Kesediaan Membayar Dana Konservasi

ditanyakan, berapa nilai maksimal yang sanggup mereka bayarkan untuk dana konservasi tersebut untuk setiap kunjungan. Secara umum persentase wisatawan yang bersedia membayar dana konservasi jumlahnya lebih tinggi di P. Untung Jawa namun dengan nilai WTP yang lebih rendah dibandingkan P. Pramuka. Rendahnya nilai WTP wisatawan dikarenakan wisatawan di P. Untung Jawa menganggap kondisi lingkungan pantai dan laut di lokasi objek wisata ini semakin lama semakin buruk, sehingga mereka sudah tidak dapat lagi menikmati keindahan bawah laut seperti terumbu karang dan hanya menikmati pemandangan pantai. Nilai WTP yang lebih rendah juga dikarenakan wisatawan di P. Untung Jawa merasa adanya biaya konservasi akan membuat biaya tiket masuk semakin tinggi. Selama ini di objek wisata ini telah menerapkan biaya masuk sebesar Rp 3 000 per orang sehingga dana konservasi yang tinggi akan semakin memberatkan wisatawan. Sebanyak 80 persen responden di P. Untung Jawa menyatakan bersedia membayar sejumlah dana konservasi lingkungan, dimana 40 persennya menyatakan bersedia membayar antara Rp 2 000 – 3 000 untuk satu kali kunjungan. Sedangkan dari 43 responden di P. Pramuka hanya 70 persen yang bersedia membayar sejumlah dana konservasi, dimana 60 persen menyatakan bersedia membayar antara Rp 3 000 – 5 000 untuk satu kali kunjungan. Nilai rata- rata mean WTP wisatawan di P. Untung Jawa adalah Rp 3 471.4 sedangkan di P. Pramuka Rp 7 433.3. Kurva lelang bid curve diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas dependent variable dengan beberapa variabel bebas. Variabel bebas yang digunakan untuk memformulasikan persamaan WTP individu terhadap dana konservasi adalah jumlah kunjungan, pendapatan rumahtangga, pendidikan, umur dan jumlah rekreasi, total biaya rekreasi, lama perjalanan menuju lokasi dan jumlah rombongan. Persamaan kesediaan membayar untuk dana konservasi di P. Untung Jawa adalah sebagai berikut: WTP = 9 039.84 - 184.90V + 532.28X 2 - 497.98X 3 - 146.07X 4 - 551.34X 6 + 92.17X 8 + 175.01X 12 - 35.50X 11 + e i ................. 7.3 Tingkat signifikansi persamaan di atas ditunjukkan dengan nilai R-square adjust sebesar 13.68 persen. Artinya sebesar 13.68 persen kesediaan membayar wisatawan untuk dana konservasi di P. Untung Jawa dipengaruhi oleh variabel penjelas yang ada di dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Variabel jumlah kunjungan ke lokasi objek wisata, tingkat pendidikan, usia, jumlah rekreasi dan lamanya waktu perjalanan berhubungan negatif dengan nilai WTP. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering seorang wisatawan berkunjung, semakin tua usia, semakin sering seseorang berekreasi dan semakin lamanya perjalanan akan menurunkan kesediaan wisatawan membayar dana konservasi. Sedangkan pendapatan, preferensi terhadap lingkungan, total biaya rekreasi dan jumlah rombongan berhubungan positif dengan WTP. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin besar pendapatan, semakin tinggi preferensi terhadap lingkungan, semakin tinggi biaya yang dihabiskan selama berekreasi dan semakin banyaknya anggota rombongan meningkatkan kesediaan wisatawan membayar dana konservasi. Berdasarkan persamaan di atas terlihat biaya konservasi yang dibebankan pada tiket masuk dinilai memberatkan bagi wisatawan, terlebih bagi yang sering berkunjung. Seperti halnya wisatawan di P. Untung Jawa, wisatawan di P. Pramuka pun diminta kesediaannya untuk memberikan nilai biaya konservasi yang bersedia mereka bayarkan. Sehingga diperoleh persamaan kesediaan membayar untuk dana konservasi di P. Pramuka adalah sebagai berikut: WTP = -1 114.73 - 95.68V - 656.55X 2 – 1 084.16X 3 + 324.36X 4 + 239.61X 5 + 0.01X 7 - 248.46X 8 + 224.74X 11 + 908.34 X 12 + e i ........ ................................................................................... 7.4 Tingkat signifikansi persamaan di atas ditunjukkan dengan nilai R-square adjust sebesar 75.72 persen. Artinya sebesar 75.72 persen kesediaan membayar wisatawan untuk dana konservasi dipengaruhi di P. Pramuka oleh variabel penjelas yang ada di dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Variabel jumlah kunjungan, pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah rombongan berhubungan negatif dengan WTP. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin sering wisatawan berkunjung, semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin banyaknya anggota rombongan maka akan menurunkan kesediaan membayar dana konservasi. Sedangkan usia, preferensi terhadap lingkungan, jumlah rekreasi, total biaya rekreasi, lamanya perjalanan berhubungan positif dengan WTP. Artinya semakin tua usia, semakin tinggi pereferensi, semakin sering seseorang berekreasi, semakin tinggi biaya rekreasi dan semakin lama waktu perjalanan menuju lokasi akan semakin meningkatkan kesediaan membayar dana konservasi. Perbandingan koefisien regresi dari masing-masing persamaan WTP dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan kedua persamaan di atas terlihat bahwa semakin sering seseorang berkunjung ke lokasi objek wisata maka WTP terhadap dana konservasi akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan wisatawan memandang dana konservasi sebagai beban terhadap biaya masuk, sehingga akan memberatkan. Tabel 17. Hasil Estimasi Model WTP untuk Dana Konservasi Lingkungan di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Variabel Nilai Koefisien P. Untung Jawa P. Pramuka V -184.90 b -95.68 b X 2 532.28 c -656.55 c X 3 -497.98 -1 084.16 X 4 -146.07 b 324.36 c X 5 -551.34 c 239.61 X 12 175.01 908.34 c X 7 0.00 c 0.01 c X 8 92.17 c -248.46 c X 11 -35.50 224.74 b Cons 9 039.84 a -11 143.73 Prob F 0.17 0.00 R-squared 0.37 0.83 Adj R-squared 0.14 0.76 Root MSE 2 876.81 4 328.11 Ket: tanda a, b, c menunjukkan taraf nyata koefisien regresi masing-masing variabel berturut-turut pada = 1, 5 dan 25. Penggunaan CVM dengan meregresikan WTP terhadap pendapatan, jumlah kunjungan, preferensi dan substitusinya, telah dilakukan oleh Seller et al. 1985, dimana turunan dari bid curves dWTPdV akan menghasilkan kurva permintaan hiksian yang terkompensasi hicksian compensated demand curve. Kurva ini selanjutnya digunakan untuk mengetimasi nilai SK per pengunjung yang merupakan area di bawah kurva permintaan tersebut Garrod dan Kenneth, 1999. Model ini menghasilkan nilai yang jauh berbeda dengan pendugaan WTP dengan metode lainnya karena umumnya model persamaan yang dihasilkan memiliki R-square yang rendah yaitu antara 0.06-0.14 6-14 persen. Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang bid yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan contoh ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan contoh dengan jumlah rumahtangga di dalam populasi. Dalam hal ini cara yang digunakan untuk memperoleh agregat WTP dana konservasi adalah mengkalikan mean WTP dana konservasi dengan jumlah wisatawan di masing-masing lokasi objek wisata. Walaupun nilai WTP rata-rata di P. Pramuka lebih tinggi namun karena jumlah pengunjung di P. Untung Jawa jauh lebih tinggi maka nilai agregat WTP di P. Untung Jawa jauh lebih tinggi. Artinya jika dana konservasi diterapkan, walaupun dengan nilai yang lebih rendah maka total dana yang terkumpul akan lebih tinggi nilainya di P. Untung Jawa. Adapun perbandingan masing-masing nilai agregat WTP dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Estimasi Agregat WTP untuk Dana Konservasi Lingkungan di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Keterangan P. Untung Jawa

P. Pramuka

Rata-rata jumlah kunjungan orangtahun 36 400 5 200 Rata-rata WTP Rpkunjungan 3 471 7 433 Agregat WTP Rptahun 126 358 960 38 653 160 Peningkatan tarif di satu sisi dapat meningkatkan manfaat ekonomi namun di sisi lain peningkatan tarif dapat mengurangi jumlah wisatawan. Hasil penelitian Linberg 1991 menunjukkan bahwa manfaat sosial bagi suatu daerah tujuan wisata alam tidaklah maksimal ketika jumlah wisatawan juga maksimal, namun manfaat bersih net benefit maksimal tercapai ketika penetapan harga yang lebih tinggi dimana sejumlah wisatawan menjadi tidak dapat berkunjung. Semakin tingginya jumlah wisatawan mau tidak mau akan memberikan dampak negatif pada lingkungan lokasi objek wisata. Sehingga dapat disimpulkan peningkatan tarif masuk di kedua pulau akan memberikan keuntungan ganda, yaitu peningkatan penerimaan dan pengurangan jumlah wisatawan yang pada akhirnya juga akan mengurangi dampak lingkungan akibat wisatawan. Sehingga pada akhirnya pariwisata berkelanjutan sustainable tourism dapat tercapai. Beberapa studi di negara berkembang menunjukkan penerimaan dari wisatawan dalam bentuk user fee ini tidak diinvestasikan kembali pada upaya konservasi, dimana tarif masuk kawasan dan jasa wisata lainnya langsung dikumpulkan ke pemerintah pusat bersama penerimaan sektor publik lainnya. Ketika pemerintah berhak penuh dalam memutuskan prioritas nasional dalam pengeluaran sektor publik, maka hal ini berdampak pada perusakan sistem insentif bagi pengelola dalam mengembangkan suatu kawasan sebagai tujuan wisata alam yang sehat dan pencarian penerimaan yang lebih tinggi. Ketika sejumlah ahli ekonomi menitikberatkan upaya perolehan manfaat ekonomi dan efisiensi lingkungan terkait dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi, maka upaya menekan sektor swasta melalui proses politik agar mau menerima peningkatan biaya akan menjadi suatu masalah, khususnya ketika sektor swasta terbiasa dengan biaya- biaya yang relatif rendah. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh manfaat ekonomi lebih tinggi dari keberadaan suatu sumberdaya adalah menetapkan pajak yang lebih tinggi pada sektor swasta. Kemampuan sektor swasta dalam memperoleh laba yang lebih banyak seperti pada jangka panjang melalui pengenaai tarif yang lebih tinggi pada konsumen sangatlah terbatas. Sebagai suatu sumberdaya alam, kawasan wisata alam memiliki suatu nilai kelangkaan. Tetapi jika suatu atraksi bersifat open access hal ini akan menghasilkan degradasi lingkungan dan over crowding yang secara ekonomi tidaklah efisien. Kompetisi tak terbatas mendorong harga jatuh sehingga nilai kelangkaan suatu kawasan berubah menjadi surplus konsumen wisatawan dan kompetisi antara supplier lokal akan menghilangkan profit. Hal ini dikarenakan prospek profit selanjutnya cenderung semakin menurun, akibatnya profit terhapus akibat kompetisi harga dan kelebihan kapasitas. Hal ini akan kontras pada situasi dimana terdapat peraturan masuk kawasan regulated entry, dimana akses dibatasi untuk sejumlah pengelola wisata yang pada akhirnya akan berperan sebagai monopolis dan menetapkan tarif di atas biaya marjinal sehingga akan memperoleh profit Steele, 1995. Akan tetapi sejumlah kawasan wisata alam dan khususnya protected area dikelola oleh pemerintah secara monopoli sehingga sering mengalami kegagalan. Kondisi desa wisata di P. Untung Jawa yang menjadi kawasan ekowisata massal, semakin hari jumlah wisatawannya semakin meningkat. Hal ini tentunya akan berakibat buruk pada lingkungan, kebutuhan lebih lahan yang lebih luas untuk pembangunan fasilitas, polusi akibat bahan bakar transportasi laut, limbah dari rumah makan dan sebagainya. Jika hal ini tidak disadari sejak awal maka degradasi kawasan akan terjadi. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah selaku pengelola objek wisata tersebut adalah meningkatkan tarif masuk. Peningkatan tarif masuk di satu sisi akan mengurangi jumlah wisatawan namun di sisi lain hal tersebut akan mengurangi kerusakan lingkungan di kawasan wisata tersebut. Kegiatan ekowisata di P. Pramuka yang termasuk ke dalam kawasan wisata ekslusif, hingga saat ini belum dibebankan tarif masuk. Akibatnya jumlah wisatawan terus meningkat yang jika tidak disadari dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan seperti halnya di P. Untung Jawa. Berdasarkan penelitian ini, wisatawan yang berkunjung mampu membayar sejumlah dana konservasi sebagai tarif masuk di atas tarif di P. Untung Jawa. Akan tetapi harus diserahkan kepada masyarakat lokal dan bukan merupakan pemasukan kepada Pemda. Kelembagaan pengelola wisata alam dapat mengambil contoh sukses dari P. Untung Jawa, dimana terdapat tokoh masyarakat lokal yang menggerakkan organisasi pengelola kawasan wisata dan mekanisme yang transparan dalam pengelolaannya. Selain pengenaan tarif masuk, pengenaan biaya yang lebih tinggi pada sektor swasta dapat dilakukan di P. Pramuka. Mengingat di pulau ini sudah terdapat beberapa investor dari luar pulau Jakarta yang mulai berinvestasi dalam bentuk jasa akomodasi homestay, penyewaan alat dan tur operator. Pengenaan biaya bisa dalam bentuk pajak atau retribusi usaha yang hingga saat ini belum dikenakan.

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN

Pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan ekowisata ditujukan untuk menciptakan hubungan timbal balik dan saling mengisi antara pelestarian lingkungan, peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat lokal serta kelayakan ekonomi dan usaha. Oleh karena itu, dalam implementasinya konsep ekowisata dituntut untuk: 1 menjamin tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan dan mempaduserasikan semua kepentingan secara berimbang, 2 memastikan masyarakat secara aktif, kehidupan sosialnya terangkat serta nilai-nilai budaya tetap terjaga, 3 memastikan pemanfaatan tersebut memberikan sumbangan secara nyata pada peningkatan ekonomi lokal, regional dan nasional, serta 4 memastikan penyelenggara usaha memiliki kelayakan finansial. Hasil pengamatan peneliti, pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu, baik di P. Untung Jawa maupun di P. Pramuka telah melibatkan masyarakat lokal. Demikian pula hasil analisis ekonomi, pengelolaan wisata alam ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Kesempatan untuk meningkatkan manfaat dari kegiatan ekowisata ini juga masih dapat ditingkatkan melalui penetapan tarif masuk yang lebih tinggi. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat dipungkiri adanya dampak lingkungan berupa kerusakan lingkungan yang semakin tampak, baik yang disebabkan oleh kegiatan wisata maupun aktivitas penduduk. Agar tujuan dari konsep ekowisata sebagaimana disebutkan di atas dapat tercapai, maka diperlukan kebijakan pengelolaan ekowisata berbasis kawasan. Kebijakan yang dibuat harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan sehingga terjamin adanya sinergi dan koordinasi diantara berbagai pemangku kepentingan tersebut. Koordinasi dan sinergi dengan setiap stakeholder diyakini dapat berperan nyata dalam mensukseskan pengelolaan ekowisata di suatu kawasan.

8.1 Peran Strategis Pemangku Kepentingan

Kebijakan pengelolaan diperlukan karena terkait dengan interaksi negatif antara kegiatan wisata dengan kondisi fisik lingkungan. Hal ini telah menjadi perhatian dari stakeholder wisata, seperti pemerintah, LSM, masyarakat setempat dan sektor swasta, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan dalam pembangunan wisata dan turut mempengaruhi interaksi kegiatan ini dengan kondisi fisik lingkungan. Berikut ini dijabarkan beberapa peran strategis para stakeholder wisata di Kepulauan Seribu.

8.1.1 Sektor Publik

Perhatian utama pemerintah pada kegiatan wisata dikarenakan kegiatan ini mampu menghasilkan manfaat ekonomi dan kesadaran bahwa manfaat konomi tersebut juga berkurang jika sumberdaya alam yang menghasilkan jasa lingkungan tersebut mengalami kerusakan. Walaupun demikian, prioritas pemerintah terhadap perlindungan lingkungan selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan masih belum menjadi prioritas pembangunan, bahkan terkesan sebagai suatu kemewahan. Hal ini sejalan dengan hirarki O’Riordans’s 1981 mengenai prioritas pembangunan, sebagaimana terlihat pada Gambar 13. Tidak dapat dipungkiri peran sektor publik pemerintah sangat mendasar dalam pengembangan ekowisata. Pemerintah memiliki otoritas untuk menyusun kebijakan dan pengendalian tentang pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Selain itu pemerintah yang tergabung dalam sektor