Implementasi Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut /MarineCoastal Resources Management Project (Studi Deskriptif Di Kabupaten Langkat)

(1)

IMPLEMENTASI PROYEK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT /MARINE COASTAL RESOURCES MANAGEMENT PROJECT

(Studi deskriptif di Kabupaten Langkat)

Oleh : Faisal Eriza

Abstract: Republic of Indonesia, with 17.508 islands and the length of coastal line 81.000 Km, has made it become the largest maritime country in the world. The large marine or sea territory with the potential resources in it, either the natural resources or the mineral resources worth high in economy and prospective to be one of the potential source of national income and development capital. Unfortunately, for more than fifty years, this potential natural resource has not been managed optimally yet. Ironically, most of the marine coastal society which consist majority as fishermen and the sectors which depend on other marine coastal activities are claimed as poor ones. Besides, the degradation of environment quality, illegal fishing, the marine sovereignty trespassing/collision, and the disturbance of security in the sea have been the real phenomena. One of the break through efforts of the government, especially to manage its marine coastal resources in order to create the social welfare in coastal regions, is by holding Marine Coastal Resources Management Project which started in 2002 and over in 2006. The programmes of this project are: to make the strategic planning of marine coastal resources management, zoning regulation, marine coastal commodities/products management, community empowerment and also environment preservation in marine coastal regions.

Based on the argumentation above, has attracted and become the background for the writer to hold the research about the implementation of Marine Coastal Management Project. The type of this research is descriptive by using the qualitative approach. The purpose of this research is to know the implementation of this project, its advantages for marine coastal society, the participation and the role of marine coastal society and their opinion about the attitude and the role of the actors of this project, and the obstacles of the project implementation. Therefore, in this research which was held for 4 months, the writer did not make or examine the hypothesis, but only described the interview, data, photo and the facts, and then interpreted and analyzed them.

Based on this research, the implementation of Marine Coastal Resources Management Project in Langkat Regency has not been optimal yet. This condition is caused that the project has not reached some targets which were planned before. The missing targets are: The central and the local government have not made any database in fishery and marine sector, lack of coordination among institutions and stakeholders, weak in law enforcement because of the limited security personals and appliances/equipments (Navy and Marine Police), lack of zoning socialization, the poor infrastructures and facilities to support the marine and fishery sector and the planning analysis and aid programmes have not been used and done so effectively that missed its targets. The government policy in reducing the public subsidy of fuel price, caused the fuel price, the operational cost of fishermen and the cost of life higher than before, meanwhile the price of fishery commodities are still low. Therefore, the writer suggested the long term programme with the accurate analysis which is supported by the integrative database. It needs coordination among the institutions and stakeholders and participation and tight control from all stake holders in order to increase the quality of marine coastal management, so the economic situation will be prospective and the welfare can exist besides the fishery and marine sector becomes the one of the most potential income source in the future, especially in globalization era.

Key words: Implementation, Marine Coastal Resources Management Project and Optimal


(2)

Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau dengan wilayah seluas total 5,8 juta Km2 (berdasarkan konvensi PBB tahun 1982) dimana 2/3 bagiannya merupakan lautan, dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada, yang panjangnya kurang lebih 81.000 Km (18,4% dari panjang garis pantai dunia). Kondisi alamiah ini menunjukkan bahwa wilayah Nusantara memiliki sumber daya dan kekayaan alam potensial, khususnya sumber daya alam hayati; seperti perikanan, terumbu karang, dan hutan mangrove, bahkan terdapat pula sumber daya mineral berupa barang tambang seperti minyak, gas dan lain-lain.

Di masa kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia melakukan kegiatan pembangunan di segala bidang untuk mencapai cita-cita nasional yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur. Namun selama lima puluh tahun kemerdekaan itu proses pembangunan yang dilaksanakan kurang mengoptimalkan potensi sumber daya pesisir laut, walaupun kawasan pesisir laut sangat potensial. Pemerintah lebih menekankan pembangunan dan memanfaatkan potensi kekayaan sumber daya yang ada di wilayah darat. Kondisi ini menyebabkan kurangnya sarana dan prasarana air bersih, perhubungan, penerangan dan komunikasi di desa-desa pesisir. Selain itu, masyarakat yang menggantungkan kehidupannya di daerah pesisir dan laut kurang mendapat perhatian yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan mereka akibat tidak adanya akses ke sumber modal, teknologi dan pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerahnya. Hal ini disebabkan karena pembuatan kebijakan pembangunan selama Orde Baru dilaksanakan secara top down sehingga mengabaikan aspirasi masyarakat.

Memasuki era reformasi 1998 muncul harapan baru akan terciptanya kehidupan yang lebih baik secara politik, ekonomi dan sosial budaya yang lebih demokratis dan berbasis kepada kepentingan rakyat. Di bidang kelautan, sejak pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mulai tahun 1999 dibentuklah Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan yang kemudian berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan laut sebagai sumber daya kekayaan

alam yang potensial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan sebagai salah satu sektor strategis untuk meningkatkan pendapatan nasional melalui ekspor hasil-hasil dan kekayaan sumber daya yang ada di kawasan pesisir dan laut. Sektor perikanan berperan sangat penting dalam menunjang pengembangan sosial dan ekonomi rakyat dan memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap peningkatan pendapatan nasional melalui devisa negara. Selama krisis moneter dan ekonomi yang mulai dirasakan sejak tahun 1997, sektor perikanan dan kelautan telah terbukti ketangguhannya sebagai salah satu “resources base industries” yang mampu bertahan terhadap terpaan resesi ekonomi dibandingkan dengan sektor industri manufaktur dan industri dengan teknologi tinggi lainnya yang selama kurun waktu 20 tahun menjadi prioritas oleh pemerintah Orde Baru dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Indonesia perlu belajar dari keberhasilan negara lain dalam hal pembangunan sector Perikanan dan Kelautan. Islandia merupakan salah satu contoh negara yang maju dan mencapai kemakmuran dari sektor perikanan dan kelautannya yang memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 65%. Begitu pula dengan Norwegia, dimana sektor perikanan dan kelautannya mencapai 25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan ekspor ikan salmon yang mencapai US$ 2 Miliar pertahun. Sementara itu, salah satu negara di Asia tenggara yaitu Thailand dengan garis pantai yang hanya 2.600 Km dan luas tambak 80 ribu Ha, mampu memproduksi udang sebanyak 340 ribu ton dengan ekspor produk perikanan mencapai US$ 4,2 Miliar pada tahun 2000. Sebagai perbandingan, Indonesia dengan garis pantai yang jauh lebih panjang dan potensi areal yang lebih besar, hanya mampu memproduksi udang sebesar 80 ribu ton dengan nilai ekspor produk perikanan sebesar US$ 1,76 Miliar pada tahun 2000. Provinsi Sumatera Utara sendiri sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan yang cukup besar memberikan kontribusi nilai ekspor senilai US$ 194,24 juta pada tahun 2001.

Jika dilihat dari segi sosial, sebagian besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60%) hidup di wilayah pesisir (pertumbuhan rata-rata 2% per tahun). Hal ini disebabkan secara


(3)

administratif, sebagian besar daerah kabupaten/kota yang ada terdapat 1.129 kecamatan secara topografi terletak di wilayah pesisir dan dari 64.472 desa yang ada sekitar 5.479 desa merupakan desa pesisir (Dahuri, et al, 2001). Sebagaimana yang kita ketahui bersama, meskipun Indonesia memiliki laut dan pantai yang luas, namun taraf hidup dan kesejahteraan sebagian besar para nelayan pada umumnya masih sangat memprihatinkan dan jauh dari yang diharapkan yaitu sekitar 22 %dari penduduk miskin di Indonesia (Kompas, 7 April 2000). Akibatnya hasil-hasil pembangunan yang selama ini diperjuangkan tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar para nelayan secara adil dan merata. Sebagian besar para nelayan telah terjebak kedalam perangkap hubungan Patron dan Client (dalam kehidupan sehari hari disebut toke dan anak buah) yang lebih banyak merugikan dan mengeksploitasi para nelayan kecil secara tidak adil Bahkan ironisnya mereka tidak terlalu memperhatikan kesehatan, pendidikan dan kelestarian lingkungan hidup. Akibatnya kualitas kehidupan para nelayan menjadi sangat terpuruk.

Hal ini diperparah lagi dengan beroperasinya beberapa pukat dan trawl yang sangat merugikan nelayan kecil karena sangat mengurangi hasil tangkapan mereka. Beberapa bentrokan berdarah terjadi yang memakan sejumlah korban jiwa karena tidak adanya pengaturan zona penangkapan antara nelayan kecil tradisional dengan pengusaha pukat dan trawl yang dilengkapi dengan peralatan modern. Belum lagi akhir-akhir ini marak terjadi pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukan oleh nelayan asing seperti Thailand, Vietnam dan China serta pelanggaran kedaulatan di wilayah laut oleh pihak asing, para pelaku penyeludupan juga menggunakan laut sebagai jalur transportasi, ini merupakan akibat lemahnya pengawasan laut Indonesia oleh TNI Angkatan Laut dan Kepolisian yang memiliki personil, sarana dan prasarana yang terbatas untuk mengawasi perairan laut yang demikian luasnya. Selain itu, lingkungan hidup di sekitar kawasan pesisir dan laut banyak yang rusak disebabkan penangkapan ikan dengan bom dan racun potas/sianida yang sangat berbahaya dan mengganggu bagi makhluk hidup yang ada di laut (biota laut) khususnya terhadap pertumbuhan dan kelestarian terumbu karang dan biota laut lainnya seperti plankton

yang merupakan sumber makanan bagi sebagian besar hewan laut. Hutan mangrove sebagai sabuk hijau penahan gelombang laut dari abrasi, intrusi dan tempat berkembang biak dan mencari makan bagi ikan, udang dan hewan laut lainnya sudah banyak yang rusak parah akibat adanya aktivitas pembukaan lahan tambak, ditambah lagi penebangan mangrove untuk industri pembuatan arang bakau dan pemukiman. Menurut perkiraan kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Langkat sekitar 28.300 Ha (Bapedalda Sumatera Utara, 1998)

Karena itu pula, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, pembangunan infrastuktur serta pengadaan sarana dan prasarana penunjang dan rehabilitasi lingkungan hidup khususnya daerah pesisir laut. Salah satu program pemberdayaan daerah pesisir yang dilakukan oleh pemerintah tersebut adalah proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project). Proyek ini bertujuan untuk mendorong upaya-upaya ke arah usaha dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pesisir khususnya nelayan atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas aktivitas pengelolaan hasil perikanan dan kelautan. Selain itu proyek ini juga mengatur zonasi pemanfaatan daerah pesisir dan laut, rehabilitasi lingkungan, asistensi pembuatan kebijakan yang dianggap strategis berupa peraturan desa di daerah pesisir, dan pelatihan ketrampilan kepada masyarakat agar memperoleh pengetahuan dan wawasan untuk menciptakan mata pencaharian alternatif dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di daerah pesisir dan laut.

Secara teoritis, proses pembangunan dan segala program-programnya termasuk proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project) ini dimulai dengan perencanaan yang mencakup dasar dasar pemikiran, sumber daya yang digunakan, sasaran dan tujuan ditetapkan dalam tahap perencanaan, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.

Karena itulah peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut


(4)

(Marine Coastal Resources Management Project). Dimana peneliti bermaksud untuk menilai sejauh mana proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project) dilaksanakan dan apakah sasaran dan tujuan pelaksanaan proyek ini telah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam perencanaan sebelumnya. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui seberapa jauh manfaat proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project) bagi masyarakat dan daerah penerima proyek ini. Atau dengan kata lain, peneliti ingin mengetahui bagaimana proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project) ini dilaksanakan di daerah dan masyarakat penerima proyek baik dari bidang ekonomi, sosial, budaya dan kelestarian lingkungan hidup sebagai perwujudan dari pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan (Sustainable Development)

METODE PENELITIAN

Metode/jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan

menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga

masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Data diperoleh dari Informan kunci (key informan) yaitu orang-orang mengerti secara mendalam mengenai seluk beluk pelaksanaan proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan dan memahami kondisi daerah pesisir yaitu pelaksana proyek yang berasal dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat sebanyak 4 orang, kepala desa/perangkatnya sebanyak 2 orang, pengetua adat/tokoh masyarakat setempat sebanyak 2 orang. Selain itu ada juga Informan biasa, yaitu masyarakat di lokasi proyek yang sebagian besar adalah nelayan dan sektor-sektor yang sangat tergantung pada sumber daya pesisir dan laut yang jumlahnya 6 orang (1 orang nelayan pukat cerbung, 2 orang nelayan tradisonal, 2 orang pemilik tangkahan/pengumpul hasil laut (biasa disebut toke), dan 1 orang tukang perahu/transportasi).

Kabupaten Langkat terdiri dari 20 kecamatan, dimana 8 diantaranya berada di daerah pesisir dan merupakan lokasi pelaksanaan proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project). Desa Perlis, yang berada di Kecamatan Brandan Barat merupakan salah satu desa pesisir yang ada di Kabupaten Langkat. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian di Desa Perlis disebabkan karena desa ini merupakan salah satu sentra dan binaan dari proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dilaksanakan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat.

Dalam Penelitian ini, peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk itu peneliti hanya melihat, bertanya, mendengar, mencatat, merekam dan memperhatikan lalu berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan pengecekan ulang atas data tersebut.

Setiap kembali dari lapangan, data yang tercatat di field note dipindahkan sekaligus mengklasifikasikannya kedalam tema atau kategori tertentu. Ada kemungkinan dalam pengklasifikasian ini terungkap pula hal-hal yang masih diperlukan untuk dapat dicatat agar penelitian berikutnya data yang diperlukan tersebut dapat terjaring.

Informasi dan data yang diperoleh dari lapangan dan informan disusun secara sistematis dan dikategorisasikan selanjutnya dianalisis dengan interpretasi kualitatif. Setelah penyusunan, serta analisis data dan informasi tersebut, dilakukan pendesainan penulisan sesuai dengan bagian-bagian yang ditentukan hingga akhirnya menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integratif dan sistematis.

PEMBAHASAN

Kabupaten Langkat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki kawasan pesisir yang terletak di pantai timur Pulau Sumatera dan perairan Selat Malaka. Menurut sejarah, Langkat dahulunya merupakan sebuah kesultanan Melayu di pulau Sumatera. Potensi ekonomi masyarakat yang utama adalah di bidang pertanian, perkebunan, peternakan,


(5)

perdagangan, industri dan usaha berskala kecil dan menengah, sektor jasa dan pariwisata serta perikanan dan kelautan.

Dalam melaksanakan pembangunan khususnya dalam era otonomi dan desentralisasi sekarang ini, Pemerintah Kabupaten Langkat memiliki visi “Terwujudnya masyarakat Langkat yang maju dan sejahtera” dan misi antara lain:

1. Mewujudkan penyelenggaraan

pemerintahan yang baik (Good Governance). 2. Mewujudkan kehidupan sosial, budaya

politik yang sehat, stabil dan demokratis. 3. Meningkatkan peran masyarakat dalam

pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan.

4. Meningkatkan pemanfaatan seluruh sumber daya daerah menuju ekonomi kerakyatan.

Dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat, 8 kecamatan diantaranya memilki kawasan pesisir karena sebagian wilayahnya berada di tepi pantai, yaitu Besitang, Pangkalan Susu, Sei Lepan, Berandan Barat, Babalan, Gebang, Tanjung Pura dan Secanggang. Hal ini menyebabkan Kabupaten Langkat memiliki sumber daya potensial di bidang perikanan dan kelautan.

Kondisi pantai di Kabupaten Langkat sangat beragam, mulai dari pantai berpasir (putih dan hitam) dan pantai berlumpur. Komoditas hasil laut unggulan daerah pesisir yang ada di Kabupaten Langkat antara lain produk bahan segar seperti: ikan kerapu lumpur, udang, kepiting sangkak (lembek), rajungan dan produk olahan seperti terasi dan ikan asin yang tidak hanya dipasarkan di daerah Kabupaten Langkat dan Provinsi Sumatera Utara tetapi juga diekspor ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Jepang Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.

Disamping itu Kabupaten Langkat juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang sudah dieksploitasi maupun yang masih merupakan potensi sumber daya masa depan seperti minyak bumi dan gas di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Sei Lepan yang merupakan tambang minyak tertua di Indonesia (Telaga Said di Sei Lepan) yang telah beroperasi sejak masa kolonialisme Hindia Belanda yakni pada tanggal 15 juni 1885, dan berdasarkan proyeksi

diperkirakan terdapat pula deposit Gas Alam Cair (LNG) potensial yang ada di Pulau Sembilan. Di Kecamatan Bahorok dan Salapian terdapat deposit kapur untuk pembuatan semen yang cukup besar dan potensial untuk di jadikan industri pabrik semen.

Berdasarkan potensi sumber daya perikanan, maka wilayah pengembangan perikanan dan kelautan Sumatera Utara dibagi atas 3 (tiga) wilayah dan Kabupaten Langkat berada pada Wilayah Pengembangan Perikanan III (WPP-III).

Daerah pesisir pantai tidak terlepas dari adanya ekosistem, daerah pantai timur Sumatera Utara pada umumnya dan kabupaten Langkat pada khususnya ditumbuhi oleh hutan mangrove atau yang di sebut juga dengan ”coastal woodland”(hutan pantai) atau ”tidal forest”(hutan pasang naik dan pasang surut), dan juga disebut hutan bakau. Mangrove merupakan tumbuhan khas yang hanya terdapat di daerah pesisir yang hanya bisa tumbuh di daerah berair payau sampai asin dan terdapat di hampir seluruh wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Langkat. Masyarakat yang berada di daerah pesisir menyebut mangrove sebagai semak atau hutan pantai.

Menurut Saenger; Salim; Naamin dalam Rahmawaty (2005: 5) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove meliputi: Fungsi fisik, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut dan mengolah/daur ulang bahan limbah. Fungsi biologis; tempat pembenihan ikan, udang, dan tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi, sebagai sumber bahan bakar (arang), lokasi pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan. Di wilayah pesisir pantai, ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis,(Kusmana dalam Rahmawaty, 2005).

Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap dampak bahaya tsunami (Pratikko dkk, 2002). Karena karakter mangrove yang khas, ekosistem mangrove sangat berperan dalam meredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap


(6)

sedimen. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai daerah untuk pemijahan (spawning ground), area mencari makan (feeding ground), bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga bisa berfungsi sebagai tempat wisata. Hardjosento dalam Seanger (1983) menyatakan, hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, kayu bakar, arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dalam pembangunan sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Langkat, maka visi yang hendak diwujudkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat sebagai institusi atau pelaksanan teknis dalam pembangunan di sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Langkat adalah “terwujudnya usaha perikanan dan kelautan yang maju dan berkelanjutan melalui pembinaan yang profesional”, sedangkan misi yang diemban oleh dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Langkat adalah:

1. Mewujudkan peningkatan pendapatan nelayan, pembudi daya ikan dan pengolah ikan.

2. Meningkatkan penyediaan bahan pangan dari komoditas perikanan untuk konsumsi dan peningkatan gizi masyarakat.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah pesisir pantai melalui pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan.

4. Meningkatkan pengawasan dan perlindungan terhadap sumber daya perikanan dan kelautan secara optimal.

Berdasarkan visi dan misi tersebut, maka target pembangunan sektor perikanan dan kelautan di masa yang akan datang diarahkan pada upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan secara lestari dan berkelanjutan, serta diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan yang hendak dicapai yaitu:

1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia perikanan dan pendapatan nelayan dan pembudidaya perikanan. 2) Meningkatkan penyediaan dan

konsumsi bahan pangan dari komoditas perikanan.

3) Mendorong perluasan lapangan kerja di bidang perikanan dan kelautan. 4) Meningkatkan pelestarian dan

pengendalian sumber daya perikanan dan kelautan.

5) Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perikanan dan kelautan.

Program pembangunan sektor perikanan dan kelutan Kabupaten Langkat dilaksanakan dalam rangka peningkatan dan pengembangan kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan serta hasil-hasilnya sejalan dengan trend dan dinamika pembangunan dan masayarakat yang terus berkembang di Kabupaten Langkat dari waktu ke waktu.

Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (Marine coastal Resources Management Project)

Pemerintah Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah kabupaten yang mendapat proyek pemberdayaan dan pengelolaan daerah pesisir dan laut dari pemerintah pusat, yaitu Marine Coastal Resources Management Project (MCRMP).

Selain Kabupaten Langkat, daerah lain di Provinsi Sumatera Utara yang menerima bantuan proyek ini adalah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Asahan. Proyek ini di biayai oleh dana dekonsentrasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pinjaman lunak (Loan) yang bersumber dari Bank Pembangunan Asia/Asian Development Bank (ADB).

Proyek ini mulai dilaksanakan dari tahun 2002 dan berakhir pada akhir tahun 2006. Adapun visi proyek pengelolaan sumber daya pesisir laut (Marine Coastal

Resources Management Project) adalah:

terwujudnya pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang optimal, berkesinambungan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di daerah pesisir yang


(7)

menggantungkan mata pencahariannya dari hasil-hasil kelautan.

Di Kabupaten Langkat, proyek ini dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan khususnya bidang kelautan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten langkat. Dalam pelaksanaan proyek ini di konsultasi/didampingi oleh Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara (LPPM USU). Proyek ini dilaksanakan di 8 Kecamatan yang merupakan daerah pesisir di Kabupaten Langkat yaitu: Besitang, Pangkalan Susu, Sei Lepan, Brandan Barat, Babalan, Gebang, Tanjung Pura dan Secanggang, yang terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera.

Proyek ini memiliki misi antara lain:

1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan yang berwawasan lingkungan. 2. Meningkatkan peran serta dan

partisipasi masyarakat dalam

program pembangunan khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan daerah pesisir, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

3. Meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di daerah pesisir.

4. Pelestarian lingkungan sebagai wujud pembangunan yang berkelanjutan (memulihkan daya dukung dan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut).

Adapun program kerja proyek pengelolaan sumber daya pesisir laut (Marine Coastal Resources Management Project) yang dilakukan untuk mengelola dan mengembangkan daerah pesisir dan laut khususnya di Kabupaten Langkat adalah:

1. Membuat Rencana Stategis (Renstra) daerah bagi pengeloaan dan pengembangan wilayah pesisir dan laut.

2. Menetapkan zonasi daerah pesisir dan laut yakni:

a. Zona pemanfaatan sejauh 4 mil

b. Zona perlindungan (suaka marga satwa) berupa hutan mangrove bagi satwa burung dan hewan hewan lain yang dilindungi menurut Undang-Undang

3. Pengelolaan (manajemen) hasil-hasil sumber daya pesisir dan laut

4. Rencana aksi (action plan) berupa program program kerja yang dilakukan dalam rangka memberdayakan masyarakat dan mengembangkan daerah pesisir dan laut, yakni:

a. Rehabilitasi hutan mangrove

b. Konsultasi pembuatan peraturan desa yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan daerah pesisir dan laut.

c. Membantu masyarakat di daerah pesisir dalam menciptakan mata pencaharian alternatif.

Proses Pendekatan dan Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut

Dalam penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu khususnya di Kabupaten Langkat, dilakukan beberapa pendekatan (disampaikan pada pelatihan pelaksana MCRMP), yaitu:

a. Pendekatan akomodatif, yaitu pengelolaan ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pihak pengguna sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Langkat

b. Pendekatan Suportif, yaitu pengelolaan ini diharapkan mampu mendorong pembangunan ekonomi di Kabupaten Langkat

c. Pendekatan Protektif, yaitu pengelolaan ini diharapkan mampu memberikan panduan arahan untuk melindungi wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Langkat khususnya secara ekologis dirasakan penting manfaatnya, seperti hutan mangrove dan flora dan fauna yang dilindungi lainnya.

d. Pendekatan aspiratif, yaitu pengelolaan ini diharapkan mampu mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan potensi kerusakan sumber daya pesisir dan laut.


(8)

Penyusunan rencana dimulai dengan melakukan survei dan pemetaan (Survey and mapping) yang dilaksanakan oleh kontraktor. Proses penyusunan rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan laut telah mengikuti panduan Marine Coastal Resources Management Project melalui musyawarah/diskusi dan pendekatan partisipatif berbasis masyarakat dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang meliputi pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan masyarakat pesisir dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pembentukan struktur

perencanaan bagi tim penyusun rencana 2) Sosialisasi proses perencanaan 3) Pengumpulan serta analisis data

dan informasi pada pertemuan semua stakeholder, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi isu-isu yang berkembang di setiap daerah pantai (desa dan kecamatan). Kemudian dilanjutkan dengan verifikasi isu-isu, klarifikasi permasalahan, kontribusi isu-isu oleh semua stakeholder serta mengumpulkan semua isu-isu kelembagaan, dari pertemuan ini menghasilkan matriks inisiasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Langkat.

4) Mempersiapkan naskah rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan laut 5) Penelaahan pertama naskah

rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan laut oleh instansi-instansi yang terlibat

6) Revisi naskah rencana

pengelolaan sumber daya pesisir dan laut 7) Konsultasi publik

8) Penyelesaian dan pengesahan rencana pengelolaan

9) Sosialisasi rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan laut

Proses penyusunan rencana pengelolaan sumber daya pesisir terpadu melibatkan semua stakeholder baik pemerintah dalam hal ini jajaran dinas terkait di pemerintahan Kabupaten Langkat, Perguruan Tinggi dalam hal ini LPPM USU, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat khususnya yang berada di daerah pesisir. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi potensi, memetakan dan mencari solusi permasalahan dalam pengelolaan

sumber daya pesisir selama ini. Selain itu, aspirasi mengenai kebutuhan dan kendala-kendala pengembangan daerah pesisir perlu dikomunikasikan dengan baik dengan masyarakat yang berada di daerah pesisir. Masukan-masukan berupa aspirasi masyarakat pesisir tersebut kemudian diagregasi secara selektif. Setelah itu, dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan yang diprioritaskan dan bersifat mendesak untuk dilaksanakan, serta besarnya dana yang tersedia dalam anggaran proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.

Strategi umum pengembangan kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir.

Strategi umum pengembangan kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir di Kabupaten Langkat diarahkan pada kegiatan peningkatan produksi perikanan dan kelautan, serta pengembangan sarana dan prasaranan perikanan seperti Tempat Pendaratan Ikan (TPI), pemasaran, dan pembenihan. Selain itu, pengembangan wisata pantai juga akan dilakukan, dan tak kalah pentingnya adalah pelestarian lingkungan dan peningkatan partisipasi masyarakat.

Prosedur pengelolaan sumber daya pesisir dan laut

Untuk Kabupaten Langkat, bantuan dana diberikan secara bertahap (pertahun) selama lima tahun, dimulai dari tahun anggaran 2002 dan berakhir tahun 2006, dimana setiap tahunnya besarnya dana yang diberikan berbeda-beda menurut rencana dan program kerja yang akan dilakukan. Untuk tahun 2005 Kabupaten Langkat mendapat dana senilai Rp. 607.000.000,- (enam ratus tujuh juta Rupiah). Kebijakan dan prosedur yang dilakukan untuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut Kabupaten Langkat perlu ditetapkan sehingga diharapkan dapat mendorong transparansi, akuntabilitas, dan kemungkinan meramal hasil dalam pengambilan keputusan; dan menghindari pengeluaran biaya tidak terduga dan tidak efisien yang tidak diharapkan dari penerapan dan pemecahan masalah yang yang kurang optimal.

Kerja sama antar instansi

Salah satu prinsip yang dianut dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut Kabupaten


(9)

Langkat adalah prinsip keterpaduan dan berbasis masyarakat sehingga dalam implementasinya sangat membutuhkan kerjasama para pihak yang terkait mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi program yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan. Di samping itu, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melibatkan mayoritas aturan atau hukuman dan mandat instansi. Untuk itu, kerjasama antar instansi atau para pihak sangat diharapkan baik dalam hal dukungan teknis maupun komitmen finansial terhadap program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Dalam kerjasama antar instansi berkaitan dengan nota kesepahaman, mandat lembaga dan kerjasama pemerintah. Nota kesepahaman merupakan kontrak yang menetapkan komitmen formal untuk bekerjasama (Perguruan Tinggi atau LSM) yang terkait dengan kegiatan pengelolaan pesisir dan laut baik yang ada di wilayah Kabupaten Langkat maupun di luar wilayah Kabupaten Langkat. Dalam naskah nota kesepahaman disebutkan substansi yang dikerjasamakan, hak dan kewajiban pihak-pihak yang bekerjasama dan pihak-pihak yang ikut menandatangani.

Mandat lembaga berkaitan dengan kewenangan instansi pemerintah atau para pihak lainnya terhadap pengelolaan dan pengembangan sumberdaya wilayah pesisir dan laut Kabupaten Langkat. Mandat setiap lembaga yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus dinyatakan secara jelas dalam bentuk Surat Keputusan Bupati. Selama era otonomi daerah dan desentralisasi sering terjadi tumpang tindih kewenangan yang disebabkan buruknya koordinasi antar instansi pemerintah. Setiap instansi hanya berjalan sendiri sendiri sehingga pengelolaan sumber daya pesisir tidak optimal. Untuk itu perlu diatur kewenangan masing-masing instansi yang terkait penglolaan sumber daya pesisir dan laut ini.

Sumber daya wilayah pesisir dan laut biasanya saling terkait antara satu ekosistem dengan ekosistem yang lain. Keberadaan sumber daya tersebut kadang melewati batas-batas administrasi sehingga dalam pengelolaannya diperlukan kerjasama antar pemerintah baik yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Langkat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di sekitarnya. Tatalaksana pengelolaan, menyangkut

kewenangan dan kebijakan antar instansi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kabupaten Langkat sangat diperlukan. Hal inidilakukan untuk menjamin pelaksanaan kegiatan koordinasi dan implementasi secara akurat, efisien, dan efektif..

Dalam implementasinya, sering terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi pemerintah daerah khususnya di Kabupaten Langkat. Selama ini, khususnya di era otonomi daerah, belum ada koordinasi yang terpadu antara instansi pemerintah daerah khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya pesisir. Bahkan terkesan masing-masing instansi pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri menurut kewenangannya masing-masing, sehingga dapat dikatakan ada egosektoral dan persaingan antar instansi dalam melaksanakan pembangunan dalam era otonomi dan desentralisasi. Hal inilah yang mengakibatkan kurang optimalnya pelaksanaan proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Langkat. Kerjasama antar instansi diperlukan untuk keterpaduan pelaksanaan program dari mulai pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam membuat perencanaan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, pelaksanaan di lapangan dan pengawasan, serta evaluasi agar proyek yang dilaksanakan dapat mencapai target yang diharapkan.

Program Kerja Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut (Marine Coastal Resources Management project)

Rencana strategis pengelolaan sumber daya pesisir dan laut

Dalam membuat rencana strategis pengelolaan sumber daya pesisir dan laut daerah baik ditingkat provinsi Sumatera Utara maupun kabupaten khususnya Kabupaten Langkat, harus meletakkan dasar-dasar pertimbangan yang kuat dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang mendukung terciptanya pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Semua rencana strategis tersebut menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten Langkat, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dituangkan dalam rencana kerja setiap tahun anggaran. Hal itu dimaksudkan agar semua kegiatan pembangunan di sektor perikanan dan


(10)

kelautan di Kabupaten Langkat dapat berjalan terarah dan mencapai target yang direncanakan Rencana strategis pengelolaan sumber daya pesisir dan laut tersebut meliputi:

1. Rencana stategis pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan

Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Provinsi Sumataera Utara dan Kabupaten Langkat memerlukan adanya strategi pengeloaan yang mampu menjamin pengelolaan secara optimal dan berkelanjutan. Asas-asas pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan yang dapat diterapkan adalah: a. Pemanfaatan sumber daya yang dapat

pulih (renewable resources) harus memperhatikan potensi lestarinya (maximum sustainable yield).

b. Pemanfaatan sumber daya yang tidak dapat pulih (non renewable resources) harus dilakukan secara cermat dan bijaksana,

c. Pendayagunaan sumber daya di wilayah pesisir dan laut sesuai dengan daya dukung lingkungan.

d. Adanya program pemberdayaan ekonomi kerakyatan di wilayah pesisir dan laut.

Ada kecendrungan potensi perikanan dan kelautan di pantai timur Sumatera Utara khususnya Kabupaten Langkat mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh:

1. Penangkapan ikan dengan pukat/trawl yang semakin banyak

2. Terdegradasinya ekosistem hutan mangrove yang merupakan tempat bertelur Sspawning Area) dan mencari makan (Feeding Area) bagi ikan, udang, kepting, kerang dan lain-lain

3. Pencemaran pesisir oleh limbah industri dan rumah tangga 4. Armada penangkapan ikan yang

sebagian besar menggunakan perahu tradisional dan perahu motor kecil dengan modal yang terbatas pula.

5. Konsentrasi penangkapan terbatas hanya di daerah perairan pantai.

6. Jumlah nelayan yang semakin bertambah akibat tingginya jumlah pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir.

Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan diarahkan pada kemampuan stakeholder tentang pentingnya sumber daya khususnya sumber daya alam dikelola tidak hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi yang bersifat jangka pendek semata, tetapi juga perlu memperhatikan aspek kelestariannya untuk kepentingan jangka panjang di masa yang akan datang. Agar target dan sasaran ini bisa dicapai, maka tahapan yang perlu dilakukan adalah:

1) Mengidentifikasi sumber daya alam pesisir dan laut di wilayah Kabupaten Langkat.

2) Menitikberatkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem lingkungan wilayah pesisir dan laut.

3) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber daya peisir dan laut dengan melibatkan seluruh stakeholder khususnya masyarakat sekitar wilayah pesisir dan laut. Adapun program perlindungan dan pelestarian sumber daya alam, khususnya sumber daya hayati perikanan adalah:

a. Pengadaan 10 unit

rumpon di 2 kecamatan.

b. Penyuluhan

pelestarian sumber daya perikanan dan kelautan dengan sasaran 20 Kelompok masyarakat.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, ada kesenjangan dalam memanfaatkan sumber daya alam di perairan pesisir, antara nelayan kecil tradisional dengan nelayan modern yang menggunakan pukat. Nelayan kecil hanya mampu bekerja 22 hari dalam sebulan mengingat adanya pasang mati selama 8 hari dan beroperasi di pinggiran dengan perahu dan alat tangkap sederhana, sehingga hasil yang didapat juga sedikit. Nelayan pukat bisa setiap hari melaut tanpa mengenal musim, baik di laut tengah maupun pinggiran yang merampas wilayah nelayan kecil tradisonal Bentrokan pun sering terjadi karena


(11)

perebutan sumber daya perikanan laut ini. Ironisnya, sampai saat ini belum ada tindakan dan pengaturan mengenai beroperasinya pukat ini, apalagi pukat ini juga bisa merusak tatanan ekosistem terumbu karang dan ketersediaan telur-telur dan ikan-ikan kecil. Dalam jangka panjang, jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan akan terjadi penangkapan berlebih (overfishing) yang tidak seimbang dengan potensi perikanan yang terdapat di perairan pesisir dan laut tersebut meski sudah ada budidaya perikanan.

Sampai dengan penelitian ini dilakukan, pemerintah belum membuat database seperti Geographic Information System atau bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk membuat riset mengenai sektor perikanan dan kelautan ini dengan alasan keterbatasan dana dan sarana/prasarana. Riset dan database ini diperlukan untuk membuat perencanaan pengembangan dan peningkatan produksi sektordan kelautan di masa depan. 2. Rencana strategis pembangunan sumber daya manusia di bidang perikanan dan kelautan.

Sumber daya manusia merupakan aspek strategis yang sangat penting dalam pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Seperti yang kita ketahui, bahwa sebagian besar masyarakat di daerah pesisir memiliki keterbatasan dalam mengakses pemanfaatan sumber daya akibat kendala dari sisi kapasitas diri sumber daya manusia maupun dari sisi kelembagaan (struktural). Penyebab utama rendahnya kualitas sumber daya di daerah pesisir adalah:

1. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir.

2. Terbatasnya saran dan prasarana pendidikan serta tenaga pendidik di daerah pesisir.

3. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat peisir.

4. Rendahnya tingkat kesehatan dan kualitas lingkungan di pemukiman daerah pesisir.

5. Minimnya sarana dan prasarana kesehatan serta kurangnya tenaga medis di daerah pesisir.

Konsekwensi dari rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah pesisir adalah:

a. Sumber daya alam di wilayah pesisir belum dimanfaatkan secara optimal.

b. Pola pemanfaatan sumber daya alam tidak memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan.

c. Penguasaan teknologi

pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut masih rendah.

d. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir masih rendah.

e. Sanitasi dan kualitas lingkungan pemukiman wilayah pesisir masih buruk.

Untuk mengatasi hal itu, perlu diupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga sosial yang ada. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal, pengembangan sumber daya masyarakat daerah pesisir yang sebagian besar berlatar belakang kultur agraris dan bahari, yang secara bertahap diarahkan untuk ke berbagai alternatif aktivitas sosial ekonomi yang baru dan lebih produktif tanpa mengabaikan kekayaan keberagaman budaya yang ada. Adapun program peningkatan kualitas sumber daya manusia perikanan dan kelautan yang dilakukan di Kabupaten Langkat pada tahun 2003 dan 2004 adalah:

1. Pelatihan teknis bagi nelayan/taruna nelayan dan pembudidaya ikan dengan sasaran 75 nelayan, 25 taruna nelayan dan 100 pembudidaya ikan.

2. Pelatihan penanggulangan penyakit ikan dan udang, dengan sasaran 20 kelompok pembudidaya ikan air tawar, 20 kelompok pembudidaya kerapu dan 20 kelompok petambak. 3. Percontohan budidaya Udang

Galah di Kecamatan Tanjung Pura, dengan sasaran 1.000 meter persegi kolam percontohan 4. Pelatihan SKK 60 Mil bagi 20

orang nelayan taruna, bekerjasama dengan BKPI Belawan.

5. Pelatihan teknis usaha perikanan bagi petugas teknis, dengan


(12)

sasaran 30 petugas bekerjasama dengan BKPI Belawan.

3. Rencana strategis pengembangan sumber daya buatan/infrastruktur

Pengembangan sumber daya buatan/infrastruktur di wilayah pesisir dan

laut provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat pada khususnya diarahkan untuk menunjang pengembangan sumber daya perikanan, sumber daya manusia, sumber daya wisata, sumber daya pertanian, sumber daya manufaktur dan sebagainya. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut, diperlukan adanya sarana dan prasarana serta infrastruktur yang mendukung. Adanya sarana dan prasarana serta infrastruktur yang tersedia dan terawat dengan baik akan memudahkan pelaku-pelaku kegiatan ekonomi dan pembangunan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Langkat.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, infrastruktur jalan, jembatan dan Tempat Pendaratan Ikan, sarana pelabuhan dan dermaga kapal serta prasarana listrik, telekomunikasi dan air bersih masih kurang memadai di sebagian besar daerah pesisir Kabupaten Langkat. Jalan-jalan yang berada di sepanjang wilayah pesisir dan laut, khususnya yang menuju ke basis sumber daya pesisir dalam keadaan berlubang dan rusak, sehingga sangat memperlambat laju kendaraan transportasi. Dermaga pendaratan perahu yang ada pun masih terbuat dari kayu dan banyak yang sudah lapuk termakan usia. Untuk memasarkan hasil laut dan perikanan, di daerah pesisir di bangun 3 buah Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang berlokasi di Kuala Gebang, Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu. Dari ketiga TPI tersebut, hanya TPI di Pangkalan Susu yang masih dalam kondisi baik dan beroperasi dengan lancar, sedangkan TPI di Kuala Gebang dan Pangkalan Brandan semakin memprihatinkan dan perlu upaya penanganan dan perbaikan. Menurut para nelayan, hal itu juga dipengaruhi oleh berkurangnya hasil tangkapan dan mahalnya biaya operasional ke laut setelah naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sementara harga jual ikan dan hasil lautnya tidak naik.

Adapun program peningkatan sarana dan prasarana perikanan dan kelautan yang diajukan dalam Daftar Usulan Rencana Proyek 2005 adalah:

1. Pembangunan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) di Pangkalan Susu. 2. Rehabilitasi Tempat Pendaratan

Ikan di Pangkalan Susu.

3. Rehabilitasi tambak percontohan Balai Budidaya Ikan di Tanjung Pasir Kecamatan Pangkalan Susu. Berdasarkan observasi di lapangan, belum ada infrastruktur pelabuhan dan sarana/prasarana penunjang sektor perikanan dan kelautan lainnya yang mampu menarik minat investor untuk berinvestasi khususnya dalam bidang pengolahan hasil laut. Hasil laut yang cukup banyak akan memiliki nilai jual lebih jika diolah oleh suatu pabrik pengolahan hasil laut. Selama ini hasil laut Kabupaten Langkat sebagian besar dipasarkan dalam bentuk produk segar ke luar daerah. Kalaupun ada hasil olahan berupa terasi, ikan asin dan cencang rebung dalam jumlah kecil.

4. Rencana strategis pengembangan sosial dan hukum.

Proses perencanaan pembangunan sosial di wilayah pesisir dan laut bertujuan memfokuskan sasaran pembangunan yaitu meningkatkan partisipasi secara aktif masyarakat lokal dalam mengelola potensi sumber daya pesisir dan laut. Dengan demikian masyarakat lokal dapat lebih aktif berperan serta dalam menangani permasalahan yang ada di lingkungan mereka. Pada akhirnya dapat mengurangi/meringankan beban pemerintah daerah.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan hanya memberikan bantuan dan pembinaan kepada kelompok nelayan atau kelompok masyarakat lainnya. Kelompok tersebut antara lain: Kelomok Nelayan, Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas), kelompok pelestari mangrove, kelompok pembudidaya perikanan dan lain-lain. Wadah kelompok ini kalau dimanfaatkan dan dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat yang besar kepada masyarakat itu sendiri. Namun yang terjadi di lapangan adalah, hanya pengurus atau orang tertentu saja yang mendapatkan fasilitas


(13)

bantuan, sementara para anggota lainnya tidak mendapat apa-apa. Seorang informan menuturkan,

“Kalupun ada bantuan atau fasilitas dari pemerintah, hanya aparatur desa dan pengurus kelompok saja yang tahu dan mendapatkan bantuan tersebut, sementara kami hanya diajak rapat, tanda tangan dan ditanyai pendapat saja, tadinya kami pikir hasilnya akan dinikmati bersama-sama, ternyata hanya dikuasai dan dimanfaatkan pengurus saja, kami tidak bisa bilang apa-apa.”

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengembangan sosial sektor perikanan dan kelautan selama ini kurang mengoptimalkan modal sosial (social capital) yang ada pada masyarakat pesisir khususnya nelayan yakni kepercayaan (trust), jaringan (network) dan pranata (institutions). Bahkan modal sosial yang ada cenderung mengalami pelemahan karena kebijakan modernisasi dan pembangunan yang bersifat top down, pengembangan koperasi secara tidak profesional, serta praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam pelaksanaan program pembangunan (Badaruddin, 2005: 28)

Proses perencanaan dan perumusan serta penetapan kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Langkat hendaknya menggunakan pendekatan pendekatan yang bersifat bottom up artinya yang akan diterapkan berdasarkan kepada kebutuhan dan karakteristik sosial masyarakat. Oleh karena itu dalam merumuskan rencana strategis pengembangan hukum haruslah menghindari pola-pola masa lalu yaitu bahwa rekomendasi yang dijadikan landasan bagi pengaturan masyarakat adalah berasal dari lembaga atau pejabat pusat yang sama sekali jauh dari interaksi sosial dengan masyarakat di kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Langkat.

Adapun peraturan daerah di sektor Perikanan dan Kelautan (Harahap dalam Ginting 2005):

a. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Dari hasil inventarisasi peraturan daerah yang berkaitan dengan sektor perikanan dan kelautan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dari waktu ke waktu sejak era reformasi, otonomi daerah dan desentralisasi bergulir belum

menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Adapun peraturan daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 5 tahun 1999 tentang retribusi tempat pendaratan kapal, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 1999 tentang retribusi pengujian kapal perikanan, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 4 tahun 2002 tentang bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air. Dengan Peraturan Daerah tersebut umumnya berisikan kebijakan yang berkenaan dengan pajak dan retribusi yang tujuan utamanya hanya bagaimana mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang sama sekali masih jauh dan tidak menyentuh bagaimana sumber daya pesisir dan laut dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat.

b. Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Peraturan Daerah Kabupaten Langkat yang berhubungan dengan sektor perikanan dan kelautan, meliputi:

1. Peraturan Daerah Kabupaten Langkat nomor 17 tahun 1998 tentang retribusi Tempat Pendaratan Ikan (TPI). Perda ini mengacu pada Undang-Undang No. 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, namun dengan keluarnya Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang No. 18 tahun 1997 sehingga dalam penerapannya harus mengacu pada undang-undang yang baru, walaupun tidak secara otomatis membatalkan Peraturan Daerah yang telah ada sebelum perubahan terhadap undang-undang tersebut ditetapkan sepanjang tidak bertentangan.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Langkat nomor 33 tahun 2002 tentang izin usaha perikanan yang dikeluarkan pleh Pemerintah Kabupaten langkat menunjukkan suatu langkah maju untuk melakukan penataan mengenai izin usaha perikanan yang ada di Kabupaten Langkat, terutama jika dilihat dasar pertimbangan penetapannya adalah dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat yang melaksanakan usaha di bidang perikanan yang selanjutnya memerlukan adanya pembinaaan dan pengawasan usaha perikanan.


(14)

3. Peraturan Daerah Kabupaten Langkat nomor 34 tahun 2002 tentang izin pembuatan dan pengusahaan tambak. Perda yang mengatur tentang bentuk izin dan retribusi pembuatan tambak dan pengusahaan tambak, dengan persyaratan dalam pembuatan tambak diharapkan pemanfaatan kawasan hutan mangrove yang selama ini tidak tertata dengan baik dapat melksanakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

4. Peraturan Daerah Kabupaten Langkat nomor 35 tahun 2002 tentang retribusi pemeriksaan mutasi hasil perikanan. Penetapan perda ini dimaksudkan untuk menjami mutu hasil perikanan yang dikonsumsi da diperdagangkan kepada masyarakat, serta sebagai upaya menggali Pendapatan Asli daerah (PAD). Hanya saja, peraturan daerah ini belum diatur mekanisme pemeriksaan dan satandar mutu yang ditetapkan, dan instrumen lain sehingga sangat membuka peluang bahwa perda yang dibuat hanya mengutip retribusi tanpa diimbangi dengan jasa kompensasi yang semestinya dilakukan.

Selain peraturan diatas, terdapat pula peraturan pendukung lainnya seperti Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan ini secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pengelolaan daerah pesisir dan laut. Dalam kenyataannya, penegakan peraturan dan hukum di wilayah pesisir dan laut masih rendah. Beberapa masalah yang muncul akibat rendahnya ketaatan terhadap hukum dan peraturan adalah banyaknya nelayan yang menggunakan racun dan bahan peledak serta perambahan hutan mangrove untuk dijadikan arang, pemukiman dan tambak di daerah sabuk hijau (green belt) hutan mangrove.

Pelanggaran jalur-jalur penangkapan oleh armada kapal perikanan berukuran besar yang memasuki wilayah penangkapan ikan nelayan tradisonal sering memicu konflik antara nelayan tradisional dan nelayan modern. Penyebab utama rendahnya penaatan dan penegakan hukum di daerah pesisir dan laut, antara lain:

1) Rendahnya pengetahuan masyarakat

tentang hukum dan peraturan

perundang-undangan 2) Terbatasnya

jumlah, sarana dan prasarana aparat penegak hukum

3) Kurangnya sosialisai hukum dan peraturan

perundang-undangan 4) Proses

pembuatan peraturan

perundang-undangan tanpa adanya

konsultasi publik 5) Belum

terpadunya pengelolaan

sumber daya pesisir antar sektor

Akibat lemahnya penegakan dan penaatan hukum dan perundang-undangan:

a. Meningkatnya illegal fishing oleh nelayan asing

b. Terjadi konflik pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut

c. Terus terjadinya degradasi kualitas lingkungan seperti perambahan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang dan pencemaran

d. Menurunnya tingkat keamanan di wilayah pesisir dan laut

e. Konflik kewenangan antar instansi.

Rencana strategis pengembangan kelembagaan Para nelayan pada umumnya yang berada di pesisir Kabupaten Langkat kurang memanfaatkan Koperasi ataupun lembaga ekonomi seperti Koperasi dan TPI. Mereka lebih


(15)

memilih bertransaksi dengan pemborong atau pengumpul hasil laut yang biasa disebut toke. Hal ini mengakibatkan ketergantungan kepada toke relatif tinggi, sehingga harga jual hasil laut yang mereka dapatkan ditentukan sepenuhnya oleh toke.

Meskipun demikian, mereka diberikan fasilitas dapat meminjam uang untuk kebutuhan mereka termasuk modal saat mereka memerlukannya. Maka tak heran, meskipun mereka tetap miskin dan toke semakin meningkat, mereka tetap memandang bahwa keberadaan koperasi tidak mendukung usaha dan perekonomian mereka, sebagian lagi dikarenakan trauma pengalaman pengelolaan koperasi yang tidak profesional yang hanya menguntungkan sekelompok orang/pengurus saja dan pro pemerintah semata.

Oleh karena itu, rencana strategis pengembangan kelembagaan hendaknya didasarkan pada tujuan pengembangan yaitu peningkatan peran sosial ekonomi masyarakat pesisir dan laut dalam proses pembangunan khususnya di sektor perikanan dan kelautan. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya dukungan dari kelembagaan yang ada dalam masyarakat pesisir dan laut yaitu meliputi kelembagaan sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan. Maka hakekat rencana strategis pengembangan kelembagaan adalah meningkatkan efektivitas peran dan fungsi kelembagaan tersebut dalam kehidupan masyarakat pesisir dan laut.

Rencana strategis pengembangan kelembagaan difokuskan pada lembaga-lembaga yang berpotensi memberikan dukungan bagi pengelolaan sumber daya di kawasan pesisir dan laut, yang meliputi:

1) Lembaga sosial yang terdiri Lembaga Swadaya Masyarakat

2) Lembaga Profesi seperti: Masyarakat Perikanan Nasional, kelompok nelayan dan petani ikan.

3) Lembaga ekonomi terdiri dari Koperasi Unit Desa dan Bank

4) Lembaga pemerintahan yang terdiri dari Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, pemerintah desa dan lain sebagainya.

Sampai dengan penelitian ini dilakukan, pengembangan kelembagaan belum terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Hal ini disebabkan belum adanya koordinasi yang terpadu diantara para stakeholder. Pihak Bank sendiri hanya mengucurkan kredit usaha kecil

pada nelayan yang memiliki pukat semi modern baik pukat cerbung ataupun pukat langgai, besarnya kucuran kredit berkisar 2 hingga 15 juta Rupiah melalui pembayaran cicilan dengan tenggang waktu yang singkat.

Rencana strategis pengembangan ekonomi wilayah pesisir dan laut

Fasilitas sistem informasi tentang sumber daya pesisir dan laut di Indonesia masih sangat kurang, sehingga pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut masih belum optimal dilakukan. Sistem informasi tersebut menghimpun data dan informasi yang berkenaan dengan potensi sumber daya pesisir dan laut Data dan informasi yang sangat penting tersebut dituangkan ke dalam database bagi perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dan menjaring minat investor untuk berinvestasi di sektor perikanan dan kelautan. Sebagai contoh, gagalnya industri tambak udang di daerah pesisir akibat kurangnya data dan informasi tentang potensi sumber daya alam, penelitian, serta sistem dan teknologi pengelolaan tambak di suatu daerah. Umumnya teknologi yang digunakan oleh pemilik/pengusaha tambak intensif dalam budidaya udang berasal dari negara asing tanpa dilakukan penelitian dan adaptasi terhadap lingkungan di Indonesia. Para pengusaha tambak hanya memikirkan produksi dalam jangka pendek tanpa memikirkan untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi dalam jangka panjang.

Betapapun pentingnya data ini bagi pembangunan sektor perikanan dan kelautan bagi peningkatan perekonomian daerah pesisir dan laut, namun sampai dengan saat ini Pemerintah Kabupaten Langkat belum memiliki sumber data yang cukup akurat dan strategis ini. Kebanyakan data yang dimiliki hanya digunakan untuk perencanaan kegiatan pembangunan yang bersifat jangka pendek dan menengah. Akibatnya hasil sumber daya perikanan dan kelautan belum terdata dengan baik, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti apakah suatu poitensi perikanan dan kelautan di suatu daerah telah kelebihan tangkap (overfishing) atau masih potensial. Hal itu terjadi karena sulitnya mengontol jumlah dan jenis ikan yang didaratkan di TPI dan para nelayan yang sering melakukan transaksi di tengah laut.


(16)

Meskipun demikian, saat ini pengelolaan wilayah pesisir dan laut sudah semakin demokratis, sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi. Kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Langkat harus mampu memberdayakan segenap potensi yang dimiliki, khususnya masyarakat pesisir yang manggantungkan mata pencahariannya sebagai nelayan dan sektor-sektor yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan. Pendekatan dalam setiap kegiatan dan perencanaan pembangunan juga harus berasal dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Untuk menghimpun aspirasi dan program kebijakan pembangunan sektor perikanan dan kelautan apa saja yang dapat diterima oleh masyarakat, dibentuklah wadah yang bernama kelompok nelayan dan pembudidaya perikanan.

Dengan memperhatikan usulan dari wilayah kecamatan dan upaya pemecahan masalah yang dihadapi, rencana kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan dititikberatkan pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan prioritas utama sebagai berikut (Tahun Anggaran 2003):

1. Intensifikasi budidaya ikan ekonomis penting di 12 Kecamatan (Air tawar, air payau dan laut) dengan sasaran 100 kelompok pembudidaya ikan. 2. Pengembangan budidaya ikan

keramba (sungai, waduk dan pesisir) di 6 Kecamatan (air tawar, air payau dan laut).

3. Bantuan paket bergulir sarana penangkapan ikan di 5 Kecamatan dengan sasaran pengadaan 10 unit sarana penangkapan ikan dengan mesin berkekuatan 5 Gt bagi kelompok nelayan.

4. Pengembangan usaha ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA) bagi 6 kelompok pembudidaya ikan.

5. Pengembangan budidaya

kepiting di 4 kecamatan, dengan sasaran 8 kelompok pembudidaya kepiting.

Bantuan yang bersifat pemberdayaan tersebut tidak didukung pendataan dan penelitian yang akurat. Pemberian bantuan inipun bersifat

pembinaan jangka pendek dan belum berkesinambungan atau jangka panjang. Bantuan hanya diberikan melalui prosedur dari kelompok nelayan atau pembudidaya yang mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan. Kelompok nelayan dan pembudidaya ini juga merupakan orang-orang yang mampu mengakses informasi adanya bantuan, yang biasanya dekat dengan pejabat pemerintahan baik di kabupaten maupun di desa pesisir itu sendiri.

Sebelum dan setelah bantuan diberikan, Dinas Perikanan dan Kelautan tidak melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap bantuan yang diberikan. Selain itu tidak ada laporan pertanggungjawaban terhadap bantuan yang diberikan. Seharusnya, Dinas Derikanan dan Kelautan melakukan pembinaan dan perencanaan yang bersifat jangka panjang didukung data akurat, berkoordinasi dengan lembaga ekonomi dan pendidikan, agar rencana pengembangan ekonomi khususnya di daerah pesisir dan laut dapat berjalan efektif dan tepat sasaran.

Menetapkan zonasi daerah pesisir dan laut

Rencana pengembangan wilayah berorientasi pada pemanfaatan ruang sebagai perwujudan dari upaya pemanfaatan sumber daya alam di suatu wilayah, melalui pemanfaatan yang diyakini dapat memberikan suatu proses pembangunan berkelanjutan. Dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang tata ruang menyatakan secara tegas yang menggambarkan bahwa pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan alam. Wujud dari pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran, pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian dan pola penggunaan tanah pedesaaan dan perkotaan.

Perencanaan pemanfaatan ruang harus memadukan tata ruang di daratan dengan tata ruang di wilayah pesisir dan laut. Dengan demikian, proses pembuatan rencana tata ruang harus bertitik tolak dari memadukan tata ruang wilayah wilyah peisir dan laut ke dalam tata ruang di darat secara komperhensif dengan mempertimbangkan langkah-langkah untuk menyediakan berbagai data-data yang menunjang untuk pembuatan tata ruang secara terpadu. Adapun alasan pentingnya penataan ruang/zonasi daerah pesisir dan laut:


(17)

1) Dalam suatu kawasan yang berada dalam administrasi pembangunan, baik desa, kecamatan, Kabupaten/kota, provinsi bahkan negara sekalipun atau wilayah ekologis (ecoregion) seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), pesisir laut dan lain-lain memiliki karakteristik biofisik yang tidak homogen.

2) Dalam suatu kawasan

administrasi pembangunan atau ekologis (ecoregion) terdapat suatu unit lahan/habitat yang mengandung atribut atau proses ekologis yang menentukan kesinambungan (sustainability) kawasan tersebut sebagai suatu kawasan yang produktif, sehat dan nyaman.

3) Menjamin efisiensi/optimalisasi alokasi/pemanfaatan ruang dan kepastian (certainty) dalam investasi dan bisnis. Berdasarkan rencana tata ruang/zonasi daerah pesisir dan laut dalam rangka pengelolaan sumber daya pesisir dan laut daerah pesisir dan laut di Kabupaten Langkat dimana yang merupakan otoritas pemerintah Kabupaten Langkat berdasarkan otonomi daerah adalah seluas 81.532 Ha, yakni:

1. Zona pemanfaatan sejauh 4 mil

2. Zona perlindungan berupa hutan mangrove yang merupakan sabuk hijau (green belt) bagi daerah pesisir dan laut dan suaka marga satwa bagi satwa burung dan hewan hewan lain yang dilindungi menurut Undang-Undang. Zona pemanfaatan membentang di 8 Kecamatan yang merupakan daerah pesisir di Kabupaten langkat yaitu: Pangkalan Susu, Besitang, Sei laepan, Brandan Barat, Babalan, Gebang, Tanjung Pura dan Secanggang. Zona inilah yang dimanfaatkan oleh para nelayan tradisional, nelayan modern dan pembudidaya ikan dan hasil laut lainnya. Nelayan tradisonal saat ini mengeluhkan berkurangnya hasil tangkapan mereka dari waktu ke waktu, sehingga pendapatan mereka jauh berkurang. Kondisi ini diperparah lagi dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang cukup tinggi khususnya bensin dan solar, akibatnya biaya operasional melaut meningkat, namun harga jual hasil laut mereka tetap rendah.

Saat ini para nelayan tradisonal hanya mendapatkan penghasilan per hari sekitar

Rp.20.000,- sampai 30.000,-. Persaingan tidak sehat juga terjadi antara nelayan tradisonal dengan nelayan pukat yang memiliki alat penangkapan ikan yang jauh lebih unggul. Sejumlah bentrokan terjadi karena banyaknya pukat yang beroperasi sampai ke pinggiran atau memasuki areal penangkapan nelayan tradisonal ataupun nelayan daerah lain, padahal seharusnya nelayan pukat beroperasi di laut tengah.

Kawasan sabuk hijau pesisir berupa hutan mangrove berada di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar perairan Selat Malaka, tebal hutan mangrove yang idialnya adalah sekitar 50-100 meter dari daerah pasang tertinggi, namun kini ketebalannya hanya beberapa meter saja dari bibir pantai. Suaka marga satwa yang merupakan perlindungan sejumlah satwa burung migran dan satwa liar lainnya berada di Desa Karang Gading Kecamatan Secanggang. Daerah ini ditetapkan sebagai suaka margasatwa mengingat sejumlah burung yang melakukan migrasi dari utara ke selatan dan sebaliknya menyinggahi daerah ini

Di masa tahun 1990 an, sektor perikanan dan kelutan di Kabupaten Langkat tumbuh dengan pesat. Terlebih lagi produksi hasil laut dan budidaya ikan, udang, kepiting dan hasil laut lainnya mampu menembus pasaran internasional sebagai komoditi ekspor. Hal ini tentu menarik minat masyarakat untuk membuka lahan tambak udang khususnya Udang Windu (Tiger shrimp) yang bernilai jual tinggi. Bahkan ketika terjadi krisis ekonomi sejak tahun 1997, seiring dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, harga udang windu melonjak tinggi hingga mencapai Rp.180.000,- per kilogram untuk kualitas produk kelas satu.

Maka sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat kota yang memiliki modal cukup besar membuka areal pertambakan disepanjang daerah pesisir dan daerah aliran sungai. Ironisnya, pembukaan lahan tambak ini tidak lagi memperhatikan tata ruang dan keseimbangan lingkungan. Banyak lahan konservasi dan kawasan lindung berupa hutan mangrove beralih fungsi menjadi lahan tambak, baik tambak intensif (terbuka) dan tambak alam (empang paluh). Pada tahun 2003, ketika virus white spot mewabah dan menyerang udang-udang tambak yang mengakibatkan kematian udang-udang khususnya di tambak intensif, harga


(18)

udang pun menurun dan biaya opeasional meningkat (harga benur, pakan, dan BBM naik). Hal ini tentu saja menyebabkan banyak usaha tambak yang gulung tikar dan lahan tambak tersebut menjadi terbengkalai atau beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Saat ini hanya tambak alam (empang paluh) yang masih beroperasi, hanya sebagian kecil saja tambak intensif yang mampu bertahan.

Penjarahan kawasan lindung berupa hutan mangrove tidak hanya disebabkan adanya pembukaan lahan tambak semata, tetapi juga industri arang bakau yang banyak terdapat di daerah pesisir Kabupaten Langkat. Industri arang bakau tersebut diduga dimiliki “orang kuat” atau memiliki perlindungan aparat, sehingga walaupun merusak ekosistem, pabrik arang tersebut masih terus beroperasi. Pertambahan penduduk juga mengakibatkan alih fungsi lahan menjadi pemukiman. Saat ini tidak banyak lagi batang pohon mangrove yang bisa bertahan sampai besar. Kalaupun ada lahan mangrove yang masih baik merupakan milik perseorangan/pribadi masyarakat yang luasnya sangat kecil sekali. Jika hal ini dibiarkan, maka bahaya intrusi air laut dan abrasi, bahkan tragedi Desa Tapak Kuda Lama yang tenggelam bukan tidak mungkin terulang kembali.

Saat tambak terbuka/intensif mengalami kelesuan akibat tingginya biaya produksi pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dan mewabahnya virus white spot yang mengakibatkan kematian pada udang, banyak lahan tambak tadi berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Bahkan saat ini, para pengusaha juga sudah berani menyentuh lahan sabuk hijau mangrove. Para pengusaha tadi berdalih telah memiliki izin dengan mengantungi Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang mereka buka tersebut. Sejumlah nelayan juga mengakui adanya nelayan asing khususnya nelayan Thailand yang juga ikut mengambil hasil laut di wilayah perairan Kabupaten Langkat. Kadang-kadang, para nelayan tadi mengadakan transaksi barter di tengah laut dengan nelayan Langkat, namun mereka enggan melaporkan hal ini ke aparat keamanan (TNI dan POLRI) karena mereka ketidakmengertian atau karena sikap ketidakpedulian dan ketidakpercayaan.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya koordinasi dari pihak-pihak yang terlibat,

tidak hanya Dinas Perikanan dan Kelautan, tetapi juga, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas perhubungan, Badan Pertanahan Nasional, dan aparat keamanan (TNI dan POLRI) bersama-sama dengan masyarakat. Mulai tahun 2003 Dinas Perikanan dan Kelautan telah membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) yang akan melaksanakan Sistem Pengawasan Masyarakat (Siswasmas). Selama ini masih belum ada koordinasi terpadu antara semua pihak, keterbatasan sarana/prasarana dan kepedulian masyarakat masih rendah. Adapun kelompok pengawasan masyarakat memiliki keterbatasan peralatan dan armada pengawasan, sementara itu mereka juga harus melaut untuk mencari nafkah, sehingga pengawasan belum berjalan seperti yang diharapkan

Dengan potensi sumber daya perikanan dan kelautan di Kabupaten Langkat yang cukup potensial harus disertai dengan pengelolaan hasilnya untuk menambah pendapatan dan meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Komoditi perikanan dan laut dari daerah pesisir di Kabupaten Langkat terdiri atas produk segar dan produk olahan. Komoditas hasil laut unggulan daerah pesisir yang ada di Kabupaten Langkat antara lain produk bahan segar seperti: ikan kerapu lumpur, udang windu (tiger shrimps), udang putih/kelong, kepiting bakau, kepiting sangkak (lembek), rajungan dan produk olahan seperti terasi dan ikan asin dan cencang rebung (ikan yang dibelah, dibersihkan dan diiris tipis-tipis kemudian dijemur dan setelah kering dipotong-potong berbentuk persegi) yang tidak hanya dipasarkan di daerah Kabupaten Langkat dan Provinsi Sumatera Utara tetapi juga diekspor ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Jepang Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.

Untuk itu sangat perlu dilakukan pengawasan terhadap mutu produk agar dapat bersaing di pasaran global. Saat ini selain Indonesia, Vietnam, Thailand dan China dan Jepang merupakan produsen hasil laut yang cukup besar dari kawasan Asia. Selama ini, tidak ada penelitian dan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan untuk mengawasi standar mutu yang menjadi acuan. Para nelayan hanya diperkenalkan cara-cara pengolahan produk seperti cencang rebung yang berharga ekonomis cukup tinggi, untuk terasi sendiri, mereka


(19)

mendapatkan ketrampilan tersebut secara turun temurun.

Khusus terasi, para nelayan tadi telah melakukan proses produksi dari mulai pembuatan, pengemasan dan pemasaran ke tangan tengkulak. Untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi, perlu dibentuk koperasi atau wadah yang bisa menampung hasil produksi dan pembinaan untuk menjaga kualitas produk. Selain itu perlu dilakukan upaya-upaya mengundang investor untuk berinvestasi di bidang pengolahan hasil perikanan dan kelautan, sehingga hasil laut tersebut dapat bernilai jual lebih tinggi. Keberadaan pabrik pengolahan juga akan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Rencana aksi (action plan)

Untuk lebih mengefektifkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, maka perlu dilakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat daerah pesisir. Pemberdayaan tersebut harus dilakukan tidak hanya mencapai tujuan jangka pendek, tetapi manfaatnya harus dirasakan oleh masyarakat daerah pesisir secara berkesinambungan. Rencana aksi ini bertujuan untuk memperbaiki dan memelihara ekosistem pesisir dan laut, asistensi dalam membuat kebijakan di desa yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dan pengembangan daerah peisisr dan laut, serta membantu masyarakat pesisir untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan keluarga masyarakat pesisir.

Rencana aksi (action plan) berupa program-program kerja yang dilakukan dalam rangka memberdayakan masyarakat dan mengembangkan daerah pesisir dan laut, yakni: a. Rehabilitasi hutan mangrove,

program ini dilakukan dengan penyuluhan pentingnya pelestarian hutan mangrove secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat pesisir, setiap kelompok pelestari mangrove yang berasal dari masyarakat setempat dan memiliki lahan diberi penyuluhan dan diberikan bibit bakau untuk kemudian ditanam di daerah pantai yang telah disediakan oleh masyarakat desa.

b. Konsultasi pembuatan peraturan desa yang berkaitan dengan upaya

pemberdayaan masyarakat dan pengembangan daerah pesisir dan laut. Hal ini dilakukan untuk melakukan regulasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pesisir secara bertnaggung jawab. c. Membantu masyarakat di daerah

pesisir dalam menciptakan mata pencaharian alternatif. Masyarakat diberikan penyuluhan ketrampilan untuk meningkatkan pendapatan, selain itu, mengoptimalkan peran kaum wanita khususnya ibu-ibu dalam membantu peningkatan ekonomi keluarga. Biasanya pelatihan ini dilakukan untuk mengolah hasil-hasil laut sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Misalnya pelatihan pembuatan cencang rebung (cerbung).

Rencana aksi ini belum sepenuhnya dapat dilakukan, mengingat luasnya lahan yang hendak ditanami mangrove yang disebabkan oleh besarnya kerusakan dan alih fungsi lahan di daerah pesisir. Pada saat penanaman, bibit bakau yang tersedia tidak mencukupi untuk merehabilitasi dan mereboisasi kawasan pesisir di Kabupaten Langkat. Dimana setiap kelompok hanya diberikan bibit bakau berkisar 10.000 sampai 45.000 batang, padahal setiap kelompok telah menyediakan lahan yang luas (biasanya 5-10 Ha). Tanaman magrove yang paling banyak ditanam adalah bakau, sebab bakau lebih mudah tumbuh dan mampu beradaptasi dengan cepat, menurut ketua kelompok pelestari bakau, jarak tanam yang ideal adalah 1 x 1 meter. Dalam pelaksanaan rehabilitasi dan reboisasi mangrove ini penanaman dilakukan oleh anggota kelompok pelestari mangrove, untuk itu diberikan bantuan kepada kelompok sejumlah Rp. 800,- per batang pohon mangrove termasuk upah tanamnya, diduga dana tersebut diberikan tidak sesuai dengan yang ditandatangani, sebab dalam proyek tersebut dinyatakan setiap kelompok menerima bantuan penanaman dan pemeliharaan sebesar Rp. 1.500,- per batang.

Pembuatan Peraturan Desa mengenai pengelolaan sumber daya pesisir dan laut juga belum dapat dilakukan. Hal ini disebabkan sosialisasi mekanisme pemerintahan desa yang berubah di era otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Maka tak heran, Badan Perwakilan Desa di sejumlah desa baru saja terbentuk, sehingga perlu dilakukan adanya pelatihan dan penyuluhan terhadap anggotanya mengenai tugas dan fungsi Badan


(1)

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Faisal Eriza, Implementasi Proyek…

4. Infrastruktur, sarana dan prasarana perikanan dan kelautan seperti dermaga/pelabuhan, pengolahan ikan dan hasil laut, sarana jalan dan prasarana listrik, air bersih dan telekomunikasi yang masih minim di Kabupaten Langkat. Infrastuktur, sarana dan prasarana yang baik dibutuhkan untuk mengundang masuknya investasi khususnya di bidang pengolahan hasil perikanan dan kelautan.

5. Bantuan proyek yang diberikan kepada kelompok nelayan hanya diberikan jangka pendek dan tidak bisa diakses dan dimanfaatkan secara luas. Selain itu bantuan yang diberikan khususnya keramba ikan kerapu tidak pernah dilakukan analisis bagaimana pembudidayaan dan peningkatan kualitas dan kuantitas produksinya. Pihak penerima bantuan juga tidak membuat laporan pertanggungjawaban atas bantuan yang diberikan. Dinas Perikanan dan Kelautan bersama semua pihak belum melakukan pengawasan dan evaluasi yang efektif untuk memperbaiki segala kekurangan yang terjadi. Pihak pelaksana belum secara terbuka dan transparan melakukan evaluasi dan pertanggungjawaban kepada publik. 6. Peraturan perundang-undangan

mengenai zonasi dan tata ruang pesisir dan laut belum tersosialisasi dengan baik, sehingga banyak terjadi pelanggaran zona penangkapan oleh nelayan pukat yang berakibat bentrokan dengan nelayan tradisional. Selain itu, juga terjadi alih fungsi lahan di daerah pesisir yang tidak sesuai dengan peraturan dan mengancam kelestarian lingkungan hidup seperti pembukaan hutan mangrove untuk lahan

tambak, bahan baku arang bakau, perumahan dan perkebunan.

7. Belum adanya wadah yang

secara integratif merencanakan dan mengawasi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan di Kabupaten Langkat. Akibatnya, sejumlah masalah muncul, antara lain: konflik antara nelayan pukat dan tradisional, perbatasan wilayah, pelanggaran zonasi dan alih fungsi lahan pesisir serta kerusakan lingkungan.

SARAN-SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan anlisis terhadap implementasi Proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project), maka disarankan hal-hal berikut:

1. Perlunya dilakukan analisis yang mendalam dan akurat mengenai sumber daya pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Langkat. Untuk itu pemerintah harus mengalokasikan dana untuk mengadakan riset yang bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga ekonomi serta semua stakeholder

2. Perlunya ditingkatkan koordinasi secara terpadu antar instansi yang memiliki kewenangan yang berbeda-beda agar proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berjalan lebih efektif dan masyarakat khususnya di daerah pesisir dapat merasakan manfaat dari pelaksanaan proyek ini.

3. Hendaknya optimalisasi pelaksanaan proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut lebih ditingkatkan lagi, baik melalui pemberian motivasi kepada para pelaksana yang bersangkutan yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan perseorangan maupun organisasi sehingga tercipta efektivitas dan efisiensi kerja yang diharapkan.

4. Perlu terus dilanjutkannya Proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan di masa-masa yang akan datang agar tercipta pengelolaan sumber daya pesisir


(2)

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Faisal Eriza, Implementasi Proyek…

dan laut yang berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk menciptakan daerah pesisir dan laut yang maju dan potensial sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta menciptakan kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas-aktivitas di sektor perikanan dan kelautan. Untuk itu perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif untuk mengundang masuknya investor, antara lain: membangun dan memperbaiki infrastruktur dan sarana/prasarana sektor perikanan dan kelautan dan membuat kebijakan yang mempermudah masuknya investasi. 5. Perlu dilakukannya pengawasan yang

ketat terhadap proses pelaksanaan proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project). Pihak pemerintah seharusnya mengontrol dan mengawasi program-program dan bantuan yang telah diberikannya, sehingga program ataupun bantuan tersebut benar-benar efektif dan bermanfaat bagi masyarakat agar berjalan sebagaimana mestinya agar tidak terjdi penyimpangan seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Untuk itu setiap program yang dilaksanakan harus terus diawasi dan dan dipertanggungjawabkan

pelaksanaannya. Laporan pertanggungjawaban kegiatan proyek

pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (Marine Coastal Resources Management Project) diberikan secara transparan kepada publik dan dilakukan evaluasi setiap tahun anggaran untuk penyempurnaan pelaksanaan proyek di masa yang akan datang.

6. Masyarakat pesisir dan laut hendaknya tidak hanya diberikan penyuluhan dan bantuan yang bersifat jangka pendek, melainkan pemerintah khususnya pemerintah daerah memiliki komitmen yang kuat untuk membangun daerah pesisir dan laut secara berkesinambungan dengan menyediakan infrastruktur, sarana dan prasarana yang memadai serta membuka akses terhadap modal dan pasar bagi pengembangan daerah pesisir dan laut. Selain itu perlu dilakukan upaya

penyadaran menyangkut aspek hukum, zonasi dan lingkungan, agar tercipta masyarakat pesisir yang taat hukum dan ramah lingkungan.

7. Pemerintah Kabupaten Langkat hendaknya melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat pesisir khususnya menyangkut tata ruang, zonasi, penangkapan ikan yang aman, budidaya tambak udang lestari serta pelestarian hutan mangrove dan ekosistem lingkungan daerah pesisir dan laut. untuk mengawasi pelaksanaannya, sistem pengawasan masyarakat (siswasmas) oleh kelompok pengawas Masyarakat (Pokwasmas) dan berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya harus lebih diefektifkan, selain itu, pemerintah secara bertahap hendaknya menambah personil dan perlengkapan aparat keamanan (baik TNI AL dan Polisi Perairan) untuk patroli dan menjaga keamanan di wilayah laut untuk mencegah bentrokan antar nelayan, perompakan, illegal fishing dan gangguan keamanan laut lainnya.

8. Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan proyek tersebut, wilayah pesisir dan laut diusulkan membentuk Badan Pengelola Pengelolaan Pesisir dan Laut Kabupaten Langkat seperti yang telah dilaksanakan di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Utara. Badan tersebut merupakan lembaga koordinatif yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut serta bertanggung jawab kepada Bupati. Fungsi dan tugas badan pengelolaan tersebut adalah:

pertama; mengkoordinasikan penyelesaian permasalahan lintas batas

administrasi desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten. Kedua; membuat kebijakan dan perencanaan yang berhubungan dengan pemanfaatan ruang dan pengelolaan pesisir dan laut yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten, swasta sampai ketingkat kelurahan/desa. Ketiga; sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang berhubungan dengan pengelolaan


(3)

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Faisal Eriza, Implementasi Proyek…

sumber daya pesisir dan laut. Keempat; mengidentifikasikan, mengklarifikasi, memverifikasi serta mencari solusi atas masalah atau konflik yang berhubungan dengan pengelolaan pesisir dan laut. Kelima; melakukan rehabilitasi dan sosialisasi tentang pentingnya pelestarian sumber daya pesisir dan laut bagi kesejahteraan masyarakat pesisir yang melibatkan seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat.


(4)

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Indra K Nst, Medan Metropolis…

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1996. Dahuri, R. 2000. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia. Makalah:

Konfrensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, Makassar 15-17 Mei 2000.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan secara terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2003

Dun, William N, Pengantar Analisis Kebijakan, Gajah Mada University Press, Jogyakarta, 1999.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara, Makalah tantang Program Pengenbangan Perikanan, Kelautan dan Masyarakat Pesisir di Provinsi Sumatera Utara, Medan, 2002

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali, Jakarta, 1992.

Ginting, Rahmanta, Pengembangan Wilayah Pesisir dan Lautan Sebagai Salah Satu Sumber PAD Yang Berkelanjutan, Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICZPM), Medan, 10-19 November 2005

Girsang, Moral Abadi, Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Deli serdang, Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICZPM), Medan,10-19 November 2005

Harahap, R. Hamdani, Makalah Tentang Kajian Akademik Peraturan Daerah Sektor Kelautan dan Perikanan, Medan, 2002

Haris, Syamsudin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2005

Hutapea, S. Gito, Dampak Gempa, Tsunami dan Iklim Terhadap Ekosistem Pantai, Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICZPM), Medan,10-19 November 2005

Jones, Charles O., Pengantar Kebijakan Publik, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Juliantara, Dadang, Mewujudkan Kabupaten Partisipatif, Pembaruan, Yogyakarta, 2004

Karo-Karo, Terip, Membangun Fisheries Food Awareness di Daerah, Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICZPM) 10-19 November 2005, Medan, 2005


(5)

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Indra K Nst, Medan Metropolis…

Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana USU, Buku Panduan dan Penulisan Tesis, USU Press, Medan,2005

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 1993. Miles, B. Matthew, Huberman, Michael A., Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1992. Mulyadi, Balanced Scorecard, Salemba Empat, Jakarta, 2001

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. Nugroho, Riant D., Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2003.

Pemerintah Kabupaten Langkat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Selayang Pandang Pembangunan Kabupaten Langkat, Stabat, 2002

___________________________, Dinas Perikanan dan Kelautan, Laporan Pelaksanaan Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat Tahun Anggaran 2003-2004, Stabat, 2004 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dan Laut Sumatera Utara

2005-2010 (Keputusan Gubernur No.136/324 K: 59), Medan, 2004

______________________________, Rencana Tata Ruang Wilayah Sumatera Utara 2003-2018, Medan, 2003

Rahmawaty, Pemulihan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat, Makalah pada Pelatihan Marine Coastal Resources Management Project, Medan, 10-19 November 2005

Rakhmat, Metode Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1993.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2000

_________________, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2003

_________________, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000, tentang Dana Perimbangan antara Pusat dan daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2001

_________________, Peraturan Pemerintah. Nomor 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2001

_________________, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2003, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2004

_________________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2005


(6)

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Indra K Nst, Medan Metropolis…

_________________, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2005

Riyadi, Bratakusumah & Supriadi, Deddy, Perencanaan Pembangunan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Salusu, J., Pengambilan Keputusan Strategik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Siagian, Sondang, P., Filsafat Administrasi, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1986.

Singarimbun, Masri, Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989.

Sinulingga, B.D. Penataan Rauang dan Otonomi Daerah dalam Pengelolaan wilayah pesisir dan Laut, Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2005

Sutrisno, Hadi, Metode Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1986.

Tayibnapis, Farida Yusuf, Evaluasi Program, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Team Penyusun Kamus Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Wiryawan, Budi, Konsep Penataan Ruang Wilayah pesisir dan pengembangan Kawasan Konservasi Laut (Suatu Pembelajaran Untuk Provinsi Sumatera Utara), Makalah Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICZPM), Medan, 10-19 November 2005,

Wiryawan, Budi, Review Perumusan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang Sebagai Bagian dari Renstra Pengelolaan Pesisir Sumatera Utara (Suatu Pembelajaran dari Lampung), Makalah Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICZPM) Medan, 10-19 November 2005

Literatur Khusus: http://www Yahoo.com http://www. bps.go.id http://www. detik.c