suatu ciptaan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sehingga berupa benda berwujud.

Secara luas konsep “kepemilikan” dan “kekayaan” apabila dikaitkan dengan “hak”, maka ditinjau dari segi hukum, dikenal hak yang menyangkut kepemilikan dan hak yang menyangkut kebendaan. Pada dasarnya hak kebendaan meliputi juga hak kepemilikan karena kepemilikan senantiasa berhubungan dengan benda tertentu baik secara materiil maupun immateriil.

Menurut W.R. Cornish, “hak milik intelektual melindungi pemakaian ide dan informasi yang mempunyai nilai komersil atau nilai ekonomi”. Pemilikannya tidak berupa hasil kemampuan intelektual manusianya yang baru berupa ide tertentu. Hak milik intelektual ini baru ada, bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis.

Hak milik intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam

28

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 503

29

Abdulkadir Muhammad. Hukum Harta Kekayaan. (Bandung : Citra Aditya Bakti), 1994, hlm 22


(37)

menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut bisa di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra. HKI timbul atau lahir karena adanya intelektualitas seseorang sebagai inti atau obyek pengaturannya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hak ini pada dasarnya merupakan pemahaman terhadap hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari intelektualitas manusia.

Definisi Hukum Kekayaan Intelektual menurut World Intellectual Property Organization (WIPO) adalah sebagai berikut : “The legal rights which result from intellectual activity in the industrial, scientific, literaryor artistic fields.”

Sedangkan menurut Thomas W. Dunfee dan Frank F. Gibson dalam bukunya : “Modern Bussiness Law as Introduction to Government and Bussiness”, mengemukakan bahwa intellectual property adalah suatu manifestasi fisik suatu gagasan praktis kreatif atau artistik serta cara tertentu dan mendapatkan perlindungan hukum.

Memahami HKI merupakan hal yang mendasar dibutuhkan oleh semua pihak yang mempunyai minat untuk memanfaatkan dan mengembangkan HKI bagi kegiatan usaha. Apalagi memanfaatkan dan mengembangkan HKI tersebut untuk tujuan meningkatkan nilai produktifitas usaha. Secara konseptual HKI mengandung arti sebagai sarana untuk melindungi penuangan ide dan gagasan yang telah diwujudkan secara riil, dimana penuangan ide ini mempunyai implikasi pada munculnya nilai ekonomi terhadap hasil penuangan ide dan gagasan.

Sebagaimana dikatakan oleh David Brainbridge, dalam wacana hukum, HKI dapat diartikan, sebagai : ”…that area of law which concerns legal rights


(38)

associated with creative effort or commercial reputation and goodwill.” Paparan ini memberikan pemahaman bahwa HKI adalah masuk wilayah hukum yang mana pusat perhatiannya pada hak hukum yang diasosiasikan dengan upaya kreatif atau reputasi dan good will yang bernilai komersial.

2. Pembagian Kategori Dalam Hak Kekayaan Intelektual

Menurut Abdulkadir Muhammad, jika ditelusuri lebih mendalam konsep HKI meliputi: 30

a. Hak milik hasil pemikiran (intelektual), melekat pada pemiliknya, bersifat tetap dan eksklusif.

b. Hak yang diperoleh pihak lain atas ijin dari pemilik dan bersifat sementara.

Untuk mengetahui ruang lingkup HKI maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai jenis-jenis benda. Terdapat tiga jenis benda yang dapat dijadikan kekayaan atau hak milik, yaitu:31

a. Benda bergerak, seperti emas, perak, kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekomunikasi dan informasi dan sebagainya;

b. Benda tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko dan pabrik; c. Benda tidak berwujud seperti paten, merek, dan hak cipta.

Menurut sistem hukum Anglo Saxon, HKI diklasifikasikan menjadi Hak Cipta (Copyright) dan Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights). Adapun pembagian kategori HKI tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hak Cipta (Copyright);

30

Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti), 2001, hlm 1

31

Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti), 2000, hlm 10


(39)

b. Hak Kaitan (Neighbouring Rights).

Sedangkan Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights) menurut Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (WIPO) diklasifikasikan sebagai berikut :32

a. Paten (Patent);

b. Model dan Rancang Bangun (Utility Models); c. Desain Industri (Industrial Desing);

d. Merek Dagang (Trade Mark); e. Nama Dagang (Trade Name);

f. Sumber Tanah dan Sumber Asal (Indication of Source or Appelation of Origin).

Kemudian menurut para pakar hukum HKI ada beberapa yang harus ditambahkan yaitu Rahasia Dagang (Trade Secret), Merek Jasa (Service Mark), dan Perlindungan dari Persaingan Curang (Unfair Competition Protection). TRIP’s (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right menambah dua bidang lagi ke dalam kelompok hak-hak diatas, yaitu:

a. Perlindungan Varietas Tanaman (Varieties of Plants Protection); b. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated

Circuit).

3. Prinsip-Prinsip Umum Hak Kekayaan Intelektual

Prinsip-prinsip umum yang berlaku di dalam HKI seperti : a. Prinsip HKI sebagai hak eksklusif;

Hak ini bersifat khusus dan hanya dimiliki oleh orang yang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan. Melalui hak tersebut, pemegang hak dapat mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat sesuatu tanpa ijin.

32


(40)

b. Prinsip melindungi karya intelektual berdasarkan pendaftaran;

Secara umum, pendaftaran merupakan salah satu syarat kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh seseorang. Prinsip ini mendasari semua Undang-Undang HKI di seluruh dunia dan membawa konsekuensi bahwa pemilik kekayaan intelektual yang tidak melakukan pendaftaran tidak dapat menuntut seseorang yang dianggap telah menggunakan kekayaannya secara melawan hukum. Secara umum, dikenal dua sistem pendaftaran HKI, yaitu:

1) First To File System, berdasarkan pada pendaftar pertama. Artinya, jika ada dua orang yang mendaftarkan kekayaan intelektual pada hari yang sama dengan objek yang sama, pihak yang mendaftar terlebih dahululah yang diprioritaskan untuk diproses.

2) First To Use System, berdasarkan pada pengguna pertama. Artinya, pemilik kekayaan intelektual yang akan didaftar adalah orang pertama yang menggunakan kekayaan intelektual tersebut.

c. Prinsip perlindungan yang dibatasi oleh batasan teritorial;

Sistem ini mengatur bahwa pendaftaran yang melahirkan perlindungan hukum bersifat teritorial. Artinya, perlindungan hukum hanya diberikan ditempat pendaftaran tersebut dilakukan.

d. Prinsip adanya pemisahan antar benda secara fisik dengan HKI yang terdapat di dalam benda tersebut;

Sistem ini bersifat sangat unik dan merupakan ciri khas HKI karena di dalam cabang hukum lain yang bersifat berwujud (tangible), penguasaan secara fisik dari sebuah benda sekaligus membuktikan kepemilikan yang sah atas benda


(41)

tersebut. Di dalam sistem HKI, seseorang menguasai benda secara fisik tidak otomatis memiliki hak eksklusif dari benda fisik itu.

e. Prinsip perlindungan HKI bersifat terbatas;

Meskipun ada cabang HKI (merek) yang dapat diperpanjang jangka waktu perlindungannya, secara umum jangka waktu perlindungan HKI tidak selamanya atau bersifat terbatas. Tujuan pembatasan perlindungan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses kekayaan intelektual tersebut secara optimal melalui usaha-usaha pengembangan lebih lanjut dan sekaligus mencegah monopoli atas kekayaan intelektual tersebut.

f. Prinsip HKI yang berakhir jangka waktu perlindungannya berubah menjadi public domain.

HKI yang telah berakhir jangka waktu perlindungannya akan menjadi milik umum (public domain). Semua orang berhak untuk mengakses HKI yang telah berakhir jangka waktu perlindungannya. Pasca berakhirnya perlindungan hukum, pemegang HKI tidak boleh menghalangi atau melakukan tindakan seolah-olah masih memiliki hak eksklusif.

B. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

Perlindungan hukum terhadap hak kekayaan pribadi telah menjadi faktor kunci dalam pertumbuhan kapitalisme dan ekonomi pasar bebas. Sejarah merekam dari masyarakat kuno menunjukkan bahwa orang-orang mengakui hak untuk menguasai tanah dan barang, dan dihormati oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan mereka dalam kekayaan. Indonesia dikenal memiliki keragaman


(42)

hayati yang tinggi, bahkan tergolong paling tinggi di dunia. Bukan itu saja, negara kita juga mempunyai beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa disadari, banyak aset dan kekayaan intelektual lokal itu telah terdaftar di luar negeri sebagai milik orang asing. Kurangnya kesadaran akan pentingnya aset karya intelektual ini telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia.

Seiring dengan perubahan teknologi, konsepsi ini mengalami pergeseran. Sistem hukum meletakkan kekayaan dalam tiga kategori, yaitu pertama, sebagian besar masyarakat mengakui hak kepemilikan pribadi dalam kekayaan pribadi, yang dikenal dengan intangible things; kedua, kekayaan dalam pengertian riil, seperti tanah dan bangunan; dan ketiga, kekayaan yang diketahui sebagai kekayaan intelektual.

Konsep inilah yang coba dipergunakan sebagai dasar pemikiran dalam perlindungan HKI. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kekayaan intelektual membutuhkan olah pikir dan kreatifitas si pencipta, penemu atau sang kreator. Oleh karena itu pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar ajaran moral yang baik. Landasan moral ini pula yang dikenal dalam teori filsafat sebagai teori hukum alam. Dalam ajaran moral dikenal doktrin ”jangan mencuri” atau ”jangan mengambil apa yang bukan hakmu”.

Pendekatan landasan moral atas tuntutan untuk melindungi HKI ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Jika mencuri usaha seseorang tanpa mendapatkan terlebih dahulu persetujuannya maka akan dilihat sebagai perbuatan yang tidak jujur dan tidak adil. Oleh karena kepemilikan atas HKI termasuk dalam hak asasi


(43)

manusia sebagai individu yang berolah pikir, maka secara alamiah nilai komunalisme harus diabaikan untuk mengakui dan memberikan penghargaan kepada individu tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa ”Everyone has the right to the protection of the moral and material intersts resulting from any scientific, literary or artistic production of which he (sic) is the author.”

Doktrin moral diadopsi oleh rezim HKI untuk memberikan perlindungan terhadap individu pemilik HKI agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Sesungguhnya doktrin hukum alam diatas bersifat lebih luas daripada sekedar melindungi individu pemilik HKI, karena doktrin itu dapat pula diterapkan untuk melindungi pihak-pihak lain, termasuk masyarakat lokal atau tradisional atas pengetahuan tradisionalnya.

Lebih jauh dasar filosofis rezim HKI adalah alasan ekonomi. Bahwa individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikirannya bahkan biaya demi sebuah karya atau penemuan yang berguna bagi kehidupan. Rasionalitas untuk melindungi modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan pemberian hak eksklusif terhadap individu yang bersangkutan agar dapat secara eksklusif menikmati hasil olah pikirnya itu.

Ajaran Aristoteles juga telah menggambarkan argumentasi diatas dalam upaya menciptakan keadilan. Salah satu keadilan yang dikenal dalam teorinya adalah keadilan distributif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang bagian yang sesuai dengan jasanya. Artinya bukan keadilan yang didasari kesamaan jumlahnya tetapi kesebandingan.


(44)

Rezim HKI mengadopsi dan mengembangkan pula teori utilitarian Jeremy Bentham. Teori ini menjelaskan bahwa hukum dibentuk agar memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi sebagian besar warga masyarakat. Pembentukan perundang-undangan di bidang HKI merupakan bentuk perlindungan agar masyarakat memperoleh kemanfaatan itu. Hal inilah yang dalam konteks pembangunan ekonomi terutama di bidang HKI menjadi reward theory.

Reward theory mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif diberi insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lain untuk berkreasi, dengan kata lain, rezim HKI merupakan sebuah bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang untuk mencipta. Hal ini dapat menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang. Melalui pembatasan penggunaan inovasi diharapkan akhirnya meningkatkan tingkat informasi dan inovasi yang tersedia di masyarakat.

Sebaliknya di beberapa negara berkembang, hak alami ini tidak relevan. Oleh karena hak milik sekalipun memiliki fungsi sosial dan menjadi milik bersama. Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat memiliki hak alami atas suatu ciptaan atau invensi yang dibuat baik oleh individu maupun melalui kerjasama kelompok. Nilai-nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia baik dalam bidang ilmu, sastra, maupun seni adalah nilai budaya barat yang menjelma dalam sistem hukumnya.

Konsepsi masyarakat beradab menyatakan bahwa orang dapat mempunyai anggapan mereka boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkan bagi mereka, apa-apa yang telah mereka temukan dan punyai untuk tujuan sendiri, apa


(45)

yang telah mereka ciptakan dengan tenaga sendiri, dan apa yang telah mereka peroleh melalui ketertiban masyarakat dan perekonomian.

Akan tetapi meskipun dijamin kebebasan menikmatinya asas diatas tetap harus berbagi dengan konsep barang milik negara (res publicae) dan konsep barang milik umum (res communes). Sebagian ahli meyakini bahwa monopoli berlebihan dari suatu hak atas kekayan intelektual dapat melemahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Oleh karena pada hakekatnya ilmu pengetahuan adalah milik kemajuan umat manusia, maka manusia tidak dapat memonopoli penuh suatu hak apapun.

Perlindungan hukum HKI adalah upaya untuk melindungi kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia yang dapat berupa berbagai karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Sebagai anggota WTO (World Trade Organization), konsekuensi hukum yang harus ditanggung oleh Indonesia adalah meratifikasi GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahaan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di dalamnya termasuk perjanjian tentang HKI yang berhubungan dengan perdagangan yaitu Agreement on Trade-Related

Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s Agreement). Ini membawa dampak bagi Indonesia untuk segera membuat peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan HKI. Peraturan perundang-undangan tentang HKI yang dimiliki Indonesia sampai saat ini adalah :


(46)

1. Hak Cipta diatur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 direvisi oleh Undang Nomor 7 Tahun 1987 kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997, terakhir diganti oleh Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002;

2. Paten diatur dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997, terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001;

3. Merek diatur dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, diganti oleh Undang Nomor 14 Tahun 1997, terakhir diganti oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001;

4. Perlindungan Varietas Tanaman diatur dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000;

5. Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000; 6. Desain Industri diatur dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000;

7. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000.

C. Indikasi Geografis sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

1. Konsep Dasar Indikasi Geopgrafis

Dalam persetujuan TRIP’s diatur mengenai IG yang berkaitan dengan pemakaian merek. Yang dimaksud dengan IG berdasarkan persetujuan TRIP’s adalah, tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Berdasarka ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa; asal


(47)

suatu barang (tentu saja sebenarnya termasuk jasa) yang melekat dengan reputasi, karakteristik dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara juridis.33 Adapun pengertian lain mengenai IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang di hasilkan.34 IG merupakan bagian dari HKI dan merupakan konsep universal yang menunjukkan asal, kualitas dan karakteristik suatu barang. Contohnya, Ubi Cilembu (ubi yang berasal dari daerah Cilembu, Jawa Barat), Kopi Toraja (kopi yang berasal dari Tanah Toraja, Sulawesi Selatan), Kopi Kintamani (kopi yang berasal dari daerah Bali), Lada Hitam Lampung (lada yang berasal dari daerah Lampung), Champagne (minuman anggur yang berasal darai daerah Champagne-Prancis), Basmati Rice (beras yang berasal dari India), dan masih banyak lagi lainnya. IG yang digunakan dalam hubungannya dengan produk barang adalah :

a. Tempat dan daerah asal barang; b. Kualitas dan karakteristik produk; dan

c. Karakteristik antara kualitas atau karakteristik produk dengan kondisi geografis dan karakteristik dan masyarakat daerah atau tempat asal.

IG merupakan suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara tidak langsung dapat menunjukkan adanya kekhususan pada suatu barang yang dihasilkan dari daerah tertentu. Tanda dapat digunakan untuk menunjukkan asal suatu barang, baik yang berupa hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan

33

H. OK. Saidin. Op.cit, hlm 386

34

Direktorat Jenderal Hak Kekayan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia.


(48)

tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang. Ciri dan kualitas suatu barang yang dipelihara dan dipertahankan dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan reputasi (keterkenalan) atas barang tersebut, yang selanjutnya memungkinkan barang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Karena itu barang tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.35

Sebagai negara kepulauan yang kaya akan pengetahuan, tradisi, dan budaya, serta iklim tropis yang menghasilkan berbagai macam barang yang memiliki potensi ekonomi yang tidak kecil, sudah seharusnya Indonesia memiliki sistem perlindungan IG yang memadai. Melalui perlindungan IG yang optimal tidak saja kelestarian lingkungan diharapkan dapat terjaga, pemberdayaan alam dan sumberdaya manusia di daerah diharapkan dapat lebih dimaksimalkan. Di samping itu, migrasi tenaga kerja potensial dari suatu daerah ke daerah perkotaan diharapkan dapat dicegah, dengan terciptanya atau terbukanya peluang dan lapangan kerja untuk menghasilkan barang tertentu yang dilindungi dengan IG dan diharapkan memiliki nilai ekonomi yang tidak kecil di daerah tersebut.36

Perlindungan hukum atas IG dapat diberikan apabila pendaftarannya telah dilakukan. Adapun ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar diberikannya perlindungan dituangkan dalam Buku Persyaratan, yang juga memuat informasi tentang pengaruh lingkungan geografis, faktor alam, serta faktor manusia yang mempengaruhi kualitas atau karakteristik barang tersebut; selain itu juga

35

Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis

36


(49)

mencakup informasi tentang: peta wilayah, sejarah dan tradisi, proses pengolahan, metode pengujian kualitas barang, serta label yang digunakan. Buku Persyaratan tersebut penyusunannya dilakukan oleh kelompok masyarakat tempat dihasilkannya barang dimaksud. 37

Pemilik IG adalah pemohon dan kelompok masyarakat di daerah tempat dihasilkannya barang tertentu yang berkompeten untuk memelihara, mempertahankan, dan memakai IG sehubungan dengan keperluan bisnis/usahanya. Sedangkan seorang produsen yang dapat menghasilkan suatu barang sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Buku Persyaratan dan bersedia patuh untuk menerapkan ketentuan sebagaimana yang diatur didalam Buku Persyaratan tersebut, dapat memakai IG terkait setelah sebelumnya mendaftarkan dirinya sebagai pemakai IG di Direktorat Jenderal.38

2. TRIPs Sebagai Dasar Pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa perlindungan terhadap IG secara umum telah diatur dalam Pasal 22, 23 dan 24 TRIPs Agreement. Sebelumnya juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 Konvensi Paris yang berisi penegasan larangan untuk memperdagangkan barang yang menggunakan IG sebagai objek HKI yang tidak sesuai dengan asal dari daerah atau wilayah geografis tersebut. Untuk itu Indonesia sebagai negara yang ikut serta dalam meratifikasi WIPO, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, maka sebagai konsekuensinya Indonesia diwajibkan menyesuaikan peraturan HKI dengan persetujuan TRIP’s. Yang salah satu diantaranya yaitu masalah perlindungan IG.

37

Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis

38


(50)

Sebagai salah satu rezim dari TRIPs, IG diatur berdasarkan tujuan utama TRIPs untuk mempromosikan perlindungan yang efektif dan memadai bagai HKI, dan untuk meyakinkan tiap anggota TRIPs bahawa HKI tidak akan menjadi salah satu aspek normatif yang menghalangi perdagangan barang dan jasa secara internasional.39

Sesuai dengan Pasal 22 (1) TRIPs, IG adalah”...indikasi yang menandakan bahwa suatu barang berasal dari suatu teritorial di dalam negara anggota atau daerah/lokasi dalam teritori tersebut, sehingga kualitas, reputasi dan karakter

lain dari barang tersebut ditentukan secara esensial oleh tempat asal.”40

Artinya, dalam kontek IG, harus ada aspek-aspek khusus yang dapat berujud unsur-unsur alam, lingkungan lain, atau benda-benda tertentu yang bersifat unik, yang menunjukkan keterkaitan yang khas antara nama tempat dengan barang. Aspek-aspek ini harus berpengaruh secara nyata terhadap kualitas barang tersebut dan menentukan reputasi dagang dari barang tersebut.

Berdasarkan Pasal 22 (2a) TRIPs, dapat ditafsirkan bahwa tujuan utama dari perlindungan IG adalah untuk melindungi konsumen dari kesesatan atau kebingungan. Tujuan ini serupa dengan tujuan utama dari Merek. Hanya saja, berbeda dengan Merek, IG selalu berkaitan dengan daerah asal barang. Kekhususannya, dalam Pasal 23 TRIPs yang menyediakan perlindungan tambahan atau additional protections untuk minuman anggur dan minuman

39

Commonwealth of Australia, “Minister of Trade’s Speeches”. Media Realease, MTV 2002,

dalam buku Miranda Risang Ayu, Membicarakan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, (Bandung : Alumni, 2006), hlm 30

40

“...indication which identify a good as originating in the territory of a member, or a region

or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin”, dalam the Agreement of Trade-Related Aspects of Intellectual Property rights, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs Agreement). World Trade Organization 1994.


(51)

beralkohol lainnya (spirit), perlindungan tidak saja diberikan kepada konsumen, tetapi kepada produsen. Inilah salah satu keunggulan perlindungan rezim IG dari pada Merek.

D. Pengaturan Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia

1. Pemberlakuan Indikasi Geografis Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Sejak menjadi anggota WTO Indonesia harus menyesuaikan ketentuan hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang ada di WTO Agreement yang telah disepakati bersama. TRIPs menjadi dasar pengaturan IG di Indonesia. Tatanan perundang-undangan HKI yang mengatur IG terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 pengaturan tentang IG tercantum pada BAB VII Bagian I Bagian II. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 56-60 UU Merek, serta pasal 92 dan 93 yang merupakan ketentuan pidana.

Uraian singkat tentang ketentuan tersebut sebagai berikut:

1. Pasal 56 ayat (1) menjelaskan tentang pengertian IG, yaitu :41

“IG dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.”

41


(52)

Dengan penjelasan perlindungan IG meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industri tertentu lainnya.

2. Pasal 56 ayat (2) menjelaskan pihak-pihak yang dapat mengajukan pendaftaran IG. Karena IG baru mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan. Pihak yang dapat mengajukan permohonan IG adalah: 42 a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi

barang yang bersangkutan, yang terdiri atas:

1) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam;

2) Produsen barang hasil pertanian;

3) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; dan 4) Pedagang yang menjual barang tersebut;

b. Lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu, atau; c. Kelompok konsumen barang tersebut.

Maksud pendaftaran IG adalah untuk menjamin kepastian hukum. Jangka waktu perlindungannya dapat berlangsung secara tidak terbatas selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar diberikannya perlindungan masih ada.43 Dari persyaratan di atas dapat ditentukan Undang-Undang Nomor 15 tentang Merek untuk masalah IG bersifat komunal, cocok dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang juga komunal. Tidak seperti ketentuan dalam undang-undang HKI yang lain yang bersifat individual.

42

Lihat Undang –Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Pasal 56 ayat 2

43


(53)

3. Pasal 56 ayat (3) tentang pengumuman IG yang prosesnya sama dengan pengumuman merek terdaftar. Undang-Undang Merek menentukan adanya “kaidah penunjuk” yang diatur menjadi tiga ketentuan, selain pasal 56 ayat (3) ditentukan bahwa pasal 21,22,23,24 dan 25 yang mengatur pengumuman permohonan pendaftaran Merek harus juga diaplikasikan secara mutatis mutandis kepada pemohon pendaftaran IG.

4. Pasal 56 ayat (4) tentang penolakan permintaan pendaftaran IG.

5. Pasal 56 ayat (5) penolakan sebagai mana dimaksud dalam ayat (4) dapat diminta banding kepada Komisi Banding Merek.

6. Pasal 56 ayat (6) ketentuan mengenai banding Pasal 29, 30, 31, 32, 33, dan Pasal 34 menambahkan ketentuan tentang atas penolakan pendaftaran IG, dan tata cara sama dengan penolakan permintaan pendaftaran merek terdaftar. 7. Pasal 56 ayat (7) menyatakan bahwa IG diberikan perlindungan hukum

selama ciri dan kualitas produk yang bersangkutan masih ada.

8. Pasal 57 menegaskan bahwa pemegang hak IG dapat mengajukan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket IG yang digunakan secara tanpa hak.

9. Pasal 58 menegaskan ketentuan tentang penetapan sementara sebagai dimaksud dalam BAB XII Undang-Undang Merek.

10. Pasal 59 dan 60 mengatur tentang indikasi asal.

Banyak spesifikasi mengenai IG maka sesuai ketentuan Pasal 56 ayat (3) angka 9 dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran IG akan diatur oleh Peraturan Pemerintah dalam hal ini PPIG 51/2007.


(54)

2. Indikasi Geografis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis

Sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan nasional, Peraturan Pemerintah berkedudukan dibawah Undang-Undang dan merupakan kewenangan penuh dari Presiden.44 Sejak tahun 2003, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Prosedur Pendaftaran IG telah disusun oleh Dirjen HKI, kemudian pada tanggal 4 September 2007 di sahkan menjadi PPIG 51/2007, dan sebagai dasar pertimbangannya adalah ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Peraturan Pemerintah tentang IG ini mengatur lebih lanjut mengenai subjek, objek dan prosedur pendaftaran IG.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG mengatur: I. Ketentuan Umum IG;

II. Lingkup IG;

III. IG yang Tidak Terdaftar; IV. Jangka Waktu Perlindungan IG; V. Tata Cara Pendaftaran;

Menurut PPIG 51/2007 tata cara pendaftaran IG terdiri dari delapan tahap, yaitu :

1. Tahap Pertama : Mengajukan Permohonan; 2. Tahap Kedua : Pemeriksaan Administratif; 3. Tahap Ketiga : Pemeriksaan Substansi; 4. Tahap Keempat : Pengumuman;

44

Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendaftaran IG, tidak saja memberi pengakuan dan perlindungan hukum terhadap kepemilikan hak eksklusif, tetapi di sisi lain memberikan jaminan bahwa semua produk barang yang telah dilindungi dengan IG atau tanda asal barang, lebih dipercaya konsumen baik di tingkat lokal maupun di tingkat perdagangan internasional. Perlindungan IG dapat memacu perekonomian masyarakat, melestarikan sumber hayati, melindungi pengetahuan tradisional masyarakat, dan pengembangan pariwisata. Perlindungan Hukum terhadap kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG di Kabupaten Tulang Bawang maupun Provinsi Lampung belum dilakukan secara optimal. Hal ini didasarkan dengan belum adanya aturan atau Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan kerajinan kain Maduaro, sedangkan untuk mendapatkan sertifikat IG haruslah melalui proses pendaftaran sehingga mendapatkan perlindungan hukum.

2. Upaya yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah dan masyarakat Tulang Bawang dalam melindungi Kain Maduaro sebagai potensi IG adalah (a)


(2)

114

mendaftarkan IG tersebut ke Direktorat Merek, Direktorat Jenderal HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (b) menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang produk-produk yang masuk dalam kategori IG daerah tersebut, (c) wariskan kemampuan/pengetahuan berbasis IG ini hanya pada anggota masyarakat yang masih berdomisili di daerah tersebut, (d) jaga kelestarian alam dan lingkungan yang mempengaruhi keberlanjutan ciri maupun kualitas kekhasan tersebut, (e) bentuk kelembagaan yang diyakini mampu mengawasi kualitas dari ciri atau kekhasan tersebut, (f) pertahankan sedemikian rupa agar kekhasan tersebut tidak pudar/berkurang dengan membuat standar tertentu (mutu, corak, keharuman, dll), (g) buat perjanjian agar percetakan cap, label atau sertifikat tidak membuat lebih, atau menjual “tanda” tersebut hanya kepada pemegang hak IG, (h) buat jaringan pemasaran khusus, selain membangun “citra”, juga menjadi pengawas dari kemungkinan pembajakan produk/barang, (i) adopsi teknologi kemasan modern agar ciri maupun kualitas kekhasan yang ber”tanda” tersebut mempunyai life cycle yang lebih baik/panjang, dan (j) beri sentuhan tertentu agar produk semakin menarik, namun jangan menghilangkan ciri maupun kekhasannya.

B. Saran

1. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang dalam rangka menggali manfaat dari nilai ekonomis hak IG kerajinan kain Maduaro hendaknya membentuk lembaga yang mewakili masyarakat pengrajin kerajinan kain Maduaro sebagai pemegang hak IG kerajinan kain Maduaro. Untuk keperluan itu, Kepala Daerah Kabupaten Tulang Bawang perlu


(3)

115

mengeluarkan keputusan pembentukan lembaga dimaksud. Kebijakan lanjutan berkaitan dengan pembentukan lembaga pemegang hak IG kerajinan kain Maduaro, dalam bentuk memfasilitasi pendaftaran IG yang dapat dilaksanakan ke instansi yang terkait, yaitu Direktorat Jenderal HKI dengan memperhatikan sistem pendaftaran IG yaitu first to file/sistem konstitutif. 2. Perda yang harus disusun untuk menjamin rasa keadilan semua pihak terkait

dalam pemanfaatan hak ekonomi IG kerajinan kain Maduaro adalah Perda mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah Kabupaten dan Desa. Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Tulang Bawang wajib berperan aktif untuk menginventarisasi produk potensi IG yang ada di wilayah Tulang Bawang sehingga Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat mengetahui barang-barang atau benda-benda apa saja yang dapat di daftarkan sebagai IG dan/atau rezim HKI yang lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Ayu, Miranda Risang. 2006. Membicarakan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, Bandung : Alumni.

Bintang, Sanusi dan Dahlan, 2000. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti.

Hilman, H. dan Romadoni, A. 2001. Pengelolaan dan Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual, The British Council- DFID-ITB, Jakarta.

Indrati.S., Maria Farida,. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius.

Jumhana, M. 2006. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Lindsey, Tim ed. 2005. Hak kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, cet. 4. Bandung: PT. Alumni.

M. Hadjon, Philipus. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.

Margono, S.. dan Angkasa, A. 2002. Komersialisasi Aset Intelektual: Aspek Hukum Bisnis, Grasindo, Jakarta.

Muhammad Abdulkadir.. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Cet. Ke-1, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 1994. Hukum Harta Kekayaan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

---, 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.

OK. Saidin, H. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Purba, Afrillyanna. 2009. Hukum HKI Indonesia: Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta , Rineka Cipta, Jakarta.


(5)

---. 2009. Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Bandung: Alumni.

Puspawidjaja, Rizani. 2006. Hakum Adat Dalam Tebaran Pemikiran. Lampung: Univesitas Lampung.

Raharjo, Satjipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Bandung : Alumni.

---. 2000. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudarmanto. 2005. “Produk Kategori Indikasi Gopgrafis Potensi Kekayaan

Intelektual Masyarakat Indonesia”. Depok: Lembaga Pengkajian

Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Suhardo, Etty S. 2003. Implikasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Bagi Pengguna Hak Cipta, Undip, Semarang.

Sutedi, Adrian. 2009. “Hak Atas Kekayaan Intelektual”. Jakarta: Sinar Grafika Syafrinaldi. 2010. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam

Menghadapi Era Globalisasi, Jakarta: UI Press.

Utomo, Tomi Suryo. 2010. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu.

B. Karya Ilmiah, Makalah, Artikel, Media Massa

Sasongko, Wahyu. 2010. Ringkasan Desertasi Indikasi Geografis Setudi Tentang Kesiapan Indonesia Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Produk Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia.

Citrawinda, Cita. “Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia”, makalah disampaikan pada “Seminar HKI dan Penegakan Hukumnya” yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Perancis bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property Society/IIPS), pada tanggal 19-20 September 2001, di Hotel Sofitel Gran Mahakam, Jakarta.

Komar, Mieke dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya


(6)

Menghargai HKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITB-Ditjen HCPM Dep. KeHKIman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998.

C. Website

http://id.wikipedia.org/wiki/suku-Lampung

Direktorat Jenderal Hak Keakayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Indikasi Geografis

D. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.