Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta

(1)

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

WISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

PINI WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

WISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

PINI WIJAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

(4)

ABSTRACT

PINI WIJAYANTI. 2009. Economic Analysis and Management Policy on Community Based Nature Tourism in Seribu Islands Regency Jakarta Province. (EKA INTAN K. PUTRI as Chairman and ACENG HIDAYAT as Member of the Advisory Committee)

Tourism has become a part of commodities that widely used as one of source of income for regional development. Nowadays, the Government of Indonesia is striving for nature tourism located in conservation area, in expect to bring significant economic impact as well as perform conservation effort. Indonesia has many maritime tourism areas; one of them is Seribu Islands. This area consists of ± 110 small islands, with various utilizations. One that has positive effect for local communities’ economy is marine tourism activity.

The main objectives of this research are to explore the use of economic analysis and to develop policies under the frame of sustainable development. The research proceeds by addressing two methodological and measurement questions: (1) what is the economic impact and contribution of the nature tourism, and (2) what are the net economic benefits of nature tourism. Findings from the two objectives will be employed to explore policy management issues.

The development of nature tourism on Kepulauan Seribu brings real economic impact for local community. Cash flow from tourist to local community creates a number of home industries which impacts on the absorption of local employment. Nature tourism could improve the income of local community, but not in significant amount. As the negative impact, nature tourism brought inflation and displacement effect. Tourist expenditure on local level (island) gave direct, indirect and induced impact for local community. In Untung Jawa Island and Pramuka Island, tourist expenditures were about Rp 121 000 000 and Rp 64 000 000 per weekend, respectively. Economic impact from tourist expenditure is higher on Untung Jawa Island. Local Income Multiplier on Untung Jawa Island is 1.85; ratio Income Multiplier Type 1 is 1.47 and ratio Income Multiplier Type 2 is 1.94. Whereas in Pramuka Island, the values are 1.16, 1.40 and 1.78, respectively.

However, local government’s policy which only prioritizes the development of

marine tourism on south region is not appropriate. The north region with its potential is economically feasible to be developed as the destination of community-based tourism.

Demand function of recreation was developed by using individual travel cost method (ITCM). Recreational demand to Untung Jawa Island is not responsive to the travel cost, while reversely for recreational demand to Pramuka Island. This situation shows Untung Jawa Island as a cheap and main tourism destination. Conjoint analysis shows that utilities and infrastructures were the most important attributes in marine tourism development. Based on stakeholder analysis mapping, the primary stakeholders should be involved in decision making on marine tourism development. The most principal things according to the stakeholders were clarifying the policy and strengthening the institution. Key words : nature tourism, economic impact, travel cost


(5)

RINGKASAN

PINI WIJAYANTI. 2009. Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam Berbasis Masyarakat Lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (EKA INTAN K. PUTRI sebagai Ketua dan ACENG HIDAYAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pariwisata telah menjadi bagian dari komoditi yang banyak digunakan oleh suatu wilayah sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan. Data sektor pariwisata di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Saat ini pemerintah Indonesia tengah mengupayakan kegiatan wisata yang diantaranya berlokasi di kawasan pelestarian alam dengan harapan dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan sekaligus melaksanakan upaya konservasi. Indonesia memiliki banyak kawasan wisata bahari, salah satunya adalah kawasan Kepulauan Seribu. Wilayah ini terdiri dari 110 pulau-pulau kecil, dengan berbagai pemanfaatan. Salah satu pemanfaatan yang berdampak positif bagi kegiatan perekonomian masyarakat lokal adalah kegiatan wisata bahari.

Tujuan utama penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi wisata alam. Penelitian ini difokuskan pada perspektif ekonomi wisata alam di negara berkembang. Penelitian ini memiliki tiga tujuan khusus, yaitu: (1) menghitung dampak ekonomi kegiatan wisata alam, (2) mengkuantifikasi nilai guna langsung (direct use value) dari pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan wisata alam dan (3) menganalisis alternatif kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal.Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada pembuat kebijakan agar kontribusi wisata alam dapat ditingkatkan dalam pembangunan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengetahui kondisi wisata


(6)

alam yang layak secara finansial dan ekonomi serta tetap berwawasan lingkungan.

Studi menyeluruh mengenai penilaian ekonomi yang meliputi penilaian dampak ekonomi dan penilaian manfaat ekonomi suatu jasa lingkungan akan memberikan analisa ekonomi yang komprehensif. Hal tersebut dapat menjadi dasar penetapan alternatif rekomendasi dalam merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan wisata tersebut.

Penelitian ini dilakukan di P. Untung Jawa Kecamatan Kepulauan Seribu Bagian Selatan dan P. Pramuka Kepulauan Seribu Utara. Kedua pulau merupakan tujuan wisata bahari yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat lokal. Luas P. Untung Jawa adalah 40.1 Ha dengan jumlah wisatawan 36 400 orang per tahun. Sedangkan luas P. Pramuka adalah 16 Ha dan jumlah wisatawan yang berkunjung ke P.Pramuka sebesar 2 600 orang per tahun.

Perkembangan wisata alam di Kepulauan Seribu memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal. Aliran uang dari wisatawan ke masyarakat lokal menciptakan sejumlah usaha kecil menengah (UKM) yang berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja lokal. Pariwisata alam meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, walaupun nilainya rendah. Namun demikian, dampak positif tersebut tidak lepas dari dampak negatif yang ditimbulkan, yaitu inflasi dan displacement effect.

Pengeluaran wisatawan di tingkat lokal (pulau) memberikan manfaat langsung, tak langsung dan lanjutan, bagi masyarakat lokal. Rata-rata pengeluaran wisatawan untuk satu kali kunjungan adalah Rp 174 253 per orang di P. Untung


(7)

Jawa. Artinya dalam satu pekan pengeluaran wisatawan total sekitar Rp 121 000 000 dimana sekitar Rp 71 000 000 perputaran uang terjadi di dalam pulau dan sisanya economic leakage. Sedangkan di P. Pramuka rata-rata pengeluaran wisatawan perkunjungan adalah Rp 648 527. Artinya dalam satu pekan pengeluaran wisatawan total sekitar Rp 64 000 000 dimana sekitar Rp 34 000 000 perputaran uang terjadi di dalam pulau dan sisanya merupakan economic leakage. Dampak ekonomi dari pembelanjaan wisatawan di tingkat lokal dikuantifikasi menggunakan keynesian multiplier dengan panduan Marine Ecotourism for Atlantic Area (META). Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan lebih tinggi di P. Untung Jawa dibandingkan di P. Pramuka. Tercatat nilai Local Income Multiplier di P. Untung Jawa adalah 1.85, nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 sebesar 1.47 dan nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 sebesar 1.94. Sedangkan di P. Pramuka berturut-turut tercatat 1.16, 1.40 dan 1.78. Berdasarkan nilai tersebut, kebijakan Pemda yang selama ini hanya mengutamakan pengembangan wisata bahari di wilayah Selatan adalah kurang tepat, mengingat wilayah Utara dengan potensi yang dimilikinya layak secara ekonomi untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata bahari berbasis masyarakat lokal

Fungsi permintaan rekreasi diestimasi dengan menggunakan individual travel cost method (ITCM). Permintaan rekreasi ke P. Untung Jawa tidak responsif terhadap biaya perjalanan sedangkan kondisi sebaliknya bagi permintaan rekreasi ke P. Pramuka. Nilai manfaat jasa lingkungan yang dihasilkan dari keberadaan sumberdaya untuk kegiatan wisata bahari di P. Untung Jawa sebesar Rp 719.3 milyar per tahun dan Rp 23.1 milyar per tahun di P.Pramuka.


(8)

Secara individual nilai jasa lingkungan yang ditunjukkan oleh nilai surplus konsumen per individu adalah 19 762 846 di P. Untung Jawa dan Rp 8 884 624 P. Pramuka

Pada pelaksanaannya pengelolaan dan pengembangan wisata bahari di wilayah memerlukan koordinasi dan kerjasama multi stakeholder dari berbagai tingkat tanggungjawab dan kewenangan. Stakeholder yang terlibat adalah pemerintah daerah, masyarakat lokal, swasta (investor) dan lembaga non pemerintah. Jika diskenariokan suatu bentuk wisata alam yang terdiri atas berbagai atribut dengan level kepentingan yang berbeda, diperoleh hasil bahwa sebagian besar stakeholder menyatakan atribut sarana dan prasarana adalah yang terpenting.

Berdasarkan hasil pemetaan analisis stakeholder ditetapkan stakeholders

primer yang diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan wisata bahari di wilayah Kepulauan Seribu. Stakeholder primer di P. Untung Jawa adalah Bappekab, Sudin Pariwisata dan Sudin UKM dan Koperasi. Sedangkan di P. Pramuka stakeholder adalah Bappekab, Sudin Pariwisata dan Sudin UKM dan Koperasi, TNLKS dan LSM. Dari sejumlah alternatif rekomendasi kebijakan pengelolaan wisata bahari, hal yang paling utama adalah mempertegas kebijakan dan penguatan kelembagaan.


(9)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(10)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN WISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT LOKAL DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2009

PINI WIJAYANTI NRP. A151050121


(11)

Judul Tesis : Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam Berbasis Masyarakat Lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta

Nama Mahasiswa : Pini Wijayanti Nomor Pokok : A151050121

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan K. Putri, MS Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Anggota

Mengetahui,

2.Ketua Program Studi 3.Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(12)

(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelsesaikan tesis yang berjudul : Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat Lokal (Studi Kasus Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta).

Tesis ini dilatarbelakangi adanya perkembangan sektor pariwisata di Indonesia. Khususnya wisata alam yang sangatlah penting dalam konteks

sustainable developement karena bentuk wisata ini selain berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di tingkat lokal dan nasional juga menyediakan insentif bagi upaya konservasi dan pendanaan konservasi biodiversitas. Namun, masyarakat lokal yang selama ini memiliki akses langsung terhadap kawasan dan aktivitas wisata alam dilihat belum memperoleh manfaat yang signifikan.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Eka Intan K. Putri, MS dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku ketua dan anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan yang bermanfaat bagi kesempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.


(14)

4. Ketua Departemen, rekan-rekan staf pengajar serta staf penunjang di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, atas bantuan dan pengertiannya selama ini.

5. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) atas bantuan dana serta informasi yang berkaitan dengan Kepulauan Seribu.

6. Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, khususnya Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, atas informasi terkait pengembangan pariwisata di Kepulauan Seribu.

7. Aparat Kelurahan serta masyarakat P. Untung Jawa dan P. Pramuka yang telah berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan selama penelitian ini

8. Teman-teman EPN IPB angkatan 2005.

Ucapan terimakasih terbesar ditujukan kepada Ibu dan Bapak serta adik-adik yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat dalam penyelesaian tesis ini. Serta semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tak langsung dalam penyelesaian tesis ini.

Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan bagi perbaikkan penulisan berikutnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan semoga hasil penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Maret 2009 Pini Wijayanti


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 19 September 1981 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs.Samihadi dan Ibu Marcia. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri I Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB melalui jalur USMI dan lulus pada tahun 2003. Pada April 2004 penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar pada tempat yang sama ketika studi S1. Tahun 2005 Penulis melanjutkan studi S2 di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB konsentrasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan dukungan biaya dari BPPS. Sejak tahun 2006 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

VI. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Bahari ... 14

2.2. Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan untuk Wisata Alam ... 20

2.3. Analisis Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam ... 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Dampak Ekonomi Wisata Alam di Tingkat Lokal ... 29

3.2. Pengukuran Economic Value ... 37

3.3. Analisis Kebijakan Pengelolaan Wisata... 41

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 47

4.3. Metode Pengambilan Contoh ... 48

4.4. Metode dan Prosedur Analisis ... 49

4.4.1. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari terhadap Masyarakat Lokal ... 49

4.4.2. Penilaian Economic Value Jasa Lingkungan untuk Kegiatan Wisata ... 51


(17)

I V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN WISATAWAN

5.1. Gambaran Umum Kawasan dan Wisata Bahari di Kepulauan

Seribu... 60

5.2. Gambaran Umum Wisatawan ... 64

5.4. Persepsi Wisatawan terhadap Kondisi Objek Wisata ... 68

VI. DAMPAK EKONOMI KEGIATAN WISATA ALAM 6.1. Dampak Ekonomi Langsung ... 75

6.2. Dampak Ekonomi Tak Langsung ... 83

6.3. Dampak Ekonomi Induced ... 88

6.4. Nilai Pengganda dari Pengeluaran Wisatawan ... 89

6.5. Dampak Aktifitas Wisata Bagi Masyarakat Pulau ... 92

6.6.Dampak Negatif Aktifitas Wisata Bahari ... 95

6.7. Upaya Peningkatan Keuntungan Ekonomi Masyarakat ... 96

IVII. PENILAIAN EKONOMI JASA LINGKUNGAN 7.1. Model Permintaan Rekreasi di Pulau Untung Jawa ... 100

7.2. Model Permintaan Rekreasi di Pulau Pramuka ... 103

7.3. Penilaian Surplus Konsumen ... 106

7.4. Kesediaan Membayar Dana Konservasi ... 108

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN 8.1. Peran Strategis Stakeholder... 118

8.1.1 Sektor Publik ... 118

8.1.2 Sektor Privat ... 123

8.1.3 Lembaga Swadaya Masyarakat ... 124

8.1.4 Masyarakat Lokal ... 125

8.2. Preferensi Stakeholder Ekowisata terhadap Bentuk Wisata Bahari 127 8.3. Persepsi dalam Pengelolaan Wisata yang Diharapkan... 129

8.4. Identifikasi Strengthness, Weakness, Opportunities and Threats 131 8.4.1. Identifikasi SWOT Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa ... 132


(18)

8.4.2. Identifikasi SWOT Pengembangan Wisata Bahari di

Pulau Pramuka ... 134

8.5. Analisis Stakeholder... 137

8.6. Alternatif Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Wisata Bahari 143 IX. KESIMPULAN DAN SARAN... 9.1. Kesimpulan ... 149

9.2. Saran ... 151

DAFTAR PUSTAKA ... 153


(19)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Nilai Ekonomi Total dari Keberadaan Protected Area ... 21 2. Penghitungan Nilai Surplus Konsumen dari Fungsi Permintaan

Linier dan Semi-Log ... 54 3. Ringkasan Keterkaitan Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data,

Metode Pengambilan Contoh, serta Metode dan Prosedur Analisis . 58 4. Peruntukan Kawasan Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta ... 62 5. Proporsi dari Harga Tur Operator yang Diterima Daerah Tujuan

Wisata ... 74 6. Estimasi Aliran Uang pada Akhir Pekan dari Kegiatan Wisata

Bahari di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Tahun 2008 ... 77 7. Sebaran Unit Usaha pada Objek Wisata Pulau Untung Jawa dan

Pulau Pramuka Tahun 2008 ... 78 8. Proporsi Pendapatan dan Biaya Produksi terhadap Total

Penerimaan pada Unit Usaha Wisata di Pulau Untung Jawa dan

Pulau Pramuka Tahun 2008 ... 80 9. Perbandingan Kisaran Pendapatan Pemilik Unit Usaha Wisata di

Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Tahun 2008 ... 81 10. Perbandingan Kisaran Pendapatan Tenaga Kerja Lokal pada Unit

Usaha Wisata di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Tahun

2008 ... 82 11. Jumlah Unit Usaha dan TK pada Unit Usaha Terkait Wisata Bahari

di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Tahun 2008 ... 85 12. Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal... 89 13. Nilai Multiplier dari Arus Uang Kegiatan Wisata Bahari di Pulau

Untung Jawa dan Pulau Pramuka Tahun 2008... 90 14. Hasil Estimasi Parameter Beberapa Model Permintaan Rekreasi ke

Pulau Untung Jawa ... 102 15. Hasil Estimasi Parameter Beberapa Model Permintaan Rekreasi ke

Pulau Pramuka... 105 16. Perbandingan Nilai Surplus Konsumen di Pulau Untung Jawa dan


(20)

17. Hasil Estimasi Model WTP untuk Dana Konservasi Lingkungan di

Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka ... 112 18. Hasil Estimasi Agregat WTP untuk Dana Konservasi Lingkungan

di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka ... 113 19. Produk Hukum Terkait Ekowisata di Indonesia ... 120 20. Ringkasan Preferensi Stakeholder terhadap Atribut Wisata Alam di

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008 ... 129 21. Analisis Stakeholder Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ... 140 22. Analisis Stakeholder Wisata Bahari di Pulau Pramuka Kabupaten


(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Trend Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan

Mancanegara ke Kabupaten Admistrasi Kepulauan Seribu Tahun

2002-2006... 5 2. Trend Jumlah Kunjungan Wisatawan di Pulau Untung Jawa dan

Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI

Jakarta Tahun 2003-2007 ... 6 3. Dampak dan Kebocoran pada Perekonomian Lokal Akibat

Pengeluaran Wisatawan ... 17 4. Metode-metode Penilaian Manfaat Sumberdaya Alam dan

Lingkungan... 22 5. Aliran Pengeluaran Wisatawan pada Perekonomian Lokal ... 30 6. Interaksi Antar Komponen di Sektor Jasa untuk Pulau-Pulau Kecil 43 7. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 44 8. Tipologi Wisatawan Berdasarkan Tingkat Perhatian terhadap

Lingkungan... 67 9. Persepsi Wisatawan pada Atribut Wisata di Pulau Untung Jawa.... . 69 10. Persepsi Wisatawan pada Atribut Wisata di Pulau Pramuka ... 70 11. Perbandingan Persentase Masing-Masing Biaya terhadap Biaya

Total Rekreasi yang Dikeluarkan Wisatawan ... 75 12. Scatter Plot Biaya Perjalanan dan Jumlah Kunjungan dari

Responden Wisatawan di Pulau Untung Jawa ... 101 13. Scatter Plot Biaya Perjalanan dan Jumlah Kunjungan dari

Responden Wisatawan di Pulau Pramuka ... 104 14. Hirarki Tujuan Nasional ... 119 15. Keterkaitan Aspek Pengembangan Pariwisata Daerah ... 120 16. Preferensi Stakeholder Pariwisata pada Atribut Wisata di Pulau


(22)

17. Preferensi Stakeholder Pariwisata pada Atribut Wisata di Pulau

Pramuka ... 128 18. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam

Pengelolaan Wisata di Pulau Untung Jawa Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu ... 139 18. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam

Pengelolaan Wisata di Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kuisioner Wisatawan ... 159 2. Kuisioner Pemilik Unit Usaha... 165 3. Kuisioner Tenaga Kerja Lokal ... 169 4. Kuisioner Rumah Tangga... 173 5. Kuesioner untuk Stakeholder Pemerintah dan Non Pemerintah ... 176 6. Statistika Deskriptif Data Responden Wisatawan di Pulau Untung

Jawa.... ... 179 7. Statistika Deskriptif Data Responden Wisatawan di Pulau Pramuka 179 8. Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Sarana dan Prasarana Wisata

Bahari di Pulau Untung Jawa. ... 180 9. Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Sarana dan Prasarana Wisata

Bahari di Pulau Pramuka ... 180 10. Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Kondisi Panorama Alam

Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa ... 181 11. Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Kondisi Panorama Alam

Wisata Bahari di Pulau Pramuka. ... 181 12. Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Sarana Transportasi di Pulau

Untung Jawa ... 182 13. Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Sarana Transportasi di Pulau

Pramuka ... 182 14. Hasil Uji Satu Sampel Persepsi Wisatawan Terhadap Atribut

Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa ... 183 15. Hasil Uji Satu Sampel Persepsi Wisatawan Terhadap Atribut

Wisata Bahari di Pulau Pramuka ... 184 16. Output Conjoint Analysis di Pulau Untung Jawa ... 185 17. Output Conjoint Analysis di Pulau Pramuka ... 186 18. Output Conjoint Analysis di Pulau Untung Jawa dan Pulau


(24)

19. Tabulasi Gambaran Responden Pemilik Unit Usaha di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu Tahun 2008 ... 188 20. Tabulasi Responden Tenaga Kerja Lokal di Pulau Untung Jawa

dan Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

Tahun 2008 ... 193 21. Tabulasi Responden Masyarakat Lokal yang Tidak Terkait

Kegiatan Wisata di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Selama enam dekade, pariwisata terus mengalami perkembangan dan penganekaragaman untuk menuju sektor ekonomi yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya di dunia. Semakin hari semakin banyak destinasi wisata baru dibuka dan investasi terus dilakukan. Pariwisata telah menjadi salah satu kategori utama dalam perdagangan internasional. Bahkan saat ini pendapatan ekspor yang dihasilkan dari pariwisata internasional berada di posisi keempat setelah bahan bakar, bahan kimia dan produk otomotif (UNWTO, 2008). Bagi sejumlah negara berkembang, pariwisata menjadi salah satu sumber pendapatan utama. Hal ini dikarenakan pariwisata menciptakan lapangan pekerjaan dan kesempatan pembangunan. Pariwisata semakin meluas dan dinilai sebagai industri dunia terbesar dan penyedia lapangan pekerjaan, walaupun pengukurannya dikenal sulit dan keakuratannya diragukan statistik.

Data statistik menunjukkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia selama tahun 2007 sebanyak 5 505 759 kunjungan atau naik sebesar 13.02 persen dibandingkan tahun 2006. Selanjutnya, pada tahun 2007 terjadi peningkatan pada rata-rata pengeluaran dan lama tinggal wisman, yaitu US$ 970.98 per kunjungan (US$ 107.70 per hari) dan 9.02 hari. Penerimaan devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2007 juga menunjukkan peningkatan sebesar 20.19 persen dibandingkan tahun 2006, dimana selama tahun 2007 jumlah devisa sebesar US$ 5 345.98 juta. Demikian halnya dengan wisatawan nusantara (winus) yang juga mengalami pertumbuhan 1.5 persen hingga pertengahan tahun


(26)

2007. Statistik winus menunjukkan pada tahun 2007, rata-rata lama perjalanan adalah 1.95 hari, rata-rata pengeluaran sebesar Rp 406 350 per perjalanan serta total pengeluaran Rp 79.85 trilyun (Debudpar, 2008). Keseluruhan angka tersebut di atas, mencerminkan kemampuan pariwisata dalam meningkatan pendapatan negara, baik dalam bentuk devisa asing maupun perputaran uang di dalam negeri.

Berbagai bentuk pariwisata memberikan kontribusi yang nyata pada pendapatan nasional, devisa, kesempatan kerja serta pendapatan pemerintah. Wisata alam (nature tourism) sangatlah penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development), karena bentuk wisata ini menawarkan potensi mobilisasi sumberdaya melalui sektor swasta serta berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Selain itu, wisata alam juga menyediakan insentif bagi upaya konservasi dan pendanaan konservasi biodiversitas. Tentunya hal ini merupakan prospek yang menarik, khususnya bagi negara berkembang yang memiliki keterbatasan alternatif pembangunan ekonomi di sejumlah daerah terpencil dimana investasi biodiversitas tidak mencukupi dan dukungan dana publik sangat langka (Wells, 1997).

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak daerah yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang potensial untuk dikembangkan dalam kerangka kepariwisataan serta memiliki kemampuan untuk menjadi salah satu destinasi pariwisata kelas dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan mencapai 5.8 juta km persegi (± 70 persen dari luas wilayah) serta memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki peluang untuk mengembangkan potensi wisata bahari. Keanekaragaman hayati terumbu karang, ikan dan sebagainya berpeluang menghasilkan devisa dari kunjungan


(27)

wisman, yang menurut hasil survei kepariwisataan, sebagian besar wisman menyukai objek wisata pantai. Oleh karena itu pemerintah mulai menggalakkan pengembangan pariwisata dari landbased ke seabased karena Indonesia memiliki keuntungan kompetitif dan berpeluang dalam mengembangkan wisata bahari dibandingkan dengan negara lain (WTTC, 1997).

Seperti halnya tujuan pembangunan berkelanjutan yang digambarkan

dalam “a triangle framework” (Seragaldin, 1996), maka pembangunan industri

pariwisata harus diarahkan pada pembangunan industri pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism). World Tourism Organization (WTO) mendefinisikannya sebagai pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sekaligus melindungi dan mendorong kesempatan untuk masa yang akan datang. Kegiatan ini mengarah pada pengelolaan keseluruhan sumberdaya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi. Selain itu, kegiatan tersebut diharapkan tetap memelihara integritas budaya, proses ekologi secara esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (Mak, 2004). Wisata bahari sebagai bagian dari kegiatan pariwisata yang menyuguhkan keindahan alam pantai dan laut merupakan salah satu potensi wisata alam yang dapat diandalkan.

Salah satu kawasan wisata bahari di Indonesia adalah kawasan Kepulauan Seribu yang secara administatif merupakan wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Wilayah ini terdiri dari 110 pulau-pulau kecil, dengan berbagai pemanfaatan, yaitu pemukiman, penyempurna bangunan hijau, cagar alam, penghijauan serta pariwisata. Salah satu pemanfaatan yang berdampak positif bagi kegiatan perekonomian masyarakat lokal adalah kegiatan wisata alam


(28)

pantai dan bawah laut (bahari). Hal ini dikarenakan selain didukung oleh potensi wisata bahari seperti terumbu karang, pantai pasir putih, hutan mangrove dan potensi wisata sejarah peninggalan perang kemerdekaan RI, pengembangan kegiatan wisata bahari di wilayah ini, juga didukung oleh letaknya yang dekat dengan daratan Jakarta.

Berdasarkan pengelolaannya, secara umum pengelolaan kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu dilakukan oleh swasta atau masyarakat lokal. Sebagian besar pulau yang diperuntukkan untuk wisata, saat ini dikelola oleh swasta (private) dan fasilitasnya dilengkapi dengan standar internasional namun dengan keterlibatan masyarakat lokal yang terbatas. Sehingga dampak ekonomi dinikmati oleh pihak di luar masyarakat lokal. Saat ini tidak sedikit pulau yang mencoba mengembangkan pariwisata tanpa melibatkan pihak swasta, dimana pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat lokal. Umumnya kegiatan ini belum banyak berkembang namun respon pengunjung semakin meningkat. Gambar 1 menunjukkan trend kunjungan wisatawan ke Kepulauan Seribu. Jumlah wisman semakin meningkat, namun jumlah winus cenderung stabil bahkan menurun untuk dua tahun terakhir, hal ini diduga karena isu ketidakstabilan keamanan dan kondisi alam.

Seiring dengan pemekaran wilayah Kepulauan Seribu menjadi wilayah kabupaten administrasi (sebelumnya merupakan salah satu kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara), pengembangan sektor pariwisata menjadi salah satu agenda utama, khususnya wisata alam berbasis masyarakat lokal. Wilayah kabupaten ini terdiri atas dua kecamatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yang secara geografis jaraknya lebih dekat dengan daratan Jakarta, pemerintah


(29)

telah mengembangkan desa wisata bahari di P. Untung Jawa. Pemerintah daerah (Pemda) membangun berbagai fasilitas wisata guna meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000

2002 2003 2004 2005 2006

Tahun O r a n g / t a h u n Wisatawan Nusantara Wisatawan Mancanegara

Sumber: Suku Dinas Pariwisata Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (2007).

Gambar 1. Trend Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Mancanegara ke Kabupaten Admistrasi Kepulauan Seribu Tahun 2002-2006

Sedangkan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, yang menjadi pusat administrasi kabupaten, pembangunan sarana dan prasarana yang lengkap, seperti rumah sakit, prasarana air bersih, akses telekomunikasi dan lainnya, membuat masyarakat di wilayah ini khususnya masyarakat Kelurahan Pulau Panggang (P. Pramuka) mencoba mengembangkan wisata berbasis masyarakat lokal. Gambar 2 menunjukkan trend jumlah kunjungan di kedua pulau tersebut, terlihat P. Untung Jawa memiliki jumlah kunjungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan P. Pramuka. Hal ini disebabkan letak P. Untung Jawa yang lebih dekat dari daratan


(30)

Jakarta dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata andalan yang mendapat prioritas pengembangan dari Pemda.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

Jum

la

h

w

is

at

aw

an

(or

ang)

2003 2004 2005 2006 2007

Tahun P.Untung Jawa

P.Pramuka

Sumber: Kelurahan Untung Jawa (2007), Balai TNLKS (2007), berbagai sumber (diolah). Gambar 2. Trend Jumlah Kunjungan Wisatawan di P. Untung Jawa dan P.

Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Tahun 2003-2007

Mengingat besarnya potensi sumberdaya untuk kegiatan wisata alam di wilayah ini maka penelitian yang berkaitan dengan analisis ekonomi kegiatan wisata alam penting dilakukan. Sejauh ini studi yang telah dilakukan terkait pengembangan wisata bahari di wilayah kepulauan seribu hanya menganalisis perkembangan wisata bahari yang dikelola oleh swasta dan belum menilai sejauh mana dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat lokal. Suatu analisis ekonomi yang komprehensif, terkait dengan dampak ekonomi (economic impact) bagi masyarakat lokal serta nilai ekonomi (economic value) pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan wisata alam, penting dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana aktivitas pariwisata di wilayah ini berkontribusi bagi pengurangan kemiskinan sekaligus mendorong upaya konservasi. Selanjutnya informasi ini


(31)

dapat menjadi dasar dalam merumuskan alternatif rekomendasi kebijakan pengembangan pariwisata alam di wilayah ini.

1.2 Perumusan Masalah

Wisata alam khususnya bahari merupakan future tourism bagi Indonesia, karena pariwisata darat dinilai sudah jenuh sehingga sulit dikembangkan lebih lanjut. Potensi wisata bahari masih sangat besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Sejumlah kendala dihadapi dalam pengembangan wisata bahari, antara lain: belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya kelautan untuk pariwisata, eksplorasi sumberdaya kelautan yang tidak berbasis pada konsep berkelanjutan sehingga menyebabkan degradasi lingkungan, aktivitas ilegal seperti penggunaan bahan peledak dan racun sianida dalam penangkapan ikan atau pengambilan terumbu karang serta lemahnya perangkat dan penegakan hukum. Demikian pula halnya dengan pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu, juga mengalami beberapa kendala serupa, diantaranya sejak tahun 80-an kondisi sumberdaya alam laut di wilayah ini mengalami kerusakan diantaranya akibat over fishing dan penggunaan racun sianida. Hal ini tentunya merugikan para nelayan sekitar dan kegiatan wisata itu sendiri.

Beberapa objek wisata berbasis masyarakat lokal yang berada di Kepulauan Seribu, menjadi salah satu tujuan wisatawan baik dalam maupun luar negeri untuk melakukan kegiatan wisata pantai dan bawah laut. Wisatawan dapat menikmati keindahan pasir putih, terumbu karang, hutan mangrove serta penangkaran penyu sisik. Data menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke sekitar wilayah ini semakin meningkat, selain karena biayanya yang


(32)

relatif murah dibandingkan dengan resort yang dikelola secara private, wisatawan pun mulai jenuh dengan produk wisata yang ditawarkan oleh resort-resort yang telah ada sebelumnya.

Perkembangan kegiatan wisata alam yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dan transaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal tentunya membawa sejumlah dampak ekonomi. Dampak positif diantaranya adalah memberikan insentif bagi perkembangan ekonomi lokal melalui penciptaan kesempatan kerja, seperti pemandu wisata, akomodasi, catering, transportasi antar pulau, dan toko souvenir. Akhirnya aktivitas tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, namun dampak positif tersebut juga tidak lepas dari dampak negatif yang ditimbulkan, diantaranya adalah penurunan kualitas lingkungan serta perubahan kondisi sosial budaya masyarakat.

Studi mengenai penilaian dampak ekonomi kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu yang telah dilakukan sebelumnya hanya sebatas aspek makro dan hanya menganalisis kondisi objek wisata yang dikelola oleh swasta. Sehingga sampai saat ini, belum diketahui nilai dampak ekonomi kegiatan wisata alam bagi masyarakat lokal. Nilai ini penting untuk menunjukkan kontribusi kegiatan pariwisata alam bagi masyarakat lokal yang selama ini dinilai memiliki akses langsung terhadap sumberdaya.

Sejauh ini masyarakat lokal dipandang belum memperoleh manfaat yang signifikan dari kegiatan pariwisata. Manfaat ekonomi terjadi dari aliran uang di antara wisatawan dan masyarakat lokal yang menciptakan dampak langsung (direct), tak langsung (indirect) dan lanjutan (induced). Kuantifikasi nilai dampak ekonomi bagi masyarakat lokal diwujudkan dalam nilai pengganda pariwisata


(33)

(tourism income multiplier). Akan tetapi bila sejumlah input harus didatangkan dari luar pulau maka terjadi kebocoran ekonomi (economic leakage) yang akan mengurangi kontribusi ekonomi bagi masyarakat lokal. Nilai dampak ekonomi menjadi informasi penting bagi stakeholder khususnya Pemda untuk mengevaluasi sejauh mana kegiatan pariwisata memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Sehingga program-program terkait pengembangan wisata alam dapat tepat sasaran.

Wells (1997) menyatakan analisis ekonomi pariwisata alam meliputi analisis dampak ekonomi dan penilaian jasa lingkungan. Analisis dampak ekonomi memfokuskan pada kontribusi ekonomi kegiatan wisata pada suatu wilayah, namun studi ini belum menunjukkan besarnya nilai jasa lingkungan suatu sumberdaya untuk aktivitas rekreasi. Nilai jasa lingkungan suatu sumberdaya tercermin dalam nilai guna (use value) dari keberadaannya. Sumberdaya pulau dan pantai di Kepulauan Seribu memberikan sejumlah manfaat (benefit) langsung dan tak langsung. Khususnya untuk kegiatan wisata alam, manfaat jasa lingkungan untuk outdoor recreation merupakan salah satu nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya. Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar namun juga wisatawan pada khususnya.

Manfaat hanya dinikmati oleh wisatawan yang membayar tarif masuk pada

resort yang dikelola swasta, dengan kata lain ada mekanisme pembatasan jumlah wisatawan. Sedangkan pada pulau yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat lokal, wisatawan dapat bebas berekreasi tanpa harus membayar (open access dan unpriced recreation). Kondisi ini berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan dan tidak ada upaya pembatasan jumlah wisatawan. Kondisi ini dalam


(34)

jangka pendek tentunya akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat, namun dalam jangka panjang bila tidak disertai upaya konservasi maka akan menimbulkan degradasi lingkungan.

Manfaat yang dirasakan wisatawan yang berekreasi pada sejumlah resort

dapat terukur (tangible) karena memiliki nilai pasar. Sebaliknya manfaat yang dirasakan oleh wisatawan yang berkunjung ke objek wisata yang dikelola masyarakat lokal sulit untuk dikuantifikasi karena tidak memiliki nilai pasar. Akibatnya sulit mengkuantifikasi berapa nilai manfaat jasa lingkungan sesungguhnya. Nilai ini penting dikuantifikasi untuk menilai manfaat keberadaan sumberdaya untuk kegiatan wisata alam. Secara khusus nilai manfaat sumberdaya ini menjadi pembanding dengan nilai biaya (cost) untuk berbagai alternatif penggunaannya. Hingga saat ini, walaupun wisata alam mulai berkembang serta memiliki potensi yang besar di wilayah ini, namun belum ada penelitian spesifik untuk mengkuantifikasi direct use value dari jasa lingkungan yang diberikan sumberdaya untuk kegiatan pariwisata alam.

Permasalahan lain yang timbul adalah hingga saat ini Pemda belum menerapkan suatu kebijakan terkait dengan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal. Sejauh ini, Pemda hanya sebatas menetapkan kawasan wisata massal di wilayah Utara dan kawasan wisata ekslusif di wilayah Utara. Pemda dinilai terlalu fokus pada pengembangan wisata bahari di wilayah Selatan, yaitu P. Untung Jawa, yang telah dijadikan sebagai Desa Wisata Bahari. Padahal selain pulau tersebut terdapat pula beberapa pulau yang berpotensi mengembangkan wisata bahari berbasis masyarakat lokal, salah satu yang berkembang pesat adalah


(35)

P. Pramuka di wilayah Utara. Pulau ini semakin banyak dikunjungi wisatawan walaupun sarana prasarana wisata yang tersedia masih terbatas.

Guna meningkatkan dampak ekonomi masyarakat lokal serta meminimumkan degradasi lingkungan dari kegiatan pariwisata alam di Kepulauan Seribu maka diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangannya. Hal ini akan sulit diwujudkan tanpa koordinasi dan kerjasama para pemangku kepentingan (stakeholder) di wilayah ini. Stakeholder yang terkait dengan kegiatan pariwisata di Kepulauan Seribu diantaranya adalah Pemda, masyarakat lokal, swasta dan lembaga non pemerintah. Selain analisis ekonomi, sejumlah informasi lain diperlukan guna merumuskan alternatif kebijakan dalam pengelolaan wisata alam. Analisis persepsi wisatawan mengenai objek wisata dan preferensi Stakeholder terhadap bentuk pengelolaan wisata alam akan memberikan informasi penting bagi Pemda agar kebijakan yang diterapkan lebih proaktif serta tepat sasaran. Kebijakan pengelolaan wisata alam yang tepat diharapkan dapat meningkatkan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal serta mengurangi degradasi lingkungan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini, adalah:

1. Berapakah nilai dampak ekonomi yang tercipta dari kegiatan pariwisata alam berbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu? 2. Berapakah nilai guna langsung (direct use value) dari pemanfaatan jasa

lingkungan untuk kegiatan pariwisata alam di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu?


(36)

3. Bagaimanakah kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal dari sudut pandang pelaku-pelaku kegiatan wisata?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan utama penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi wisata alam di negara berkembang. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah:

1. Menghitung dampak ekonomi kegiatan wisata alam, yang meliputi dampak langsung, tak langsung dan lanjutan dari kegiatan wisata alam.

2. Mengkuantifikasi nilai guna langsung dari pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan wisata alam.

3. Menganalisis alternatif kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan analisis ekonomi, persepsi dan preferensi para stakeholder.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini berupaya mengkuantifikasi kontribusi ekonomi kegiatan pariwisata alam pada masyarakat lokal di Kepulauan Seribu. Kuantifikasi nilai dampak ekonomi dan manfaat jasa lingkungan dan analisis kebijakan pengelolaan wisata alam, diharapkan dapat dinilai apakah kegiatan wisata alam ini memiliki peluang sebagai sebuah mata pencaharian alternatif yang mempertemukan antara kepentingan ekologi dan ekonomi di wilayah Kepulauan Seribu. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata alam dapat mengurangi kemiskinan serta menciptakan insentif untuk mengurangi degradasi lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi Pemda


(37)

selaku pihak yang bertanggungjawab dalam perencanaan pengembangan pariwisata serta memberikan masukan dalam perumusan berbagai alternatif kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wisata alam bahari.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini meliputi economic impact asessment, pengukuran economic value dan kebijakan pengelolaan wisata alam di Kepulauan Seribu. Penelitian ini hanya dilakukan pada kegiatan wisata alam pantai (bahari) yang pengelolaannya berbasis masyarakat lokal dan tidak pada private tourism. Penghitungan dampak ekonomi yang dilakukan hanya dampak perputaran uang ditingkat lokal dari pengeluaran wisatawan (spending tourist) dengan panduan Marine Ecotourism for Atlantic Area (META, 2001) dimana penilaian ini tidak meliputi dampak dari proyek pembangunan pariwisata keseluruhan. Pengukuran economic value hanya dilakukan secara parsial pada direct use value dan tidak pada total economic value.

Penelitian ini memiliki keterbatasan karena sejumlah kendala yang tidak dapat dielakkan namun hal tersebut tidak mengurangi validitas hasil penelitian. Berdasarkan studi kasus di dua pulau sebagai perwakilan pulau dari wilayah Utara dan Selatan, penelitian ini mencoba membuka cakrawala informasi terkait dampak ekonomi, nilai jasa lingkungan serta kebijakan pengelolaan dari wisata alam berbasis masyarakat lokal di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan untuk melihat dampak ekonomi dari pembangunan pariwisata di wilayah ini serta melakukan penilaian economic value


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Bahari

Kegiatan wisata alam adalah suatu kegiatan wisata yang memanfaatkan keberadaan sumberdaya alam sebagai atraksi utama. Kegiatan wisata alam ini secara langsung menyentuh dan melibatkan lingkungan serta masyarakat lokal sehingga membawa berbagai dampak terhadapnya. Dampaknya akan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat dan dampak yang paling sering mendapat perhatian adalah dampak sosial ekonomi, dampak sosial budaya dan dampak lingkungan.

Dampak ekonomi terhadap masyarakat lokal dapat dilihat pada berbagai hal, diantaranya adalah dampak terhadap pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, harga, distribusi manfaat, kepemilikan dan kontrol, pembangunan serta pendapatan pemerintah. Dampak sosial budaya dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya terjadinya akulturasi budaya (dilihat dari perubahan perilaku masyarakat lokal), terjadinya demonstration effect yang rentan pada kalangan muda, komoditisasi, perbaikan peluang kepada kalangan wanita lebih independen secara sosial-ekonomi, migrasi penduduk akibat terciptanya peluang usaha, kriminalitas dan sebagainya (Pitana dan Gayatri, 2005). Dampak terhadap lingkungan dapat dilihat dari perubahan komposisi flora dan fauna, polusi, erosi, sampah, degradasi sumberdaya alam dan polusi visual (Cooper et al. 1998).

Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pemasaran, pendapatan, lapangan pekerjaan dan lainnya, yang berasal dari kegiatan wisata. Secara umum pariwisata bertujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi, baik keuntungan untuk


(39)

industri wisata, pekerjaan bagi komunitas lokal dan penerimaan bagi daerah. Wisata alam memiliki peranan penting karena kegiatan ini menciptakan lapangan pekerjaan di wilayah terpencil (remote area) yang pada awalnya hanya merasakan manfaat pembangunan ekonomi yang rendah dibandingkan wilayah lain yang lebih maju. Beberapa studi menunjukkan, walaupun penciptaan lapangan pekerjaan sangat berpengaruh bagi masyarakat lokal namun umumnya jumlahnya relatif rendah (Linberg, 1996).

Dampak ekonomi dapat diukur namun sangat penting untuk melihat perbedaan aspek ekonomi yang disebabkan kegiatan pariwisata. Perbedaan dapat dilihat dari kaitan antara dampak ekonomi dengan pengeluaran wisatawan (spending tourist) dan kaitan antara dampak ekonomi dengan pembangunan pariwisata. Dampak ekonomi dengan pengeluaran wisatawan menunjukkan dampak berkelanjutan (ongoing effect) dari pembelanjaan wisatawan. Sedangkan kaitan antara dampak ekonomi dengan pembangunan pariwisata fokus kepada dampak dari pembangunan dan keuangan pariwisata terkait pembangunan fasilitas wisata. Perbedaan kedua aspek dalam dampak ekonomi tersebut sangat penting sebab hal tersebut membutuhkan pendekatan metodologi yang berbeda. Penghitungan dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan dicapai dengan analisis multiplier sedangkan estimasi dampak ekonomi dari proyek pembangunan pariwisata dicapai dengan menggunakan teknik penilaian proyek, salah satunya adalah analisis manfaat biaya (Cooper et al. 1998).

Pengeluaran dari wisatawan pada kawasan wisata alam, yang meliputi akomodasi serta konsumsi barang dan jasa, akan menimbulkan suatu lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal dan non lokal. Dampak positif ini pada akhirnya


(40)

diharapkan dapat meningkatkan dukungan masyarakat pada keberadaan suatu sumberdaya, karena jika sumberdaya tersebut rusak, otomatis jumlah kunjungan akan berkurang dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pun dapat berkurang. Penelitian Wunder (2000) menunjukkan bahwa keberadaan ekoturisme memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa wisata alam memiliki kaitan erat dengan konservasi sumberdaya alam.

Beberapa studi menunjukkan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam dan manfaat yang dihasilkan bervariasi tergantung pada kualitas atraksi, aksesibilitas, prasarana dan lain sebagainya. Secara ekonomi, sejumlah pekerjaan tercipta relatif rendah, tetapi bagi daerah terpencil walaupun sedikit pekerjaan yang tercipta, hal tersebut dapat memberikan suatu perubahan besar. Meskipun demikian manfaat alam ini tidak harus dijual secara berlebihan, karena jika hal tersebut terjadi maka akan terjadi dampak buruk yang tidak diharapkan.

Dampak ekonomi dari pariwisata dapat dikelompokkan pada tiga kategori, yaitu manfaat langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan induced (Ennew, 2003 dan Linberg, 1996). Manfaat langsung ditimbulkan dari pengeluaran wisatawan yang langsung, seperti pengeluaran pada restoran, penginapan, transportasi lokal dan lainnya. Unit usaha yang menerima manfaat langsung tersebut akan membutuhkan input (bahan baku dan tenaga kerja) dari sektor lain dan hal ini akan menimbulkan manfaat tidak langsung (indirect benefit). Jika sektor tersebut mempekerjakan tenaga kerja lokal, pengeluaran dari tenaga kerja lokal akan menimbulkan induced benefit di lokasi tersebut. Tetapi jika industri yang memperoleh direct benefit mendatangkan input dari luar lokasi maka


(41)

perputaran uang tidak menimbulkan indirect benefit tetapi suatu kebocoran (leakage) manfaat. Aliran uang dari wisatawan ke masyarakat lokal pada akhirnya menciptakan dampak ekonomi dan kebocoran ekonomi seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.

Estimasi dampak ekonomi pada areal yang relatif kecil dan dengan kegiatan ekonomi yang relatif homogen sulit dilakukan. Dampak tak langsung dan

induced-nya relatif kecil serta ketersediaan data relatif sedikit untuk memodelkan dampak tersebut. Sehingga survei kepada wisatawan, masyarakat lokal dan investor lokal digunakan untuk mengidentifikasi dampak ekonomi pariwisata. Sedangkan untuk cakupan studi yang lebih luas misalkan negara atau provinsi, para ahli ekonomi menggunakan berbagai teknik untuk mengestimasi dampak langsung, tak langsung dan induced ini, diantaranya dengan menggunakan analisis input-output dan computable general equilibrium (Linberg, 1996).

Sumber: Linberg (1996).

Gambar 3. Dampak dan Kebocoran pada Perekonomian Lokal Akibat Pengeluaran Wisatawan

Dampak induced Dampak langsung

Pengeluaran Wisatawan

Industri Wisata

Pendapatan Rumahtangga Input Impor

(kebocoran)

Sektor pendukung

Dampak tak langsung


(42)

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengestimasi dampak ekonomi kegiatan pariwisata. Powell dan Linden (1995) menggunakan analisis input output untuk mengestimasi dampak ekonomi Taman Nasional Dorigo di New South Wales. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan taman nasional ini memberikan kontribusi sebesar tujuh persen pada PDRB dan 8.4 persen pada kesempatan kerja lokal. Lindberg dan Enriquez (1994) menggunakan survei pada masyarakat lokal dan analisis input output untuk mengestimasi dampak lokal maupun nasional dari pariwisata di Belize. Secara nasional nilai manfaat total (langsung, tak langsung dan induced) pada tahun 1992 diperkirakan sebesar US$ 211 juta pada sektor perdagangan dan US$ 41 juta pada pendapatan individu.

Selanjutnya, Kweka et al. (2000) menggunakan analisis input output untuk menilai dampak ekonomi pariwisata di Tanzania. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sektor ini memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian dimana pariwisata menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi serta berdampak pada nilai tukar dan kesempatan kerja. Penelitian ini pun menunjukkan pariwisata memiliki dampak signifikan terhadap output yang terjadi melalui keterkaitan antar sektor dan efek keterkaitan. Efek terhadap pendapatan tidak signifikan, hal ini diduga karena rendahnya nilai tambah pada kegiatan produksi, namun demikian sektor pariwisata dinyatakan sebagai sebagai sektor kunci dalam pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.

Marshall (2004) telah melakukan studi mengenai penilaian manfaat yang diterima oleh masyarakat lokal dari kegiatan ekowisata di Kenya. Studi ini meliputi dampak langsung dan tidak langsung serta dampak positif dan negatif dari penyelenggaraan di Kenya. Penelitian deskriptif ini menunjukkan beberapa


(43)

temuan penting, diantaranya adalah: (1) keberadaan masyarakat lokal sangat bermanfaat bagi keberlangsungan ekowisata, (2) ketika mempromosikan upaya pelestarian di negara berkembang (salah satunya melalui ekowisata) maka perencana harus mempertimbangkan masyarakat yang lokal yang telah lebih dulu mendasarkan kegiatan ekonomi dan mata pencariannya dari sumberdaya alam yang ada, serta (3) terdapat perbedaan manfaat dari pengembangan ekowisata yang dirasakan masyarakat di negara berkembang dan negara maju.

Sunarminto (2002) melakukan penelitian pada Taman Nasional Bali Barat. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi ekoturisme bahari di lokasi tersebut sebesar Rp 6 milyar, dimana 85.32 persen berasal dari wisatawan mancanegara dan sisanya berasal dari wisatawan dalam negeri. Penerimaan ekonomi masyarakat lokal relatif kecil hanya sekitar 15 persen dari perkiraan nilai ekonomi total. Penerimaan ini terutama berasal dari upah yang diterima para tenaga kerja yang bekerja pada berbagai sektor produktif. Salah satu penyebab rendahnya tingkat penerimaan ekonomi masyarakat adalah rendahnya tingkat partisipasi dan keterampilan masyarakat dalam penyelenggaraan ekoturisme, keterbatasan modal dan peluang usaha serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan peluang usaha. Analisis kegiatan ekoturisme dengan analisis input-output menunjukkan bahwa kegiatan ini memiliki nilai Location Quotient sebesar 0.45, artinya ekoturisme masih merupakan kegiatan non basis di wilayah Buleleng. Kondisi ini diindikasikan oleh rendahnya kemampuan obyek wisata dalam menyerap wisatawan.

Beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa pariwisata memberikan kontribusi nyata kepada perekonomian suatu wilayah,


(44)

walaupun nilai dampak ekonominya baik langsung, tak langsung maupun induced

masih rendah. Keberadaan masyarakat lokal sangat penting bagi kegiatan pariwisata alam. Selain menyediakan produk dan jasa wisata bagi wisatawan, masyarakat setempat juga sebagai penerima dampak kegiatan pariwisata. Jika sebagian literatur penelitian di atas dilakukan pada level makro maka penelitian ini akan dilakukan pada level mikro, yaitu spesifik di dua pulau yang menjadi tujuan wisata bahari di wilayah Kepulauan Seribu. Analisis ekonomi hingga ke tingkat mikro diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih detail mengenai kontribusi aktivitas wisata alam terhadap masyarakat lokal.

2.2 Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan untuk Wisata Alam

Keberadaan Kepulauan Seribu memberikan suatu manfaat sumberdaya lingkungan yang berharga, baik dalam bentuk produk ataupun jasa. Salah satu jasa lingkungan yang bernilai ekonomi adalah jasa wisata alam khususnya bahari. Sebagian dari wilayah kepulauan ini termasuk dalam protected area Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS). Nilai ekonomi total dari suatu

protected area adalah penjumlahan dari nilai guna dan nilai non guna. Nilai guna bisa merupakan nilai langsung maupun tak langsung. Nilai guna langsung dapat diketahui melalui nilai pasar, sedangkan nilai guna tak langsung merupakan nilai non pasar. Nilai non guna dapat dibagi menjadi tiga yaitu nilai pilihan (option value), keberadaan (existence value) dan pewarisan (bequest value), Tabel 1 menunjukkan nilai ekonomi dari suatu protected area.

Pemanfaatan suatu area menjadi objek wisata termasuk dalam nilai manfaat langsung. Walaupun penilaian jasa wisata (recreational value) hanyalah


(45)

salah satu aspek dari nilai manfaat total suatu pulau namun hal itu menunjukkan bahwa, dengan manajemen dan konservasi yang tepat, maka kegiatan wisata ini bisa merupakan suatu sumber penting bermanfaat bagi masyarakat lokal dan sumberdaya alam.

Tabel 1. Nilai Ekonomi Total Keberadaan Protected Area

Penilaian ekonomi suatu protected area = Nilai guna +

Nilai bukan guna Langsung: berkaitan dengan

kegiatan yang langsung berhubungan dengan penggunaan area tersebut, contohnya: rekreasi,

pendidikan, penelitian, berburu. (Memiliki nilai pasar)

Nilai pilihan: jaminan untuk mepertahankan pilihan dari pemanfaatan potensial

penggunaan suatu sumberdaya.

Protected area seolah-olah sebagai bank sumberdaya Tak Langsung: berkaitan

dengan kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan penggunaan area tersebut, contohnya fungsi ekologi, perlindungan sumber air, pengaruh cuaca dan lainnya. (tidak memiliki nilai pasar)

Nilai keberadaan: manfaat dari keberadaan kawasan

terlindung. Seringkali diukur dengan keinginan untuk mendonasikan sejumlah uang atau waktu

Nilai Pewarisan: manfaat yang ditimbulkan jika suatu

sumberdaya tetap ada di masa yang akan datang

Sumber: Wells (1997) dan IUCN (1998).

Umumnya studi penilaian manfaat rekreasi yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya yang bersifat open access dan tidak memiliki tarif (non-priced recreation) dilakukan dengan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method atau TCM) dan metode kontingensi (Contingent Valuation Method atau CVM). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, kedua teknik ini pada dasarnya berupaya memperoleh kurva permintaan dari suatu barang lingkungan. Secara umum teknik valuasi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan manfaat (benefit) dan pendekatan biaya (cost). Teknik valuasi dengan pendekatan benefit dibagi menjadi dua, yaitu: (1) teknik


(46)

pengukuran langsung (direct) yang didasarkan pada survei dimana kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) diperoleh langsung dari responden (stated preference) dan (2) teknik pengukuran tak langsung (indirect) yang mengandalkan harga implisit atau WTP terungkap (revealed preference).

Sumber: Turner, Pearce dan Bateman (1994).

Gambar 4. Metode-metode Penilaian Manfaat Sumberdaya Alam dan Lingkungan

CVM merupakan salah satu metode direct sedangkan TCM merupakan salah satu metode indirect. Hasil valuasi melalui CVM umumnya lebih rendah dibandingkan teknik revealed preference (khususnya TCM). Hal ini disebabkan pada penghitungan TCM khususnya Individual TCM (ITCM) selain dihitung biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi, juga turut diperhitungkan nilai waktu

Monetary Evaluation Method

Demand Curve Approaches Non Demand Curve Approaches

Expressed Preference Methods Revealed Preference Methods Contingent Valuation Method Travel Cost Method Hedonic Pricing Method Income Compensated (Hicsksian) Demand Curve Uncompensated (Marshalian) Demand Curve Welfare

maesure Consumer Surplus

Welfare maesure Dose Response Methods Replacement Cost Mitigation Behaviour Opportunity Cost

Demand Curves not Obtained

No true welfare measures

But information useful to policy makers


(47)

dan faktor lokasi rekreasi substitusi (Garod dan Kenneth, 1999). TCM telah banyak digunakan di negara maju untuk mendapatkan kurva permintaan terhadap jasa-jasa rekreasi (Hufschmidth et al. 1987). TCM digunakan untuk menilai barang-barang yang dinilai terlalu rendah(underpriced).

Metode biaya perjalanan menilai secara implisit reaksi harga dan jumlah yang diminta konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan. Hal ini dilakukan dengan meneliti perilaku pengeluaran berdasarkan biaya perjalanan untuk mengkonsumsi barang lingkungan. Beberapa tahun ini, dalam menurunkan nilai surplus konsumen perhatian telah beralih dari Zonal TCM (ZTCM) ke ITCM (Willis dan Garrod, 1999). Hal ini dikarenakan seringkali dalam analisis yang didasarkan pada WTP individual, pengamatan teramat kecil dibandingkan populasi keseluruhan zona. Beberapa masalah penyebab bias telah juga banyak dibahas dalam ITCM. Penyebab bias tersebut diantaranya disebabkan oleh bias pemilihan contoh, dimana semakin sering seseorang berkunjung maka peluang untuk terpilih sebagai contoh juga akan semakin besar.

Banyak studi telah menilai economic value dari kegiatan rekreasi pada kawasan pantai dan terumbu karang dengan menggunakan TCM dan CVM dan selanjutnya mengestimasi surplus konsumen wisatawan. Hundloe (1990) menggunakan TCM untuk menghitung surplus konsumen dari wisatawan domestik dan asing pada kawasan terumbu karang di Australia. Surplus konsumen wisatawan domestik sebesar US$ 117 500 000 per tahun sedangkan US$ 26 700 000 per tahun pada wisatawan asing. Sedangkan CVM digunakan untuk mengestimasi nilai total dari keberadaan lokasi wisata.


(48)

Nilai rekreasi berhubungan dengan penggunaan suatu sumberdaya untuk kegiatan rekreasi merupakan penilaian ekonomi yang signifikan. Menurut Spurgeon (1992) peningkatan jumlah wisatawan merupakan manfaat terbesar langsung secara finansial bagi seluruh pengguna sumberdaya tersebut. Costanza et al. (1998) dalam Ruitenbeek (1999) menyatakan bahwa nilai rata-rata terumbu karang secara global pada tahun 1994 adalah US$ 6 075 per hektar per tahun, dimana nilai sebesar US$ 3 008 per hektar per tahun merupakan nilai dari pemanfaatannya sebagai tempat rekreasi.

Garod dan Kenneth (1999) melakukan valuasi nilai rekreasi pada 74

Forest Recreation Areas (FRAs) di Malaysia, yang keseluruhan lokasi bersifat

open access dan tidak memiliki tarif masuk. Studi ini membandingkan nilai surplus konsumen yang diperoleh setiap wisatawan untuk setiap kali kunjungan dengan menggunakan ITCM dan CVM. Hasil studi menunjukkan surplus konsumen per kunjungan dengan ITCM lebih besar dibandingkan dengan CVM.

Nam dan Tran (2001) menggunakan TCM dan CVM untuk menilai jasa rekreasi dari kawasan terumbu karang di P. Hon Mun Vietnam. Berdasarkan analisis ITCM diperkirakan surplus konsumen per kunjungan adalah VND 422 277 dan manfaat rekreasi per kunjungan adalah VND 651 661. Berdasarkan jumlah total pengunjung pada tahun 2000, manfaat total kegiatan rekreasi adalah VND 126.948 milyar per tahun. ITCM pada studi ini hanya diterapkan untuk pengunjung domestik dan tidak meliputi pengunjung asing sebab umumnya wisatawan asing hanya melakukan sedikit sekali kunjungan ke lokasi tersebut (rata-rata satu kali). Sedangkan untuk wisatawan asing bernilai 202.4 juta dimana surplus konsumen sebesar VND 23.8 juta. Hasil CVM menunjukkan nilai WTP


(49)

diperkirakan sebesar VND 6 juta, dimana WTP pengunjung domestik adalah VND 17 956 dan WTP wisatawan asing VND 26 786. Nilai WTP ini dirasakan sangat rendah jika dibandingkan nilai WTP pada areal wisata lain di dunia.

Berkaitan dengan penetapan tarif masuk Isangkura (2000) melakukan studi mengenai valuasi lingkungan mengenai sistem tarif masuk taman nasional di Thailand. Studi ini menilai manfaat jasa lingkungan suatu taman nasional, dengan mengkombinasikan metode TCM dan CVM (dengan contingent ranking method). Studi ini menganalisis efek lokasi rekreasi substitusi terhadap surplus konsumen. Hasil penelitian ini mampu menilai jasa lingkungan taman nasional serta menunjukkan bahwa terdapat efek substitusi di antara lokasi objek wisata di dalam satu kawasan. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menetapkan tarif masuk ke lokasi tersebut yang selama ini gratis.

Biqwanto (2004) melakukan valuasi ekonomi terumbu karang di Kepulauan Seribu. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di wilayah ini pada tahun 1999 adalah Rp 62 548 478 926 per tahun. Kegiatan perikanan tangkap merupakan kontributor terbesar (28.55 persen), kegiatan marikultur sebesar 14.23 persen sedangkan kegiatan pariwisata sebesar 3.17 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang saat ini masih bertumpu pada ekploitasi manfaat langsung yaitu konsumtif di sektor perikanan tangkap, sedangkan manfaat langsung non konsumtif seperti kegiatan pariwisata belum menjadi hal utama.

Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa TCM telah banyak digunakan sebagai metode untuk menilai manfaat jasa lingkungan dari keberadaan sumberdaya khususnya untuk kegiatan rekreasi. Metode tak langsung ini pada


(50)

akhirnya akan memberikan estimasi besarnya surplus konsumen. Saat ini ITCM lebih banyak digunakan karena metode ini dipandang memberikan akurasi yang lebih tinggi, terutama dalam membangun fungsi permintaan, tidak hanya memperhitungkan biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi, tetapi juga keberadaan lokasi rekreasi substitusi. Selain itu untuk mengestimasi tarif masuk suatu objek wisata dapat digunakan CVM. Khusus untuk di Kepulauan Seribu estimasi nilai jasa lingkungan sebagai manfaat langsung non konsumtif belum dilakukan secara spesifik di kedua lokasi penelitian.

2.3 Analisis Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam

Kebijakan pembangunan kepariwisataan nasional dan daerah, selalu diarahkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, sekaligus menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan sektor ini diharapkan akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat lokal. Demikian pula dengan pengembangan wisata alam tidak lepas dari prinsip ekonomi, konservasi dan pelibatan masyarakat lokal.

Analisis kebijakan dalam pengelolaan wisata alam penting dilakukan. Mengingat kegiatan ini dilakukan oleh banyak pihak, yaitu wisatawan, masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah serta lembaga non pemerintah, yang masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Industri wisata menginginkan kondisi bisnis yang kondusif, diantaranya melalui keamanan finansial, pekerja yang terlatih dan bertanggungjawab, atraksi yang diadakan untuk menstabilkan jumlah kunjungan dan pengembalian investasi yang nyata. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) fokus pada sejumlah isu pelestarian lingkungan dan budaya,


(51)

seperti proteksi lingkungan melalui upaya pencegahan, perbaikan serta perbaikan kerusakan dan memotivasi orang-orang untuk lebih peduli dan selanjutnya tidak menghabiskan sumberdaya. Masyarakat lokal menginginkan lingkungan alami untuk hidup dengan kondisi ketersediaan yang cukup pada pangan, air bersih, sarana kesehatan, pekerjaan dengan upah yang sesuai, pendidikan, rekreasi, penghormatan terhadap tradisi dan budaya serta kesempatan untuk menentukan masa depan. Sedangkan pemerintah ingin menjadikan kegiatan ini sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dan berasumsi bahwa kesemua hal tersebut dapat berjalan apabila terdapat aksesibilitas, sarana prasarana (infrastruktur) dan aturan dalam penggunaannya (Wearing dan Neil, 2000).

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait kebijakan pengembangan pariwisata alam. Stein et al. (2003) melakukan studi mengenai penilaian mengenai pengembangan ekowisata di Florida dari berbagai sudut pandang stakeholder. Hasil penelitian tersebut menunjukkan para stakeholder memiliki visi dan prioritas yang berbeda. Pelaku wisata yakin bahwa kegiatan wisata berbasis alam akan membantu menyediakan manfaat langsung atau pun tidak langsung pada daerah. Sedangkan badan manajemen lahan publik concern kepada isu manfaat ekologis dan isu manajemen sumberdaya. Kedua kelompok sepakat untuk melibatkan industri pariwisata dan masyarakat lokal lebih dalam pada perencanaan wisata berbasis alam.

Penelitian Sarampe (2004) pada ekoturisme di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, menunjukkan potensi objek ekoturisme di wilayah tersebut adalah wisata hutan, bahari dan budaya. Minat wisatawan cukup tinggi, namun pengelolaan sarana dan fasilitas masih rendah bahkan dapat dikatakan belum ada


(52)

sentuhan pengelolaan. Masyarakat setempat sangat merespon bila dilakukan pengembangan objek ekowisata dengan harapan akan menciptakan lapangan pekerjaan serta peningkatan kesejahteraan. Penelitian ini merekomendasikan strategi-strategi pengembangan wisata alam di lokasi tersebut dengan analisis

Strengthness, Weaknesess, Opportunities and Threat (SWOT).

Beberapa literatur penelitian mengenai kebijakan pengelolaan dan pengembangan pariwisata alam di atas, menunjukkan bahwa kegiatan wisata alam melibatkan banyak kepentingan. Sehingga terdapat kendala untuk mewujudkan tujuan pengembangannya. Walaupun berbagai stakeholder wisata memiliki penilaian yang berbeda terhadap pengelolaan ekowisata ini, namun harus diupayakan suatu titik tengah yang mempertemukan keinginan berbagai pihak. Artinya kolaborasi yang kuat dan kerjasama kreatif dari berbagai pihak merupakan upaya terbaik guna meningkatkan manfaat ekonomi dan meminimalisir biaya lingkungan.

Keseluruhan literatur studi sebelumnya menunjukkan bahwa studi mengenai periwisata alam telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun suatu studi terkait analisis ekonomi yang komprehensif dan kebijakan pengelolaannya belum dilakukan. Hal tersebut menjadi alasan penting mengapa penelitian ini perlu untuk dilakukan.


(53)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah struktur pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Penelitian ini diawali dengan menganalisis dampak positif dan negatif dari keberadaan kegiatan wisata alam, dampak yang akan dianalisis spesifik adalah dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan di tingkat lokal (masing-masing pulau). Penilaian dampak ekonomi meliputi dampak langsung, tak langsung dan lanjutan (induced) serta nilai pengganda (multiplier). Tahap selanjutnya adalah mengkuantifikasi nilai jasa lingkungan yang merupakan nilai guna langsung keberadaan sumberdaya (pulau) untuk kegiatan rekreasi alam. Nilai jasa rekreasi ini merupakan nilai surplus konsumen yang diperoleh dari fungsi permintaan rekreasi di masing-masing pulau. Selanjutnya, kedua hasil penelitian tersebut akan digabungkan sebagai bahan studi selanjutnya yaitu analisis kebijakan pengelolaan wisata bahari di Kepulauan Seribu.

3.1 Dampak Ekonomi Wisata Alam di Tingkat Lokal

Kegiatan wisata alam yang terdapat di Kepulauan Seribu memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal (yang berdomisili di pulau). Semakin banyak wisatawan tentunya semakin banyak kebutuhan wisatawan yang harus dipenuhi. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya transaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan. Semakin tinggi transaksi maka semakin besar pengeluaran wisatawan (spending tourist) di lokasi objek wisata. Hal ini akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar pulau yang membuka usaha terkait dengan kegiatan usaha. Beberapa fasilitas wisata yang diperlukan


(54)

wisatawan antara lain, adalah penginapan (homestay), konsumsi (catering),

souvenir, jasa pemandu (guide), transportasi antar pulau dan lainnya.

Kegiatan wisata bahari membawa dampak ekonomi yang terlihat jelas di sekitar pulau. Baik di wilayah Utara maupun Selatan, tingginya transaksi ekonomi berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan pendapatan masyarakat. Secara ringkas, aliran pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian lokal dapat ditunjukkan pada Gambar 5. Selain itu, pembangunan sarana infrastruktur oleh pemerintah pun menjadi salah satu indikator terjadinya dampak ekonomi yang positif. Hingga saat ini upaya mengkuantifikasi dampak ekonomi di pada level mikro belum dilakukan. Penilaian dampak ekonomi dapat dilakukan dengan melakukan survei langsung kepada wisatawan, unit usaha penyedia fasilitas wisata, tenaga kerja lokal dan investor yang membuka usaha di lokasi penelitian. Estimasi dampak ekonomi dilakukan dengan menghitung aliran uang pada aktivitas yang dilakukan oleh para pelaku wisata.

Sumber: Marine Ecotourism for Atlantic Area (2001).

Gambar 5. Aliran Pengeluaran Wisatawan pada Perekonomian Lokal pengeluaran wisatawan

Penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata bahari (akomodasi, restoran, transportasi

lokal, penyewaan alat)


(55)

Informasi yang ditelusuri sangat terkait dengan hasil analisis yang diharapkan. Marine Ecotourism for Atlantic Area (META, 2001) memberikan panduan untuk analisis dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari. Analisis dampak ini dilakukan pada masing-masing kelompok pelaku kegiatan wisata. Kelompok pertama adalah unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi penting terkait dengan dampak ekonomi, adalah: (1) proporsi perputaran uang yang berasal dari pengeluaran turis ke unit usaha tersebut, (2) proporsi kesempatan kerja yang diciptakan oleh unit usaha, apakah bersifat full time, part time, atau seasonal, (3) proporsi perputaran aliran uang terhadap tenaga kerja lokal, supplier, investor, pajak, (4) tipe dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan, apakah berasal dari luar atau dalam wilayah, dan (5) rencana investasi ke depan. Sejumlah informasi tersebut memberikan estimasi mengenai dampak langsung (direct impact) dari pengeluaran wisatawan terhadap masyarakat lokal, estimasi biaya sumberdaya yang diperlukan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan serta estimasi rencana investasi ke depan.

Kelompok kedua adalah pengusaha (investor). Informasi penting terkait dengan dampak ekonomi, adalah: (1) rencana investasi ke depan, (2) investasi alternatif yang sedang dilakukan saat ini, (3) jumlah tenaga kerja yang dapat direkrut, dan (4) faktor pendukung atau penghambat yang dirasakan dalam berinvestasi. Sejumlah data tersebut memberikan informasi mengenai

displacement effect dari kegiatan wisata di lokasi tersebut.

Kelompok ketiga adalah tenaga kerja lokal pada unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi penting terkait dengan dampak


(1)

Sedangkan stakeholder primer di P. Pramuka adalah Bappekab, Sudin Pariwisata, Sudin UKM dan Koperasi, TNLKS serta LSM. Perbedaan mengenai keberadaan TNLKS dan LSM di kedua pulau dikarenakan kedua pihak ini hanya terdapat (memiliki wilayah kerja) di kawasan Kepulauan Seribu Utara dimana P. Pramuka berada. Pihak-pihak inilah yang selanjutnya dianggap berkompeten dalam merumuskan kebijakan pengelolaan wisata berbasis masyarakat lokal yang ada di kawasan Kepulauan Seribu.

Gambar 19. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan Wisata di Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

8.6 Alternatif Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Wisata Bahari

Tahapan akhir penelitian ini adalah merumuskan alternatif rekomendasi kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal. Seluruh analisis yang telah dilakukan sebelumnya, yang meliputi analisis dampak ekonomi,

Rendah Tinggi Tinggi Tingka t Pen gar uh Tingkat Kepentingan *3 *4 *1 *2 *7 *6 *11

*5 *9 *8 *10

Keterangan: 1. Bappekab 2. Sudin Pariwisata

3. Sudin Perikanan dan Kelautan 4. Sudin PU

5. Sudin Kebersihan 6. Sudin UKM dan Koperasi 7. TNKL

8. Investor Luar Pulau 9. Pemilik Unit Usaha Lokal 10. Masyarakat Lokal 11. LSM


(2)

penilaian jasa lingkungan, analisis persepsi dan prefrensi serta SWOT, dipetakan dan dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Peserta diskusi mendalam ini adalah para stakeholder yang telah ditentukan sebelumnya. Konsep dari diskusi ini adalah bagaimana menerapkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) pada wisata alam berbasis masyarakat lokal, dimana kegiatan ini harus menjaga keseimbangan antara keuntungan yang dihasilkan tanpa mengorbankan sumberdaya alam, kebudayaan, atau ekologi. IFTO (1994) menyatakan terdapat empat kebutuhan utama untuk pemeliharaan jangka panjang dari daerah tujuan pariwisata, yaitu: (1) populasi harus tetap sejahtera dan mempertahankan identitas kebudayaan mereka, (2) daerah wisata harus tetap menarik bagi turis, (3) tidak ada yang dilakukan untuk merusak ekologi, dan (4) terdapat kerangka politik yang efektif. Adapun beberapa alternatif rekomendasi yang dihasilkan untuk pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal adalah sebagai berikut:

Kebijakan 1. Mempertegas Kebijakan dan Penguatan Kelembagaan

1. Mempertegas dan memperjelas kebijakan pengembangan wisata dan sektor pendukungnya. Sejauh ini belum tersedia payung hukum dalam pengelolaan maupun pengembangan wisata alam di kawasan ini. Kebijakan yang jelas dan tegas diwujudkan dengan adanya Rencana Tata Ruang / masterplan pengembangan wisata yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. Selain masterplan, Pemda juga harus memiliki Rencana Strategi (RENSTRA) pengembangan sektor pariwisata untuk periode tertentu lengkap dengan roadmap mencapai target pengembangan tersebut. Sebagai acuan pengembangan objek wisata, Pemda juga harus memiliki Rencana Induk Pengembangan Objek Wisata (RIPOW). Agar memiliki kekuatan hukum,


(3)

sebaiknya dokumen kebijakan tadi diperkuat dengan Peraturan Daerah (PERDA).

2. Memperkuat organisasi pengelola pariwisata, baik lembaga pemerintah maupun swasta. Berkaitan dengan lembaga pemerintah, Pemda harus memperjelas tupoksi dinas pariwisata, pengembangan SDM pariwisata, alokasi anggran yang memadai, pengembangan fasilitas lembaga pengelola dan lain-lain. Selain itu, Pemda harus menciptakan iklim yang kondusif agar pihak swasta mau investasi di sektor pariwisata, melakukan pembinaan dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengembangan pariwisata.

Kebijakan 2. Pengembangan Sarana Transportasi dan Fasilitas Pendukung 1. Pemda harus membuat kebijakan yang terpadu untuk menyediakan sarana

transportasi air yang layak, aman dan nyaman.

2. Mempercepat pembangunan bandara udara di P. Panjang, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan jumlah wisatawan. Selanjutnya dalam pengoperasiannya, pemerintah harus memberikan insentif atau subsidi kepada pihak swasta agar mau berinvestasi di jasa layanan penerbangan, misal melalui pemberian keringanan pajak

3. Peningkatan atau pembangunan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata seperti akomodasi, telekomunikasi, restoran, keuangan dan lain-lain. Pemerintah diminta untuk memberikan insentif kepada pihak swasta agar mau berinvestasi di sektor ini.

Kebijakan 3. Membangun Sinergi Kebijakan di Bidang Pariwisata 1. Mengembangkan kebijakan yang komprehensif dan partisipatif.


(4)

2. Membangun sinergi kebijakan antara instansi terkait (contohnya antara Sudin Pariwisata, Bappekab, Sudin Pekerjaan Umum, Sudin Perikanan dan Kelautan dan TNLKS).

3. Membangun sinergi dan koordinasi antara sektor publik (Pemda dan TNLKS) dan sektor swasta.

4. Membangun sinergi antara sektor publik, swasta, LSM dan masyarakat lokal. Kebijakan 4. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia

1. Bagi internal staf di Pemda, melalui: (1) peningkatan kapasitas staf di instansi terkait dengan pengembangan wisata melalui kursus, pendidikan lanjutan, studi banding ke berbagai daerah yang telah berhasil mengembangkan wisata dan (2) rekruitmen staf baru dengan latar belakang pendidikan yang mendukung pengembangan pariwisata khususnya ekowisata.

2. Bagi pelaku usaha, melalui: (1) pelatihan enterpreneurship (Small Medium Enterpreneurship Training) untuk meningkatkan kemampuan manajemen

usaha, (2) meningkatkan keterampilan atau kreatifitas masyarakat untuk menghasilkan produk handicraft yang artistik dan bernilai jual, dan (3) pengembangan lembaga-lembaga keuangan mikro: koperasi, simpan pinjam dan BPR.

3. Bagi masyarakat umum, melalui: (1) peningkatan kesadaran untuk memelihara potensi wisata yang dimiliki, sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat sebagai pengelola dari kegiatan wisata tersebut dan pemerintah sebagai fasilitator dan (2) meningkatkan sikap masyarakat dalam memberikan pelayanan pada wisatawan sehingga tercipta suatu “good service”.


(5)

4. Bagi institusi pendidikan, melalui: (1) membuka lembaga pendidikan kepariwisataan (dapat dilakukan oleh Pemda atau swasta) dan (2) menjalin kerjasama dengan pihak asosiasi pariwisata guna menyalurkan lulusan.

Kebijakan 5. Pengembangan dan Pemeliharaan Objek Wisata

1. Membangun zonasi secara partisipatif seperti yang telah dilakukan oleh TNLKS.

2. Membangun organisasi dan kelembagaan pengelola objek wisata di tingkat lokal. Hal penting yang harus diwujudkan, adalah: (1) organisasi pengelola di tingkat lokal, (2) aturan main (rule of the game) organisasi, (3) job description dari organisasi pengelola tersebut, dan (4) monitoring jalannya organisasi tersebut.

3. Mengembangkan sistem pendanaan lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan, misalnya: (1) mengidentifikasi sumber dana potensial (donor) yang peduli terhadap objek wisata tersebut, (2) mengidentifikasi sumber dana di luar donor (retribusi, tiket masuk, ecological fee yang dibebankan pada wisatawan), (3) mengembangkan mekanisme pengelolaan dana lingkungan yang terkumpul, dan (4) kejelasan alokasi penggunaan dana retribusi.

Kebijakan 6. Promosi dan Pemasaran Pariwisata

1. Identifikasi pangsa pasar wisata, baik pasar domestik maupun asing, untuk wisata minat khusus, wisata budaya, sejarah dan lain-lain.

2. Melakukan promosi melalui leaflet, poster, pemasangan iklan media cetak, internet, penayangan iklan di media elektronik.


(6)

3. Melakukan promosi bersama (kerjasama regional) antara Pemda Provinsi DKI Jakarta.

4. Menjalin kerjasama dengan biro perjalanan baik di Jabotabek maupun di beberapa kota besar selain Jabodetabek.