14 Berdasarkan hasil Survey Penduduk BPS, 2000 diketahu i jumlah
penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, 50,1 persen diantaranya laki-laki dan 49,9
persen perempuan. Menurut Laporan Jurnal Perempuan 2004, Indeks pembangunan manusia
skala internasional dan nasional dilihat dari tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 tiga aspek tersebut di
atas sebagai berikut:
1 Pendidikan
Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat
yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan.
Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari peresentase perempuan buta huruf 14,54 persen tahun 2001 lebih besar
dibandingkan laki-laki 6,87 persen, dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf
yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf
perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional 2002 sebesar 9,29 persen dengan komposisi laki-laki 5,85 persen dan perempuan 12,69 persen
Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999 -2002. Menurut Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28 persen
sedangkan laki-laki 5,84 persen.
2. Kesehatan
Menurut Gender Statistics and indicators 2000 BPS, kemajuan di bidang
kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001. Menurunnya angka kematian anak serta meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8 tahun 1998 menjadi 67,9 tahun
2000. Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan
15 hidup
life expectancy rate perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi,
1998. Di bidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka
kematian bayi, Infant Mortality Rate IMR, namun angka kematian bayi laki-laki
lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31 Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999 -2001.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak,
Child Mortality Rate CMR periode ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan kematian anak perempuan, laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999 -2001. Di bidang kesehatan
dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu AKI 390100.000 SDKI 1994,
337100.000 SDKI 1997, dan menurun 307100.000 SDKI 2002.
3. Ekonomi
Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah,
demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK yang masih jauh lebih rendah
dibandingkan laki-laki, yaitu 45 persen 2002 sedangkan laki-laki 75,34 persen, Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002. Ditahun 2003 TPAK
laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12 persen berbanding 44,81 persen BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003.
Upaya Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan
Upaya peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak dilakukan secara lintasbidang dan
lintasprogram. Pencapaian pembangunan pemberdayaan perempuan hingga tahun 2004 dari berbagai bidang pembangunan adalah sebagai berikut. Di bidang
pendidikan, keberhasilan ditandai oleh menurunnya persentase penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidakbelum pernah sekolah dan penduduk
16 perempuan yang buta huruf masing-masing 11,56 persen dan 12,28 persen pada
tahun 2003. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu melahirkan berhasil diturunkan meskipun masih yang tertinggi di ASEAN, yaitu 307 per 100.000
kelahiran hidup SDKI 2002–2003. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil, juga dapat diturunkan meskipun angkanya masih tinggi 45 persen pada tahun
2003. Selanjutnya, partisipasi perempuan yag diukur melalui tingkat partisipasi angkatan kerja TPAK juga menunjukkan peningkatan sekitar 45 persen pada
tahun 2003. Guna meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan ekonomi, juga telah dilakukan beberapa kegiatan afirmasi, seperti pengintegrasian
kepentingan perempuan ke dalam beberapa program pembangunan, seperti: Program Pemberdayaan Keluarga PPK, Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga PEKKA, Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir PPMP, dan Program Kelompok Usaha Bersama KUB. Di samping itu, juga telah dibentuk
unit kerja yang khusus menangani kredit kepada usaha mikro, kec il, dan menengah UMKM perempuan, pemetaan potensi usaha perempuan pengusaha,
dan pemberian pendampingan dan fasilitasi manajemen keuangan dengan pihak perbankan. Dalam pembangunan politik, hasil yang dicapai adalah telah
disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, yang mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan di lembaga legislatif DPR dan DPD.
Meskipun hasil yang dicapai belum sesuai dengan amanat UU tersebut, namun keterlibatan perempuan dalam pembangunan politik menunjukkan peningkatan,
terutama di daerah perdesaan. Di bidang hukum, hingga tahun 2004 telah dihasilkan lima usulan naskah akademis dalam upaya penyempurnaan produk-
produk hukum yang bias gender dan atau diskriminatif terhadap perempuan, serta belum peduli anak. Telah pula disusun tiga usulan naskah RUU dan RPP yang
berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan anak. Keberhasilan dari berbagai bidang pembangunan, khususnya pendidikan,
kesehatan, ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan selanjutnya turut menurunkan kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-
laki yang ditandai oleh meningkatnya angka Indeks Pembangunan Gender IPG atau
Gender -related Development Index GDI dan Indeks Pemberdayaan Gender Gender Empowerment Measurement, GEM. Berdasarkan Human Development
17 Report 2004, angka GDI sebesar 59,2 dan angka GEM sebesar 54,6. Angka-angka
tersebut masih terendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Meskipun banyak hasil pembangunan yang telah dicapai hingga tahun
2005, beberapa permasalahan masih akan dihadapi pada tahun 2006. Permasalahan tersebut, antara lain adalah masih rendahnya nilai indeks
pembangunan gender Gender-Related Development Index, GDI, yang berarti
ketidaksetaraan gender di berbagai bidang pembangunan masih merupakan masalah yang dih adapi di masa mendatang; masih banyaknya hukum dan
peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan tidak peduli anak; masih rendahnya tingkat kesejahteraan dan
perlindungan anak, serta kebutuhan tumbuh kembang anak belu m menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; dan
masih rendahnya peran masyarakat dalam mendukung upaya pemberdayaan perempuan dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak, termasuk
kapasitas kelembagaan di tingkat nas ional dan daerah. Masalah lain yang belum teratasi adalah masalah perdagangan perempuan dan anak, serta kekerasan dan
eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Sementara itu, tantangan yang dihadapi sejalan dengan era desentralisasi,
yaitu timbulnya masalah kelembagaan dan jaringan di daerah propinsi dan kabupatenkota, terutama yang menangani masalah-masalah pemberdayaan
perempuan dan anak. Program -program pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak merupakan program lintasbidang dan lintasprogram, sehin gga
diperlukan koordinasi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi. Di samping itu, terbatasnya data pembangunan yang terpilah menurut jenis
kelamin, mengakibatkan kesulitan dalam menemukenali masalah-masalah gender yang ada.
Sasaran dan Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2006
Sasaran pembangunan yang hendak dicapai pada tahun 2006 dalam rangka peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan
perlindungan anak adalah: 1 terumuskannya kebijakan aksi afirmasi peningkatan kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan,
politik, dan ekonomi di tingkat nasional, propinsi dan kabupatenkota; 2 terlaksananya berbagai upaya perlindungan perempuan; 3 tersusunnya
18 kebijakan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak; 4 tersusunnya materi dan
terlaksananya komunikasi informasi dan edukasi KIE tentang peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan KPP serta kualitas hidup dan
perlindungan anak KPA di tingkat nasional, propinsi, dan kabupatenkota; 5 menguatnya kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender PUG dan anak
PUA di tingkat nasional, propinsi, dan kabupatenkota; 6 tersedianya data dan statistik gender dan anak; 7 tersusunnya kebijakan dan program pembangunan
daerah yang responsif gender dan yang peduli anak di tingkat propinsi dan kabupatenkota; dan 8 terintegrasinya masalah dan upaya peningkatan kualitas
anak dan perempuan ke dalam kebijakan nasional, propinsi dan kabupatenkota. Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi
pada tahun 2006, serta mengupayakan pencapain sasaran pembangunan tersebut di atas, maka arah kebijakan yang akan dilakukan pada tahun 2006 adalah: 1
meningkatkan kualitas hidup perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, serta peran perempuan di bidang politik; 2
meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak di tingkat propinsi dan kabupatenkota; 3 menyempurnakan perangkat hukum yang
melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga; 4 meningkatkan
kesejahteraan dan perlindungan anak, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan hukum; 5 memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan
pengarusutamaan gender dan anak dalam perencanaan pembangunan di tingkat propinsi dan kabupatenkota; dan 6 melanjutkan penyusunan data dan statistik
gender di tingkat propinsi dan kabupatenkota.
Pengarusutamaan Gender Gender Mainstreaming
Menurut Corner dalam Fadhil 2002 istilah pengarusutamaan gender
gender mainstreaming masuk ke dalam khasanah pembangunan di Indonesia hanya baru belakangan ini. Selanjutnya dikatakan bahwa kurang lebih satu
setengah dasawarsa yang lalu yaitu pada waktu Konferensi Perempuan Sedunia di Nairobi tahun 1985, istilah itu masuk ke dalam diskusi-diskusi yang
membicarakan “Perempuan dan Pembangunan WAD”, meskipun demikian
19 penggunaannya tidak sampai meluas. Satu dasawarsa kemudian pada bulan Juni
1994, diadopsi oleh Konferensi Tingkat Menteri Asia Fasific Kedua Mengenai Perempuan Dalam Pembangunan, istilah pengarusutamaan gender
gender mainstreaming muncul dalam Program Aksi, dalam kata-kata yang menekankan
’ Mainstreaming Gender concern in public policies and programes’. Satu tahun
kemudian, di Konferensi Perempuan Sedunia yang diselenggarakan di Beijing 1995, istilah
gender mainstreaming muncul lagi di Beijing Platform of Action. Kali ini semua negara peserta termasuk Indonesia dan agen -agen pembangunan
yang hadir pada konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan pengarusutamaan gender
gender mainstreaming di negara masing-masing.
Sebagai Negara Peserta Kongres Wanita Sedunia ke-empat yang diselenggarakan di Beijing Tahun 1995, secara eksplisit Indonesia menerima
mandat untuk mengimplementasikan gender ke dalam pembangunan, berarti menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi
dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk
mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender KKG, maka pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa pengarusutamaan gender merupakan
kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kes etaraan dan Keadilan Gender KKG.
Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi pembangunan nasional guna meningkatkan kualitas hidup perempuan dan laki-laki dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, artinya semua kebijakan dan program memperhatikan secara konsisten dan sistematis terhadap perbedaan -
perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dan mengupayakan untuk menghilangkan hambatan -hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan
dan keadilan gender Sahala, 2001. Dalam suatu program biasanya terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Roudabought mengemukakan
bahwa pengembangan program mencakup lima tahap kegiatan, yaitu 1 identifikasi masalah, 2 penentuan tujuan, 3 pengembangan rencana kerja, 4
pelaksanaan rencana kerja, 5 penetapan kemajuan. Model ini membagi program
20 ke dalam dua bagian kegiatan utama, yaitu kegiatan penentuan program yang
mencakup tahap identifikasi masalah dan penetapan tujuan, dan kegiatan pelaksanaan program yang mencakup pengembangan rencana kerja, pelaksanaan
rencana kerja, dan penetapan kemajuan Mugniensyah dalam Riza, 2001.
Kegiatan yang dilakukan dalam PUG yaitu: 1 meningkatkan kesadaran dan kepekaan gender dan mendorong terwujudnya perilaku yang berkesetaraan
dan berkeadilan gender untuk seluruh aparat pada jajaran sektor bidang PUG; 2 menyelenggarakan advokasi yang berhubungan dengan PUG dalam program
semua bidang PUG kepada pejabat sektor bidang PUG di pusat dan daerah; 3 menyelenggarakan pelatihan pelatih untuk penyebarluasan PUG pada sektor
bidang PUG di pusat dan daerah; 4 menyelenggarakan pelatihan PUG pada sektor bidang PUG di pusat dan daerah. Kegiatan -kegiatan tersebut adalah
turunan dari program-program dalam 12 bidang PUG yaitu: 1 bidang pendidikan dan pelatihan; 2 bidang kesehatan; 3 bidang Keluarga Berencana;
4 bidang ekonomi dan ketenagakerjaan; 5 bidang politik; 6 bidang hukum; 7 bidang kesejahteraan sosial; 8 bidang agama; 9 bidang hankam; 10
bidang lingkungan hidup; 11 bidang informasi dan komunikasi; dan 12 bidang kelembagaan RIPNAS PP, 2000-2004.
Dalam rangka memberikan arah bagi penyusunan program dan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan, maka dirumuskan sejumlah Kebijakan
dan Program Pemberdayaan Perempuan
1
sebagai berikut: 1 pengembangan kelompok-kelompok masyarakat yang sadar gender dan peduli terhadap hak-hak
anak; 2 peningkatan kondisi dan posisi perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomipekerjaan dan pengambilan keputusan; 3 penyelenggaraan
perlindungan hak-hak anak dan kesempatan partisipasi anak; 4 penegakan supremasi hukum untuk perlindungan hak -hak perempuan dan anak; 5
penumbuhan dan pembinaan terhadap lembagaorganisasi sosial peduli perempuan dan anak; 6 pengembangan dan peningkatan kerjasama nasional,
regional dan internasional di bidang kesetaraan gender dan perlindungan anak.
1
http:www.menegpp.go.idmenegpp.php?cat=fixid=kebijakan
21 Program pokok pembangunan pemberdayaan perempuan 2005-2009
mencakup bidang-bidang: 1 kelembagaan dan pembudayaan norma kesetaraan gender, yaitu: a melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi KIE kesetaraan
gender dan perlindungan anak; b membangunmembina kelompok masyarakat sadar gender dan peduli hak-hak anak, 2 peningkatan peran serta masyarakat,
yaitu: a memberdayakan LSM, dunia usahaswasta, organisasi profesi dan organisasi sosial yang peduli gender dan anak; b membina kemampuan dan
kemadirian lembagaorganisasi sosial yang peduli perempuan dan anak, 3 harmonisasi peraturan perundang-undangan, yaitu: a melakukan kajian,
mengusulkan dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesetaraan gender dan perlindungan anak; b melakukan
kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya menegakkan hukum untuk menlindungi hak -hak perempuan dan anak, 4 pendidikan dan pelatihan, yaitu:
a meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tenaga pengelola dan pelaksana untuk mewujudkan kesetaraan gender dan anak untuk semua segmen; b
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka
affirmative action , 5 penelitian dan pengembangan, yaitu: a pengkajian dan pengembangan tentang kebijakan dan
program kesetaraan gender perlindungan anak; b membina kerjasama dengan berbagai lembaga penelitian dan pengkajian tentang kesetaraan gender dan
perlindungan anak, 6 pembinaan kerjasama, yaitu: a membangun dan memantapkan komitmen kerjasama di bidang kesetaraan gender dan perlindungan
anak ditingkat daerah dan nasional; b membina jejaring kerjasama yang saling menguntungkan ditingkat regional dan internasional di bidang kesetaraan gender
dan perlindungan anak, 7 pengawasan, pengadilan dan evaluasi, yaitu: a mengembangkan indikator, prosedur dan mekanisme dalam pengumpulan dan
pengolahan serta penyebarluasan data dan info rmasi kesetaraan gender dan perlindungan anak; b melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan
pelaksanaan kesetaraan gender dan perlindungan anak Perencanaan adalah suatu upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya,
ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi, untuk mencapai tujuan yang
22 telah ditetapkan, melalui pemilihan alternatif tindakan yang rasional
2.
Jika mengacu pada teori Raudabought di atas, maka perencanaan program disebut
dengan istilah penetapan program yang terdiri dari kegiatan identifikasi masalah dan penentuan tujuan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perencanaan program yang responsif gender adalah perencanaan yang dilakukan oleh seluruh lembaga pemerintah,
organisasi profesi, organisasi masyarakat yang disusun dengan mempertimbangkan perb edaan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses penyusunan sampai pelaksanaannya. Hal ini berarti perencanaan tersebut mempertimbangkan empat
aspek yakni partisipasi, akses, manfaat dan kontrol yang dilakukan setara antara perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu, proses identifikasi masalah harus mengikutsertakan keterlibatan perempuan agar mereka dapat mengungkapkan masalah yang
dialaminya yang tentunya berbeda dengan permasalahan yang dihadapi laki-laki. Mengenai tujuan program, Casley 1991, menyebutkan ada dua tujuan program,
yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek secara khusus menentukan apa yang akan dicapai oleh program, sedangkan tujuan
jangka panjang ditentukan dalam konteks yang lebih luas yang dilakukan melalui pencapaian tujuan -tujuan jangka pendek. Selain itu, Casley 1991 juga
mengemukakan bahwa tujuan program dapat dikelompokkan dalam empat kategori hierarki, yakni masukan
Input, keluartan Output, efek effect dan dampak
impact. Dalam kerangka kerja logis, keempat hirarki tujuan program tersebut serupa dengan istilah masukan, keluaran, tujuan dan sasaran.
Perencanaan yang responsif gender harus dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan nasional yang lebih mantap, berkesinambungan, dan
mencapai tingkat kemungkinan keberhasilan yang tinggi, dengan mempertimbangkan dan memasukkan perbedaan -perbedaan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan. Dalam rangka menyelenggarakan perencanaan yang responsif
gender, perlu diperhatikan perilaku komunikasi aparat pemda dalam
2
http:www.menegpp.go.idperencanaan.html
23 pengarusutamaan gender dengan melakukan analisis gender pada semua
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. Tahapan program yang kedua adalah tahap pelaksanaan. Pelaksanaan
pembangunan yang responsif gender merupakan tahap pelaksanaan dari kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang responsif gender yang telah
direncanakan dalam tahap perencanaan program. Pelaksanaan keb ijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang responsif gender tersebut perlu
didukung oleh ketersediaan anggaran budget. Karakteristik anggaran responsif gender
3
adalah sebagai berikut: 1 anggaran responsif gender bukan merupakan anggaran yang terpis ah bagi laki-laki
ataupun perempuan; 2 fokus pada kesetaraan gender dan pengarusutamaan gender dalam semua aspek penganggaran baik ditingkat nasional maupun di
tingkat lokal; 3 meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder
perempuan; 4 monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan dengan responsif gender; 5 meningkatkan efektifitas penggunaan
sumber-sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan pengembangan sumberdaya manusia; 6 menekankan pada reprioritas daripada meningkatkan
keseluruhan belanja pemerintah; 7 melakukan reorientasi dari program-program dalam sektor-sektor daripada menambah angka pada sektor-sektor khusus.
Kegiatan pemantauan dan evaluasi merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dalam suatu penyelenggaraan program. Kegiatan ini dilakukan
setelah proses perencanaan dan pelaksanaan program diselenggarakan. Evaluasi
3
adalah salah satu komponen yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai kelayakan serta pencapaian
sasaran dan tujuan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang responsif gender baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan.
Menurut Casley 1991, evaluasi adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi, prestasi, efisiensi dan dampak proyek dalam konteks tujuan yang telah
disepakati. Evaluasi diantaranya mencoba untuk membandingkan hasil-hasil nyata yang dicapai dengan target yang telah ditentukan dan mengidentifikasi
alasan -alasan terjadinya kekurangan dan kelebihan. Selain itu, juga mencoba
3
http:www.menegpp.go.idEvaluasi
24 untuk menilai efisiensi tata cara pelaksanaan program dan menentukan pengaruh
serta dampak program. Proses evaluasi memfokus pada tiga hal, yakni prestasi, keluaran, efek dan
dampak. Adapun prestasi didefinisikan Casley 1991 meliputi suatu tinjauan umum terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan program untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Evaluasi terhadap prestasi biasanya meliputi persiapan program, kekhususan program, waktu dimulai dan pelaksanaan program, masukan
yang disediakan, respon pemanfaat, dan sebagainya. Jenis evaluasi yang disebutkan Casley 1991 terdiri dari evaluasi
pertengahan, evaluasi akhir, dan pasca evaluasi. Evaluasi pertengahan difokuskan pada prestasi proyek. Pada tahap ini belum dapat dilakukan penilaian terhadap
efek dan dampak program. Evaluasi akhir dilakukan setelah program berakhir dan dapat menilai keluaran dan efek. Adapun pasca evaluasi dilakukan setelah
beberapa tahun program berakhir. Seringkali disebut evaluasi dampak, karena pasca evaluasi dapat menilai dampak dari suatu program yang tidak terlihat pada
saat evaluasi akhir dilakukan.
Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan informasi guna menciptakan
gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan Rakhmat, 2002. Secara mudah, persepsi dapat dikatakan sebagai proses individu dalam melakukan kontakhubungan dengan
dunia sekelilingnya. Orang dapat mengenal dan sadar mengenai apa yang terjadi diluar diri kita. Apa yang terjadi sebenarnya ialah bahwa seseorang menciptakan
bayangan–bayangan internal tentang objek–objek fisik dan sosial serta peristiwa– peristiwa yang dihadapi dalam lingkungan pengembangan ini, yang pada dasarnya
mencangkup kegiatan–kegiatan internal yaitu melalui system syaraf ke otak, serta mengubahnya lagi kedalam pengalaman –pengalaman bermakna. Efek dalam hal
ini persepsi yang diharapkan oleh sumber akan berbeda–beda didalam
25 penerimaannya, karena komunikan mempunyai pola pilihan tertentu dalam
menerima pesan–pesan komunikasi Rakhmat, 2002. Menurut Lavidge dan Steiner dalam Effendy 2004 persepsi masih berada
dalam tahap kognitif yaitu tahap dimana respon terhadap stimuli belum terwujud dalam sikap atau tindakan. Disini stimuli akan menimbulkan perhatian yang
menyebabkan seseorang mempunyai kesadaran awareness dan pengetahuan
knowledge terhadap stimuli tersebut. Efek kognitif berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak
mengerti, dan yang tadinya bingung menjadi merasa lebih jelas. Suatu tindakan persepsi mensyaratkan kehadiran objek eksternal untuk dapat ditangkap oleh
indera kita. Persepsi itu sendiri berakar dari beberapa faktor yaitu Rosady, 1998: 1
Latar belakang budaya, kebahasaan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat; 2 Pengalaman masa lalu seseorang atau kelompok tertentu menjadi landasan atas
pandangannya; 3 Nilai–nilai yang dianut moral, etika, dan keagamaan yang dianut, atau nilai–nilai yang berlaku dalam masyarakat; 4 Berita dan pendapat–
pendapat yang berkembang dan kemudian mempunyai pengaruh terhadap pandangan seseorang.
Ada tiga dimensi yang terkait dengan persepsi, menurut Osgood tentang konsep
diferensial semantik menjelaskan tiga dimensi dasar yang terkait dengan persepsi, yakni
evaluasi baik-buruk, potensi kuat-lemah, dan aktivitas aktif- pasif. Menurutnya evaluasi merupakan dimensi utama yang mendasari persepsi,
disamping potensi dan aktivitas David O Sears, et. al, 1994. Hubungannya dengan persepsi aparat pemda kabupaten dalam tulisan ini,
adalah persepsinya terhadap Pengarusutamaan Gender di era Otonomi Daerah. Persepsi diartikan sebagai
pandangan aparat pemda terhadap 11 sebelas rumusan Pengarusutamaan Gender yang telah penulis susun, yaitu Tentang: 1
PUG dalam pembangunan nasional yang dilakukan melalui Kebijakan Satu Pintu KSP atau ”One Door Policy”; 2 kegiatan yang dilakukan dalam PUG; 3
program pokok pembangunan pemberdayaan perempuan 2005-2009 mencakup 7 macam; 4 pentingnya tujuh program pokok pembangunan pemberdayaan
perempuan di era otonomi daerah ini; 5 kegiatan PUG dalam pembangunan
26 Diklat; 6 kegiatan PUG dalam pembangunan kesehatan; 7 kegiatan PUG
dalam pembangunan KB; 8 kegiatan PUG dalam pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan; 9 kegiatan PUG dalam pembangunan politik dan hukum; 10
kegiatan PUG dalam pemb angunan Kesos dan agama; dan 11 kegiatan PUG dalam pembangunan Hankam.
Persepsi atau pandangan positif aparat Pemda kabupaten terhadap konsep pengarusutaman gender, diharapkan akan mendukung kebijakan dan program
Kementerian Pemberdayaan Perempuan di daerah. Hal ini mengingat otonomi daerah memberikan peluang aparat Pemda untuk melaksanakan fungsi dan peran
dalam merumuskan dan menentukan kebijakan pembangunan di daerah, termasuk didalamnya pembangunan di bidang pemberdayaan perempuan.
Pengertian Partisipasi
Banyak para ahli telah mengemukakan pendapat tentang masalah partisipasi dengan berbagai implikasi pengertiannya. Kadang-kadang terdapat
perbedaan tertentu yang menyangkut terminologi yang digunakan, namun pada dasarnya terdapat kesamaan dalam pengertiannya yang diajukan oleh mereka.
Beberapa diantara para ahli tersebut adalah Bhattacharyya 1972, 20 dalam Muliawati 1993 mengartikan partisipasi sebagai pengambil bagian dalam
kegiatan bersama taking part in joint action. Keith Davis 1967, 128 dalam
Muliawati 1993 menyatakan bahwa “ participation is defined as individuals
mental and emotional involvement in a group situation that encourages him to contribute to group goals and to share responsibility for them ”.
Berdasarkan pengertian partisipasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: 1 partisipasi itu sesungguhnya merupakan keterlibatan mental dan
perasaan lebih daripada keterlibatan jasmaniah; 2 partisipasi berarti adanya kesediaan memberikan kontribusi pada usaha mencapai tujuan kelo mpok; 3
partisipasi berarti adanya perasaan bertanggung jawab terhadap usaha-usaha yang dapat diwujudkan. Ada
sence of belonging terhadap kelompok dan tujuan. Menurut Raharjo 1985, 79 partisipasi dapat diartikan sebagai
keikutsertaan masyarakat dala m program-program pembangunan pemerintah. Joan Nelson
dalam Bryant dan White 1987, 206 menyebutkan dua macam
27 partisipasi, yaitu partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan
yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi kliens dan patron antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah yang diberi nama
partisipasi vertikal. Partisipasi sebagai suatu elemen pembangunan desa pada dasarnya juga
merupakan proses adaptasi terhadap perubahan yang sedang berjalan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Robert E. Lene 1968, 194 menyatakan bahwa
partisipasi merupakan kebutuhan untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan masyarakat sekitarnya meskipun penyesuaian diri seperti itu mempunyai
keistimewaan arti dan kegunaan yang bervariasi bagi orang-orang. Dilihat dari tingkatannya partisipasi menurut Noeng Muhajir 1980, 107
ada empat jenis yakni: 1 keterlibatan orang di dalam proses pembuatan keputusan; 2 keterlibatan orang dalam pelaksanaan program dan pengambilan
keputusan; 3 keterlibatan orang dalam menikmati hasil dari kegiatan; 4 keterlibatan di dalam evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana.
Ulasan lebih lanjut tentang partisipasi dikemukakan oleh Tjokrowinoto 1977, 24 yang pada pokoknya mengatakan bahwa partisipasi sebagai proses
intelektual dan emosional di dalam dinamika organisasi dan hal ini hanya dapat berlangsung dalam konteks pengambilan keputusan. Jadi dengan demikian
partisipasi merupakan pengertian di dalam proses pengambilan keputusan di dalam suatu organisasi serta dimana mereka ikut menentukan pula apa yang
merupakan tujuan dari pada organisasi serta bagaimana kebijaksanaan yang perlu diambil untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengertian Otonomi Daerah
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menyebut kan bahwa Otonomi Daerah
4
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masih dalam Penjelasan UU terseburt bahwa daerah otonom, adalah kesatuan
4
http:www.depdagri.go.iddatadocUU20No.203220thn202004.doc
28 masyarakat hukum yang mempunyai batas -batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas -luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari revisi UU tentang otonomi daerah memberikan penjelasan kepada kita bahwa ada perubahan prinsip dalam pelaksanaan pemerintahan daerah
menjadi asas otonomi dan pembantuan. Sementara dalam UU No. 22 Thn 1999 rumusan asas pemerintahan daerah adalah dekonsentrasi, desentralisasi, dan asas
pembantuan. Artinya Pemda diberi hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat dan tetap berkoordinasi dengan pemerintah pusat karena untuk melaksanakan kewenangan pemda, pemerintah mengalokasikan dana
perimbangan. Jadi, daerah diberi hak untuk melaksanakan tugas dan kewenangan daerah, dan mendapat sumber keuangan, daerah juga tetap berkewajiban untuk
menjaga negara kesatuan, memajukan kesejahteraan rakyatnya, menjaga kerukunan, dan melakukan pelayanan untuk rakyat
5
. Sehingga perilaku komunikasi aparat pemda memegang peranan penting dalam implementasi
program pembangunan, termasuk dalam penerapan pengarustutamaan gender di era otonomi daerah.
Menurut Widjaya 1992 sesuai UU no 5 tahun 1974 pengertian otonomi daerah bagi suatu daerah bermakna: 1 berinisiatif sendiri menyusun
kebijaksanaan daerah dan menyusun rencana dan pelaksanaanya; 2 memiliki alat pelaksanan sendiri yang
qualified ; 3 membuat pengaturan sendiri; 4 menggali sumber -sumber keuangan sendiri, menetapkan pajak, restribusi dan lain -
lain usaha yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan syarat-syarat di atas otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai cara untuk mewujudkan secara
5
http:www.ditjen-otda.go.idindex.php?option=contenttask=viewid=192Itemid=
29 nyata penyelenggaraan pemerintah yang efektif, efisien dan berwibawa guna
mewujudkan pemberian pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan otonomi daerah, juga merupakan keterikatan yang kuat antara
daerah yang satu dengan yang lainnya, di samping menumbuhkembangkan semangat kebersamaan dalam simpul negara kesatuan Republik Indonesia.
Ada lima variab el untuk mengukur kemampuan suatu daerah mampu berotonomi menurut Marzuki Nyakman dan Ryaas Rasjid: 1 kemampuan
keuangan daerah, ditentukan oleh berapa besar peranan pendapatan asli daerah terhadap jumlah total pembiayaan daerah; 2 menyangkut kemampuan aparatur
berapa ratio jumlah pegawai terhadap jumlah penduduk, masa kerja pegawai, golongan kepegawaian, pendidikan formal dan pendidikan fungsional aparat; 3
partisipasi masyarakat, bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa yang menyangkut kesehatan dan pelayanan sosial; 4 variabel ekonomi di
daerah dengan mengukur indikator seperti nilai rata-rata pendapatan per kapita dalam lima tahun terakhir, berapa persentase sektor-sektor pertanian,
pertambangan dan pemerintahan terhadap PDRB; 5 variabel demografi, indikasinya berapa jumlah pendapatan penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah
penduduk yang buta aksara, ratio ketergantungan, tempat pendidikan penduduk, usia muda, pendidikan yang diutamakan dan kemungkinan tersedianya lapangan
kerja.
KERANGKA PIKIR, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
Kerangka Pikir
Pengarusutamaan gender dalam era otonomi daerah, telah dikomunikasikan oleh pemerintah pusat melalui Kementrian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia kepada pemerintah daerah. Saluran komunikasi yang digunakan yaitu saluran komunikasi interpersonal melalui petugas Biro
Pemberdayaan Perempuan serta saluran komunikasi media massa buku pedoman, TV, radio, dan internet. Pesan yang disampaikan dimulai dari panduan
pelaksanan Inpres No. 9 Tahun 2000, Rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan 2000-2004 sampai pada program pokok pembangunan
pemberdayaan perempuan 2005-2009 yang mencakup bidang-bidang: 1 Kelembagaan dan pembudayaan norma kesetaraan gender, 2 peningkatan peran
serta masyarakat, 3 harmonisasi peraturan perundang -undangan , 4 pendidikan dan pelatihan, 5 penelitian dan pengembangan, 6 pembinaan kerjasama, 7
pengawasan, pen gendalian dan evaluasi. Kegiatan yang dilakukan dalam program pokok pembangunan perempuan tersebut diantaranya yaitu dengan melakukan
sosialisasi kepada aparat, advokasi dengan melibatkan LSM dan pelatihan melalui strategi PUG, untuk itu Meneg Pemberdayaan Perempuan telah mengeluarkan
Panduan Pelaksanaan Pengarusutamaan gender mulai dari para pimpinan Departemen sampai kepada para Bupati di daerah, dilanjutkan dengan Surat
Mendagri dan Otonomi Daerah kepada seluruh Bupati tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Untuk Propinsi Lampung telah dikeluarkan Instruksi
Gubernur Lampung No: INST02B.VIIIHK2002 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah. Dengan demikian diharapkan dapat
memperkuat mandat Pemda Kabupaten dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender melalui Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Untuk lebih memahami
proses komunikasi dalam PUG, dapat dilihat pada Gambar 1. Aliran Informasi Hasil Evaluasi PP dan KPA dari tingkat kabupatenkota sampai tingkat nasional
Deputi Bid.Pengembangan dan Informasi KPP, 2003
31
Gambar 1
. Aliran Informasi Hasil Evaluasi PP Dan KPA
Sumber: Deputi Bidang Pengembangan dan Informasi KPP, 2003 Keterangan :
Alur Informasi Laporan Hasil Evaluasi Alur Informasi Sebagai Umpan Balik
Tembusan Laporan NASIONAL
PROPINSI
KABUPATEN KOTA
MENTERI PP DEPUTI I
GUBERNUR BIRO PP
UNITT PP
BUPATI WALIKOTA
BAG. PP UNIT PP
CAMAT
SEKTOR, LSM
TERKAIT SEKTOR,
LSM TERKAIT
SEKTOR, LSM
TERKAIT
32 Penilaian atas pengarusutamaan gender diukur melalui persepsi dan
partisipasi kemampuan kognitif, afektif dan konatif dari aparat dalam pengarusutamaan gender di era otonomi daerah. Terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender yang ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dengan laki-laki, mereka juga memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol serta memperoleh manfaat yang setara dan adil atas pembangunan. Persepsi dan partisipasi sebagai efek komunikasi merupakan
dorongan pikiran dan perasaan kemampuan kognitif untuk melakukan tindakan tertentu kemampuan afektif dan konatif. Pendekatan komunikasi linear, Model
Komunikasi dalam Pengarusutamaan Gender di Era Otonomi Daerah disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Komunikasi dalam Pengarusutamaan Gender di Era Otonomi
Daerah Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2005
Komunikasi Media Massa Media Cetak
Media Elektronik Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia KPP-RI.
Sumber
Komunikasi Interpersonal
Perilaku Komunikasi Aparat
Pemda Karakteristik
Aparat Pemda Pemda
KabupatenAparat
PenerimaMasyarakat Persepsi dan Partisipasi
dalam Pengarusutamaan Gender
11 sebelas rumusan Pengarusutamaan Gender:
PUG dalam pembangunan nasional yang dilakukan melalui Kebijakan Satu Pintu KSP atau ”One Door
Policy”; kegiatan yang dilakukan dalam PUG; program pokok pembangunan pemberdayaan
perempuan 2005-2009 mencakup 7 macam; pentingnya tujuh program pokok pembangunan
pemberdayaan perempuan di era otonomi daerah ini; kegiatan PUG dalam pembangunan Diklat; kegiatan
PUG dalam pembangunan kesehatan; kegiatan PUG dalam pembangunan KB; kegiatan PUG dalam
pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan; kegiatan PUG dalam pembangunan politik dan
hukum; kegiatan PUG dalam pembangunan Kesos dan agama; dan kegiatan PUG dalam pembangunan
Hankam.
33
Perbedaan karakteristik individu dan perilaku komunikasi personil aparat pemerintah daerah akan mempengaruhi persepsi dan partisipasi personil aparat
dalam memahami dan melaksanakan program Pengarusutamaan Gender. Lebih jelasnya, diagram alur pikir ini disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3.
Kerangka pikir hubungan antara karakteristik, perilaku komunikasi serta persepsi dan partisipasi aparat Pemda Kabupaten dalam
pengarusutamaan gender di era otonomi daerah.
Efek Pengaruh Persepsi dan Partisipasi Aparat
Pemda dalam Pengarusutamaan Gender di Era Otonomi Daerah
Karakteristik
§
Usia
§
Jenis Kelamin
§
Pendidikan formal
§
Jabatan
§
Golongan
Perilaku Komunikasi
§
Keterdedahan pada saluran komunikasi
interpersonal
§
Keterdedahan pada saluran komunikasi
media massa
34
Hipotesis
Sejalan dengan kerangka pikir dan untuk menjawab tujuan penelitian, dirumuskan hipotesis pokok sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan persepsi dan partisipasi aparat Pemda kabupaten dalam pengarusutamaan gender di era
otonomi daerah. 2. Terdapat hubungan antara perilaku komunikasi dengan persepsi dan
partisipasi aparat Pemda kabupaten dalam pengarusutamaan gender di era otonomi daerah.
3. Terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan perilaku komunikasi aparat Pemda kabupaten dalam pengarusutamaan gender di era otonomi
daerah.
Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap variabel-variabel dalam penelitian, berikut ini dijelaskan definisi operasional dari variabel yang digunakan
sebagai berikut:
1. Karakteristik IndividuPersonel