PPTI Jurnal Maret 2012
ISSN 1829 - 5118
Vol. 8 - Maret 2012
J U RN AL
T U BERK U LOSI S
I N DON ESI A
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) The Indonesian Association Againts Tuberculosis
DAFTAR ISI :
•
EVALUASI METODE FASTPlaqueTB
TMUNTUK MENDETEKSI Mycobacterium
tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI
JAKARTA-INDONESIA
•
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU
•
(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN
•
RAPID TB TEST
•
MEROKOK DAN TUBERKULOSIS
•
TUBERKULOSIS DAN HIV- AIDS
(2)
Vol. 8- Maret 2012
ISSN 1829 - 5118
JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
Pemimpin Umum
Ketua Umum PP PPTI
Penanggung Jawab
Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP
Pemimpin Redaksi
Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D
Sekretariat Redaksi
Drs. Sumardi
Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A
Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240
Telp. 021 - 7397494
Fax. 021 - 7397494
http://www.ppti.info, email: [email protected]
(3)
Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut: Pedoman Umum
Naskah adalah karangan asli
Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam
bentuk dan media/jurnal apapun
Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis
Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan
seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi
Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan
naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah
Redaksi berhak untuk meminta penulis untuk
memperbaiki isi dan bentuk tulisan
Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada
penulis apabila ada permintaan sebelumnya
Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang
efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu, naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan ejaan yang standar
Naskah
Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak
tepi- tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran kertas A4 (21x 30 cm)
Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket
berupa copy file dari naskah tersebut Kelengkapan Naskah
Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal Tuberkulosis Indonesia:
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama
Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau
via email: [email protected]
Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print- out) yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2) abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6) daftar pustaka, 7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasi dan foto berikut keterangannya
Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan
program MS- Word Halaman Judul dan Penulis
Judul makalah ditulis lengkap, dan tidak
menggunakan singkatan
Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis
Nama departemen dan institusi
Alamat korespondensi penulis
Petunjuk Untuk Penulis
Abstrak
Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak tidak lebih dari 250 kata.
Tabel dan Gambar
Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,
dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah
Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel
Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai
urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel ataugambar.
Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara
informative sehingga mudah untuk dimengerti
Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan
biaya reproduksi Daftar Pustaka
Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan
Vancouver.
Daftar rujukan tidak lebih dari 25 buah, dan
merupakan rujukan terbaru dalam satu dekade terakhir.
Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam
narasi naskah.
Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam
Index Medicus.
Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun
belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai aturan dan ditambahkan: In Press
Contoh Penulisan Daftar Rujukan
1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32- 80. 2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of
Tu-berculosis Control. Clinical policies and protocols. 3rd ed. New York, NY: New York City Department of Health, 1999
3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5
4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California: Aicon Publishers; 1985
5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condi-tion of the Vaginal and Urethra, te Linde’s Opera-tive Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press; 1995. p. 911- 938
(4)
EDITORIAL
Sekali lagi tentang TB- MDR. Siapa yang salah ?
“Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb- paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!”
Begitulah ‘keluhan’ yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB- MDR, yaitu TB- paru dengan kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak- anak.
Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan ‘wabah’ TB- MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak
adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yglambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi
sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang
tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutanresisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi
primer maupun sekunder.
Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal
pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling
tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.
Cara- cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR- TB harus dilakukan.
Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB terbatas, hanya sekitar 30 – 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi bahwa ‘kesalahan’ yang dapat berakibat timbulnya ‘wabah TB- MDR’ ada pada dokter praktek swasta dan unit kesehatan tersebut.
(5)
Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul
Role of the Private Health Sector to Prevent MDR- TB Epiemics in Indonesia.
Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang berhubungan dengan MDR- TB secara tidak langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST- plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan dalam tulisan Nita Yuniarti R.
(6)
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan
negara-negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun
2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi
semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif.
Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur
memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada pewarnaan tahan asam.5 Kultur Lowenstein- Jensen (LJ)
merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium
tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk
memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7
Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5
Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebih cepat dan akurat.8
Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasi cepat Mycobacterium tuberculosis yang telah banyak digunakan di negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya, secara teknis metoda ini tidak mudah dikerjakan dan memerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepat
yang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage.
Mycobacteriophage akan menginfeksi Mycobacterium tuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium
tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda,
yaitu menggunakan luciferase reporter phage (LRP) dan menggunakan metode amplifikasi faga. FASTPlaqueTBTM (Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metode cepat yang memiliki prinsip kerja berdasarkan teknologi amplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap 13
penelitian phage based assay menunjukan bahwa nilai sensitivitas uji FASTPlaqueTBTM masih memiliki rentang nilai sensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 21–94% dan rentang nilai spesifisitasnya 83– 100%.10 Hingga saat ini belum
ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui efektivitas metode FASTPlaqueTBTM.
Oleh karena teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan akurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan TB di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menguji metode FASTPlaqueTBTM dalam mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis pada sputum. Diharapkan metode
ini dapat membantu penegakan diagnosis TB yang cepat, akurat, mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
METODEA
Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari 18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta, 3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan 24 pasien yang berobat di Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan telah menandatangani
informed consent. Kriteria inklusi yang digunakan adalah
pasien usia e”15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TB
paru ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau lebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas (batuk e” 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada),
terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan).11 Pengambilan sputum
dilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum dari
masing- masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3
EVALUASI METODE FASTPlaqueTB
TMUNTUK MENDETEKSI Mycobacterium
tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI
JAKARTA-INDONESIA
Leli Saptawati,dr.,Sp.MK, Mardiastuti,dr.,M.Sc.,Sp.MK(K), Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K),
(7)
kali, yaitu sputum sewaktu- pagi- sewaktu. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus perkiraan perbedaan 2
proporsi.13 Pengumpulan spesimen dilakukan selama 2 periode
yaitu bulan April–Juli 2009 dan Oktober–Desember 2010. Pewarnaan dengan metode ZN dilakukan sebelum dan sesudah dekontaminasi sputum. Dekontaminasi dilakukan
dengan metode NALC-NAOH (Mycoprep®) dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml FASTPlaqueTB (FPTB) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang (sisakan sekitar
0,5–1 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM
Plus. Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukan
pembuatan preparat untuk pemeriksaan mikroskopis. Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial steril yang sudah tersedia dalam kit FASTPlaqueTBTM dan diinkubasi selama 18–24 jam. Bersamaan dengan uji di atas, dilakukan biakan pada media LJ dan Lowenstein Jensen–P-nitrobenzoic
acid (LJ- PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan ke
dalam media LJ dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam di media LJ- PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir pada tabung LJ dan LJ- PNB dilonggarkan dan media diletakkan di dalam inkubator dengan posisi miring 30° selama 24 jam. Setelah itu tutup ulir dirapatkan kembali dan tabung diinkubasi pada posisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16
Uji FASTPlaqueTBTM dilakukan sesuai dengan petunjuk pada manual dari Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK . Pada setiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol positif. Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35- 37ºC, kontrol negatif dan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan faga dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 35–37ºC. Setelah inkubasi, masing- masing tabung ditambah 0,1 ml larutan virusid. Tabung didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang, kemudian masing- masing tabung ditambah 5 ml larutan FPTB
MediumTM Plus untuk menetralisasi efek virusid. Selanjutnya ditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah itu ditambah dengan 5 ml FPTB agar yang sudah dicairkan dan dituang ke dalam petri steril. Diamkan hingga agar mengeras (sekitar 30 menit pada suhu 20–25ºC). Petri kemudian diinkubasi semalam pada suhu 35–37ºC. Keesokan harinya petri diambil dari inkubator dan dihitung jumlah plak yang terbentuk. Pada kontrol negatif harus terbentuk d” 10
plak, kontrol positif harus terbentuk e” 20 plak. Pada petri
spesimen, hasil dikatakan negatif apabila ditemukan 0–19 plak dan dikatakan positif apabila terdapat e” 20 plak.17
HASIL
Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95 dan 69 sampel sputum. Pada periode I, 50 dari 95 sampel tidak dapat digunakan karena :
a. Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang diperiksa disertai perubahan warna pada media LJ dari hijau menjadi biru atau coklat.
b. Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14 sampel sputum.
c. Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM
d.Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan mengenai gejala klinik.
Sedangkan pada periode ke- 2, sebanyak 17 dari 69 sampel tidak dapat digunakan karena :
a. Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8 sampel sputum.
b. Lima sampel mengalami kontaminasi pada uji
FASTPlaqueTBTM
c. Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kultur
LJ maupun uji FASTPlaqueTBTM
d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada media kult ur LJ dan kont aminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM.
Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164 sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 97 sampel.
Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangka TB paling banyak berada pada usia 35- 44 dengan mean 43 tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46) berjenis kelamin laki- laki dan 13 orang (13/46) berjenis kelamin perempuan.
Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM, 52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38 sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NTM yang dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi positif oleh
FASTPlaqueTBTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisis hanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosis dan kultur negatif.
Hasil pemeriksaan mikroskopis
Pada 90 sampel sputum dilakukan pewarnaan tahan asam dengan metode Ziehl Neelsen. Hasil pewarnaan setelahproses dekontaminasi menunjukkan bahwa sebanyak 52 sampel (58%) positif dan 38 sampel (42%) negatif.
(8)
Hasil pemeriksaan kultur
Setelah dilakukan pemeriksaan mikroskopis, selanjutnya sampel ditanam pada media LJ dan LJ- PNB.
Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalam
analisis lebih lanjut . Sebanyak 52 sampel (57,8%) menunjukkan hasil kultur LJ positif dan 38 sampel (42,2%) menunjukkan hasil kultur negatif.
Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM
Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semua spesimen juga diperiksa dengan menggunakan metode
FASTPlaqueTBTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53 sampel (58,9%) menunjukkan hasil positif dan 37 (41,1%) memberikan hasil negatif. Analisis statistik pewarnaan Zehl Neelsen dan FASTPlaqueTBTM dengan kultur LJ sebagai baku emas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3.
Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsen
langsung dan uji FASTPlaqueTBTM
Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan untuk pelayanan sehari- hari laboratorium di Indonesia adalah pewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai dengan panduan Depkes RI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diketahui kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung dan FASTPlaqueTBTM. Interpretasi hasil pada pewarnaan langsung dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun 2006.18
Di antara sampel dengan hasil kultur positif (52 sampel), 8 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, 2 sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, 18 sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkan hasil +2, dan 16 sampel menunjukkan hasil +3 (tabel 4). Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar e”90% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM dan kultur LJ positif dapat diperoleh mulai dari hasil +1.
Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38 sampel), 33 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, satu sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampel menunjukkan hasil +2, dan tidak ada sampel yang menunjukkan hasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung,
FASTplaqueTBTM dan kultur LJ negatif diperoleh pada pewarnaan langsung yang menunjukkan hasil negatif.
Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi dibandingkan dengan Kultur LJ.
Ziehl Neelsen Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg
Positif 4 7 5 90,4 86,8 90,4 86,8 6,9 0,1 Negatif 5 3 3
5 2 3 8
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan
Kultur LJ.
FASTPlaqueTB Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg
Positif 4 5 8 86,5 78,9 84,9 81,1 4,1 0,2 Negatif 7 3 0
5 2 3 8
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Tabel 3. Analisis statistik kombinasi pemeriksaan Ziehl Neelsen setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTBTM
dibandingkan dengan Kultur LJ.
Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg
Positif 4 9 1 1 94,0 71,0 81,0 90,0 3 0,1 Negatif 3 2 7
5 2 3 8
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif. ZN setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTB Penawaran langsung Uji FASTPlaqueTBTM
Positif n(%)
Uji
FASTPlaqueTBTM
Negatif n(%)
Kultur LJ positif
Negatif 1-9 BTA/100 lapang pandang
+1 +2 +3
17 (94,4) 18 (100) 15 (93,7)
1 (5,6) 0 (0,0) 1 (6,3)
1 8 1 8 1 6 4 (50,0)
1 (50,0)
4 (50,0) 1 (50,0)
8 2 Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji
FASTPlaqueTBTM dan kultur LJ positif
Penawaran langsung
Uji
FASTPlaqueTBTM
Positif n(%)
Uji
FASTPlaqueTBTM
Negatif n(%)
Kultur LJ negatif
Negatif 1-9 BTA/100 lapang pandang
+1 +2 +3
1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0)
1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0)
2 2 0 5
0 (0,0)
27 (81,8) 1 (100)
3 3 1 Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji
(9)
PEMBAHASAN
Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah 46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalam terapi OAT (obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol, Filipina dan Turki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapat
menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM.
Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di
bawah 60%.10
Dat a yang diperoleh pada penelit ian ini memperlihatkan bahwa responden terbanyak adalah kelompok umur 35- 44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun ).3 Data yang dikeluarkan oleh
Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita TB paru berada pada kelompok usia produktif (15–50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi
t ersebut t ent u saja akan sangat berdampak pada
perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh
masyarakat.20 Berdasarkan jenis kelamin, responden
terbanyak dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu 33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering diderita oleh laki- laki dibandingkan wanita. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.21
Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90) sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengan kenyat aan bahwa diperkirakan set engah hingga tigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dan sisanya BTA (- ). Hasil kultur juga menunjukkan data yang sama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJ positif dan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4
FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metode diagnostik yang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalam waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ, metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas 78,9%, Nilai duga posit if dan negat if met ode
FASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasio kemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan 0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta analisis terhadap 13 penelitian. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa phage- based assays memiliki sensitivitas antara 21–94%. Luasnya rentang nilai sensitivitas pada penelitian meta analisis tersebut, dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan, riwayat terapi OAT pada responden, perbandingan jumlah sampel BTA positif dan BTA negatif pada seluruh sampel
yang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen.Pada meta
analisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakan spesimen sputum namun juga menggunakan jenis spesimen lain. Selain itu, sebanyak 5 penelitian menyertakan responden yang sedang dalam terapi OAT.10
Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopis set elah homogenisasi dekont aminasi dan/ at au
FASTPlaqueTBTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar 94,0%, spesifisitas 71,0%, nilai duga positif 81,0%, nilai duga negatif 90,0%, rasio kemungkinan positif 3 dan rasio kemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi hasil pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM mampu meningkatkan sensitivitas, namun tidak dapat meningkatkan spesifisitas. Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasi
pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM
memperlihatkan nilai sensitivitasnya mencapai 90% dan spesifisitasnya 93%.4
Pada hasil uji FASTPlaqueTBTM yang dibandingkan dengan kultur LJ, ditemukan 8 sampel yang menunjukkan hasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTA negatif dan 2 sampel menunjukkan hasil BTA positif). Dengan data tersebut dapat dilihat bahwa 6 sampel BTA negatif terdeteksi positif oleh FASTPlaqueTBTM. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanya faga yang berada di luar sel, karena proses destruksi faga oleh virusid tidak terjadi secara sempurna akibat adanya
faktor dalam sputum yang mampu melindungi faga.Faga
yang masih bertahan di luar sel tesebut kemudian akan menginfeksi Mycobacterium smegmatis dan akan membentuk plak pada media dan memungkinkan terjadinya hasil positif palsu.5 Interpretasi hasil uji FASTPlaqueTBTM sangat bersifat subyektif dan memerlukan kehati- hatian, terutama dalam membedakan hasil negatif dan hasil positif lengkap. Hal ini terkadang cukup menyulitkan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yang dapat menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu. Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsu
pada uji FASTPlaqueTBTM sebanyak 7 sampel. Empat sampel
merupakan BTA negatif dan 3 sampel BTA positif. Hasil
negatif palsu berkaitan dengan kemampuan FASTPlaqueTBTM
dalam mendeteksi keberadaan Mycobacterium sp pada sputum. Kemampuan ini berkaitan erat dengan kemampuan infeksi dan replikasi faga D29 pada pejamu.22 Proses infeksi
(10)
dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain struktur kimia dan biologis sputum23 dan kemampuan
replikasi pejamu.22
Salah satu hal yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah tingginya angka kontaminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM. Dari 69 sampel yang diperoleh pada periode ke- 2, 34 di antaranya (34/69) mengalami kontaminasi pada media FASTPlaqueTBTM. Dua puluh lima sampel di antaranya mengalami kontaminasi berupa generalized growth sehingga media menjadi keruh, dan 9 sampel mengalami kontaminasi berupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruh permukaan media sehingga menyulitkan interpretasi hasil. Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada saat pengambilan dan pemeriksaan sampel atau karena proses dekontaminasi kurang adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi, pada penelitian ini dilakukan proses dekontaminasi ulang pada sampel yang terkontaminasi dan selanjutnya dilakukan uji FASTPlaqueTBTM ulang.
Setelah dilakukan pengujian, diketahui bahwa sebagian besar bakteri kontaminan adalah batang positif Gram berspora (Bacillus sp) diikuti oleh kokus positif Gram. Pada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram, di antaranya Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas sp. Dominasi Bacillus sp sebagai bakteri kontaminan memperkuat dugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan dan pemrosesan spesimen. Penundaan pengiriman spesimen juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi.
Pengulangan proses dekontaminasi dapat menurunkan kontaminasi dari 49,3% menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/ 69). Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) juga
menunjukkan adanya kontaminasi pada uji FASTPlaqueTBTM
sebesar 18,6%, kontaminan terbesar adalah bakteri positif Gram khususnya Bacillus sp dan Staphylococcus sp. Untuk menekan kontaminasi, mereka melakukan penambahan
penisilin pada medium pertumbuhan FASTPlaqueTBTM.
Penambahan penisilin tersebut mampu menurunkan kontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhi sensitivitas dan spesifisitasnya. Supaya FASTPlaqueTBTM dapat diaplikasikan secara efektif, hal penting yang harus dilakukan adalah pengendalian bakteri kontaminan. Hal ini terutama perlu dilakukan di negara-negara sedang berkembang, terkait dengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidak selalu dapat dilakukan dalam kondisi ideal.4
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa uji FASTPlaqueTBTM memiliki sensitivitas yang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan metode pewarnaan Ziehl Neelsen set elah homogenisasi dan dekont aminasi.
FASTPlaqueTBTM hanya mampu mendeteksi bakteri hidup
sedang metode Ziehl Neelsen tidak dapat membedakan antara bakteri hidup dan mati.24 Hal tersebut dapat
membantu klinisi dalam menangani kasus TB pada pasien dengan kondisi klinis membaik namun hasil pewarnaan Ziehl Neelsen positif. Kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan
FASTPlaqueTBTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas.
FASTPlaqueTBTM merupakan metode yang cukup mudah dikerjakan. Selain itu metode ini memberikan keamanan yang lebih baik bagi petugas laboratorium karena menggunakan
Mycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen.
Replikasi faga juga akan menyebabkan lisis bakteri, sehingga bakteri tidak lagi bersifat infeksius. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihan tersebut, uji FASTPlaqueTBTM memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis, memiliki risiko kontaminasi yang tinggi, dan interpretasi hasil dipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalam membedakan hasil negatif dan positif lengkap.
Beberapa kekurangan pada penelitian ini antara lain adalah sampel yang diuji belum mampu mewakili seluruh strain Mycobacterium tuberculosis di Indonesia, karena hanya diambil dari beberapa tempat pelayanan kesehatan di Jakarta. Selain itu, penelitian ini tidak melakukan identifikasi hingga spesies bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari TBC Sedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007.
2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children Who Have Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http:/ /puspasca.ugm.ac.id. 2003.
3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar Fakta Tuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008.
4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of the FASTPLAQUETB Assay for Direct Detection of
Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J
Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635- 40.
5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test,
FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis from
Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(6): 529 – 37.
6. Farnia P, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J, Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonary tuberculosis treatment: a study with a simple colorimetric assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972- 76.
(11)
7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.164.
8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.
www.fk.ui.ac.id 2008.
9. Pai M, Kalantri SP. Bacteriophage- based tests for tuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149- 50.
10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL. Bacteriophage- based tests for the detection of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a systematic review and meta analysis. BMC Infect Dis, 2005; 5(59).
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14. 12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan
Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 13-14,17,21.
13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I, Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro: Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta : CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273.
14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The Research Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18. 15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa
Mycobacterium culture method modified for higher sensitivity employing concentrated samples. Tropical Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.
16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple method to differentiate between Mycobacterium
tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly
on clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2007; 38(1): 111-4.
17. Biotec Laboratories Ltd. FASTPlaqueTBTM a rapid bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available from: www.biotec.com.
18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor- faktor yang berhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa (Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit paru pati). Undip website. 2006. Hal. 2. http:/ / eprints.undip.ac.id/5283/.
19. Suharjana BS, Kristiani, Trisnantoro L. Pelaksanaan Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Sleman. KMPK Universitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/ / www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/ id/ UP PDF/ _working/ No.3_Bambang_S_01_05.pdf.
20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 2009.
21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TB paru – TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktor-faktor-resiko-tuberkulosis-tb.html.
22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14 Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis - application for identification and susceptibility testing. Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 37–42. 23. Stella EJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages
as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria and development of simple methods for diagnosis of mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiología. 2009; 41: 45- 55.
24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish alive and dead mycobacteria by fluorescent staining— a trial for solving the biohazard problem in TB laboratories. Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.
(12)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru Tbdengan kematian sebesar 3 juta orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah kesulit an penemuan penderit a TB paru BTA(+), ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber penularan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai. Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis seperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena dengan dukungan dari orang- orang tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU
(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN
Nita Yunianti Ratnasari
AKPER Giri Satria Husada Wonogiri
semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak berdaya dan putus asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya status kesehatan berarti akan meningkatkan kualitas hidup penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebut dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau keluarga penderita.
Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi penyakit kronis mulai menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB paru, sehingga muncul sikap berhati- hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal. Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan status kesehatan penderita serta pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita penyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji kedua hal tersebut. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karena selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi
(13)
penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat unt uk mengembangkan berbagai penelitian yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4 Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%, penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50 orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis medis menderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif program pengobatan minimal 2 bulan dengan OAT Kategori I, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapat membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April 2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis korelasi Product Moment Pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian
Penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata 21–30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 31–40 tahun dan usia 41–50 tahun masing- masing 8 orang (16%) dan 7 orang (14%). Jumlah penderita laki- laki dan perempuan berimbang, laki- laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang (46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%) tamat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkan responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat maupun tamat SD masing- masing 3 orang (6%). Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak bekerja dan buruh masing- masing 8 orang (16%). Riwayat pengobatan sebanyak 33 orang (66%) responden menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya
kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran. 2. Dukungan Sosial
Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan sosial tersebut. Sebanyak 18 orang (36%) mendapat dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori sedang dan rendah masing- masing sebanyak 22 orang (44%) dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak saudara dan tetangga.
3. Kualitas Hidup
Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari- hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%) dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat melakukan kehidupan sehari- hari dengan normal, 9 orang (18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak mampu menjalani kehidupan sehari- hari sama sekali. Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta 4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak 6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang mendapat dukungan dari orang- orang sekitarnya. Sebanyak 40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%) betul- betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek. 4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Kualitas Hidup
Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct
MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka kualitas hidup juga semakin meningkat. Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.
(14)
Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kualitas Hidup
Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis : variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077; p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141; p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari analisis tersebut diketahui bahwa variabel umur dan pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang, masing- masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan kualitas hidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitas hidup.
Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat variabel umur (â=0,519; p<0,05) dan pendidikan (â=0,378; p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya yaitu jenis kelamin (â=0,260; p=0,753), pekerjaan (â=–0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (â=– 6,25; p=0,417) tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
PEMBAHASAN
Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran terbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar 52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75% diantaranya adalah usia produktif.
Jumlah penderita laki- laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki- laki lebih banyak melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini.
Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan lebih tinggi akan sadar t entang perilaku sehat dan pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum
tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnya t ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar penderita yang masih membuang dahak serta meludah sembarang tempat.
Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat
penghuninya akan kekurangan O2 sehingga menyebabkan
menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya penularan penyakit.
Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66% penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih memilih untuk berobat di instansi tersebut dengan pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan. Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita agar terat ur berobat sesuai dengan jadwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak penderit a yang t idak tekun menyelesaikan pengobatannya.
Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkan dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup mendapatkan dukungan sosial dari orang- orang di sekitar penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit kronis, sebab dengan dukungan t ersebut akan mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa
(15)
cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait aktivitas pada satu minggu terakhir tergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderita menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TB paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari- hari pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari- hari, seperti mengurus diri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas fungsional.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah. Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya nafsu makan, napas pendek serta sering flu.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan t eman- t eman diperoleh sebanyak 43 orang (86%) menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana orang- orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak dengan penderita, karena takut tertular. Sebaliknya, dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.
Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar. Sebagian besar responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh petugas kesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya diharapkan akan sangat membantu penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung proses penyembuhannya.
Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu, dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self
esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang.
Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (â=0,519; p<0,05). Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya umur.
Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dengan nilai (â=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik. Disebutkan pula bahwa laki- laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan.
Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup (â=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan, sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh terhadap perawatan kesehatannya.
Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan kualitas hidup penderita diperoleh (â=–0,155; p=0,260).
(1)
TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL
Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke- 3 di dunia setelah India dan Cina. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.1
Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif. Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik. Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TB merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugas kesehatan saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan pekerjaan.1,15
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan
walaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnya
penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan pertambahan kasus TB kebal obat (MDR- TB), masalah TB yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi bertambah rumit.3 Tinjauan pustaka ini akan membahas
mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa
pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindung pernapasan. Tatalaksana pemberantasan TB dapat dilakukan dengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan di beberapa negara maju.4
PENULARAN TUBERKULOSIS
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang
hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 1–5 ¼m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam- jam bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi terjadi apabila orang menghirup percik renik yang mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk dalam 2–12 minggu setelah infeksi.4,5
Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TB yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain terdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan asam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi antiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi dan suction.1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yang
sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif menjadi positif.7
TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT
Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengan kejadian luar biasa di daerah tersebut.8 Terapi TB dapat
diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat beratnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta
(2)
dan indikasi lainnya.9 Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasa
tuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. Pengaturan aliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udara tidak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udara merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian tersebut.10
Petugas kesehatan dengan angka kesakitan TB yang termasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat, petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis. Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi, intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasi abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya yang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadi penularan nosokomial.Beberapa faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi kontak langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontak dengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6
Bidang kesehatan - Dokter - Petugas register - Perawat inhalasi - Petugas laboratorium - Perawat
- Pekarya, pembantu perawat
Pekerjaan yang berhubungan dengan binatang
Pelayanan makanan Pekerjaan yang berhubungan dengan debu
Pekerjaan yang berhubungan dengan anak- anak, sekolah Pelayananan masyarakat
321 20 68 7 15 26 150 565 455 52 92 113 336,1 50,9 56,2 2,4 16,8 24,1 115,7 253,5 368,0 51,8 254,7 154,4 1,0 0,4 1,2 2,9 0,9 1,1 1,3 2,2 1,2 1,0 0,4 0,7 (0,9- 1,1) (0,2- 0,6) (0,9- 1,5) (1,2- 6,0) (0,5- 1,5) (0,7- 1,6) (1,1- 1,5) (2,0- 2,4) (1,1- 1,4) (0,8- 1,3) (0,3- 0,4) (0,6- 0,9) Kelompok pekerjaan TeramatiKasus DiharapkanKasus SMR (IK 95%) Tabel 1. Risiko kesakitan TB pada kelompok pekerjaan
Dikutip dari (11)
Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko penularan infeksi M. tb cukup tinggi walaupun tidak berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali pet ugas t idak menget ahui bahan yang diperiksa mengandung M. tb. Tiga belas persen petugas laboratorium mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah bekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan
sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulin berhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagai petugas patologi dan ini merupakan indikator keterlambatan diagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturan udara ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularan infeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama dengan klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita TB yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang meninggal akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukan otopsi.12 Pasien yang dirawat dengan indikasi yang tidak
tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugas kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai fasilitas pengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularan untuk petugas dan penderita itu sendiri.4
PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA Pencegahan TB nosokomial merupakan hal yang paling penting.7 Risiko penularan dapat dikurangi dengan
pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan peralatan yang berpotensi sebagai media penularan, walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12
Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yang akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja meliputi riwayat TB sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG, gejala- gejala TB, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan foto toraks (Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejala dan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus dijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dan disarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9
Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi dan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenaga medis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi laten. Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hingga berbulan- bulan sampai bertahun- tahun, keadaan ini disebut dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak menjadi sumber penularan. Diagnosis TB yang tepat dan cepat sangat diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau terjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akan terjadi penularan.13
Pengendalian infeksi TB bertujuan untuk deteksi dini penderita TB, memberi pengobatan dan mencegah orang lain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakan langkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularan M.TB. Terdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4
1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangi pajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M. tb.
(3)
2. Pengaturan lingkungan bert ujuan mengurangi konsentrasi percik renik yang infeksius.
3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan pada daerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapat diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan.
Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harus dilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung, fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8
Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah penyebaran lebih luas. Petugas kesehatan yang baru diangkat harus diperiksa kemungkinan menderita TB, pemeriksaan secara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga lama atau saat timbul gejala penularan TB.4 Petugas kesehatan
dengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG. Risiko TB pada pekerja yang terpajan oleh penderita TB lebih tinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkan pada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. Vaksinasi BCG dapat mengurangi risiko penyakit TB tetapi hal ini tidak terjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksis kurang
disetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8
Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja. Dikutip dari (13)
Pada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktif dan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antrian dengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu. Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yang benar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulut dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di ruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlu
juga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untuk menampung dahak yang dibatukkan pasien.Masker dapat menghalangi penyebaran partikel yang mengandung T. tb yang bersumber dari mulut atau hidung pasien. Tempat sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu bekas pasien.4
Antara ruang rawat penderita TB dengan ruang rawat penderita nonTB harus dibedakan, terutama ruang rawat penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan imunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini berada pada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik. Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatan secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial. Pasien MDR-TB dirawat di ruang isolasi sehingga kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela dan
pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara dapat mengalir serta penggunaan kipas angin untuk mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara. Pengaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaan dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik (Gambar 1- 3).4,6,15
Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan rawat jalan
Dikutip dari (4) Anamnesis sebelum
penerimaan pekerja
Curiga
Pem. Fisis
Normal
Bekerja dgn pasien atau spesimen
Parut BCG
Uji tuberkulin
Derajat 0/1
Curiga
Pem. Fisis
Normal
Klinik Penyuluhan
Klinik Tanpa BCG
tidak
tidak
tidak tidak
tidak
tidak
tidak ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
Ruang Periksa
Ruang Tunggu
Kantor Pintu
Pintu Pintu
Rencana Tampilan Apotik
Area Terbuka
Dinding dengan daerah atas terbuka
Sisi A
Sisi B Sisi C
(4)
Gambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap, A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif
Dikutip dari (4) Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak adekuat, vent ilasi mekanis dapat digunakan unt uk mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas kesehatan. Sumber energi bersumber dari sistem pompa yang kuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebut ke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitu dari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masuk dan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yang dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3).Arah aliran udara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewati petugas kesehatan kemudian melewati pasien sampai akhirnya keluar ruangan kembali. Sumber udara bersih harus terhindar dari daerah pembuangan agar udara yang terkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4).
Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus dipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan, pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan TB di antara pekerja laboratorium.7 Pengambilan dahak
dilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyak orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang tertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilan dahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risiko pajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksi sputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakan timdakan yang dapat menimbulkan batuk sehingga meningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknya dilakukan secara hati- hati di ruangan berventilasi dan petugas kesehatan menggunakan perlindungan masker yang direkomendasikan yaitu masker N- 95.4,6
Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan respirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertas atau kain yang tidak dapat mencegah penyebaran mikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkap partikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulut dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik renik di udara, namun pemakaian masker bedah dapat mengurangi percik renik atau aerosol yang berasal dari penderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan pada penderita TB pada saat meninggalkan ruang isolasi ke tempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedah tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari resiko terhirupnya M.tb karena masker mempunyai keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol M. Tb tetap masuk. Respirator dapat memberikan perlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15
Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan) Jendela terbuka
Aliran udara
Tempat Tidur
Jendela Terbuka
Aliran udara dari bawah pintu
Pintu
Aliran udara masuk Aliran udara
masuk
Pintu Aliran udara Tempat Tidur
Ruang Pendingin
AC
Aliran udara dari bawah pintu: tekanan negatif yang berhubungan dengan koridor
arah ventilasi alami at au ruang kerja yang benar
arah ventilasi alami at au ruang kerja yang benar
Pintu Jendela Angin
Angin
arah ventilasi alami at au ruang kerja yang tidak benar
arah ventilasi alami at au ruang kerja yang benar
Angin
Baik
Angin
Angin
Angin
Pengaturan yang baik
Angin
Angin Angin
(5)
Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik M. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1ì. Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagian pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percik renik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas. Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengan kemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3ì. Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15
Pet ugas kesehat an dengan keadaan
imunokompromais yang menghadapi pasien TB atau MDR-TB harus mendapat pengawasan khusus agar tidak terpajan, terutama petugas yang mempunyai keluhan respirasi. Petugas ini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajanan M. tb yang rendah. Petugas yang menderita TB harus segera diterapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbukti tidak menjadi sumber penularan atau sputum BTA negatif. Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR- TB pada penderita dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais akibat kontak dengan penderita MDR- TB yang infeksius.6,14
Gambar 6. Masker N-95
Dikutip dari (16)
Tenaga medis yang terkena TB di rumah sakit diberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderita TB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR- TB yang cukup tinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (OAT) sangat ditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitif berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenaga medis dengan TB yang mendapat pengobatan adekuat tidak akan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapa minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap akan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR- TB.6,9
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya epidemi HIV dan MDR TB menyebabkan kasus ini muncul kembali.
2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja it u sendiri mempengaruhi penularan tuberkulosis nosokomial. 3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TB adalah deteksi
dini penderita TB, pemberian pengobatan antituberkulosis dan mencegah penularan.
4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosis dapat dikurangi dan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosis dini, pemberian terapi secepatnya pada penderita TB, perlindungan dan prosedur kerja yang baik.
5. Pengobatan TB pada tempat kerja tidak berbeda dengan pengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan juga penyakit penyerta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke- 2. Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8- 14
2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C. Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887- 99.
3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC. Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86. 4. World Health Organization. Guidelines for prevention of
tuberculosis in health care facilities in resource- limited settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011 September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/ hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf
5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2001.p.475-86. 6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R.
Guidelines for preventing t he t ransmission of Mycobacterium tuberculosis in health-care setting, 2005. MMWR Recomm Rep.2005;54:1- 141.
7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of the lung. Recognition, management and prevention. London: WB Saunders;2002.p.257- 63.
8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question t hat need answer. Am J Respir Crit Care Med.1996;154:553- 4.
9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Control and prevention of tuberculosis in the Unit ed Kingdom: Code of pract ice 2000. Thorax.2000;55:887- 901.
10. Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital ventilation and risk for tuberculosis infection in Canadian health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779- 89.
(6)
11. McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. The association between occupation and tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med.1996;154:587- 93.
12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald JM. Factors associated with tuberculin conversion in Canadian microbiology and pathology workers. Am J Respir Crit Care Med.2003;167:599- 602.
13.Raitio M, Tala E. Tuberculosis among health care workers during three recent decades. Eur Respir J. 2000;15:304-7.
14.Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E. Tuberculosis infection control in resources- limited setting in the era of expanding HIV care and treatment. The Journal of Infectious Diseases.2007;196:S108–13
15.Departemnt of Health and Human Services. Center for Disease Control and Prevention. TB facts for health care workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011 September 8); Available from: URL:http://
www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf. 16.Niosh Approved N95 Particulate Filtering Facepiece
Respirators.(cited 2011 September 5);Available from: URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/ respirators/disp_part.html