Hadis tentang Bulan Safar ; Pemahaman Hadis dalam Sunan Ibnu Majah Nomor Indeks 3539.

(1)

HADIS TENTANG BULAN

S{AFAR

(Pemahaman

Hadis

dalam Sunan Ibnu

Ma>jah

Nomor Indeks 3539).

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh : ELOK FAIQOH NIM: E03211052

JURUSAN AL-

QUR’AN DAN

HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Elok Faiqoh, 2015, Amalan Bulan Safar (Studi Pemahaman Hadis dalam Kitab Ibnu Ma>jah Nomor Indeks 3539). Skripsi jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya

Sebuah permasalahan dalam penelitian yang berangkat dari kegelisahan penulis yang mana berasal dari tradisi masyarakat hingga sekarang. Penulis sering melihat tradisi orang jawa ketika menjelang bulan Safar (Rabo Wekasan) mereka melakukan ritual agama seperti halnya salat talak balak, memberikan sesajen kepada makhluk astral dll, dibalik semua ini bulan Safar (Rabo Wekasan) telah diyakini oleh sebagian orang jawa yang menganggap bahwa bulan ini Allah menurunkan balak atau pada bulan ini adalah bulan yang penuh kesialan. Dari kejadian tersebut penulis tergugah ingin mencari suatu permasalahan yang kian membumi dalam menyakini hal tersebut.

Setelah melakukan pencarian, akhirnya ditemukan hadis yang berkaitan dengan amalan bulan Safar, dan ini menggunakan pemahaman hadis supaya masyarakat bisa memahami apa yang dimaksudkan dengan Rebo Wekasan yang terdapat di akhir bulan Safar.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas hadis dalam Kitab Sunan Ibnu Ma>jah Nomor Indeks 3539, dan serta menjelaskan pemahaman hadis tentang Rebo Wekasan yang terjadi di akhir bulan Safar.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dalam menjawab penelitian tersebut di lakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh dari kitab hadis Sembilan yang standar terutama Kitab Sunan Ibnu Ma>jah. Kemudian dilakukan analisa dengan melakukan takhri>j terhadap hadis yang diteliti, melakukan kritik sanad maupun matan terhadap hadis yang diteliti.

Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa untuk meluruskan pemahaman masyarakat yang menganggap bahwa Rebo Wekasan yang terletak pada bulan akhir Safar tidak menganggap adanya kesialan atau terjadi balak pada bulan tersebut, karena hal itu termasuk perbuatan bid‟ah dan bukan amalan dari Rasul. Oleh karena itu dilakukan penelitian pemahaman hadis dalam bulan Safar ini.

Kesimpulan dari penelitian hadis ini adalah hadis dalam kitab Sunan Ibnu Maja>h nomor indeks 3539 berkualitas sahih li ghairihi dan maqbul ma’mulun bih, sehingga bisa dijadikan hujjah. Makna bulan Safar dari beberapa pengertian adalah bulan yang sama dengan bulan-bulan lainya, dan tidak dikatakan bulan yang penuh kesialan, karena sesungguhnya Allah SWT, menurunkan balak pada bulan-bulan yang lain, bukan pada bulan Safar saja.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

E. Telaah Pustaka ... 9


(7)

G. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II KAIDAH KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS A. Kaidah Kes}ah{ihan Hadis ... 15

B. Teori Al-Jarh wa Al-Ta‘di>l ... 24

C. Teori Pemaknaan Hadis ... 29

BAB III IBNU MA<JAH DAN KITAB SUNANNYA A. Biografi Ibnu Ma>jah ... 30

B. Kitab Sunan Ibnu Ma>jah ... 33

C. Data Hadis dan Skema Sanad ... 37

D. I‟tibar dan Skema Sanad Keseluruhan... 73

BAB IV ANALISA HADIS TENTANG BULAN SAFAR DALAM KITAB SUNAN IBNU MA>JAH A.1. Analisa Kualitas Sanad ... 75

2. Analisa Kualitas Matan ... 79

B.Kandungan Matan Hadis ... 84

a. Makna Hadis ... 84

b. Pengertian Bulan Safar ... 84

c. Keyakinan Seputar Bulan Safar ... 86

d. Amalan-amalan Bulan Safar ... 90

C.Analisa Kehujjahan Hadis ... 94


(8)

A. Kesimpulan ... 95 B. Saran-saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98

KARTU KONSULTASI SKRIPSI


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis merupakan pernyataan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, sesungguhnya telah ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadis Nabi, tetapi jumlah mereka tidak banyak, juga materi (matan) hadis yang mereka catat masih terbatas. Keadaan ini disebabkan selain karena jumlah mereka yang pandai menulis belum begitu banyak, dan juga dikarenakan perhatian mereka lebih tertuju kepada Alquran, sebab Alquran pada masa Nabi masih belum dibukukan dalam bentuk mushaf.1

Sebelum Nabi menghimpunkan dalam kitab-kitab hadis secara resmi dan missal, hadis Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini memang sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal sangat kuat bidang hafalannya.Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa pada saat itu kegiatan pencatatan hadis tidak ada. Kalangan ulama‟ pada masa itu cukup banyak yang membuat catatan hadis, tetapi kegiatan pencatatan selain masih dimaksudkan untuk kepentingan pribadi para pencatatnya, juga belum bersifat masal.2 Maka dari itu dari kalangan ulama‟ sangat berhati-hati dalam memilah hadis, berbagai cara apapun mereka tempuh untuk mencari kebenaran dan kevalidan hadis yang langsung dari Nabi SAW.

1

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 4.

2


(10)

2

Dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut, ulama‟ hadis mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat hadis. Masa hidup para penghimpun itu ada yang sezaman dan adapula yang tidak sezaman, bentuk susunan dan metode penelitian yang mereka gunakan untuk menghimpunkan hadis berdasarkan hasil ijtihad mereka masing-masing. Dengan demikian tidaklah seluruh hadis terhimpun dalam satu kitab, sebab lainnya lagi sehingga tidak seluruh hadis terhimpun dalam suatu kitab tertentu ialah karena mungkin ada suatu riwayat hadis yang tidak sampai kepada seorang penghimpun tertentu, atau mungkin riwayat hadis itu sampai juga kepadanya namun menurut hasil penelitiannya riwayat dimaksud tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkannya.3

Adapun langkah-langkah yang diambil untuk memelihara hadis adalah membukukan hadis dan memisahkan hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in, atau memisahkan yang sahih dari yang da‟if, mereka memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdi>th, ushul-ushulnya, syarat menerima riwayat, syarat menolaknya sahih dan da‟if, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadis–hadis mawd}u>’. Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang sahih, dan da‟if. Langkah kedua yaitu mengisnadkan hadis, para tabi‟in dengan tidak tertegun menerima hadis yang diriwayatkan kepadanya oleh seseorang s}ahabi>. Demikianlah keadaan berjalan sehingga timbul fitnah yang digerakkan seorang Yahudi yang bermaksud jahat kepada agama

3


(11)

3

Islam, mereka bangkit menggerakkan umat untuk menganut faham tasha>iyu’ (faham memihak kepada Ali dan mempertahankan kekhilafan ditangan Ali dan keturunannya). Berkenan dengan itu, timbullah persimpangan dalam hadis.4

Langkah selanjutnya yaitu memeriksa benar tidaknya hadis yang diterima pada ahli, seseorang yang menerima hadis, berusaha pergi bertanya pada sahabat,

tabi‟in dan imam-imam hadis dengan inayat Allah juga, banyak sahabat yang

hidup lama, tetapi juga ada yang timbul kedustaan dalam urusan hadis, seseorang yang menerima hadis pergi kepada para sahabat untuk menanya hadis yang diterimannya. Untuk memenuhi maksud ini banyaklah para tabi‟in membuat perlawatan, bahkan sebagian sahabatpun membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadis-hadis dari orang kepercayaan.5 Kemudian langkah kelima dan terakhir yaitu mengritik perawi dan menerangkan keadaan keadaan mereka, tentang kebenarannya ataupun kedustaannya, dan membuat undang-undang umum bagi derajat-derajat hadis untuk membeda-bedakannya. Setiap wahyu yang turun disampaikan dan dijelaskan Nabi kepada para sahabat kemudian dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada suatu problem ditengah-tengah mereka, Nabi putuskan dengan Alquran atau dengan ijtihad jika tidak didapatinya atau kadang-kadang menunggu datangnya wahyu, turunya wahyu disini adakalanya untuk membenarkan ijtihad atau meluruskannya, jika ijtihad beliau kurang tepat.6

Manfaat terpenting yang dapat dipetik kaum Muslimin dari hasil

perjuangan Ulama‟ diantaranya: terlembaganya hadis, tersusunya ilmu Mus{thala

4

M. Hasbi Ash-Sh}iddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), 95-96.

5

Ibid., 98-99. 6

Abdul Ma>jid Kh>on, Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu H{adis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 35.


(12)

4

al-h{adi>th, terbinanya ilmu Jarh{ Wa Ta’di>l dan terumuskannya ilmu-ilmu lain

dalam bidang hadis.7 Tidak terdapat perbedaan pemaknaan suatu kalimat antara Alquran dan as-Sunnah. Yang menjadi titik pokok pemahaman dalam pembelajaran agar seseorang bisa mengamalkan dengan baik apa yang terkandung dalam suatu hadis adalah pemaknaan hadis. Maka dibutuhkan pemaknaan hadis, karena kegiatan pemaknaan hadis oleh para pengkaji hadis terus berlanjut sampai sekarang dengan senantiasa diiringi nuansa keberagamannya, karena pada kenyataannya teks agama ini memang multiinterpretable.8 Seperti halnya sabda Nabi SAW dalam kitab Sunan Ibnu Ma>jah tentang pemaknaan bulan S{afar yang

diriwayatkan oleh Ibnu „Abba>s:

َح :َلاَق َةَبْيَش َِِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اَنَ ثَدَح

ٍساَبَع ِنْبا ِنَع ،َةَمِرْكِع ْنَع ،ٍكاَِِ ْنَع ،ِصَوْحَْْا وُبَأ اَنَ ثَد

:َمَلَسَو ِهْيَلَع ُها ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق

«

َرَفَص َََو ،َةَماَ َََو ،َةَرَ يِط َََو ،ىَوْدَع ََ

»

Menceritakan kepada kami Abu> Bakar bin Abi> Shaybah berkata: Menceritakan kepada kami Abu>Ah{was{, dari Sima>k, dari „Ikrimah, dari Ibnu „Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada penyakit yang menular, tidak ada (keyakinan bahwa) tulang orang yang mati itu akan menjadi burung, dan tidak ada bulan S{afar (bulan sial).9

Dalam pemaknaan hadis tersebut bulan Safar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya. Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Tasa>’um (anggapan sial)

7

Ibid., 166. 8

M. Syuhudi Isma>il, Pemahaman H{adis Nabi secara Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).

9

Hafiz{ Abi „Abbas Muhammad bin Yazi>d al-Qazwayni>, Sunan Ibnu Ma>jah Juz: II (Beirut: Da>r al-Khat}ab al-Ilmiyah, 1995), 1171.


(13)

5

ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Rebo Wekasan yang ada pada bulan Safar dianggap bahwa pada hari itu juga akan diturunkan balak, maka dari itu sebagian umat merayakan bulan Safar dengan beberapa ritual dan termasuk amalan-amalan yang gunanya untuk mencegah turunya balak, adapun amalan-amalan itu seperti, shalat sunnah mutlak, membaca ayat-ayat Alquran pada waktu malam hari dan berbagai macam ritual lain yang mereka percaya untuk mencegah adanya bencana yang menimpa. Hal ini perlu dipahami lagi bahwa bulan Safar bukanlah bulan yang penuh dengan sial, dan bulan ini seperti halnya bulan-bulan Allah yang sama dengan yang lainnya.10

Ungkapan hadis laa ‘adway atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah. Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiyar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam

kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit

didatangkan pada onta yang sehat”. Maksud hadis laa t{iya>arota atau tidak

diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena

10

http:// Islamhouse.com/2011 Pelajaran diBulan Safar ter: Syafar Abu Difa (Diakses pada 5 Nopember 2014)


(14)

6

hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu-waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadis di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.11

Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah. Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya, Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.12

11

http:// Islamhouse.com/2011 Pelajaran diBulan Safar ter: Syafar Abu Difa (Diakses pada 5 Nopember 2014).

12

http:// Islamhouse.com/2011 Pelajaran diBulan Safar ter: Syafar Abu Difa (Diakses pada 5 Nopember 2014).


(15)

7

Kepercayaan yang baik landasan pokok masyarakat Islam, tauhid inti daripada kepercayaan tersebut dan jiwa daripada Islam secara keseluruhannya. Oleh karena itu melindungi kepercayaan dan tauhid, adalah pertama-tama yang dilakukan oleh Islam dalam perundang-undang maupun dakwahnya.13 Begitu juga memberantas kepercayaan jahiliyah yang dikumandangkan oleh polythisme yang sesat itu, suatu perintah yang harus dikerjakan demi membersihkan masyarakat Islam dari noda-noda shirik dan sisa-sisa kesesatan.14

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat diketahui identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Kualitas hadis tentang bulan Safar dalam sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 3539.

2. Kehujjahan hadis tentang bulan Safar dalam sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 3539.

3. Pemaknaan hadis tentang bulan Safar dalam sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 3539.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kualitas hadis tentangbulan Safar dalam Sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 3539?

13

Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi>. H{alal dan H{aram dalam Islam ter: Muammal Hamidi> (Bangil: PT Bina Ilmu 1993), 326.

14


(16)

8

2. Bagaimana kehujjahan hadis tentang amalan bulan Safar dalam sunan Ibnu

Ma>jah nomor indeks 3539?

3. Bagaimana pemaknaan hadis tentang amalan bulan Safar dalam Sunan Ibnu

Ma>jah nomer indeks 3539?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian A. Tujuan Penelitian ini adalah:

A. Untuk mengkaji tingkat kualitas hadis tentang bulan Safar dalam Sunan Ibnu Ma>jah no indeks 3539.

B. Untuk mengetahui tingkat kehujjahan tentangbulan Safar dalam Sunan Ibnu Ma>jah nomer indeks 3539.

C. Untuk memahami pemaknaan tentang bulan Safar dalam Sunan Ibnu

Ma>jah nomer indeks 3539.

B. Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan kajian h{azanah pemahaman hadis di Indonesia. Penelitian ini juga memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban dalam pemahaman wacana keagamaan di Indonesia.

2. Dari segi praktis hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hasil penelitian diharapkan dapat diaplikasikan agar bulan Safar tidak ditradisikan seseorang dengan bulan yang penuh sial, dan mampu mengubah niat diri seseorang diarahkan ke arah yang lebih baik.


(17)

9

E. Telaah Pustaka

A. Skripsi yang berjudul, Slametan Rebo Wekasan Studi Tentang Masyarakat Islam Di Desa Sumberrejo Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, karya: Nurul Islamiyah, jurusan Aqidah Filsafat, tahun 2012. Skripsi ini merangkum kegiatan masyarakat yang merupakan ritual pada bulan akhir bulan Safar (Rebo Wekasan) untuk melindungi diri dari bala‟ yang dipercayai oleh masyarakat tersebut.

B. Skripsi yang berjudul, Studi Upacara Rebo Wekasan DiSendang Sumber Suci Desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik. Karya: Sri Wahyuni, Jurusan Perbandingan Agama, tahun, 2005. Skripsi ini membahas tentang upacara adat yang dilaksanakan pada akhir bulan Safar (Rebo Wekasan) yang dipercaya dari nenek moyang menganggap bahwa pada bulan tersebut masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, hal ini disebabkan pengaruhnya umat Islam dengan masyarakat tersebut yaitu sejak ajaran Hinduisme dan Budhisme yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan tetap dipertahankan sampai sekarang.

C. Skripsi tentang, Makna Tradisi Rebo Wekasan Menurut Masyarakat Desa Suci, Manyar, Gresik (Studi Teologi), karya: Sa‟adah, Jurusan Aqidah Filsafat, tahun, 2011. Skripsi ini membahas tentang asal usul dan tata cara pelaksanaan tradisi rebo wekasan serta dasar tujuan dan fungsi tradisi rebo wekasan.


(18)

10

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.15 Metode penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi:

1. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis, yang bermaksud mendeskripsikan pemaknaan hadis.

2. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non-empirik. Metode yang digunakan adalah metode library research (penelitian kepustakaan). Penelitian kepustakaan ini membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saajaa tanpa memerlukan riset lapangan.16Oleh karena itu sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari sumber tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang berhubungan dengan permasalahan peneletian ini.

3. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu sumber data yang berfungsi sebagai sumber utama penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah kitab hadis Sunan Ibnu Ma>jah, karya

Abu>„Abdillah bin Yazi>d ibnu Ma>jah dan Sumber data sekunder merupakan

15

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D)

(Bandung: Alfabeta, 2010), 3. 16

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 2.


(19)

11

data yang digunakan untuk melengkapi dan mendukung sumber data primer, yaitu referensi yang mempunyai hubungan dengan data primer. Data-data tersebut antara lain:

1) S{ahih al-Bukhari>, karya Imam al-Bukhari>.

2) S{ahih Musli>m, karya Abu> H{usain Musli>m ibn H{ajjaj Qushairi>

al-Naish>aburi.

3) Sunan Abu> Da>wu>d, karya Sulaiman Ibn al-‘Ash’as Ibn Ish{a>q Ibn Bashi>r

Ibn Shida>d Ibn Amr al-Azdi al-Sijista>ni>.

4) Sunan at-Tirmi>dhi>, karya al-H{afiz Abu>‘Isa Ibn Saur>ah Ibn Musa> Ibn al

-D{a>h{ak al-Sulami> al-Tirmid}hi>.

5) Tahdhi>b Tahdhi>b, karya Shi>ha>b Di>n Ah{mad Bin Ali Bin Hajar

al-Ashqa>lani>.

6) Tahdhi>b al-Ka>mal fi al-Asma>i al-Rija>l, karya Jama>l al-Din Abi> al-H{ajjaj

Yu>suf al-Mi>zzi>.

7) Studi H{adis, karya Dr. Idri, M.Ag.

8) Ikhtisar Mus{t{alah H{adith, karya Fatchur Rahman .

Selain literatur yang telah dipaparkan diatas, masih ada beberapa literatur lain yang menjadi sumber data sekunder selama literatur-literatur tersebut berkaitan dan sesuai dengan topik yang dibahas guna membantu memahami hadis

4. Langkah-langkah pengumpulan data

Dalam penelitian ini, digunakan metode pengumpulan data dengan dokumentasi.Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.


(20)

12

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang.17Metode ini digunakan dalam penelitian dengan menggunakan dokumen yang berupa tulisan dan karya-karya tentang hadis. Salah satu bentuk dokumentasi yang dilakukan dalam mengumpulkan hadis yang akan diteliti antara lain melalui:

1) Takhri>j al-h{adi>th

Takhri>jal-h{adi>th adalah penjelasan keberadaan sebuah hadis dalam

berbagai referensi hadis utama dan penjelasan otensitas serta validitasnya. Dengan kata lain takhri>j al-h{adi>th merupakan usaha menggali hadis dari sumber aslinya.

2) I’tiba>r al-sanad

I’tiba>r al-sanad adalah usaha untuk mencari dukungan hadis lain yang setema. Hadis yang setema dicari sanadnya dari jalur lain untuk mencari shawahi>d dan muttabi’. Fungsi muttabi’ dan shawahi>d adalah untuk memgangkat status hadis yang berasal dari sanad lain sebagai hadis utama yang diteliti.

5. Teknik analisis data

Teknik analisis data berarti cara menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Teknik tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad hadis adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui keadilan maupun kelemahan rawi serta mengetahui ketersambungan sanad hadis tersebut dalam penelitian sanad, digunakan

17


(21)

13

metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l alh{adi>th dan al-jarh} wa al-ta'dīl, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (Tah{ammu>l wa al-‘ada'). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam kesambungan.

Kritik matan hadis merupakan analisa terhadap isi hadistentang kualitas hadis tersebut. Penelitian atas kualitas matan dapat diuji dengan cara melihat tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit Alquran, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis lain yang bermutu sahih serta hal-hal yang diakui oleh masyarakat umum sebagai bagian integral ajaran Islam.


(22)

14

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai terdiri atas lima bab yaitu sebagai berikut:

Bab I pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab II landasan teori yang membahas tentang kaidah kesahihan dan pemaknaan hadis. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolak ukur dalam penelitian ini.

Bab III tinjauan redaksional hadis tentang bulan Safar, yang membahas biografi singkat Ibnu Ma>jah, kitab-kitab karya Ibnu Ma>jah, serta menampilkan hadis tentang bulan Safar yaitu meliputi: data hadis, skema sanad dan biografi singkat para perawi dan I’tiba>r.

Bab IV merupakan analisis pemaknaan hadis tentang bulan Safar, bab ini mencakup penelitian sanad dan matan serta pemaknaan hadis tentang mempercayai bulan Safar sebagai bulan sial.

Bab V penutup, bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang penulis sajikan dalam penelitian ini dalam bentuk pertanyaan dan bab ini juga berisi saran-saran yang konstruktif dari pembaca demi perbaikan penulisan pasca yang akan datang.


(23)

BAB II

KAIDAH KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

A. Kaidah Kesahihan Hadis

Untuk meneliti dan mengukur keabsahan suatu hadis diperlukan acuan standar yang dapat digunakan sebagai menilai kualitas hadis, acuan yang dipakai adalah kaidah keabsahan (kesahihan) hadis, jika yang diteliti ternyata bukan hadis mutawati>r.18

Sebagaimana yang sudah disebutkan bahwa hadis sahih adalah hadis yang sambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan d{abit serta tidak terdapat kejanggalan (shu>d{uz) dan cacat yang samar (‘illat). Maka suatu hadis dapat dinyatakan sahih apabila memenuhi persyaratan. Unsur-unsur kaidah kesahihan hadis sebagai berikut:

a. Sanad (mata rantai perawi) bersambung.

b. Seluruh perawinya dalam sanad hadis bersifat adil (terpercaya). c. Seluruh perawi dalam sanad bersifat ‘d{abit{(cermat).

d. Sanad dan matan hadis terhindar dari kejanggalan (shu>d{uz). e. Sanad dan matan hadis terhindar dari cacat yang samar (‘illat).

Dari kelima persyaratan hadis sahih diatas dapat diuraikan menjadi 7 bagian yaitu lima bagian berhubungan dengan sanad, dan dua bagian (matan

terhindar dari kejanggalan dan „illat) berhubungan dengan matan. Dengan

18

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis cet:I (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press, 2011), 155.


(24)

16

demikian hadis yang tidak memenuhi salah satu unsur tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai hadis sahih, berikut ini adalah rincian setiap unsur-unsur diatas.19

1. Sanadnya Bersambung

yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayatan dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayatan terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayatan yang disandari oleh mukhari>j (penghimpunan riwayat hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.20

Disamping itu, dikalangan ulama‟ hadis dikenal juga istilah hadis

muttas}il mau>s}ul. Menurut Ibn al-S}alah dan al-Nawawi>, yang dimaksud

dengan muttas}il atau mau>s}ul ialah hadis yang bersambung sanadnya, baik itu persambungan sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja, jadi hadis muttas}il atau mau>s}ul ada yang ma’ruf (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang mau>quf. Apabila dibanding dengan hadis musnad maka dapat dinyatakan, bahwa hadis musnad mesti muttas}il atau mau>s}ul dan tidak semua hadis muttas}il atau mau>s}ul pasti musnad.

Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak

bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama‟ hadis menempuh tata kerja

penelitian dengan cara: mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti.

19

Ibid., 156. 20


(25)

17

Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat, dengan melalui kitab rija>l al-h{adi>th, dengan maksud untuk mengetahui apakah setiap periwayatan dalam sanad itu dikenal sebagai orang adil dan d{abit{, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadli>s). Dan apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan sezaman pada masa hidupnya dan antara guru murid dalam periwayatan hadis, serta meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa h{addasa|ni>, h{addas|ana>, akhbarana>, ‘an, anna atau kata-kata lainnya. Jadi apabila suatu sanad hadis barulah dapat dinyatakan bersambung apabila seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar th>iqoh (adil dan d{abit{) dan antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammu>l wa ada’ al h{adi>th.21

2. Periwayat bersifat adil

Kata adil (al-‘adl) berasal dari bahasa Arab yang berarti pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran, sedangkan secara istilah para ulama‟ berbeda pendapat, dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan dalam empat kriteria yaitu: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama (taat menjalankan agama), memelihara muru’ah. Persyaratan beragama Islam adalah berlaku bagi kegiatan meriwayatkan hadis, sedangkan untuk kegiatan menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam, tetapi

21


(26)

18

ketika meriwayatkan harus beragama Islam. Demikian pula persyaratan mukallaf (bali>gh dan berakal sehat) merupakan syarat bagi kegiatan menyampaikan hadis, jadi apabila ketika melakukan kegiatan menerima hadis perawi belum bali>gh tetap dianggap sah selama sang perawi sudah tamyi>z.22

Kemudian yang dimaksud dengan kriteria taat menjalankan agama adalah teguh dalam beragama, tidak menjalankan dosa besar, tidak berbuat bid‟ah, tidak berbuat maksiat, dan harus berakhlak mulia. Adapun yang dimaksud memelihara muru’ah adalah selalu memelihara kesopanan pribadi yang membawa manusia untuk dapat menegakkan kebijakan moral dan kebajikan adat istiadat. Untuk mengetahui keadilan perawi hadis para ulama‟ telah menetapkan ketentuan yaitu, berdasarkan popularitas keutamaan perawi

dikalangan para ulama‟, berdasarkan penilaian para kritikus hadis,

berdasarkan penerapan kaidah al-jarh{wa ta’di>l.

Kata al-‘adalah sebagaimana yang dikutip oleh Fath{urrahman dari kitab ar-Ra>zi bahwa makna tersebut adalah tenaga jiwa, yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan, keadilan seorang perawi terkait dengan aspek moralitas menjadi kajian penting dalam ilmu hadis.23 Jadi seorang perawi harus mempunyai sifat yang adil dalam melakukan periwayatan hadis, sehingga dapat dipercayai tentang kualitas dari sanad maupun matan hadis.

22

MKD IAIN Sunan Ampel Studi Hadis…, 158. 23


(27)

19

3. Perawi yang D{abit{

D{abit{ berarti kuat, kokoh tepat dan hafal dengan sempurna. Kekuatan

hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan, kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-d{a>bit{-an terkait dengan kualitas

intelektual. Antara sifat „a>dil dan sifat d{abit{ terdapat hubungan yang sangat

erat, seseorang yang „a>dil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur,

amanah (dapat dipercaya), dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila tidak mampu memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya seseorang yang bisa menjaga hafalan dan paham terhadap informasi yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi

yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh ulama‟ hadis

keadilan dan ke-d{abit{-an periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan istilah thi>qoh, jadi periwayat yang th>iqoh adalah periwayat yang „a>dil dan d{abit{.24 Beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama‟ hadis menyimpulkan bahwa kriteria d{abit{ meliputi:25

a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimanya), dengan kemungkinan pertimbangan bahwa, apabila seseorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya telah memahami apa yang telah dihafalnya. Kemudian yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya.

24

Idris, Studi Hadis cet:I (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 164. 25


(28)

20

b. Periwayat itu harus hafal dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimannya), kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat disebut sebagai orang yang d{abit{, meskipun ada ulama‟ yang mendasarkan ke- d{abit{-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga dengan pada kemampuan pemahaman.

c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal dengan baik kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang lain, kemampuan hafalan yang yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga disebut seorang d{abit{, adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia menghendakinnya. Kriteria ini dimaksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau sebab lainnya.26 4. Terhindar dari Sha>dh (Kejanggalan)

Secara bahasa, sha>dh merupakan isim fa>‟il dari shadhdha yang berarti menyendiri (infarada) seperti kata: رْوهْمجلْا نع درفْنمْلا (sesuatu yang menyendiri terpisah dari mayoritas). Menurut istilah ulama‟ hadis, sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat thi>qoh dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih thi>qoh. Menurut imam Shafi>‟i suatu hadis yang mengandung sha>dh apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang thi>qoh dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga thi>qoh, suatu hadis tidak dinyatakan

26


(29)

21

mengandung sya>dh bila hanya diriwayatkan diriwayatkan oleh seorang periwayat thi>qoh sedang periwayat lain yang thi>qoh tidak meriwayatkannya. Jadi bagi al-Shafi>’i, suatu hadis yang dinyatakan mengandung sya>dh apabila, hadis itu memiliki lebih dari satu sanad, kemudian para periwayat hadis itu seluruhnya thi>qoh dan matan atau sanad hadis itu mengandung pertentangan,

dan beberapa ulama‟ lain sepakat dengan pendapat dari Imam Shafi>‟i ketika

mendefinisikan hadis sha>dh tersebut.

5. Terhindar dari „Illat

Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak sahih, maka hadis itu dinamakan hadis mu’a>llal, yaitu hadisyang mengandung „illat. Kata al- mu’a>llal merupakan isim maf’u>l dari

kata a‟allah (ia mencacatkan), secara bahasa kata „illat berarti cacat,

kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis „illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis, sebagai sebab kecacatan hadis, pengertian „illat disini berbeda dengan pengertian

„illat yang secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat

hafalan.27

Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadis disebut dengan istilah al-t{a’n atau al-jarh{ dan terkadang diistilahkan juga dengan „illat dalam arti umum. Cacat umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanad, tetapi

27


(30)

22

hadis yang mengandung cacat itu tidak disebut dengan hadis mu’a>llal (hadis yang bercacat).28

Dilihat dari segi periwayat, hadis mu’a>llal sama dengan hadis sha>d yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat thiqoh, bedanya dalam hadis mu’a>llal „illatnya dapat ditemukan, sedang dalam hadis sya>dh tidak karena dalam hadis sha>dh memang tidak terdapat „illat. Sebagaimana yang telah dijelaskan tidak adannya „illat merupakan syarat kesahihan suatu hadis. Jika suatu hadis mengandung „illat, maka dinyatakan tidak sahih. 6. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan Hadis). Matan hadis terhindar dari

syu>dhuz

Imam Shafi>‟i dan al-Khali>li berpendapat dalam masalah hadis yang terhindar dari syu>dhuz adalah29:

a. Sanad dari matan yang bersangkutan harus mah{fuz{ dan tidak gharib. b. Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan atau tidak menyalahi

riwayat yang lebih kuat.

Konsenkuensi dari kaidah minor diatas dalam melakukan penelitian terhadap matan hadis yang mengandung sha>dh adalah bahwa penelitian tidak dapat terlepaskan dari penelitian atas kualitas sanad hadis yang bersangkutan, dengan demikian langkah metodologis yang perlu ditempuh untuk mengetahui apakah suatu matan hadis itu terdapat syu>dhuz atau tidak adalah: melakukan penelitian terhadap kualitas sanad matan yang diduga bermasalah, kemudian membandingkan redaksi matan yang bersangkutan dengan

28

Ibid., 171. 29


(31)

23

matan lain yang memiliki tema sama, dan memiliki sanad berbeda. Melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan hadis yang mengangkat tema sama, dengan kegiatan ini akan diperoleh kesimpulan, mana matan yang mah{fuz{ dan matan yang janggal (sha>dh).

7. Matan Hadis Terhindar dari „Illat

Kaidah minor matan hadis yang terhindar dari „illat adalah:30

a. Tidak terdapat ziyadah (tambahan) dalam lafad. b. Tidak terdapat idraj (sisipan) dalam lafad matan.

c. Tidak terjadi id{tira>b (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) dalam lafaz matan hadis.

d. Jika ziyadah, idraj, id{tirab bertentangan dengan riwayat yang thi>qoh lainnya, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung syu>dhuz.

Para ulama‟ juga merumuskan acuan standar yang lain untuk menilai

keabsahan matan hadis, secara umum suatu matan hadis dapat dikatakan sahih apabila:

a. Tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran. b. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.

d. Susunan bahasanya menunjukkan cirri-ciri lafad kenabian, yaitu tidak rancu, sesuai dengan kaidah bahasa arab, fasih.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa standar matan sahih adalah: sanad periwayatnya berkualitas maqbu>l, redaksi matanya terhindar

30


(32)

24

dari „illat atau cacat, redaksi matanya terhindar dari syu>dhuz dan kandungan

maknanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil dan realitas yang sahih.31

B. Teorial-Jarh wa al-Ta‘di>l

Adalah suatu kewajaran bila dalam menyampaikan atau mentransmisikan suatu perkataan terjadi kesalahan karena hal itu sangatlah manusiawi hal ini terjadi juga dalam hadis, akan tetapi jika kesalahan itu berulangkali dilakukan maka akan membawa dampak penilaian bagi perawi itu sendiri berupa predikat jelek bagi periwayat itu sendiri, para ulama berusaha menjaga keotentikan suatu hadis dengan berbagai cara, penelitian matan, sanad termasuk dengan meneliti sifat-sifat perawi, sehingga dapat dibedakan antara perawi yang kurang kredibel dengan mereka-mereka yang mempunyai kredibelitas tinggi, karena hal itu sangat dibutuhkan untuk menjaga hadis Nabi dari tangan-tangan jahat orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Penelitian tentang hadis sebenarnya telah dilakukan pada Nabi, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar dalam masalah pembagian hak waris bagi Nenek (ja>ddah), Abu Bakar meminta saksi sebagai langkah antisipasi. Para ulama sepakat menganggap adil seluruh sahabat karena tidak akan berkata dusta yang dinisbatkan kepada Nabi, hal ini tentu berbeda dengan generasi setelahnya, banyak fitnah terjadi yang memunculkan hadis-hadis palsu dengan kepentingan tertentu, sehingga akan sangat beresiko ketika

31


(33)

25

setiap hadis akan diterima tanpa diteliti terlebih dahulu, salah satu penelitian dalam menjaga keaslian hadis adalah dengan meneliti ihwa>l tentang perawi hadis, ini merupakan kajian keilmuan yang lazim disebut Jarh wa Ta‘di>l, yaitu ilmu yang membahas tentang perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan32.

Seorang perawi hadis akan diterima hadisnya jika memenuhi beberapa syarat, diantaranya perawi tersebut dikenal sebagai seorang yang terpuji serta hafalannya dapat dipertanggung jawabkan, hal ini akan berbeda jika perawi -misalnya- adalah orang yang hafalannya kurang sempurna. Sesuatu yang dianggap sebagai aib bagi seorang perawi hadis terdapat lima, yaitu :

1. Bid‘ah(melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara‟).

2. Mukha>la>fah yaitu berbeda dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.

3. Gha>la>t ialah banyak melakukan kekeliruan.

4. Jaha>lah al-Ha>l, tidak di kenal identitasnya.

5. Da‘wa>tul Inqita>‘, sanadnya diduga terputus.

Untuk mengetahui keadilan seorang perawi dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara dibawah ini, yaitu :

1. Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu, bahwa dia seorang yang

„adil, seperti Malik bin Anas, Sufyan al-Tsau>ri, tsu‘bah bin al Hajja>j,

Ahmad bin Hanbal serta ahli-ahli hadis lainnya.

32Muhammad „Ajjaj

al-Kha>tib, Usu>l al-Ha>dis Ulu>muhu wa Mustala>hu (Beirut: Da>r al Fikr t.t) ,261.


(34)

26

2. Dengan Tazki>yah yaitu penta‟dilan seorang yang adil terhadap perawi yang belum diketahui keadilannya, hal ini cukup dengan satu penta‟dilan satu orang adil, sebagian mengharuskan dengan 2 orang laki-laki33.

Penetapan kecacatan seorang perawi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang perawi dalam kecacatannya. 2. Dengan pentajrihan seorang yang adil yang mengetahui sebab-sebabnya

dia cacat, meskipun hanya satu orang, sebagian mengharuskan dua orang.34

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pentajrih, adalah: 1. Berilmu.

2. Bertaqwa. 3. Wara'. 4. Jujur.

5. Tidak dalam keadaan di jarh. 6. Tidak fanatik.

7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-jarh danta‘di>l.35

Apabila terjadi ta’a>rud antara jarh dan ta‘di>l pada seorang rawi, sebagian men-ta‘di>l dan sebagian yang lain men-jarh, dalam hal ini terdapat tiga pendapat :

33

Ibid., 268-269. 34

Rahman, 'Ikhtisa>r Mustala>hul Hadis …310


(35)

27

1. Jarh harus didahulukan secara mutlak meskipun jumlah orang yang menganggap adil lebih banyak.

2. Ta‘di>lharus didahulukan.

3. Bila jumlah Mu‘a>ddil-nya lebih banyak dari Jarh, maka didahulukan Ta‘di>l karena jumlah yang banyak dapat memperkuat kedudukan mereka atau ditawa>qquf-kan hingga ditemukan penguat.36

C. Teori Pemaknaan Hadis

Selain dilakukan pengujian terhadap otentias dan kehujjahan hadis, langkah lain yang perlu dilakukan adalah pengujian terhadap pemaknaan hadis. Hal ini perlu dilakukan karena adanya fakta bahwa mayoritas hadis yang diriwayatkan adalah secara makna,37 dan hal itu dapat berpengaruh terhadap makna yang dikandung, dan juga dalam penyampaian hadis Nabi selalu menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa yang dipakai oleh orang yang diberi pengajaran hadis, sehingga hal itu membutuhkan pengetahuan yang luas dalam memahami ucapan Nabi SAW.

Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, maka harus memahaminya sesuai dengan petunjuk Alquran yaitu, dalam bingkai tuntunan-tuntunan Ilahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat pasti.38 Para ulama berbeda dalam metode Ma’ani>

al-H{adi>th, namun perbedaan antara mereka tidaklah prinsipil, Yusuf al-Qard{awi

36

Ibid., 269-270. 37

Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis Tentang Riwayat bi al-Ma’na dan

Implikasinya bagi Kualitas Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), 86-87.

38


(36)

28

menetapkan beberapa acuan (Mi’ya>r) untuk mencapai pemahaman yang komperhensif terhadap hadis, yaitu:39

1. Memahami as-Sunnah sesuai dengan petunjuk Alquran. 2. Menghimpun hadis -hadis yang terjalin dalam tema yang sama

3. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang tampak bertentangan. 4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan

kondisinya, serta tujuannya.

5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis.

6. Membedakan antara ungkapan yang hakiki dengan yang majaz. 7. Membedakan antara ghaib dan nyata.

8. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharri> jmasing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan dengan pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapat pemaknaan yang komprehensif dan obyektif.

Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah: a. Mendeteksi hadis yang mempunyai lafad yang sama.

39

Al-Qard{awi>, Bagaimana Memahami Hadis, ter. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1994), 192-197.


(37)

29

Pendekatan lafad hadis yang sama ini dimaksudkan untuk mengetahui beberapa hal, antar lain;40

1) Adanya Idraj (sisipan lafal hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW). 2) Adanya Id{thira>b (pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya

sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih). 3) Adanya al-Qalb (pemutar balikan matan hadis).

4) Adanya Ziyadah al-Thi>qat (penambahan lafad dalam sebagian riwayat). b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi.

Ungkapan majaz menurut ilmu balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki dan Rasulullah SAW juga sering menggunakan ungkapan majaz dalam menyampaikan sabdanya. Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi>, ‘aqli>, isti’a>rah, kinayah dan isti’ar>ah tamthiliyyah atau ungkapan lainnya yang tidak mengandung makna sebenarnya. Makna majaz dalam pembicaraan hanya dapat diketahui melalui qarinah yang menunjukkan makna yang dimaksud.41

Metode diatas merupakan sebagian dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus digunakan seperti ilmu nahwu dan saraf sebagai dasar keilmuan dalam bahasa Arab.

40

Nawir Yuslem, Ulumul hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 368. 41

Yusuf Qard{awi>, Studi Kritis as-Sunah, ter. Bah{run Abu> Bakar (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 185.


(38)

BAB III

HADIS TENTANG BULAN SAFAR DALAM KITAB SUNAN

IBNU MA>JAH

A. Biografi Ibnu Ma>jah (207 H- 273 H/824M- 887 M)

Ibnu Ma>jah adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qozwin, salah satu kota di Iran, nama lengkap Ibnu Ma>jah adalah Abu>„Abdillah bin Yazi>d IbnuMa>jah, beliau dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H (824 M).37 Ibnu Ma>jah wafat pada bulan Ramad{an tahun 275 H, jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya Abu> Bakar sedangkan pemakamannya dilakukan oleh dua orang saudaranya Abu> Bakar dan Abdullah, serta putra Abdullah.38 Ibnu Ma>jah telah menghadapi usaha mempelajari ilmu sejak dari masa mudanya, beliau melawat ke Irak, Hijaz, Mesir ke Sham, dan beberapa Negara lain. Ibnu Ma>jah telah menjumpai sejumlah besar dari guru-guru hadis dari negeri-negeri itu, beliau mendengar hadis dari imam-imam masanya seperti, Muhammad ibn Abdullah ibn Numai>r dan orang-orang yang semasa dengan gurunya itu.39

Kitabnya dikenal dikalangan masyarakat dengan nama as-Sunan, dinisbatkan kepada nama pemiliknya (Sunan Ibnu Ma>jah). Orang pertama yang menggabungkannya dengan kitab hadis yang lima adalah Abu> al-Fad{l Muhammad bin T{ahir (W.507H) penggarang kitab Shurutha>l-A’immah as-Sittah, sedangkan

37

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mus}thalahul Hadis(Bandung: PT Alma‟arif, 1974), 383.

38

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 75. 39

M.Hasbi ash-Shiddieqi>, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis jilid: I (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), 199.


(39)

31

ulama‟ lain menjadikan kitab Muwat{a‟ karya Imam Ma>lik menempati posisinya.40

Ibnu Ma>jah meyusun kitabnya berdasarkan bab-bab yang memuat sunnah dan hukum-hukum syari‟ sebagaimana kitab-kitab sunan yang lainnya, beliau mencantumkan didalamnya hadis-hadis sahih, hasan, dan da‟if, dan didalamnya juga terdapat beberapa hadis munkar dan mau>d{u’ (palsu) akan tetapi jumlahnya sedikit. Oleh karena itu, derajatnya turun dari al-Kutub al-Khamsah (kitab-kitab hadis yang lima).41

Metode penyusunan kitab ini berdasarkan urutan bab-bab fikih sistematika pembahasannya terdiri atas 32 bab (kitab) dan 1.500 subbab (bab), nasakh kitab

ini diriwayatkan banyak oleh ulama‟, baik lewat media nasakh ataupun

pendengaran, diantara periwayat nasakh kitab ini adalah, Abu> al-H{asan ibn al-Qat{an, Sulaiman bin Yazi>d, Abu>Ja‟far Muhammad ibn „Isa, dan Abu> Bakr H{amid al-Abhari>.42

Jelasnya Sunan Ibnu Ma>jah lebih rendah dari al-Muwat{a‟ ibn Ma>lik dan Sunan ad-Darimi>, maka al-Mizi> berpendapat sebagaimana dikutip oleh Suhbah bahwa semua hadis yang hanya diriwayatkan oleh Ibn Ma>jah adalah da‟if, pendapat tersebut kemudian dibantah al-Bushiri>, sekaligus menguatkan pendapat ibn Hajar.43

40

Muhammad az-Zahrani>, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadis (Jakarta: Darul Haq, 2011), 151.

41

Ibid., 151. 42

Saifuddin, Tadwi>n Hadis Kontribusinya dalam Perkembangan Historiografi Islam cet: I (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 189.

43


(40)

32

B. Kitab Sunan Ibnu Ma>jah

Kitab Sunan Ibnu Ma>jah berisi 4.341 hadis yang sahih, hasan dan da‟if, bahkan ada hadis yang sangat lemah. Abu> Faraj ibn al-Jau>zi berpendapat sebagaimana disitir Abu> Suhbah bahwa ada 30 hadis yang maud{u’ terdapat didalam Sunan Ibn Ma>jah, melihat dari pendapat tersebut, maka inilah yang memuat turunya derajat Sunan Ibn Ma>jah. Maka ulama‟ Mutaqodimi>n keberatan memasukkan Sunan Ibn Ma>jah dalam deretan al-Kutub al-Sittah, sebagai gantinya al-Muwat{a‟ Imam Ma>lik, akan tetapi al-Maqdisi risalahnya Shuru>t A’immah al -Sittah, ia telah menjadikan Sunan Ibn Ma>jah sebagai kitab keenam dari kutub al-sittah, padahal hadis-hadis yang ada pada al-Muwat{a‟ Imam Ma>lik kebanyakan hadis-hadis sahih, dan beliau tidak menceritakan kecuali dari orang-orang yang terpercaya.44

Koleksi hadis Ibnu Ma>jah lebih umum dikenal dengan title kitab “Sunan Ibnu Ma>jah”, sekalipun al-S{indi seorang ulama‟ hadis Madinah mempublikasikan

dengan title “Sunan al-Must{afa”. Edisi penerbitan cetak mesin kitab tersebut telah

dilakukan penelitian tekstual oleh Dr. Muhammad Fu‟ad Abdul al-Ba>qi>.45

Dalam penyelidikan Fu‟ad Abdul al-Ba>qi>, jumlah hadis yang termaktub

dalam kitab Sunan Ibnu Ma>jah adalah 4341 hadis yang terbagi ke dalam 37 bagiandan 1515 bab. Jumlah ini merupakan perhitungan paling mutakhir yang dilakukan oleh seorang pakar hadis. meskipun berbeda dengan dua pakar hadissebelumnya dalam menghitung jumlah hadis dalam Sunan Ibnu Ma>jah,

44

Arifin, Studi Kitab..., 10-131. 45

Hashi>m „Abbas, Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’taba>r, (Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2003), 90.


(41)

33

kesimpulan Fu‟ad Abdul al-Ba>qi> ini tidak mengundang masalah, karena hanya

menyangkut perbedaan metode yang digunakan oleh mereka.46

Matan hadis koleksi Sunan Ibnu Ma>jah merekam banyak tema. Setiap tema disebut dengan istilah kitab (bab). Berikut ini untaian kitab (bab) yang terkandung di dalamnya. Sunan Ibnu Ma>jah sebagian besar memuat materi dasar-dasar fiqh (aspek hukum amaliah), bagian lain bermuatan ajaran tentang perilaku zuhud, prediksi fitnah, tabir mimpi, tuntunan do‟a dengan teks dari nabi, informasi pengobatan, minuman dan aqiqah.47

No Nama Kitab Juz Hal No Nama Kitab Juz Hal

- Al-Muqaddimah I 3 19 Al-Itq II 840

1 At-T{aharah I 9 20 Al-H}udu>d II 847 2 As-S{alat I 219 21 Al-Diya>t II 873 3 Al-Adhan I 232 22 Al-Was{aya> II 900 4 Al-Masa>jid wa

al-Jama>‟ah

I 234 23 Al-Fara>id II 908 5 Al-Iqa>mah I 264 24 Al-Jiha>d II 920 6 Al-Jana>iz I 261 25 Al-Mana>sik II 962 7 As-S{iya>m I 252 26 Al-Adhadi II 1043

8 Az-Zakat I 565 27 Ad-Dhahabah II 1056

9 An-Nika>h{ I 592 28 Al-S{ayd II 1068 10 At-T{alaq I 650 29 Al-At}‟imah II 1083

11 Al-Kafarat I 676 30 Al-Sharibah II 1119

12 At-Tija>rat I 723 31 At-T{ib II 1137 13 Al-Ah{kam I 774 32 Al-Liba>s II 1176

14 Al-H{ad I 795 33 Al-Adab II 1206

15 As-S{adaqah I 799 34 Al-Du‟a> II 1258 16 Ar-Ruh{un I 815 35 Ta‟bir al-Ru‟ya II 1258

17 As-S{ufah I 833 36 Al-Fitan II 1290

18 Al-Luqat}ah I 836 37 Al-Zuhu>d II 1373 Dengan memperhatikan secara cermat tema-tema tersebut, sebagaimana

dinyatakan kebanyakan ulama‟ hadis, penulisan kitab Sunan Ibnu

46

Ibid., 115 47


(42)

34

Ma>jahmenggunakan metode fiqh (hukum islam). Metode ini memang lazim digunakan oleh para ulama pada zaman itu. Di antara kelebihan metode penulisan seperti ini adalah dapat mempermudah para pengkaji ilmu yang hendak mendalami hukum islam untuk menemukan dalil-dalil yang bersumber pada hadis-hadis Rasulullah.

Hal yang patut disesalkan dari kitab Sunan Ibnu Ma>jah adalah dimuatnya perawi yang tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan kapasitasnya dalam meriwayatkan hadis. bahkan ada juga perawi yang tidak diakui oleh ulama hadis, seperti Amr bin S{ubh{, Muhammad bin Sa‟i>d al-Maslu>b, dan al-Waqi>di. Jika ditinjau dari rija>l al-h{adi>th, tentu saja ini sebuah cacat yang tak semestinya dilakukan oleh seorang ahli hadis. Apalagi seorang Ibnu Ma>jah yang sangat mashu>r di dunia islam.

Isi kitab Sunan Ibnu Ma>jah memuat hadis sahih, hasan, da‟if, bahkan munkar dan maud{u’ meskipun jumlahnya hanya sedikit. Oleh sebab itu, nilai Sunan Ibnu Ma>jah di bawah lima kitab hadis (Kutub al-Khamsah) sebelumnya. Kitab Sunan Ibnu Ma>jah banyak menuai kritikan diantaranya, sunan Ibnu Ma>jah paling banyak memuat hadis da‟if, bahkan di dalamnya ada perawi yang tertuduh dusta. Bahkan tidak sedikit hadis yang munkar. Hadis-hadis gharib yang terdapat dalam sunan ini kebanyakan adalah da‟if, karena itu para ulama‟ mutaqaddimi>n memandang bahwa kitab al-Muwat}a‟ imam Ma>lik lebih tepat masuk dalam al-Kutub al-Sittah dari pada Sunan Ibnu Ma>jah.

Sehingga, hendaklah tidak menjadikan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jahsebagai dalil, kecuali setelah mengkajinya. Jika hadisnya sahih atau hasan,


(43)

35

maka boleh jadi pegangan. Tapi jika hadisnya da‟if, maka jangan dijadikan pegangan.48

Sebagian kritikus hadis juga menyayangkan masuknya hadis-hadis Zawa>id (hadis-hadis yang tidak ada di dalam kitab hadis lain) ke dalam kitab sunan Ibnu Ma>jah ini. Namun demikian, jika diteliti lebih cermat, kualitas hadis-hadis Zawa>id di dalamnya sangatlah sedikit yang berstatus da‟if (lemah).Artinya, yang mendominasi kitab Sunan IbnuMa>jahadalah hadis-hadis sahih. Alasan inilah yang dikemukakan Ibnu T{ahi>r al-maqdisi> dikemudian hari yang memasukkan Sunan IbnuMa>jahke dalam Kutub al-Sittah (Enam Kitab Hadis). pendapat Ibnu T{ahi>r ini diikuti pula oleh Ibnu Hajar al-Asqalani>. Al-Mizzi>, dan al-Dhahabi>.

Hadis Zawa>id tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 428 hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dapat dipercaya dan sahih sanadnya, 199 hadis sanadnya bernilai hasan, 613 hadis mempunyai sanad yang da‟if, 99 hadis memiliki sanad yang lemah, munkar dan didustakan.49

Banyak ulama‟ memberikan komentar atau penilaian terhadap kitab Sunan

Ibnu Ma>jah ini. Pada umumnya mereka sepakat menilai bahwa kitab ini memiliki keunggulan pada aspek sistematisasi penulisannya, sehingga dapat mempermudah siapa pun yang hendak menelusuri dan mempelajari hadis Nabi.

Kelebihan lain dari kitab ini adalah dimuatnya hadis- hadis yang tidak ada di dalam Kutub al-Khamsah (lima kitab hadis) yang sudah terkenal, yakni S{ahih Bukha>ri>, S{ahih Muslim, Sunan Abu> > Dawu>d, Sunan al-Tirmi>dhi>, dan Sunan

48Ibnu Ahmad „Alimi>

, Tokoh dan Ulama’ H{adi>th (Sidoarjo: Mashun, 2008) 232.

49


(44)

36

Nasa>‟i. Dengan demikian, kitab Sunan Ibnu Ma>jah dapat melengkapi dan

menambah khazanah hadis-hadis Nabi. Meski ada yang berpendapat bahwa dalam kitab Sunan Ibnu Ma>jah terdapat hadis d{a’if (lemah), namun harus diakui bahwa keberadaan Sunan Ibnu Ma>jah ini juga ikut memacu semangat para pengkaji hadis untuk mempelejarinya lebih mendalam.

Terbukti, kitab Sunan Ibnu Ma>jah ini telah merangsang mereka untuk memberikan ulasan yang luas dan mendalam. Berikut ini sejumlah kitab yang dihasilkan untuk mensyarahi kitab sunan Ibnu Ma>jah:

a. Al-I‟lam bi Sunanihi „Alai>hi al-Sala>m karangan al-Mughlat{a‟i>

b. Sharh{ Sunan Ibnu Ma>jah karangan Kamalu>ddin bin Mu>sa al-Dari>mi> c. Sharh{ Sunan Ibnu Ma>jah karangan Ibrahim bin Muhammad al-Halabi> d. Sharh{ al-Zuja>jah bi Sharh{ Ibnu Ma>jah karangan Jalalu>ddin al-Suyu>t}i e. Sharh{ Sunan Ibnu Ma>jah karangan Muhammad bin Abd al-Hadi> al-Sindi>

Ulama‟ yang mengatakan bahwa sunan Ibnu Ma>jah adalah kitab yang ke

enam setelah Kutub al-Khamsah, beralasan bahwa dalam Sunan Ibnu Ma>jah banyak hadis yang tidak terdapat dalam Kutub al-Khamsah pendukung faham yang mempromosikan Sunan IbnuMa>jah kedalam Us{hu>l al-Sittah lebih didasarkan pada keberadaan sejumlah 1339 hadis Zawa>’id, karena dengan tambahan perbendaharaan tersebut amat menguntungkan kalangan fuqaha>. Selain itu tiga perempat koleksi Sunan Ibnu Ma>jah menyamai standar mutu hadis yang terseleksi dalam Us}hu>l Khamsah, sedangkan dalam al-Muwat}a‟ hadisnya sudah ada dalam Kutub al-Khamsah.


(45)

37

C. Hadis Tentang Bulan Safar a. Data Hadis

ِنْبا ِنَع ،َةَمِرْكِع ْنَع ،ٍكاَِِ ْنَع ،ِصَوْحَْْا وُبَأ اََ ثدَح :َلاَق َةَبْيَش َِِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اََ ثدَح

: َلاَق ٍسابَع

:َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِللا ُلوُسَر َلاَق

«

َََو ،َةَماَ َََو ،َةَرَ يِط َََو ،ىَوْدَع ََ

َرَفَص

Menceritakan kepada kami Abu> Bakar bin Abi Sha>ibah berkata: Menceritakan kepada kami Abu Ah{was, dari Sima>k, dari „Ikrimah, dari Ibnu

„Abba>s berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada penyakit yang menular,

tidak ada (keyakinan bahwa) tulang orang yang mati itu akan menjadi burung, dan tidak ada bulan Safar (bulan sial).50

Setelah melakukan kegiatan Takhri>j al-H{adi>thdengan menggunakan

Mu’jam Mufahras Li al-Fadh al-Hadisdengan kata kunci La ‘adway51dan Maktabah Shami>lah,52dengan kata kunci S{afara|, hadis di atas bersumber dari:

1. Ibnu Ma>jah, kitab T{ibb, bab Man Ka>na Yu‟jibuhu al-Fa‟la wa Yakrohu al-T{iyaroh, hadis no. 3539

2. Al-Bukha>ri>, kitab T{ibb, bab la S{afara, Wahuwa Da‟u Ya>‟khudu Bat{na, hadis no.5717

3. Musli>m, kitab Sala>m, bab La „Adway wa La T{iyaroh wa La S{afara, wa la

Nau‟a>, wa la Ghau>la, wa la Yuradu Mumrid „Ala Mus}ihi, hadis no. 2220.

4. Abu> Dau>d, bab T{iya>rah, hadis no. 3911.

50

Al-Qazwai>ni>, Sunan Ibnu... 1171. 51

A.J. Wensick, Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>th| al-Nabawi>, jilid IV (Leiden: E.J. Brill, 1967), 159.

52


(46)

38

5. Sunan at-Tirmid}h>i, kitab Qadar, bab Ma>ja>‟a La „adway wa la hamma wa la S{afara, hadis no.2150.

Berikut ini teks hadis berdasarkan takhri>j al-h{adi>th secara lengkap: a) Hadis Riwayat Ibnu Ma>jah, kitab T{ibb, bab Man Ka>na Yu‟jibuhu

al-Fa‟la wa Yakrohu al-T{iyaroh, hadis no. 353953

ِنْبا ِنَع ،َةَمِرْكِع ْنَع ،ٍكاَِِ ْنَع ،ِصَوْحَْْا وُبَأ اََ ثدَح :َلاَق َةَبْيَش َِِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اََ ثدَح

:َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ٍسابَع

«

َََو ،َةَرَ يِط َََو ،ىَوْدَع ََ

َرَفَص َََو ،َةَماَ

b) Hadis Riwayat al-Bukha>ri, kitab T{ibb, bab la S{afara, Wahuwa Da>‟u

Ya>‟khudu Bat{na, hadis no.571754

اََ ثدَح

ها دبع نب زيزعلا دبع

:لاق ٍباَهِش ِنْبا ِنَع ،ٍحِلاَص ْنَع ، ٍدْعَس ِنْب َميِاَرْ بِإ اََ ثدَح ،

َر نِإ :َلاَق َُْع ُللا َيِضَر َةَرْ يَرُ اَبَأ نَأ ،ُُرْ يَغَو ِنَْْرلا ِدْبَع ُنْب َةَمَلَس وُبَأ ِرخأ

ِها َلوُس

امف ها َلوُسَر اَي :ٌِِاَرْعَأ َلاَقَ ف .َةَماَ َََو َرَفَص َََو ىَوْدَع ََ " :َلاَق َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص

قف ؟اَهُ بِرْجُيَ ف اه يب لخديف ُبَرْجَْْا ُرِعَبْلا يأيف ,ُءاَبِظلا اَه نَأَك ِلْمرلا ِِ ُنوُكَت ِلِبِْْا ُلاَب

:لا

«

َلوَْْا ىَدْعَأ ْنَمَف

نا س ِأ نب نا سو ,ةملس ِأ نع ,ير ّزلا اور

.

c) Hadis Riwayat Ima>m Musli>m, bab La „Adway wa La T{iyaroh wa La S{afara, hadis no. 222055

ْعَس ِنْب َميِاَرْ بِإ ُنْبا َوَُو ُبوُقْعَ ي اََ ثدَح : ََاَق ، ِِاَوْلُْْا ٌنَسَحَو ،ٍِِاَح ُنْب ُدمَُُ َِِثدَحو

،ٍد

َِِرَ بْخَأ ، ٍباَهِش ِنْبا ِنَع ،ٍحِلاَص ْنَع ، َِِأ اََ ثدَح

اَبَأ نَأ ،ُُرْ يَغَو ِنَْْرلا ِدْبَع ُنْب َةَمَلَس وُبَأ

: َلاَق َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِها َلوُسَر نِإ :َلاَق ،َةَرْ يَرُ

«

َََو َرَفَص َََو َةَرَ يِط َََو ىَوْدَع ََ

َةَماَ

»

ِثيِدَح ِلْثِِِ ِها َلوُسَر اَي :ٌِِاَرْعَأ َلاَقَ ف

سُنوُي

53

Al-Qazway>ni>, Sunan Ibnu... 1171. 54

Abi> H{asan Nu>ruddin Muhammad bin Abdul Hadi Al-Sindi>, S{ahih Bukha>ri> Juz: IV (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiyah, 2008), 26.

55

Ima>m Abi> H{usai>n Musli>m bin H{ajaj al-Qushai> >ri> al-Naisa>buri>, S{ahih Musli>m Juz: XIII (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiyah, 1995), 180-181.


(47)

39

d) Hadis Riwayat Abu> Dawu>d, bab T{iyarah, hadis no. 391156

َعْلا ِلِكَوَ تُمْلا ُنْب ُدمَُُ اََ ثدَح

اَنَرَ بْخَأ ، ِقازرلا ُدْبَع اََ ثدَح : ََاَق ، يِلَع ُنْب ُنَسَْْاَو ، ِِ َاَقْس

ِْيَلَع ُها ىلَص ِللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ،َةَمَلَس َِِأ ْنَع ،ِيِرْزلا ِنَع ،ٌرَمْعَم

:َملَسَو

«

،َةَرَ يِط َََو ،ىَوْدَع ََ

َةماَ َََو ،َرَفَص َََو

»

ِِ ُنوُكَت ِلِبِْْا ُلاَب اَم :ٌِِاَرْعَأ َلاَقَ ف

: َلاَق ؟اَهُ بِرْجُيَ ف ُبَرْجَْْا ُرِعَبْلا اَهُطِلاَخُيَ ف ُءاَبِظلا اَه نَأَك ِلْمرلا

«

َلوَْْا ىَدْعَأ ْنَمَف

»

َلاَق

َر َِِثدَحَف :يِرْزلا َلاَق :ٌرَمْعَم

َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِللا َلوُسَر َعَِِ ُنَأ َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ٌلُج

:ُلوُقَ ي

«

حِصُم ىَلَع ٌضِرُُْ نَدِروُي ََ

»

ِِ لا نَأ اََ ثدَح ْدَق َسْيَلَأ :َلاَقَ ف ُلُجرلا َُعَجاَرَ ف :َلاَق

َلاَق َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص

« :

؟َةَماَ َََو ،َرَفَص َََو ،ىَوْدَع ََ

»

َلاَق ،ُوُمُكْثِدَحُأ ََْ :َلاَق

:َةَمَلَس وُبَأ َلاَق :يِرْزلا

«

َُرْ يَغ طَق اًثيِدَح َيِسَن َةَرْ يَرُ اَبَأ ُتْعَِِ اَمَو ِِب َثدَح ْدَق

»

e) Hadis Riwayat at-Tirmid}h>i, kitab Qadar, bab Ma> Ja>‟a La „Adway wa La Hamma wa La S{afara, hadis no. 2150.57

َح

ْفُس اََ ثدَح :َلاَق يِدْهَم ُنْب ِنَْْرلا ُدْبَع اََ ثدَح :َلاَق ٌراَدُْ ب اََ ثد

ِعاَقْعَقلا ِنْب َةَراَمُع ْنَع ،ُناَي

َماَق :َلاَق ٍدوُعْسَم ِنْبا ْنَع ،اََل ٌبِحاَص اََ ثدَح :َلاَق ٍريِرَج ِنْب وِرْمَع ُنْب َةَعْرُز وُبَأ اََ ثدَح :َلاَق

: َلاَقَ ف َملَسَو ِْيَلَع ُللا ىلَص ِللا ُلوُسَر اَيِف

«

ْيَش ٌءْيَش يِدْعُ ي ََ

اًئ

»

َلوُسَر اَي :ٌِِاَرْعَأ َلاَقَ ف ،

َلَع ُللا ىلَص ِللا ُلوُسَر َلاَقَ ف ،اَهلُك ُلِبِْْا ُبَرْجَتَ ف ،ُُِبْدُن ِةَفَشَْْا ُبَرْجَأُرِعَبلا ،ِللا

:َملَسَو ِْي

«

لُك ُللا َقَلَخ ،َرَفَص َََو ىَوْدَع ََ ؟َلوَْا َبَرْجَأ ْنَمَف

اَهَ قْزِرَو اَهَ تاَيَح َبَتَكَو ٍسْفَ ن

اَهَ بِئاَصَمَو

: »

ِنْب وِرْمَع َنْب َدمَُُ تْعَِِو ٍسَنَأَو ،ٍسابَع ِنْباَو ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ِباَبلا َِِو

َلَح ْوَل :ُلوُقَ ي ،ِِِيِدَما َنْب يِلَع ُتْعَِِ :َلاَق ،يِرْصَبلا يِفَق ثلا َناَوْفَص

ِماَقَماَو ِنْكرلا ََْْ ب ُتْف

يِدْهَم ِنْب ِنَْْرلا ِدْبَع ْنِم َمَلْعَأ اًدَحَأ َرَأ ََْ َِِأ ُتْفَلََْ

b. Skema Sanad dan Biografi Singkat Skema Sanad Ibnu Ma>jah

56

Ima>m al-H{afiz{ Abi> Dawud Sulaiman bin al-> Ash‟at al-Sajasta>n, Sunan Abi> Da>wud Juz: III (Beirut: Da>r al-Kitab al-Ilmiyah, 1996), 16-17.

57

Abi> „Isa Muhammad bin „Isa bin Sau>rah, Ja>mi’ as-S{ahih (Beirut: Da>r al-Ilmiyah, 1994), 392-393.


(48)

40

No Nama Periwayat Urutan Periwayat Urutan Sanad

1 Ibnu Abba>s (w. 68 H) I V

2 „Ikrimah (w. 104 H) II IV

3 Sima>k (w. 123 H) III III

4 Abu> al-Ah{was} (w. 179 H) IV II 5 Abu> Bakar bin Shai>bah (w. 235

H)

V I

6 Ibnu Ma>jah (w. 273 H) VI Mukharrij

1. Ibnu Ma>jah (w. 273 H )58

58

Jama>l al-Di>n Abi> al-H{a>jjaj Yu>suf al-Mizzi, > Tahdhi>b al-Kama>l fi> Asma>’i al-Rija>l, Juz XVII (Bairut: Da>r al-Fikr, 1994), 355-356.

لوُسَر

ٍسابَع ِنْبا

w. 68 H

َةَمِرْكِع

w. 104 H

ٍكاَِِ

w. 123 H

ِصَوْحَْْا وُبَأ

w. 179 H

َةَبْيَش َِِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ

w. 235 H

جام نبا

w. 273 H

َلاَق

ْنَع

ْنَع

ْنَع

اََ ثدَح

دَح

اََ ث


(49)

41

Nama lengkapnya: Muhammad bin Yazi>d ar-raba>‟I, Mau>lahu>m Abu> Abdilla>h bin Ma>jah al-Qazwai>ni> al-H{afiz{.

T{abaqa>t:-

Guru-gurunya: Sahal bin Abi> Sahal, dan Muhammad bin Yahya>, Abi> Bakar

Shai>bah,Sami>‟a bi Khurasa>n, Irak, H{ijaj, Mesir, Sham, Waghai>rohuma> min

Biladi Jama>‟atan.

Murid-muridnya: Jama>‟atun Minhu>m, Ahmad bin Ibra>him al-Qazwai>ni> Jadd

H{afiz{ Abi>Ya‟la> al-Khali>li>, Isha>q bin Muhammad al-Qazwai>ni>, dan lain-lain.

Lambang periwayatan: H{addathana> Penilaian kritikus hadis tentang dirinya:

Abu> Ya‟la> al-Khali>l bin Abdulla>h al-Qazwai>ni>: Thi>qoh, Thi>qoh Kathi>r,

Muttafaqun „Alai>h, lahu Mus}hanafa>t bin Sunnan, tafsir dan sejarah.

2. Abu> Bakar bin Shai>bah (w.235 H)59

Nama lengkapnya:Abdullah bin Muhammad bin Abi> Shai>bah Ibra>him bin Uthman bin Khawasi>ti> al-Absi>

T{abaqa>t: Kesepuluh

Guru-gurunya: Abu> Al-Ah{was{, Abdulla>h bin Idri>s, Ibnu al-Muba>rak, Hashi>m, Abi> Bakar bin „Iya>s, Isma>‟il bin „Iya>s, Jari>r bin Abd H{ami>d, Abi>

Asamah, Abi Mu‟a>wiyah, Qat{an.

Murid-muridnya: Al-Bukha>ri>, Musli>m, Abu Da>wud, Ibnu Ma>jah, Ibra>him bin Abi> Bakar bin Abi> Sha‟bah, Abdulla>h bin Ah{mad bin H{anbal, Muhammad bin Uthman bin Abi> Shai>bah, Ya‟ku>b bin Shai>bah.

59

Shiha>b al-Di>n Abi> al-Fadl Ah}mad bin „Ali ibn Hajar al-{ „Asqala>ni>, Tahdhi>b


(50)

42

Lambang periwayatan: H{addathana> Penilaian kritikus hadis tentang dirinya: Ah{mad bin H{anbal: S{uduq

Abu>Zur‟ah al-Ra>zi: H{a>fiz{

Ah{mad bin H}amid al-Jahmi>: Ah{faz} ahlu Ku>ffah

Ah{mad bin Shu‟ai>b al-Nasa>ni> : Thi>qoh

Abu> khafis} Umar bin Shahi>n: S{uduq 3. Abu> al-Ah{was} (w. 179 H)60

Nama lengkapnya: Sallam bin Sulai>m al-H{anafi (Abu> Ah{was{ al-Ku>fi>) T{abaqa>t: Ketujuh

Guru-gurunya: Ibra>hi>m bin Muhaji>r al-Bajali> >, Adam bin Ali>, Aswa>d bin Qai>s,

Ziya>d bin „Ilaqah, Sa‟id bin Masru>q, al-Thauri>, T{ari>q bin Abdurrahman,

Sima>k bin H{arb, As{im bin Kulai>b, Abdul Azi>z bin Rafi‟.

Murid-muridnya: Ibrahi>m bin Mu>sa> al-Razi, Ah{mad bin Abdullah bin Yu>nus, Abdullah bin S{ali>h al-„Ijli>, „As}im bin Yu>suf al-Yarbu>‟i, Abu> Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Shai>bah, Uthman bin Muhammad bin Abi> Shai>bah.

Lambang periwayatan: ‘An

Penilaian kritikus hadis tentang dirinya:

Abu>Zur‟ah al-Ra>zi: Thi>qoh

Ibnu Hajar al-Ashqalani>: Thi>qoh Muttaqi>n S{ohibu Hadis 4. Sima>k (w. 123H)61

60


(51)

43

Nama lengkapnya: Sima>k bin H{arb bin Awas bin Khalid bin Nazar bin Mu‟a>wiyah bin H{arithah bin Rabi>‟ah Ami>r bin Dhahal bin Tha‟labah.

T{abaqa>t: Keempat

Guru-gurunya: Anas bin Ma>lik, D{ah{ak bin Qays, Tsa‟labah bin al-H{akim, Abdullah bin Zubai>r, T{ari>q bin Shihab, Ja‟far bin Abi> > Thau>ri>, Sa‟id bin Ja>bir, ‘Ikrimah, Alqomah bin Wa‟il, Akhi>hi (Muhammad bin H{arb), Mu>sa bin T{alh{a>h{ bin Ubai>dillah.

Murid-muridnya: Isma>‟il bin Abi> Kha>lid, A‟mash, Da>wud bin Abi> Hindun,

Hammad bin Salamah, Shu‟bah, Thau>ri>, Abu> al-Ahwas{ {, H{asan bin S{alih{,

Zuhai>r bin Mu‟a>wiyah, Abu>„Awanah. Lambang periwayatan: ‘An

Penilaian kritikus hadis tentang dirinya:

Ya‟ku>b bin Sufya>n al-Fasawi> : Mud{orib

Yahya>bin Mu‟ayyan: Thi>qoh Abdullah bin Mubarak: D{a‟if

Ibnu Abdul al-Ba>r al-Andalu>si>: Thi>qoh „inda Qau>m, wa Mud{a‟if „inda Akhiri>n.

Abu>H{a>tim bin H{abban al-Basati>: Yukht}i‟u Kathi>ran

5. ‘Ikrimah (w.104 H)62

Nama lengkapnya: „Ikrimah al-Qura>ish al-Hashi>mi>

T{abaqa>t: Ketiga

61

Al-„Asqala>ni>, Tahdhi>b al-Tahdhi>bJuz: IV…, 210-212.

62


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari penelitian hadis di atas tentang bulan Safar dalam kitab Sunan Ibnu Ma>jah no. indeks 3539, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dari segi kualitas, berdasarkan analisa sanad dapat diketahui bahwa hadis yang diteliti, yaitu hadis tentang bulan Safar dalam kitab Sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 3539 berkualitas s}ah{ih{ li ghairihi.

2. Setelah dilakukan penelitian, baik dari segi sanad maupun matan dapat diketahui bahwa hadis ini berkualitas s}ah}ih}, dan dengan demikian hadis diatas termasuk hadis maqbul ma’mulun bih dalam landasan pengambilan sebuah hukum serta bisa diamalkan, sehingga dapat dijadikan h}ujjah.

3. Pemaknaan hadis diatas menjelaskan tentang kesialan pada bulan Safar, yang mana sudah menjadi tradisi orang-orang jahiliyah dan sisanya masih melekat pada jaman sekarang, maka Nabi langsung bersabda dengan hadis diatas tersebut, guna untuk meluruskan keyakinan pada masa jahiliyah, dan harus diketahui sesungguhnya Allah itu menjadikan semua bulan ini yang terdiri dari 12 bulan, tidak ada yang dikecualikan bahwa ada salah satu bulan yang diharamkan oleh-Nya, semuanya adalah sama dengan yang lain dan tidak ada perbedaan, jadi tradisi seperti ini seharusnya dihilangkan, karena sikap ini dilakukan jika kebodohan dan keyakinan itu tidak tertanam kuat, sebab menghilangkan kerusakan itu lebih utama dari pada mendatangkan


(2)

96

kemaslahatan, beberapa amalan yang dibacakan ketika jatuh pada akhir bulan Safar ini diantaranya:

a. Berkumpul didalam masjid tepatnya antara magrib dan isya‟, kemudian megerumuni seorang juru tulis yang akan menuliskan ayat-ayat perdamaian untuk para Nabi yang berjumlah tujuh ayat.

b. Shalat Nafilah pada hari rabu diakhir bulan Safar, ini dilakukan sebagian

orang Islam yaitu waktu shalat dhuha berjama‟ah empat rakaat dengan

satu kali salam, disetiap rakaat membaca al-Fatihah, surat al-Kautsar 17 kali, surah al-Ikhlas 50 kali dan surat al-Mu‟awizatai>n sekali yang dilakukan setiap rakaat, kemudian salam. Ketika salam disyari‟atkan membaca:



































Sebanyak 360 kali, sedangkan puncaknya kesempurnaan adalah dengan tiga kali yang diakhiri dengan membaca:



























c. Bersedekah dengan sedikit roti kepada orang-orang fakir.

Dari beberapa amalan tersebut guna untuk mencegah balak yang diturunkan oleh Allah pada akhir dibulan Safar.


(3)

97

B. Saran

1. Berdasarkan penelitian dan pembahasan tentang hadis bulan S{afar (Rebo Wekasan) ini, maka diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan. Dari hasil akhir penelitian ini belum sepenuhnya sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan penelitian ini dapat di kaji lebih dalam dan kritis.

2. Sikap kritis dan obyektif adalah faktor yang sangat penting dalam usaha memahami hadis-hadis Nabi SAW, di samping faktor-faktor pendukung lainnya dan harus terlepas dari unsur kefanatikan terhadap kelompok dan golongan.


(4)

98

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar. Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN SunanAmpel. 2003.

Abu Khalid Walid Mukrim, http://Islamhouse.com/2011 Keyakinan Seputar Bulan Safar ter.Syafar Abu Difa.

Al-Kha>tib, Muhammad „Ajjaj. Usu>l al-Ha>dis ‘Ulu>muhu wa Mustala>hu. Beirut: Da>r al Fikr t.t.

Abu S{alih{ Munjid, http://Islamhouse.com/2011 Pelajaran diBulan Safar ter: Syafar Abu Difa.

„Alimi, Ibnu Ahmad. Tokoh dan Ulama’ Hadts . Sidoarjo: Mashun. 2008.

Al-Mathr, Hammud bin Abdullah. Kumpulan Tanya Jawab Bi’ah dalam Ibadah ter. Asmuni. Jakarta: Darul Falah. 2000.

Al-Mizzi>, Jamal al-Di>n Abi> al-H{ajjaj Yu>suf. Tahdhi>b al-Kama>l fi> Asma>’i al-Rija>l. Bairut: Da>ral-Fikr. 1994.

Al-Nai>saburi, Ima>m Abi> H{usai>n Musli>m bin H{ajaj al-Qushai>ri. S{ahih Musli>m Beirut: Da>r al-Ku>tub al-Ilmiyah. 1995.

Al-Qardha>wi>. Bagaimana Memahami Hadis ter. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma.1994.

Al-Qardha>wi>, Yusuf. Pengantar Studi Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 1991. Al-Qasimi, Muh. Jamaludin. Bid’ah dalam Masjid ter. Wawan Djunaedi Soffandi.

Jakarta: Pustaka Azam. 2005.

Al-Qazwai>ni, H{afidh Abi>‘Abba>s Muh{ammad bin Yazi>d. Sunan Ibnu Ma>jah Beirut: Da>r al-Khatab al-Ilmiyah. 1995.

Alquran danTerjemah.

Al-Sajasta>n, Ima>m al-H{afidh Abi> Da>wud Sulaima>n bin al-Ash’at. Sunan Abi Da>wud. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah. 1996.


(5)

99

Ash-S{iddieqi>, M. H{asbi. Pokok-pokok Ilmu Dira>yah Hadis jilid: I. Jakarta: PT: Bulan Bintang. 1986.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: BulanBintang. 1974.

Al-Sindi>, Abi> H{asan Nu>ruddin Muh{ammad bin Abdul Hadi. S{ah{ih{ Bukha>ri>.

Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah. 2008.

Az-Zahrani, Muhammad. Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits. Jakarta: Darul Haq. 2011.

Bisri, A. Musthafa. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista. 2006.

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN SunanAmpel. Panduan Penulisan Skripsi

Surabaya: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2014. Idris, Studi Hadis. Jakarta: KencanaPrenada Media Group. 2010.

Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang. 2005.

Ismail, M. Syuhudi. Pemahaman Hadis Nabi secara Tekstual dan Kontekstual

Jakarta: Bulan Bintang. 1994.

Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: Bumi Aksara. 1997.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011. Maktabah Shamilah ver: 51.

Muhid, dkk. Metodologi Penelitian Hadits. Surabaya: IAIN SA Press. 2013. Noorhidayati, Salamah. Kritik Teks Hadis Analisis Tentang Riwayat bi al-Ma’na

dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis. Yogyakarta: Teras. 2009.

Qardhawi, Syekh Muhammad Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam ter: Muamm al Hamidy. Bangil: PT Bina Ilmu. 1993.

Qardhawi, Yusuf. Studi Kritis as-Sunah, ter. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Trigenda Karya. 1995.


(6)

100

Sa‟adah. “Makna Tradisi Rebo Wekasan Menurut Masyarakat Desa Suci, Manyar, Gresik (Studi Teologi)”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel. 2011.

Saifuddin.Tadwin Hadis Kontribusinya dalam Perkembangan Historiografi Islam

cet: I. Banjarmasin: Antasari Press. 2008.

Sau>rah, Abi> Isa Muh{ammad bin Isa. Jami’ as-S{ah{ih{. Beirut: Dar al-Ilmiyah. 1994. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan

R&D). Bandung: Alfabeta. 2010.

Sumbulah, Umi. Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN-Malang Press. 2008.

Suryadi dan Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH-Press. 2009.

Syiha>b al-Di>n, Abi> al-Fadl Ah}mad bin „Ali ibn H{ajar al-„Asqala>ni>. Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Bairut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah. 1994.

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press. 2011.

Wahhab, Muhammad bin Abdul. Tegakkan Tauhid Tumbangkan Shirik.

Yogyakarta: Mitrapustaka. 2000.

Wensick, A.J. Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi>>. Leiden: E.J. Brill. 1967.

Yuslem, Nawir. Ulumul hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. 2001.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007.