115
4.6.3 Pengembangan Keputusan Alternatif Kebijakan
Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif kebijakan yang paling tinggi untuk dipilih adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Hal ini terlihat dari
nilai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif lainnya yaitu sebesar 0,436. Alternatif selanjutnya adalah penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional dengan nilai bobot 0,372 dan iikuti dengan peningkatan nilai lingkungan internal dengan bobot 0,080.
Nilai dan ranking alternatif kebijakan ditunjukkan pada Tabel 19. Sedangkan gambaran secara menyeluruh antar pilihan kebijakan yang ada
ditunjukkan pada grafis histogram. Nilai skor keputusan tertinggi ditunjukkan dengan diagram batang terpanjang yaitu insentif dan disinsentif. Gambaran
menyeluruh antar pilihan kebijakan dalam bentuk grafis histogram ditunjukkan pada Gambar 26, sedangkan dalam bentuk scatter plot pada Gambar 27.
Tabel 19 Nilai alternatif kebijakan perlindungan lingkungan sukarela
Level Alternatif Bobot
Ranking
Insentif disinsentif 0,436
I Penguatan infrastruktur kelembagaan
0,372 II
Peningkatan nilai lingkungan internal 0,192
III
Konsistensi ratio = 0,080 Sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 26 Pengambilan keputusan dengan cara histogram dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
116
Gambar 27 Pengambilan keputusan dengan cara scatter plot dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Analisa di atas memperlihatkan bahwa kebijakan terbaik dalam desain pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela di PLTA adalah dengan menerapkan kebijakan memberikan insentif dan disinsentif
dibandingkan dengan
kebijakan pengembangan
infrastuktur kelembangaan dan institusional, dan penguatan valuasi lingkungan internal.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa alternatif desain kebijakan perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela pada kasus PLTA adalah insentif dan disinsentif 0,436, diikuti penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional 0,372 dan Penguatan nilai lingkungan internal 0,192. Untuk memperkuat instensif dan disintentif, maka faktor yang paling berpengaruh adalah
tekanan pemerintah 0,462 dibandingkan dengan tekanan global 0,198, tekanan masyarakat 0,143, kepentingan PLTA 0,111 dan tekanan pembeli 0,087.
Pemerintah, pembeli, perusahaan dan PLTA lebih mengutamakan alternatif insentif dan disinsentif dalam desain kebijakan, sedangkan masyarakat dan
investor cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional. Kebijakan insentif dan disinsentif merupakan tool regulasi yang
fundamental untuk mencapai perlindungan lingkungan berbasis sukarela.
0.2 0.4
0.6 0.8
1
0.2 0.4
0.6 0.8
1 Decision Score
Peningkatan Nilai Ling Internal Insentif Disinsentif
Penguatan Inf kelembagaan
117 Penguatan infrastruktur kelembagaan dan isntitusional diperlukan untuk mencapai
tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan. Hasil di atas memperlihatkan faktor yang paling mempengaruhi PLTA
untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara sukarela adalah tekanan pemerintah. Daya tekan masyarakat dan pembeli belum banyak
mempengaruhi organisasi PLTA untuk melaksanakan program perlindungan sukarela. Hal ini dimungkinkan tekanan pemerintah telah terdiskripsikan dalam
suatu tata aturan legislasi secara jelas dan dapat menjadi acuan organisasi PLTA untuk melaksanakan suatu tindakan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian
Uchida 2004 yang menyebutkan bahwa tekanan pemerintah memotivasi perusahaan di Jepang untuk mengembangkan perlindungan lingkungan. Tekanan
pemerintah dalam bentuk regulasi dan penyelenggaraannya merupakan dorongan utama praktek perlindungan lingkungan sumberdaya alam Delmas et al. 2004.
Pemerintah juga masih menjadi aktor utama untuk mendukung pencapaian tujuan perlindungan lingkungan sumberdaya air. Sektor swasta masih belum
menjadi aktor utama untuk menggulirkan program perlindungan berbasis sukarela. Konsepsi pendekatan sukarela yang menekankan upaya proaktif perusahaan untuk
merespon ketentuan regulasi, kebutuhan masyarakat dan pasar yang kemudian diterjemahkan dalam perencanaan strategisnya belum sepenuhnya dipahami.
Keputusan penerapan inisiatif sukarela sangat penting untuk dipahami oleh pengambil keputusan dalam organisasi. Benefit inisiatif sukarela belum
diterjemahkan secara luas oleh perusahaan dalam kontek sosial ekonomi yang lebih luas. Sehingga keuntungan tidak hanya terkait dengan peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya dan proses produksi, serta corporate image. Perbaikan sumberdaya air yang dilakukan juga berkontribusi terhadap kesejahteraan
masyarakat dan dapat meningkatkan keterlibatan perusahaan untuk memberikan input terhadap penyempurnaan regulasi saat ini untuk pelaksanaan yang lebih baik
Lyon et al. 1998. Peran pemerintah dan tekanan regulasi yang tinggi dalam pengembangan
kebijakan sukarela saat ini, bisa digunakan untuk penyusunan program bersama antara pemerintah dan perusahaan dalam bentuk perjanjian negosiasi. Regulasi
menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan sukarela dan sebagai target
118 lingkungan yang harus disetujui oleh perusahaan dalam periode waktu tertentu.
Perjanjian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mempromosikan program insentif dan disinsentif untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan
dan pembangunan berkelanjutan.
4.7 Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Secara umum dari aspek lingkungan, PLTA sangat bergantung dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang menjadi pasokan bagi pembangkitan
energi listriknya. Sementara kuantitas air sangat bergantung dari sumbernya di bagian hulu PLTA. Keberadaan dan kontinuitas kuantitas air ini sangat
dipengaruhi kondisi penutupan dan penggunaan lahan di hulu PLTA. Perubahan penggunaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik air permukaan
dan air bawah permukaan yang bisa diserap lahan. Hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap kuantitas dan kontinuitas air pasokan bagi PLTA.
Selain itu, kinerja PLTA juga masih dipengaruhi oleh kualitas air yang akan dialirkan ke dalam turbin pembangkit listrik. Kualitas air akan sangat
berpengaruh terhadap mesin pembangkitan yang dialiri air. Sifat kimia yang korosif dan cemaran sedimen bisa mempengaruhi kinerja dan usia teknis mesin
pembangkit listrik. Aspek sosial yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA adalah
hubungan antara pengelola PLTA dengan semua stakeholder terkait. Hubungan ini terkait komunikasi yang terjalin antar stakeholder serta kolaborasi dalam
melakukan pengelolaan yang berbasis sukarela. Selain aspek sosial, terdapat juga aspek ekonomi baik dari pengelolaan
PLTA, maupun dari jasa lingkungan sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan oleh semua stakeholder. Pengelola PLTA bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan
mengkonversi tenaga air menjadi tenaga listrik yang bisa dijual kepada lembaga penyalur tenaga listrik kepada konsumen. Selisih antara biaya yang dikeluarkan
untuk pembangkitan dengan nilai energi listrik yang dihasilkan bisa menjadi keuntungan pengelola PLTA. Sementara jasa lingkungan sumberdaya air bisa
bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat jasa lingkungan air, antara lain sebagai sarana ekowisata, budidaya perikanan, dan manfaat ekologis lainnya.