III. IDENTIFIKASI KETAHANAN TERHADAP ANTRAKNOSA
YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum
DAN KARAKTERISASI PLASMA NUTFAH CABAI
Capsicum annuum L.
ABSTRAK
Pada umumnya varietas cabai yang ada saat ini bersifat rentan terhadap penyakit antraknosa. Cabai yang memiliki ketahanan terhadap antraknosa biasanya berdaya
hasil rendah dan bentuk buah tidak disukai pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi beberapa genotipe cabai dan mengidentifikasi ketahanannya
terhadap antraknosa. Sebanyak 14 genotipe cabai ditanam menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak RKLT, empat ulangan. Sepuluh buah
cabai yang sudah tua tetapi masih hijau dari masing-masing diinokulasi dengan C. acutatum
isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07. Kejadian penyakit diamati lima hari setelah inokulasi. Pengamatan sifat kualitatif dan kuantitatif
mengikuti descriptors for capsicum dari IPGRI. Selain itu, diamati juga kadar capsaicin dan aktivitas peroksidase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa C-15
merupakan genotipe yang paling tahan dan C-2 merupakan genotipe yang rentan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh semua isolat C. acutatum. Empat belas
genotipe yang diamati mempunyai keragaman tinggi pada sifat kualitatif dan kuantitatif yang diamati. Genotipe yang diuji dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok berdasarkan karakter morfologi dan ketahanan terhadap antraknosa. Kadar capsaicin dan aktivitas peroksidase tidak berkorelasi dengan ketahanan
terhadap antraknosa. Kata kunci: cabai, ketahanan, antraknosa, karakterisasi, Colletotrichum
acutatum
PENDAHULUAN Latar Belakang
Cabai Capsicum annuum L. merupakan salah satu spesies dari sekitar
20-30 spesies dalam genus Capsicum yang telah dibudidayakan. Selain C. annuum
spesies lain yang telah dibudidayakan adalah C. baccatum, C. pubescens, C. chinense
dan C. frutescens Berke 2000. Dari lima spesies yang telah dibudidayakan tersebut, C. annuum L. merupakan tanaman sayuran sangat
penting di banyak kota Asia Tong dan Bosland 1999. Di Indonesia, cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan
bernilai ekonomi tinggi. Tanaman cabai di Indonesia banyak dikembangkan di
30 dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut Pusat Data dan Informasi
Pertanian, Departemen Pertanian, produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2005 adalah 5.84 ton per hektar. Walaupun demikian, angka tersebut masih
sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi produksinya yang mencapai 12 ton per hektar Purwati, Jaya dan Duriat 2000. Penyebab rendahnya produktivitas
cabai di Indonesia berkaitan dengan kualitas benih, teknik budidaya, serangan hama penyakit serta sedikitnya varietas berdaya hasil tinggi. Salah satu cara
peningkatan produktivitas cabai adalah perbaikan potensi genetik melalui pembentukan varietas unggul. Untuk mendapatkan varietas cabai unggul
diperlukan serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman merupakan usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat
tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi di alam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah
pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang tinggi Poespodarsono 1988. Makmur 1992 menyatakan bahwa mengoleksi plasma nutfah baik dari
dalam maupun luar negeri dengan melakukan introduksi merupakan salah satu langkah awal dalam program pemuliaan tanaman. Genotipe-genotipe yang telah
dikoleksi kemudian dikarakterisasi dan dilakukan studi keanekaragaman serta evaluasi hubungan kekerabatan antar genotipe tersebut untuk memudahkan dalam
kegiatan peningkatan keragaman genetik. Hingga saat ini, varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan
terhadap penyakit antraknosa masih belum ada. Pada umumnya spesies cabai yang memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk
buah tidak disukai pasar. Pengembangan keragaman genetik sangat diperlukan dalam usaha mendapatkan varietas unggul cabai tahan antraknosa. Keragaman
genetik dapat diperoleh dari pool tanaman budidaya seperti varietas lokal, varietas unggul nasional, galur-galur percobaan, dan juga dari kerabat liar. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa sifat tahan terhadap antraknosa dijumpai pada C. frutescens
Amalia et al. 1994, C. chinense Cheng 1989; AVRDC 2000, C. bacatum
AVRDC 2000; Park 2005; Yoon et al. 2006 dan C. annuum Sastrosumarjo 2003.
31
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi beberapa genotipe cabai dan mengidentifikasi ketahanannya terhadap antraknosa.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan sejak bulan Agustus 2005 sampai Mei 2007. Penggaluran dilakukan di Cibeueum, Bogor. Penanaman untuk karakterisasi dan
evaluasi ketahanan dilakukan di KP IPB Tajur II. Kegiatan pemurnian, perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan dilakukan di Laboratorium
Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Kegiatan skrining ketahanan cabai terhadap C. acutatum dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan
Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Metode Penelitian Penggaluran dan Pemilihan Bahan Kegenetikaan
Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh materi genetik galur murni yang akan digunakan pada percobaan selanjutnya. Bahan genetik yang digunakan
adalah genotipe koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, introduksi dari AVRDC, introduksi dari
beberapa negara dan galur-galur lokal dari berbagai daerah di Indonesia. Materi tersebut diperbanyak dan diselfing sebanyak dua kali sampai diperoleh bahan
tanaman yang secara morfologi seragam untuk memastikan diperolehnya galur murni. Pada tahap selanjutnya, tidak semua materi digunakan, beberapa nomor
galur dipilih dengan mempertimbangkan genotipe cabai dan jumlah bahan tanaman yang diperoleh.
Benih cabai disemai pada tray dengan media tanam steril. Setelah bibit berumur 35 hari dipindahkan ke lapang dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm.
Sebagai pupuk dasar, pada media diberikan NPK 16-16-16 dosis 10 gtanaman. Selanjutnya setiap minggu diberikan pupuk kocor berupa larutan NPK 16-16-16
konsentrasi 10 gl air sebanyak 250 mltanaman dan pupuk daun konsentrasi 2 gl
32 air. Pestisida yang digunakan Curacron 500EC, Dithane M-45, Kelthane dan
Antracol, diaplikasikan setiap minggu.
Screening Genotipe Cabai untuk Ketahanan terhadap Antraknosa
Kegiatan ini bertujuan untuk 1 menguji ketahanan genotipe-genotipe cabai koleksi terhadap penyakit antraknosa, 2 mendapatkan calon tetua untuk
membentuk populasi pada studi pewarisan. Bahan tanaman yang digunakan adalah 14 genotipe yaitu C-1, C-2, C-3, C-4, C-5, C-7, C-8, C-9, C-15, C-18, C-
19, C-28, C-47, dan C-49. Percobaan disusun dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak RKLT
faktor tunggal dengan empat ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri atas 10 buah cabai yang dipanen pada saat buah sudah tua tetapi masih hijau.
Inokulum yang digunakan berasal dari biakan murni cendawan C. acutatum koleksi Laboratorium Fitopatologi Departemen Proteksi Tanaman IPB isolat
BGR 027, PYK 04, PSG 07 dan MJK 01. Isolat BGR 027 berasal dari Bogor, isolat PYK berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat, isolat PSG berasal dari
Pasir Sarongge, isolat MJK berasal dari Mojokerto. Persiapan inokulum dan inkubasi setelah inokulasi mengikuti prosedur AVRDC 2003. Isolat
ditumbuhkan pada media PDA pada suhu 28
o
C di bawah lampu fluorescent selama 16 jam terang dan delapan jam gelap. Setelah tujuh hari, media PDA
disiram aquades dan konidia diambil dari cawan. Kepadatan inokulum diatur mencapai 5.0 x 10
5
konidiaml dengan hemacytometer AVRDC 2003. Biakan isolat yang siap digunakan disajikan pada Gambar 6. Sementara penampilan
konidia PYK 04 disajikan pada Gambar 7. Buah yang akan diinokulasi dicuci menggunakan aquades. Inokulasi
dilakukan dengan cara menyuntikkan 2 μl suspensi konidia sebanyak 2 suntikan
pada daerah yang berbeda untuk buah yang berukuran 4 cm hanya 1 suntikan per buah. Buah ditempatkan di atas kawat dalam bak plastik. Untuk menjaga
kelembaban di dalam bak platik diletakkan tissue basah. Kemudian bak ditutup plastik hitam dan diinkubasi pada suhu 25
o
C selama lima hari AVRDC 2003. Pada metode celup, inokulasi dilakukan dengan mencelupkan buah ke dalam
suspensi inokulum. Selanjutnya perlakuan sama seperti metode tusuk.
33
Gambar 6. Biakan Isolat PYK 04, MJK 01, PSG 07 dan BGR 027 yang Siap Digunakan
Gambar 7. Konidia Isolat PYK 04 Reaksi penyakit diamati lima hari setelah inokulasi AVRDC 2003. Skor
dan kriteria ketahanan terhadap penyakit antraknosa berdasarkan kejadian penyakit diduga menggunakan metode Yoon 2003 yang dimodifikasi Tabel 4.
Kejadian penyakit KP dihitung dengan rumus: n
KP = --- x 100
N Keterangan :
KP =
kejadian penyakit
n =
jumlah buah yang terserang, yaitu jika diameter serangan 4 mm N
= jumlah buah total
34 Tabel 4. Skor dan Kriteria Ketahanan Cabai terhadap Penyakit Antraknosa
Berdasarkan Kejadian Penyakit Skor Kejadian
Penyakit Kriteria
1 0 ≤ X 10
Sangat Tahan 2
10 X 20 Tahan
3 20 X 40
Moderat 4
40 X 70 Rentan
5 X 70
Sangat Rentan
Karakterisasi Plasma Nutfah Cabai
Tujuan kegiatan penelitian ini adalah mengkarakterisasi sifat-sifat agronomi dan biokimia berbagai genotipe cabai. Bahan tanaman yang digunakan
adalah 14 genotipe cabai yaitu C-1, C-2, C-3, C-4, C-5, C-7, C-8, C-9, C-15, C- 18, C-19, C-28, C-47, dan C-49. Asal dan latar belakang genotipe disajikan pada
Tabel 5. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok faktor tunggal dengan tiga ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri atas 24 tanaman.
Peubah yang diamati adalah sifat kualitatif, kuantitatif, kadar capsaicin, aktivitas peroksidase. Pengamatan sifat kualitatif dan kuantitatif mengikuti Descriptors for
Capsicum IPGRI 1995 yang disajikan pada Lampiran 1. Prosedur analisis kadar
capsaicin dan peroksidase berturut-turut disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penggaluran dan Pemilihan Bahan Kegenetikaan
Materi tanaman yang berhasil dikumpulkan sebanyak 94 genotipe Lampiran 4. Materi tersebut diperbanyak dan diselfing sebanyak dua kali sampai
diperoleh bahan tanaman yang secara morfologi seragam untuk memastikan diperolehnya galur murni. Selfing dilakukan dengan menutup individu tanaman
dengan sungkup yang terbuat dari bahan tricot Gambar 8. Penyungkupan dilakukan pada saat tanaman belum berbunga untuk menghindari masuknya
serbuk sari dari tanaman lain.
35
Gambar 8. Selfing Perbanyakan Tetua dengan Sungkup Individu Berdasarkan spesies cabai dan jumlah benih tanaman yang diperoleh maka
sebanyak 14 genotipe digunakan untuk penelitian selanjutnya Tabel 5, yang semuanya termasuk dalam spesies C. annuum L.
Tabel 5. Empat Belas Genotipe Cabai Terpilih
No. Genotipe Keterangan
C-1 PSPT C-17
IPB produksi
tinggi C-2
PSPT C-11 IPB produksi tinggi, tahan phytophthora
C-3 Cilibangi 1 Malaysia
toleran antraknosa, CVMV C-4
Cilibangi 2 Malaysia toleran antraknosa, CVMV
C-5 Cilibangi 3 Malaysia
toleran antraknosa, CVMV, phytophthora C-7
Jatilaba Panah Merah produksi tinggi, tahan layu bakteri
C-8 ICPN 73 AVRDC
tahan CMV, CVMV, PVY C-9
ICPN 124 AVRDC tahan PVY, layu bakteri
C-15 0209-4 AVRDC
tahan antraknosa, layu bakteri C-18
Tit Super Panah Merah produksi tinggi, tahan layu bakteri
C-19 Randu Jawa Timur
produksi tinggi, tahan layu bakteri C-28
Helem Jawa Timur produksi tinggi
C-47 IPB C-47
produksi tinggi C-49
Keriting Cipanas Yogyakarta
Tipe keriting
36
Identifikasi Ketahanan terhadap Antraknosa
Berdasarkan Tabel 6, kejadian penyakit berkisar antara 11.25 C-15 sampai 87.5 C-5 untuk cabai yang diinokulasi antraknosa isolat PYK 04.
Terdapat satu genotipe dikategorikan dalam kelas tahan KP 20 yaitu C-15. Sembilan genotipe dikategorikan rentan 40 KP 70 yaitu C-4, C-7, C-8,
C-9, C-18, C-19, C-28, C-47, dan C-49. Empat genotipe dikategorikan sangat rentan KP 70 yaitu C-1, C-2, C-3, dan C-5.
Tabel 6. Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai terhadap Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh C acutatum Isolat BGR 027, MJK 01, PSG 07 dan PYK
04.
Isolat PYK 04 Isolat BGR 027 Isolat MJK 01 Isolat PSG 07
Genotipe KP Kelas KP Kelas
KP Kelas KP Kelas
C-1 70.83 SR 82.50
SR 60.00 R 92.50 SR
C-2 73.18 SR 92.50
SR 80.00 SR 85.00 SR
C-3 75.00 SR 65.91
R 65.00 R 80.00 SR
C-4 52.50 R 55.00
R 60.00 R 85.00 SR
C-5 87.50 SR 97.50
SR 67.50 R 95.00 SR
C-7 60.00 R 80.36
SR 67.50 R 75.00 SR
C-8 47.78 R 70.00
R 66.35 R 80.00 SR
C-9 65.00 R 67.58
R 97.50 SR
92.50 SR C-15
11.25 T
32.50 M
32.50 M
30.00 M
C-18 58.75 R 57.50 R 77.50
SR 87.50 SR
C-19 63.06 R 70.00 R 77.50
SR 75.00 SR
C-28 42.50 R 60.00 R 77.50
SR 82.50 SR
C-47 65.00 R 72.50 SR 80.00
SR 84.44 SR
C-49 50.00 R 65.00 R 67.50
R 60.00 R Keterangan: ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat, R = rentan, SR = sangat
rentan Cabai yang diinokulasi dengan C. acutatum isolat BGR 027 menunjukkan
bahwa kejadian penyakit berkisar antara 32.50 C-15 sampai 97.5 C-5. Terdapat satu genotipe dikategorikan dalam kelas moderat KP 40 yaitu C-
15. Delapan genotipe dikategorikan rentan 40 KP 70 yaitu C-3, C-4, C-
37 8, C-9, C-18, C-19, C-28, dan C-49. Lima genotipe dikategorikan sangat rentan
KP 70 yaitu C-1, C-2, C-5, C-7 dan C-47 Tabel 6. Cabai yang diinokulasi dengan C. acutatum isolat MJK 01 menunjukkan
bahwa kejadian penyakit berkisar antara 32.50 C-15 sampai 97.5 C-9. Terdapat satu genotipe dikategorikan dalam kelas moderat KP 40 yaitu C-
15. Tujuh genotipe dikategorikan rentan 40 KP 70 yaitu , C-1, C-3, C-4, C-7, C-8, dan C-49. Enam genotipe dikategorikan sangat rentan KP 70 yaitu
C-2, C-9, C-18, C-19, C-28 dan C-47 Tabel 6. Sementara itu, cabai yang diinokulasi dengan C. acutatum isolat PSG 07
menunjukkan bahwa kejadian penyakit berkisar antara 30.00 C-15 sampai 95.00 C-5. Terdapat satu genotipe dikategorikan dalam kelas moderat KP
40 yaitu C-15. Satu genotipe dikategorikan rentan 40 KP 70 yaitu , C-49. Dua belas genotipe dikategorikan sangat rentan KP 70 yaitu C-1, C-2,
C-3, C-4, C-5, C-7, C-8, C-9, C-18, C-19, C-28 dan C-47 Tabel 6.
Gambar 9. Penampilan Buah Cabai Lima Hari Setelah Inokulasi C. acutatum. A. Genotipe C-15 yang dikatagorikan sebagai tahan; B. Genotipe C-2
yang dikatagorikan sebagai rentan antraknosa. Tanda panah →
merupakan gejala serangan antraknosa. Berdasarkan ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04, BGR 027,
MJK 01 dan PSG 07 serta kemudahan dalam melakukan persilangan maka dipilih genotipe C-15 sebagai tetua tahan dan C-2 sebagai tetua rentan. Genotipe C-15
A B
38 secara konsisten lebih tahan dibandingkan dengan 14 genotipe lainnya. Sementara
itu, genotipe C-2 secara konsisten dikatagorikan sangat rentan. Penampilan genotipe C-15 dan C-2 lima hari setelah inokulasi disajikan pada Gambar 9.
Tabel 7. Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai terhadap Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK 04 Menggunakan
Metode Inokulasi Tusuk dan Celup
Metode Tusuk Metode Celup
5 HSI 7 HSI
5 HSI 7 HSI
Genotipe KP Kelas KP Kelas KP Kelas KP Kelas
C-1 60.00
R 72.50
SR 5.00
ST 26.73
M C-2
52.50 R
67.50 R
2.50 ST
37.50 M
C-3 40.00
M 57.50
R 10.00
ST 30.00
M C-4
27.50 M
45.00 R
5.90 ST
18.40 T
C-5 57.50
R 67.50
R 5.00
ST 20.00
T C-8
46.11 R
55.56 R
0.00 ST
10.00 ST
C-9 27.43
M 53.13
R 13.05
T 20.83
M C-15
7.50 ST
20.00 T
0.00 ST
2.50 ST
C-18 60.00
R 67.50
R 12.50
ST 62.50
R C-19
40.83 R
43.06 R
10.28 ST
31.39 M
C-28 37.50
M 55.00
R 5.55
ST 21.94
M C-47
27.78 M
44.44 R
13.39 ST
60.71 R
C-49 15.00
T 27.50
M 2.50
ST 20.00
T Keterangan: ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat, R = rentan, SR = sangat
rentan Untuk mempelajari mekanisme ketahanan cabai terhadap antraknosa
digunakan dua metode inokulasi yaitu metode inokulasi tusuk dan celup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa C-15 secara konsisten dikatagorikan sebagai
sangat tahan baik pada metode tusuk maupun metode celup. Sementara itu, C-8 menunjukkan gejala rentan pada metode tusuk, akan tetapi sebaliknya sangat
tahan pada metode celup Tabel 7. Hasil ini mengindikasikan bahwa mekanisme ketahanan C-8 lebih kepada mekanisme ketahanan fisik, sementara C-15
menunjukkan mekanisme ketahanan biokimia. Hal ini sesuai dengan pengamatan
39 di lapang, C-8 dan C-15 lebih tahan penyakit antraknosa dibandingkan dengan
genotipe uji lainnya. Menurut Agrios 1997 ketahanan terhadap penyakit dapat dikelompokkan
ke dalam ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Contoh ketahanan struktural antara lain tebal tipisnya epidermis, adanya lignin pada dinding sel,
adanya lapisan lilin pada permukaan buah. Ketahanan fungsional dapat berupa antara lain meningkatnya aktivitas enzim tertentu atau terbentuknya ketahanan zat
toksik tertentu seperti fitoaleksin yang dapat mematikan patogen. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi
tanaman berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen. Bahkan pada inang dan patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda dengan umur
tanaman, jenis organ dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan kondisi cuaca.
Karakterisasi Beberapa Genotipe Cabai Sifat Kuantitatif
Berdasarkan analisis ragam yang disajikan pada Tabel 8, genotipe berpengaruh sangat nyata pada semua peubah yang diamati, kecuali tebal kulit
buah. Dengan demikian terdapat keragaman yang sangat tinggi pada populasi yang diamati. Populasi yang mempunyai keragaman tinggi sangat baik untuk
seleksi. Tabel 8. Kuadrat Tengah Beberapa Sifat Kuantitatif pada Beberapa Genotipe
Cabai
SK db Bobot
buah g
Panjang Buah
cm Diameter
Buah cm
Tebal kulit
cm
Tinggi Tanaman
cm Tinggi
Dikotomus cm
Lebar Tajuk
cm
Ulangan 2 2.16tn 5.36tn
0.05 0.01tn
47.10tn 2.39tn
16.98 Genotipe 12 79.46 49.90 0.72
0.03tn 269.39 61.86
527.51 Galat
24 1.26
3.84 0.01
0.02 46.54
3.15 104.01
KK 12.26
17.06 6.58
73.74 10.84
9.09 16.32
Keterangan: : nyata pada taraf 1, : nyata pada taraf 5, tn: tidak nyata Nilai tengah bobot buah, panjang buah, diameter buah, tebal kulit buah,
tinggi tanaman, tinggi dikotomus dan lebar tajuk masing-masing genotipe cabai
40 disajikan pada Tabel 8. Genotipe C-8 merupakan grup cabai rawit; C-49
merupakan grup cabai keriting; sedangkan genotipe lainnya merupakan grup cabai besar.
Bobot buah
. Nilai tengah bobot buah pada 12 genotipe cabai yang diamati adalah 9.16 gram. Cilibangi 3 mempunyai bobot buah paling berat yaitu 17.00
gram. Sementara itu C-8 mempunyai bobot buah paling ringan yaitu 0.94 gram. Bobot buah masing-masing genotipe disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Tengah Beberapa Sifat Kuantitatif pada Beberapa Genotipe Cabai
Genotipe Bobot Buah
g Panjang
Buah cm
Diameter Buah
cm Tebal
Kulit cm
Tinggi Tanaman
cm Tinggi
Dikotomus cm
Lebar Tajuk
cm
C-1 2.87e 5.88f 1.03g 0.08 61.40bcd 21.05bc 55.63bc
C-2 10.19c
17.62a 1.39f 0.19 67.00bc 22.48ab 67.47ab C-3
7.26d 10.84cde 1.49ef 0.17 81.24a 17.53d 80.06a
C-4 7.82d
10.97cde 1.60ed 0.32 67.88bc 25.40a 66.77ab C-5
17.00a 13.90bcd 2.32a 0.20 65.67bcd 17.87d 61.03ab
C-8 0.94f 2.43g 0.71h 0.04 41.53e
21.11bc 30.32d C-9
7.26d 9.21ef 1.47ef 0.19 55.51cd 17.38d 41.48cd C-15
6.91d 10.18ed 1.74cd 0.09 53.49d 7.29e 64.29ab
C-18 11.45c
13.87bcd 1.88cb 0.19 60.23bcd 17.63d 68.80ab C-19
14.98b 13.32bcd 1.98b 0.27 66.70bc 24.17ab 71.87ab
C-28 15.35a
14.63abc 2.00b 0.36 64.91bcd 21.88b 66.79ab C-47
13.81b 15.14ab 1.70d 0.24 70.90ab 18.15cd 69.00ab
C-49 3.23e 13.28bcd 0.68h 0.07 62.02bcd 21.91b 68.90ab
Keterangan: angka yang diikiti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 berdasarkan uji DMRT
Panjang buah
. Panjang buah 12 genotipe yang diamati berkisar antara 2.43 cm C-8 hingga 17.62 cm C-2, dengan nilai tengah 11.63 cm. C-8
termasuk grup cabai rawit sehingga mempunyai ukuran buah paling pendek. Sementara itu C-2 termasuk grup cabai semi keriting sehingga mempunyai ukuran
buah paling panjang. Panjang buah masing-masing genotipe disajikan pada Tabel 9.
41
Diameter buah
. Diameter buah paling besar dimiliki oleh genotipe C-5 2.32 cm, sedangkan diameter buah paling kecil dimiliki oleh genotipe C-49
0.68 cm. C-5 termasuk grup cabai besar. Sementara itu C-49 termasuk grup
cabai keriting. Diameter buah masing-masing genotipe disajikan pada Tabel 9. Tinggi tanaman dan tinggi dikotomus
. Nilai tengah tinggi tanaman dan tinggi dikotomus pada 12 genotipe yang diamati berturut-turut adalah 62.96 cm
dan 19.53 cm. C-3 mempunyai tinggi tanaman tertinggi yaitu 81.24 cm; C-4 mempunyai tinggi dikotomus tertinggi yaitu 25.40 cm. Sementara itu, C-15
mempunyai tinggi tanaman dan tinggi dikotomus paling rendah yaitu berturut- turut 53.49 cm dan 7.29 cm Tabel 9.
Lebar tajuk
. Lebar tajuk 12 genotipe yang diamati berkisar antara 30.32 cm C-8 hingga 80.06 cm C-3, dengan nilai tengah 62.49 cm. Lebar tajuk
masing-masing genotipe disajikan pada Tabel 9. Lebar tajuk akan mempengaruhi kelembaban mikro tanaman, sehingga pengaturan jarak tanam tertentu.
Sifat kualitatif
Sebagian besar genotipe cabai yang diamati mempunyai warna batang hijau, kecuali genotipe C-7, C-18, C-19 dan C-49 warna batang hijau bergaris
ungu. Warna buku pada genotipe yang diamati adalah ungu, ungu muda dan hijau. Semua genotipe mempunyai bentuk batang dan bulu batang berturut-turut
cylindrical dan jarang. Sebagian besar genotipe cabai yang diamati mempunyai
tipe pertumbuhan intermediate dan tipe percabangan sedang kecuali C-8 tipe pertumbuhan erect dan tipe percabangan rapat, C-15 tipe pertumbuhan prostate
dan C-49 tipe pertumbuhan sparse. Tunas air pada genotipe yang diamati jarang hingga sedang, sedangkan kerapatan daun berkisar antara jarang hingga rapat.
Semua genotipe mempunyai warna daun hijau. Bentuk daun genotipe yang diamati ovate, lanceolate dan deltoid; bulu daun jarang hingga rapat Lampiran
5. Posisi bunga pada genotipe yang diamati adalah intermadiate, pendant,
dan erect. Posisi bunga erect biasanya dimiliki oleh grup cabai rawit. Hanya C-8 yang mempunyai posisi bunga erect. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
C-8 merupakan grup cabai rawit. Semua genotipe mempunyai warna mahkota,
42 warna semburat mahkota dan warna tangkai sari putih. Warna anter pada semua
genotipe ungu kecuali pada genotipe C-1, C-5 dan C-9 warna anter agak biru. Posisi stigma pada genotipe yang diamati lebih tinggi, lebih pendek dan sama
tinggi dibandingkan posisi anter. Posisi stigma lebih tinggi daripada posisi anter mengindikasikan bahwa peluang menyerbuk silang pada genotipe tersebut lebih
tinggi. Semua kelopak pada genotipe yang diamati tidak mempunyai pigmen, kecuali C-28, C-47 dan C-49; bentuk tipe kelopak dentate dan intermedate. Tidak
ada penyempitan tangkai buah pada semua genotipe yang diamati, kecuali pada genotipe C-15, C-28 dan C-47 Lampiran 6.
Semua genotipe yang diamati tidak mempunyai bercak antosianin pada buah, kecuali genotipe C-18, C-28 dan C-49. Warna buah intermediet pada
genotipe yang diamati adalah hijau, coklat dan jingga, dengan warna buah merah ketika matang kecuali C-28, berwarna merah muda. Kemampuan bunga menjadi
buah berkisar antara sedang hingga tinggi. Semua genotipe yang diamati mempunyai bentuk buah elongate dan bentuk pangkal buah obtuse kecuali C-5
dan C-8, mempunyai bentuk pangkal buah acute. Tidak ada struktur ujung buah dan lekukan pangkal buah pada semua genotipe yang diamati kecuali C-15, C-18
dan C-49, mempunyai lekukan pada pangkal buah. Bentuk buah pada semua genotipe yang diamati adalah pointed, kecuali C-7 mempunyai tipe sunken. Pola
potongan melintang buah adalah slightly corrugate dan intermediate. Sementara itu permukaan kulit buah pada genotipe yang diamati adalah smooth, wringkled
dan semiwringkled Lampiran 7 .
Kadar Capsaicin
Kadar capsaicin merupakan salah satu karakter biokimia cabai dan berperan dalam menentukan rasa pedas Greenleaf 1986. Kadar capsaicin
beberapa genotipe cabai disajikan pada Tabel 10. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa kadar capsaicin cabai yang diuji berkisar antara 212.285 ppm C-9 hingga
1 310.035 ppm C-8. C-8 merupakan capai rawit yang termasuk dalam spesies C. annuum
L. Cabai rawit biasanya mempunyai kepedasan jauh lebih tinggi daripada cabai besar.
43 Tidak ada korelasi antara kadar capsaicin dengan ketahanan terhadap
antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum Tabel 11. C-15 merupakan genotipe yang paling tahan dibandingkan dengan genotipe uji lainnya. Sementara
itu kadar capsaicin C-15 termasuk rendah yaitu 228.270 ppm Tabel 10. Hasil ini tidak sesuai dengan laporan Tenaya et al. 2001 yang menyebutkan bahwa kadar
capsacin tinggi berkorelasi dengan ketahanan terhadap antraknosa. Tabel 10. Kadar Capcaisin dan Aktivitas Peroksidase Beberapa Genotipe Cabai
Kadar Capsaicin ppm
Genotipe I
II rata - rata
Aktivitas Peroksidase
absmenitmg protein
C-1 310.46 341.28
325.870 0.001 C-2 367.83
351.29 359.560 0.029
C-3 482.11 468.71
475.410 0.035 C-4 487.95
411.71 449.830 0.031
C-5 378.12 398.28
388.200 0.041 C-7 328.46
304.75 316.605 0.033
C-8 1332.42 1287.65
1310.035 0.034 C-9 208.92
215.65 212.285 0.035
C-15 215.19 241.35 228.270
0.036 C-18 228.45
217.21 222.830 0.034
C-19 695.41 623.72 659.565
0.032 C-47 - -
- 0.044
C-49 - - -
0.059
Aktivitas Enzim Peroksidase
Dalam studi ketahanan terhadap penyakit, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim peroksidase berhubungan dengan ketahanan
dan dapat digunakan sebagai penanda seleksi ketahanan terhadap penyakit Gupta et al.
1990; Tenaya et al. 2001. Pada penelitian ini aktivitas enzim peroksidase pada daun berkisar antara 0.001 absmenitmg protein C-1 hingga 0.059
absmenitmg protein C-49 Tabel 10. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim peroksidase pada daun dengan ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan
oleh C. acutatum pada buah Tabel 11. Hasil ini sesuai dengan penelitian Zen et al.
2002 yang menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara intensitas penyakit antraknosa pada buah cabai dengan aktivitas enzim peroksidase pada
daun fase bibit.
44 Tabel 11. Korelasi antara Kadar Capsaicin dan Aktivitas Peroksidase dengan
Ketahanan terhadap Antraknosa
Capsaicin Ketahanan terhadap Antraknosa
Isolat PYK 04
Isolat BGR 027
Isolat MJK 01
Isolat PSG 07
Peroksidase 0.100
0.769
tn
0.140 0.682
tn
0.205 0.546
tn
-0.090 0.793
tn
0.235 0.486
tn
Capsaicin 0.062
0.857
tn
-0.086 0.800
tn
0.0157 0.963
tn
0.055 0.872
tn
Keterangan: data diolah dari 1 – KP100; tn = tidak nyata
Analisis Komponen Utama
Analisi Komponen Utama AKU adalah salah satu teknik eksplorasi data peubah ganda. Konsep analisis komponen utama adalah pereduksian dimensi
sekumpulan peubah asal menjadi peubah baru yang berdimensi lebih kecil dan saling bebas Diyarti 2003.
Tabel 12. Nilai Akar Ciri Komponen Utama Berdasarkan Analisis Komponen Utama
Akar Ciri Komponen
Total Persen Ragam
Kumulatif 1
7.942 23.359
23.359 2
5.731 16.856
40.216 3
4.012 11.800
52.015 4
2.980 8.764
60.779 5
2.701 7.946
68.724 6
2.611 7.678
76.402 7
2.140 6.293
82.696 8
1.723 5.066
87.762 9
1.353 3.979
91.741 10
1.045 3.074
94.815 11
0.797 2.344
97.160 12
0.559 1.645
98.804 13
0.407 1.196
100.000 Berdasarkan Analisis Komponen Utama pada karakter morfologi dan
ketahanan terhadap antraknosa terdapat 10 komponen yang memiliki akar ciri di atas 1 Tabel 12. Sepuluh komponen tersebut dapat menerangkan keragaman
45 sebesar 94.81 Tabel 12. Dalam analisis data untuk mengelompokkan 14
genotipe cabai yang dipelajari digunakan tiga Komponen Utama KU. Tiga KU tersebut dapat menjelaskan variabilitas 34 peubah sebesar 52.01. Menurut
Simamora 2005, komponen dengan akar ciri kurang dari satu tidak valid digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk.
Berdasarkan pengelompokan KU I dan KU II Gambar 10 dengan proporsi keragaman total sebesar 40.22 , genotipe yang diuji dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari 12 genotipe C-1, C-2, C-3, C-4, C-5, C-7, C-9, C-18, C-19, C-28, C-47, C-49, kelompok II satu
genotipe C-8, dan kelompok III satu genotipe C-15.
REGR factor score 2 for analysis 1
2 1
-1 -2
-3
R E
GR fa
c tor
sc o
re 1
fo r a
n a
ly si
s 1
4 3
2 1
-1 C49
C47 C28
C19 C18
C15
C9 C8
C7 C5
C4 C3
C2 C1
REGR factor score 2 for analysis 1
2 1
-1 -2
-3
R E
GR fa
c tor
sc o
re 1
fo r a
n a
ly si
s 1
4 3
2 1
-1 C49
C47 C28
C19 C18
C15
C9 C8
C7 C5
C4 C3
C2 C1
Gambar 10. Pengelompokan Beberapa Genotipe Cabai Berdasarkan KU I dan KU II.
Berdasarkan KU I dan KU III Gambar 11 dengan proporsi keragaman 35.16 juga diperoleh tiga kelompok. Kelompok I terdiri atas 11 genotipe C-1,
C-2, C-3, C-4, C-5, C-8, C-9, C-18, C-19, C-28, C-49, kelompok II dua genotipe C-7 dan IPB C-49, dan kelompok III satu genotipe C-15.
Berdasarkan KU II dan KU III Gambar 12 dengan proporsi keragaman 28.66 diperoleh lima kelompok, kelompok I terdiri atas delapan genotipe C-1,
C-2, C-3, C-5, C-9, C-15, C-18, C-19, kelompok II dua genotipe C-7 dan C-49,
I II
III
46 kelompok III dua genotipe C-47 dan C-28, kelompok IV satu genotipe C-4 dan
kelompok V satu genotipe C-8.
REGR factor score 3 for analysis 1
2.0 1.5
1.0 .5
0.0 -.5
-1.0 -1.5
-2.0
R E
G R
fac to
r s c
or e
1 for a
nal y
s is
1
4 3
2 1
-1 C49
C47 C28
C19 C18
C15
C9 C8
C7 C5
C4 C3
C2 C1
REGR factor score 3 for analysis 1
2.0 1.5
1.0 .5
0.0 -.5
-1.0 -1.5
-2.0
R E
G R
fac to
r s c
or e
1 for a
nal y
s is
1
4 3
2 1
-1 C49
C47 C28
C19 C18
C15
C9 C8
C7 C5
C4 C3
C2 C1
Gambar 11. Pengelompokan Beberapa Genotipe Cabai Berdasarkan KU I dan KU III.
REGR factor score 3 for analysis 1
2.0 1.5
1.0 .5
0.0 -.5
-1.0 -1.5
-2.0
R E
G R
f a
ct o
r sco re
2 f
o r a
n a
ly sis
1
2 1
-1 -2
-3 C49
C47 C28
C19 C18
C15 C9
C8 C7
C5 C4
C3 C2
C1
REGR factor score 3 for analysis 1
2.0 1.5
1.0 .5
0.0 -.5
-1.0 -1.5
-2.0
R E
G R
f a
ct o
r sco re
2 f
o r a
n a
ly sis
1
2 1
-1 -2
-3 C49
C47 C28
C19 C18
C15 C9
C8 C7
C5 C4
C3 C2
C1
Gambar 12. Pengelompokan Beberapa Genotipe Cabai Berdasarkan KU II dan KU III.
I II
III
V IV
I II
III
47
Analisis Gerombol
Analisis gerombol bertujuan untuk mengelompokkan data pengamatan ke dalam beberapa kelas, sehingga anggota di dalam satu kelas lebih homogen
dibandingkan dengan anggota di dalam kelas lain. Kriteria pengelompokan didasarkan pada ukuran kemiripan Djuraidah 1991. Semakin kecil jarak akar ciri
antar dua genotipe, semakin mirip genotipe tersebut satu sama lain. Santoso 2004 menyatakan bahwa salah satu teknik pengelompokan
adalah teknik hierarki, yang memulai pengelompokan dua atau lebih objek dengan kesamaan paling dekat, begitu seterusnya sampai membentuk semacam pohon di
mana ada hirarki tingkatan yang jelas antar objek, dari yang paling mirip sampai yang paling tidak mirip.
Analisis gerombol yang dilakukan pada 14 genotipe cabai dengan 34 peubah menghasilkan dendrogram seperti pada Gambar 13. Pada tingkat
kemiripan 85, 14 genotipe cabai tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga gerombol. Ketiga gerombol tersebut sama dengan ketiga kelompok yang
dihasilkan berdasarkan KU I dan KU II pada Analisis Komponen Utama. Ketidaksamaan
0 5 10 15 20 25
Genotipe
+---------+---------+---------+---------+---------+ C-1
Ø8ØÞ C-9
ØÝ ßØØØÞ C-2
Ø8ØÝ ßØØØÞ C-3
ØÝ Ù ßØØØÞ C-5
ØØØØØØØÝ Ù ßØØØÞ C-19
ØØØØØØØØØØØÝ Ù Ù C-18
ØØØØØØØØØØØØØØØÝ Ù C-7
ØØØØØØØØØØØØØØØØØØØÚØØØÞ C-49
ØØØØØØØØØØØØØØØØØØØà Ù C-28
ØØØØØØØØØØØ8ØØØØØØØÝ ßØØØØØØØØØÞ C-47
ØØØØØØØØØØØÝ Ù ßØØØØØØØØØØØØØØØÞ
C-4 ØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØÝ Ù
Ù C-8
ØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØÝ Ù
C-15 ØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØØ
ØØØØØÝ
48 Gambar 13. Dendogram Hasil Analisis Gerombol Beberapa Genotipe Cabai
Berdasarkan Analisis Komponen Utama dan Analisis Gerombol terlihat bahwa genotipe yang mempunyai ketahanan fisik terhadap antraknosa C-8
berada pada kelompok II, sedangkan genotipe yang mempunyai ketahanan biokimia terhadap antraknosa C-15 berada pada kelompok III. Genotipe yang
rentan dan sangat rentan terhadap antraknosa C-1, C-2, C-3, C-4, C-5, C-7, C-9, C-18, C-19, C-28, C47 dan C-49 berada pada kelompok I. C-15 digunakan
sebagai tetua tahan sedangkan C-2 dan C-19 digunakan sebagai tetua rentan dalam studi pewarisan pada Bab IV. Tetua tahan dan tetua rentan mempunyai latar
belakang genetik yang jauh sehingga sangat baik dalam merakit keragaman baru.
SIMPULAN
1. Genotipe C-15 secara konsisten lebih tahan terhadap antraknosa yang
disebabkan oleh C. acutatum dibandingkan dengan 14 genotipe lainnya. Genotipe C-8 dan C-49 dikatagorikan sebagai rentan, sedangkan genotipe
lainnya dikatagorikan sangat rentan terhadap antraknosa. 2.
Pada inokulasi menggunakan metode tusuk, C-15 dikatagorikan sebagai tahan terhadap antraknosa. C-15 bersama dengan C-8 juga dikatagorikan
sebagai tahan antraknosa pada inokulasi menggunakan metode celup. 3.
Berdasarkan ketahanan terhadap antraknosa serta kemudahan dalam melakukan persilangan maka dipilih genotipe C-15 sebagai tetua tahan
serta C-2 dan C-19 dipilih sebagai tetua rentan dalam studi pewarisan pada bab IV. C-2, C-8, C-9, C-15 dan C-19 dipilih untuk analisis silang
dialel. 4.
Terdapat perbedaan yang nyata antar genotipe terhadap semua peubah kuantitatif yang diamati kecuali tebal kulit buah. Beberapa karakter
kualitatif dapat dibedakan antar genotipe. 5.
Berdasarkan karakter morfologi dan ketahanan terhadap antraknosa, genotipe yang diuji dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Kelompok I terdiri atas 12 genotipe C-1, C-2, C-3, C-4, C-5, C-7, C-9,
49 C-18, C-19, C-28, C-47, C-49, kelompok II satu genotipe C-8, dan
kelompok III satu genotipe C-15. 6.
Kadar capsaicin pada buah dan aktivitas peroksidase pada daun tidak dapat dijadikan penanda ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan
oleh C. acutatum.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia L, Setiamihardja R, Karmana MH, Permadi AH. 1994. Pewarisan, heritabilitas dan kemajuan genetik ketahanan tanaman cabai merah terhadap
penyakit antraknosa. Zuriat 5 1 : 68 – 74. [AVRDC] Asian Vegetable Research Development and Center. 2000.
New breeding materials with resistance to anthracnose in Capsicum annuum
. Di dalam: AVRDC Progress Report 1999. Taiwan: AVRDC. hlm 18-19.
[AVRDC] Asian Vegetable Research Development and Center. 2003. Evaluation of phenotypic and moleculer criteria for the identification of Colletotricum
spesies causing pepper anthracnose in Taiwan. Di dalam: AVRDC Report 2003.
Taiwan: AVRDC. hlm 58-59. Berke TG. 2000. Hybrid seed production in Capsicum. Di dalam: Basra AS.
Editor. Hybrid seed production in vegetables : rationale and methods in selected crops
. New York: Haworth Press. hlm 49-67. Cheng SS. 1989. The use of Capsicum chinense as sweet pepper cultivar and
source for gene transfer. Di dalam: Green SK, Griggs TD, and Mc Lean BT. Editor. Tomato and pepper production in the tropics. Proceedings of The
International Symposium on Integrated Management Practices ; Taiwan, 21 –
26 March 1988. Taiwan: AVRDC Publ. No. 89 – 317. hlm: 5 – 62. Diyarti. 2003. Pengelompokkan plasma nutfah padi calon tetua persilangan
berdasarkan peubah hasil dan komponen hasil. Skripsi. Departemen Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. 14 hal.
Djuraidah. A. 1991. Simulasi analisis gerombol dengan pendekatan penguraian sebaran campuran normal ganda pada data MSS LANDSAT. Tesis. Fakultas
Pascasarjana. IPB. Bogor. 78 hal. Greenleaf WH. 1986. Pepper Breeding. Basset MJ. Editor. Breeding vegetables
crops. Conecticut: AVI Publishing Co. hlm 67-134.
Gupta SK, Gupta PP, Yadava TP, Kaushik CD. 1990. Metabolic change in mustard due to Altenaria leaf blight. Indian Phytopathol. 431 : 64-69.
50 Santoso, S. 2004. SPSS Statistik Multivariat. Elex Media Computindo. Jakarta.
343 hal. [IPGRI] International Plant Genetic Resources Institute. 1995. Descriptor for
Capsicum Capsicum spp.. Italy: IPGRI, AVRDC, CATIE. 110 hal. Makmur A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Ed ke-3. Jakarta: Rineka
Cipta. 79 hal. Park SK. 2005. Differential interaction between pepper genotypes and
Colletorichum isolates causing anthracnose. [Thesis]. Seoul: Seoul Nath.
Univ. 48 hal. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor PAU IPB.
169 hal. Purwati E, Jaya B, Duriat AS. 2000. Penampilan beberapa varietas cabai dan uji
resistensi terhadap penyakit virus kerupuk. J Hort 10 2 : 88-94. Sastrosumarjo S. 2003. Pembentukan varietas cabai tahan penyakit antraknosa
dengan pendekatan metode convencional dan bioteknologi [Laporan Riset RUT VIII]. Jakarta: Kementrian Reset dan Teknologi RI LIPI. 45 hal.
Tenaya IMN, Setyamiharja R, Natasasmita N. 2001. Correlation of capsaicin content, fructose, and peroxidase activity with antrachnose disease in chilli
pepper x red pepper. Zuriat 12 2 : 73-83. Tong N, Bosland PW. 1999. Capsicum tovarii, a new member of the Capsicum
complex. Euphytica 109: 71 – 77. Yoon JB, Yang DC, Do JW, Park HG. 2006. Overcoming two post-fertilization
genetic barriers in interspecific hybridization between Capsicum annuum and C. baccatum
for introgression of anthracnose resistance. Breeding Science 56 : 31 - 38.
Yoon JB. 2003. Identification of genetic resources, interspecific hybridization, and inheritance analysis for breeding pepper Capsicum annuum resistant to
anthracnose. [PhD]. Seoul: Seoul Natl Univ. 137 hal. Zen K, Setiamihardja R, Murdaningsih, Suganda T. 2002. Aktivitas enzim
peroksidase pada lima genotip cabai yang mempunyai ketahanan berbeda terhadap penyakit antraknosa. Zuriat 13 2 : 97-105.
IV. PEWARISAN KETAHANAN CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA