IV. PEWARISAN KETAHANAN CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA
YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum
ABSTRAK
Antraknosa merupakan salah satu penyakit cabai paling utama di Indonesia. Colletotrichum acutatum
dilaporkan merupakan spesies predominan pada cabai di Asia, termasuk di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kendali
genetik pewarisan sifat ketahanan cabai Capsicum annuum L. terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Set populasi dibentuk dari
persilangan antara tetua tahan C-15 dan tetua rentan C-2 dan C-19. Dua puluh buah cabai yang sudah tua tetapi masih hijau dari masing-masing tanaman
diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027. Kejadian penyakit diamati lima hari setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal. Gen pengendali
ketahanan adalah resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial. Aksi gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa adalah aditif dan dominan,
ragam aditif lebih besar dibandingkan ragam dominan. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong sedang. Seleksi
untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent
SSD
Kata kunci: pewarisan, antraknosa, ketahanan, cabai, Colletotrichum acutatum
PENDAHULUAN Latar Belakang
Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada cabai dilaporkan merupakan salah satu penyakit yang sangat merusak pada cabai,
karena dapat menyerang buah masih hijau maupun masak. Varietas yang tahan terhadap antraknosa belum banyak dikembangkan. Ada tiga alasan utama
kesulitan dalam merakit varietas tahan terhadap antraknosa yaitu kesulitan dalam metode skrening yang digunakan, tidak ada sumber gen ketahanan terhadap
antraknosa dan informasi tentang pewarisan yang masih beragam Yoon 2003. Metode mikro injeksi telah dikembangkan sebagai metode inokulasi dan
beberapa sumber genetik ketahanan terhadap antraknosa telah diidentifikasi menggunakan metode inokulasi tersebut AVRDC 1998. Gen-gen pengendali
52 sifat ketahanan tersebut dapat ditemukan pada berbagai spesies cabai seperti
Capsicum chinense, C. Baccatum, C. tovarii, C. frutescence, dan C. annuum
Sastrosumarjo 2003. AVRDC 1998 melaporkan bahwa persilangan interspesifik antara C. annuum dan C. baccatum serta C. annuum dan C. chinense
telah dilakukan menggunakan metode penyelamatan embrio dalam rangka perakitan varietas tahan terhadap penyakit antraknosa. Akan tetapi pewarisan sifat
menggunakan populasi hasil persilangan interspesifik antara tetua tahan dan tetua rentan secara konvensional sering tidak memuaskan sebagai akibat kendala
berpasangan pada saat meiosis F1. Analisis pewarisan studi kendali genetik dari suatu karakter sangat
penting dalam program pemuliaan, khususnya pemuliaan ketahanan terhadap suatu penyakit. Meskipun hasilnya masih bervariasi, hingga saat ini beberapa
penelitian tentang gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa telah dilakukan. Cheema 1984 menyatakan bahwa ketahanan terhadap antraknosa adalah bersifat
aditif dan resesif. Amilin et al. 1995 menyatakan bahwa sifat ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides pada
persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. frustescens adalah dikendalikan oleh satu gen dengan aksi gen resesif. Hal yang sama dilaporkan
oleh Pakdeevaraporn et al. 2005, bahwa persilangan interspesifik antara C. annuum
dengan C. chinense PBC 932 mengindikasikan ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh satu gen resesif. Sementara menurut Park et al.
1990 bahwa gen ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides
bersifat dominan parsial dan poligenik; Wusani 2004 menyatakan bahwa ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen
dominan dan bersifat poligenik; Sanjaya, Herison dan Suryotomo 2001 menyatakan bahwa pewarisan ketahanan terhadap antraknosa C. gloesporioides
pada persilangan C. annuum dan C. chinense bersifat aditif dan poligenik dengan tujuh gen yang terlibat dalam pengendalian karakter ketahanan tersebut.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa varietas yang sama dapat menampakkan derajat ketahanan yang berbeda Cheema et al. 1984; Park et al.
1990. Di lapang, kultivar cabai yang dibudidayakan menunjukkan ekspresi yang selalu berubah dan tingkat resistensi parsial yang tidak stabil Park 2005.
53 Berdasarkan hal tersebut, maka studi tentang pewarisan ketahanan cabai terhadap
penyakit antraknosa masih perlu dilakukan, guna menentukan strategi program pemuliaan yang efektif dan efisien untuk memperoleh varietas cabai berdaya hasil
tinggi tahan penyakit antraknosa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kendali genetik pewarisan sifat ketahanan cabai C. annuum L. terhadap antraknosa yang disebabkan oleh
C. acutatum
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2006 sampai Mei 2007. Pembentukan populasi dan penanaman tujuh populasi cabai dilakukan di
Cibeureum, Darmaga Bogor. Kegiatan pemurnian, perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan dilakukan di Laboratorium Klinik Tanaman Departemen
Proteksi Tanaman IPB. Kegiatan skrining ketahanan cabai terhadap C. acutatum dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB.
Metode Penelitian Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah C-15 sebagai tetua tahan, C-2 dan C-19 sebagai tetua rentan berdasarkan percobaan pada bab III. Isolat yang
digunakan adalah biakan murni C. acutatum PYK 04 dan BGR 027, koleksi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB.
Metode
Materi kegenetikaan yang dibentuk adalah set populasi atau generasi hasil persilangan antara tetua tahan P
1
dan tetua rentan P
2
mencakup turunan pertama F
1
, turunan pertama resiprokal F
1R
, turunan kedua F
2
, silang balik ke
54 tetua tahan BC
P1
, silang balik ke tetua rentan BC
P2
mengikuti skema persilangan pada Gambar 14. Set populasi tersebut ditanam sebanyak masing-
masing 10 tanaman P
1
, P
2
, dan F
1
, masing-masing 20 tanaman BC
P1
dan BC
P2
, serta 200 tanaman F
2
. Dua puluh buah cabai yang sudah tua tetapi masih hijau dari masing-masing tanaman diinokulasi dengan inokulum C. acutatum untuk
mengetahui ada tidaknya efek maternal, aksi gen pengendali, jumlah gen pengendali, nilai duga heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas. Metode
inokulasi dan pengamatan yang dilakukan sama dengan percobaan pada bab III. Total buah yang diinokulasi adalah 5 400 buah.
Gambar 14. Skema Persilangan antara Genotipe Tahan P
1
dan Genotipe Rentan P
2
Penyakit Antraknosa dalam Pembuatan Mapping Population
Analisis Data 1. Efek maternal
Ada tidaknya efek maternal yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa pada tanaman cabai ditentukan berdasarkan uji beda nilai tengah uji t
pada taraf 5 terhadap nilai tengah F
1
dibandingkan dengan F
1
resiprokalnya. Uji t menurut Steel dan Torrie 1981 adalah sebagai berikut:
t =
R F
R F
F F
R F
F
n S
n S
X X
1 2
1 1
2 1
1 1
+ −
Keterangan :
R F
F
X X
1 1
, = nilai tengah populasi F
1
dan F
1R
2 1
2 1
,
R F
F
S S
= ragam populasi F
1
dan F
1R
n
F1
, n
F1R
= jumlah individu dalam populasi F
1
dan F
1R
P
1
P
2
X
F
1
P
2
X P
1
X
F
2
BC
P2
BC
P1
P
2
P
1
X
F
1R
⊗
♀ ♀
♂ ♂
55 Jika kedua nilai tengah berbeda nyata, maka berarti ada efek maternal
dalam pewarisan sifat yang ditelaah. Jika ragam populasi F
1
dan F
1R
juga homogen, maka populasi kedua famili tersebut dapat digabungkan dalam analisis
selanjutnya. Kehomogenan ragam diuji dengan uji F Steel dan Torrie, 1981. F
hit
= S
2 besar
S
2 kecil
dibandingkan dengan nilai F
tabel 0.025, n-1
. Bila F
hit
F
tab
maka ragam kedua populasi adalah homogen.
2. Derajat dominansi
Derajat dominansi dihitung untuk menduga aksi gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa pada cabai. Derajat dominansi dihitung
berdasarkan rumus pendugaan potensi rasio hp yang dikemukakan oleh Petr dan Frey 1966 :
F1 - MP hp = ----------
HP –
MP Keterangan
: hp
= potensi
rasio F1 =
rata-rata nilai F1 HP =
rata-rata nilai tetua tahan MP =
nilai tengan kedua tetua Berdasarkan nilai potensi rasio, derajat dominansi diklasifikasikan sebagai
berikut: hp
= :
tidak ada
dominansi hp =
1 atau hp = -1 : dominan atau resesif penuh
0 hp 1 : dominan parsial
-1 hp 0 : resesif parsial
hp 1 atau hp -1 : overdominansi
3. Pendugaan faktor efektif
Jumlah faktor efektif pengendali ketahanan diduga berdasarkan pada sebaran frekuensi populasi F
2
. Frekuensi F
2
diuji apakah mengikuti sebaran normal atau tidak. Uji normalitas sebaran frekuensi F
2
dilakukan dengan menggunakan metode Shapiro dan Wilk 1965.
Jika sebaran frekuensi F
2
membentuk sebaran terusan satu puncak dan menyebar normal, maka sifat yang ditelaah dikendalikan oleh banyak gen minor
poligenik. Banyaknya pasang alel pengendali karakter secara sederhana dapat
56 ditentukan dengan rumus P = 2n + 1, akan tetapi rumus ini hanya dapat
digunakan apabila banyaknya kelas fenotipe dalam populasi bersegregasi F
2
dapat diamati dengan baik. Jika banyaknya kelas fenotipe tidak dapat diamati dengan
baik, maka disarankan menggunakan perhitungan pendugaan jumlah gen dengan cara Lande 1981, sebagai berikut:
P
1
- P
2 2
n =
-------------------------------- 82V
F2
- V
BCP1
+ V
BCP2
Keterangan : n
= jumlah faktor efektif gen pengendali P
1
= rata-rata
P
1
P
2
= rata-rata
P
2
V
F2
= ragam populasi
F
2
V
BCP1
= ragam populasi BC
P1
V
BCP2
= ragam populasi BC
P2
Asumsi yang perlu diperhatikan dalam menggunakan rumus faktor efektif di atas adalah: 1 tidak ada efek lingkungan, 2 tidak ada efek dominansi antar
alel, 3 tidak ada efek epistasis, 4 untuk semua lokus, gen memberikan efek yang sama dan bersifat aditif, 5 tidak ada pautan gen, dan 6 tetua dalam keadaan
homozigot, F
1
dalam keadaan heterozigot. Jika rumus faktor efektif tersebut tidak mungkin digunakan sehubungan dengan terbatasnya pemenuhan asumsi yang
bersangkutan, maka menurut Mather dan Jinks 1982 untuk menduga banyaknya faktor efektif pengendali sifat kuantitatif dapat ditempuh dengan rumus sebagai
berikut: P
1
- P
2 2
k =
-------------------------------- 4 H
Keterangan : H
= 4V
BCP1
+ V
BCP2
-V
F2
-V
E
Warner 1952 n
= jumlah faktor efektif gen pengendali P
1
= rata-rata
P
1
P
2
= rata-rata
P
2
V
F2
= ragam populasi
F
2
V
E
= ragam
lingkungan Dalam menafsirkan penerapan rumus ini, untuk menduga banyaknya
faktor efektif sebagai penyumbang ragam kuantitatif, haruslah diartikan sebagai
57 jumlah minimal faktor efektif yang ikut serta dalam pengendalian suatu sifat
kuantitatif dan bukannya merupakan jumlah total faktor efektif Mather dan Jinks 1982.
Tabel 13. Nisbah Fenotipik Frekuensi Karakter Resistensi Tanaman terhadap Penyakit yang Dikendalikan oleh Gen Mayor dalam Populasi
Bersegregasi F
2
Burn 1976; Griffiths et al. 1996 Tipe Resistensi
Resisten R
Resisten sedang
MR Rentan
sedang MS
Rentan S
1. Resistensi dikendalikan 1 pasang gen a. Dominan
penuh 3
- -
1 b. Resesif
1 -
- 3
2. Resistensi dikendalikan 2 pasang gen a. Dominan penuh pada kedua
lokus A dan B 9 3 3 1
b. Resesif epistasis
aa epistasis terhadap B dan b 9 3 - 4
c. Dominan epistatis
A epistasis terhadap B dan b 12 - 3 1
d. Dominan dan resesif epistasis A epistasis terhadap B dan b; bb
epistasis terhadap A dan a 13 - - 3
e. Duplikat resesif
epistasis aa epistasis ke B dan b; bb
epistasis ke A dan a 9 - - 7
f. Duplikat dominan
epistatis A epistasis ke B dan b; B
epistasis ke A dan a 15 - - 1
g. Interaksi duplikat
9 6
- 1
h. Interaksi komplementer
9 -
- 7
i. Interaksi kompleks
10 3
- 3
3. Resistensi dikendalikan 3 pasang gen Interaksi epistasis : A
37 -
- 27
B 45
- -
19 C
55 -
- 9
D 27
9 9
19 Sebaliknya, jika tidak mengikuti sebaran normal, maka kemungkinan ada
peran gen mayor yang mengendalikan sifat tersebut. Untuk mengetahui jumlah gen mayor pengendali ketahanan terhadap antraknosa pada cabai maka sebaran
58 frekuensi tersebut dibandingkan dengan nisbah tertentu dengan menggunakan uji
Chi kuadrat χ
2
. Beberapa nisbah fenotipik yang ditemukan dalam penelitian pewarisan ketahanan terhadap penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor pada
berbagai tanaman adalah tertera pada Tabel 13. Uji Chi kuadrat
χ
2
menurut Strickberger 1976 adalah sebagai berikut: χ
2
= Σ [|o
i
– e
i
|-12]
2
e bila derajat bebas =1 χ
2
= Σ [o
i
– e
i 2
e] bila derajat bebas 1
Keterangan : o
i
= nilai pengamatan populasi ke-i
e
i
= nilai harapan populasi ke-i
½ =
koreksi Yates
Jika nilai χ
2
hasil penghitungan lebih kecil daripada χ
2
tabel, maka sebaran populasi F
2
mengikuti nisbah yang diharapkan. 4. Pendugaan komponen genetik
Analisis rata-rata generasi dilakukan untuk menentukan model genetik yang paling sesuai menggambarkan hubungan rata-rata generasi, menggunakan
uji skala gabungan joint scaling test Mather dan Jink 1982. Ada enam komponen genetik dalam suatu model lengkap digenik, yaitu pengaruh rata-rata
[m], jumlah pengaruh aditif [d], jumlah pengaruh dominan [h], jumlah pengaruh interaksi aditif x aditif [i], jumlah pengaruh interaksi aditif x dominan [j] dan
jumlah pengaruh interaksi dominan x dominan [l]. Model genetik yang diuji adalah kombinasi dari keenam komponen genetik tersebut.
Dengan enam famili, maka ada maksimum delapan model genetik yang dapat diuji, yang digolongkan dalam: 1 model dua komponen genetik, yaitu
model m[d], 2 model tiga komponen, yaitu m[d][h], yang merupakan model aditif–dominan, 3 model empat komponen, yang terdiri atas m[d][h][i],
m[d][h][j] dan m[d][h][l], dan model lima komponen, yang terdiri atas m[d][h][i][j], m[d][h][i][l], dan m[d][h][j][l]. Sedangkan model genetik lengkap
enam komponen tidak dapat diuji. Pengujian dilakukan secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat dan
lima komponen genetik. Model dianggap paling sesuai jika nilai χ
2 hitung
59 menunjukkan nilai terkecil, dan lebih kecil dari
χ
2 tabel
. Apabila model telah menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan m[d][h], maka pengujian
tidak dilanjutkan ke model selanjutnya karena dianggap tidak ada interaksi non- alelik.
Berdasarkan model genetik yang paling sesuai maka dapat diduga besarnya nilai komponen genetik tersebut beserta dengan galat bakunya. Dengan
uji t maka selanjutnya dapat ditentukan nyata tidaknya peran komponen genetik tersebut Singh dan Chaudhary 1979; Mather dan Jink 1982, dengan
menggunakan pembanding t
tab0.05,~
= 1.96. t
hit
= [d]SE
[d]
dengan [d] adalah komponen genetik, dan SE
[d]
adalah galat bakunya. Prosedur uji skala gabungan menurut Mather dan Jink 1982; Singh dan
Chaudhary 1979 adalah dengan menyatakan nilai rata-rata variabel yang diamati pada setiap famili ke dalam bentuk persamaan komponen genetik dan
pembobotnya. Koefisien komponen genetik dalam uji skala gabungan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Koefisien Komponen Genetik dalam Uji Skala Gabungan
Famili Bobot m [d] [h] [i] [j] [l] Rata-rata
P
1
1SE
P1
1 1
1
1
P P
2
1SE
P2
1 -1
1
2
P F
1
1SE
F1
1 1
1
1
F F
2
1SE
F2
1 12
14
2
F BC
P1
1SE
BCP1
1 12 12 14 14 14
1 P
BC BC
P2
1SE
BCP2
1 -12 12
14 -14
14
2 P
BC Dalam pengujian, terlebih dahulu dilakukan pengujian kesesuaian model
aditif-dominan. Tersedia enam persamaan untuk menduga tiga komponen. Keenam persamaan digabungkan untuk memperoleh tiga persamaan, dengan cara:
1 masing-masing persamaan dikalikan dengan koefisien m dan pembobotnya, kemudian dijumlahkan; 2 masing-masing persamaan dikalikan dengan koefisien
[d] dan bobotnya, kemudian dijumlahkan; dan 3 masing-masing persamaan
60 dikalikan dengan koefisien [h] dan bobotnya, kemudian dijumlahkan. Dengan
demikian diperoleh tiga persamaan sebagai berikut: a
1
m + b
1
[d] + c
1
[h] = y
1
a
2
m + b
2
[d] + c
2
[h] = y
2
a
3
m + b
3
[d] + c
3
[h] = y
3
Ketiga persamaan tersebut dapat ditulis dalam bentuk matriks sebagai berikut:
⎥ ⎥
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎢ ⎢
⎣ ⎡
= ⎥
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎢ ⎣
⎡ ⎥
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎢ ⎣
⎡
3 2
1 3
3 3
2 2
2 1
1 1
] [
] [
y y
y h
d m
c b
a c
b a
c b
a → M = J
-1
J M S
Berdasarkan nilai m, [d], dan [h] yang diperoleh, maka nilai harapan dari rata-rata pengamatan masing-masing generasi dapat dihitung. Kesesuaian antara nilai
pengamatan dan nilai harapan diuji dengan Chi-kuadrat, dengan derajat bebas db 6 – 3 = 3.
Apabila nilai
χ
2 hitung
lebih kecil dari nilai χ
2 tabel
, maka aksi gen yang berperan dalam mengendalikan sifat yang ditelaah adalah bersifat aditif-dominan.
Apabila aksi gen tidak memenuhi model aditif-dominan, maka berarti ada interaksi gen non-alelik. Untuk mengetahui model genetik epistasis yang paling
sesuai dilakukan pengujian model dengan menggunakan model genetik dengan empat atau lima komponen. Prosedur pengujiannya sama seperti pada pengujian
model untuk tiga komponen.
5. Pendugaan nilai heritabilitas
Heritabilitas arti luas, dihitung berdasarkan rumus Allard 1960 : V
F2
- V
F1
+ V
P1
+ V
P2
3 h
2 bs
= ------------------------------- V
F2
Keterangan : h
2 bs
= heritabilitas arti luas
V
P1
= ragam populasi P
1
V
P2
= ragam populasi P
2
V
F1
= ragam populasi F
1
V
F2
= ragam populasi
F
2
61 Heritabilitas arti sempit, dihitung berdasarkan rumus Warner 1952 :
2V
F2
- V
BCP1
+ V
BCP2
h
2 ns
= ----------------------------- V
F2
Keterangan :
h
2 ns
= heritabilitas arti
sempit V
BCP1
= ragam populasi BC
P1
V
BCP2
= ragam populasi BC
P2
V
F2
= ragam populasi
F
2
Nilai duga heritabilitas digolongkan rendah jika h
2
0.2, sedang jika 0.2 ≤ h
2
≤ 0.5 dan tinggi jika h
2
0.5 Halloran et al., 1979.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Persilangan C-15 x C-2
Sebaran Frekuensi Populasi
Berdasarkan skor ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04, sebaran frekuensi kedua tetua tidak
tumpang tindih dan terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya. P1 adalah tetua yang memiliki kriteria tahan hingga sangat tahan, sedangkan P
2
adalah tetua yang memiliki kriteria rentan hingga sangat rentan. Sebaran frekuensi populasi F
1
dan F
1R
memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi BC
P1
mengarah pada tahan, populasi BC
P2
mengarah pada rentan dan F
2
memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan Tabel 15.
Tabel 15. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-15 x C-2 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04
Jumlah Tanaman Skor Kriteria
P
1
P
2
F
1
F
1R
BC
P1
BC
P2
F
2
1 Sangat
Tahan 4 0 0 0 2 0 9 2
Tahan 6 0 2 2 7 1 25
3 Moderat
0 0 5 9 9 3 74 4
Rentan 0 8 7 3 2 12 77
5 Sangat
Rentan 0 2 0 0 0 4 16
Rata-rata 1.60 4.20 3.36 3.08 2.55 3.90 3.30
σ
2
0.27 0.18 0.55 0.38 0.68 0.59 0.84 σ
0.52 0.42 0.74 0.62 0.83 0.77 0.82 KK
32 10
22 20
32 20
28
62 Tabel 16. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-15 x C-2
Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat BGR 027
Jumlah Tanaman Skor Kriteria
P
1
P
2
F
1
F
1R
BC
P1
BC
P2
F
2
1 Sangat
Tahan 3 0 0 0 1 1 9 2
Tahan 1 0 2 1 2 2 22
3 Moderat
7 2 3 3 7 6 51 4
Rentan 0 6 5 4 9 7 42
5 Sangat
Rentan 0 2 0 3 1 4 19 Rata-rata
2.36 3.92 3.30 3.58 3.42 3.55 3.28 σ
2
0.85 0.44 0.67 1.54 0.81 1.21 1.16 σ
0.92 0.67 0.82 1.28 0.90 1.10 1.08 KK
39 17 25 35 26 31 33
Gambar 15. Buah Cabai P
1
, P
2
, F
1
, F
1R
dan F
2
Lima Hari Setelah Inokulasi C. acutatum Isolat PYK 04 pada Populasi Persilangan C-15 x C-2.
Tanda panah merupakan gejala serangan antraknosa.
Sementara itu, berdasarkan skor ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat BGR 027, P
1
adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat tahan, P
2
adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat rentan, populasi F
1
dan F
1R
63 memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi BC
P1
dan populasi BC
P2
mengarah pada rentan dan F
2
memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan Tabel 16. Penampilan P
1
, P
2
, F
1
, F
1R
dan F
2
setelah diinokulasi dengan isolat BGR 027 disajikan pada Gambar 15.
Pada Tabel 18 dan 19 terlihat pula bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang cukup jauh, populasi P
1
memiliki ketahanan yang tinggi dan populasi P
2
memiliki ketahanan yang rendah, sementara populasi F
1
mengarah kepada tetua rentan. Dengan demikian gen pengendali ketahanan adalah resesif.
Efek Maternal
Pengujian ada tidaknya efek maternal dilakukan dengan membandingkan rata-rata skor ketahanan penyakit F
1
dan F
1R
pada setiap isolat yang dipelajari dengan menggunakan uji beda nilai tengah uji t pada taraf 5. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor ketahanan penyakit F
1
tidak berbeda nyata dengan F
1R
Tabel 17, yang dapat dilihat dari nilai probabilitas t yang lebih besar daripada 0.05. Hal ini berarti pewarisan ketahanan cabai terhadap
C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal. Tidak adanya efek maternal merupakan indikasi bahwa sifat ketahanan dikendalikan oleh gen-gen yang berada
di dalam inti nuclear genes. Uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada kedua isolat
menunjukkan bahwa ragam F
1
dan F
1R
homogen. Hal ini terlihat dari nilai F
hitung
yang lebih besar daripada F
tabel
pada taraf 5 Tabel 17. Dengan demikian pada analisis selanjutnya data F
1
dan F
1
R dapat digabungkan sebagai data populasi F
1
. Tabel 17. Nilai Rata-rata dan Galat Baku Skor Ketahanan Penyakit F
1
dan F
1R
Isolat PYK 04 dan BGR 027, Hasil Uji Beda Nilai Tengah dan Kehomogenan Ragam pada Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2
Populasi Isolat PYK 04
Isolat BGR 027 F
1
3.36 ± 0.74 3.30 ± 0.82
F
1R
3.08 ± 0.62 3.58 ± 1.28
Prob |t| 0.279 tn
0.523 tn Prob |F|
0.502 tn 0.229 tn
Keterangan : tn = tidak nyata
64
Derajat Dominansi
Derajat dominansi diukur berdasarkan nilai tengah kedua tetua P
1
dan P
2
dan F
1
menggunakan rumus pendugaan nilai potensi rasio h
P
yang digunakan oleh Petr dan Frey 1966. Nilai potensi rasio skor ketahanan terhadap penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 berturut-turut adalah –0.35 dan –0.21 Tabel 21. Hasil perhitungan tersebut
menggambarkan bahwa rata-rata skor ketahanan penyakit pada populasi F
1
berada di antara nilai tengah tetua tahan dan tetua rentan. Secara skematis posisi relatif F
1
terhadap kedua tetuanya untuk kedua isolat disajikan pada Gambar 16 dan 17. Ini berarti bahwa ekspresi gejala berat pada tetua rentan adalah dominan terhadap
ekspresi gejala ringan pada tetua tahan.
P1 Tahan 1.60
P2 Rentan 4.20
MP 2.90
F1 3.36
P1 Tahan 1.60
P2 Rentan 4.20
MP 2.90
F1 3.36
Gambar 16. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F
1
terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2
terhadap Antraknosa Isolat PYK 04
P1 Tahan 2.36
P2 Rentan 3.92
MP 3.14
F1 3.30
P1 Tahan 2.36
P2 Rentan 3.92
MP 3.14
F1 3.30
Gambar 17. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F
1
terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2
terhadap Antraknosa Isolat BGR 027 Nilai
h
P
yang berada di dalam kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04
dan BGR 027 dikendalikan oleh gen resesif. Menurut Petr dan Prey 1966 nilai h
P
yang berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa sifat yang diamati
dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial.
65
Jumlah Faktor Efektif
Sebaran frekuensi pada populasi F
2
menunjukkan sebaran satu puncak Gambar 18 dan 19. Uji normalitas menunjukkan sebaran frekuensi F
2
yang diinokulasi dengan isolat PYK 04 dan solat BGR 027 adalah normal P-value
0.1, R = 0.995 untuk isolat PYK 04 dan P-value 0.1, R = 0.999 untuk isolat BGR 027. Grafik uji normalitas disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Hal ini
mengindikasikan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Berdasarkan hasil pengolahan
data Tabel 18, jumlah faktor efektif ketahanan terhadap antraknosa adalah minimal delapan untuk isolat PYK 4 dan dua untuk isolat BGR 027.
10 20
30 40
50 60
70 80
1 2
3 4
5 6
Skor Ketahanan
Gambar 18. Sebaran Frekuensi pada Populasi F
2
Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat
PYK 04
10 20
30 40
50 60
1 2
3 4
5 6
Skor Ketahanan
Gambar 19. Sebaran Frekuensi pada Populasi F
2
Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat
BGR 027
66
Pendugaan Komponen Genetik
Untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027,
dilakukan uji skala gabungan Mather dan Jinks 1982; Chahal dan Gosal 2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman ketahanan penyakit antraknosa
yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 mengikuti model aditif dominan, yang diperlihatkan oleh model m[d][h] yang tidak berbeda nyata
pada uji χ
2
Tabel 18. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit.
Nilai aksi gen aditif berturut-turut untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah -1.30 dan -0.78. Nilai negatif menunjukkan
bahwa nilai tengah tetua tahan P1 lebih kecil daripada nilai tengah tetua rentan P2. Sementra itu, nilai aksi gen dominan berturut-turut untuk ketahanan
penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah 0.46 dan 0.16 Tabel 18. Aksi gen aditif lebih besar dibandingkan aksi gen dominan. Hal ini menunjukkan
bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh aksi gen aditif.
Heritabilitas
Nilai duga heritabilitas arti luas h
2 bs
termasuk dalam kategori tinggi 0.54 dan sedang 0.43 berturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027. Ini
menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit h
2 ns
termasuk sedang, yaitu 0.49 dan 0.26 berturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027. Besarnya sumbangan
ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari proporsi h
2 ns
terhadap h
2 bs
yaitu sebesar 91.01 dan 60.47 beturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027 Tabel 18. Hasil ini sesuai dengan uji skala gabungan yang menunjukkan bahwa
ragam genetik lebih ditentukan oleh ragam aditif. Menurut Falconer 1981, ragam aditif memiliki sifat dapat difiksasi melalui seleksi. Chahal dan Gosal
2003 menyatakan bahwa seleksi peubah yang dikendalikan oleh banyak gen dengan ragam aditif tinggi dilakukan pada generasi lanjut. Oleh karena itu,
seleksi ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dapat
67 dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single
seed descent SSD. Tabel 18. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Populasi Persilangan
C-15 x C-2 terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK 04 dan Isolat BGR 027 Berdasarkan Skor Ketahanan
Nilai Komponen
Isolat PYK 04 Isolat BGR 027
Komponen Ragam Ragam lingkungan
σ
2 E
0.39 0.66 Ragam fenotipe
σ
2 P
0.84 1.16 Ragam genetik
σ
2 G
0.45 0.50 Ragam aditif
σ
2 A
0.41 0.30 Heritabilitas arti luas h
2 bs
0.54 0.43 Heritabilitas arti sempit h
2 ns
0.49 0.26
h
2 ns
h
2 bs
x 100 91.01
60.47 Kemajuan seleksi G
s
0.75 0.47 Komponen Genetik
m[d][h] 0.06
tn
0.31
tn
Nilai tengah m 2.90 ± 0.32
3.14 ± 0.52 Aditif [a]
-1.30 ± 0.32 -0.78 ± 0.52
Dominan [d] 0.46 ± 0.74
0.16 ± 0.97 Derajat dominansi
-0.35 -0.21
Jumlah faktor efektif 8.26
1.60
Kemajuan Genetik ∆G
Apabila seleksi telah dilakukan terhadap suatu populasi tanaman, diharapkan tanaman yang terpilih akan memberikan hasil yang lebih baik.
Besarnya kenaikan hasil yang akan diperoleh dapat diperkirakan dengan menghitung kemajuan genetik. Kemajuan genetik diartikan sebagai kemajuan
seleksi yang dilakukan. Dalam pendugaan kemajuan genetik, diperlukan pengenalan secara baik terhadap populasi beserta keragamannya dan pengetahuan
mengenai besarnya heritabilitas Roy 2000. Berdasarkan ragam fenotipe dan nilai heritabilitas dapat diduga kemajuan
genetik ∆G. Apabila dari populasi dasar dipilih 10 yang terbaik untuk
digunakan sebagai material seleksi pada siklus berikutnya maka kemajuan genetik untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum
isolat PYK 04 dan BGR 027 berturut-turut adalah 0.75 dan 0.47 Tabel 18. Data
68 tersebut mengindikasikan bahwa dengan memilih 10 tanaman yang memiliki
ketahanan tertinggi terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 pada populasi F
2
, diperoleh kemajuan seleksi sebesar 0.75. Artinya apabila dilakukan seleksi pada populasi F
2
dengan skor ketahanan 3.30 maka pada generasi F
3
, F
4
dan F
5
akan diperoleh skor ketahanan berturut-turut sebesar 2.65, 1.90 dan 1.15. Pada generasi F
4
diperoleh sudah skor ketahanan yang lebih baik dibandingkan tetua tahan 1.60.
Populasi Persilangan C-19 x C-15 Sebaran Frekuensi Populasi
Berdasarkan skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04, sebaran frekuensi antara kedua tetua dapat
dibedakan dengan jelas. P1 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat rentan, sedangkan P
2
adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat tahan. Sebaran frekuensi populasi F
1
memperlihatkan sifat sangat rentan hingga tahan, populasi F
1R
memperlihatkan sifat sangat rentan hingga sangat tahan, populasi BC
P1
mengarah pada rentan, populasi BC
P2
mengarah pada tahan dan F
2
memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan Tabel 19. Tabel 19. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-19 x C-15
Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04
Jumlah Tanaman Skor Kriteria
P
1
P
2
F
1
F
1R
BC
P1
BC
P2
F
2
1 Sangat
Tahan 0 4 0 1 0 2 11 2
Tahan 0 8 1 0 0 1 23
3 Moderat
1 2 3 1 4 3 53 4
Rentan 2 0 7 7 7 3 57
5 Sangat
Rentan 8 0 4 6 4 0 11
Rata-rata 4.64 1.86
3.93 4.13
4.00 2.78
3.21 σ
2
0.45 0.44
0.78 1.12
0.53 1.44
1.04 σ
0.67 0.66 0.88 1.06 0.73 1.20 1.02 KK
15 36
22 26
18 43
0.32
Pada Tabel 19 terlihat pula bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang cukup jauh, populasi P
1
memiliki ketahanan yang rendah dan populasi P
2
69 memiliki ketahanan yang tinggi, sementara populasi F
1
dan F
1R
mengarah kepada tetua rentan. Dengan demikian gen pengendali ketahanan adalah resesif.
Efek Maternal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor ketahanan penyakit F
1
tidak berbeda nyata dengan F
1R
Tabel 20, yang dapat dilihat dari nilai probabilitas t yang lebih besar daripada 0.05. Hal ini berarti pewarisan ketahanan
cabai persilangan C-19 x C-15 terhadap C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal.
Uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada kedua isolat menunjukkan bahwa ragam F
1
dan F
1R
homogen. Hal ini terlihat dari nilai F
hitung
yang lebih besar daripada F
tabel
pada taraf 5 Tabel 20. Dengan demikian pada analisis selanjutnya data F
1
dan F
1
R dapat digabungkan sebagai data populasi F
1
. Tabel 20. Nilai Rata-rata dan Galat Baku Skor Ketahanan Penyakit F
1
dan F
1R
, Hasil Uji Beda Nilai Tengah dan Kehomogenan Ragam pada Cabai
Populasi Persilangan C-19 x C-15 Populasi Skor
Ketahanan F
1
3.93 ± 0.88 F
1R
4.13 ± 1.06 Prob |t|
0.443 tn Prob |F|
0.691 tn Keterangan : tn = tidak nyata
Derajat Dominansi
Nilai potensi rasio h
P
skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 adalah –0.49 Tabel 21. Hasil
perhitungan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata skor ketahanan penyakit pada populasi F
1
berada di antara nilai tengah tetua tahan dan tetua rentan. Nilai h
P
yang berada di dalam kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04
dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial. Secara skematis posisi relatif F
1
terhadap kedua tetuanya disajikan pada Gambar 20. Ini berarti
70 bahwa ekspresi gejala berat pada tetua rentan adalah dominan terhadap ekspresi
gejala ringan pada tetua tahan.
P1 Rentan 4.64
P2 Tahan 1.86
MP 3.25
F1 3.93
P1 Rentan 4.64
P2 Tahan 1.86
MP 3.25
F1 3.93
Gambar 20. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F
1
terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-
15 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04
Jumlah Faktor Efektif
Sebaran frekuensi pada populasi F
2
menunjukkan sebaran satu puncak Gambar 21. Uji normalitas menunjukkan sebaran frekuensi F
2
adalah normal P- value 0.1, R = 0.9952. Grafik uji normalitas disajikan pada Lampiran 10. Hal
ini mengindikasikan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Berdasarkan hasil
pengolahan data Tabel 21, jumlah faktor efektif ketahanan terhadap antraknosa adalah enam gen.
10 20
30 40
50 60
70
1 2
3 4
5 6
Skor Ketahanan
Gambar 21. Sebaran Frekuensi pada Populasi F
2
Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15 terhadap Antraknosa
Isolat PYK 04
71
Pendugaan Komponen Genetik
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 mengikuti model
aditif dominan, yang diperlihatkan oleh model m[d][h] yang tidak berbeda nyata pada uji
χ
2
Tabel 24. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit.
Nilai aksi gen aditif untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 adalah 1.39. Sementara itu, nilai aksi gen dominan untuk ketahanan penyakit
antraknosa isolat PYK 04 adalah 0.68 Tabel 21. Aksi gen aditif lebih besar dibandingkan aksi gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih
ditentukan oleh aksi gen aditif. Tabel 21. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Populasi Persilangan
C-19 x C-15 terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK 04 Berdasarkan Skor Ketahanan
Komponen Nilai
Komponen Ragam Ragam lingkungan
σ
2 E
0.61 Ragam fenotipe
σ
2 P
1.04 Ragam genetik
σ
2 G
0.42 Ragam aditif
σ
2 A
0.10 Heritabilitas arti luas h
2 bs
0.41 Heritabilitas arti sempit h
2 ns
0.10 h
2 ns
h
2 bs
x 100 23.50
Kemajuan seleksi G
s
0.16 Komponen Genetik
m[d][h] 3.51
tn
Nilai tengah m 3.25 ± 0.45
Aditif [a] 1.39 ± 0.44
Dominan [d] 0.68 ± 0.93
Derajat dominansi -0.49
Jumlah faktor efektif 5.97
Heritabilitas
Nilai duga heritabilitas arti luas h
2 bs
termasuk dalam kategori sedang 0.41. Nilai duga heritabilitas arti sempit h
2 ns
termasuk rendah, yaitu 0.10. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari
72 proporsi h
2 ns
terhadap h
2 bs
yaitu sebesar 23.10 Tabel 21. Seleksi ketahanan terhadap C. acutatum dapat dilakukan pada generasi lanjut, misalkan
menggunakan metode bulk atau single seed descent SSD.
SIMPULAN
1. Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal. 2.
Gen pengendali ketahanan adalah resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial.
3. Aksi gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa adalah aditif dan
dominan, ragam aditif lebih besar dibandingkan ragam dominan. 4.
Nilai heritabilitas arti luas tergolong sedang sampai tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong rendah sampai sedang.
5. Seleksi untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum sebaiknya
dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent SSD.
DAFTAR PUSTAKA
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley Sons. 485 hal.
Amilin, Setiamihardja AR, Baihaki A, Karmana MH. 1995. Pewarisan, heritabilitas dan kemajuan genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa
pada persilangan Cabai Rawit dan Cabai Merah. Zuriat 6 2 : 74-79. [AVRDC] Asian Vegetable Research Development and Center. 1998. Off-seaon
tomato, pepper and eggplant. Di dalam: AVRDC Progress Report 1998. Taiwan: AVRDC hlm 20-30.
Burns GW. 1976. The science of genetics: an introduction to heredity. Ed ke-3. New York: Macmillan Publ. Co. 564 hal.
Chahal GS, Gosal SS. 2003. Principle and procedures of plant breeding,
biotechnological and conventional approaches. New Delhi: Narosa Publishing House. 604 hal.
73 Cheema DS, Singh DP, Rawal RD, Pande AAD. 1984. Inheritance of resistance
antracnose in chilies. Capsicum News Letter 3:44. Falconer DS. 1961. Introduction to Quantitative Genetics. Edinburgh: Oliver 7
Boyd. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT, Lewontin RC, Gelbart WM. 1996. An
Introduction to genetic analysis. Ed ke-6. New York: W.H. Freeman and Company. 916 hal.
Halloran GM, Knight R, McWhirter KS, Sparrow DHB. 1979. Plant Breeding. Brisbane: Australian Vice-Chancellors Committee. 225 hal.
Lande R. 1981. The minimum number of genes contributing to quantitative variation between and within populations. Genetics 99:541-553.
Mather SK, Jinks JL. 1982. Biometrical genetics. Ed ke-3. New York: Chapman and Hall. 396 hal.
Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. 2005. Inheritance of resistance to antrachnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum.
Plant Breeding 1242 : 206-208. Park HK, Kim BS, Lee WS. 1990. Inheritance of resistance to antracnose
Colletotrichum spp in pepper Capsicum annuumL.. I. Genetic analysis of antracnose resistance by diallel crossed. J Kor Soc Hort Sci 31:91-105.
Park SK. 2005. Differential interaction between pepper genotypes and Colletorichum isolates causing anthracnose [Thesis]. Seoul: Seoul Nath. Univ.
48 hal. Petr FC, Frey KJ. 1966. Genotypic correlation, dominance, and heritability of
quantitative characters in oat. Crop Sci. 6:259-262. Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi:
Narosa Publishing House. 701 hal. Sanjaya L, Herison C, Suryotomo B. 2001. Pewarisan ketahanan terhadap
antraknosa pada populasi cabai hasil pesilangan interspesifik C. chinense dan C. annuum. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI,
Yogyakarta, 23-24 Oktober 2001.
Sastrosumarjo S. 2003. Pembentukan varietas cabai tahan penyakit antraknosa dengan pendekatan metode convencional dan bioteknologi [Laporan Riset
RUT VIII]. Jakarta: Kementrian Reset dan Teknologi RI LIPI. 45 hal. Shapiro SS, Wilk MB. 1965. An analysis of variance test for normality
completed sample. Biometrica 52:591-611.
74 Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic
Analysis. Edisi Revisi. New Delhi: Kalyani Publishers. 304 hal. Steel RGD, Torrie JH. 1981. Principles and procedure of statistics. A biometrical
approach. Ed ke-2. London: McGraw-Hill Intl. Book Co. 633 hal. Strickberger MW. 1976. Genetics. Ed ke-2. New York: Mac Millan Publ. Co.
914 hal. Warner JN. 1952. A Method of estimating heritability. Agron J 44 : 427-430.
Wusani M. 2004. Pola pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa Colletotrichum gloesporioides Penz pada cabai Capsicum
annuum var Jatilaba x Capsicum chinense-27. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 57 hal.
Yoon JB. 2003. Identification of genetic resources, interspecific hybridization, and inheritance analysis for breeding pepper Capsicum annuum resistant to
anthracnose [PhD Thesis] Seoul: Seoul Natl Univ. 137 hal.
V. ANALISIS SILANG DIALEL UNTUK PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KETAHANAN