Laknat dalam pandangan al-Qur'an (nalisis ayat-ayat laknat dalam tafsir al-maraghi

(1)

LAKNAT DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN

(Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam

Tafsîr al-Marâghî

)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh: ISMAIL AMIR NIM:107034001694

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii Dengan ini saya menyatakan :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 08 Mei 2011 Penulis,


(3)

iii

LAKNAT DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN

(Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam TafsîrAl-Maragi).

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin ( S.Ud )

Oleh :

ISMAIL AMIR NIM. 107034001694

Di bawah Bimbingan :

Dr. MAFRI AMIR, MA NIP. 1958030 1199 23 1 001

JURUSAN TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

iv

Skripsi ini berjudul Laknat Dalam Pandangan Al-Qur’an: Analisis Terhadap Ayat -Ayat Laknat Dalam Tafsir Al-Maraghi telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011.

Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Jurusan Tafsir Hadits.

Jakarta, 21 Juni 2011

SIDANG MUNAQASAH

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Dr. Bustamin, M.Si Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 196307011998031003 NIP. 19710816 199703 2 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Yusuf Rahman, MA Zahruddin AR., MM.Si NIP. 19670213 199203 1 002 NIP. 19520419 198103 1 005

Pembimbing,

Dr. Mafri Amir, MA NIP. 1958030 1199 23 1 001


(5)

v ABSTRAK

Ismail Amir, “Laknat Dalam Pandangan Al-Qur’an: Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsir al-Maraghi”

Setiap nikmat yang kita terima dari Allah SWT akan menambah kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup. Namun, ada satu kondisi di mana nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang diberikan merupakan murka Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidrâj. Istidrâj adalah pemberian Allah kepada orang yang sering melakukan maksiat kepada-Nya. Semakin mereka melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan kesenangan bagi mereka. Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan menjatuhkan siksa yang sangat pedih. Contoh dari istidrâj ialah seperti orang-orang yang diberi nikmat kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Allah terus mengucurkan nikmat duniawi kepada mereka, sesungguhnya di balik itu semua adalah laknat dan murka Allah SWT. Na'udzubillah.

Dalam al-Quran ada beberapa terminologi; musibah, azab, dan laknat. Dari terminologi yang terdapat dalam al-Quran tersebut, sengaja kami membahas laknat karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang laknat itu.

Kata laknat sendiri dalam bahasan al-Quran secara garis besar hampir sama dengan musibah dan adzab. Para mufasir pun berbeda-beda dalam menafsirkannya. Namun jika dikaitkan dengan fenomena alam atau kejadian-kejadian yang menimpa manusia secara umum, kepastian tentang laknat atau azab atau musibah masih belum dapat dipastikan. Yakni, suatu musibah atau azab yang dirasakan oleh seseorang atau suatu kaum apakah dapat dikategorikan sebagai laknat atau bukan. Di sisi lain, apakah sebab laknat diturunkan. Lalu siapakah orang-orang yang tergolong dalam laknat Tuhan dan kenapa laknat itu menimpa mereka. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari kami untuk membahas laknat dalam perspektif tafsir al-Maraghi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laknat menurut pandangan al-Qur’an dan khususnya terhadap tafsir al-Maraghi, sehingga bisa dijadikan sebagai pelajaran oleh setiap muslim, khususnya dalam setiap perbuatan dan tingkah laku manusia.

Penelitian ini berpijak dari nas bahwa setiap muslim harus berpedoman kepada al-Qur’an dalam merambah kehidupan di dunia. Laknat merupakan suatu hukuman yang diturunkan Allah sebab perbuatan manusia yang melanggar perintah-Nya. Agar setiap orang mengetahui bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya masing-masing, maka setiap orang harus mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tak terpuji menurut Allah maupun yang digariskan dalam al-Qur’an.


(6)

vi

Segala Puji dan syukur penulis sanjungkan hanya kepada Allah Swt, yang dengan taufiq-Nya, penelitian berjudul “Laknat Dalam Pandangan Al Qur’an (Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsir al-Maraghi)” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, yang yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Segala karya tulis yang da’if, tentunya didalam penelitian ini masih

terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Untuk itu penulis sangat menerima kritikan dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di masa datang.

Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang tafsir. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik moril maupun materil. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada: 1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.


(7)

vii

(Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir Hadis), dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).

2. Bapak Dr. Mafri Amir M.A, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang dengan keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.

3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khusunya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan. 4. Pimpinan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Imanjama’ beserta jajaran pengelola

perpustakaan tersebut yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini hingga selesai.

5. Yang tercinta Ayahanda H. Amiruddin dan Ibunda Hj. Bunga yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan yang tidak lelah untuk terus mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan dimasa depan. Sungguh ananda belum bisa membalas semua kebaikan mama-papa,

hanya do’a yang dapat penulis sampaikan kepada mama-papa, semoga Allah Swt. selalu melindungi mama-papa dan semoga ananda selalu dapat berbakti kepadanya. Kakak-kakakku (H. Yudha, Hj.Hani, dan Hj. Fatmawati) serta saudara-saudaraku tercinta yang memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Untuk teman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya

teman-teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2007/2008, khususnya kelas TH-B: yang tidak bisa disebutkan semuanya. Teman-teman senior TH (Ust. Hadir,


(8)

viii

dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini.

7. Teman-teman penulis di manapun berada, khususnya sahabat-sahabatku (Dika, Fathoni, Zamroni dan Handri) yang senantiasa memberikan banyolan-banyolan yang menghibur penulis di saat penulis sedang “bad mood”.. Untuk teman-teman Masyhar : Den Mas Kandir Aki Zarkasih, Idham, Robi, Zulfikar, Endin, Jamil, Jreng, Amir, Andi dan semua rekan-rekan seperjuangan yang selalu memberi Support dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Terakhir, untuk teman-teman TH angkatan 2007-2008 semuanya, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ, Âmîn…..!

Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis. Amin

Jakarta, 21 Juni 2011 Ttd,

Ismail Amir Penulis


(9)

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

B Be

T Te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat


(10)

x

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

„ Apostrof

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

___

___ a fathah

______ i kasrah

___

___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي__َ__ ai a dan i

__َ __


(11)

xi Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اَــ â a dengan topi di atas

يــ î i dengan topi di atas

وـــ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân. Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t)(lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).


(12)

xii Contoh:

no Kata Arab Alih aksara

1 tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.


(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian... 6

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II SEKILAS TENTANG MUSTAFÂ AL-MARÂGHÎ ... A. Biografi dan Pendidikan Ahmad Mustafâ al-Marâghî ... 9

B. Sejarah Penulisan Tafsîr al-Marâghî ... 12

C. Karya Tulis Ahmad Mustafa al-Marâghî ... 13 D. Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafa al-Marâghî . 14


(14)

xiv

Musibah) ... 21

B. Sebab Diturunkannyaa Laknat ... 25

C. Kepada Siapa Laknat Diturunkan ... 26

D. Menjauhkan diri dari laknat Allah ... 33

BAB IV PENAFSIRAN AHMAD MUSTAFA AL-MARÂGHÎ TERHADAP AYAT-AYAT LAKNAT ... A. Indentifikasi Ayat Tentang Laknat ... 35

B. Penafsiran Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsîr Al-Marâghî ... 39

C. Analisa Terhadap Penafsiran Mustafa al-Marâghî tentang Laknat ... 62

BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA ...


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap nikmat yang diterima dari Allah SWT akan menambah kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup setiap manusia, Sehingga mereka dapat mensyukurinya. Sebab, ketika Allah menggambarkan nikmat yang dilimpahkan kepada hamba-Nya, Allah selalu menyebutnya sebagai kesenangan (QS. Ali Imran; 14), berkah (QS. al-A'raf; 96), dan karunia (QS. at-Taubah; 76). Namun, ada satu kondisi di mana nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang diberikan merupakan murka Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidrâj.

Istidrâj adalah pemberian Allah kepada orang yang sering melakukan maksiat kepada-Nya. Semakin mereka melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan kesenangan bagi mereka. Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan menjatuhkan siksa yang sangat pedih.

Rasulullah SAW mengingatkan,

امناف هيصاعم ىلع ميقم وهو بحي ام اين لا نم بعلا ىطعي ىلاعت ها تيأر ا ا

جار تسا هنم كل

"Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraaj." (HR Ahmad).1

Ada beberapa golongan yang berpotensial ditimpa istidrâj diantaranya adalah orang-orang yang diberi nikmat kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan

1


(16)

sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Maka, Allah memperpanjang masa kekuasaannya sehingga ia semakin terjerumus dalam kesombongan dan kesewenang-wenangan tersebut. Seperti sosok Firaun yang ketika Allah memberinya kekuasaan, Firaun sering bertindak semena-mena. Lalu, Allah tambahkan kekuasaannya, dan Firaun semakin takabur hingga mengaku dirinya sebagai tuhan.2 Dan Allah akhirnya menjatuhkan ‘adzâb yang sangat pedih dengan menenggelamkan Firaun di Laut Merah. Na'udzubillâh.

Sejak tahun 2010, nyaris berbagai ujian dan cobaan melanda negeri Indonesia. Mulai dari meletusnya gunung merapi di Jogja, tsunami di Mentawai pada tanggal 25 oktober dan banjir di mana-mana dan musibah lainnya. Semuanya adalah musibah yang harus disikapi dengan sabar, tabah, dan lapang dada. Apabila terjadi musibah, itu peringatan dari Allah untuk kita kembali kepada Allah.

Dalam al-Quran ada beberapa terminologi seperti musibah, ‘adzâb, dan laknat. Katagori ‘adzâb sebagian besar ditimpakan kepada orang kafir. Seperti banjir Nabi Nuh, yang selamat hanya orang beriman yang mengikuti ajaran Nabi Nuh. Kaum Nabi Luth hancur tapi orang yang shaleh selamat. Nabi Shaleh yang ditimpa wabah penyakit yang mengerikan aneh sekali yang beriman walaupun rumahnya bersebelahan tidak terkena penyakit sedangkan yang kafir dimusnahkan oleh penyakit yang mengerikan.

Pasukan Abrahah hancur lebur karena di’adzâb Allah dengan batu yang dilontarkan oleh burung Ababil tetapi di tempat di sekitarnya tidak apa-apa. Adalagi wabah semua yang memakan daging unta Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib

2


(17)

3

semuanya kena virus, tapi yang tidak makan tidak kena virus. Jadi, memang

‘adzâb itu ditujukan kepada orang-orang yang memang durhaka. Kalau musibah,

itu lebih bersifat ujian untuk menguji ketebalan iman kita. Tapi, itu tingkatnya lebih massif (tidak memilih agama, warna kulit, jenis kelamin apapun).3

Dari beberapa terminologi yang terdapat dalam al-Quran tersebut, sengaja penulis membahas laknat karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang laknat itu sendiri.

Secara bahasa arab la’ana bermakna “terhina karena dikutuk, kalimat ini digunakan ketika pada zaman pemerintahan jâhiliyyah, seperti ucapan Raja; kamu terhina karena dikutuk, yang bermakna kamu terkutuk karena terhina oleh raja. Sedangkan kata al-la’nuyaitu jauh dan tersingkir dari kebaikan.”, atau “tersingkir dan jauh dari Allah. Sedangkan laknat dari manusia yaitu mendoakan.4

Kata laknat berasal dari kata al-la’n artinya “mengusir dan menjauhkan sesuatu atau seorang akibat perbuatan yang menimbulkan kemarahan”. Orang

yang mendapat laknat Allah berarti ia di jauhkan dari rahmat-Nya disertai dengan murka Allah di dunia dan hukuman neraka di akhirat kelak.5

Dalam al-Quran kata laknat diulang dalam berbagai bentuk sebanyak 40 kali yang tersebar di beberapa surat dalam berbagai kasus yang melangggar perintah Allah dan Rasulnya.6 Kata laknat sendiri dalam bahasan al-Quran secara garis besar hampir sama dengan musibah, ‘adzâb, nikmat atau bala’. Para mufasir pun berbeda-beda dalam menafsirkannya. Namun jika dikaitkan dengan fenomena

3http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/07/10/124132-waspadai

laknat-tersamar-di-balik-nikmat

4

Ibnu Manzȗr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Sâdir, tt), Juz 4, h. 504.

5

Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004), h. 218

6 Mengenai jumlah dapat di buka

Fathurrahman, (Surabaya: Maktabah Dahlan, ttp), h. 398-399.


(18)

alam atau kejadian-kejadian yang menimpa manusia secara umum, kepastian tentang laknat atau nikmat masih belum dapat dipastikan. Yakni, suatu musibah, atau kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang atau suatu kaum apakah dapat dikategorikan sebagai laknat atau bukan. Di sisi lain, apakah laknat dapat terjadi di dunia ini atau hanya di akhirat. Lalu siapakah orang-orang yang tergolong dalam laknat Tuhan dan kenapa laknat itu menimpa mereka. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari kami untuk membahas laknat dalam perspektif

tafsîral-marâghî.

Pemilihan tafsîr al-marâghî karena dalam penguraian suatu ayat Ahmad Mustafâ al-marâghî biasanya mula-mula menafsirkan secara lafdzi atau memaknai kalimat-kalimat yang sulit dan asing yang kemudian dijelaskan secara ijmali (global). Sebagai contoh, ketika ia menafsirkan ayat mengenai tuduhan zina (suami pada istrinya).7

Dalam muqaddimah tafsîr-nya al-marâghî menuturkan, bahwa ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi dalam berbagai masalah yang mewabah di masyarakat berdasarkan al-Quran. Di tangan al-marâghî, al-Quran di

tafsîr-kan dengan gaya modern sesuai tuntunan masyarakat. Pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi di bagian lain, uraiannya cukup mendetail. Tergantung kondisi. Setidaknya ada dua sumber utama yang ia jadikan pijakan untuk menafsirkan ayat al-Quran, yaitu riwayat dan penalaran logis. Ia mencoba menyeimbangkan keduanya.8 Dari metode penafsiran yang digunakan

7 Ahmad Mustafa al-marâghî,

Tafsîr al-marâghî, Penerjemah Bachruddin AB. Lc., dan Drs. Hery Nur Ali, (Semarang: CV. Toha Putra)jil. h. 130.

8 Sebagain ulama mengatakan bahwa

tafsîr al-marâghî menjadi pelengkap atau penyempurna tafsîr al-Manâr (Rasyîd Ridhâ). Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani), Cet. I, h. 153-154.


(19)

5

inilah yang mendorong kami memilih tafsîr ini untuk membahas kata laknat dalam al-Quran.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan mambatasi permasalah dengan menitik beratkan kepada penafsiran Ahmad Mustafâ al-Marâghîterhadap ayat-ayat yang membahas masalah laknat.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahannya pada: Bagaimana penafsiran al-Marâghî tentang

ayat-ayat laknat yang ada dalam al-Qur’an?

C. Tujuan Penelitian.

Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang pasti ada maksud dan tujuannya. Demikian pula dengan penulisan skripsi ini yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu, antara lain:

1. Untuk mendapatkan suatu ilmu yang belum didapatkan oleh penulis, pelajaran yang belum penulis ketahui, semoga dengan ini penulis lebih dapat memahaminya.

2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan islam, khususnya dalam bidang tafsîr.


(20)

3. Sebagai tugas akhir, guna memperoleh gelar Sarjana (S1) dalam bidang tafsîr hadis di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya yang membahas permasalahan ini, yaitu Skripsi oleh Mahfuz yang berjudul

”Takhrij Hadis Tentang Laknat Allah Bagi Pelaku Suap-Menyuap” , tahun 2007, no 2085. Skripsi ini membahas pada kajian Hadis-hadis yang berkenaan dengan Laknat Allah bagi pelaku suap-menyuap.

Dari tinjauan di atas, dapat penulis katakan bahwa pembahasan skripsi ini berbeda dengan karya di atas, karna penulis membahas laknat berdasarkan pada pokok penafsiran bukan pada Hadis.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada tiga aspek metode penelitian yaitu: a. Metode Pengumpulan Data

Kajian skripsi ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Data-data yang dicari dari sumber-sumber lepustakaan seperti


(21)

buku-7

buku, kitab-kitab tafsîr, hadits dan lain-lain, baik sumber primer maupun sekunder. Untuk sumber primer itu sendiri penulis merujuk pada kitab tafsîr al-Marâghîkarangan Ahmad Mustafâ al-Marâghî Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah.

b. Metode Pembahasan

Dalam metode ini penulis menggunakan metode tematik “(maudhu’i)”, yakni dengan cara membahas bentuk-bentuk pengungkapannya dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan laknat.

Menurut Al-Farmawi metode maudhu’i (tematik) adalah menghimpun atau mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu dari surat al

-Qur’an yang sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan berhubungannya dengan ayat lain kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.9

Kemudian menghubungkan beraneka ragam masalah yang terdapat dalam ayat tersebut ke dalam suatu tema. Serta mengungkapkan kesimpulan dari seluruh bahasan sebelumnya dan sekaligus menjawab pokok permasalahan yang dikemukakan di atas.

c. Metode Penulisan

Secara teknis penulisan skripsi ini beradasarkan pada buku “pedoman penulisan skripsi, tesisi, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.”

9Abdul Hayy Al-Farmawi,

Metode Tafsîr Maudhu’i: Sebuah Pengantar Terj. Surya A. Samran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.36, Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,( Jakarta: Mizan, 1992), Cet. Ke-1, hal. 115.


(22)

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut :

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, kajian pustaka dan tujuan penelitian, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

Bab kedua membahas tentang penulis tafsîr al-marâghî yang meliputi : Biografi dan Pendidikan Ahmad Mustafâ al-Marâghî, sejarah penulisan tafsîr al-Maragi, karya-karya Ahmad Mustafâ al-Marâghî, metode dan corak penafsiran Ahmad Mustafâ al-Marâghî.

Bab ketiga membahas tentang laknat menurut al-Quran yang meliputi : pengertian laknat, sebab diturunkannya laknat, kepada siapa laknat di turunkan dan menjauhkan diri dari laknat Allah.

Bab empat merupakan inti pembahasan mengenai laknat dalam tafsîr al-Marâghî yang meliputi : indentifikasi ayat tentang laknat, penafsiran ayat-ayat laknat dalam tafsîr al-marâghî, Kemudian dilanjutkan dengan analisa penafsiran.

Bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.


(23)

9 BAB II

SEKILAS TENTANG MUSTAFÂ AL-MARÂGHÎ

A. Biografi dan Pendidikan Ahmad Mustafâ al-Marâghî

Nama lengkap Ahmad Mustafa al-Marâghî adalah Ahmad Mustafâ ibn Mustafâ ibn Muhammad „Abd al-Mun’im al-Qadi al-Marâghî. Ia lahir pada tahun 1300H/1883M di kota al-Marâghah, propinsi Suhaj, kira-kira 700km. Arah selatan kota Kairo.1 Menurut „Abd al-„Azîz al-Marâghî, yang dikutip oleh Abdul Djalal, kota al-Marâghah adalah ibu kota al-Marâghah yang terletak di tepi barat Sungai Nil, yang berpenduduk sekitar 10.000 jiwa, dengan penghasilan utama gandum, kapas dan padi.2

Ahmad Mustafâ al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini terbukti dengan adanya lima dari delapan putra laki-laki syekh Mustafâ Marâghî (Ayah dari Ahmad Mustafâ al-Marâghî) adalah ulama besar yang cukup terkenal, yaitu:

1. Syekh Muhammad Mustafâ Marâghî yang pernah menjadi Syekh al-Azhâr selama dua periode, yaitu tahun 1928-1930 dan 1935-1945.

2. Syekh Ahmad Mustafâ Marâghî, yaitu pengarang Kitab Tafsîr al-Marâghî.

3. Syekh Abd al-Azîz al-Marâghî, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhâr dan Imam Raja Farȗq.

1

Adil Nuwayhid, Mu’jam al-Mufassîrîn Sadr al-Islâm hatta al-‘Asr al-Hadir, (Beirut: Muassasah al-Nuwayhid al-Saqafiyyah, 1409H/1988M), Cet. Ke-2, jilid. 1, h. 80.

2 Abdul Djalal,

Tafsir al-Maraghi dan Tafsîr al-Nur Sebuah Studi Perbandingan,


(24)

4. Syekh „Abdullah Mustafâ al-Marâghî, inspektur Umum pada Universitas al-Azhar.

5. Syekh „Abd al-Wafa Mustafâ al-Marâghî, sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas al-Azhar.3

Di samping itu juga ada empat orang putra Ahmad Mustafâ al-Marâghî yang menjadi hakim, yaitu;

1. M. Azîz Ahmad al-Marâghî, Hakim di Kairo.

2. A. Hamid al-Marâghî, Hakim dan Penasehat Kehakiman di Kairo.

3. Ashim Ahmad al-Marâghî, Hakim di Kuwait dan Pengadilan Tinggi Kairo. 4. Ahmad Midhat al-Marâghî, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil

Menteri Kehakiman Kairo. 4

Sebutan al-Marâghî dari Syekh Ahmad Mustafâ al-Marâghî dan lain-lainnya ini dihubungkan dengan nama atau kota tempat tinggal keluarga ayah al-Marâghî yaitu kota al-Marâghah.5

Pada saat Ahmad Mustafâ al-Marâghî menginjak usia sekolah, ia dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah di desanya untuk belajar al-Qur’an. Karena otaknya yang cerdas, pada usia lima belas tahun ia telah hafal al-Qur’an. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu syari’ah di madrasah sampai dia menamatkan pendidikan tingkat menengah.

Pada tahun 1314 H/1897 M al-Marâghî berangkat ke Kairo untuk kuliah di Universitas al-Azhâr. Di sini ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan agama seperti bahasa arab, balâghah, tafsîr, ilmu al-Qur’an, hadîs, ilmu hadis,

3

Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 110.

4 Abdul Djalal,

Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 110.

5 Hasan Zaini,

Tafsir Tematik ayat-ayat kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta : Pedoman Ilmu jaya, 1997), cet. 1, h. 16


(25)

11

fiqih, usul fiqhi, akhlak, ilmu falaq dan sebagainya. Di samping kuliah di al-Azhâr, ia juga kuliah di Fakultas Dâr al-‘Ulum, Kairo. Akhirnya pada tahun 1909 ia lulus dari kedua perguruan tinggi tersebut. Di antara dosen-dosen yang mengajar al-Marâghi di Azhâr dan Dâr al-‘Ulum di antaranya ada;ah Syekh Muhammad „Abduh, Syekh Muhammad Hasan al-Adrawî, Syekh Muhammad Bahis al-Mut’i dan Syekh Muhammad Rifai al-Fayumî.

Setelah Ahmad Mustafâ al-Marâghî lulus dari al-Azhâr dan Dâr

al-‘Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru di beberapa sekolah menengah.

Kemudia ia diangkat menjadi direktur Madrasah Muallimin di Fayun, sebuah kota setingkat kota madya, kira-kira 300 km sebelah barat daya kota Kairo. Pada 1916 M ia diangkat menjadi dosen utusan Universitas al-Azhâr untuk mengajar

ilmu-ilmu syari’ah islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar, Syekh Ahmad Mustafâ al-Marâghî juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah al-Balâghah.6

Pada tahun 1920 M, ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen bahasa Arab dan ilmu-ilmu syari’ah di Dâr al-‘Ulum sampai tahun 1940. Di samping itu, ia juga diangkat menjadi dosen ilmu balâghah dan sejarah kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas Azhâr. Selama mengajar di al-Azhâr dan Dâr al-„Ulum, al-Marâghî tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit Kairo kira-kira 24 km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya, sehingga di kota ini terdapat sebuah jalan yang dinamai jalan al-Marâghî.

6


(26)

Ahmad Mustafâ al-Marâghî juga mengajar pada perguruan Ma’had

Tarbiyah Mu’alimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapat piagam tanda penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H. atas jasa-jasanya tersebut. Piagam tersebut tertanggal 11-1-1316 H. Pada tahun 1370H/1951 M, yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, beliau juga masih mengajar dan bahkan dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya.7 Beliau meninggal pada tahun 9 juli 1952 M/1371 H. di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25 km sebelah selatan kota Kairo.8

B. Sejarah Penulisan Tafsîr al-Marâghî

Tafsîr al-Marâghî ditulis selama kurang lebih 1 tahun, sejak tahun 1940-1950 M. Menurut sebuah sumber, ketika al-Marâghî menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selama empat jam sehari. Dalam 20 jam yang tersisa, ia menggunakannya untuk mengajar dan menulis.

Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira pukul 3.00, al-Marâghî memulai aktivitasnya shalat tahajud dan hajat. Dipanjatkannya doa untuk memohon petunjuk dari Allah. Usai menjalankannya, ia kemudian menulis tafsir, ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Pulang kerja, ia tidak langsung melepas lelah sebagaimana orang lain. Aktivitas tulis menulisnya yang sempat terhenti, dilanjutkan. Kadang-kadang, sampai jauh malam.

7 Abdul Djalal,

Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 115.

8 Adil Nuwayhid, Mu’jam al-Mufassîrîn Sadr al-Islâm hatta al-Asr al-Hadîr, (Beirut:


(27)

13

Dalam muqaddimah tafsîrnya, al-Marâghî menuturkan alasan menulis kitab tafsîr. Ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah yang mewabah di masyarakat berdasarkan al-Qur’an. Di tangan al-Marâghî, al-Qur’an ditafsirkan dengan gaya modern sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembaca pun ringan dan mengalir lancar. Pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi dibagian lain, uraiannya begitu mendetail. Tergantung kondisi. Ada dua sumber utama yang menjadi pijakannya dalam menulis kitab tafsir al-Qur’an: riwayat dan penalaran logis. Ia berusaha meyeimbangkan keduannya.9

C. Karya Tulis Ahmad Mustafâ al-Marâghî

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, selain aktif mengajar, juga giat menulis dan mengarang. Karya tulisnya yang terbesar adalah Tafsîr al-Marâghî yang terdiri atas 30 juz. Di samping itu banyak karya-karya yang dihasilkan diantaranya:

1. Ulȗm al-Balâghah. 2. Hidâyah al-Thâlib.

3. Tahbîz al-Tandîh.

4. Buhuts wa Ara.

5. Târikh ‘Ulum al-Balâghah wa Ta’rif bi Rijaliha.

6. Mursyîd at-Tullab.

7. al-Muzasif al-Adab al-Arabî.

8. al-Muzasif ‘Ulum wa al-Usȗl.

9 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an,(Yogyakarta : Pustaka Insan


(28)

9. ad-Diyânat wa al-Akhlâk.

10.al-Hisab fi al-Islâm.

11.ar-Rifq bi-Hayawan fi al-Islâm.

12.Syarh Tsalatsin Hadisan.

13.Tafsîr Juz Innamâ al-Sabîl.

14.Risâlah fi Zaujat an-Nabi.

15.Risâlat ishat Ru’yah al-Hilâl fi Ramadân.

16.al-Khutbah wa al-Khutâba fi Daulat al-Umawiyah wa al-‘Abbasiyah.

17.al-Mutâla’ah al-‘Arâbiyyah li al-Madârîs as-Sudaniyyah.10

D. Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafâ al-Marâghî.

Pada bagian ini akan dijelaskan latar belakang penulisan Tafsîr al-Marâghî, sebagaimana yang terdapat dan diungkapkan al-Marâghî pada Muqaddimah tafsîrnya. Ia mengatakan bahwa di masa sekarang orang sering menyaksikan banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan di bidang agama, terutama sekali dibidang tafsîr al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kitab-kitab tafsîr tersebut banyak memberikan manfaat karena menyingkap berbagai persoalan agama dan bermacam-macam kesulitan yang tidak mudah dipahami, namun kebanyakan telah banyak dibumbui dengan istilah-istilah ilmu lain, seperti ilmu balâghah, nahwu, sharaf, fiqhi, tauhid, dan ilmu-ilmu lainnya, yang justru merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur’an secara benar bagi para pembaca.11 Di samping itu kitab-kitab tafsîr juga sering diberi

10

Kafrawi Ridwan, et.al (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve Jakarta. 1994), cet. Ke 3, h. 166

11Ahmad Mustafâ al-Marâghî

, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 3


(29)

15

cerita-cerita yang bertentangan dengan akal dan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan.12

Bila kita membandingkan dengan kitab-kitab tafsîr yang lain yang terdapat dikalangan umat islam, baik sebelum ataupun sesudah tafsîr al-Marâghi,

termasuk tafsîr al-Manâr, yang dipandang modern, ternyata tafsîr al-Marâghî

mempunyai metode penulisan tersendiri, yang membuatnya berbeda dengan kitab-kitab tafsîr yang lain tersebut. Sedangkan bila dilihat dari coraknya, tafsîr al-Marâghî sama dengan corak tafsîr al-Manâr karya Muhammad „Abduh dan Rasyid Ridhâ, tafsîr al-Qur’an al-Karîm, karya Mahmud Syaltut, dan tafsîr Wâdhih, karya Muhammad Hijazi.13

Adapun metode penulisan dan sistematika tafsîr al-Marâghî sebagaimana yang dikemukakannya dalam muqaddimah tafsîrnya adalah sebagai berikut:

1. Mengemukakan Ayat-Ayat di Awal Pembahasan

Al-Marâghî memulai setiap pembahasan dengan mengemukakan satu, dua atau lebih ayat-ayat al-Qur’an yang mengacu kepada suatu tujuan yang menyatu.14

2. Menjelaskan Kosa Kata (SyarhAl-Mufradât).

Selanjutnya al-Marâghî menjelaskan pengertian kata-kata secara bahasa, bila ternyata ada kata-kata yang sulit dipahami oleh para pembaca.15

12 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 3

13 Ahmad Akram, Târîkh ‘ilm al-Tafsîr wa Manâhîj al-Mufassîrîn, terj. Ali Hasan

al-„Aridl (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992), Cet. Ke-2, h. 72.

14

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 16

15 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 16


(30)

3. Menjelaskan Pengertian Ayat-ayat Secara Global (al-Maknâ al-Jumâl li al-Ayat).

Al-Marâghî menyebutkan makna ayat-ayat secara global, sehingga sebelum memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, para pembaca sudah terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat tersebut secara umum, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami maksud ayat-ayat tersebut.16

4. Menjelaskan Sebab-sebab Turun Ayat (Asbâb al-Nuzȗl)

Jika ayat tersebut mempunyai asbâb al-nuzȗl (sebab-sebab turun ayat) berdasarkan riwayat sahih yang menjadi pegangan para mufassir, maka Ahmad Mustafâ al-Marâghî menjelaskannya terlebih dahulu.17

5. Meninggalkan Istilah-Istilah Yang Berhubungan Dengan Ilmu Pengetahuan

Istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, sengaja ditinggalkan oleh al-Marâghî, menurutnya hal ini bisa menghambat para pembaca dalam memahami isi al-Qur’an. Misalnya ilmu nahwu, saraf, dan

‘ilmu balâghah.18

6. Gaya Bahasa Para Mufassir

Al-Marâghî sangat menyadari bahwa tafsir-tafsir yang terdahulu disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu. Namun disebabkan oleh pergantian masa lalu diikuti dengan ciri-ciri

16 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 16

17

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 17

18 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 17


(31)

17

khusus, baik tingkah laku dan kerangka berfikir masyarakat, maka merupakan hal yang sewajarnyalah bahkan merupakan kewajiban bagi mufassir masa sekarang ini untuk memperhatikan keadaan pembaca dan menjauhi pertimbangan keadaan masa lalu yang tidak relevan lagi.19 Oleh karena itu, al-Marâghî merasa terpanggil untuk memenuhi sebuah kewajiban dalam memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsîr yang mempunyai warna tersendiri dengan menggunakan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh alam pikiran sekarang ini, karena setiap orang harus diajak bicara sesuai dengan kemampuan akal mereka.20

Dalam Penyusunan kitab tafsîr ini, al-Marâghî tetap merujuk kepada pendapat-pendapat para mufassir terdahulu sebagai penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan. al-Marâghî mencoba menunjukkan kaitan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan lainnya. Karena itulah, al-Marâghî sengaja berkonsultasi dengan orang-orang ahli dibidangnya masing-masing, seperti dokter, astronom, sejarawan dan orang-orang ahli lainnya untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka.21

7. Menyeleksi Riwayat-riwayat Dalam Kitab Tafsîr.

Menurut al-Marâghî, salah satu kekurangan mufassir al-Qur’an terdahulu adalah mereka memuat di dalam kitab-kitab tafsîr mereka cerita dari ahli kitab. Padahal, menurut al-Marâghî, belum tentu

19 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 17

20

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 17

21 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 1 h. 18


(32)

cerita mereka itu benar. Oleh karena itu, maka dalam tafsîrnya, al-Marâghî tidak menyebutkan suatu riwayat dari orang terdahulu jika riwayat itu tidak sesuai dengan pengetahuan dan dengan ketentuan-ketentuan agama yang tidak diperselisihkan lagi. Hal ini ia lakukan karena lebih menyelamatkan bagi kepentingan pengetahuan dan lebih terhormat untuk lebih menarik lagi bagi kaum pelajar di mana mereka ini hanya mau tunduk pada dalil-dalil, bukti-bukti dan pengetahuan yang benar.22

8. Jumlah Jilid Tafsîrnya.

Al-Marâghî menjadikan 30 jilid tafsîrnya dan menjadikan setiap juz dari al-Qur’an satu jilid. Hal ini menurut al-Marâghî agar pembaca mudah membacanya dan menjadikan teman dalam perjalanan, baik di kereta api, terminal dan tempat mana saja ia berada. Akan tetapi pada saat ini, Tafsîr al-Marâghî dicetak menjadi sepuluh jilid. Tafsîr al-Marâghî

pertama kali diterbitkan pada tahun 1365 H.23

Adapun kitab-kitab yang dijadikan referensi oleh al-Marâghî dalam penulisan tafsîrnya adalah :

1. Tafsîr Abu Ja’far al-Tabary (W 310 H).

2. Tafsîr al-Kasyâf, Abu Qasim al-Zamakhsary (W 538 H). 3. Hasyiah al-Kasyâf, Syafaruddin al-Tiybi (W 713 H). 4. Anwar al-Tanjil, Qadhi Nasiruddin Idhamy (W 692 H). 5. Tafsîr Abi al-Qasim atau Raghib al-Isfahânî (W 500 H). 6. Tafsîr al-Bâsith T.H. Abu Hasan al-Naisabury (W 568 H).

22

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo : Mustafâ al-Bab halabi wa Auladuhu, 1963), Cet, ke 3, jilid 1, juz 1, h. 19

23 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo : Mustafâ al-Bab halabi wa Auladuhu, 1963), Cet, ke 3, jilid 1, juz 1, h. 20


(33)

19

7. Tafsîr Mafâtîh al-Ghaîb, Fakhruddin al-Razi (W 610 H). 8. Tafsîr Ibnu Katsîr, Isma’il bin Katsîr al-Quraysy (W 774 H). 9. Tafsîr al-Baghâwy, al-Husein bin Mas’ud (W 516 H).

10.Ghârib al-Qur’an, al-Hasan bin Muhammad al-Qurumy.

11.Bahrul Muhît, Atsiruddin Abi al-Hayan al-Andalusy (W 745 H). 12.Nadzmud Durrar, Burhanuddin Ibrahim al-Bigai (W 885). 13.Tafsîr Abu Muslîm al-Isfahanî (W 459 H).

14.Tafsîr Qadhi Abu Bakr al-Bâqilânî.

15.Tafsîr Sirajul Munîr, al-Khâtib Syarbini. 16.Tafsîr Ruh al-Ma’anî, al-Alusî.

17.Tafsîr al-Manâr, Muhammad Rasyid Ridhâ. 18.Tafsîr al-Jawahîr, Tanthowi Jauhary. 19.Sirah Ibnu Hisyâm.

20.Fath al-Bary, Ibnu Hajar, Syarah Hadis Bukhari. 21.Syarah Hadîs Bukharî, al-Aini.

22.Lisân al-‘Arab, Ibnu Mandzȗr al-Ifriqi (W 717 H). 23.Syahrar Kamus, Fairuz al-Abadi (W 816 H). 24.Asas al-Balâghah, Zamalih Syari (W 518 H). 25.Al-Hadîs Mukhtara, Dliya Muqaddasi.

26.Tâbâqât Syafi’iyyah, Ibnu Subki.

27.Jawâzîr, Ibnu Hajar.

28.A’lam al-Muwaqi’in, Ibnu Timiyah.

29.Al-Itqân, al-Suyuthi.dan Muqadimah Ibnu Khaldun.24

24 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo : Mustafa al-Bab halabi wa Aulâduhu, 1963), Cet, ke 3, jilid 1, juz 1, h. 22


(34)

Pilihan penulis untuk membahas tafsir yang ditulis oleh Ahmad Mustafâ al-Marâghî ini, selain karena tafsirnya lengkap 30 juz al-Qur’an, juga tafsir ini banyak beredar di dunia islam termasuk di Indonesia, dan tafsir ini banyak mengandung hal-hal baru yang relevan dengan kebutuhan umat islam masa sekarang, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang. Hal ini dapat kita maklumi, karena tafsîr al-Marâghî ini mengambil corak sastra budaya kemasyarakatan (Adabi ijtima’i) yang memang berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat.


(35)

21 BAB III

PENGERTIAN LAKNAT

A. Pengertian Laknat (Perbedaan Laknat, ‘adzâb, Dan Musibah)

a. Pengertian Laknat

Secara bahasa arab la’ana bermakna “terhina karena dikutuk, kalimat ini digunakan ketika pada zaman pemerintahan jâhiliyyah, seperti ucapan Raja; kamu terhina karena dikutuk, yang bermakna kamu terkutuk karena terhina oleh raja. Sedangkan kata al-la’nu yaitu jauh dan tersingkir dari kebaikan.”, atau “tersingkir

dan jauh dari Allah. Sedangkan laknat dari manusia yaitu mendoakan.1

Sedangkan menurut Al-Marâghî, al-la’ana secara bahasa bermakna “jauh dan tersingkir, dan laknat Allah yaitu jauh dari rahmat-Nya dan yang menjaga semua mukmin di dunia maupun di akhirat..2 Sedangkan laknat manusia berarti dimaki dan dido’akan agar ditimpa kejahatan (keburukan). Orang yang dilaksanakan disebut la’în ataumal’ȗn.

Firman Allah swt Q.S. al-Baqarah/2:88:







































“Dan mereka berkata: "Hati Kami tertutup". tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.3

1

Ibnu Manzȗr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Sâdir, tt), Juz 4, h. 504.

2 Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), jilid 2 h. 29

3


(36)

Maksud dari mengutuk di sini adalah menjauhkan mereka dari-Nya. Li’ân

atau mulâ’anah berarti saling mengutuk antara dua orang atau lebih. Sedangkan al-Lu’anah berarti sekelompok orang (banyak orang) mengutuk orang lain. Al-la’iin berarti yang dilaknat, yaitu predikat yang diberikan kepada iblis [setan] karena dia terusir dari langit dan dijauhkan dari rahmat Allah swt.4

b. Pengertian ‘Adzâb

Kata “adzâb” secara literal berarti al-nakâl wa al-‘uqȗbah (peringatan dan hukuman).5 Kata al-‘adzâb biasanya digunakan dalam konteks hukuman atau siksaaan kelak di hari akhir.6 Dan dalam bahasa Indonesia ‘adzâb adalah siksaan yang di hadapi manusia atau makhluk Tuhan lainnya.7 Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang berisi ancaman kepada orang-orang kafir, diantaranya adalah seperti terdapat pada surat al-Baqarah/2: 7.









































8



Secara terrminologi :

Menurut Quraish Shihab : ‘adzâb adalah suatu kemurkaan Allah akibat pelanggaran yang dilakukan manusia yaitu pelanggaran sunnatullah di alam

4 Majid Assayid Ibrahim,

wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN PRESS 1995) cet. 17, h. 11

5 A. W Munawwir,

Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. Ke-25, h. 1463

6 Ibnu Manzȗr,

Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Sâdir, tt), Juz 1, h. 585.

7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1080.


(37)

23

semesta dan pelanggaran syariat Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW.8

Dari definisi diatas menyimpulkan bahwa ‘adzâb adalah suatu peringatan akan kemurkaan Allah pada makhluknya (manusia) yang telah melanggar perintah Allah yaitu perbuatan yang dilarang baik berupa ibadah, amal, iman dan lain-lain, dibalasnya dengan teguran berupa bencana alam.

c. Pengertian Musibah

Dalam bahasa Indonesia kata “Musibah” diartikan sebagai malapetaka atau bencana, yaitu segala kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa manusia, seperti gempa, banjir, kebakaran dan kematian. Peristiwa-peristiwa tersebut pada umumnya menimbulkan kerugian berupa harta benda maupun jiwa manusia.9 Sedangkan dalam bahasa Arab kata musibah

(

ةبيصم

)

berasal dari kata dasar yang terdiri dari huruf sad, wau, dan ba’;

وص

(sawaba) yang mempunyai makna ةيمرلا lemparan.10

Menurut Quraish Shihab: Musibah pada mulanya berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”. Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu buruk. Hujan bisa menimpa kita dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik. Memang, kata musibah konotasinya selalu buruk, tetapi boleh jadi apa yang kita anggap buruk itu, sebenarnya baik, maka Al-Quran menggunakan kata ini untuk sesuatu yang baik dan buruk (QS. Al-Baqarah : 216)

8 M. Quraish shihab,

Wawasan Al-Quran “Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat ”, (Penerbit Mizan, Jakarta : 2004). h. 153

9

Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 22 Mei 2009 dari http:/pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

10 Al-Râghib al-Asfahâni, Mu’jam Mufradât fî alfâdz al-Qur’an (Beirut: Dâr Kutub al-‘ilmiyah, 2004), h. 322


(38)

























































































“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”11

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa musibah adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Tetapi pada umumnya masyarakat lebih memahami makna musibah sebagai hal yang buruk, pada hal sesuatu yang kita anggap buruk itu sebenarnya ada nilai baik karena dibalik keburukan terdapat hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil.

Jadi perbedaan laknat, ‘adzâb dan musibah ialah laknat berarti ia dijauhkan dari rahmat-Nya disertai dengan murka Allah di dunia dan hukuman neraka di akhirat kelak sedangkan ‘adzâb ialah suatu peringatan akan kemurkaan Allah pada makhluknya (manusia) yang telah melanggar perintah Allah dan musibah ialah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan.

11


(39)

25

B. Sebab Diturunkannya Laknat

Banyak sebab turunnya laknat diantaranya:

a. Orang-orang yang menentang Allah dan rasulnya disebabkan mereka menutup hati mereka dan mengingkari dan tidak menghiraukan seruan Muhammad maka Allah menjauhkan rahmat dan mengusir mereka.12 b. Orang yang berdusta akan menyebabkan laknat Allah diturunkan.13

c. Orang yang membunuh seorang muslim dengan sengaja dengan kesan pembunuh didorong oleh kebenciannya maka Allah melaknat, memurkai dan tidak memberinya sediktpun rahmat serta menyediakan ‘adzâb yang besar baginya.14

d. Orang-orang fasik yang ingkar dengan peringatan Allah dan menyembah thaghut, maka Allah memurkai mereka dan dikutuknya mereka atas perbuatan mereka.15

e. Orang yang menuduh wanita baik-baik dan mukminat, yang lalai dari perbuatan dosa dan terbebas dari ikatan-ikatan nista. Oleh karena itu, para pelakunya dihukum langsung dengan laknat Allah atas perbuatan mereka dan pengusiran diri mereka dari rahmat Allah.16 Dan masih banyak lainnya yang dapat menyebabkan turunya laknat Allah.

12

Abȗ Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Tabari, Tafsîr ath-Tabarî; penerjemah, Ahsan Askan; editor, Besus Hidayat Amin, , (Jakarta : pustaka Azzam,2007) jild 2. h. 194

13

“Laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. al-imran/ 3:61).

14

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an. (Jakarta : Lentera Hati) vol. 2, h. 529

15 Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI, 1997 (Qs. al-Maidah 60) 16


(40)

C. Kepada siapa laknat diturunkan.

Dalam kitab suci-Nya, Allah melaknat orang yang melakukan kerusakan dibumi, orang yang memutus hubungan kekeluargaan, orang yang menyakiti-Nya, dan orang yang menyakiti Rasulullah saw.

Allah melaknat orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan petunjuk yang diturunkan-Nya, menuduh zina para wanita mukmin yang menjaga kehormatan, orang yang menganggap jalan kaum kafir sebagai jalan yang lebih tepat dari pada jalan kaum beriman. Rasulullah saw melaknat laki-laki yang memakai baju wanita dan wanita yang memakai baju lelaki dan beliau juga melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap termasuk perantaranya serta dosa-dosa yang lain.

Seandainya pelaku dosa tidak senang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya dan para Malaikatnya, tentu ia akan meninggalkan maksiat dan dosa.17

Diantara yang dilaknat Allah yaitu: a. Iblis Yang Dilaknat Allah

Ada beberapa makhluk yang Allah laknat. Yang pertama kali mendapat laknat Allah adalah Iblis. Dia patut diusir dari rahmat Allah swt karena dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyesatkan anak Adam, dan selalu menipu dan mempedayakan mereka, sebagaimana Allah berfirman Q.S. al-A’raf 16-17;

17 Ibn Qayyim al-Jauzah,

Kiat Membersihkan Hati Dari Kotoran Dan Maksiat,(Jakarta: islam klasik)h. 46


(41)

27









































































































“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).18

Iblis patut dilaknat karena seluruh upaya yang dilakukan adalah bertujuan untuk menjerumuskan manusia ke jurang syirik dengan melakukan penyembahan selain Allah.

Firman Allah SWT Q.S. al-hasyr 16;































































“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan ketika Dia berkata kepada manusia: "Kafirlah kamu", Maka tatkala manusia itu telah kafir, Maka ia berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam".19

Apabila setan tidak berhasil mencapai tujuannya yang pertama, yaitu menjerumuskan manusia kelembah syirik, maka dia akan merayu serta membujuk manusia agar berbuat kejahatan, kekejian, dan dusta terhadap Allah SWT.

18 Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 19


(42)

b. Yang Menyembunyikan Ilmu (Yang Hak) Terkutuk Disisi Allah.

Allah mengutuk mereka yang mempunyai ilmu (yang hak) tetapi tidak disebarkan malah disembunyikan. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah 159.:















































































































































“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, kecuali mereka yang telah taubat dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.20

Sebagian ilmuan/ulama berpendapat bahwa ayat-ayat ini ditunjukan khusus kepada rahib-rahib Yahudi dan Nasrani yang telah menyembunyikan masalah kenabian Muhammad saw.

Sebagian ulama berpendapat bahwa segala’ibrah berlaku secara umum dan bukan berlaku khusus terhadap asbâb al-nuzȗl saja. Sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan ayat-ayat tersebut adalah siapa saja yang menyembunyikan hak dan kebenaran, serta yang mencampakkannya ke belakang punggung mereka apa-apa yang diperlukan ummat dari ajaran-ajaran dienullah yang benar.21 Para ulama berbeda pendapat tentang arti “semua makhluk yang dapat melaknati” dalam ayat tersebut di atas. Ada yang berpendapat bahwa yang melaknati adalah para malaikat dan orang-orang beriman. Dan ada pula yang

20 Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI, 1997 21 Departemen Agama RI,

al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), (Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004), h. 219


(43)

29

berpendapat bahwa tidak sebatas itu saja tetapi juga termasuk hama, serangga, dan hewan-hewan yang dapat menimbulkan kerusakan. Hal ini sebagai pelajaran terhadap dosa-dosa para ulama jahat [suu’] yang telah menyembunyikan hak dan kebenaran. Hama-hama tersebut lalu melaknati mereka.22

c. Pendusta Patut Mendapat Laknat.

Dusta adalah akhlak yang paling buruk. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

























“Laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. al-imran/ 3:61).

















“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.” (Q.S. adz-Dzariyaat/51:10)

Rasulullah SAW selalu menyeru kepada kebaikan dan kebajikan yang mendekatkan kita kepada Allah dan surga-Nya, serta memperingatkan kita agar menghindari kejahatan dan kekejian karena hal ini akan mendekatkan kita kepada neraka dan ‘adzâb Allah SWT.

“Jauhilah dusta, karena dusta itu membawa orang kepada perbuatan keji, dan perbuatan keji membawa orang ke neraka. Selama orang berdusta dan memilih segala yang dusta (ucapan maupun perbuatan), maka akhirnya Allah menetapkannya sebagai pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang pendusta tidak akan menemukan jalan hidayah karena Allah SWT tidak akan mempermudah jalan itu baginya. Firman Allah Q.S. Ghafir 28:

22 Majid Assayid Ibrahim,,

wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN PRESS 1995) cet. 17, h. 18-19


(44)























“Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.”23

Dusta menyebabkan manusia menjadi sial dan naas, serta memancing murka dan laknat Allah SWT. Dan itu jelas merupakan bencana bagi manusia meskipun bencana itu pada waktu kemudian.

Seorang yang berdusta sebenarmya karena terdorong oleh kerendahan dirinya. Kalau dia bejiwa mulia maka dia tidak akan berdusta. Dusta adalah salah satu sifat dari tiga sifat orang munafik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia khianat”. (HR. Bukhari, Muslim, at -Turmudzi, dan an-Nasa’i).24

Namun dalam beberapa hal orang dibolehkan berdusta, seperti dalam peperangan, waktu mengislah (mendamaikan) antara manusia yang sedang berselisih, kepada istri untuk menghindari timbulnya pertengkaran, dan sebaliknya istri terhadap suami demi kebaikan.

Para ulama memperbolehkan dusta terhadap orang zhalim dengan maksud membunuh atau merampas hartanya, dan berdusta untuk menyelamatkan barang titipan (amanah) yang ada di tangannya.25

23 Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 24 Abî ‘Abdillah Mu

hammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahih Bukhârî bi Hâsyah al-Sanadî, Kitâb al-Îmân, juz I(T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.), h. 142.

25 Majid Assayid Ibrahim,

wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakartat: GEMA INSAN PRESS 1995) cet. 17, h. 20-21


(45)

31

d. Membunuh Orang Mukmin Dengan Sengaja Akan Menerima Laknat Dari Allah. Firman Allah SWT Q.S. an-Nisa 93:





















































“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan ‘adzâb yang besar baginya.”26

Allah SWT mengharamkan membunuh nyawa seorang mukmin kecuali karena tiga alasan, yaitu laki-laki beristri dan wanita bersuami bila berzina, sebagai qishash nyawa yang dibalas dengan nyawa, dan seorang muslim yang meninggalkan agamanya (murtad).

Hanya tiga sebab di atas yang dihalalkan. Karena mengalirkan darah itu merupakan hak, kehormatan, dan wewenang Allah, maka masalah pembunuhan ini kelak pada hari kiamat menjadi perkara pertama yang dipersoalkan.

Berkata Abdullah Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ءامِدلا ىف ةمايقْلا مْوي ساَنلا نْيب ضْقيام لَّا

“Perkara pertama yang diselesaikan di antara manusia pada hari kiamat adalah tentang darah (pembunuhan)”. (HR. Bukhari dan Muslim).27

Rasulullah SAW mengingatkan umatnya tentang besarnya nilai kejahatan membunuh dan menjelaskan bahwa apabila terjadi saling membunuh diantara manusia maka mereka itu tergolong kafir.28

26 Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 27Abî ‘Abdillâh Mu

hammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî (T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.), h. 11.

28 Majid Assayid Ibrahim

wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN PRESS 1995) cet. 17, h. 22-23


(46)

e. Laknat Allah Terhadap Orang-Orang Kafir Bani Israil Firman Allah SWT :



































































































































































































“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya Amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, Yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (Q.S. al-Maidah 78-80)29

Sejarah Bani Israil yang berjalan di lembah kekufuran dan dalam kutukan Allah sudah berjalan begitu lama. Perilaku mereka yang buruk terhadap nabi-nabi mereka, mengakibatkan mereka dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah SWT.

Mereka tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Apabila seorang melihat kawannya berbuat keji kadang memang mereka diperingatkan dan ditegur. Akan tetapi besoknya walaupun belum meninggalkan kegiatannya, namun sudah kembali menjadi kawan akrab dalam makan dan minum dan berkumpul bersama. Orang Bani Israil suka mengerjakan maksiat dan melampaui batas. Hati mereka tidak sedikit pun tergerak untuk menegakkan amar makruf dan nahi mungkar.

29


(47)

33

Maka Allah sangat melaknat orang-orang kafir Bani Israil karena perbuatan dan kekufurannya terhadap Allah dan Nabi-Nya.30

D. Menjauhkan diri dari laknat Allah

Untuk menjauhkan diri dari laknat Allah, manusia harus selalu patuh kepada perintah-perintah Allah SWT dan melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan. Barang siapa mengabaikan dan menyia-nyiakan hak Allah, maka sesungguhnya dia itu lebih menyia-nyiakan hak dirinya sendiri dan hak manusia lainnya. Maka kita harus mampu menemukkan penyakit-penyakit yang mendekam dalam hati dan batin kita. Kita harus menjauhi segala larangan-Nya seperti berbuat maksiat serta berbuat mungkar.

Di antara perbuatan yang harus dihindari agar terhindar dari laknat Allah diantaranya:

1. Tinggalkan perbuatan syirik, dusta dan yang dilarang oleh Nabi seperti, Nabi Muhammad saw melaknat pelaku kejahatan pada umumnya, Nabi Muhammad saw juga melaknat wanita yang membuat tato pada wajah wanita lain dan wanita yang meminta wajahnya ditato, terhadap wanita yang memasang dan menyuruh dipasangkan rambut palsu (sanggul), terhadap wanita yang mencukur dan yang menyuruh dicukur seluruh alisnya.31

2. Hindari perbuatan riba, penulis, dan saksinya. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah ayat 278-279:

30

Majid Assayid Ibrahim, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN PRESS 1995) cet. 17, h. 22-23

31 Majid Assayid Ibrahim,

wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN PRESS 1995) cet. 17, h. 14


(1)

adapun orang disebut “munafik”, secara ringkas munafik itu dapat disimpulkan antara lain adalah orang yang berpura-pura menampakkan keislamannya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan shalat, dan sebagainya.

4. Orang-Orang Musyrik

Syirik menurut etimologi adalah persekutuan atau bagian, sedangkan menurut terminology adalah menyekutukan Allah dengan selain-Nya baik dalam segi keyakinan, ucapan, ataupun perbuatan. Orang yang melakukan syirik disebut musyrik. Perbuatan syrrik adalah dosa yang sangat besar dari semua dosa yang dapat diapuni Allah yaitu syirik, terkecuali dosa syirik itu apabila ia dapat bertaubat sebelum mati. 47 Sedangkan menurut al-Marâghî bahwa orang musyrik ialah orang yang berprasangka buruk kepada Allah di dunia, dengan mengingkari janji Allah dan orang tersebut akan dijauhkan dari rahmat Allah dan akan dimurkai di akhirat kelak. Jadi penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa seseorang yang dianggap musyrik yaitu mereka yang orang yang menyekutukan Allah, berprasangka buruk kepada Allah mengingkari janji Allah. Merekalah orang-orang yang musyrik yang terkena laknat.


(2)

66 A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan dari tulisan ini dengan merujuk kepada rumusan masalah sebagai berikut:

Laknat menurut al-Marâghî adalah bermakna “jauh dan tersingkir dari kebaikan.”, atau “tersingkir dan jauh dari rahmat Allah ‘azza wa jalla “. Jadi apabila seseorang yang dilaknat Allah, maka mereka akan diusir dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Berbeda dengan kata laknat yang dipakai buat manusia atau mahluk lainnya yang berarti bahwa mereka mendoakan atau memohon agar Allah menimpakan balasan atau azab terhadap mereka yang melakukan perbuatan yang dilaknat oleh Allah.

al-Marâghî mengemukakan bahwa orang-orang yang terkena laknat Allah tidak lain adalah orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, berbuat ingkar, dusta dan berbuat maksiat kepada Allah umumnya kepada manusia dan khususnya kepada Bani Israil dan orang-orang kafir. Allah sangatlah memurkai dan melaknat mereka atas perbuatannya dan mengazab mereka dengan azab yang sangat pedih. Na'udzubillah.

Dengan demikian, untuk menjauhkan dari laknat Allah adalah tidak lain hanyalah memohon perlindungan, melaksanakan perintah-Nya dan selalu berbuat


(3)

amar ma’ruf nahi mungkar dimanapun berada, sehingga Allah menjauhkan murka dan laknat-Nya.

Akhirnya kita berharap kepada Allah SWT.agar dapat memahami apa yang diungkapkan oleh al-Marâghî mengenai penafsiran ayat-ayat laknat, dan mampu mengarahkannya, yang hanya tidak berkonotasi pada sebuah perjuangan semata, namun lebih dari itu adalah pewaris sifat illahiyah dalam diri kita. Amien.

B. Saran-saran

Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada ayat-ayat laknat dalam al-Qur’an yang ditafsirkan al-Marâghî dalam tafsirnya. Maka dari itu penulis berharap dikemudian hari ada penulis yang menyempurnakan penelitian ini dengan bahasan dan penafsiran yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.

Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif, terhadap ayat-ayat laknat dalam al-Qur’an dan tidak hanya menggunakan tafsir al -Marâghî saja.

Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada umumnya. Amien.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: DEPAG RI, 1997.

Akram, Ahmad. Târîkh ‘ilm al-Tafsîr wa Manâhîj al-Mufassîrîn. Penerjemah Ali Hasan al-‘Aridl. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992.

al-Asfahâni, Al-Râghib. Mu’jam al-Mufradât fî al-fâdz al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyah, 2004.

al-Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Majma’ al-Mufahras al-fâdz al-Qur’an al -Karîm. Turky: Maktabah al-Islamiyyah, 1984.

al-Bukhârî, ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’îl. Sahih Bukhârî bi Hâsyah al-Sanadî. T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.

Departemen Agama RI. al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), Jilid 1 Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.

---. al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan). Jilid 8. Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004.

---.al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan). Jilid 9. Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004.

Djalal, Abdul. Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan,

Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985.

al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’I; Sebuah Pengantar. Terjemahan Surya A. Samran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Fathurrahman, Fathurrahman. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.

Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.

Hamka, Tafsîr Al-Azhâr. Juz 18.Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.

Ibrahim, Majid Assayid. Wanita dan Laki-laki yang dilaknat. Jakarta: Gema Insan Press, 1995.

al-Jauziah, Ibn Qayyim. Kiat Membersihkan Hati Dari Kotoran Dan Maksiat.

Jakarta: Pustaka Islam Klasik, t.t.


(5)

Manzȗr, Ibnu. Lisân al-Arab. Juz 1.Beirut: Dâr Sâdir, t.t.

al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 1. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî, jilid 2. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 3. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 4. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 5. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 6. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 7. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 8. Kairo: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 9. Mesir: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

---. Tafsîr al-Marâghî. jilid 1. Kairo: Mustafa al-Bab halabi wa Auladuhu, 1963.

---. Tafsir al-Maraghi. Penerjemah Bachruddin AB. Lc., dan Drs. Hery Nur Ali. Semarang: CV. Toha Putra, t.t.

Munawwir, A. W. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Nuwayhid, Adil. Mu’jam al-Mufassîrîn Sadr al-Islam hatta al-Asr al-Hadir.

Beirut: Muassasah al-Nuwayhid al-Saqafiyah, 1409H/1988M.

Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 22 Mei 2009 dari http:/pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

al-Razi, Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qadir. Al-Tard wa al-Ib’ad mina l-khair.


(6)

Ridwan, Kafrawi. ed. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1994.

Shaleh, Qamaruddin. Asbabun Nuzul. Bandung: CV. DIPONEGORO, 1995. Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 1992.

---. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan, 2004.

---. Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an. vol. 2. Jakarta: Lentera Hati.

al-Suyûti, Jalâl al-din ‘Abdurrahman ibn Abu Bakar, Jami’ Saghîr. Jilid. I.Kudus: Menara Kudus, t.t.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir ath-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan. Jakarta: pustaka Azzam, 2007.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1080.

Zaini, Hasan. Tafsir Tematik ayat-ayat kalam Tafsir al-Maraghi. Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1997.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/07/10/124132-waspadai laknat-tersamar-di-balik-nikmat