penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat unt uk mengembangkan berbagai penelitian yang
berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4 Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka
penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada
periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48, penderita TB paru BTA+ baru ditemukan di Minggiran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB
paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas
hidup penderita TB paru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan
rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50 orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran
yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis medis menderita TB paru BTA+, telah melewati fase intensif
program pengobatan minimal 2 bulan dengan OAT Kategori I, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapat
membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April
2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis korelasi Product Moment Pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian Penderita TB paru yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata 21–30 tahun sebanyak 26 orang 52. Usia 31–40 tahun
dan usia 41–50 tahun masing- masing 8 orang 16 dan 7 orang 14. Jumlah penderita laki- laki dan perempuan
berimbang, laki- laki 27 orang 54, perempuan 23 orang 46. Pendidikan responden sebanyak 23 orang 46
tamat SLTA, 14 orang 28 tamat SLTP, sedangkan responden dengan pendidikan rendah tidak sekolah, tidak
tamat maupun tamat SD masing- masing 3 orang 6. Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang 28, tidak
bekerja dan buruh masing- masing 8 orang 16. Riwayat pengobatan sebanyak 33 orang 66 responden
menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya
kecuali di BP4, sedangkan 17 orang 34 menyatakan pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran.
2. Dukungan Sosial Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang
pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan sosial tersebut. Sebanyak 18 orang 36 mendapat
dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori sedang dan rendah masing- masing sebanyak 22 orang 44
dan 10 orang 20. Dukungan sosial yang diterima para penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak
saudara dan tetangga.
3. Kualitas Hidup Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek
yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari- hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang 68
dapat beraktivitas normal, 14 orang 28 dalam beraktivitas perlu bantuan orang lain dan 2 orang 4 menyatakan
tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang 80 dapat melakukan kehidupan sehari- hari dengan normal, 9 orang
18 dalam melakukan kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain serta 1 orang 2 menyatakan tidak
mampu menjalani kehidupan sehari- hari sama sekali. Sebanyak 25 orang 50 merasa sehat pada sebagian besar
waktu, 21 orang 42 menyatakan sering merasa lesu, serta 4 orang 8 menyatakan bahwa badannya selalu terasa
sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang 86, penderita
yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak 6 orang 12 dan hanya seorang 2 menyatakan jarang
mendapat dukungan dari orang- orang sekitarnya. Sebanyak 40 orang 80 mempunyai harapan positif dan dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Ada 9 orang 18 merasa sedih dan hanya 1 orang 2
betul- betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis besar sebanyak 34 orang 68 mempunyai kualitas hidup
baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30 dan hanya ada 1 orang responden 2 dengan kualitas hidup jelek.
4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup
Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r sebesar 0,675; p0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan
yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial
yang diterima, maka kualitas hidup juga semakin meningkat. Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
8
Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kualitas Hidup
Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara karakteristik responden umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan dengan kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis :
variabel umur r=0,468; p0,05, jenis kelamin r=0,077; p=0,593, pendidikan r=0,420; p0,05, pekerjaan r=0,141;
p=0,330, riwayat pengobatan r=0,017; p=0,906. Dari analisis tersebut diketahui bahwa variabel umur dan
pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang, masing- masing sebesar r=0,468 dan r=0,420, dengan
tingkat kemaknaan p0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan
kualitas hidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan
hubungan bermakna dengan kualitas hidup.
Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat
variabel umur â=0,519; p0,05 dan pendidikan â=0,378; p0,05 memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas
hidup. Variabel lainnya yaitu jenis kelamin â=0,260; p=0,753, pekerjaan â=–0,155; p=0,260 dan riwayat pengobatan â=–
6,25; p=0,417 tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
PEMBAHASAN
Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran
terbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar 52. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia
dewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95 penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75
diantaranya adalah usia produktif.
Jumlah penderita laki- laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai
kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki- laki lebih banyak
melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini.
Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA sebesar 46. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan
lebih tinggi akan sadar t entang perilaku sehat dan pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum
tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan
lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI
Jakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnya t ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya
pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar
penderita yang masih membuang dahak serta meludah sembarang tempat.
Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa sebesar 28. Dari hasil wawancara didapat bahwa
responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di
lingkungan padat hunian seperti kos berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan
mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang
terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,
mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat penghuninya akan kekurangan O
2
sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya
penularan penyakit.
Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66 penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya
kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih
memilih untuk berobat di instansi tersebut dengan pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal
ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan.
Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan
yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga
diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita agar terat ur berobat sesuai dengan jadwal sampai
tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak penderit a yang t idak tekun menyelesaikan
pengobatannya.
Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini diperoleh 44 dari keseluruhan responden mendapatkan
dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup
mendapatkan dukungan sosial dari orang- orang di sekitar penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit
kronis, sebab dengan dukungan t ersebut akan mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa
9
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait aktivitas pada satu minggu terakhir
tergolong baik. Sebanyak 34 orang 68 penderita menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan
normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4. TB
paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering ditemukan anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari- hari pada satu
minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80 responden menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian
sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari- hari, seperti
mengurus diri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas
fungsional.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu
terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang 50 responden merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang
merasa tidak sehat sebanyak 4 orang 8 lebih disebabkan oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah.
Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya
nafsu makan, napas pendek serta sering flu.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan
t eman- t eman diperoleh sebanyak 43 orang 86 menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain
dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari
keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru
mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana
orang- orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak dengan penderita, karena takut tertular. Sebaliknya,
dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan
penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga
dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam
minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.
Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang 80 penderita
mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar. Sebagian besar
responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru
dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang
yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh petugas kesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum
seluruh obatnya diharapkan akan sangat membantu penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung
proses penyembuhannya.
Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup r=0,675; p0,01. Arah korelasi positif menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka
kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah
satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu,
dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang.
Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan kualitas hidup didapatkan nilai sebesar â=0,519; p0,05.
Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya
kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya umur.
Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dengan nilai
â=0,260; p=0,735. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal
Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata
tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal GGT yang menjalani hemodialisis kronik.
Disebutkan pula bahwa laki- laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan.
Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup â=0,378; p0,05. Hal ini sesuai
pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat
pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan, sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh
terhadap perawatan kesehatannya.
Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan kualitas hidup penderita diperoleh â=–0,155; p=0,260.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
10
Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi terhadap kualit as hidup penderita TB paru. Hal ini
dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak
50 responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga
jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak mewakili profesi.
Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak ada hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitas hidup
penderita TB paru, didapatkan nilai â=–6,25, p=0,417. Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan
ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk
menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.
KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi
dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan
kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A., “Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Balai Penerbit FK UI. Jakarta : Hal : 715–719. 1990.
Brehm, S., Kassin, S., “Social Psycology”. New Jerset : Houghton Mifflin. Princetor. 1990.
BP4 Yogyakarta., “Laporan Triwulan TB Paru”. BP4 Unit Minggiran. Yogyakarta. 2003.
Cohen, S; Syme, S.L., “Social Support and Health”. London : Academic Press Inc. 1985.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., “Clinical Tuberculosis”. 2nd Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.
Depkes RI., “Pedoman Nasional Penanggulangan TB”. Cetakan ke- 5. Jakarta. 2000.
Depkes RI., “Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya”. Jakarta. 1994
Depkes RI., “Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan Penanggulangannya”. Ditjen P2M PLP. Depkes RI, Jakarta.
1999.
Faisal, A., “Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch Pulmonum Orang Dewasa”. Majalah Radiologi Indonesia Tahun
ke- 2, No 2 : 31–35. 1991.
Gitawati, R., Sukasediati, N., “Studi Kasus Hasil Pengobatan TB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999”. Cermin
Dunia Kedokteran. No. 137 : 17–20. 2002.
Hamdani, F., “Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan Berobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito”. KTI FK
UGM. Yogyakarta. 1994.
Handayani, S., “Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB Paru”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 – 36. 2002.
Kuntjoro, Z.S., “Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5 Oktober 2003: Available from :
http:www.e-psikologi.com lain- lainzainuddin.htm.2002
Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., “Kapita Selekta Kedokteran”. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
Notoatmodjo, S., “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT. Rineka Cipta : Jakarta. 1996.
Sugiyono., “Statistik untuk Penelitian”. Bandung : CV. Alfabeta. 1999.
Smeltzer, Suzanne C., “Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah, Brunner Suddarth editor”. Ed 8. Vol 1. Jakarta :
EGC. 2001.
Siswanto, A., “Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta”. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FK UGM Yogyakarta. 1992.
Subowo, D., “Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak di RSUD Sragen, Jawa Tengah”. Tesis Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. 2001.
Priambodo, R., “Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruksi
Menahun PPOM di RSUP Dr. Sardjito Tahun 1991 – 1996”. KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.
Prasetyo, I.E., “Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit
Sardjito Yogyakarta”. KTI – FKL UGM. 2003.
WHO. “Tuberculosis Control”. New Delhi, WHO Regional For South East Asia. 1993.
Woerjandari, A., “Manajemen Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas dan
BP4 Kota Yogyakarta”. Tesis Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. 2001.
11
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis TB terbanyak ke- 3 di dunia setelah India dan
Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10 dari seluruh pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga SKRT
tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei
prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB BTApositif secara nasional 110100.000 penduduk.
Berdasarkan data di atas TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia.
1
Diagnosis TB paru yang digunakansaat ini secara rutin dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmas adalah
diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri tahan asam BTA. Kasus- kasus tertentu dilakukan kultur
untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan
waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk
kultur M.tuberculosisM. tb yang terjamin keamanannya. Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif
cepat tetapi sensitivitas dan spesifitas teknik ini lebih rendah dibanding dengan teknik kultur.
2
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan
laboratorium dan uji tuberkulin.
1
Pemeriksaan mikrobiologis yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan
pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB, meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai
keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA+ di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kumanml sputum sedangkan
untuk mendapatkan kuman positif pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50–100
kumanml sputum.
1,2
Pulasan BTA sputum mempunyai sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang
memberikan kepositifan 10 pada pasien dengan gambaran klinis TB parudan 40 penyandang TB paru dewasa
RAPID TB TEST Apri Lyanda
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.
3
Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6–8 minggu
dengan angka sensitivitas 18– 30. Foto polos toraks memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30 pada
negara berkembang.
2,3
Bila terdapat gambaran infiltrat di lobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, maka
kemungkinan TB paru 80–85.
4
Oleh karena terdapat beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan
spesifitas yang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik yang konvensional.
3,5
SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB
Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang
belakang manusia dengan tanda spondylitis tuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri
penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan. Galenus dokter di zaman Romawi
berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin
1827- 1892 pertama kali membuktikan secara ilmiah TB adalah penyakit menular tetapi penyebabnya belum
diketahui. Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882 menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah
penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting
dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895
menemukan sinar- X sehingga makin melengkapi diagnosis TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis
lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan
kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. Permulaan abad ke- 20 semua sarana diagnosis
TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih
ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
12
DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS
Diagnosis cepatTB rapid diagnosisTBadalah diagnosis cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTB
secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur dan identifikasi fenotipe. Meskipunmetoda tercepat,
termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah 45–80
kultur positif telah membatasi penggunaannya terutama di daerah dengan insidensTB rendah dan pada bentuk
ekst rapulmoner TB sert a pada pasien t erinfeksi HIV.
5,6
Pemeriksaan apus memiliki spesifisitas yang baiktetapi nilai prediktif positif yang rendah 5–80 didaerah dengan
insidens tinggi M. non- TB.
4,6,7
Teknik kultur masih dianggap sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas
lebih baik dibanding pemeriksaan BTA.
Pertumbuhan lambat bakteri M.tb merupakan hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit. Dua dekade
terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec
460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks Amerika, MB BacT ALERTdibuat oleh bioMérieux,
Marcyl’Etoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton Dickinson Diagnostics dan VersaTREK produksi Trek Diagnostic
System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut masih membutuhkan waktu beberapa minggu untuk
mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe
kuman.
4,7
Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat iniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik
sepertigenotipe atau molekuler.
7,8
Beberapa metoda diagnosis cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini.
Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Metoda kromatografi
Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan deteksi asam tuberkulostearat TBSA, baik sendiri maupun
dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel mycobacterium.
8,9
Berbagai metoda yang cepat dan sensitif telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah
fast gas chromatography mass spectrometry GC- MS.
10,11
Gambar 1. Uji kultur M. tb.A Hasil negatif, B Hasil positip. Dikutip dari 2
Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb dan deteksinya memerlukan diagnosis banding antara spesies
Mycobacterium,Nocardia dan basil gram+ lainnya yang juga memiliki asam dan jenis lipid yang sama. Diantara komponen-
komponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.
11
Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan
antigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif bermakna untuk diagnosis cepat TB.
12
Metoda Fagotipik
Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan
untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat
penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan
bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter Phage Assay LRPdan Phage Amplified Assay PhaB.
Perbedaan terpenting antara ke- 2 metoda ini adalah mengenai deteksi sel mikobakterium yang terinfeksi
bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase fflux
yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan
setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada M. smegmatis.
13-15
Luciferase Reporter Phage Assay telah terbukti bermanfaat untuk membedakan M. tbdari kultur dan
terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan rifampisin.
13
Phage Amplified Assay telah dikomersialkan dengan nama dagang FASTPlaque- TB, digunakanuntuk
mendiagnosis TB pada sediaaan saluran pernapasan juga telah diteliti untuk uji sensitifitas terhadap antimikrobaM. tb. Teknik
ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas
yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi
mengenai manfaat dalam diagnosis TB atau deteksi resistensi obat antituberkulosis OAT.
14-16
Metoda Genotipe
Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakterium.
16
Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis
M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam
13
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
amino nukleat NAA. Teknik ini memiliki beberapa keuntungan sepert i waktu kembali yang cepat dan
kemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian mucul saat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaan
klinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitas pada sampel apus negatif dan ekstraksi DNA.
17,18
Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas dan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Hal
ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dan kurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnya
menggunakan kultur sebagai baku emas yang secara teoritis memiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasi
NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada kebanyakan penelitian telah mengakibatkan beberapa
kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan
terbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosa tuberkulosis menyatakan bahwa:
a metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaan M.tb pada 50–85 sediaaan BTA apus negatif dan
kultur positif
b nilai prediktif positif pada spesimen BTA apus positif lebih tinggi 95
c secara umum, met oda molekuler ini dapat mendiagnosisTB beberapa minggu lebih awal
dibandingkan kultur pada 80–90 pasien dengan kecurigaan TB yang tinggi.
19,20
Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non komersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat dan
amplifikasi polymerase chain reactionPCR dari berbagai target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atau
MBP64. Meskipun uji amplifikasi non- komersial telah berkembang pada beberapa t ahun t erakhir yang
direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang memiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebih
baik.
20
Semua metoda NAA membut uhkan analisis postamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesis
fragmen teramplifikasi atau hibridisasi, restriksi atau sekuensing.
18,20
Untuk diagnosis TBmetoda yang paling berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada uji
hibridisasiTabel 1. Amplifikasi DNA konvensional dengan
Polymerase Chain Reaction PCR
Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic System Inc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepat
tertua berdasarkan PCR standar. Uji ini adalah uji DNA yang mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16S dilanjutkan
dengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat
diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh US Food and Drug Administration FDA untuk digunakan pada
sediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BTA+.
21
Berbagai studi telah melaporkan sensitifitas yang tinggi pada spesimenapussaluran pernapasan positif 87–100, lebih
rendah pada kasus apus negatif 40–73 dan sampel ekstrapulmoner 27–98. Spesifisitas metoda ini berkisar
antara 91–100.
20,21
Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi TMA AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik Gen- Probe
Inc., San Diego Amerika merupakan alat TMA menggunakan metoda isothermal cepat dengan suhu 42
Cdengan amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar
transkriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNA menjadi hibrid cDNA- RNAsertametodachemiluminiscent
untuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda DNA spesifik. Amplifikasi M.TB uji langung merupakan uji pertama
yang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluran pernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasi
FDA diperluas hingga sampel apus negatif.
21
Saat ini terdapat bukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi 95–
100 dan sensitifitas tinggi 91–100 untuk sampel apus saluran napas positif, meskipun sensitifitas ini lebih rendah
untuk sampel apus negatif 65–93 dan ekstrapulmoner 63–100. Kerugian yang paling penting adalah kurangnya
kontrol amplifikasi internal AIC dan tidak terdapat kemungkinan otomatisasi.
20,21
Reaksi Rantai Ligase Ligase chain reactionLCR
Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasi DNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.TB dari sampel
klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M. tb. Meskipun spesifisitas 90–100 dan sensitifitas 65–
90 yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampel pernapasan, produk ini ditarik dari pasaran Eropa pada tahun
2002.
20
Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena ongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan
Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi
Uji
Cobas amplicor AMTD
LCX BD Probe Tec
Innolipa Genotype MD
RT –PCR GeneExpert
GeneQuick
Metoda amplikasi
PCR TM A
LCR SDA
Neste- PCR NA-SBA
Real time PCR Real time PCR
PCR
Target
16sRNA 16sRNA
PAB IS6110- 16sRNA
rpoBgene 23sRNA
16sRNA rpoBgene
IS6110
Deteksi
Kolorimetrik Semiluscent
Fluorimetrik Flourimetrik
Kalouimetrik Kalorimetrik
Fluorimetrik Fluorimetrik
Kalorimetrik
Vol sampel
ul
1 0 0 4 5 0
5 0 0 5 0 0
5 0 0 5 0 0
1 0 - 1 0 0 1 .0 0 0
5 0
Waktu paruh
jam
6- 7 2- 5
6 3,5- 4
1 2 5,5
2- 3 2
2,5
Automatis
Ya Tidak
Ya Ya
Ya Ya
Ya Ya
Tidak
IAC
Ya Tidak
Tidak Ya
Tidak Ya
Ya Ya
Ya
Dikutip dari 20
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
14
harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.
Strand Displacement Amplification SDA Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu teknik
semiotomatis dalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas. Metoda ini merupakan proses amplifikasi enzimatik isotermal
menggunakan suhu 52,5
C untuk menghasilkan beberapa salinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16S yang produk
amplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. Evaluasi pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90–
100 pada sampel apus positif dan 30–85 pada sampel apus negatif dengan spesifisitas tinggi 90–100.
20
Alat uji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika.
Uji Hibridisasi Fase Padat solid- phase hybridization
assay Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji
hibridasi fase padat yaitu Innogenetics, Gent Belgia dan Hain Lifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan
mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untuk mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain
dapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksi Mycobacterium Others Than Tuberculosis MOTT antara lain
M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense.
21
Real Time PolymeraseChain ReactionRT- PCR Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan
berbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memiliki sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan
masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini dikarenakan proses setelah ekstraksi DNA terjadi pada tabung
tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT- PCR sudah banyak memproduksi seperti Cobas TaqMan MTB test
buatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas dan spesifisitas umum yang tinggi, terutama pada sampel saluran
napas. Diantara berbagai alat yang telah diprodusi menggunakan teknik ini, GeneXpertbuatan Cepheid,
Sunnyvale Amerika dan FIND Diagnostics, Jenewa Swiss baru saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT- PCR semi
kuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasi pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridge
sekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari 2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untuk
menggunakan uji ini. Penelitian pendahuluan menyatakan sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran
pernapasan.
19,20
Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh, WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai uji
diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasien dengan kecurigaan klinis tinggi memiliki TB atau seseorang
dengan multidrug resistant MDR TBGambar 2.
21
Gambar 2. Alat
diagnosis cepat genexpert
Metoda baru lainnya Loop mediated isothermal amplification LAMP
buatan Eiken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics, Genewa, Swiss adalah teknik amplifikasi isotermal yang relatif
baru.
21
Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar target DNA gryrBatau IS6110 dalam tabung tunggal dan produk
amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas atau kolorimetrik dan fluorimetrik. Meskipun memiliki
keterbatasan uji dalam konteks TB, data awal memberikan hasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepat
hanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapat bermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.
20,21
Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaan saluran napas adalah GenoQuick MTB test buatan Hain
Lifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasi lanjutan.
21
Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan
dengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihat lebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb
jika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyai banyak keuntungan dan hasil akhirnya lebih murah.
Penelitian yang dilakukan WHO di beberapa negara berkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih
banyak biaya dan waktu dibanding cara lama.
20,21
Sosialisasi pembiayaan yang lebih murah ini terus dilakukan oleh WHO
untuk memcepat diagnosis M.t b maupun MDR- TB. Pembelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harus
dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert dengan metoda PCR- RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.
21
Perbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metoda dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Dikutip dari 21
15
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
MODS MGIT
BACTEC L J
Microagar MABA
PCR- RT BTA sputum
0,77 7,00
2,55 0,14
0,29 1,23- 2,43
0,90 0,10
1,72 35,02
12,75 1,60
1,60 5,62
1,80 63,03
23,00 1,57
2,92 6,87
Metoda Uji Biaya
US Uji resisten
2 obat Uji resisten
4 obat Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB
Dikutip dari 18
Kesimpulan
1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman M.tb kurang dari 1 jam