Menimbang otoritas sufi dalam menafsirkan al-Qur'an

MENIMBANG OTORITAS SUFI DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’ĀN*
Oleh M. Anwar Syarifuddin **
Abstrak
Sebuah fenomena menarik yang terjadi dalam praktek penafsiran al-Qur’ān dan
perkembangan ilmu tafsir pada awal masa pembentukannya di abad ke-4 hijriah
adalah batas pemilahan yang semakin kentara antara bentuk-bentuk penafsiran
yang terpuji dan memiliki legitimasi formal di satu sisi, dengan bentuk-bentuk
penafsiran yang tercela dan bersifat tidak formal yang juga terkadang dibumbui
sebutan bid’ah di sisi yang lain. Pemilahan yang cenderung menciptakan
dikhotomi yang berdimensi teologis ini –di mana penyimpangan terhadap praktek
penafsiran yang baku berakibat pada munculnya tuduhan kāfir untuk pelakunya—
menandai sebuah kenyataan akan semakin menguatnya pengaruh ilmu hadits, fiqh
dan ilmu kalam aliran moderat, sementara peran ilmuwan muslim lain seperti para
filsuf dan mutakallimin di luar kelompok sunni menjadi semakin terpinggirkan.
Penilaian yang cukup mixed terjadi terhadap kalangan sufi. Sebagian kalangan sufi
dikecam, bahkan dianggap keluar dari Islam, akibat pernyataan ekstatik mereka
yang menyerempet batas-batas pemahaman akidah yang diperkenankan. Sebagian
yang lain dipuji karena dianggap kaum yang shalih dengan konsistensi kuat dalam
mengusung panji-panji moralitas dan etika yang luhur. Otoritas sufi dalam
menafsirkan al-Qur’ān sendiri digugat, tetapi juga dibela. Penafsiran sufistik
digugat kesahihan metodenya karena mirip dengan metode ta’wīl yang dilakukan

kalangan Syi‘ah Bāthiniyyah. Salah satu hal yang menarik dan ditengarai telah
menjadi inti selamatnya sufi dari tuduhan kekafiran seperti yang ditimpakan
terhadap kalangan Bāthiniyah adalah analisis para sufi yang tetap menyertakan
makna zhāhir, makna baku yang diperoleh melalui proses ijtihadi yang valid
merujuk kepada pernyataan al-Qur’ān, sunnah, maupun konsesi pemakaian bahasa
secara umum. Atas landasan makna zhāhir inilah mereka membangun metode
penafsiran al-Qur’ān secara isyārī dalam menggali signifikansi moral al-Qur’ān
yang menjadi legacy mereka sebagai pewaris tugas kenabian dalam membawa
risālah akhlaqiyyah kepada manusia secara umum.
Pendahuluan
Keberadaan penafsiran sufistik sudah sejak lama dipertentangkan dalam
sejarah perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’ān. Al-Suyūthī dalam kitabnya Al-Itqān fī
‘ulūm al-Qur’ān membuka pasal tentang penafsiran para sufi dengan pernyataan
yang bernada klarifikatif, “amma kalām al-shūfiyya fi al-Qur’ān fa laysa bi tafsīr“
(Pandangan kalangan sufi terhadap al-Qur’ān bukanlah tafsir). 1 Pernyataan ini pada
dasarnya hanya mempertegas sikap kalangan mufassirin sebelumnya seraya
merujuk sebuah fatwa yang dikeluarkan pada abad ke-13 oleh seorang muhaddits
terkenal Ibn Shalah (w.1245) dalam Fatāwā-nya. Dalam fatwa ini, Ibn Shalah
menyitir pernyataan Abū al-Hasan al-Wāhidī (w.1075) yang mendengar bahwa
Abū ‘Abd al-Rahmān al-Sulamī telah menyusun sebuah tafsīr yang diberi nama

Haqā’iq al-Tafsīr. Al-Wāhidī menegaskan bahwa jika al-Sulamī meyakini apa
yang ditulisnya sebagai “tafsir”, maka ia telah kufur. Tentu saja, kata tafsīr yang
dipahami pada masa hidup al-Wāhidī, sekitar abad ke-11 M telah mengalami
perubahan makna dari apa yang dipersepsikan sebelumnya oleh para ulama sebagai
bagian dari penjelasan terhadap ayat-ayat a-Qur’ān. Ibn Shalah sendiri setuju

dengan al-Wāhidī bahwa penafsiran sufistik tidak dapat dikategorikan sebagai
sebuah tafsir. 2
Bila kita sekilas melihat pandangan dan fatwa di atas, tidaklah
mengherankan bila pernyataan semacam itu dianggap pula sebagai penolakan
terhadap penafsiran sufistik, meski kesimpulan semacam ini tampaknya sangat
tergesa-gesa dan perlu dibenahi melalui pengkajian yang cukup mendetail. Kesan
yang mencolok dari pandangan al-Wahidi dan pemikiran-pemikiran senada dari
ulama yang datang belakangan, seperti Ibn Shalah dan Jalāl al-Dīn al-Suyūthī
adalah bahwa istilah tafsīr telah dipahami secara sangat formal dengan dimensi
legalistik dan teologis yang sangat kental. Ini akan kita lihat dari pemaparan yang
akan disajikan dalam tulisan ini, sehingga pada akhirnya kita bisa menimbang apa
sebenarnya yang bisa dikatakan karakter utama penafsiran sufi itu.
Sebagai pembuka, Ibn Shalāh memaparkan pertanyaan sang mustafti
(peminta fatwa) tentang status penafsiran yang dilakukan oleh para sufi terhadap

teks al-Qur’ān. Sang mustafti bercerita bahwa ketika ia menghadiri sebuah majelis
pengajian, ia mendengar seorang shaikh menyatakan bahwa penafsiran sufi bukan
termasuk tafsir, tetapi merupakan “makna yang didapatkan melalui tilāwa.” Shaikh
itu tampaknya memberikan penilaian positif terhadap penafsiran sufi ketika ia juga
memberi contoh firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, kalian selayaknya
memerangi orang-orang kafir di sekitarmu...( QS 9:123)” Bagi kalangan sufi ayat
ini adalah anjuran untuk memerangi hawa nafsu, mengingat kekejian yang paling
dekat dengan diri manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Atau ketika menerangkan
penjelasan para sufi terhadap QS 71:1, “Dan Kami telah mengutus Nuh kepada
ummatnya...,” yang menurut penafsiran sufi kata “Nūh” bisa ditafsirkan sebagai
“akal” atau “hasrat” (ghar) yang dengan kedua hal ini Allah memberikan
manfaat serta keuntungan yang dapat manusia raih melalui firman-firman-Nya.
Sang mustafti menilai bahwa pandangan-pandangan semacam ini telah banyak
diungkapkan oleh para tokoh sufi. Persoalan pokok yang dipertanyakan sang
mustafti kepada Ibn Shalāh adalah, sebagaimana telah diketahui secara umum
bahwa makna yang dikehendaki dari ayat QS 9:123 bukanlah perintah untuk
memerangi “hawa nafsu”, sehingga menurutnya jika seseorang memberikan
penjelasan lain untuk makna alladhīna yalūnakum min al-kuffār, yang melalui
pemahaman zhāhir berarti orang-orang kafir dari kaum kerabat kalian, maka
dengan mengatakan sesuatu makna yang lain dari apa yang dipahami secara zhāhir

merupakan sebuah kesalahan.
Pandangan seperti yang diberikan oleh mustafti di atas sangatlah hitam
putih, penuh dengan nuansa legalistik. Jika sebuah makna, misalnya, tidak sesuai
dengan apa yang dianggap semestinya menurut hukum zhāhir, maka itu adalah
penyimpangan. Jika kemudian hal yang dijadikan tolok ukur penyimpangan tadi
memiliki bobot teologis yang kuat, dengan kata lain menyangkut akidah, maka
tidak heran kemudian bila tuduhan kekufuran bisa di timpakan kepada sang pelaku.
Jika pandangan mustafti ini dianggap sebagai pandangan kelompok umum dalam
masyarakat yang hanya mampu memahami penafsiran al-Qur’ān hanya dari aspek
makna zhahiriah semata, bagaimana dengan pengakuan dari kalangan sufi sendiri?
Apakah mereka juga menganggap penjelasan tehadap ayat al-Qur’ān yang mereka
ungkapkan sebagai bagian dari apa yang disebut “tafsir” dengan konotasi legal dan
teologis tadi? Bahkan yang juga harus diteliti adalah apakah benar bahwa
pernyataan al-Wahidī bisa dianggap sebagai tuduhannya terhadap Abu Abd alRahmān al-Sulami bahwa ia telah benar-benar berbuat kekufuran? Ini perlu
2

telaahan yang cukup cermat mengingat al-Wahidi hanya mengungkapkan
pengandaian, “...jika ia meyakininya sebagai tafsir, maka ia telah kufur.”
Sebelum membahas lebih jauh tentang fatwa Ibn Shalah terhadap
penafsiran sufistik ini, ada baiknya kita mengenal lebih dalam siapa saja tokoh

sentral yang terlibat di dalamnya. Ada tiga tokoh yang secara tersurat disebutkan di
dalamnya: Abu al-Hasan al-Wāhidī, Abu Abd al-Rahmān al-Sulamī, dan Ibn
Shalah sendiri sebagai mufti yang mengeluarkan fatwa. Abu al-Hasan al-Wāhidī
adalah seorang linguist, ahli hadits, sekaligus juga mufassir yang bermadhhab
Syafi’i. Dia terkenal dengan karyanya mengenai asbab al-nuzul yang mendapat
pujian sebagai karya terbaik di bidangnya. Disusun berdasarkan susunan surat-surat
al-Qur’ān, al-Wahidi mengumpulkan hampir seluruh hadits-hadits mengenai sebabsebab turunnya ayat al-Qur’ān dengan susunan sanad yang lengkap melalui
periwayatan sahabat dan tabi’in. 3
Abu Abd al-Rahman al-Sulamī lahir di Naysabur pada tahun 325/937,
termasuk keturunan Arab suku Azd b. Ghawts dari garis ayahnya, dan Sulaym b.
Mansur dari garis ibu. Tidak banyak informasi mengenai ayahnya, kecuali sedikit
saja yang menyebut bahwa dia seorang sufi. Beberapa ulama terkenal yang
termasuk dalam garis keturunan ibunya adalah Ahmad b. Yusuf b. Khalid alNaysaburi, seorang ahli hadits; dan Abu Amr Isma’il b. Nujayd yang selain ahli
hadits juga seorang tokoh sufi abad ke-4 Hijrah. Ibn Nujayd inilah yang pertama
kali menanamkan pengaruhnya di dalam perkembangan intelektual al-Sulamī,
bahkan dia juga yang mengenalkannya dengan dunia sufi. Memulai periwayatan
hadits dari Ibn Nujayd, al-Sulamī dikenal sebagai seorang yang tsiqat yang menjadi
sumber bagi Hakim al-Naysaburī (w.405/1014), al-Qusyairī, Abu Bakr al-Bayhāqī
(w.458/1066), dan Abū Nu‘aym al-Isfahānī. 4
Sementara, Ibn Salah juga merupakan salah seorang ahli hadits. Lahir di

Iraq pada tahun 577 H, lalu mengembara ke Khurasan guna mendalami ilmu hadits
dan fiqih dalam madhhab Syafi’i. Ia juga pernah tinggal di Jerussalem sebelum
berpindah ke Damaskus menghabiskan akhir hayatnya di madrasah Rawahiyya. 5
Dari sini tampak jelas bahwa ketiga tokoh di atas merupakan bagian dari kelompok
ahli hadits dan sama-sama bermadhhab Syafi’i di dalam pemahaman fiqh mereka.
Persoalan ini cukup penting bukan saja untuk melihat besarnya pengaruh ilmu
hadits, tanpa bermaksud mengesampingkan peranan ilmu fiqih dan teologi, dalam
pembentukan konsep-konsep yang berkenaan dengan dimensi penafsiran terhadap
al-Qur’ān, terutama menyangkut proses perkembangan menuju standardisasi tafsīr
yang ditandai dengan penyempitan makna dan penggunaannya.
Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi
Kata Arab tafsīr, diambil dari bentuk dasar f-s-r dan bentuk sungsangnya sf-r. Bentuk dasar pertama dipakai untuk makna “menjelaskan”. Bentukan kata
bendanya, al-fasr, berarti “penjelasan” yang kadang juga dirujuk sebagai
“observasi dokter melalui medium air”.6 Dari beberapa pemakaian kata di atas,
jelas bahwa penggunaan kata tafsīr dengan merujuk bentuk dasar f-s-r
mensyaratkan dipakainya sebuah medium dalam menjalankan proses penafsiran,
sehingga kata Arab tafsira, misalnya, didefinisikan sebagai “aktivitas mencari tahu
penyebab sebuah penyakit”. Akan tetapi, ada dua syarat yang diperlukan untuk
menandai validitas pemakaian makna ini, yaitu: adanya objek yang berupa tafsira
sendiri dan akivitas observasi atau analisis. Dua syarat ini penting, seperti

3

diungkapkan Nasr Abu Zayd di dalam Mafhūm al-Nash, mengingat seorang dokter
tidak akan begitu saja sampai kepada sebuah diagnosis yang mendekati kebenaran
jika ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan penelitiannya terhadap
objek tafsira tadi. 7
Sementara itu bentukan dasar kedua melalui bentuk sungsang s-f-r
membentuk makna “aktivitas transformatif” 8 yang bisa dikaitkan dengan tradisi
hermetik dalam hubungan transfer pengetahuan melalui wahyu atau aktivitas
menjelaskan makna wahyu. Penggunaan makna pertama sangat jelas pada
pemakaian kata safīr yang berarti rasul, atau malaikat yang membawakan wahyu
kepada para Nabi atas izin Tuhan. Makna ini bisa diterapkan pada QS 80:15,
“biaydiy safarah kirāmin bararah (di tangan para malaikat yang mulia dan penuh
kebajikan...). signifikansi kedua tampak jelas pada penggunaan kata sifr yang
berarti kitab/buku. Asal usul kata sāfir dipakai untuk menunjuk kepada “penulis”
(kātib), karena fungsi seorang penulis adalah menerangkan sesuatu dan
membuatnya menjadi jelas. Atas dasar ini, kata kitāb bermakna aktivitas
menjelaskan apa yang tersembunyi di hati dan melepaskannya dari keterpenjaraan
hati.
Akan halnya kata Arab ta‘wīl dirujuk dari bentuk dasar a-w-l yang

bermakna kembali. Pemakaian kata ini dalam al-Qur’ān menunjuk ke arah aktifitas
memberikan penjelasan, seperti juga dipakai untuk kata tafsir. 9 Berbeda dengan
kata tafsir yang dipakai hanya sekali di dalam al-Qur’ān, kata ini ditemukan di 17
tempat di dalam al-Qur’ān, yang bila ditilik melalui peradaban Arab pada
masanya, kata ini sangat erat hubungannya dengan tradisi penafsiran mimpi, yang
darinya seseorang dapat menarik pelajaran. 10 Berbeda dengan aktivitas tafsir yang
mutlak mensyaratkan medium sebagai unsur utama dalam proses penafsiran,
penggunaan kata ini tidak mutlak mensyaratkan hal yang sama, karena ta’wil bisa
didapatkan tanpa medium sama sekali, seperti diisyaratkan oleh QS 18:78 dan 82,
di mana penjelasan Khidr atas perbuatannya bukan didasarkan pada cakrawala
pandangan secara umum, sebagaimana juga Musa memprotesnya, tetapi didapatkan
melalui pengetahuan Tuhan yang diterimanya, Khidr menjelaskan pembenaran atas
tindakan-tindakan yang telah dilakukannya.
Essensi yang bisa kita tarik dari analis bahasa terhadap kata tafsīr dan
ta’wīl di atas adalah adanya sebuah petunjuk yang jelas bahwa dua kata ini samasama dipakai untuk aktivitas yang berkaitan dengan “penjelasan atas Kalamullah”
(bayān kalāmillāh). Lepas dari persoalan apakah hal ini termasuk kategori ilmu
khusus ataukah hanya sebuah istilah biasa yang berlaku universal, kedua kata ini
sejak masa awal Islam sudah dipakai untuk nama judul karya yang berkenaan
dengan penafsiran al-Qur’ān secara umum, tanpa merinci metode yang dipakai
oleh penyusunnya. Al- Farrā’ (w.822), misalnya, menamakan kitabnya yang

mengupas pemahaman linguistik terhadap al-Qur’ān dengan judul Ma‘ānī alQur’ān, sementara pengikut Sahl al-Tustarī memberi nama Tafsir al-Qur’ān alAzhim untuk tafsir Sufi yang disusunnya, sedangkan Ibn Jarīr al-Tabarī
menamakan kitab tafsirnya dengan sebutan Jamī‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āyy alQur’ān. Tiga karya tafsir ini mewakili tiga metode penafsiran yang berbeda: alFarrā’ dengan cara al-dirāya/ra’yi, Sahl al-Tustarī dengan cara isyārī, dan Tabarī
dengan al-riwāya. Walhasil, ketiganya merupakan bagian dari apa yang dianggap
sebagai karakteristik umum tafsir, memberikan penjelasan terhadap Kalamullah.
Tidak heran bila kemudian beberapa ulama seperti Ibn ‘Ubayd menyatakan bahwa
pada masa itu tafsir dan ta’wil memang memiliki kesamaan makna. 11
4

Penyempitan Makna dan Standardisasi Konsep
Persoalan yang mengemuka, seperti dapat kita lihat dalam komentar alWahidi terhadap penafsiran sufistik Abu Abd al-Rahman al-Sulami adalah apakah
istilah tafsir pada masa hidup al-Wahidi telah mengalami penyempitan makna,
sehingga penggunaan metode isyari, seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi
dalam memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’ān tidak lagi bisa
dikatakan sebagai upaya menjalankan tafsīr? Konsep penyempitan makna terhadap
istilah tafsir sebenarnya telah dirintis sejak lama, ketika al-Maturidi (w.333/944)
mendefinisikan istilah tersebut dengan “memberikan kepastian bahwa makna
sebuah kalimat adalah demikian dengan serta memberi persaksian (syahādah) atas
nama Allah bahwa Ia menghendaki maknanya seperti itu.” Makna yang
dikehendaki oleh Allah ini, dalam pandangan Maturidi, harus didukung dengan
dalil yang kuat agar bisa dianggap valid, bila tidak maka termasuk kategori

“penafsiran rasional” (tafsīr bi al-ra’yi) yang tercela. 12 Sampai di sini jelaslah
kiranya kalau al-Māturīdī memasukkan tafsīr ke dalam proses ijtihadi, di mana
pengambilan makna yang menjadi penjelasan terhadap ayat al-Qur’ān harus
disertai dengan argumen yang meyakinkan. Sejalan dengan penolakan terhadap
metode tafsīr bi al-ra’yi sejak masa awal Islam, maka argumen yang dipakai untuk
melandasi pengambilan makna tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’ān juga mesti
disandarkan pada argumentasi naqli di mana peranan akal direduksi sampai pada
taraf minimal, bahkan tidak ada sama sekali karena yang menentukan validitasnya
bukan semata-mata pada sahihnya argumentasi itu menurut penalaran logika, tetapi
tergantung pada kuat dan banyaknya rangkaian perawi yang bersetuju. Ini
dimungkinkan baik dengan mengambil argumen yang bernilai penjelasan yang
berada dalam bahagian lain dari al-Qur’ān sendiri, yang diyakini diriwayatkan
secara mutawatir, sehingga tidak perlu diingkari kesahihannya, atau dengan
mengutip hadits yang semakin sahih bila diriwayatkan banyak perawi yang kuat,
tsiqa.
Mengkonsepsi tafsir seperti diungkap oleh al-Māturidi di atas mengarah
pada justifikasi penafsiran melalui pendekatan skriptural, terutama menyangkut
sumber utama hukum Islam: al-Qur’ān dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap alQur’ān dianggap valid jika didasarkan pada argumen-argumen yang juga
disuarakan oleh al-Qur’ān sendiri, ataupun didapatkan penjelasannya di dalam
sunnah Rasul. Akibatnya, pengaruh perkembangan ilmu hadits ke dalam

menentukan arah metode penafsiran yang dianggap valid terhadap al-Qur’ān
menjadi sangat sentral. Tafsir sudah sejak lama menjadi bagian dari ilmu hadits,
seperti Bukharī di dalam kitab Shahih-nya juga menyertakan bagian tersendiri
tentang tafsīr. Atas pertimbangan ini pula tampaknya penilaian terhadap validitas
makna yang diberikan kepada sebuah ayat al-Qur’ān kemudian sangat bergantung
pada kesahihan riwayat yang membawanya. Di samping itu, beberapa elemen
penafsiran seperti qirā’at, nuzul ayat, nasikh mansukh, Makkī dan Madanī, juga
bertopang pada validitas riwayat hadits yang membawanya.
Dengan membatasi tafsīr hanya untuk penjelasan yang berdasarkan makna
yang diyakini menjadi makna yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Pemilik
Kalam di dalam al-Qur’ān, proses tafsīr digolongkan ke dalam metode i‘tibārī,
yaitu dengan “membatasi makna dan menjadikannya terikat hanya dengan
pemakaian makna itu.” 13 Pembatasan makna yang bermuara pada dimensi teologis,
dengan meyakini bahwa inilah makna sebenarnya yang dikehendaki Tuhan
terhadap kalamnya kepada manusia, membuat tafsīr tidak mampu melampaui batas
5

denotasi seperti yang tertuang dalam makna zhahir dari sebuah lafadh al-Qur’ān,
mengingat pesan al-Qur’ān diperuntukkan untuk seluruh ummat manusia. Hanya
makna zhahir saja yang mampu memberikan makna umum secara universal, lepas
dari segala jenis konotasi dan makna-makna khusus yang bersifat lokal. Metode ini
juga dasarnya meminimalisasi peran rasio dalam menentukan sebuah makna karena
yang terjadi adalah pemberian makna melalui konsesi pemakaian bahasa yang
berlaku secara umum.
Walhasil, metode ijtihadi yang tampak dalam proses tafsīr, baik
menyangkut prosedur penyandaran argumen, maupun kecenderungan untuk
menutup kemungkinan lain pengambilan makna di luar konsesi zhahir, menjadi
upaya yang memagari tafsīr dari peran dominan akal yang sejak awal Islam sudah
diperingatkan tentang keburukannya. Pengalihan dari makna zhahir, misalnya,
hanya dimungkinkan ketika terjadi kendala teologis akibat kesan tasybih yang
mengarah pada gejala anthropomorfisme, sehingga diperlukan panafsiran metaforis
yang keluar dari makna literalnya. Dalam hal ini, metode ta’wil didefinisikan oleh
Maturidi sebagai “memilih salah satu makna dari berbagai alternatif arti yang
dimungkinkan tanpa disertai pemberian kesaksian atas nama Allah.” 14 Hanya saja
kalangan yang menutup sama sekali dari penafsiran bi al-ra’yī juga menolak
bentuk ta’wil yang merupakan interpretatsi metaforis dengan mengedepankan
konsep tanzīh. Dengan begitu kesucian dan ketidakserupaan Allah dengan
makhluknya bisa tetap terjaga.
Bila kita meramu penjelasan-penjelasan yang mendasari penyempitan
makna tafsīr, maka konsekuensi lanjutan yang bisa diraih adalah berlangsungnya
proses standarisasi, ketika tafsir kemudian dipahami sebagai bentuk penafsiran
yang bersifat formal dan umumnya mendapatkan pujian, sementara ta’wil
sebaliknya merupakan bentuk penafsiran yang tidak formal dan umumnya
mendapatkan kecaman. Pertanyaan kita sekarang, berkaitan dengan fatwa diatas,
apakah bentuk pemaparan penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’ān yang dilakukan oleh
Abu Abd al-Rahmān al-Sulami di dalam Haqā’iq al-Tafsīr dianggap sebagai
bentuk penafsiran yang bukan termasuk kategori tafsīr sehingga harus dicela,
sehingga pelakunya layak mendapat tuduhan kafir?
Jika kita mendasarkan penilaian pada latar belakang ilmu hadits yang
mengedepankan kesahihan riwayat sebagai tolok ukur kesahihan argumen yang
akan dibangun dalam rangka mencari kehendak Tuhan terhadap makna pesanpesannya, maka sangat jelas bahwa upaya penafsiran yang dilakukan al-Sulami di
dalam Haqā’iq al-Qur’ān sangat jauh dari kriteria ini. Kitab ini memuat riwayat
para sufi dan komentar mereka berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’ān tanpa
menyebutkan sanadnya hingga riwayat ini sampai ke tangan al-Sulamī sendiri.
Oleh karenanya, penisbatan yang dilakukan al-Sulamī terhadap apa yang
dikatakannya sebagai pendapat Imam Ja‘far al-Sadiq, misalnya, diragukan
kebenarannya oleh Ibn Taymiyya. 15
Di samping itu, isi dan tema umum yang diungkap al-Sulami dalam
Haqāiq al-Tafsīr sama sekali bukan informasi yang bisa dicerna dengan mudah
oleh publik secara luas. Seperti diakui sendiri di dalam muqaddimah tafsirnya, alSulami bermaksud mengumpulkan pandangan para tokoh yang termasuk ahli alhaqiqa tentang al-Qur’ān, sebagaimana orang lain telah menyusun banyak karya
yang menampilkan ilmu-ilmu yang termasuk dalam dimensi zhāhir al-Qur’ān
seperti fawā’id, musykilāt, ahkām, i‘rāb, lughah, mujmal dan mufassar, nasikh
mansukh dan lainnya. 16 Ini menjadikan Haqā’iq sebagai kitab yang berisi
6

penjelasan makna ayat-ayat al-Qur’ān di luar kategori proses pengambilan makna
secara i’tibari seperti yang berlaku dalam tafsīr. Belum lagi, penilaian yang
beragam terhadap figur-figur sufi yang dimuat pandangan-pandangannya di dalam
Haqā’iq al-Tafsīr menjadi persoalan rumit yang tidak saja kemudian menyertakan
penilaian terhadap metode panafsiran yang dilakukan oleh para sufi itu, di mana
setiap individu memiliki keunikannnya sendiri, tetapi juga menyertakan penilaian
terhadap aspek kepribadian mereka dari yang paling taat dan salih sampai kepada
beberapa pribadi yang dianggap nyeleneh karena pernyataan-pernyataan
esktatiknya, syathahiyyāt. Dalam hal ini selain memuat pandangan Ja‘far al-Sadiq,
Dhu al-Nun al-Misri, Junayd, Sahl al-Tustarī, Ibn Athā’ al-Baghdadi, Abu Bakr alWāsitī, Fudhayl b. Iyādh, serta Shiblī, tuduhan yang memberatkan kitab ini adalah
ketika al-Sulami juga memuat pandangan-pandangan Abū Manshūr al-Hallāj,
seorang sufi martir yang mati digantung di tiang salib karena pandanganpandangan wahdat al-syuhud, dan aktivitas da’wahnya yang mendukung
pemberontakan Qaramithah terhadap kekhalifahan Abbasiah.
Meskipun begitu, adalah sangat mungkin bila kritik pedas al-Wāhidī dan
Ibn Shalāh ditujukan bukan untuk menghakimi penafsiran sufi yang telah
dikumpulkan oleh al-Sulami, tetapi lebih sebagai peringatan keras kepada teman
sejawat yang masih sesama penganut madhhab Syafi‘ī untuk tidak memasukkan
karyanya sebagai sebuah tafsīr, yang nampaknya telah mengalami penyempitan
makna seperti yang diungkap di muka. Bahwa metode periwayatan tanpa
menyertakan sanad lengkap sebenarnya baru dianggap sebagai kesalahan prosedur
ketika isi matan hadits yang dikandungnya memang berkaitan dengan aspek ibadah
yang mengandung unsur legalitas atau teologis yang memerlukan argumentasi
naqli yang didukung oleh kesahihan riwayat. Sementara pesan-pesan moral yang
menyangkut aspek adab atau etika, seperti juga halnya mau‘idhah yang baik, tidak
begitu mensyaratkan kesahihan sanad karena banyak hadits yang berisi mau‘izhah
hasanah tetap bisa diterima dan diamalkan meskipun diriwayatkan melalui sanad
yang lemah (dha’if). Oleh karenanya, sebagaimana Khatib al-Baghdadi dan Subki
yang menilai al-Sulami sebagai perawi yang tsiqat, persoalan penghilangan sanad
dalam proses penukilan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan konsepsi
etika para sufi dalam memahami al-Qur’ān bukan menjadi problematika utama
yang menjadikan penafsirannya dikritik pedas oleh kalangan muhadditsun, seperti
diwakili oleh al-Wahidī dan Ibn Shalah.
Sebagaimana al-Sulami juga tidak meyakini pandangan yang
dinukilkannya sebagai tafsīr dalam arti penjelasan tentang makna yang
dikehendaki Allah dari ayat-ayat al-Qur’ān, Ibn Shalah memberikan jawaban
dalam fatwanya,
“...Imam Abu al-Hasan al-Wahidi, seorang mufassir alQur’ān, menyatakan bahwa Abu Abd al-Rahman al-Sulami telah
menyusun Haqā’iq al-tafsīr. Jika dia meyakininya sebagai tafsir,
maka dia telah kafir. Saya berpendapat bahwa ini sangat diragukan
datang dari orang yang dianggap tsiqat dalam kalangan ahli hadits.
Jika ia mengungkapkan penjelasan semacam itu, maka dia
semestinya tidak akan memasukkannya sebagai tafsir, atau pejelasan
apapun yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’ān, karena hal itu
sama saja dengan cara yang ditempuh oleh kelompok
Bāthiniyyah...” 17

7

Oleh karena itu, kenyataan bahwa al-Sulami sendiri tidak meyakini apa
yang diungkapkannya di dalam Haqā’iq sebagai tafsir cukup memberi excuse
baginya dari tuduhan bahwa ia telah bertindak melampaui batas-batas keimanan.
Tuduhan kufur baru dikenakan bila ternyata ia memang menjalankan metode yang
ditempuh kelompok Batiniyah. Sa‘d al-Dīn al-Taftazānī (w.722/1390) memberikan
penjelasan dalam Syarh Aqā’id al-Nasafiyah, “Kaum Batiniyah dijuluki dengan
sebutan itu karena mereka menyandarkan interpretasi terhadap teks al-Qur’ān
bukan melalui indikasi yang tertuang dalam makna zhahir, tetapi dengan
mengambil makna batin yang hanya diketahui oleh para imam Shi’ah, yang
digelari dengan julukan para mu‘allim.” 18 Tindakan yang memalingkan makna
zhahir kepada makna batin yang dilakukan kalanan Batiniyyah ini, menurut
Taftazani, dianggap sebagai tindak kekufuran karena maksud mereka sebenarnya
adalah menolak syariah secara keseluruhan. Sebuah penjelasan yang sangat
gamblang, yang sasaran sebenarnya berada di luar kelompok sunni, terutama
karena kelompok Bāthiniah memiliki anutan ideologis yang berbeda untuk
menolak syari’ah dengan bersembunyi di balik penafsiran batin.
Karakteristik Penafsiran Sufi
Memasukkan penafsiran sufi sebagai bagian dari tafsīr secara formal
adalah tidak mungkin, sebagaimana juga mustahil menakar kesahihannya melalui
pandangan formal yang berbasis legalistik karena pandangan para sufi tidak
menyangkut esensi ibadah, dalam kaitan aspek hukum dan muatan teologisnya,
tetapi lebih pada kualitas penghayatan spiritual terhadap pelaksanaan ibadah
seseorang. Dimensi yang ditawarkan oleh para sufi adalah dimensi ihsān, yang
menjadi bagian erat dari ajaran Islam sendiri seperti dinukilkan dalam hadits Jibril
ketika menguji pengetahuan Nabi SAW dengan bertanya apa itu imān, islam dan
ihsān serta pertanyaan tambahan tentang kiamat (sā‘ah). Ihsan dalam konsep ini
dijelaskan oleh Nabi sebagai “an ta‘buda Allāh kannaka tarāhu fa in lam takun
tarāhu fa innahu yarāka” (kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,
dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu). Dalam
mengejawantahkan nilai-nilai spiritualitas yang termuat dalam dimensi ihsān inilah
pandangan-pandangan sufi terhadap ayat-ayat al-Qur’ān bermuara.
Kemunculan penafsiran sufi juga tidak lepas dari situasi dan kondisi yang
melatari corak dan sifat gerakan tasawwuf sendiri pada masa setelah wafatnya
Rasulullah. Seperti diungkapkan Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, bahwa tasawwuf merupakan sebuah protes bisu
melawan kekuatan politik aristokrasi, ketidakadilan sosial, dogma-dogma agama
yang cenderung formal dan kering. Di sini, para Sufi dianggap telah berhasil
menyelamatkan warisan spiritual Islam, bahkan telah memberikan warna baru bagi
penafsiran al-Qur’ān ketika mereka pun mampu menunjukkan orisinalitas
tasawwuf sebagai ajaran Islam. Dan ketika al-Qur’ān pun dirujuk sebagai cahaya
(QS 64:8; 4:17), maka al-Ghazali mengumpamakannya laksana cahaya matahari
yang menerangi mata, akal manusia. Meski memiliki kemampuan melihat, namun
semua yang tampak padanya tidak akan berada dalam tingkatan yang sama. Raghib
al-Isfahani juga memberikan komentar senada, bahwa Allah menurunkan al-Qur’ān
sesuai dengan kebutuhan hamba-hambanya, dan disampaikan dengan secermatcermatnya. Ia menerangkan bahwa itu dimaksudkan agar semua dalil dan buktinya
dapat dipahami secara meyakinkan oleh kaum awam menurut susunan redaksinya.
Sementara kaum khawas dan para ahli hikmat dapat menapis berbagai persoalan

8

dari sela-sela kalimatnya. Oleh karena itu pula, penafsiran al-Qur’ān disesuaikan
dengan pemahaman manusia. 19
Salah satu hal yang menjadi dasar penafsiran sufi adalah kenyataan bahwa
kalamullah adalah dimensi yang tidak memiliki batas (QS 18:109; 31:28). Maka
dengan sendirinya tidaklah bijaksana bila membatasi al-Qur’ān hanya dengan satu
penafsiran tertentu, yang kemudian dianggap sebagai satu-satunya penafsran yang
sesuai dengan maksud Allah yang sebenarnya atas kalamnya. Beberapa hadits juga
menyebut bahwa al-Qur’ān tidak hanya memiliki satu arah penafsiran yang
monolitik, tetapi setiap ayat al-Qur’ān memiliki empat wajah penafsiran: zhāhir,
bāthin, hadd, dan mathla‘. 20 Makna dari keempat istilah ini, seperti dijelaskan oleh
Sahl al-Tustarī 21 berkait erat dengan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’ān secara
keseluruhan bisa dibedakan ke dalam 5 kategori: muhkam, mutasyābih, halal,
haram, dan amtsāl. Bila kita kemudian tarik lebih jauh kategorsasi-kategorisasi ini
dalam diskursus pemahaman terhadap al-Qur’ān secara umum, seperti ditunjukkan
dalam pembagian kategori tafsīr yang dilakukan oleh Ibn Abbās, 22 maka akan
didapatkan 4 dimensi pemahaman terhadap teks al-Qur’ān yang secara kategoris
dapat dirangkum dalam bagan berikut ini:

Qur’ān

Zhāhir

Tilāwa (bacaan)

Hadd

Halāl wa arām

Bāthin

Fahm (ta’wīl)
Isyrāf al-qalb ‘alā
al-murād bihā 23

Mathla‘

Mukam
alāl
arām
Amtsāl
Mutasyābih

Mā arafahu al-arab

Praktikal

Al-halāl wa al-harām

Legal

Ma arafahu al-ulamā’
Ma la ya‘lamu
ta’wīlahu illa Allāh

Metaforikal
Testimonial

Tidak semua orang dengan kapasitas intelektual yang dimilikinya mampu
menelaah seluruh makna dari empat kategori tadi. Dua aspek pemahaman yang
berlaku umum dan sepatutnya diketahui sebagai panduan hidup manusia adalah
aspek praktikal dan legal dari ayat-ayat al-Qur’ān yang di atas landasannya
dibangun aturan-aturan hukum. Hanya beberapa kalangan tertentu saja, seperti
kalangan ulama dan para sufi, yang mampu menyelami aspek metaforikal dan
testimonial dari ayat-ayat al-Qur’ān sebagai bagian dari dimensi pemahaman
secara bāthin.
Pertanyaan yang sepatutnya juga kita ulas berkaitan dengan fatwa Ibn
Shalah di atas adalah bagaimana seorang sufi menafsirkan al-Qur’ān? Apa saja
karakteristik penafsiran sufi itu? Dalam menjawab hal ini, Ibn Shalāh menjelaskan,
“...sesungguhnya (penafsiran sufi) itu merupakan dhikr
terhadap perumpamaan (nazhīr) yang ada di dalam al-Qur’ān
karena perumpamaan hanya bisa dibandingkan dengan yang
semisalnya. Seolah-olah para sufi itu berkata bahwa kita
diperintahkan untuk membunuh hawa nafsu beserta orang-orang
kafir dari kerabat kita. Maka berhati-hatilah untuk tidak
menggampangkan persoalan semacam ini karena masalah ini bisa
menimbulkan kesalahfahaman dan hal yang membingungkan.” 24
Kategori dhikr yang disebut Ibn Shalah mungkin bisa dikaitkan dengan merujuk
pemaparan al-Qur’ān QS.18:70 tentang kisah pertemuan Musa dengan Khidhr, di
mana Khidhr mengizinkan Musa untuk mengikuti dengan syarat untuk tidak
9

bertanya sebelum ia menjelaskan dhikr, yang dapat dipahami sebagai “alasan” atau
“penjelasan” terhadap perbuatan yang akan diperbuatnya. Merujuk kepada
pemakaian kata ini pula untuk QS.18:83, dhikr juga bisa dipakai untuk
“signifikansi yang bisa didapatkan dari sebuah cerita” ketika Allah memaparkan
kisah Zulkarnain. Penafsiran sufi yang menitikberatkan perhatian pada signifikansi
moral al-Qur’ān jelas-jelas menjadi alasan mengapa Ibn Shalah mengklasifikasikan
bentuk penafsiran ini ke dalam kategori dhikr di luar cakupan makna istilah tafsir
secara formal tadi.
Bila kita membandingkan jawaban Ibn Shalah dengan pandangan seorang
shaikh yang sebelumnya dirujuk oleh sang mustafti yang juga telah mendatangi
majelis pengajiannya di mana ia mengatakan bahwa penafsiran sufi hanyalah
“makna yang diperoleh melalui cara pembacaan (tilāwa), maka pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana cara seorang sufi mendapatkan makna tadi. Telah
secara luas diyakini bahwa pandangan para sufi didapatkan berdasarkan ilham yang
mereka peroleh sebagai hasil mujahadah mereka dalam mendekatkan diri kepada
Allah. Cara pembacaan yang dimaksud tergolong ke dalam apa yang dikonsepsikan
sebagai hermeneutika pengalaman, the hermeneutics of experience, terhadap teks
al-Qur’ān. Meminjam konsep Gerard L. Bruns dalam Hermeneutics Ancient and
Modern, pemahaman seseorang terhadap sebuah teks tidak dihantarkan melalui
tradisi, tetapi lebih pada pemahaman seseorang terhadap sebuah tradisi dihantarkan
melalui “pengalamannya” terhadap teks.25 Oleh karena itu tidak mengherankan bila
sufi mampu memberikan makna spiritual yang dalam melalui penafsirannya
terhadap lafadh basmala, atau penakwilan mereka terhadap huruf-huruf
muqattha‘a.
Penafsiran simbolik terhadap huruf-huruf muqattha‘a yang menjadi
pembuka dalam surat-surat tertentu di dalam al-Qur’ān menjadi ciri khas
penafsiran sufi yang sebenarnya juga merupakan kelanjutan dari tradisi awal Islam,
seperti banyak riwayat menyebutnya sebagai bagian dari hasil penafsiran Ali b. Abi
Thālib dan Ibn Abbas dari kalangan sahabat. Persoalan yang kemudian
mengemuka dari penafsiran simbolik ini menjadi krusial ketika muqattha‘āt
dikategorikan sebagai bagian dari ayat-ayat mutashabihat di dalam al-Qur’ān, yang
hanya Allah yang mengetahui penjelasannya. Penjelasan terhadap kemungkinan
apakah kalangan tertentu dari orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam
(rāsikhūna fi al-ilm) mampu mengetahui penakwilan ayat-ayat mutasyābihāt ini
telah menjadi perdebatan teologis yang panjang dan telah pula melahirkan banyak
aliran dalam ilmu kalam. Sehingga apakah para sufi termasuk dalam kategori yang
disebut sebagai rāsikhūna fi al-‘ilm yang disebut di dalam QS 3:7?
Penjelasan yang memadai tentang kemampuan sufi dalam mencerap
pengatahuan Tuhan melalui ritual penyucian diri dan mujahadahnya dalam
mendekatkan diri kepada Allah dapat dilihat dalam konsep walayah yang
dikonsepsikan oleh Ibn Arabi sebagai “al-nubuwwah al-‘amma al-muktasaba” di
samping predikat lain yang disebut sebagai nubuwwat al-ikhtishāsh. Kedua jenis
predikat kenabian ini diberikan oleh Allah kepada para nabi sejak masa Adam AS
sampai Muhammad SAW. Hanya saja yang membedakan kedua karakter kenabian
ini adalah bahwa nubuwwat al-Ikhtishāsh menyangkut pendelegasian risālah
ilahiyyah (pesan ketuhanan) yang harus disampaikan kepada ummat manusia dan
tertutup pintunya sampai wafatnya Muhammad SAW, sementara predikat walāya
terbuka selama-lamanya sejak awal masa penciptaan (al-kalimah almuhammadiyyah) sampai akhir masa, yang menyangkut pendelegasian tugas untuk
10

mengingatkan manusia kepada prinsip-prinsip moral. Pendelegasian tugas
menyangkut penegakan aspek moral inilah yang menjadikan sufi mewarisi tradisi
kenabian, yang oleh al-Hasan al-Basrī disebut sebagai tugas para sufi untuk
mengemban risālah akhlaqiyyah.
Kesimpulan
Walhasil, apa yang dilakukan sufi dalam menafsirkan al-Qur’ān labih tepat
dipandang sebagai metode isyārī, yaitu dengan jalan menarik keluar indikasi yang
tersembunyi yang tampak dari sebuah ayat al-Qur’ān yang diangkat ke dalam
cakrawala terbuka dan tanpa batas, yang tidak terbatasi oleh capaian makna zhahirnya melalui pemahaman literal. Abu Zaid membandingkan bila makna zhahir
adalah indikasi yang dihasilkan melalui analisis leksikal terhadap ujaran sebuah
diskursus dalam teks, kitab suci yang lekat dengan karakter jauh kemanusiannya
(bu‘diha al-insānī), maka makna bāthin yang bisa dicapai oleh kalangan sufi
adalah tingkatan paling dalam (al-mustawā al-a‘maq) yang disebut pula sebagai
level bahasa Tuhan (mustawā al-lughah al-ilāhiyya) yang didapatkan melalui
observasi spiritual mereka. Bagi sufi, bahasa Tuhan tampak dalam bentuk totalitas
eksistensinya, bukan hanya dalam formula yang tereduksi menjadi lambanglambang huruf yang tertulis dalam naskah kitab suci. Oleh karena itu, mereka
memahami teks al-Qur’ān tidak terbatas pada naskah al-Qur’ān seperti yang
tertuang dalam mushhaf, tetapi mereka juga memahami al-Qur’ān dalam
karakternya sebagai kalamullah yang qadim yang tertulis di Lauh al-Mahfuzh.
Jika kemudian terjadi ketidakcocokan antara pemahaman secara zhahir -seperti yang ditunjukkan di dalam fatwa Ibn Shalah melalui pemahaman literal
sang mustafti-- dengan indikasi yang ditunjukkan oleh makna batin yang diperoleh
kalangan sufi, maka perbedaan ini hanya muncul dalam cakrawala pandang para
fuqaha saja, sedangkan bagi para sufi perbedaan ini tidaklah tampak sama sekali,
mengingat sufi tidak saja memakai bahasa al-Qur’ān melalui bentuk lahiriahnya
dalam dimensi kemanusiaan tetapi juga memandang lafadh-lafadh itu sebagai
getaran kalam Tuhan yang sebenarnya. Faktor yang membuat para sufi selamat dari
tuduhan kekafiran adalah ketika mereka tidak menafikan sama sekali kandungan
makna zhahir yang difahami dari al-Qur’ān dalam dimensi kemanusiaannya tadi,
tetapi lebih jauh mereka menggunakan makna zhahir ini untuk sampai pada hakikat
al-Qur’ān sebagai wahyu, kalamullah dalam dimensi ketuhanannya. Tanpa melalui
makna zhahir, ataupun wujud formal al-Qur’ān dalam bentuknya sebagai bahasa
manusia, maka mereka tidak akan sampai kepada makna batin yang melalui
kemampuan khusus bisa mereka raih. Wallahu a’lam.
*

Artikel ini diterbitkan dalam Jurnal Studi AGAMA DAN MASYARAKAT vol. 1, no. 2
Desember 2004. Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.
**
Penulis adalah Dosen di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa
matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 194.
2
Taqiy al-Dīn Ibn Shalāh, Fatāwā, Kairo: Idāra Thabā‘a al-Munīriyya, 1348 H, h.29.
3
Abd al-Halīm Mahmūd, Manāhij al-Mufassirin, Kairo: Dār al-kitāb al-mishrī, 1978, h.101103.

11

Lihat Abū al-‘Alā ‘Afifī, Malāmatiyya wa al-shūfiyya wa ahl al-futuwwa, Kairo : Dār
ihyā’ al-kutub, 1945, h. 78-80. Meskipun begitu, ada juga ulama yang menganggap Sulami
sebagai seorang pemalsu hadits (wada‘), seperti tuduhan yang dilontarkan oleh Abu Yusuf
al-Naysabūri al-Qatthān, akan tetapi tuduhan ini dibantah oleh al-Khatib al-Baghdadi dan
Subki [lihat Tāj al-Dīn Subkī, Tabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrā, Kairo: Musthafā al-bāb alhalabī, vol.iii, h.60-62].
5
J. Robson, “Ibn Salāh” in The Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ Brill, CD ROM edition
2002, vol.iii, 927a.
6
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Kairo : Dār al-ma’ārif, tanpa tahun, vol. v, h.3412-13.
7
Nash Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash, Kairo: Matba’ah al-hayāt al-misriyya li ‘ammat
al-kitāb, 1993, h.
8
Bentuk verbal safara bermakna: manyapu, mengangkat selubung, angin yang menyapu
awan, wanita yang menyingkapkan penutup wajahnya, menemukan sesuatu, mendamaikan
dua pihak yang bersengketa, atau juga menulis buku. Lihat E.W Lane, An Arabic English
Lexicon, Cambridge: 1984, vol. i, 1370.
9
QS.10:39.
10
Ada banyak variasi berkaitan dengan hal ini, seperti penggunaan kata ta’wil dalam surat
Yusuf secara umum mengangkat makna “penjelasan atau tafsir mimpi”. QS 12:6, 21, 101
menyebut dengan istilah ta’wil al-ahādits, sementara QS 12:44 menyebutnya dengan ta’wil
al-ahlām, sedangkan QS 12:100 menyebut ta’wīl al-ru’ya. Lihat Nashr Hāmid Abu Zayd,
Mafhūm al-nash, Kairo: matba’ah al-hayāt al-mishriyya li ‘ammāt al-kitāb, 1993, h.287.
11
Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Al-Itqān fi ulum al-Qur’ān, Kairo: Masyhad al-husayniyya, 1967,
vol. iv, h.167.
12
Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa
matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164.
13
Nar Hāmid Abū Zayd, Hakadhā Takallam Ibn Arabī, Kairo: al-Hai’ah al-misriyya alamma li al-kitāb, 2002, h.139.
14
Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba
wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164.
15
Lihat Muhammad Husein al-Dhahabī, Al-Tafsir wa al-mufassirun, Kairo: Dar al-Kutub
al-Haditsiyya, tt, vol. ii, h.387.
16
Abu Abd al-Rahmān al-Sulamī, Haqā’iq al-Tafsīr, Beirut: Dār al-kutub al-ilmiyya, 2002,
vol. i, 19-20.
17
Taqiy al-Dīn Ibn Shalāh, Fatāwā, Kairo: Idāra Thabā‘a al-Munīriyya, 1348 H, h.29.
18
Sa‘d al-Dīn al-Taftazānī, Sharh al-Aqā’id al-Nasafiyya, Damaskus: Wizārat al-Tsaqāfa
wa irshād al-qawm, 1974, h.191-192. Lihat pula Jalāl al-Dīn al-Suyuthi, al-Itqān, iv, 195.
19
Ahmad al-Syirbasi, Sejarah Tafsir al-Quran, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1985, h.45.
20
Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba
wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 166 dengan seluruh sumber riwayatnya
baik yang mursal, maupun yang musnad sampai kepada Nabi SAW.
21
Sahl b. Abd Allāh al-Tustarī, Tafsir al-Qur’ān al-Azhīm, Kairo: Dār al-kutub al-‘aabiyya
al-kubrā, 1911, h. 3-5.
22
Ibn Abbās mengatakan bahwa Allah menurunkan al-Qur’ān melalui empat huruf: halal
haram yang semua orang mesti mengetahuinya, tafsīr al-Arabī, tafsīr al-ulamā’, dan
mutasyābih yang hanya Allah yang mengetahui. Lihat Sahl b. Abd Allāh al-Tustarī, Tafsir
al-Qur’ān al-Azhīm, Kairo: Dār al-kutub al-‘aabiyya al-kubrā, 1911, h.24.
23
Kalimat ini dapat diartikan sebagai terbukanya hati terhadap maksud yang dikehendaki
dari sebuah ayat al-Qur’ān yang tengah ditafsirkan, umumnya menyangkut ayat-ayat
mutasyābihāt di dalam al-Qur’ān. Dalam memberkan penafsiran simbolik terhadap hurufhuruf muqatha’ah, misalnya, kalangan sufi mampu mencerna makna ayat-ayat yang
tersamar tadi melalui ilham yang mereka terima melalui jalan mukāshafah sebagai buah
kedekatan hubungannya dengan Allah.
4

12

Lihat Taqiy al-Dīn Ibn Shalāh, Fatāwā, Kairo: Idāra Thabā‘a al-Munīriyya, 1348 H,
h.29.
25
Gerard L Bruns, Hermeneutics Ancients and Modern, New Haven: Yale University Press,
1992, h.134.
24

13