Ruh dalam al-qur'an analisis penafsiran prof. DR. M. Quraish Shihab atas surat al-isra' ayat 85

(1)

RÛH

DALAM AL-QUR’AN

ANALISIS PENAFSIRAN PROF. DR. M. QURAISH SHIHAB

ATAS SURAT AL-ISRA’ AYAT 85

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)

Oleh Atti Nurliati NIM: 207034000059

Oleh Atti Nurliati

PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSFAT

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011


(2)

(3)

(4)

ABSTRAK

Rûh dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an makna tentang rûh sangat beragam tergantung

pada konteks apa kata al- rûh itu digunakan. Makna rûh bisa dikatakan

al-Qur’an, malaikat Jibril, potensi membuat makhluk menjadi hidup, dll. Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan yang

diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib merupakan salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di atas keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan ketentraman. Para ulama tafsir dan filosof dari dahulu hingga sekarang

masih membicarakan mengenai apa makna dan hakikat rûh? Para filosof

dan Pemikir Islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban, namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban akhir terhadap pertanyaan tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan

misteri. Dari sinilah penelitian ini dilakukan untuk membahas serta mengungkap pengetahuan tentang rûh, oleh sebab itu dirasa sangat perlu

adanya pemahaman tentang rûh dalam al-Qur’an. Untuk itu dipilihlah

pokok permasalahan tentang rûh dalam al-Qur’an menurut analisis Prof.


(5)

(6)

M.A., Ketua Jurusan Tafsir Hadits, Dr. Bustamin, M.Si., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits, Ibu Dr. Lili Umi Kultsum, M.A.

2. Bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, M.A., sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaganya serta sabar memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Sehingga membuka cakrawala dan nuansa baru bagi penulis.

3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadits yang telah memberikan wawasan intelektual selama penulis “menimba” ilmu di jurusan tersebut.

4. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Fakultas Ushuluddin, beserta jajarannya pengelolanya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian pustaka dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta, H. Ir.Taufiq Rahman dah HJ. Shaleha, dan kakak-adikku tercinta yang telah banyak membantu penulis dari segi materil,motivasi, dan doanya. Mencurahkan segala kasih sayangnya terhadap penulis dalam rangka menyelesaikan studi penulis.

6. Suamiku tercinta H. Abdul Basith, Lc, yang telah memberikan semangat, doanya dan motivasinya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.


(7)

7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan Tafsir Hadits angkatan 2007.

Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin…

Jakarta, 1 Februari 2011 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...v

PEDOMAN TRANSLITERASI ...vii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1 B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Kajian Pustaka ... 8

E.Metodologi Penelitian ... 10

F.Sistematika Penulisan ... 11

BAB II M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIRAL-MISHBÂH A.Biografi, M. Quraish Shihab ... 12

1. Riwayat Hidup dan Karir M. Quraish Shihab ... 12

2. Karya-karya M. Quraish Shihab dan Pokok- pokok Pemikiran ... 16

B.Karakteristik TafsiralMishbâh M. Quraish Shihab ... 27

1.Pemilihan Nama al-Mishbâh ... 27

2.Sumber Penafsiran al-Mishbâh ... 29

3.Metode Penafsiran al-Mishbâh ... 32

4. Corak Penafsiran al-Mishbâh ... 37

5.Sistematika Penulisan al-Mishbâh ... 40

BAB III INTERPRETASI RÛH A.Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah... 44

B.Pengertian Jiwa secara Bahasa dan Istilah ... 49


(9)

BAB IV ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH DALAM SURAT AL- ISRA’ AYAT 85

A. Klasifikasi Ayat- Ayat tentang Rûh ... 62

1. Kata rûh yang Menunjuk Arti Potensi Hidup ... 62

2. Kata rûh yang Menunjuk Arti Jibril ... 64

3. Kata rûh yang Menunjuk Arti Wahyu atau Al-Qur’an ... 6

5 ... B. Lafazh Rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab ... 66

C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis M. Quraish Shihab ... 69

1.Rûh Sebagai Potensi Hidup ... 73

2. Rûh Dalam Arti Jibril ... 80

3. Rûh Dalam Arti Al-Qur’an ... 82

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 90

B.Saran-Saran... 92


(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI1 A. Konsonan


(11)

(12)

C. Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎَــ Â a dengan topi di atas

ﻲــ Î i dengan topi di atas

ﻮـــ Û u dengan topi di atas

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

E. Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan

berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

F. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf

/t/ (lihat contoh 3). Contoh:


(13)

No Kata Arab Alih aksara 1


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan firman Allah swt, yang tujuannya adalah untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan konsep-konsep, baik bersifat global maupun yang terinci yang eksplisit maupun yang implisit dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.

Al-Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitâb yang

mempunyai tujuan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya

dan bagi orang-orang yang bertaqwa pada khususnya; Al-Furqân

( pembeda antara yang baik dan buruk, antara yang nyata dan khayal, antara yang mutlak dengan yang nisbi); Rahmat (rahmat); Syifâ (obat

penawar); khususnya untuk hati yang resah dan gelisah; Mauidzat

(nasehat, wejangan, petuah); penjelasan bagi sesuatu, peringatan bagi seluruh alam dan sebagainya. Jadi secara eksplisit Al-Qur’an adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.2

Meskipun demikian dalam memahami al-Qur’an, umat Islam sering menemukan kesulitan. Hal ini terjadi karena ada ayat-ayat tertentu yang

2M. Quraish Shihab

, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.


(15)

sukar dimengerti maksud dan kandungannya atau samar artinya. Maka disinilah fungsi tafsir sebagai kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an sangat diperlukan. Dan karena fungsinya yang esensial, maka tafsir sudah sepantasnya ditempatkan sebagai ilmu yang paling tinggi derajadnya.3

Tafsĭr yang berarti upaya memahami, menjelaskan, dan

mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, secara praktis telah dimulai pada masa Nabi. Beliau merupakan mufassir pertama

(al-Mufassir al-Awwâl) yang berfungsi sebagai mubayyin yang

menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya. Adapun ayat yang ditafsirkan Nabi Muhammad Saw. Itu menyangkut ayat-ayat yang tidak bisa mereka fahami atau samar artinya. Dan proses semacam ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw. Meskipun harus diakui, bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentang hasil

interpretasi Rasulullah Saw. Terhadap al-Qur’an atau karena Rasulullah saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.4

Penjelasan-penjelasan Rasulullah Saw. Terhadap Al-Qur’an, selanjutnya menjadi pegangan utama bagi mufassir ketika mereka

menggali isi kandungan Al-Qur’an. Perkembangan selanjutnya, penjelasan

3Manna’ Khalil Al-Qaththan,

Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Litera,

2004), cet.-8, h. 327.

4M. Quraish Shihab

, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.


(16)

Nabi Saw tersebut melahirkan tafsir bi al-riwâyah (bi al-ma’tsǔr) yaitu

penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan riwayat-riwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. selain Tafsir bi al

-Riwâyah, ada yang disebut dengan tafsir bi al-Dirâyah (bi al-maqul) yang

sering kita kenal dengan sebutan bi al-Ra’yî yaitu penafsiran al-Qur’an

dengan menggunakan perangkat ijtihâd. Adanya penafsiran terhadap

Al-Qur’an sebagaimana tersebut diatas, karena Al-Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara mendetail tentang suatu ayat atau tema yang dibahas.

Dari sekian banyak tema yang dibahas oleh Al-Qur’an, ada beberapa ayat menjelaskan tentang rûh, firman Allah SWT surat Al-Isra’

: 85 :































“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu

Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (Q.S. Al-Isra’: 85).

Persoalan rûh sebenarnya dari dulu sampai sekarang , tetap menjadi

teka-teki yang belum terjawab secara memuaskan. Banyak sudah pendapat tentang itu, namun kesepakatan tidak pernah didapat. Oleh karena itu pembicaraan mengenai rûh ini masih tetap aktual.

Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan

yang diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib merupakan salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di


(17)

atas keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan ketentraman. 5

Atas dasar itu, tidaklah salah bagi kalangan ilmuwan berupaya mengetahui hakikat rûh secara umum namun tidak terinci. Boleh jadi di

masa depan akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan para ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat

rûh. Karena itu kita tidak sependapat dengan mereka yang berkata bahwa

kita harus berhenti pada penjelasan mengenai hakikat rûh.

Selanjutnya apakah penggalan terakhir ayat “Kalian tidaklah di beri pengetahuan kecuali sedikit”. Termasuk jawaban yang diperintah untuk di sampaikan atau komentar tentang keterbatasan pengetahuan manusia?6

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan

misteri. Dari sinilah muncul ide untuk membahas serta mengngungkap pengetahuan tentang ruh, dan atas dasar inilah Skripsi yang berjudul “Rûh

Dalam al-Qur’an Analisis Penafsiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab Dalam Surat al-Isra’ ayat 85”. Ini bisa menjadi jawaban atas mesteri rûh yang

ramai diperbincangkan masyarakat.

Skripsi ini tidak berpretensi untuk mengungkap misteri itu, tetapi hanya ingin mengatakan bahwa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan

5

Yahya Saleh Basalamah, Manusia dan Alam Ghaib ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. Ke-11, h. 138.

6Sudirman Tebba,


(18)

peradaban manusia kelihatannya rûh masih tetap merupakan misteri. Ini

sesuai dengan firman Tuhan bahwa tidaklah ilmu itu diberikan kepada manusia kecuali hanya sedikit. Oleh sebab itu, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif bagi kita semua dan dapat memberikan informasi yang akurat tentang mesteri rûh yang selama ini

menjadi mesteri dalam kehidupan masyarakat.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Pembahasan sekitar Rûh sangat luas dikaji di kalangan ulama tafsir,

filosof dan ahli tasawuf. Oleh sebab itu, Di dalam skripsi ini penulis akan membatasi permasalahan seputar rûh, melalui penafsiran Prof. Dr. Quraish

Shihab dalam tafsirAl-Mishbâh sebagaimana yang tercantum dalam surat

al-isra’ ayat 85.

Rumusan masalah yang dihadirkan didalam penelitian ini adalah : “Bagaimana Penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85 menurut Prof. Dr.

Quraish Shihab Dalam Tafsîral-Mishbâh ”?.


(19)

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauh mana pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh tentang konsep rûh

dalam al-Qur’an. Terutama konsep rûh dalam isyarat al-Isra’ ayat 85, Hal

ini dilakukan karena di dalam penafsiran Quraish Shihab yang tertuang dalam Tafsir Al-Misbâh terdapat banyak syarat ilmiah yang bisa

bermanfaat bagi para pambaca dan khususnya pada diri penulis sendiri, untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep rûh dalam al-Qur’an.

Penulis melakukan penelitian ini karena memiliki tujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta ingin menggali lebih dalam pengetahuan tentang rûh. Salah satu indikasinya adalah sebagaimana kita ketahui

bahwa ruh ini telah banyak dibicarakan dikalangan masyarakat kita, bahkan seakan-akan menjadi misteri yang menakutkan bagi kita semuannya.

Hasil yang diperoleh dari penelitian skripsi ini diharapkan memberikan manfaat praktis yang dapat membantu seluruh lapisan masyarakat terutama kalangan ilmuan, dari berbagai latar belakang, untuk memperluas wawasan serta pengetahuan mengenai penafsiran rûh secara mendalam,

sehingga kita dapat mengetahui hakikat rûh secara sebenarnya, dan tidak

menjadikannya sebagai misteri yang menyeramkan serta tidak menafsirkannya secara asal-asalan.


(20)

D. Kajian Pustaka

Setelah meneliti data-data yang berhubungan dengan topik yang dibahas, penulis menemukan buku-buku atau karya ilmiah yang membahas tentang rûh dalam sudut pandang al-Qur’an menurut ulama

tafsir, filosof dan khususnya Tafsir Al-Mishbâh. Sepanjang peneliti

melakukan penelitian menemukan berbagai sumber-sumber karya sebagai rujukan antara lain:

1. Karya Rûh , oleh Ibnu al-Qayyimal-Jauzî , kitab ini terkandung

berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan rûh orang-orang yang

sudah mati maupun yang masih hidup, disertai dalil-dalil dari

kitâb, Sunnah, dan atsâr, dan pendapat para ulama.

2. Manusia dan Alam Gaib karya Yahya Saleh Basalamah, buku ini

mengetengahkan masalah gaib yang wajib diimaninya.

Juga tentang hal yang dibutuhkan oleh keimanan dalam hubungan manusia dengan yang gaib, yang merupakan zat pencipta, Allah dan masalah kedudukan alam raya, dari dua sisi: alam gaib dan alam nyata.

3. Rûh Misteri Mahadahsyat. karya Sudirman Tebba, buku ini

menerangkan pengertian tentang rûh, nafs , jiwa, dan qalb. Disertai

persamaan dan perbedaannya yang dikuatkan dengan dalil-dalil dari sunnah dan pendapat ulama.


(21)

4. Rûh itu Misterius karya Imam Fakhruddin al-Răzĭ, kitab ini

merupakan karangan al-Râzi yang membahas mengenai berbagai pertanyaan tentang rûh disertai dalil-dalil dari kitâb, sunnah, dan

atsâr, dan pendapat para ulama pilihan.

5. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzĭ penelitian ini ditulis

oleh Abdu al- Rahmăn Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits tahun 2002. Perbedaan Karya Ilmiah penulis dengan Karya Ilmiah

Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzi adalah dari

perspektif penafsiran ulama. Karya Ilmiah penulis menganalisis pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab mengenai rûh terutama didalam

Q.S al-Isra’ ayat 85 dan disertai pendapat para ulama tafsir mengenai pembahasan tentang rûh. Sedangkan Karya Ilmiah rûh

dalam perspektif al-râzi tidak dengan ayat yang lebih spesifik hanya secara umum.

E. Metodolgi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, ada tiga aspek metodolgi penelitian yang digunakan:

a. Metode pengumpulan data. Untuk mendukung metode terdebut, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu


(22)

sumber primer penulis merujuk pada Tafsir Al-Mishbâh. Sedangkan data

sekunder penulis menggunakan buku-buku, artikel, makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.

b. Tekhnik pembahasan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu mengungkapkan penafsiran M. Quraish Shihab kemudian menganalisis secara kritis.

c. Adapun teknis penulisan yang digunakan dan dijadikan pedoman penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”2007.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab dibagi kedalam sub-sub dengan perincian sebagai berikut:

BabI: Pendahuluan, diantaranya mengenai latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II: Kajian yang berisi tentang deskripsi riwayat hidup Prof. Dr.

Quraish Shihab, serta karya-karya , dan pokok pemikiran Prof. Dr. Quraish Shihab , Sumber penulisan tafsir Al-Misbâh, Metode Penafsiran Al-Mishbâh,


(23)

Bab III: Interpretasi tentang Rûh yang terdiri dari Pengertian rûh secara

bahasa dan Istilah, pengertian jiwa secara bahasa dan istilah, Rûh dalam

perspektif Ulama Tafsir dan Filosofis.

BabIV: Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an, Lafazh Rûh

Dalam Kaidah Bahasa Arab, dan Analisapenafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85

dalam Tafsiral-Mishbâh.

BabV: Penutup, berisi kesimpulan dan Saran-saran.

BAB II

M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIRAL-MISHBÂH A. Biografi M. Quraish Shihab

1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-Qur’an. Terlahir sebagai putra Prof. Dr. Abdurrahman Shihab, seorang penggagas sekaligus pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya seorang guru dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang yaitu UMI, dan IAIN Alauddin


(24)

Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977.7

Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama setelah maghrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an. Quraish Shihab kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Disinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.

Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, Ia dikirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Dârul Hadîs al-Faqihiyah. Karena

ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa Arab. Melihat bakat bahasa Arab yang dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya. Quraish Shihab beserta adiknya Alwi Shihab dikirim ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari propinsi Sulawesi, Pada awal 1958 dalam usia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir. Dan diterima di kelas II Tsanâwiyah al-Azhar.

Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas

7M. Quraish Shihab,

Membumikan Al-Qur’an ( Bandung: Mizan, 1994), h. 6. 14


(25)

Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 Ia meraih gelar

LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. Pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jâz at-Tasyrĭ’ al

-Qur’ăn al-Karîm (kemukjizatan al-Qur’an dari segi Hukum).8

Pada tahun 1973 Ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Quraish Shihab menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Disamping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia, dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian Timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).9

Untuk mewujudkan cita-citanya Ia mendalami studi tafsir, pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doctor dalam bidang disertasinya yang berjudul Nazmal-Durârlial-Biqa’ITahqiq wa Dirâsah

8Drs. Mustafa P, M. Ag,

M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 65.

9


(26)

(Suatu kajian dan analisa terhadap keotentikan kitab Nazm al-Durâr karya

al-Biqa’I ). Berhasil dipertahankannya dengan predikat penghargaan

Mumtâz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ulâ.

Pada tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya untuk pindah tugas dari dari IAIN Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di Program S1, S2, S3

sampai tahun 1998. Disamping melaksanakan tugas-tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negeri Republik Mesir merangkap Negara Republik Djibouti berkedudukan di Cairo.

Kehadiran Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Disamping mengajar ia juga dipercaya untuk menduduki semua jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984-1990), anggota lajnah Pentashhih al-Qur’an,Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organiasi professional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan


(27)

Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan sebagi Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesia Journal for Islamic Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.10

Howard M Federspiel mengatakan beliau sebagai orang yang unik bagi Indonesia karena sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di negeri Barat. Kemudian ia mengatakan: “Ketika meneliti biografinya, saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.Dnya. ini menjadikan ia terdidik lebih baik di bandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Qur’an.11

2. Karya-Karya M. Quraish Shihab dan Pokok-Pokok Pemikiran Beliau a. Karya-Karya Beliau

M. Quraish Shihab merupakan sosok Intelektual yang produktif. Di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa yaitu sebagai dosen, pejabat tinggi, dan organisasi. Beliau masih sempat menulis karya-karya ilmiah yang di presentasi dalam berbagai seminar, rubric atau kolom yang dimuat

10Saiful Amin Ghofur,

Profil Para Mufassir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2007), h. 368.

11 Howard M. Federspiel,

Kajian Al-Qur’an Di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 295-297.


(28)

dalam beragam surat kabar, majalah, maupun buku-buku. Tulisannya bernuansa sejuk, sederhana, mudah di pahami, sehingga tidak mengherankan bila diantara buku karyanya menjadi best seller dan mengalami cetak ulang berkali-kali.

Adapun karya-karya yang telah di tulis oleh M. Quraish Shihab, khususnya yang di terbitkan berbentuk buku diantaranya yaitu:

1. Al-Asmaul Husnâ. Karya ini mencakup uraian-uraian tentang nama

Tuhan yang berjumlah 99. Sebagian dari isinya juga di bawakan untuk materi ceramah yang disampaikan di salah satu stasiun televisi pada bulan Ramadhan.

2. Dia dimana-mana “ Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena”.

Karya ini diterbitkan d Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2005.

3. Fatwa-fatwa (Bandung: Mizan) Buku ini adalah kumpulan

pertanyaan yang di jawab oleh M. Quraish Shihab yang terdiri dari 5 seri: Fatwa seputar Qur’an dan Hadits, Seputar Tafsir Al-Qur’an, Seputar Ibadah dan Mu’amalah, Seputar wawasan Agama, Seputar Ibadah Mahdhah.

4. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).

5. Haji bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung:

Mizan, 1999.

6. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlil. Karya ini diterbitkan di


(29)

7. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah : pandangan Ulama masa lalu

dan Cendekiawan Kontemporer. Diterbitkan oleh Lentera Hati

Jakarta tahun 2004.

8. Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah.

Ini diterbitkan oleh Penerbit Republika pada tahun 2004.

9. Logika Agama, Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal.

Diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2005.

10. Mu’Jizat al-Qur’an. Di tinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun2007.

11. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992). Buku ini Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.

12. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah). Karya ini

diterbitkan pada tahun 1988, oleh penerbit Untagma, Jakarta. Isinya merupakan dari kandungan surat Al-Fatihah.

13. Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda

ketahui. Lentera Hati, Ciputat Cetakan V April 2009.

14. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga yang dijanjikan

al-Qur’an. Karya ini diterbitkan Lentera Hati cetakan III pada


(30)

15. Perempuan dari cinta sampai seks, dari Nikah Mut’ah sampai

sunnah, dari Bias lama sampai Bias Baru. Karya ini diterbitkan di

Jakarta oleh Lentera Hati cetakan IV April pada tahun 2007.

16. Pengantin Al-Qur’an. Karya ini diterbitkan di Jakarta: Lentera

Hati, 1998.

17. Secercah Cahaya Ilahi : Hidup bersama Al-Qur’an (Republish,

2007).

18. Sahur bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung: Mizan, 1999.

19. Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan mungkinkah? Penerbit

Lentera Hati, Ciputat Tangerang, 2007.

20. Tafsir Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di

Ujung Pandang pada tahun 1984.

21. Tafsir Al-Qur’anul Karim, Tafsir atas surat-surat pendek

berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah,

1999.

22. Tafsir Al-Mishbâh, karya ini dapat di katakan sebagai puncak produk M. Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan oleh Lentera Hati, Jakarta 2002.


(31)

23. Tafsir Al-Amânah. Karya ini merupakan kumpulan Artikel dan

rubric yang di asuhnya pada Majalah Amanah, diterbitkan oleh Pustaka Kartini pada tahun 1992.

24. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’I atas berbagai

persoalan. Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1996. Dan

juga menjadi Best Seller.

25. Wawasan Al-Qur’an tentang zikir dan do’a. Lentera hati, ciputat

Tangerang cetakan I Agustus 2006.

26. Untaian Permata buat Anakku. Karya ini diterbitkan oleh Mizan, di Bandung pada tahun 1998.

27. Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, dan malaikat. Karya ini menguraikan tentang persoalan-persoalan yang ghaib yang ada di sekitar kita. Diterbitkan di Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2000.

b. Pokok-pokok Pemikiran Quraish Shihab

1. Pemikiran Ilmu Kalâm M. Quraish Shihab

Kalam M. Quraish Shihab ada sepuluh materi dimulai dengan menyoroti pandangannya tentang:

Kemahakuasaan Tuhan (termasuk didaamnya, perbuatan Tuhan), Sifat-Sifat Tuhan, Antropomorfisme, Melihat Tuhan, Kalam Tuhan, Konsep Iman, Takdir dan ikhtiar, Keadilan Tuhan, Sunnatullah, dan Fungsi akal


(32)

tersebut dibawa dan dibandingkan dengan pemikiran kalam tradisional (aliran Asy’ariyah)dan rasional (aliran Mu’tazilah).

Lima aspek pemikiran kalam M. Quraish Shihab yang nampak sejalan dengan pemikiran kalam tradisional adalah mengenai masalah sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, sunnat al-Allah, dan fungsi akal dan

wahyu. Mengenai sifat Tuhan beliau cenderung tidak sepakat dengan

pandangan yang menyatakan bahwa sifat dan zat Tuhan itu sebagai identik. Itu berarti beliau menegaskan bahwa sifat dan zat Tuhan itu merupakan dua entitas yang berbeda, suatu pandangan yang khas dalam pemikiran tradisional. sifat-sifat Tuhan dapat dibagi menjadi sifat salabî 12

(negative) dan sifat ijabî 13 (positif).

Mengenai sifat salabî, Asy’ariyah dan Mu’tazilah memiliki

persamaan dalam pandangan mereka, yaitu bahwa sifat-sifat itu tidak menambahkan sesuatu kepada zat Tuhan. Akan tetapi, dalam masalah sifat

Ijabî mereka berbeda pendapat secara tajam. Kaum Asy’âriyah

berpendapat bahwa sifat-sifat Ijabî berbeda dengan zat Tuhan dan di

antara sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain. Sebaliknya,

Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat dan zat Tuhan bukan dua entitas yang

terpisah, melainkan suatu ketunggalan. Mereka mengakui bahwa Tuhan Maha Mengetahui dalam arti mengetahui dengan perantaraan pengetahuan,

12Sifat Salabi meliputi sifat-sifat Esa, qadim, baqa, dan berbeda dengan makhluk. Di

katakan sifat-sifat salabi, karena Esa berarti tidak ada sekutu bagi-Nya, qadim berarti tidak ada permulaan, baqa berarti tidak ada pengakhiran, dan berbeda dengan makhluk berarti tidak ada yang menyamai-Nya.


(33)

dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian sifat Tuhan sekaligus zatnya.

Mengenai masalah Melihat Tuhan, beliau sepakat dengan

pandangan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat, tetapi dengan menggaris bawahi : “paling tidak, dalam kehidupan dunia ini”. Itu berarti dia tidak menutup kemungkinan bahwa Tuhan bias dilihat di akhirat nanti, dengan cara dan kondisi yang tidak sama dengan persepsi yang dibayangkan dalam kehidupan dunia ini. Mengenai kalâm Tuhan atau al-Qur’an M.

Quraish Shihab berpendapat bahwa al-Qur’an yang disisi Allah adalah

Qadîm, sedangkan al-Qur’an terdiri dari huruf-huruf, kata-kata, ayat dan

surat tertulis dan terbaca dalam bahasa Arab itu adalah hadîs (baru).

Pandangannya tentang masalah melihat Tuhan dan kalam Tuhan sejalan dengan pandangan kaum tradisional.

Dua aspek yang sejalan pula dengan kaum tradisional adalah

mengenai masalah sunnat al-Allah serta fungsi akal dan wahyu. Bagi

M.Quraish Shihab apa yang disebut sunnat al-Allah atau hukum alam yang

berwujud kausalitas itu tidak lebih dari sekedar “urutan kejadian yang tidak bersambung” dari dua peristiwa atau lebih. Dengan demikian melihat dan menjelaskan fenomena dunia ini dengan menggunakan sudut pandangan “atomistic” terhadap alam seperti yang dilakukan kaum

Asy’âriyah. Tidak ada sesuatu hukum sebab-akibat. Setiap wujud berdiri

sendiri, dan Tuhanlah yang memadukan aneka ragam wujud itu sesuai dengan kehendak mutlak-Nya. Mengenai fungsi akal dan wahyu, beliau


(34)

berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, yakni bahwa Tuhan itu ada. Akal tidak akan dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan mengetahui tentang kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Ketiga hal tersebut dapat diketahui melalui informasi wahyu. Pandangan ini tepat persis pandangan kalam Asy’âriyah.

Sedangkan lima aspek pemikiran kalamnya yang sejalan dengan pemikiran kalam rasional adalah mengenai kemahakuasaan Tuhan dan

perbuatan Tuhan, antropomorfisme, konsep Iman, takdir dan ikhtiar, serta keadilan Tuhan. Menurut M. Quraish Shihab kemahakuasaan Tuhan dibatasi oleh sunnat al-Allah dan hukum logika (artinya Tuhan tidak bisa

berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat kemahasempurnaan-Nya). Dalam kaitan ini dia menyatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan kebaikan; keburukan yang nampak dalam kehidupan ini hanyalah keterbatasan persepsi manusia yang tidak bisa menjangkaunya. Mengenai masalah antropomorfisme, dia menolak penafsiran yang memberikan

gambaran Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani. Kemudian mengenai konsep iman, dia berpendapat iman adalah pembenaran dalam hati

(tasdiq), pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota

badan, terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan mengenai masalah takdir dan ikhtiar, beliau cenderung berpendapat bahwa manusialah yang menentukan nasibnya, walaupun manusia tidak terlepas dari hukum takdir. Akhirnya, tentang keadilan


(35)

Tuhan, beliau berpendapat dengan keadilan-Nya pasti akan member ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik dan menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang berbuat buruk, walaupun terhadap yang terakhir Tuhan mungkin mengampuni dosanya.

M. Quraish Shihab dalam merumuskan pandangan kalamnya, hampir sepenuhnya menempuh pendekatan tradisional, dalam arti beliau mencapai kesimpulan-kesimpulan analisisnya lebih berdasarkan analisis semantic (kebahasaan) yang didukung pendekatan tafsir bi al-ma’tsûr.

Beliau menghindari penggunaan takwil seperti yang banyak ditempuh kaum Mu’tazilah. Bahkan beliau mengkritik kecenderungan para mufassir yang terlalu banyak menggunakan takwil tanpa didukung oleh makna kebahasaan.14

Dengan demikian, secara keseluruhan, dari segi metodenya pemikiran kalam M. Quraish Shihab cenderung bercorak tradisional, maka refleksi pemikiran kalamnya akan cenderung bercorak normativitas.15

2. Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Batas Aurat Pakaian Wanita

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak

14 Drs. Mustafa P., M. Ag,

M. Quraish ShihabMembumikan Kalam di Indonesia

( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), cet. Ke-1, h. 200-202.

15

Pemikiran Kalam yang bercorak Normativitas adalah pemikiran kalam yang dalam

usahanya untuk memfungsionalkan ajaran agama yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoritis (teks). Pemikiran kalam yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoretis pada dasarnya mengabdi kepada kepentingan doktrin, yakni bagaimana ajaran agama bias di pahami umat secara benar.


(36)

meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai ke-shahih-an riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhannî yakni dugaan.

Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur’an atau sunnah Rasul SAW., tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu.

Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilâfiyah, yang tidak harus

menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah “Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan.


(37)

Memang, harus diakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan keluarga ulama yang terpandang wanita-wanitanya baik anak maupun istri tidak mengenakan jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdatul

Ulama, atau Aisyiah. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang

trbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu apalagi tanpa teguran dari para ulama boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil.

M. Quraish Shihab perlu mengingatkan bahwa, kendati ditemukan aneka pendapat tentang batas-batas aurat wanita, namun terdapat juga beberapa ketentuan yang disepakati oleh para ulama dan cendekiawan muslim, baik masa lalu maupun masa kini dalam hubungannya dengan aurat dan pakaian wanita.16

B. TafsirAl-Mishbâh M. Quraish Shihab

1. Latar Belakang Pemilihan Nama al-Mishbâh

16M. Quraish Shihab,

Jilbab Pakaian Wanita Muslimah ( Jakarta : Lentera Hati, 2006),


(38)

Karya besar tafsir M. Quraish Shihab yang satu ini di beri nama

Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian. Yang biasa disingkat

dengan Tafsir al-Mishbâh saja, penamaan Tafsir al-Mishbâh pada kitab

tafsirnya tentunya melalui pertimbangan yang masak. Yang mengetahui alasan-alasannya hanyalah penulisnya saja. Walaupun secara eksplisit Quraish tidak menyebutkan alasan penamaannya, namun hal tersebut dapat dilacak dan dianalisis berdasarkan uraian-uraian yang diungkapkan pada sambutannya atau sekapur sirih.

Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Pada kata pengantar Tafsir al-Mishbâh tersebut terdapat alasan pemilihan nama,

al-Mishbah ini paling tidak mencakup 2 (dua) hal, Pertama, pemilihan nama itu berdasarkan pada fungsinya, al-mishbâh berarti lampu gunanya

menerangi kegelapan. Dengan pemilihan nama ini dapat diduga bahwa Quraish mempunyai suatu harapan ingin memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami al-Qur’an secara langsung karena bahasa.17

Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish Shihab dalam hal tulis-menulis di Jakarta. Pada tahun 1980-an, ia sebagai pengasuh rubric “Pelita Hati”, pada Harian Pelita. Rupanya uraian yang disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994,

17M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian al-Qur’an ( Jakarta :


(39)

kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal. Karena

Lentera paduan dari kata pelita atau lampu disebut dengan nama al

-Mishbâh; dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab

untuk menjadikan karyanya.18

Pada akhir dari sekapur sirih yang terdapat pada Tafsiral-Mishbâh

volume I, M. Quraish Shihab menerangkan awal penulisan tafsir

Al-Mishbâh bertempat di Kairo Mesir, pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420

H, bertepatan pada tanggal 18 Juni 1999 M. Kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada bulan Sya’ban bertepatan pada bulan November

2000 M. Oleh penerbit Lentera Hati, dicetak dengan hard cover terdiri dari 15 volume besar. 19

2. Sumber Penafsiran Al-Mishbâh

Yang dimaksud sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat, atau menurut M. Yunan Yusuf, yaitu cara seorang mufassir memberikan tafsirannya, apakah menafsirkan Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an, al-Qur’an dengan al-Hadits, al-Qur’an dengan riwayat sahabat, kisah Israiliyyăt, atau menafsirkan al-Qur’an dengan fikiran (ra’y).20

18Hamdani Anwar,

Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 176-177.

19 M. Qurash Shihab,

Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. xii.

20

M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia abad keduapuluh, Jurnal Ulmul Qur’an, Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. Atau dalam Ishtilah Nashruddin Baidan, sumber ini adalah bentuk penafsiran. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), Cet. Ke-1, h. 9.


(40)

Dalam literature Ulum Qur’an, sumber penafsiran ini dapat dibagi

pada dua macam, yaitu penafsiran bi al-ma’tsûr, adalah penafsiran Qur’an

dengan al-Qur’an, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi’in.21 Sedangkan

penafsiran bi al-Ra’yî adalah penafsiran yang dilakukan dengan

menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir bi al-Ra’yî ini disebut juga

dengan tafsir bi al-Ijtihâd yaitu penafsiran yang menggunakan penalaran

akal.22

Berbicara tentang sumber penafsiran Al-Mishbâh, penulis

cenderung terhadap tafsir Al-Mishbâh dapat dikelompokkan pada

penafsiran tafsir bi Ra’yî. Kesimpulan seperti ini diambil dari pernyataan

penulis Tafsir Al-Mishbâh pada sekapur sirih pada Tafsir Al-Mishbâh

volume I. redaksi yang tulisannya sebagai berikut:

Akhirnya penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan-pandangan pakar tafsir Ibrahim ibn Umar al-Biqa’I (w. 885 H-1480 M ) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Al-Azhar Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin Al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad

Thanthâwi, juga Syekh Mutawallî asy-Sya’râwĭ, dan tidak ketinggalan

21Muhammad Abd al-Zarqani,

Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Isa al-Babi

al-Halabi ), Jilid I, h. 21. Lihat juga Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi-Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an (

Jakarta : Pustaka Lintera Antarnusa, 2004), Cet. VIII, h. 482. Adapun yang terakhir, yaitu pendapat Tabi’in para ulama ada yang memasukkannya ke dalam golongan tafsir bi al-Ma’tsur, ada pula yang memasukkannya ke dalam tafsir bi al-Ra’yi. Lihat Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Dar al-Ilmu li al-Malayin, 1985), Cet. XVI, h. 291.

22M. Quraish Shihab, et. Al,

Sejarah Ulumul Qur’an ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999),

Cet. I, h. 177. Tafsi bi al-ra’yi disebut juga tafsir bi al-diniyah atau tafsir bi al-maqul yaitu :

penjelasan-penjelasan yang bersendi pada akal dan ijtihad, berpegang pada kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Lihat TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Penganyar Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227.


(41)

Sayyid Quthub, Muhammad Thâhir Ibnu Asyǔr, Sayyid Muhammad

HuseinThabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lainnya.23

Dari pernyataan beliau di atas, yang harus di garis bawahi yang pertama bahwa sumber yang digunakan tafsir Al-Mishbâh adalah ijtihâd

penulis. Salah satu alasannya adalah adanya kecenderungan M.Quraish

Shihab menggunakan penalarannya. Yang kedua adalah dalam rangka menguatkan ijtihadnya. Beliau menggunakan rujukan sumber-sumber yang berasal dari riwăyah ( menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis

Nabawi, pendapat sahabat, dan pendapat dan fatwa ulama).

Sebagai contoh, adalah penafsiran terhadap Q.S. An-Nahl ayat 2 :







































Artinya: “Dia menurunkan para malaikat dengan rûh atas

perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu : “Peringatkanlah bahwa tidak ada tuhan melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.”

Ayat ini secara tegas menggunakan kata rûh. Dan rûh ini yakni

wahyu yang di bawakan oleh para malaikat. Kata malaikat (ﺔﻜﺋﻼﻣ) adalah

bentuk jamak dari kata (ﻚﻠﻣ) malak. Dari segi redaksional, ini berarti

bahwa yang menyampaikan wahyu Ilahi bukan hanya satu malaikat

tertentu. Para ulama memahami kata tersebut dalam arti seorang malaikat yaitu malaikat Jibril as. Yang bertugas pokok menyampaikan wahyu.

23

M . Qurash Shihab, Tafsir Al-M ishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakart a: Lent era Hat i, 2000), h. xii.


(42)

Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang berbentuk jamak, adalah untuk mengisyaratkan betapa agung malaikat itu.

Bisa juga bentuk jamak itu tetap dalam pengertian jamaknya, dan ini berarti bahwa wahyu Ilahi dapat saja disampaikan oleh beberapa malaikat selain malaikat Jibril as. Namun demikian, perlu dicatat bahwa para malaikat selain Jibril as. Tidaklah bertugas menyampaikan wahyu al-Qur’an tetapi wahyu selain al-al-Qur’an, karena secara tegas QS. Asy-Syu’ara [26]: 193 menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Rûh al-Amĭn yakni malaikat Jibril as. Memang wahyu Allah bermacam-macam

dan ditujukan kepada banyak manusia, bahkan ada wahyu-Nya yang berarti ilham antara lain yang diwahyukan kepada ibu Nabi Musa as. (QS. Al-Qashash [28]: 7) dan juga kepada lebah seperti terbaca pada ayat 68 surah ini.

Dan kata (حوﺮﻟا) al-rûh oleh ayat di atas dipahami oleh ulama

adalah wahyu. Tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya

jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu manusia tidak dapat hidup sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia terkubur walau masih menarik dan menghembuskan nafas.24

3. Metode Penafsiran Al-Mishbâh

24 M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta:


(43)

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara

atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqăt dan manhaj. Dalam kamus bahasa

Indonesia, kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.25 Dalam kaitan ini, maka metode tafsir berarti system yang dikembangkan untuk memudahkan dan memperlancar proses penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan.

Setiap mufassir memiliki metode yang berbeda dalam menafsirkan

al-Qur’an. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga penulisan tafsir sampai tahun 1960, para ulama tafsir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara ayat-ayat demi ayat-ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Penafsiran ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an secara terpisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh.26

Al-Farmawi27 dan Hasan ‘Arid 28 membagi metode penafsiran ini kepada empat macam, yaitu metode tahlîlî, ijmalî, muqarân, dan

25Nashruddin Baidan,

Metodologi penafsiran al-Qur’an ( Yogyakarta : Glagah

UHIV/343), Cet. I,h. 1.

26

M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an ; Fungsi dan Peran Whyu dalam Kehidupan Masyarakat ( Bandung : Mizan, 1994), h. 73.

27Al-Farmawi adalah seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar. Beliau

pada tahun 1977 menerbitkan buku yang berjudul AL-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, dengan

mengemukakan pembagian metode tafsir menurut perkembangannya. Lihat Abd Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhu’iy ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II,h.

11-13.

28Ali Hasan ‘Aridl,

Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin ( Beirut : Dar


(44)

maudhu’ĭ. Metode penafsiran yang dimaksud dalam sub bab ini adalah

metode penafsiran yang biasa digunakan dalam wacana Ulumul Qur’an

dan umumnya dipakai oleh ulama tafsir seperti yang disebutkan di atas.

Metode Tahlîlî ( Tafsir dengan Metode Tahlili ). Tahlîlî berasal

dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlĭl yang berarti “mengurai,

menganalisis”. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna, aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushăf

Utsmânĭ. Dalam melakukan penafsiran, mufassir memberikan perhatian

sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang di tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Mufassir menerangkan hubungan (munâsabah) baik antara

satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. Menjelaskan asbâb al- nuzûl ( sebab-sebab turunnya ayat). Menganalisis

mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya, menjelaskan hukum yang yang dapat di tarik dari ayat yang di bahas.29

Metode ijmâlî (global) adalah metode yang menyajikan penafsiran

secara global, dan singkat tapi mencakup, dengan bahasa popular, mudah dimengerti, dan enak dibaca, sehingga terasa oleh pembacanya bagaikan tetap berada dalam gaya kalimat-kalimat al-Qur’an. Kemudian metode

maudû’î (tematik) adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an

29Prof. Dr. M. Quraish Shihab. dkk,

Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an ( Jakarta: Pustaka


(45)

sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata,

dan sebagainya. Kemudian metode muqaran (perbandingan) adalah metode yang berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadits Nabi Saw. Yang kelihatannya bertentangan, atau juga membandingkan pendapat beberapa ulama yang bertentangan menyangkut ayat-ayat tertentu.30

Kalau dilihat dari pemaparan metode yang digunakan oleh Quraish dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlĭlĭ. Karena dapat dilihat dari

cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushâf. Metode ini sengaja dipilih oleh penulisnya, karena ingin

mengungkapkan semua isi al-Qur’an secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung didalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh pembacanya.

Tapi walau demikian, sebenarnya Quraish Shihab juga tidak secara otomatis meninggalkan yang lain. Karena pada banyak tempat beliau pun memadukan metode tahlîlî ini dengan tiga metode lainnya, khususnya

metode maudû’î. Bentuk ini dapat dilihat dalam uraian seluruh ayat sesuai

dengan urutan mushaf tersebt, Quraish Shihab juga pertama-pertama menafsirkannya secara global, kemudian mengelompokkan ayat-ayat

30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Karim M. Quraish Shihab; Tafsir atau Surah-Surah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), h. V.


(46)

sesuai topiknya, lalu pada saat-saat tertentu beliau menyuguhkan pendapat-pendapat ulama berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas.

Sebagai contoh, penafsiran beliau terhadap surah al-Baqarah ayat

102 tentang sihir. Pertama-tama beliau menjelaskan sihir dan sejenisnya itu sendiri (ini menggunakan metode ijmâlî dan tahlîlî). Penjelasan ini

dilengkapi dengan menampilkan pendapat-pendapat ulama tentang sihir (menggunakan metode muqâran). Kemudian beliau menjelaskan sihir

yang dibicarakan al-Qur’an, dalam konteks uraian Fir’aun dan Nabi Musa

a.s., “Mereka menyihir/menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar

(menakjubkan)” (Q.S. Al-A’raf [7]: 116). Dalam ayat lain Allah

menyatakan menyangkut tali-temali dan tongkat-tongkat yang digunakan oleh penyihir Fir’aun (Q.S Thaha[20]: 66), dan sihir itu sendiri mempengaruhi jiwa manusia, dan memberikan dampak yang buruk. Adapun ayat ini (Q.S. Thaha[20]: 69), isyarat yang kuat bahwa al-Qur’an telah mengancam sihir melalui kisah Nabi Musa dan para penyihir Fir’aun. Dan menjadi haram mempelajari sihir, karena sesuatu keburukan yang lebih banyak dari pada kebaikannya adalah sesuatu yang tercela, bahkan haram. (ini menggunakan metode maudu’î ).

Tetapi walau bagaimana pun, kalau penulis ingin berpedoman pada empat macam metode penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas, maka penulis harus secara tegas memilih salah satunya, dan metode yang paling pas dari tafsirAl-Mishbâh ini adalah metode tahlîlî.


(47)

4. Corak (Laun) Penafsiran Al-Mishbâh

Dalam menafsirkan al-Qur’an para mufassir mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam karyanya. Terdapat beberapa corak penafsiran, antara lain: Tafsir Falsâfî, Tafsir Ilmî, Tafsir Lughâwî, Tafsir

Fiqih, Tafsir Adab Ijtimâ’ĭ dan sebagainya.

Quraish Shihab menyebutkan enam corak tafsir yang sudah dikenal hingga saat ini. Pertama, corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyak

orang non Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an. Kedua, corak filsafat

dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat di satu pihak dan kepercayaan lama yang dibawa oleh pemeluk Islam baru. Ketiga, corak

penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan serta usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

Keempat, corak fiqhî, akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya

mazhab-mazhab fiqih. Kelima, corak tasawuf akibat timbulnya

gerakan-gerakan sufi. Keenam, corak sastra budaya kemasyarakatan yang dirintis

oleh Muhammad Abduh. Yakni corak tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan


(48)

petunjuk al-Qur’an, dan menyampaikan dalam bahasa yang indah dan mudah dipahami.31

Kitab tafsir yang berjumlah lima belas jilid ini mempunyai corak penafsiran Adab Ijtimâ’î. M. Quraish Shihab menyatakan, yang dimaksud

dengan tafsir bercorak Adabi Ijtimâ’î ialah tafsir yang menitik beratkan

penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan , lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hokum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia32.

Penulis akan mengemukakan contoh tafsir yang bercorak al-adâbî

al-ijtimâ’î, contohnya yaitu tentang kapan bulan Ramadhan dimulai, dan

dalam uraiannya dikatakan bahwa puasa bulan Ramadhan sudah harus dimulai apabila sudah ada yang melihat hilal baik secara mata kepala atau dengan melalui perhitungan, maupun melalui informasi dari sekelompok

31M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 72. Sedangkan Al-Farmawi membagi

corak Tafsir ini kepada enam macam, yaitu : Tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir Sufi, tafsir Fiqhy, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmy, dan tafsir Adab Ijtima’iy. Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’y dikategorikan oleh beliau seperti halnya Adzahabi, pada corak tafsir, tidak seperti ulama yang lain mengkategorikannya pada sumber tafsir, seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Lihat al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, h. 12-27. Adapun M. Ibrahim Syarif membagi corak tafsir ini kepada tiga macam yaitu: corak Hida’iy, corak Adabiy, dan corak Ilmiy. Corak Hida’iy adalah kecenderungan mufassir menjadikan kandungan hidayah al-Qur’an sebagai topic penafsirannya. Corak Adabiy adalah kecenderungan untuk mengungkapkan kemukjizatan

al-Qur’an pada sisi bahasa dan sastranya. Sedangkan corak Ilmiy adalah kecenderungan seorang

mufassir mengaitkan penafsiran nash-nash al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Lihat M. Ibrahim Syarif, Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Qur’an fi al-Mishr ( Mesir : Dar al-Turats, 1998), cet. 1, h.

309-627.

32 Rif’at Syauqi Nawawi,

Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh kajian masalah akidah dan ibadat. (Jakarta : Paramadina, 2002), cet. 1,h. 110.


(49)

orang yang dapat dipercaya. Sebagaimana Quraish Shihab menulis sebagai berikut:

Dimanakah bulan itu dilihat oleh yang melihatnya? Di kawasan tempat ia berada. jawaban yang sangat membatasi jangkauan penglihatan. Kelompok Ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi Islam menetapkan bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di ilayah yang di sampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum lagi tengah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tengah, masyarakat muslim Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dengan beberapa wilayah di Amerika Serikat dengan Indonesia. Perbedaan waktu dapat begitu panjang antara kedua wilayah ini sehingga ketika matahari terbit di sini, bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga orang Indonesia yang melihat bulan maka masyarakat muslim di Amerika belum wajib berpuasa. Demikian sebaliknya. Tetapi jika masyarakat muslim di Mekkah melihatnya, baik masyarakat muslim di Indonesia mauun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa.33

Melihat contoh di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa dalam menafsirkan ayat, M. Quraish Shihab menggunakan corak Adâb Ijtimâ’I,

yakni berusaha memberikan suatu sumbangan pemikiran terhadap permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat.

5. Sistematika Penulisan al-Mishbâh

Untuk memudahkan pembaca dalam penulisan suatu karya, biasanya seorang penulis menggunakan suatu system yang dapat memudahkan penulis menyusun karya tersebut. Setiap penulis menganut

33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (


(50)

system yang berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing. Tidak berbeda dengan tafsir al-Mishbâh juga menggunakan sistematika

penulisan yang dapat dikatakan berbeda dengan karya tafsir sebelumnya. Jika dikelompokkan berdasarkan sistematika yang sering digunakan oleh penafsir al-Qur’an kita dapat membaginya menjadi dua bagian. Pertama, Sistematika penyajian penulisan tafsir berdasarkan urutan surah yang ada dalam mushâf standar. Kedua, sistematika penulisan yang

mengacu pada urutan turunnya wahyu-wahyu.34 Dalam hal ini Tafsir al

-Mishbâh termasuk dalam kelompok pertama. Berikut ini adalah

sistematika penulisan Tafsiral-Mishbâh :

a. Kitab tafsir ini dimulai dengan pengantar penulis yang diberi judul “sekapur sirih” yang berisikan penjelasan penulisan mengenai latar belakang penulisan tafsir ini.

b. Pada setiap awal penulisn surah diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surah yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surah, nama lain surah dan lain sebagainya. Terutama surah al-Fatihah, keterangannya tampak diuraikan secara panjang lebar. Hal ini dapat dimaklumi karena surah ini sebagai pembuka dan merupakan induk al-Qur’an. Dalam al-Fatihah terkandung intisari isi al-Qur’an secara keseluruhan.

34Islah Gusmian,

Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi (


(51)

c. Quraish Shihab sangat memberi penekanan pada munasabah (keserasian) antara ayat-ayat dan surah dalam al-Qur’an. Maka dalam memulai bahasan sebuah surah, Quraish Shihab tidak lupa menyertakan keserasian antar surah yang dibahas dengan surah sebelumnya. Pada munasabah ayat (keserasian ayat) ini, Quraish sangat terpengaruh oleh Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’ĭ (809-889H),

dalam bukunya Nazm al-Durâr fi Tanâsub al-Ayat wa Suwâr, seorang

tokoh ahli tafsir yang pernah dikajinya saat beliau menulis disertasi35.

d. Penulisan ayat dalam tafsir ini, sebagaimana yang diakui oleh Quraish dalam pengantarnya, dikelompokkan dalam tema-tema sesuai urutannya, pengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tanpa ada batasan yang tertentu jumlah ayat yang ditempatkan pada kelompok yang sama. 36 demikian dilakukan sebagai konsekwensi logis terhadap kecenderungan terhadap metode maudu’ĭ dan ketidakcocokannya

terhadap metode tahlîlî. Namun pengelompokkan dalam tafsir ini

hanya dititikberatkan pada pengelompokkan nomor ayat.

e. Dan diikuti terjemahannya37, ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan pemahamannya sendiri. Artinya beliau tidak berpedoman pada salah

35

Al-Biqa’I nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribat bin Ali bin Abi Bakar al-Syafi’I, dilahirkan di desa Kharbah, sebuah desa yang terletak di lembah Biqa’ dekat Damaskus (Syiria) pada awal abad ke-9 H. Tepatnya pada tahun 809 H/ 406 M. Lihat Umar Khalah, Mu’jam al-Muallifin (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi), Vol. I, h. 71.

36 Misalnya surah Al-Baqarah dibagi menjadi dua puluh tiga kelompok, dan

masing-masing kelompok jumlah ayatnya tidak seragam, seperti kelompok pertama (ayat 1-20), kelompok kedua (21-29), dan seterusnya.

37Danmukaddimah yang dituangkan pada setiap volume, Istilah “terjemahan al-Qur’an


(52)

satu terjemahan al-Qur’an (seperti terjemahan fersi Depag). Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan terjemahan al-Qur’an di dalam tafsirnya, berbeda dengan terjemahan yang tersebar luas di masyarakat.38

f. Kemudian langkah selanjutnya, Quraish menjelaskan kandungan ayat demi ayat secara berurutan. Kemudian beliau memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan terjemah-maknanya dengan italic letter (tulisan miring), dan sisipan

atau tafsirnya dengan tulisan normal (tegak). Kadang-kadang juga

beliau menghadirkan penggalan teks ayat, baik berupa kata(kalimat) atau frase (kelompok kata), kemudian menjelaskan makna kata terbut.39

g. Penulisan uraian kosa kata pada tafsir ini hanya yang dipandang perlu saja untuk menhindari bertele-telenya penjelasan kosa kata dan kaedah-kaedah yang disajikan.

tidak setuju dengan “alih bahasa” ke bahasa yang lain, yang disebut “terjemahan al-Qur’an” apalagi “al-Qur’an dan terjemahnya”. Menurut Quraish , hal itu lebih tepat disebut atau dipahami sebagai terjemahan makna-makna Qur’an. Lihat “sekapur sirih” Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol I, h. x.

38

Kadang-kadang Quraish melakukan kritik atas satu bentuk terjemahan dan sekaligus mengutarakan bentuk terjemahan (terjemahan makna-makna al-Qur’an dalam istilah Quraish). Contohnya ketika beliau menerjemahkan kalimat “aqimu al-salah” yang biasa diterjemahkan

dengan “dirikanlah shalat”, beliau katakan bahwa terjemahan ini keliru, karena kata aqim bukan

terambil dari kata qama yang berarti “berdiri”, tetapi dari kata qawama yang berarti

“melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan berdasarkan hak-haknya”. Lihat M. Quraish Shihab, al-Mishbah…., Vol. I, h. 90.

39Kelihatan hal ini dilakukan ketika kata tersebut dapat menunjukkan beberapa arti. Lihat


(53)

h. Penulisan ayat al-Qur’an selain yang dibahas dan penukilan sunnah Nabi saw, hanya ditulis terjemahannya saja.

Demikianlah sistematika penulisan Quraish Shihab dalam karyanya ini. Jika di lihat susunannya yang demikian, dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan cara baru yang diperkenalkannya. Sebab dalam karya tafsir sebelumnya, seperti Tafsir an-Nur karya Hasbi ash-Shiddiqie, Tafsir

al-Azhar karya Hamka, Al-Qur’an dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh UII,

cenderung untuk menulis setiap ayat atau hadis yang dijadikan rujukan atau tambahan penjelasan pasti dengan tulisan Arab, karena hal ini juga dapat disebut sebagai suatu ciri khas Tafsir al-Mishbâh.


(54)

BAB III

INTERPRETASI TENTANG RÛH A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah

Dalam Al-Qur’an ada istilah rûh, rûh al-Kudûs dan rûh al-amîn, rûh dalam arti jiwa. Ada yang bertanya kepada Nabi Saw tentang rûh.

Beliau disuruh menjawabkan rûh itu urusan Tuhan dan kamu hanya diberi

pengetahuan sedikit tentang rûh.

Dalam kamus Al-Munawwir kata-kata rûh dan bentuk jamaknya

arwăh mempunyai arti: Rûh, Jiwa, ataupun Sukma. Sedangkan kata rǔh

dalam tunggal (mufrad/singular) memiliki beberapa arti, sesuai dengan penggunaannya. Rûh adakalanya bermakna wahyu (Al-Qur’an), malaikat

( كﻼﻤﻟا ) secara umum bermakna Malaikat Jibril (سوﺪﻘﻟا حور ), rûh juga

dapat bermakna intisari atau hakekat. Di sini rûh yang dimaksud adalah rûh yang bersifat ruhani spiritual yang oleh Warsun Munawwir sebagai ( ﺔﺻﻼﺨﻟا ) yang bersifat immateri memiliki keagungan ( ﻰﻨﯾﺪﻟا حوﺮﻟا ) ataupun dari nilai agamis.40

Secara bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai sesuatu yang tidak berbadan jasmani, yang berakal dan berperasaan ( seperti: Malaikat, dari sini dapat dikatakan bahwa rûh adalah

sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani yang bersifat immateri,

40

A.W. M unaw w ir, Kamus Al-M unaw w ir Arab-Indonesia ( Surabaya: Pust aka Progresif , 1997), h. 545.


(55)

yang memiliki akal dan perasaan, serta memiliki nilai-nilai agamis, yang mampu membawa pemiliknya kearah kehidupan kerohanian.41

Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan

hati yang menikmati titik pandangan cahaya Allah, yang pada bagian itu memperlihatkan wujudNya tanpa tabir penghalang. Hati merupakan kulit kerang dan rûh adalah mutiara. Bila jiwa mencapai perkembangan rûh, dia

akan memperoleh kehidupan dari sifat yang maha hidup dan menjadi esensi dari semua hal melalui sifat Yang Maha Kekal.42

Menurut Quraish Shihab, kata rûh merupakan salah satu kata

turunan dari akar kata ra, waw, dan ha. Dari akar kata tersebut terbentuk

kata kerja masa lampau, râha (حار ). Kata kerja tersebut mempunyai

bentuk kata kerja masa kini (fiil mudhâri) dan mashdâr. Perbedaan bentuk

mudhâri dan mashdâr itu berakibat pada perbedaan makna.

Perbedaan bentuk itu, pertama, râha-yarûhu-rawâhan ( –حوﺮﯾ-حار ﺎﺣاور ) yang berarti pergi pada waktu petang, di gunakan di dalam QS. Saba’ (34): 12. Kedua, râha-yarûhu-rauhan ( ﺎﺣور-حوﺮﯾحار) dan râha

-yarâhu-rîhan (ﺎﺤﯾر -حاﺮﯾ-حار) yang jika diikuti al-yaum (مﻮﯿﻟا= hari) berarti

bahwa’pada hari itu banyak berhembus angin’. Ketiga, râha- yarâhu-

râhatan ( ﺔﺣار -حاﺮﯾ-حار) yang berarti ‘berbau harum’, dan dari bentuk ini

41

Kamus Besar Bahasa Indonesia Depart em en P& K ( Jakart a: Balai Pust aka, 1999), h. 845.

42


(56)

diperoleh kata raihân ( ن ﺎﺤﯾر ) yang berarti ‘tumbuh-tumbuhan yang

berbau harum’, seperti tersebut di dalam Q.S. Ar-Rahman [55]: 12. 43 Kata rûh berasal dari r-w-h, timbul pula kata jadian rûh. Pada

pokoknya ada dua makna yang diberikan pada kata ini oleh Hanna E. Kassis. Pertama adalah rûh kudûs (Holy Spirit) dengan menggandengkan

kata al-ruh dengan al-quds, dan kedua, “jiwa” atau “nyawa” yang dalam

bahasa Inggrisnya adalah spirit.

Dalam concordance of the Qur’an, Hanna E. Kassis memberikan pengertian arti kata sebagai berikut:

1. Râha departure ( keberangkatan ) going ( sedang pergi ) leaving

(meninggalkan), evening course (perjalanan senja), repose (istilah tidur,

ketenangan), comfort (kenyamanan, kesenangan), refresh (penyegaran).

2. Rĭh: wind (angin), power (kekuatan, daya), scent (bau, aroma).

3. Rahyâ-n: ease (kesenangan, ketentraman, kesantain); fragrant herb

(ramuan yang wangi, sedap, harum, semerbak).

4. Rǔh: spirit (semangat, daya, hidup); HolySpirit (Roh Kudus).44

Makna kata-kata di atas dapat diketahui lebih jelas jika melihat kepada ayat-ayat yang memuat setiap kata di atas. Seperti dalam al-Qur’an surat Saba’ 34: 12 memuat dua di antara kata-kata jadian di atas yang berbunyi:

43M. Quraish Shihab, dkk.,

Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata ( Jakarta : Lentera

Hati, 2007), Cet. 1, h. 839.

44Dawam Rahardjo,

Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229.


(1)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian penulis tentang Rûh dalam Al-Qur’ăn. Analisis Penafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab atas surah al-Isra’ ayat 85, penulis menarik kesimpulan bahwa rûh dalam Al-Qur’ân bermakna sebagai berikut :

1. Setelah di pelajari dan di renungi, ternyata kata Al- Rûh mempunyai makna yang banyak (tidak hanya satu arti). Dengan demikian, maka diharapkan nantinya kita tidak salah dalam memahami kata Al-Rûh. Bahwa rûh mempunyai arti wahyu atau Al-Qur’ân, malaikat Jibril ataupun nyawa. Rûh bermakna Al-Qur’ăn di dasarkan pada dalil ayat al-Qur’ăn surat al-Isra’: 85, Asy-Syură: 52. Sedangkan al-rûh yang bermakna Jibril, penjelasannya terdapat pada surat al-nahl: 102, As-Syuâra: 193. Penafsiran tersebut didukung oleh ayat-ayat lain seperti surat As-Syurâ: 51 yang memaparkan tentang proses turunnya al-Qur’ăn. Adapun al-rûh bermakna nyawa penafsiran tersebut bersumber pada surat al-Hijr :28-29, tentang proses penciptaan manusia. Menurut M. Quraish ayat tersebut sama sekali tidak membicarakan tentang al-Qur’ân ataupun malaikat Jibril melainkan rûh sebagai potensi hidup ataupun nyawa.


(2)

2. M. Quraish Shihab dalam penafsirannya tidak ada satu pun memberikan sebuah pendapat atau pemikirannya secara eksplisit tentang makna rûh, beliau hanya memberikan pendapat bahwa syakilah (jalan atau kebiasaan atau kecenderungan) yang disebut dalam ayat sebelumnya (ayat 84 surat al-Isra’) yang melahirkan motivasi dan aktivitas manusia yang saling berbeda dan yang sifatnya abstrak bagaikan rûh. Dalam tafsir-Nya, Beliau hanya memaparkan pendapat atau pemikiran sebagian para ulama tafsir tentang rûh yang ada di dalam al-Qur’an. Sehingga penulis belum mampu menemukan jawaban yang lebih signifikan mengenai makna rûh yang sebenarnya. maka dalam analisa M. Quraish Shihab bahwa akal manusia sangat terbatas untuk mengetahui makna hakikat rûh. Dan menurut-Nya Kalaupun rûh diartikan sebagai sumber hidup atau wahyu, yang diketahuinya barulah sebagian dari gejala-gejala dan dampaknya. Dan kalau tentang al-Qur’an baru sekelumit dari penafsirannya, sedangkan kalau tentang alam raya, itu pun baru setetes dari samuderanya.

B. Saran- Saran

Setelah mencermati beberapa uraian di atas, akhirnya penulis menyarankan sejumlah hal kepada pihak terkait. Diantaranya adalah :

1. Yang perlu dipercayai bahwa rûh itu ada. Allah hanya memberikan gejala-gejalanya. Maka yang perlu diteliti dan dipelajari dengan


(3)

sungguh-sungguh ialah gejala-gejala rûh itu, yang dilakukan dalam psikologi

2. Memberikan saran kepada mahasiswa lainnya yang ingin mengembangkan tafsir Al-Qur’ân bahwa pemahaman tafsir Al-Qur’ân dengan pendekatan munâsabah bayyin al-âyah dapat menjelaskan tema-tema pokok Al-Qur’ân, juga dapat membuktikan keserasian kata demi kata dalam satu surat atau lintas surat dalam Al-Qur’ân, dan yang lebih penting dapat membantu meluruskan kekeliruan pemahaman serta menciptakan kesan yang benar tentang Al-Qur’ân.

3. Kepada para peminat kajian tafsir, hendaknya terus menggali persoalan ini dengan konsep yang lebih luas lagi, karena masih banyak belum penulis ungkap disini terkait masalah rûh.

4. Semoga pembahasan tentang rûh dalam Al-Qur’an dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan kaum Muslim umumnya. Terakhir, penulis berharap agar penelitian ini mampu menjadi

setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri, dan umumnya kepada kaum muslimin.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

al-Alusi, Syihabuddin. Rǔh al-Ma’ăni fi Tafsir al-Qur’ăn al-Azhĭm wa as-Sabi al-Matsăni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.

Abdul Qadir al-Kaf, Muhammad. Roh itu Misterius Terj. Yasalunaka ‘an ar-Ruh. Jakarta : CV. Cendikia Sentra Muslim, 2001.

Basalamah, Yahya Saleh. Manusia dan Alam Ghaib. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya ( Edisi Yang Disempurnakan ). Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.

Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus sampai Quraish Shihab. Bandung: Mizan, 1996.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1991. Ibnu Manzur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al- Shadar, 1994.


(5)

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Rǔh li Ibnil Qayyim. Beirut: Dar al-Qalam, 1403. Muhammad, Abd Basith. Semesta Ruh, Jakarta : Serambi 2006.

Mustafa. M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1992.

Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002.

Al-Qurtubi. Al-Jami’ Ahkăm Qur’an. Kairo: Dar Kutub Arabiah li al-Tibăh wa al-Nasyr, 1967.

Al-Qaththan, Manna’ al-Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafătih al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

As-Shabuni, Muhammad Ali. CAHAYA AL-QUR’AN: Tafsir Tematik Surat Huud- al-Isra’.Beirut: Dar al-Qalam, 1406.

Saleh, Qomarudin. Asbab al- Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1997.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Shihab, M.Quraish. dkk. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atau Surah-Surah Pendek berdasarkan Turunnya Wahyu. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.


(6)

Shihab, M. Quraish. dkk. Sejarah Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

Shihab, M Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’a. Jakarta : Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Qur’an – As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini. Ciputat: Lentera Hati, 2000.

As-Suyuthi, Jalaluddin. Asbăb al-Nuzǔl. Jakarta: Gema Insani, 2008. Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Mahadasyat. Ciputat : Pustaka Irvan, 2008.