Teori al Jarh} wa al Ta`dil

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id f Al Jarh} yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan وادع نع ئشانلا ر لا هب دتعي ا ةيويند B. Teori Keh}ujjahan Hadis 1. Keh}ujjahan Hadis S{ah}ih} Para ulama sepakat bahwa hadis ah}ad yang s}ah}ih} dapat dijadikan h}ujjah untuk menetapkan syariat Islam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang keh}ujjahan hadis ini dalam bidang akidah. 43 Perbedaan pendapat itu berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faidah yang diperoleh dari hadis ah}ad yang s}ah}ih}, apakah hadis itu memberikan faidah yang qat}`i atau z}anni. Ulama yang menganggap hadis semacam ini memberi faidah qat}`i sebagaimana hadis mutawatir, maka hadis tersebut dapat dijadikan h}ujjah dalam bidang akidah, sebagaimana dinyatakan al Nawawi bahwa hadis-hadis sahih riwayat al Bukhari dan al Muslim berstatus qat}`i. Sedangkan, ulama yang menganggap hadis semacam ini hanya memberi faidah z}anni, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan h}ujjah dalam bidang akidah. 44 Ada juga ulama lain seperti Ibn H{azm yang memandang bahwa semua hadis s}ah}ih} berstatus qat}`i tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama tersebut atau bukan. Menurut ibn H}azm, tidak ada 43 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, cetakan pertama Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996, 166. 44 Ibid., digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat ke s}ah}ih}an, maka dapat dijadikan h}ujjah. 45 2. Keh}ujjahan Hadis H{asan Sebagaimana hadis s}ah}ih}, menurut para ulama hadis bahwa hadis h}asan – baik h}asan li dhatih atau h}asan li ghayrih- juga dapat dijadikan h}ujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka mengenai penempatan rutbah atau urutannya yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama yang tetap membedakan kualitas ke h}ujjahan, baik antara s}ah}ih} li dhatih dengan s}ah}ih} li ghayrih dan h}asan li dhatih dengan h}asan li ghayrih, maupun antara hadis s}ah}ih} dengan hadis h}asan sendiri. Tetapi ada juga ulama yang memasukkannya ke dalam satu kelompok tanpa membedakannya, yakni hadis s}ah}ih}. Pendapat ini dianut oleh al Hakim, Ibn H}ibban, dan Ibn H}uzaymah. 46 3. Keh}ujjahan Hadis D{a`if Kalau untuk hadis h}asan dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai h}ujjah, maka untuk hadis d}a`if, sebagai tingkat terakhir dari tiga kualitas hadis, pada umumnya ulama menolak sebagai h}ujjah. Pendapat yang secara tegas menolak hadis da`if, selain 45 Idri, Studi Hadis, 175. 46 Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 173-174. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Yah}ya bin Ma`in dan al Bukhari adalah `Ali bin H{azm dan Abu Bakar bin ` Arabi. 47 Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya ber h}ujjah dengan hadis jenis ini 48 : a Menurut Yah}ya bin Ma`in, Abu Bakar bin `Arabi, al Bukhari, Muslim, dan Ibn H{azm bahwa hadis d}a`if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fad}a’il `amal maupun hukum. b Abu Dawud dan Ah}mad bin H{anbal berpendapat bahwa hadis d}a`if dapat diamalkan secara mutlak c Menurut Ibn H{ajar al `Asqalani hadis d}a`if dapat dijadikan h}ujjah dalam masalah fad}a’il `amal, mawa’iz}, al targhib wa al tarhib, dengan beberapa syarat. 4. Keh}ujjahan Hadis Fad}a’il `Amal Sebagian ulama menyatakan bahwa `Abd al Lah bin al Mubarak, `Abd al Rah}man bin al Mahdi, dan Ah}mad bin H{anbal menerima hadis sebagai h}ujjah untuk fad}a’il `amal keutamaan amal, dengan beberapa syarat sebagai berikut 49 : 47 Ismail, Hadis Nabi, 89. 48 Idri, Studi Hadis, 245. 49 Ismail, Hadis Nabi, 89. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id a Isinya berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan, dan yang sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat al- Qur’an, hukum halal-haram, dan semacamnya b Ke-d}a`if-annya tidak parah c Ada dalil lain yang kuat atau memenuhi syarat yang menjadi dasar pokok bagi hadis d}a`if yang bersangkutan d Niat pengamalannya tidak berdasarkan atas hadis d}a`if itu, tetapi atas dasar kehati-hatian.

C. Kaidah Pemaknaan Hadis

Yusuf al Qarad{awi menetapkan beberapa acuan untuk memahami sunnah dengan baik, yaitu: 1. Memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Hal ini dilakukan agar pemahaman terhadap hadis terhindar dari penyimpangan, pemalsuan, serta takwil yang buruk. 50 2. Menghimpun hadis yang topik pembahasannya sama. Hal ini dilakukan agar hal-hal yang syubhat dapat dijelaskan dengan hal-hal yang muh}kam, hal-hal yang mutlak dapat dibatasi dengan hal yang muqayyad terikat, dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan dengan hal-hal yang 50 Yusuf al Qarad{awi, Studi Kritis al Sunnah, terj. Bahrun Abubar Bandung: Trigenda Karya, t.th., 96. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id bermakna khusus sehingga makna yang dimaksud oleh subjek tersebut menjadi jelas dan tidak bertentangan. 51 3. Memadukan atau mentarjih{ hadis-hadis yang bertentangan. 4. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya. Hal ini dilakukan agar makna hadis itu dapat terbaca dengan teliti dan pemahaman terhadapnya tidak kacau atau tidak terarah. 52 5. Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuannya yang bersifat tetap dari setiap hadis. 6. Membedakan makna h{aqiqi dan makna majazi dalam memahami sunnah 7. Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata 8. Memastikan makna redaksi yang digunakan oleh hadis. Hal ini dilakukan karena penunjukan makna lafadz berubah-ubah dari suatu masa ke masa dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lain. 53 Muh Zuhri dalam bukunya Telaah Matan Hadis, menetapkan beberapa pendekatan untuk memahami hadis Nabi. Diantaranya adalah: 1. Pendekatan kebahasaan Penelitian bahasa ini tertuju pada beberapa objek. Diantaranya 54 : 51 Ibid., 114. 52 Ibid., 144. 53 Ibid., 218. 54 Bustamin dan M. Isa H. A., Metodologi Kritik Hadis, cetakan pertama Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, 76. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id a Struktur bahasa, yakni apakah bahasa dalam matan tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak b Redaksi matan tersebut apakah merupakan bahasa yang lumrah digunakan pada masa Nabi atau merupakan bahasa baru yang dipergunakan dalam literatur Arab modern c Matan hadis tersebut apakah menggunakan bahasa kenabian atau tidak d Makna redaksi matan tersebut, yakni apakah makna redaksi tersebut ketika diucapkan oleh Nabi dan ketika dipahami oleh pembaca itu sama atau tidak maksudnya Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara. Diantaranya 55 : a Mengatasi kata-kata sukar dengan asumsi riwayat bi al ma`na Periwayatan hadis secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharrij telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar belakang budaya dan kecerdasan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata. 55 Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, cetakan pertama Yogyakarta: Lesfi, 2003, 54. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Mayoritas ulama berpendapat bahwa muhaddith boleh meriwayatkan hadis dengan makna saja, tidak dengan lafadznya, bila ia memahami bahasa Arab dan segala seluk beluknya, mengerti makna-makna dan kandungannya, serta memahami kata yang bisa berubah makna dan tidak berubah maknanya. Karena dengan memenuhi beberapa syarat tersebut, seseorang bisa menghindari perubahan-perubahan makna dan pergeseran makna. Akan tetapi, bila seorang perawi hadis tidak mengerti dan memahami kata-kata yang bisa merubah makna, maka perawi tersebut tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis dengan makna. Dengan demikian, hanya bagi orang-orang yang memahami dan mengerti benar kata-kata yang bisa merubah dan tidak merubah maknanya saja yang diperbolehkan meriwayatkan hadis dengan makna. 56 b Memahami kalimat Setelah tidak ada kata-kata sukar, sebuah hadis tidak otomatis dipahami secara langsung. Selanjutnya akan dibahas tentang bagaimana memahami kalimat. Kemana arah informasi ditujukan, apakah informasi itu masih berlaku, sebuah perintah berlaku umum atau untuk kelompok tertentu, situasi tertentu, dan seterusnya adalah sederetan pertanyaan yang mengantarkan kepada pemahaman kalimat 56 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, cetakan pertama Malang: UIN-Maliki Press, 2010, 81.