Pendidikan nilai dan pengajaran bermutu: Dua sisi mata uang pembelajaran

dikembangkan oleh Nuci, dan peneliti lainnya. Walaupun dinamakan skala sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula mencakup minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri dan nilai. Cara mengevaluasi capaian belajar dalam ranah afektif dapat dilakukan dengan mengukur afek atau perasaan seseorang secara tidak langsung, yaitu dengan menafsirkan ada atau tidaknya afek positif atau negatif yang muncul dan intensitas kemunculan afek dari tindakan atau pendapat seseorang. Di antara skala pengukuran yang ada, skala Likert paling banyak digunakan, sebab relatif lebih mudah pengembangannya dan dapat memiliki reliabilitas yang tinggi. Skala Likert telah diadaptasi dengan sukses untuk mengukur berbagai karakteristik afektif. c. Evaluasi perilaku Perilaku moral sangat sulit untuk dievaluasi. Perilaku moral hanya mungkin dievaluasi secara akurat dengan melakukan observasi pengamatan dalam jangka waktu yang relatif lama dan secara terus-menerus. Dari pengamatan tersebut dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati telah menunjukkan watak atau kualitas akhlak yang akan dievaluasi. Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil, memiliki komitmen, beretos kerja, tanggung jawab, dan sebagainya. Pengamat harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah Darmiyati, 2009: 55.

4. Pendidikan nilai dan pengajaran bermutu: Dua sisi mata uang pembelajaran

Terry Lovat 2009: 1 mengatakan bahwa penelitian pendidikan akhir-akhir ini telah menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian terdahulu mengenai 17 keterbatasan peran guru dan sekolah untuk melakukan perubahan yang efektif terhadap prestasi siswa. Penelitian terdahulu cenderung menempatkan pengajaran dan persekolahan hanya sedikit berperan peran marginal dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh rumah dan latar belakang subjek didik. Lovat mencontohkan hasil-hasil penelitian terdahulu seperti penelitian Talcott Parsons 1955 yang menyimpulkan bahwa keluargalah yang menghasilkan kepribadian manusia, Christopher Jencks 1972 menyimpulkan bahwa karakter dari luaran output sebuah sekolah sangat tergantung pada masukan input tunggal, yaitu karakteristik dari anak-anak yang masuk. Diperkirakan hasil penelitian yang sangat berpengaruh dan terkenal dalam menyetujui keyakinan ini adalah Plowden Report Central Advisory Council 1967 di Inggris yang menunjukkan betapa sulitnya anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung untuk meraih keberhasilan di sekolah. Siapapun yang telah mengajar di sekolah akan menggaungkan penemuan-penemuan tersebut. Masalahnya, Parson, Jencks dan Plowden tidak dapat menjawab pertanyaan berikut: “Mengapa hal itu dapat terjadi?” “Dapatkah diadakan rezim pengajaran yang dapat membuat perubahan secara cerdas?” “Adakah pedagogi lain yang dapat mengubah semua ini?”. Lovat mengatakan bahwa banyak dari para ahli memandang dengan pesimis mengenai kapasitas dari agen sosial pengajaran dan persekolahan. Akibatnya, generasi guru sampai pada keyakinan bahwa hanya ada sedikit manfaat dalam usaha yang mungkin dapat dilakukan, sehingga peran sekolah terbatas hanya untuk memberikan kesempatan pada subjek didik yang telah siap belajar 18 sambil meminimalkan kerusakan bagi subjek didik yang hanya mempunyai sedikit kesempatan. Lebih jauh lagi Lovat 2009: 1- 2 mengatakan bahwa: Furthermore, if school could have such limited impact even on the easily measurable learning related to cognitive development, what hope could they have of dealing with the less easily measurable dimensions of personal, social and moral development? In other words, the only sensible stance for teachers and school to take on the issue of values was one of values-neutrality. This belief was most apparent in the public regime but was not altogether absent in the average private and religious school. Worldwide, these beliefs are now being re-evaluated. Internationally, one finds huge efforts devoted to matters of civics, citizenship, character education, ethics of persistent and debilitating problems of age-old conflicts, racism, AIDS and new terrorisms inspired by the most explicit of values-based beliefs. Dari kutipan tersebut dapat diketahui pemikiran Lovat mengenai peran sekolah secara luas terkait dengan pendidikan nilaimoral. Jika sekolah hanya berdampak sedikit bahkan hanya pada pembelajaran yang mudah diukur keberhasilannya terkait perkembangan kognitif, maka apa yang dapat diharapkan dari dimensi yang sulit diukur semisal perkembangan personal, sosial dan moral subjek didik? Dengan kata lain, para guru dan pihak sekolah hanya bersikap netral dalam masalah-masalah nilai di sekolah. Keyakinan ini tampak sekali di sekolah-sekolah negeri, tetapi tidak demikian halnya untuk sekolah swasta dan sekolah-sekolah agama. Keyakinan yang disebutkan di atas, sekarang ini sedang dievaluasi kembali. Secara internasional, ada usaha besar untuk mewujudkan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan kewargaan, pendidikan karakter, etika dan pendidikan nilai sebagai perjuangan kemasyarakatan untuk menemukan cara-cara baru menghadapi masalah-masalah konflik rasisme, AIDS dan terorisme baru yang diilhami oleh keyakinan berbasis nilai-nilai yang sangat jelas. 19 Contoh yang sangat terkenal dalam penilaian kembali ini adalah UNESCO mensponsori sebuah program internasional Pendidikan Nilai yang dijalankan di 84 negara dan pada tahun 2005 telah dilakukan evaluasi program di lima benua. Usaha UNESCO tersebut dilakukan berdasarkan penelitian pada pertengahan tahun 1990an yang hasilnya kontradiktif dengan penemuan penelitian Parson, Jencks dan Plowden. Beberapa tokoh kunci dalam penelitian terbaru ini adalah orang Amerika: Fred Newmann 1996, Linda Darling-Hammond 1997, 2000, Linda Darling-Hammond dan Youngs 2002. Penelitian Newmann dipusatkan pada efek-efek dari ‘dinamika pedagogik” dalam mempengaruhi prestasi belajar subjek didik. Dinamika yang dimaksud adalah sebuah gabungan mulai dari ketrampilan teknis sebagai bagian dari ketrampilan guru-guru sampai pada sifat-sifat yang lebih dalam seperti “koherensi sekolah” dan penciptaan “lingkungan yang mendukung dan dapat dipercaya” Lovat, 2009: 2. Darling-Hammond melakukan penelitian dengan keyakinan untuk menunjukkan kekuatan pedagogi dalam membuat perubahan terhadap potensi subjek didik, termasuk di dalamnya kapasitas untuk mengatasi kekurangan subjek didik yang berasal dari latar belakang keluarga, bahkan ketidakmampuan subjek didik dalam hal- hal tertentu. Darling-Hammond menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara pengajaran yang disebutnya sebagai “Pengajaran Bermutu” Quality Teaching dan pengajaran yang biasa yang disebut sebagai “pengajaran tidak efektif”. Baik penelitian Newman maupun Darling-Hammond, keduanya menegaskan bahwa Pengajaran Bermutu meliputi kompetensi teknis guru di sekitar masalah- masalah materi pembelajaran dan strategi pembelajaran, tetapi yang lebih penting 20 adalah tentang guru-guru itu sendiri juga kapasitas sekolah secara menyeluruh untuk membangun hubungan positif dan memberikan keteladanancontoh yang positif. Inilah petunjuk penting berkaitan dengan peran yang dapat dilakukan oleh Pendidikan Nilai Values Education. The Carnegie Corporation’s Task Force on Learning pada tahun 1996 Lovat, 2009: 3 menunjukkan titik tolak yang menentukan dalam perkembangan pemikiran tentang pengajaran bermutu. Penelitian ini menantang hasil penelitian terdahulu mengenai kekuatan guru-guru dan persekolahan dalam perubahan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan bahwa salah satu masalah yang harus diatasi adalah usaha reformasi sekolah, karena selama ini telah tertanam keyakinan bahwa perbedaan dalam kinerja sekolah terutama merupakan hasil dari perbedaan kemampuan siswa untuk dapat belajar atau tidak. Lovet menyebut guru-guru yang berkualitas sebagai “especially teachers” untuk menunjukkan optimisme bahwa tanpa melihat pada konteks sekolah, tetap ada guru-guru yang merasa bahwa perannya mulia. Tanggung jawab akhir untuk keberhasilan siswa terletak pada sekolah dan terutama pada guru-guru yang dapat melakukan perubahan. Tanpa mengesampingkan perkembangan intelektualitas sebagai sasaran mendasar dari pengajaran dan persekolahan, penelitian Carnegie Corporation menyatakan secara jelas bahwa pembelajaran yang luas dihubungkan dengan keahlian komunikasi, empati, refleksi dan manajemen diri. Pengertian “kedalaman intelektual” begitu sentral bagi kelompok “pengajaran nilai”, dari awal ditentukan bukan bersifat instrumental, sederhana dan sempit, tetapi dalam pengertian yang seluas mungkin dikonotasikan dengan kompetensi interpretasi, 21 komunikasi, negosiasi dan refleksi, dengan fokus pada manajemen diri. Jadi, pekerjaan guru mengatasi bentuk-bentuk pekerjaan yang selama ini dikenal sebagai jenis-jenis prestasi yang sangat mudah diukur dengan tes yang terstandar atau obeservasi sederhana, lebih jauh lagi adalah bagaimana guru dapat membuat subjek didiknya belajar secara layak untuk mencapai “kapasitas komunikatif” dan “refleksi diri”. Jelaslah, bahwa hasil pembelajaran tidak dengan mudah direduksi ke dalam bentuk pengukuran yang bersifat intrumentalistik, tetapi lebih dari itu hasil belajar akan sampai pada tujuan Pendidikan Nilai. Petunjuk awal tentang Pendidikan Nilai seperti pengertian “kapasitas komunikatif” memiliki potensi yang besar untuk menyampaikan sikap dan perilaku yang diperlukan bagi keberhasilan kesadaran sosial yang lebih tinggi, di samping “refleksi diri” atau “melihat ke dalam diri” yang juga memiliki potensi yang sama sebagai alat penting dalam pengembangan moralitas personal yang benar-benar terintegrasi. Ringkasnya, Pengajaran Bermutu bukan sekedar pembelajaran di permukaan yang bersifat faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa lalu, tetapi pembelajaran dalam arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan pribadi keseluruhan dalam aspek kognisi, kematangan sosial dan emosional, juga pengetahuan diri sendiri. Pengajaran bermutu telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam mengusahakan Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila dipahami secara 22 benar dan komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi untuk menggantikan dan melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu Lovet, 2009: 4. Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa sekarang telah menjadi bagian penting dalam pendidikan nilai. Pengajaran nilai mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilai-nilai yang bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam diri peserta didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri, kesadaran sosial, dan kematangan emosional yang bersifat integratif.

5. Modeling dan pengajaran bermutu