Economic and hydrology analysis of water resources management juanda reservoir by jasa tirta ii state corporation dynamic optimization approach

(1)

ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA

OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II:

PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK

DISERTASI

SLAMETTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA

OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II:

PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK

DISERTASI

SLAMETTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II: PENDEKATAN

OPTIMASI DINAMIK

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

Slametto


(4)

ABSTRACT

Slametto. Economic and Hydrology Analysis of Water Resources Management Juanda Reservoir by Jasa Tirta II State Corporation: Dynamic Optimization Approach (Yusman Syaukat as Chairman, Wilson H. Limbong and

Mochammad Amronas Members of the Advisory Committe).

Rapid population growth, urban development, and food demand have increased pressure on water demand over time. The stock of water resources has became limited, not only in terms of quantity, but also quality. This scarcity has increased intersectoral water demand in Jatiluhur Irrigation Area. The objectives of this research are (1) to evaluate of the existing and optimal water allocation, (2) to estimate total net social benefit generated from distributing water by Jasa Tirta II State Corporation, and (3) to evaluate raw water tariffs charged to users, namely electricity generator, municipal water utilities (Jakarta, Karawang, Bekasi, Subang and Indramayu), industries.

Primary and secondary data are collected for the period of 10 years and used in this research and a dynamic optimization approach is applied. The study area includes the area of Juanda Reservoir and Jatiluhur Irrigation Areas, which include East Tarum, North Tarum, and West Tarum canals. Water resource user sectors, namely the irrigation sector, water companies regency / municipality sector, industry sector, and the Regional Water Company of Jakarta sector. The analytical method used is a dynamic optimization approach.

The results showed that (1) optimal allocation of water to the agricultural sector is more efficient than the actual allocation, so more water can be allocated for the other sectors, (2)

In order to improve the benefits of water, the Ministry of Public Work should allocate sufficient funding for rehabilitate the infrastructure, including to reduce sedimentation in the dam and its irrigation networks,

simulation on the levels of water allocated for irrigation results in more economic water distribution which generates higher social benefits, and (3) optimal water allocation implies optimal values of water that can be used to determine the tariff of water charges to different users.

and second the Jasa Tirta II State Corporation should include user cost of the water in determining the tariff of water.

Key words: competition, scarce, allocation, value of water, reservoir, optimization.


(5)

RINGKASAN

Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah pada tahun 1957─1967 yang dilengkapi dengan Waduk Juanda dan sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas 240 ribu hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum untuk meningkatkan penyediaan pangan dan pengendalian banjir. Sesuai dengan perkembangannya, pemanfaatan air Daerah Irigasi Jatiluhur telah menjadi pemasok air baku bagi kepentingan air minum, rumah tangga, municipal, dan industri serta PLTA. Wilayah sekitar Citarum memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jumlah penduduk yang besar, dan sumber air yang terus berkurang. Hal ini menimbulkan kelangkaan air dan menjadikannya barang ekonomi (economic good). Di lain pihak, sarana dan prasarana saat ini sudah tidak berfungsi dengan baik. Biaya operasional dan pemeliharaan Perum Jasa Tirta II didapat dari penerimaan para pengguna air dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah yang kemungkinan terlalu rendah. Sehubungan dengan itu, tujuan penelitian untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang dapat meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur agar dapat dimanfaatkan secara optimal.

Referensi diambil dari berbagai teori dan hasil penelitian dari para akhli. Selain itu, data terkait dari lapangan tentang sumber daya air turut memberikan masukan untuk mendukung penelitian ini dan teori dan penerapannya tentang

marginal cost pricing, alokasi air, manfaat dan biaya marjinal serta biaya marjinal pengguna (marginal user cost~MUC), optimasi, manfaat sosial bersih (net social benefit~NSB) turut menjadi dasar penelitian. Dalam membuat fungsi

net social benefit sebagai fungsi obyektif yang terkait dengan permintaan dihubungkan dengan fungsi manfaat marjinal dan pasokan berupa volume air bagi para penggunanya yang terkait dengan fungsi biaya marjinal dengan dimensi waktu, sektor, dan wilayah di Daerah Irigasi Jatiluhur. Bentuk fungsi obyektif net social benefit agar dapat memenuhi syarat berupa kendala (constraint) dan


(6)

batasan (bound). Dalam mencapai net social benefit optimum, digunakan persamaan Lagrange dan syarat Khun Tucker. Hal ini menjadi model yang digunakan untuk dapat menghasilkan manfaat, alokasi, dan nilai air yang optimum. Periode waktunya selama 16 tahun, tahun 2010─2025 dalam arti untuk rencana selama 16 tahun ke depan.

Agar dapat mengambil keputusan terbaik dan memberikan gambaran pilihan, perlu dibuat skenario kebijakan. Skenario itu dilihat dari sisi tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan 10 persen. Masing-masing dilihat bila tingkat diskonto: 5 persen, 10 persen dan 15 persen. Kemudian, dibuat skenario dengan penggunaan air untuk irigasi bila dibuat kuota: 85 persen, 80 persen, 70 persen, atau 60 persen. Sebagai landasan atau ’based line’ untuk memperbandingkan dengan skenario kuota, skenario dibuat dengan tidak menggunakan kuota tetapi diserahkan kepada sistem yang dikenal sebagai Social Planner. Tiap-ttiap skenario dibuat per sektor pengguna air, yaitu: listrik, irigasi, Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota, industri dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Dari sisi wilayah pemasok air, dipilih Waduk Juanda, Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Untuk software komputer yang terkait digunakan General Algebraic Modeling System (GAMS). Software GAMS mampu menyelesaikan masalah optimasi termasuk mencari optimasi net social benefit.

Adapun hasil proses baik net social benefit, dan alokasi air maupun nilai air optimum sesuai dengan skenario. Net social benefit, alokasi, dan nilai air optimum yang akan dipakai sebagai patokan atas berbagai skenario adalah hasil dari Social Planner. Net social benefit optimum pada skenario untuk irigasi 70 persen dan 60 persen di atas atau sama dengan net social benefit Perencana Sosial sehingga hasilnya tidak dapat diterapkan. Namun dengan kondisi riil seperti saat dapat didekati dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen, tingkat diskonto 5 persen dan kuota 85 persen atau 80 persen pengelolaan air di DI Jatiluhur dapat diterapkan dengan beberapa perbaikan. Perbaikan, antara lain, manajemen pengelola, yaitu alokasi dan nilai air yang otimum yang akan menghasilkan net social benefit optimum. Hal tersebut dapat dicapai dengan catatan bahwa infrastruktur perlu diperbaiki dan tarif air perlu ditinjau Kementerian Pekerjaan Umum agar pemanfaatan air dapat lebih efisien.


(7)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(8)

ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA

OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II:

PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK

SLAMETTO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Anggota Luar Ujian Komisi Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor;

2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Anggota Luar Ujian Komisi Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM

Komisaris Utama Dewan Komisaris PT Nindya Karya (Persero), Kementerian Pekerjaan Umum;

2. Dr. Ir. Sumaryanto, MS

Ketua Kelompok Peneliti Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.


(10)

Judul Disertasi : Analisis Ekonomi dan Hidrologi Pengelolaan Sumberdaya Air Waduk Juanda oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II: Pendekatan Optimasi Dinamik

Nama Mahasiswa : Slametto

Nomor Pokok : A.161040304

M

Meennyyeettuujjuuii :: 1

1..KKoommiissiiPPeemmbbiimmbbiinngg

Ketua

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Anggota

Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS

Anggota

Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc

M

Meennggeettaahhuuii ::

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,

3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr TTaannggggaall UUjjiiaann:: 1177 JJaannuuaarrii 22001122 TTaannggggaall PPeenngegessaahhaann ::


(11)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasih-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Tujuan penelitian adalah menghasilkan bahan guna melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air Waduk Juanda. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang adapt meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder dari berbagai sumber, sedangkan metodenya menggunakan pendekatan optimasi dinamik.

Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua Komisi Pembimbing, yang telah mengarahkan penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan selesainya penyusunan disertasi sekaligus membimbing pemodelan dengan optimasi dinamik menggunakan program GAMS dengan penuh kesabaran;

2. Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan permasalahan ekonomi dan penulisan disertasi serta dukungannya dengan tanpa lelah;


(12)

3. Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis mulai dari permasalahan teknis hidrologi dan penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi;

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi ini;

5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai penguji luar komisi ujian tertutup;

6. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS sebagai penguji luar komisi ujian terbuka;

7. Rekan-rekan Program Studi S3 EPN Khusus, Angkatan II dan Angkatan Reguler yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini;

8. Rekan-rekan di Sekretariat EPN, yang selalu memberi motivasi dan membantu kelancaran administrasi;

9. Rekan-rekan Mahasiswa S1, S2, S3, dan Alumni IPB yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu studi kami di S3 Institut Pertanian Bogor;

10. Jajaran direksi, pejabat, dan karyawan Perusahaan Umum Jasa Tirta II atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian;

11. Isteri serta anak-cucu tercinta yang dengan pengertiannya telah dengan sabar menunggu.

Kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, selain terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya,


(13)

juga doa semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tentu masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian sejenis atau terkait di masa datang akan berguna. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juni1945 di Klaten dan memiliki orang tua yang bernama Moeslam Sonosuwarno (Almarhum) dan Lasiyem Sonosuwarno (Almarhumah).

Pendidikan Strata 1 diperoleh pada tahun 1973 pada jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.

Pendidikan Strata 2 diperoleh pada tahun 1997 pada program Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Dilanjutkan sebagai mahasiswa program Strata 3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2004.

Pada tahun 1973 penulis mulai bekerja di Departemen Pekerjaan Umum sebagai Counterpart Konsultan Proyek Irigasi bantuan Internationl Development Agency. Tahun 2004─2010 sebagai Direktur Pengelolaan Perum Jasa Tirta II Kementerian Badan Usaha Milik Negara.


(15)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasih-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Tujuan penelitian adalah menghasilkan bahan guna melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air Waduk Juanda. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang adapt meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder dari berbagai sumber, sedangkan metodenya menggunakan pendekatan optimasi dinamik.

Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua Komisi Pembimbing, yang telah mengarahkan penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan selesainya penyusunan disertasi sekaligus membimbing pemodelan dengan optimasi dinamik menggunakan program GAMS dengan penuh kesabaran;

2. Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan permasalahan ekonomi dan penulisan disertasi serta dukungannya dengan tanpa lelah;


(16)

3. Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis mulai dari permasalahan teknis hidrologi dan penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi;

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi ini;

5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai penguji luar komisi ujian tertutup;

6. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS sebagai penguji luar komisi ujian terbuka;

7. Rekan-rekan Program Studi S3 EPN Khusus, Angkatan II dan Angkatan Reguler yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini;

8. Rekan-rekan di Sekretariat EPN, yang selalu memberi motivasi dan membantu kelancaran administrasi;

9. Rekan-rekan Mahasiswa S1, S2, S3, dan Alumni IPB yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu studi kami di S3 Institut Pertanian Bogor;

10. Jajaran direksi, pejabat, dan karyawan Perusahaan Umum Jasa Tirta II atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian;

11. Isteri serta anak-cucu tercinta yang dengan pengertiannya telah dengan sabar menunggu.

Kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, selain terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya,


(17)

juga doa semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tentu masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian sejenis atau terkait di masa datang akan berguna. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.


(18)

8.4 Saran Penelitian Lanjutan

Agar diperoleh model yang dapat menangkap semua fenomena yang ada, model ASDIJ dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan, yaitu: 1. Memperluas pembuatan model untuk mencari nilai air yang sesungguhnya,

dengan menambah variabel faktor investasi, biaya ekstrasi, biaya manajemen dan biaya lingkungan dimasukkan.

2. Memperluas pembuatan model dengan menambah variabel untuk mencari nilai air yang memberikan keseimbangan antar pengguna baik dari segi jarak maupun besaran penggunaan air.

3. Mempertajam kendala dengan menambah variabel sumberdaya yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur sehingga dapat memberikan output yang lebih akurat.


(19)

xv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.5 Ruang Lingkup... 12

1.6 Keterbatasan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Kelangkaan Air ... 13

2.2 Alokasi Sumber Daya Air... 15

2.2.1 Efisiensi Produksi ... 18

2.2.2 Efisiensi Konsumsi ... 18

2.2.3 Efisiensi Harga ... 18

2.3 Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas ... 19

2.4 Permintaan dan Penawaran Air ... 21

2.5 Penentuan Harga Air ... 25

2.5.1 Penetapan Harga Air Berdasarkan Areal ... 28

2.5.2 Penetapan Harga Air Berdasarkan Volume ... 31

2.5.3 Penetapan Harga Air Berdasarkan Blok ... 32

2.5.4 Tarif Dua Bagian ... 33

2.5.5 Pasar Air ... 35

2.5.6 Metode Cost Recovery ... 37

2.6 Penelitian Terdahulu: Model Pengelolaan Sumberdaya Air …… 41


(20)

xvi

2.6.2 Model Dong Nai River Basin ... 44

2.6.3 Model Alokasi Air untuk Wilayah Jakarta ... 52

2.6.4 Model Pengelolaan Sumber Daya Air di Wilayah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh ... 56

2.6.5 Model Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Kompetisi antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur ... 62

2.6.6 Matrik Model Pengelolaan Satuan Wilayah Sungai ... 68

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 71

3.1 Kerangka Teoretis ... 71

3.1.1 Teori Model Optimasi Dinamik ... 71

3.1.2 Konsep Manfaat dalam Alokasi Sumber Daya Air ... 72

3.1.3 Pendekatan Indek Permintaan dan Nilai Air ... 76

3.1.3.1 Indek Permintaan Air oleh Pengguna ... 76

3.1.3.2 Efisiensi Produksi Air di Saluran ... 76

3.1.3.3 Fungsi Obyektif ... 77

3.1.3.4 Nilai Air Baku ... 78

3.1.3.5 Tarif Berganda ... 79

3.1.3.6 Teori Harga Ramsey ... 80

3.2 Kerangka Pemodelan ... 83

IV. MODEL KONSEPTUAL ALOKASI SUMBER DAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR ... 88

4.1 Fungsi Manfaat Marjinal ... 88

4.2 Penerimaan Total Perusahaan Umum Jasa Tirta II ... 89

4.3 Manfaat Total Pengguna Air ... 91

4.3.1 Manfaat Total Sektor Pembangkit Listrik Tenaga Air ... 92

4.3.2 Manfaat Total Sektor Irigasi ... 93

4.3.3 Manfaat Total Sektor Perusahaan Daerah Air Minum untuk Kabupaten/Kota ... 93

4.3.4 Manfaat Total Sektor Industri ... 94

4.3.5 Manfaat Total Sektor Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ... 94


(21)

xvii

4.4 Total Biaya Pengguna Air ... 96

4.4.1 Total Biaya ... 96

4.4.2 Biaya Produksi Pembangkit Listrik Tenaga Air ... 97

4.4.3 Biaya Distribusi Air untuk Irigasi ... 97

4.4.4 Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota ... 97

4.4.5 Biaya Pasok Air Baku ke Sektor industri ... 98

4.4.6 Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ... 98

4.4.7 Biaya Total Seluruh Pengguna Air ... 98

4.5 Fungsi Tujuan ... 99

4.5.1 Model Alokasi Sumber Daya Air Jatiluhur ... 100

4.5.2 Nilai Sekarang Manfaat Sosial Bersih ... 101

4.6 Kendala Air dari Waduk ... 101

4.6.1 Kendala Penyimpanan Air di Waduk ... 102

4.6.2 Kendala Waduk ... 102

4.6.3 Air di Pengguna dan Air Dibuang ke Laut ... 103

4.7 Batasan ... 104 V. METODE PENELITIAN ... 105 5.1 Wilayah Penelitian ... 105

5.2 Metoda Pengumpulan Data ... 105

5.3 Asumsi-Asumsi Dasar Pemodelan ... 106

5.3.1 Asumsi Sistem Irigasi ... 106

5.3.2 Asumsi Perhitungan Air ... 107

5.3.3 Asumsi Tinggi Muka Air Waduk Juanda ... 109

5.3.4 Asumsi Kategori Pengguna Air Waduk Juanda ... 112

5.4 Metoda Analisis ... 115

5.4.1 Analisis Model ... 117

5.4.2 Hubungan Manfaat Marjinal, Biaya Marjinal, dan Biaya Marjinal Pengguna di Sektor-Sektor ... 121

5.4.2.1 Sektor Listrik ... 121


(22)

xviii

5.4.2.3 Sektor Perusahaan Daerah Air Minum

Kabupaten/Kota ... 121 5.4.2.4 Sektor Industri ... 121 5.4.2.5 Sektor Perusahaan Air Minum Daerah Khusus

Ibukota Jakarta ... 122 5.4.3 Estimasi Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal ... 122 5.4.4 Estimasi Aloaksi Air ... 122 5.4.4.1 Kuota Air Untuk Irigasi ... 123 5.4.4.2 Alokasi Pengguna Air Non Irigasi ... 123 5.4.4.3 Proporsi Pengguna Air ... 123 5.4.5 Konsep Analisis Ekonomi ... 124 5.4.5.1 Nilai Sekarang Manfaat Bersih Optimal ... 124 5.4.5.2 Manfaat Bersih Parsial ... 124 5.4.5.3 Perbandingan Manfaat Antara Kondisi Riil

dengan Model ... 124 5.4.5.4 Manfaat dan Biaya Marjinal serta Biaya Marjinal

Pengguna ... 125 5.5 Skenario-Skenario Kebijakan ... 125 5.5.1 Skenario Kebutuhan Air untuk Irigasi ... 126 5.5.2 Skenario Kondisi Saat Kini atau Status Quo ... 126 5.5.3 Skenario Sesuai Perencana Sosial ... 127 5.5.4 Skenario Kuota Masing-Masing Sektor ... 127 5.5.5 Pengukuran Model untuk Setiap Skenario ... 128

VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR…….. 131 6.1 Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar

Daerah Irigasi Jatiluhur ... 131 6.2 Kondisi Sumber Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ... 135 6.3 Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur ... 137 6.4 Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur. 139 6.5 Waduk Juanda ... 140 6.6 Sektor dan Wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur ... 143 6.7 Perusahaan Umum Jasa Tirta II ... 146 6.7.1 Dasar Hukum ... 146


(23)

xix

6.7.2 Tugas dan Wewenang Perusahaan Umum Jasa Tirta II .... 147 6.7.3 Penerimaan dan Pembiayaan Perusahaan Umum Jasa

Tirta II... 149 6.7.4 Penetapan Tarif Air ... 152 6.8 Kehilangan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ... 153

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

155 7.1 Net Social Benefit dari Fungsi Obyektif ... 155 7.1.1 Nilai Obyektif Setiap Skenario ... 155 7.1.2 Efisiensi Ekonomi ... 160 7.1.3 Benefit/Cost Ratio... 163 7.2 Alokasi Air Optimum ... 163 7.3 Nilai Air Berdasarkan Manfaat Marjinal ... 169 7.3.1 Nilai Air Irigasi ... 169 7.3.2 Nilai Air Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten

/Kota ... 169 7.3.3 Nilai Air Industri ... 170 7.3.4 Nilai Air Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota

Jakarta ... 172 7.3.5 Nilai Air Pembangkit Listrik Tenaga Air ... 172 7.4 Biaya Marjinal ... 174 7.5 Biaya Marjinal Pengguna ... 174

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173 8.1 Simpulan ... 173 8.2 Saran Kebijakan ... 173 8.3 Implikasi Kebijakan ... 174 8.4 Saran Penelitian Lanjutan ...

176

DAFTAR PUSTAKA ... 183

LAMPIRAN ...

189


(24)

xx

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Keuntungan dan Kerugian Perusahaan Umum Jasa Tirta II

Menurut Wilayah Tahun 2001─2007 ... 3 2. Matrik Perbandingan Model Pengelolaan Air Secara

Ekonomi ... 69 3. Matrik Volume Air ke Sektor Pengguna dari Wilayah

Pemasok ... 91 4. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota

Irigasi 60 Persen dan 70 Persen ... 129 5. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota

Irigasi 80 Persen, 85 Persen, dan Perencana Sosial ... 139 6. Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 2003-2007.. 131 7. Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat

Tahun 2003-2007 ... 132 8. Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur

Tahun 2001-2007 ... 133 9. Proyeksi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur ... 134 10. Proyeksi Permintaan Air Baku ... 135 11. Rata-Rata Aliran Sungai Citarum ... 137 12. Sawah Irigasi Teknis di Daerah Irigasi Jatiluhur

Tahun 2001-2007 ... 138 13. Rata-Rata Air Keluar dari Waduk Juanda Tahun 2001-2007 141 14. Rata-Rata Jumlah Air dari Wilayah ke Sektor

Tahun 2001-2007 ... 145 15. Biaya Operasi/Pemeliharaan dan Penerimaan Perusahaan

Umum Jasa Tirta II Tahun 2001-2007 ... 151 16. Tarif Listrik, Perusahaan Air Minum Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Perusahaan Air Minum Kabupaten/Kota,


(25)

xxi

17. Rekapitulasi Asummsi Efisiensi Irigasi dan Saluran

Induk... 153 18. Nilai Sekarang Total Manfaat Bersih Fungsi Obyektif ... 156 19. Persentase Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum ... 160 20. Jumlah Air Selama 16 Tahun (2010-2025) Per Sektor

menurut Skenario pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5

Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 164 21. Alokasi Optimum Per Sektor dan Per Wilayah... 167 22. Nilai Air Menurut Perencana Sosial pada Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5

Persen ... 171 23. Penerimaan Menurut Perencana Sosial dan Perusahaan

Umum Jasa Tirta II ... 173 24. Biaya Marjinal Estimasi Perencana Sosial pada Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto

5 Persen ... 175 25. Biaya Marjinal Pengguna Menurut Perencana Sosial pada

Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat


(26)

xxii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran ... 16 2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of

Technical Substitution... 19 3. Alokasi Optimal Berdasarkan Marjinal Cost Pricing …... 20 4. Permintaan dan Penawaran Air ... 22 5. Sistem Harga Dual Air ... 23 6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban .... 24 7. Komponen Model, Model Integrasi Hidrolis, dan

Ekonomi Pada Satuan Wilayah Sungai di Dong Nai

Basin ... 45 8. Manfaat Marjinal, Biaya Marjinnal dan Biaya Marjinal

Pengguna ... 78 9. Ilustrasi Multipart Tarif Decreasing-Block Tariff ... 80 10. Kerangka Pemodelan Penyaluran Sumber Daya Air di

Daerah Irigasi Jatiluhur ... 84 11. Tampungan dan Tinggi Muka Air Waduk Juanda ... 110 12. Perilaku Outflow Waduk Juanda Tahun 1993-2008 ... 111 13. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur ... 144 14. Benefit/Cost Ratio Menurut Kuota Air untuk Irigasi 85

Persen, 80 Persen dan Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5


(27)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Status Quo Pada Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5

Persen ... 189 2. Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per

Sektor Per Wilayah dari Kuota Air Irigasi 80 Persen Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat

Diskonto 5 Persen ... 190 3. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Status Quo Untuk

Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen

dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 191 4. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Perencana Sosial

Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5

Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 192 5. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Kuota Air Irigasi 80

Persen Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan

Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 193 6. Peta Daerah Irigasi Jatiluhur ... 194

7. Contoh Listing Program GAMS Untuk Memecahkan Optimasi Dinamik dengan Model (ASDIJ) dari Skenario Perencana Sosial Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5


(28)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1957─1967 yang dilengkapi dengan Waduk Juanda dan sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas kurang lebih 240 000 hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya terkait dengan (1) penyediaan pangan yang dilakukan melalui peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum, dan (2) pengendalian banjir. Sejalan dengan perkembangannya, pemanfaatan Daerah Irigasi Jatiluhur telah berubah dari tujuan awalnya, yaitu sebagai pemasok air bagi kepentingan air minum, rumah tangga, municipal, dan industri (domestic, municipal, and industry-DMI), serta pembangkit listrik tenaga air (PLTA) (Perum Jasa Tirta II, 2007).

Seiring dengan perkembangan nasional dan daerah, wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur secara perlahan tumbuh menjadi wilayah perkotaan dan industri dengan jumlah penduduk yang meningkat pesat, yang menuntut kebutuhan akan air yang lebih besar bila dibandingkan keadaan sebelumnya. Ketersediaan sumberdaya air di wilayah tersebut menjadi sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sehingga mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik regional maupun nasional. Pelayanan irigasi Daerah Irigasi Jatiluhur telah memberikan sumbangan terhadap peningkatan


(29)

2

produksi pertanian, terutama padi, sebesar 6 persen dari stok pangan nasional (BPS, 2004). Pengelola sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur sampai saat ini dilaksanakan oleh berbagai institusi, dimana pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang mengacu pada pengelolaan sumberdaya air secara terpadu dengan mempertimbangkan penggunaan sumberdaya tersebut dalam kaitannya dengan kegiatan dan fungsi sosial dan ekonomi, serta prasarana pengairan yang diperlukan. Hal ini tampak dari sarana pelayanan irigasi dan non-irigasi sudah berumur 50 tahun dan sudah tidak berfungsi dengan baik karena pemeliharaan yang kurang optimal. Dengan unit pembangkit listrik tenaga air juga sudah berumur 50 tahun itu, biaya operasi dan pemeliharaannya semakin tinggi sehingga efisiensi penggunaan pembangkit listrik tenaga air sudah menurun. Pada musim kemarau sumber air telah berkurang yang menyebabkan penurunan kapasitas saluran akibat sedimentasi dan banyaknya air yang hilang sebagai konsekuensi dari rusaknya saluran.

Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II bersumber dari air di Waduk Juanda yang menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga air, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri, yang digunakan untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan setiap tahunnya ternyata tidak mencukupi. Penerimaan dari pembangkit listrik tenaga air dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan, tetapi penerimaan dari perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan Perusahaan Umum Jasa Tirta II untuk biaya operasi dan pemeliharaan (Tabel 1).


(30)

3

Tarif yang diberlakukan tidak berdasarkan pada tarif seperti yang diharapkan, tetapi merupakan penetapan Pemerintah tanpa mempertimbangkan biaya riil operasi dan pemeliharaan untuk pengelolaan sarana dan prasarana air tersebut. Rendahnya penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II disebabkan oleh penentuan tarif listrik, air baku untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, serta industri tarifnya ditetapkan Pemerintah yang diperkirakan terlalu rendah.

Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Perum Jasa Tirta II Menurut Wilayah Tahun 2001-2007

No. Wilayah

Nilai Keuntungan dan Kerugian (Rp miliar)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. PLTA 66.99 77.21 40.18 60.14 87.90 87.43 87.33 2. Tarum Timur -1.66 -1.46 -2.64 -1.49 -3.73 -4.30 -4.30 3. Tarum Utara -6.44 -5.45 -6.61 -6.90 -8.47 -9.48 -10.27 4. Tarum Barat -9.71 -8.98 -9.23 -9.68 -12.82 -7.64 -15.90

5.

Perusahaan Air Minum DKI Jakarta

13.74 18.06 25.04 27.73 35.98 45.92 45.53

6. Total 62.92 79.38 46.73 69.81 98.86 111.92 102.37

Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008

Sebagai contoh tarif yang ditetapkan pemerintah, untuk listrik sebesar Rp 137.77/kWh, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp 127.23/m3, sementara itu, tarif perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar Rp 45/m3 dan tarif industri sebesar Rp 50/m3. (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008). Untuk kepentingan irigasi, menurut Undang-undang tidak dikenakan tarif. Akibatnya Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak mampu melaksanakan tugas


(31)

4

dalam melakukan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur untuk dapat memasok air kepada semua pemangku kepentingan dengan baik.

Biaya operasi dan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama 7 tahun, bukan merupakan biaya operasi dan pemeliharaan yang seharusnya, melainkan biaya yang disesuaikan dengan kondisi keuangan perusahaan terutama biaya pemeliharaan yang bersifat darurat, misalnya mengurangi kebocoran di seluruh jaringan(Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008). Kegiatan operasi diutamakan untuk mengatur air agar tidak terjadi konflik kepentingan, melakukan alokasi air agar dapat dilakukan secara efisien, dan melaksanakan pengawasan terhadap masyarakat dalam pemanfaatan air. Pemeliharaan dilakukan terhadap prasarana yang ada agar saluran dapat berfungsi lebih baik. Pemeliharaan yang bersifat permanen dan rehabilitasi infrastruktur di Daerah Irigasi Jatiluhur masih ditangani oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Infrastruktur yang ada ketika penelitian ini dilakukan hanya berfungsi sekitar 60─70 persen dari kondisi ideal (Nippon Koei, 2006). Nippon Koei mengemukakan bahwa biaya untuk pemeliharaan dan rehabilitasi seluruh komponen jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab perusahaan belum dapat dilakukan, sedangkan rehabilitasi saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat, serta saluran sekundernya agar dapat berfungsi ke kondisi ideal ternyata memerlukan biaya lebih dari US$200.00 juta yang dilaksanakan selama 5 tahun. Kondisi sarana yang kurang memadai, karena menurunnya debit sungai Citarum dan mengeringnya sungai-sungai lain di Daerah Irigasi Jatiluhur, terutama pada musim kemarau, telah mengakibatkan pelayanan Perusahaan


(32)

5

Umum Jasa Tirta II tidak dapat menjangkau seluruh wilayah pelayanan untuk semua sektor, khususnya irigasi. Permintaan akan air baku untuk sektor perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri dari tahun ke tahun meningkat terus. Perusahaan Umum Jasa Tirta II telah melakukan perjanjian kerja sama dengan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri. Pasokan air ke pengguna tersebut akan menjadi prioritas dan memberikan penerimaan yang dapat digunakan untuk menutupi biaya operasional perusahaan. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antara perusahaan dan sektor-sektor pengguna air (Katiandagho, 2007). Kondisi ini membutuhkan pengelolaan sumberdaya air secara lebih efisien untuk memenuhi seluruh sektor pengguna air, baik pertanian maupun non pertanian. Perum Jasa Tirta II mempunyai peran yang penting dalam mengelola sumberdaya air tersebut.

Peningkatan penduduk dan pertumbuhan perkotaan di sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur telah menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Selain debit dan sarana yang menjadi penyebab layanan kurang maksimal, pertambahan penduduk di wilayah hilir Sungai Citarum menyebabkan peningkatan permintaan air terutama dari sektor non-pertanian. Jumlah penduduk yang terus meningkat dan pertumbuhan di bidang industri menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air. Sistem jaringan yang semula dirancang untuk penyediaan air irigasi, sebagian dialihkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Oleh sebab itu, air di wilayah Sungai Citarum menjadi sumberdaya yang langka (scarce) dan telah menjadi komoditas ekonomi yang mempunyai posisi strategis dan menjadi suatu ‘bisnis yang serius’ (Bloomquist, 1992). Wilayah sekitar Citarum yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi,


(33)

6

jumlah penduduk yang besar, dan kurang memiliki sumber air, menimbulkan peluang bagi air untuk diperlakukan sebagai barang ekonomi (economic good) sebagaimana yang diproklamasikan di dalam konferensi air di Dublin, Irlandia pada tahun 1992. Dengan demikian, wilayah sekitar Citarum dan DKI Jakarta merupakan pasar air (water market) bagi air Sungai Citarum dan air akan mempunyai nilai yang cukup berarti.

Permasalahan yang dialami penyediaan air di Waduk Juanda (Jatiluhur) juga terjadi di berbagai negara lainnya, seperti Bendungan Aswan di Sungai Nil, Mesir, peningkatan penduduk, pertumbuhan perkotaanm, dan indusrinya menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Sistem jaringan yang dirancang untuk penyediaan air untuk irigasi dialihkan sebagian untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Peralihan itu telah menyebabkan kelangkaan air dan air menjadi barang ekonomi. Penetapan besaran nilai air dan alokasinya untuk setiap sektor menjadi permasalahan pengelola (Barder, 2004). Permasalahan yang sama terjadi juga di Daerah Irigasi Kirindi Oya, India, yang sumber airnya berasal dari Waduk Lunuganwehera. Waduk ini mengairi 5 400 hektar dengan kapasitas waduk 227 juta meter kubik dan kapasitas terpakai mencapai 200 juta meter kubik. Perubahan penggunaan air terjadi juga di daerah irigasi ini dan ditanggapi dengan perubahan sistem jaringan dimana jaringan dibagi dua, yaitu untuk memasok kebutuhan domestik, industri dan irigasi .

1.2 Perumusan Masalah

Ketika kebutuhan air non-pertanian mengalami peningkatan yang pesat, pengalokasian air bagi sektor pertanian justru mengalami penurunan meskipun


(34)

7

masih menjadi pemakai air terbesar. Proporsi pengalokasian air dari Waduk Juanda selama 7 tahun dari tahun 2001─2007 untuk wilayah Tarum Timur rata-rata 28 persen, untuk Tarum Utara rata-rata-rata-rata sebesar 42 persen, dan untuk ke Tarum Barat sebesar 29 persen. Pemanfaaatan air untuk sektor-sektor, rata-rata di Tarum Timur sektor pertanian mencapai 94 persen, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 1 persen dan industri sebesar 5 persen. Di Tarum Utara, sektor pertanian mencapai 98 persen, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 0.1 persen, dan industri sebesar 1 persen. Di Tarum Barat, sektor pertanian mencapai 59 persen, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar 34 persen, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 2 persen, dan industri sebesar 5 persen (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008).

Produksi pembangkit listrik tenaga air tergantung kepada kebutuhan air yang diperlukan untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri di wilayah hilir. Pada waktu air keluar dari waduk terlebih dahulu dilewatkan melalui pembangkit listrik tenaga air sehingga menghasilkan listrik dan memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan Perusahaan Umum Jasa Tirta II, disamping pendapatan dari industri, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2007). Pasokan air yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama ini untuk memenuhi kebutuhan sektor pengguna belum diperhitungkan sebagai suatu kegiatan ekonomi, dimana dari aktivitas pasokan air ini menghasilkan manfaat bagi pengguna, baik untuk sektor pertanian dan non-pertanian seperti perusahaan daerah air minum kabupaten/kota maupun industri. Penerimaan pengelola berupa biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dimaksudkan untuk membiayai operasi dan


(35)

8

pemeliharaan, karena diharapkan penerimaan dari air selayaknya harus kembali ke air artinya untuk biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana sistem jaringan di Daerah Irigasi Jatiluhur.

Meskipun ketiga sektor pengguna air di Daerah Irigasi Jatiluhur menggunakan air sebagai salah satu input produksinya, yang memberikan nilai ekonomi terhadap input tersebut hanya sektor domestik dan industri, sedangkan sektor pertanian tidak. Penentuan tarif air baku untuk domestik dan industri tersebut berdasarkan pada penetapan dari Menteri atas usulan Gubernur Jawa Barat. Tarif air untuk industri, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sudah 5 tahun, yaitu tahun 2003─2007 tidak mengalami perbaikan tarif. Tarif air untuk irigasi adalah nol, alias gratis. Hal ini mengakibatkan tugas dan fungsi Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam memberikan pelayanan menjadi kurang optimum.

Air untuk sektor pertanian walaupun menurut Undang-Undang, petani tidak dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II, seyogyanya Pemerintah dapat mengganti biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk operasi dan pemeliharaan irigasi karena 80-90 persen air dari waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II yang digunakan untuk kepentingan sektor pertanian. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air di sektor pertanian tidak dapat dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air. Tidak dipungutnya biaya jasa pengelolaan sumberdaya air pada sektor pertanian berakibat pada pandangan para petani terhadap sumberdaya air sebagai sumberdaya yang berlimpah dan tidak memiliki nilai ekonomi sehingga berimplikasi pada penggunaan air secara berlebihan (tidak efisien) dan tidak


(36)

9

terkendali. Penggunaan air yang tidak terkendali oleh sektor pertanian akan berakibat berkurangnya ketersediaan air di waduk. Salah satu fungsi waduk adalah sebagai penyimpan cadangan air ketika musim kemarau. Berkurangnya ketersediaan air di waduk di musim kemarau, akan menyebabkan kelangkaan air. Selain itu, berkurangnya ketersediaan air di waduk dapat mempengaruhi kelestarian waduk, yang akan menyebabkan kerugian yang lebih besar akibat rusaknya bangunan waduk. Selain itu, tidak adanya pemungutan biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk memberikan jasa layanan terhadap sektor pertanian telah mengakibatkan pemeliharaan terhadap infratruktur irigasi tidak dapat dilakukan dengan baik. Fungsi bendung-bendung, pintu-pintu air, saluran primer, dan sekunder telah menurun karena rusak, bocor dan sedimentasi, sehingga pemanfaatan air tidak optimum. Apabila tidak ditangani dengan baik distribusi air akan berdampak terhadap keberlanjutan sistem pengairan di Daerah Irigasi Jatiluhur. Guna peningkatan pelayanan di Daerah Irigasi Jatiluhur, baik kuantitas maupun kualitasnya, dibutuhkan penerimaan yang dapat menutupi total biaya operasi dan pemeliharaan saluran yang diperlukan. Salah satu sumber dana yang terbesar, yaitu dari sektor pertanian sebagai pengguna air dengan proporsi terbesar. Namun, terdapat dua permasalahan pokok dalam biaya jasa pengelolaan sumberdaya air terkait dengan iuran (tarif) penyaluran air irigasi, yaitu mekanisme pemungutan dan besaran biaya jasa pengelolaan sumberdaya air.

Mekanisme pemungutan tarif untuk pertanian tidak dapat diterapkan seperti pada sektor domestik dan industri, yang jumlah penggunanya tidak terlalu banyak. Pada sektor pertanian, terdapat 240 000 hektar sawah yang dilayani Perusahaan Umum Jasa Tirta II, banyaknya jumlah petani di setiap wilayah, sulit


(37)

10

untuk melakukan pemungutan kepada setiap pengguna. Bila penyaluran air irigasi yang dilakukan Perusahaan Umum Jasa Tirta II merupakan penunjang program pemerintah dalam peningkatan produksi beras terkait ketahanan pangan, pemungutan iuran atau tarif penyaluran air irigasi seharusnya dapat ditanggung oleh pemerintah dalam bentuk public service obligation (PSO). Perusahaan Umum Jasa Tirta II adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum (public service obligation-PSO), sehingga pemerintah wajib memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II tersebut termasuk margin keuntungan yang diharapkan (Pasal 66 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN).

Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam studi ini sebagai berikut.

Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam studi ini sebagai berikut.

1) Bagaimanakah pembuatan model tentang perilaku optimal pemanfaatan air optimal berkaitan dengan perubahan permintaan air baku oleh penggunanya serta perubahan nilai air dan manfaat sosial bersihnya?

2) Pola distribusi air optimal yang bagaimana agar lebih baik dari pada kondisi saat ini sehingga dapat meningkatkan manfaat sosial bersih pengelolanya? 3) Bagaimana cara mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya air yang optimal


(38)

11

4) Bagaimana mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih menjadi yang terbaik dari berbagai pilihan?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengukur dan menganalisis tingkat efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur agar dapat dimanfaatkan secara optimal, sedangkan secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

1) Membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur

2) Membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang dapat meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air

3) Mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna 4) Mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola

alokasi

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1) Sebagai bahan pertimbangan dalam menyeimbangkan ketersediaan air dan kebutuhan permintaan air di Daerah Irigasi Jatiluhur.

2) Sebagai bahan pertimbangan secara komprehensif integratif tentang kepentingan dari tiga sektor utama, yaitu pemanfaatan air untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, industri, dan pertanian.


(39)

12

3) Sebagai bahan masukan Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam mengelola sumberdaya air secara efisien, karena keberhasilan sektor pertanian sangat ditentukan oleh kebutuhan air yang diperlukan.

4) Sebagai bahan masukan untuk menjaga eksistensi Perum Jasa Tirta II sebagai organisasi perusahaan umum pemerintah agar tetap tampil di depan dalam mengelola sumberdaya air secara berkelanjutan.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian yaitu:

1) Mencakup biaya untuk operasi dan pemeliharaan Waduk Juanda dan Daerah Irigasi Jatiluhur.

2) Penerimaan dan biaya Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam rangka operasi dan pemeliharaan (OP) Daerah Irigasi Jatiluhur.

3) Biaya dibatasi pada biaya operasi dan pemeliharaan serta manajemen. 4) Sektor pengguna air adalah pembangkit tenaga listrik, irigasi, perusahaan

daerah air minum kabupaten/kota, dan industri yang berada di Perusahaan Umum Jasa Tirta II.

5) Mencakup air permukaan yang bersumber dari Waduk Juanda dan sumber setempat.

1.6 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini tidak termasuk:

1) Faktor lingkungan, iklim, sosial budaya, dan investasi.

2) Air bawah tanah dan Daerah Irigasi Selatan Jatiluhur yang pada umumnya terdiri dari sawah beririgasi bersumber air bukan dari Waduk Juanda.


(40)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelangkaan Air

Kelangkaan sumberdaya air terjadi karena berbagai dimensi baik dari segi permintaan maupun penawaran. Permintaan sumberdaya air untuk keperluan rumah tangga, industri dan pertanian semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Sementara itu, ketersediaan sumberdaya air terutama pada musim kemarau semakin terbatas baik disebabkan oleh menurunnya debit sungai akibat kerusakan lingkungan, perubahan iklim global maupun penurunan kapasitas atau kerusakan sarana penyimpan dan penyaluran air.

Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi sektor domestik dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota. Untuk sektor industri dimana air merupakan salah satu input bagi proses produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi.

Menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien, agar dicapai alokasi yang optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisiensikan sumberdaya air dengan cara alokasi. Dinar et al. (1997) mengemukakan bahwa ada empat kerangka mekanisme alokasi


(41)

14

ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing (MCP), alokasi publik, water markets dan user-based allocation.

Untuk mengukur kelangkaan air adalah perbandingan antara air yang tersedia dengan yang digunakan. Berbagai perhitungan kelangkaan air telah dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks yang digunakan PBB (1997) dan diadopsi Voromarty el al.(2000) bahwa secara umum indeks kelangkaan air adalah (1) kurang dari 0.1 tidak ada kelangkaan, (2) antara 0.1 dan 0.2 adalah rendah, (3) antara 0.2 dan 0.4 adalah moderat, (4) kurang atau sama dengan 0.4 adalah tinggi

Pengukuran kelangkaan sumberdaya air di atas, menunjukkan indeks kelangkaan air yang ada disaluran, bukan air tersisa di waduk. Kelangkaan ini berdasarkan fisik tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi air. Perlu diketahui bahwa air adalah sumberdaya yang lebih cepat diperbaharui dan waktu yang digunakan untuk memperbaharui lebih cepat daripada air tanah dan tidak memperhatikan kualitas air yang ada. Dari sisi ekonomi, air tidak dilihat dari sisi fisiknya, tetapi juga dari sisi ekonomi. Hal ini berarti bahwa menghitung cadangan ekonominya dibagi dengan tingkat ekstrasinya. Untuk itu, Fauzi (2004) menyarankan penghitungan dengan menggunakan pengukuran moneter, yaitu dengan salah satu dari cara menghitung harga riil, unit cost, dan rente kelangkaan sumberdaya. Dengan cara rente, kelangkaan dianggap paling baik karena dasarnya menggunakan teori kapital sumberdaya dimana return manfaat yang diperoleh sama dengan biaya oportunitas dari aset yang lain. Makin tinggi rente kelangkaan makin langka sumberdayanya.


(42)

15

Kondisi Daerah Aliran Sungai aktual menggambarkan tahapan pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada.

Bila indeks pengukuran sumberdaya air kelangkaan air menunjukkan telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada.

2.2 Alokasi Sumberdaya Air

Alokasi sumberdaya air merupakan tindakan ekonomi yang menghasilkan baik benefit maupun biaya. Pengelolaan sumberdaya air khususnya air permukaan yang penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas membutuhkan suatu pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum bagi baik pengguna maupun pengelola.

Alokasi sebagai aktivitas ekonomi menjadi perhatian utama dalam pengelolaan sumberdaya air, terutama jika diperhadapkan pada masalah kelangkaan air suatu wilayah. Alokasi air yang baik ke semua sektor pengguna air guna pencapaian kesejahteraan semua pihak, serta memenuhi kriteria kesejahteraan antara lain: (1) kriteria kesejahteraan kosial, (2) kriteria pemerataan, (3) kriteria manfaat (utilitarian criterion), dan (4) kriteria maksimin.


(43)

16

Pertama kriteria kesejahteraan sosial adalah kriteria kesejahteraan yang mengasumsikan bahwa baik selera maupun kesejahteraan individu dapat dihitung.

X X

Y Y

A

B

OM

ON

XAM XAN

YA M

YA N U1N

U2N U3N

U1M U2M

U3M

Sumber: Pindyck, 2005

Gambar 1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran

Dari Gambar 1. bila X barang berupa air untuk irigasi dan Y barang berupa air untuk non irigasi, sedangkan M adalah pengguna barang sektor irigasi dan N adalah pengguna barang sektor non irigasi, maka kurva sepanjang OM-ON,

merupakan kurva kontrak yang menunjukkan tingkat kepuasan yang dapat diperoleh dari barang X dan Y. Semua titik sepanjang kurva tersebut merupakan titik alokasi barang yang efisien yang memberikan kepuasan optimum bagi M dan N. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lainnya. Kondisi kesejahteraan sosial yang optimum pada alokasi optimum merupakan kondisi Pareto optimum dan disebut alokasi Pareto optimum. Kedua adalah kriteria pemerataan, yang merupakan suatu kriteria berdasarkan pada tingkat kepuasan individu yang terlibat dan bukan


(44)

17

jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jika titik A dipilih, XAN > XAM

dan YAN < YAM jumlah barang tidak merupakan ukuran dalam kriteria

pemerataan, tetapi tingkat kepuasan yang optimum tiap-tiap individu menjadi tolok ukur utama. Ketiga adalah kriteria manfaat berdasarkan hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Titik di sepanjang kurva kontrak yang dipilih adalah yang memberikan total kepuasan kedua sektor pengguna air yaitu pertanian dan non pertanian (UN + UM

Dalam mengalokasikan sumberdaya, tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yakni: (1) efisiensi konsumsi, (2) efisiensi produksi, dan (3) efisiensi harga.

), misalnya titik B, maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Keempat adalah kriteria maksimin yang dikemukakan oleh Rawls (1971), memandang masyarakat seperti pada posisi awal tidak ada yang tahu posisi (dan kepuasannya) akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi yang paling lemah, atau dikatakan memaksimumkan mereka yang utilitasnya minimum, sehingga sering disebut kriteria maksimin. Sifat kriteria Rawls, yakni: (1) jika pilihan dilakukan di antara distribusi dengan jumlah konstan, kriteria ini memiliki implikasi egalitarian, semua orang akan menerima jumlah yang sama (distribusi merata), (2) jika pemilihan dilakukan di antara distribusi yang tidak tetap, kriteria Rawls selalu membela orang yang terburuk dan mengorbankan keseluruhan; atau dengan kata lain Rawls tidak konsisten dengan kriteria kompensasi ekonomi yang umum, dan (3) dalam kondisi yang lebih kompleks dengan barang dan individu yang mempunyai cita rasa sangat beragam, kriteria ini tidak dapat diterapkan.


(45)

18

2.2.1 Efisiensi Produksi

Produksi akan efisien jika kenaikan output untuk suatu barang berupa air untuk non irigasi, Y mengharuskan penurunan output barang berupa air untuk irigasi, X yang dapat diilustrasikan seperi Gambar 1. tetapi untuk efisiensi produksi. Efisiensi produksi akan terjadi jika MRTS (marginal rate of substitution) antara dua input adalah sama yaitu air dari Waduk Juanda, artinya isokuan harus bersinggungan, misalnya di titik A. Jika isokuan-isokuan tidak bersinggungan, misalnya air untuk irigasi di realokasi untuk non irigasi. Himpunan alokasi input produksi di titik-titik produksi yang efisien seperti A dikenal kurva kontrak produksi (production contract curve).

2.2.2 Efisiensi konsumsi

Seperti dijelaskan dari 2.2 yang pertama bahwa konsumsi akan efisien jika kenaikan kepuasan salah satu konsumen memerlukan penurunan kepuasan konsumen lainnya. Misalnya pengguna air untuk non irigasi memerlukan penurunan kepuasan pengguna air untuk irigasi. Efisiensi konsumsi akan terjadi jika MRTS adalah sama untuk semua pengguna yang meminta air dari Waduk Juanda. Hal ini berarti bahwa kurva-kurva indeferens kedua pengguna air dari irigasi dan non irigasi harus bersinggungan. Himpunan alokasi konsumsi yang efisien dikenal kurva kontrak konsumsi (consumtion contract curve) (Ekivalen Gambar 1 tetapi untuk konsumsi).

2.2.3 Efisiensi harga

Konsumen harus bersedia untuk mengganti barang yang dikonsumsikan tersebut pada tingkat rasio yang sama dimana perekonomiaan tersebut dapat mengubah satu barang untuk barang lainnya. Ini berarti bahwa untuk semua


(46)

19

konsumen yang membeli kedua barang tersebut, MRS (marginal rate of substitution) barang-barang tersebut harus sama dengan MRT (marginal rate of transformation). Ini berarti bahwa slope kurva-kurva indeferens dari pengguna air untuk irigasi dan non irigasi harus sama dengan slope batas kemungkinan produksi, atau slope di titik F harus sama dengan di titik B. Ini berarti MRT =MRS atau ratio MC Irigasi/MCNonirigasi atau PIrigasi/PNonirigasi harus sama antara di

titik F dan di titik B. Hal ini pengelola harus membuat alokasi yang baik mendekati persaiangan sempurna antara pengguna dan pengelola (Pindyck, 2005).

Sumber: Arsyad, 1987

Gambar 2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of Technical Substitution

2.3 Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas

Penentuan harga dapat menggambarkan biaya yang sebenarnya dan akan memberikan sinyal kepada user mengenai nilai air melalui water pricing. Model sumberdaya air yang didasarkan pada water pricing adalah marginal cost pricing.

Mekanisme marginal cost pricing didasarkan pada prinsip ekonomi bahwa alokasi sumberdaya air yang optimal secara sosial, ketika manfaat sosial marjinal

Nonirigasi

PIrigasi/PNonirigasi

B

UB F

UA

BKP

A Irigasi

BKP=Batas Kemungkinan Produksi PIrigasi/PNonirigasi

N*


(47)

20

yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marjinal dicirikan oleh kurva permintaan terhadap air, sementara biaya sosial marjinal tanpa biaya lingkungan yang menggambarkan kurva pasokan air yang menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh user sebesar P* untuk memproduksi satu unit tambahan air sebesar Q*.

Sumber: Fauzi, 2004

Gambar 3. Alokasi Optimal berdasarkan Marginal Cost Pricing

Ketika terjadi eksternalitas misalnya terjadi erosi atau lingkungan sumberdaya air maka biaya marjinal atas sumberdaya air termasuk biaya pengguna (user cost) yang semula A menjadi B.Jadi untuk memproduksi satu unit tambahan air menjadi sebesar QL maka memerlukan biaya sebesar PL. Dinar et al.

(1997) menyatakan bahwa mekanisme marginal cost pricing memiliki beberapa kelebihan, antara lain, mekanisme ini secara teoretis paling efisien dan dapat menghindari underpriced (penilaian di bawah harga) dan penggunaan berlebihan (overuse). Selain itu, marginal cost pricing memiliki beberapa kelemahan, antara

Biaya Marjinal dengan Biaya Lingkunan

Biaya Marjinal tanpa Biaya Lingkungan

Manfaat Marjina l

Q (kuantitas) (Rp)

P

L

QL Q

* P

*

B


(48)

21

lain, aspek kesetaraan (equity), termasuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat mengakses sumberdaya air terutama pada musim kemarau ketika air yang tersedia lebih sedikit dan harganya meningkat.

2.4 Permintaan dan Penawaran Air

Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas ataupun kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi sektor pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi sektor domestik hal itu dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota. Untuk sektor industri, air merupakan salah satu input bagi proses produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi.

Dalam menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien agar dicapai alokasi yang optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisienkan sumberdaya air dengan cara alokasi. Dinar et al. (1987) mengemukakan bahwa ada empat kerangka mekanisme alokasi ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing, alokasi publik, water markets, dan user-based allocation.

Permintaan air di wilayah ini dapat dibagi dalam 2 kategori besar, yaitu sektor pertanian dan urban. Permintaan air urban terjadi akibat pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dan wilayah perkotaan ini


(49)

22

mengandalkan air dari sistem sungai yang ada sama seperti sektor pertanian. Pemukiman dan industri memberikan valuasi air lebih tinggi dari pada sektor pertanian sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi dengan sektor pertanian.

Misalkan, Da menggambarkan permintaan air sektor pertanian, Du permintaan air urban serta Dt merupakan total permintaan keduanya. Jika harga air diatur oleh pemerintah sebesar P, dan jumlah yang diminta sebanyak Wtd lebih

kecil dari pada yang ditawarkan Ws, terdapat kelebihan air yang ditawarkan.

Ketika permintaan air urban meningkat menjadi Du’, dan total permintaan menjadi Dt’, terlihat adanya kekurangan air pada saat jumlah yang diminta Wtd’

lebih besar dari pada yang ditawarkan Ws (Gambar 4.). Ketika harga ditetapkan

pemerintah sebesar P, harga tidak dapat merasionalisasi air yang tersedia pada berbagai variasi pengguna atau dengan kata lain harga tidak dapat merespons tekanan permintaan dan penawaran. Jika pemerintah meningkatkan harga air irigasi, beberapa metode yang rasional mengungkapkan akan terjadi kompetisi antar pengguna.

Sumber: Randall, 1987

Gambar 4. Permintaan dan Penawaran Air

HARGA AIR

0 P

Wt d

Dt’=Du+Da

Da

Du Du' S

JUMLAH AIR, W

Dt=Du+Da Ws W

t d


(50)

23

Permintaan air sektor pertanian sebesar Dt, permintaan urban Du’ dan penawaran dan permintaan agregat keduanya sebesar Dt’, jumlah air yang diminta sebesar Wd’, maka terdapat kelebihan air sebesar Ws-Wtd

.

Sumber: Randall, 1987

Gambar 5. Sistem Harga Dual Air

Ketika permintaan urban meningkat dari Du ke Du’, permintaan sektor pertanian tetap pada Da, maka permintaan keduanya menjadi Dt

diminta sebesar W

’, dan jumlah yang

t

’d, dan kekurangan air sebesar Wtd’ -Ws (Gambar 5.). Jika

pemerintah menetapkan air yang tersedia untuk urban sebesar Su, untuk sektor pertanian sebesar S-Su = Sa

Pada D

, dengan catatan bahwa kondisi ini merupakan keseimbangan.

u

dan Su, terdapat kekurangan air untuk pengguna urban sebesar Wtd” - Wts”(Gambar 6.), pada Da dan Sa terdapat kekurangan air untuk sektor

pertanian sebesar Wad (sama dengan (Was + Wad) ─ Wus’ lebih besar dari pada Sa

= S-Su. Jika pemerintah tidak mengijinkan Pa untuk naik, maka akan terjadi

HARGA AIR

0 Pa

Wtd' Wtd”

Dt'=Wu'+Da Dt" =Wu"+Da

Da Du”

Du’ S

Wu’ Wu” Pu

JUMLAH AIR, W


(51)

24

“black market” air irigasi, dan dapat dihindari dengan diijinkannya pengalihan antar user. Dari uraian di atas dapatlah dilihat bahwa alokasi sumberdaya air sangat kompleks dan rumit untuk dilakukan.

Sumber: Randall, 1987

Gambar 6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban

Keempat faktor yaitu kondisi Daerah Aliran Sungai, indeks kelangkaan air, kriteria alokasi sumberdaya air serta mekanisme alokasi sumberdaya air yang telah diuraikan di atas merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk model pengelolaan sumberdaya air. Kondisi suatu DAS perlu diketahui terlebih dahulu agar dapat mengindentifikasi keadaan sumberdaya air di wilayah tersebut dan menentukan keputusan yang terbaik dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut.

Kondisi Daerah Aliran Sungai aktual menggambarkan tahapan pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan

HARGA AIR

0 Pa

Wu s”

Ws

D'”=Wu s”+Da

Da

Du

"

Su St

Wu

s” Wud”

Pu

JUMLAH AIR, W

+Wa d”


(52)

25

finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada. Bila indeks kelangkaan air menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada. Setelah memahami kondisi yang ada di wilayah yang akan diteliti, konstruksi model pengelolaan sumberdaya air dilakukan berdasarkan faktor-faktor di atas sebagai bahan pertimbangan. Model yang dihasilkan akan benar-benar sesuai dengan gambaran wilayah tersebut, baik ketersediaan airnya maupun sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan yang dapat memenuhi kriteria yang telah dikemukakan di atas.

2.5 Penentuan Harga Air

Mekanisme pricing dan charging dapat dilakukan melalui volumetric pricing, output pricing, area pricing, tiered dan two part tariff pricing, serta water markets. Mekanisme pricing dan charging seringkali diistilahkan sebagai valuasi air, yaitu valuasi air dibedakan menurut sektor yaitu sektor pertanian dan nonpertanian. Dalam menghitung valuasi air yang digunakan sektor pertanian, pendekatan yang dilakukan menggunakan fungsi produksi sektor pertanian yaitu air diperlakukan sebagai input-nya. Valuasi untuk sektor nonpertanian meliputi permintaan air untuk rumah tangga, industri, air minum, pembangkit tenaga


(53)

26

listrik, pertambangan dan pabrik, serta rekreasi dan lingkungan. Terdapat dua cara penentuan valuasi air sektor nonpertanian, yaitu berdasarkan pasar dan nonpasar. Valuasi berdasarkan pasar karena air merupakan barang nilai tambah, sebagai salah satu usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya. Valuasi berdasarkan nonpasar karena air termasuk salah satu sumberdaya yang pengelolaannya cukup unik, air sulit diperlakukan sebagai barang yang diperdagangkan.

Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa penentuan harga air dan alokasinya merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat, yaitu untuk memperoleh suatu alokasi air yang optimal dilakukan melalui penentuan harga air. Penentuan harga air dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi pengguna (user) dan sisi penyalur atau pengelola.

Pengelola sumberdaya air dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pengelolaan secara publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pengelolaan secara komersial oleh suatu badan usaha. Kelompok pengelola ini sangat penting artinya karena mempunyai dampak yang berbeda secara ekonomi terutama terhadap pengguna. Pengelola publik tidak berorientasi pada profit karena investasi dan biaya ditanggung oleh pemerintah dan pengguna tidak dibebani biaya pengambilan air. Pengelola komersial akan memperhitungkan investasi dan semua biaya yang dikeluarkannya dan membebankannya pada pengguna. Perbedaan kelompok pengelola ini akan menghasilkan perbedaan pada penentuan harga air.

Selain pengelola, pengguna yang beragam dengan pandangan yang berbeda dalam memberikan valuasi terhadap sumberdaya air, memerlukan pendekatan dari berbagai bidang agar dapat dibangun suatu model yang


(54)

27

terintegrasi dan mencakup semua bidang yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya air. Pengguna sumberdaya air dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu yang memperlakukan sumberdaya air sebagai barang publik (sektor pertanian) dan sebagai barang ekonomi (sektor nonpertanian atau urban).

Penentuan harga air dari sisi pengguna, yaitu sumberdaya air diperlakukan sebagai input untuk penentuan harga air oleh pengelalola sumberdaya air dianggap sebagai output. Penentuan harga air oleh pengelola yang bersifat badan usaha dan kelompok pengguna sektor nonpertanian jauh lebih mudah dibandingkan dengan apabila penggunanya sektor pertanian. Sektor pertanian, selain jumlah penggunanya yang banyak, luasan lahan serta jarak dengan saluran induk sangat bervariasi merupakan kendala dalam penghitungan harga air.

Penetapan harga air bertujuan untuk mengembalikan baik biaya pengelolaan, infrastruktur, maupun penghematan penggunaan air per unit output yang dihasilkan. Kunci utama untuk pencapaian tujuan tersebut, yaitu merancang mekanisme penetapan harga yang efektif yang disesuaikan dengan kondisi setempat, serta membangun strategi agar mendapat tingkat pengumpulan dana setempat, serta membangun strategi agar mendapat tingkat pengumpulan dana yang tinggi.

Terdapat empat metode penetapan harga air, yaitu: (1) berdasarkan areal, (2) volume, (3) keseimbangan pasar, dan (4) full cost recovery. Metode pertama dan kedua serta kombinasi keduanya telah banyak digunakan dan dikembangkan di berbagai belahan dunia. Metode penetapan harga air di setiap wilayah akan berbeda, sesuai dengan kondisi wilayah, petani, pengelola, dan kebijakan pemerintah.


(55)

28

2.5.1 Penetapan Harga Air Berdasarkan Areal

Pembayaraan berdasarkan areal merupakan pembayaran tetap, berdasarkan pada luas areal yang diairi. Keterbatasan metode ini, biaya operasi dan pemeliharaan biasanya jarang diperhitungkan, dengan membagi total biaya operasi dan pemeliharaan dengan total luas areal yang diairi. Padahal, kedua biaya ini sebaiknya diperhitungkan agar petani lebih hemat dalam menggunakan air. Selain itu, penggunaan areal irigasi bervariasi dari waktu ke waktu dan dari musim ke musim. Luas areal irigasi yang digunakan selama musim basah biasanya lebih besar dibandingkan dengan selama musim kering. Luas pertanaman yang bervariasi ini dapat diatasi dengan memperkirakan luas setiap musim berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya.

Besarnya pembayaran yang tetap tanpa mempertimbangkan musim akan berimplikasi pada konsumsi air oleh petani, karena marginal cost setiap penambahan jumlah air per hektar sama dengan nol. Permintaan air biasanya lebih tinggi dibandingkan jika pembayaran sesuai dengan jumlah air yang digunakan, terutama petani yang berada dekat saluran induk. Keunggulan metode ini, yaitu cara penghitungannya sederhana, petani mudah memahaminya, harga ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan penetapan harga berdasarkan volume. Diasumsikan, bahwa (1) seluruh pengguna memenuhi kewajibannya, (2) besarnya pungutan per hektar, dan (3) didasarkan pada biaya langsung rata-rata, sehingga seluruh biaya langsung terbayar.

Metode ini tidak mendorong petani untuk mengurangi penggunaan air per hektar, tetapi karena implementasinya sederhana, metode ini telah banyak


(56)

29

diterapkan di berbagai negara. Misalnya, di Haryana (India), air irigasi dihargai US$2.50 per hektar (Cornish and Perry, 2003), di Pakistan, harganya $2 sampai $8 per hektar (Ahmad, 2002).

Penetapan harga berdasarkan areal, biasanya diterapkan di wilayah air tidak langka, tanaman tidak bervariasi, dan pemasangan meter sangat sulit atau biayanya tinggi. Metode ini akan jarang digunakan pada masa mendatang, kecuali jika memodifikasinya dengan mempertimbangkan klasifikasi areal berdasarkan jarak dengan saluran irigasi, musim, jenis tanaman, serta teknologi yang digunakan.

Sistem penetapan harga berdasarkan areal dan jenis tanaman, yang besar pungutan berdasarkan luas areal dan jenis tanaman yang ditanam. Harga airnya bervariasi antartanaman, yaitu harga setiap jenis tanaman ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Jika pemerintah menginginkan peningkatan efisiensi penggunaan air, jenis tanaman yang menggunakan air terbanyak seperti padi, harga per hektarnya lebih tinggi dibandingkan dengan palawija. Metode ini akan mendorong petani mengubah jenis tanaman dengan harga yang menggunakan air lebih sedikit sehingga harga air per hektarnya lebih kecil.

Sebaliknya, jika pemerintah menetapkan kebijakan harga pangan murah atau menginginkan produksi tanaman komersial (seperti padi dan tebu), harga air untuk jenis tanaman ini diatur lebih rendah dibandingkan jenis tanaman lainnya. Pada situasi seperti ini, diperlukan subsidi input, antara lain, air irigasi, agar produksi pangan meningkat, di lain pihak menyebabkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan.


(57)

30

Dalam metode kombinasi antara areal dan metode irigasi, pembayaran air biasanya merefleksikan perbedaan biaya penyaluran di antara metode irigasi yang berbeda. Sebagai contoh, biaya pada sistem irigasi gravitasi lebih rendah dibandingkan dengan biaya irigasi pompa. Keunggulan irigasi pompa jumlah air yang disalurkan terukur dan penyalurannya lebih mudah dibandingkan pada sistem irigasi gravitasi. Jadi, pembayaran pada sistem irigasi pompa lebih tinggi karena biaya irigasi serta pendapatan bersihnya pada umumnya lebih tinggi.

Beberapa negara menerapkan metode pembayaran berdasarkan kombinasi areal dengan musim, yaitu harga yang diberlakukan pada musim kering lebih tinggi karena air langka, dan lebih rendah pada musim basah ketika air berlimpah. Jika harga ditetapkan tinggi pada musim kering, petani akan membatasi luas areal pada musim tersebut. Di Perancis, struktur penetapan harga didasarkan pada perbedaan biaya antara tinggi rendahnya air yang digunakan. Pada musim panas, harga air merefleksikan marginal cost jangka panjang air yang dipasok. Biaya marjinal jangka panjang biasanya merupakan biaya ekspansi pada masa mendatang. Dalam kenyataannya, sulit sekali mengestimasi biaya proyek perluasan kapasitas pasokan (McNeill and Tate 1991). Selama musim basah, Perancis hanya memasukkan biaya operasi. Struktur penetapan harga ini dapat membantu pengurangan penggunaan air selama musim panas ketika permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan pasokan (Tiwari and Dinar 2003; Johansson, 2000).

Penetapan harga yang didasarkan pada kombinasi areal dan teknologi, dengan menyeleksi teknologi irigasi yang digunakan berdasarkan teori yang ide dasarnya mirip dengan penetapan harga berdasarkan kombinasi areal dan jenis


(58)

31

tanaman, yaitu petani menggunakan teknologi penyimpanan air agar membayar biaya per hektarnya mejadi lebih rendah. Sebagai contoh irigasi drip dan sprinkler, dimana pengendalian airnya lebih baik dan output yang dihasilkan per unit air yang disalurkan lebih besar dibandingkan irigasi dengan pengendalian aliran. Pembayaran per hektar teknologi pengendalian air yang lebih tinggi akan mendorong petani mengganti dengan teknologi yang pembayaran per hektarnya lebih rendah.

Jika pembayaran berdasarkan areal dapat dibuat dengan merefleksikan perbedaan penggunaan air oleh musim, jenis tanaman dan teknologi irigasi, penetapan harga berdasarkan areal lebih menguntungkan dibandingkan dengan penetapan harga berdasarkan volume. Jika musim, jenis tanaman dan teknologi irigasi terkendali, maka penggunaan air per hektarnya menjadi sedikit.

Masalah yang mungkin timbul, petani yang berada dekat dengan saluran induk cenderung mengairi lahannya lebih banyak ketika pembayaran hanya berdasarkan areal. Jika pengelola dapat menjamin ketepatan jadwal penyaluran dan jumlah air yang dibutuhkan, petani akan mengalami kerugian apabila penggunaannya berlebih dan penggunaannya tidak teratur.

2.5.2 Penetapan Harga Air Berdasarkan Volume

Penetapan harga air berdasarkan volume, adalah pembayaran didasarkan pada jumlah air yang disalurkan. Aturan penetapan harga ekonomi yang optimal jika ditentukan sama dengan biaya marjinal air yang disalurkan memerlukan pengukuran air yang akurat melalui meter.

Keunggulan metode ini, mendorong petani membatasi penggunaan airnya, serta lebih mudah dipahami oleh pengguna untuk membayar sejumlah air yang


(59)

32

disalurkan ke lahan petani. Keterbatasan metode ini, (1) biaya implementasi lebih tinggi karena dibutuhkan alat ukur serta kejujuran dalam membaca dan melaporkan jumlah air yang digunakan dan (2) penetapan harga, biaya marjinal bukan merupakan pengembalian biaya seluruhnya, yaitu menurunnya biaya rata-rata (sebagai contoh sistem kanal yang besar) akibat pembangunan infrastruktur. Dengan demikian biaya marjinal proyek akan lebih rendah dari biaya rata-rata, sehingga penetapan harga berdasarkan biaya marjinal tidak akan menutupi seluruh

biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya, pada irigasi pompa dengan

menggunakan air tanah, biaya proyek marjinal lebih tinggi dari pada biaya rata-rata proyek, kecuali jika biaya marjinal termasuk biaya marjinal pengguna. Pada beberapa proyek air tanah, penetapan harga biaya marjinal mengakibatkan penarikan harga air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan usahatani. Sebagai contoh, dalam proyek di Gujarat India, proporsi pembayaran air sebesar 37 persen dari pendapatan usaha tani bersih.

2.5.3 Penetapan Harga Air Berdasarkan Blok

Penetapan harga air berdasarkan blok akan bervariasi ketika ditetapkan waktu dan volume penggunaan air (sebagai contoh 5 000 m3

Menurut Easter et al. (1999), di Israel dan Botswana digunakan metode ini. Jumlah air pada blok pertama seringkali mempertimbangkan jumlah

per hektar per musim). Jika yang menjadi pertimbangan pembayaran air yang lebih tinggi, maka pembayaran peningkatan blok dapat digunakan. Pembayaran pada blok pertama lebih rendah dari biaya pemeliharaan dan operasi. Blok kedua dan selanjutnya meningkat lebih tinggi dari biaya pemeliharaan dan operasi yang ditanggung dan merefleksikan biaya marjinal operasi.


(60)

33

kebutuhan dasar yang mendukung keluarga petani. Metode ini memperhatikan isu keadilan. Petani membayar lebih rendah pada blok pertama dan lebih tinggi jika pemakaian lebih banyak. Di Botawana harga pada blok kedua sama dengan pada blok pertama.

Pengoperasian metode ini mirip dengan kuota, yang merupakan suatu kasus ekstrim dari penetapan harga peningkatan blok. Petani tetap bisa mendapatkan tambahan air dari pengelola tetapi dengan harga lebih tinggi. Botswana menetapkan blok pertama sebagai kuota ketika petani mengonsumsi melebihi kuotanya, petani membayar harganya dua kali lipat. Di Israel, kuota mencakup tiga blok dan membayar sesuai dengan kontrak dengan pengelola air.

Jika perbedaan harga yang besar antar blok, petani akan mencoba menggunakan air tidak melebihi blok pertama. Keterbatasan penetapan harga berdasarkan blok, tidak mudah memutuskan tingkat harga tiap-tiap blok atau volume tiap-tiap blok (sebagai contoh harga terendah jika penggunaan air kurang dari 5 000 m3 air per musim per hektar atau di atasnya misalnya 6 000 m3

2.5.4 Tarif Dua Bagian

). Jika batas maksimum blok pertama terlalu besar, penerimaan tidak dapat menutupi biaya pemeliharaan dan operasi. Metode ini sebaiknya digunakan ketika air langka, pendapatan usaha tani rendah, dan pembayaran air relatif tinggi pada pendapatan bersih usaha tani.

Penetapan tarif dua bagian merupakan kombinasi penetapan harga berdasarkan harga dan biaya administrasi (kadang-kadang didasarkan pada ukuran areal irigasi). Metode penetapan harga blok yang telah digambarkan sebelumnya


(1)

RMB1AM(T) ar RMB report AM tahun t ~juta rp RMB1IN(T) var RMB report IN tahun t ~juta rp RMB1AD(T) var RMB report AD tahun t ~juta rp T1RMB(T) var total RMB sektor report tahun t ~juta rp; RMB1LT.L(T)= SUM{W1,(FEELT(W1)+ BT1LT.L(T))}; RMB1IR.L(T)= SUM{W, (FEEIR(W) + BT1IR.L(T))}; RMB1AM.L(T)= SUM{W, (FEEAM(W) + BT1AM.L(T))}; RMB1IN.L(T)= SUM{W, (FEEIN(W) + BT1IN.L(T))}; RMB1AD.L(T)= SUM{W2,(FEEAD(W2)+ BT1AD.L(T))}; T1RMB.L(T) =

(RMB1LT.L(T)+RMB1IR.L(T)+RMB1AM.L(T)+RMB1IN.L(T)+RMB1AD.L(T ));

PARAMETER RMBREPORT(RMB,T);

RMBREPORT("RMB1LT",T) = RMB1LT.L(T); RMBREPORT("RMB1IR",T) = RMB1IR.L(T); RMBREPORT("RMB1AM",T) = RMB1AM.L(T); RMBREPORT("RMB1IN",T) = RMB1IN.L(T); RMBREPORT("RMB1AD",T) = RMB1AD.L(T); RMBREPORT("T1RMB",T) = T1RMB.L(T); *OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION RMBREPORT:2:1:1;

DISPLAY RMBREPORT


(2)

* J. VOL X PER SEKTOR REPORT * *************************************** SET XSEKT1/X1LT/;

SET XSEKT2/X1AD/;

SET XSEKT /X1IR,X1AM,X1IN,X1AD/; VARIABLE

X1LT(W1,T) var vol X untuk LT di wil W ~juta m3 tahun t X1IR(W,T) var vol X untuk IR di wil W ~juta m3 tahun t X1AM(W,T) var vol X untuk AM di wil W ~juta m3 tahun t X1IN(W,T) var vol X untuk IN di wil W ~juta m3 tahun t X1AD(W2,T) var vol X untuk AD di wil TB ~juta m3 tahun t; X1LT.L(W1,T) = XLT.L("JU",T);

X1IR.L("TT",T) = XIR1.L("TT",T); X1AM.L("TT",T) = XAM1.L("TT",T); X1IN.L("TT",T) = XIN1.L("TT",T); X1IR.L("TU",T) = XIR1.L("TU",T); X1AM.L("TU",T) = XAM1.L("TU",T); X1IN.L("TU",T) = XIN1.L("TU",T); X1IR.L("TB",T) = XIR1.L("TB",T); X1AM.L("TB",T) = XAM1.L("TB",T); X1IN.L("TB",T) = XIN1.L("TB",T); X1AD.L(W2,T) = XAD1.L("TB",T); PARAMETER


(3)

XS2REPORT(XSEKT2,W2,T) XSREPORT (XSEKT,W,T);

XS1REPORT("X1LT","JU",T) = X1LT.L("JU",T); XSREPORT("X1IR","TT",T) = X1IR.L("TT",T); XSREPORT("X1AM","TT",T) = X1AM.L("TT",T); XSREPORT("X1IN","TT",T) = X1IN.L("TT",T); XSREPORT("X1IR","TU",T) = X1IR.L("TU",T); XSREPORT("X1AM","TU",T) = X1AM.L("TU",T); XSREPORT("X1IN","TU",T) = X1IN.L("TU",T); XSREPORT("X1IR","TB",T) = X1IR.L("TB",T); XSREPORT("X1AM","TB",T) = X1AM.L("TB",T); XSREPORT("X1IN","TB",T) = X1IN.L("TB",T); XS2REPORT("X1AD","TB",T) = X1AD.L("TB",T); OPTION XS1REPORT:2;

OPTION XS2REPORT:2; OPTION XSREPORT:2; DISPLAY XS1REPORT; DISPLAY XS2REPORT; DISPLAY XSREPORT;

*************************************** * K. TOTAL TX PER SEKTOR REPORT * *************************************** SET RT/TX1LT,TX1IR,TX1AM,TX1IN,TX1AD/; VARIABLE


(4)

TX1LT(T) var total vol X untuk LT di wil W ~juta m3 tahun t TX1IR(T) var total vol X untuk IR di wil W ~juta m3 tahun t TX1AM(T) var total vol X untuk AM di wil W ~juta m3 tahun t TX1IN(T) var total vol X untuk IN di wil W ~juta m3 tahun t TX1AD(T) var total vol X untuk AD di wil TB ~juta m3 tahun t; TX1LT.L(T) = (X1LT.L("JU",T));

TX1IR.L(T) = (X1IR.L("TT",T)+X1IR.L("TU",T)+X1IR.L("TB",T)); TX1AM.L(T) = (X1AM.L("TT",T)+X1AM.L("TU",T)+X1AM.L("TB",T)); TX1IN.L(T) = (X1IN.L("TT",T)+X1IN.L("TU",T)+X1IN.L("TB",T)); TX1AD.L(T) = (X1AD.L("TB",T));

PARAMETER TXREPORT(RT,T);

TXREPORT("TX1LT",T) = TX1LT.L(T); TXREPORT("TX1IR",T) = TX1IR.L(T); TXREPORT("TX1AM",T) = TX1AM.L(T); TXREPORT("TX1IN",T) = TX1IN.L(T); TXREPORT("TX1AD",T) = TX1AD.L(T); *OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION TXREPORT:2:1:1;

DISPLAY TXREPORT;

************************************ * L.IN OUT STOK WADUK , LAUT * ************************************ SET XUS /TOTX1/;


(5)

SET INFL /X1INF/; SET LAUT /X1LAUT/; SET STWDK/ST1OK/; VARIABLE

TOTX1 total air termanfaatkan sektor-sektor ~juta m3 X1INF inflow ke waduk dari citarum hulu ~juta m3 ST1OK stok air diwaduk ~juta m3 X1LAUT air buangan melalui s citarum ke laut ~juta m3; TOTX1.L(T) = TOTX.L(T) ;

X1INF.L(T) = XIFW(T); X1LAUT.L(T) = XLAUT.L(T); ST1OK.L(T) = STOK.L(T); PARAMETER

XUSREPORT (XUS,T) INFLREPORT (INFL,T) LAUTREPORT (LAUT,T) STWDREPORT (STWDK,T);

XUSREPORT ("TOTX1",T) = TOTX1.L(T) ; INFLREPORT("X1INF",T) = X1INF.L(T) ; LAUTREPORT("X1LAUT",T) = X1LAUT.L(T); STWDREPORT("ST1OK",T) = ST1OK.L(T) ; OPTION XUSREPORT:2;

DISPLAY XUSREPORT; OPTION INFLREPORT:2;


(6)

DISPLAY INFLREPORT; OPTION LAUTREPORT:2; DISPLAY LAUTREPORT; OPTION STWDREPORT:2; DISPLAY STWDREPORT; **************