Pemetaan Klasifikasi Iklim Oldeman Dan Schmidth-Fergusson Sebagai Upaya Pemanfaatan Sumber Daya Iklim Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Sumatera Utara

(1)

PEMETAAN KLASIFIKASI IKLIM OLDEMAN DAN

SCHMIDTH-FERGUSSON SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN

SUMBERDAYA IKLIM DALAM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ALAM DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

AYI SUDRAJAT

077004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PEMETAAN KLASIFIKASI IKLIM OLDEMAN DAN

SCHMIDTH-FERGUSSON SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN

SUMBERDAYA IKLIM DALAM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ALAM DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AYI SUDRAJAT

077004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PEMETAAN KLASIFIKASI IKLIM OLDEMAN DAN SCHMIDTH-FERGUSSON SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKLIM DALAM

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

DI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Ayi Sudrajat

Nomor Pokok : 077004004

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Ketua

(Dr. Delvian, SP, M.Si) (Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : 1. Dr. Delvian, SP, MSi

2. Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS 3. Prof. Dr. Erman Munir, MSc 4. Ir. Supriadi, MS


(5)

ABSTRAK

Adanya pemetaan wilayah klasifikasi iklim di Sumatera Utara dapat membantu semua fihak dalam melakukan kebijakan yang berkaitan dengan iklim. Akan tetapi peta klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang dibuat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Sampali yang selama ini digunakan merupakan produk lama yang dibuat tahun 1993, tentunya banyak hal yang terjadi selama dasawarsa terakhir ini yang membuat klasifikasi iklim tersebut perlu ditinjau kembali. Sementara Peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara selama ini belum ada, padahal di Sumatera Utara mempunyai potensi sumberdaya alam hutan yang sangat besar yang tentunya klasifikasi iklim yang cocok adalah menggunakan klasifikasi iklim Scmidht-Fergusson yang memang membagi klasifikasi iklim berdasarkan kesesuaian curah hujan untuk tanaman hutan bukan klasifikasi Oldeman yang berdasarkan pada kebutuhan air (curah hujan) tanaman pangan (padi dan palawija).

Penelitian ini bertujuan membuat klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang baru. Membuat klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara dan mengevaluasi penggunannya dalam bidang kehutanan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan data sekunder yaitu data curah hujan di Sumatera Utara yang didapat dari beberapa instansi terkait (BMKG, PPKS, PU, PTPN). Data yang digunakan sebanyak 265 data, dengan rentang waktu data dari tahun 1970 – 2008. Analisis data untuk menentukan apakah ada perubahan yang terjadi antara data tahun 1970-1993 dengan 1970-2008 digunakan uji statistik beda rata-rata (uji Z) terhadap jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering (1970-1993 dan 1970-2008). Untuk membuat peta klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson digunakan software arcview gis 3.3.

Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara jumlah bulan basah dan bulan kering pada periode 1993 dengan periode 1970-2008. Artinya telah terjadi perubahan pola hujan dari rentang waktu 1970-2008 dengan demikian klasifikasi iklim yang dibuat tahun 1993 tidak relevan lagi. Hasil pengolahan data curah hujan 1970-2008 adalah Klasifikasi Oldeman di Sumatera Utara tahun 2009 terdapat 8 klasifikasi (A1, B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3). Sedangkan Klasifikasi Schmidth-Fergusson terdapat 5 klasifikasi (A, B, C, D, E). Berdasarkan hasil evaluasi literatur dan hasil overlay peta klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson dengan peta tutupan lahan maka untuk tanaman perkebunan dan kehutanan lebih tepat digunakan klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson.


(6)

ABSTRACT

The climate classification mapping existence in North Sumatra can help all sides in conducting related to climate policy. However, North Sumatra Oldeman climate classification mapping that was made by Meteorological, Klimatology and Geofisical agency (BMKG) Klimatology Sampali Station which is used is old product that was made in 1993. Of course, there was much matters which develop during this last decade that make climate classification is referred must be revised. Meanwhile, North Sumatra Schmidth-Fergusson climate classification currently there isn’t exist, though in North Sumatra have very big potency of forest nature resources that it is of course compatible climate classification is using Scmidht-Fergusson climate classification that is divide climate classification bases on precipitation compatibility for forest plants nor Oldeman classification that is based on amount of water required (precipitation) of crop (padi and palawija).

This Research bent on making the new North Sumatra Oldeman climate classification. Making the North Sumatra Schmidth-Fergusson climate classification and evaluating in its benefit for the forestry.

This Research is executed by using seconder data that is precipitation data in North Sumatra that was got from some institutions related (BMKG, PPKS, PU, PTPN). It is using 265 datas during 1970 – 2008. Data Analysis to determine if there is change that happened on data during 1970-1993 and 1970-2008, it is using test of average difference statistic (Z test) to wet month and dry month amount (1970-1993 and 1970-2008). To make a Oldeman climate classification and Schmidth-Fergusson mapping is used arcview gis 3.3 software.

Research Result shows that there is real difference between wet month and dry month amount at 1970-1993 and 1970-2008 period. It means there is already happened a change of rain pattern between 1970-2008 so that climate classification that was made in 1993 was irrelevant. The result of precipitation data processing in 1970-2008 are Oldeman classification in north sumatra in 2009 are existed 8 classifications (A1, B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3). Whereas Schmidth-Fergusson classification are existed 5 classifications (A, B, C, D, E). Base on result of literature evaluation and overlay between Oldeman climate classification and Schmidth-Fergusso with farm mapping then for plantation crop and forestry is more precisely used Schmidth-Fergusson climate classification.


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah swt atas selesainya penyusunan tesis ini. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah swt melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan doa dari berbagai pihak.

Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, Bapak Dr. Delvian SP, MSi dan Bapak Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS yang telah memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan sangat simpatik, telaten, sabar dan bijaksana.

Penulis juga merasa harus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Studi Pengalolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi ini.

2. Kepala Stasiun Klimatologi Sampali, yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2.

3. Istri dan anak-anakku tersayang, Nurhayati, Chinta Maisya Puteri Sudrajat dan Tegar Abhipraya Putera Sudrajat. Mereka telah memberikan dukungan dan pengorbanan total untuk suksesnya penulis dalam menyelesaikan S2 ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Di dalam tesis ini tentu masih banyak terdapat banyak kekurangan, meskipun telah disusun dengan cermat dan bersumber dari berbagai acuan. Oleh karena itu penulis akan sangat berterima kasih dan sangat bangga apabila pembaca berkenan memberi saran dan koreksi. Saran dan koreksi dapat disampaikan melalui [email protected].


(8)

Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam tesis ini, penulis tetap berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Medan, Agustus 2009


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 13 September 1974. Penulis merupakan anak ke-3 dari 5 bersaudara sebagai putera dari Ayahanda Utom dan Ibunda Tutiarsih.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1982-1988, menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Rancagede II

Ciwidey, Kab. Bandung.

2. Tahun 1988-1991, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri I Ciwidey Kab. Bandung.

3. Tahun 1991-1994, menempuh pendidikan tingkat atas di SMAN Margahayu

Bandung.

4. Tahun 1994-1995, menempuh pendidikan D-I Meteorologi di Akademi

Meteorologi dan Geofisika Jakarta.

5. Tahun 1998-2003, menempuh pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Medan Area Medan.

6. Tahun 2007, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Hipotesis Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Iklim ... 5

2.2. Klasifikasi Iklim ... 6

2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.2. Bahan dan Alat ... 18

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data ... 18

3.3.1. Pengumpulan Data ... 18

3.3.2. Analisis Data ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Analisis Rata-rata Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Tahun 1970-1993 dan Tahun 1970-2008 ... 23

4.2. Pemetaan Klasifikasi Iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson ... 25

4.3. Evaluasi Kesesuaian Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson untuk Bidang Kehutanan ... 43

4.4. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan Memanfaatkan Informasi Sumberdaya Iklim ... 46


(11)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 57


(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Kriteria Penentuan Tipe Iklim Oldeman ... 9

2. Zona Agroklimat Oldeman ... 10

3. Kriteria Pembagian Tipe Iklim Schmidth-Fergusson (Tabel Q). ... 12

4. Zona Agroklimat Schmidth-Fergusson ... 13

5. Hasil Uji Statistik ... 23

6. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009) di Masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 26

7. Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson di Masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 27

8. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009 dan 1993) ... 28

9. Perbedaan Prinsip Dasar Penentuan Klasifikasi Iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson ... 44

10. Kriteria Rawan Banjir Berdasarkan Rata-Rata Curah Hujan Bulanan ... 54


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Segitiga Oldeman ... 10

2. Diagram Segitiga Schmidth-Fergusson ... 13

3. Peta Lokasi Penelitian ... 17

4. Peta Lokasi Sebaran Data Penelitian... 22

5. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 2009 ... 26

6. Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson ... 27

7. Peta Klasifikasi Oldeman Tahun 1993 ... 29

8. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe A1 . 30 9. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe B1 . 31 10. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe C1 . 32 11. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D1 . 33 12. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D2 . 34 13. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E1 .. 35

14. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E2 .. 36

15. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E3 .. 37

16. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe A ... 38

17. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe B ... 39


(14)

18. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi

Schmidth-Fergusson Tipe C ... 40 19. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi

Schmidth-Fergusson Tipe D ... 41 20. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi

Schmidth-Fergusson Tipe E ... 42 21. Peta Overlay Tutupan Lahan Dengan Peta Klasifikasi Iklim

Schmidth-Fergusson ... 44 22. Peta Overlay Tutupan Lahan dengan Peta Klasifikasi Iklim Oldeman... 45 23. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk

Tanaman Padi (Oryza sativa) ... 48 24. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Karet (Ficus Elastica) . 50 25. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Kelapa

Sawit (Elaeis Guineensis) ... 52 26. Peta Tingkat Kerawanan Terjadi Banjir Berdasarkan Rata-Rata Jumlah Curah Hujan Bulanan ... 55 27. Peta Tingkat Kerawanan Terjadi Kekeringan Berdasarkan Rata-Rata Jumlah Curah Hujan Bulanan ... 55


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 1993 ... 62

2. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 2009 ... 63

3. Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson ... 64


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik (tumbuhan, hewan) maupun abiotik (iklim, air, tanah, bahan tambang) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia. Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beranekaragam namun serasi dan seimbang.

Di Indonesia, pemanfaatan informasi iklim dalam berbagai sektor masih sangat sedikit. Masih terdapat kesalahan persepsi di masyarakat umum bahwa iklim merupakan fenomena alam pembawa bencana dan penghambat kegiatan. Dewasa ini, para peneliti iklim percaya bahwa sudah selayaknya merubah paradigma ini, iklim yang semula dianggap sebagai “penyebab bencana” menjadi iklim sebagai potensi sumberdaya alam. Untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam iklim ini, kendala yang terbesar adalah kesediaan informasi iklim yang akurat, tepat waktu, bersifat khusus dan mudah dipahami oleh pengguna di berbagai sektor (Anonimus, 2008).

Perubahan iklim yang terjadi akibat fenomena pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan siklus hidrologi. Di Indonesia dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan saat ini semakin keringnya musim kemarau dan intensitas banjir yang semakin tinggi di musim hujan. Tindakan mitigasi bencana tersebut memerlukan informasi kondisi iklim yang ada sebagai dasar acuan, sementara itu peta sumberdaya iklim saat ini umumnya menggunakan data sebelum


(17)

tahun 1970. Kehandalan peta-peta tersebut perlu diperbaharui dengan seri data yang aktual. Lebih jauh pengambil kebijakan dan perencana serta pelaksana lapangan di sektor pertanian dan sektor terkait lainnya dapat menyusun strategi menyeluruh sesuai dengan kondisi iklim terkini.

Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan antara lain: Sistem Klasifikasi Koppen, Sistem Klasifikasi Mohr, Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson, Sistem Klasifikasi Oldeman dan Sistem Klasifikasi Iklim Thorntwaite. Klasifikasi dari Mohr, Schmidt-Ferguson dan Koppen klasifikasinya sesuai bagi iklim yang berlaku di Indonesia. Sedangkan klasifikasi Oldeman dan Thorntwaite berlaku umum, yang sesuai untuk iklim dunia termasuk di Indonesia (Kartasapoetra, 2004). Di Indonesia pada umumnya menggunakan klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-fergusson, sedangkan di Sumatera Utara selama ini menggunakan Sistim Klasifikasi Iklim Oldeman.

Adanya pemetaan wilayah klasifikasi iklim di Sumatera Utara dapat membantu semua pihak dalam melakukan kebijakan yang berkaitan dengan iklim. Akan tetapi peta klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang dibuat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Sampali yang selama ini digunakan merupakan produk lama yang dibuat tahun 1993, tentunya banyak hal yang terjadi selama dasawarsa terakhir ini yang membuat klasifikasi iklim tersebut perlu ditinjau kembali.

Peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara selama ini belum ada, padahal di Sumatera Utara mempunyai potensi sumberdaya alam hutan yang


(18)

sangat besar. Klasifikasi iklim yang cocok untuk hutan dan perkebunan adalah klasifikasi iklim Scmidht-Fergusson yang memang membagi tipe iklim berdasarkan kesesuaian curah hujan untuk tanaman perkebunan dan hutan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian pemetaan klasifikasi iklim oldeman dan Schmidth-Fergusson sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya iklim dalam pengelolaan sumberdaya alam di Sumatera Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang berkaitan dengan pemetaan klasifikasi iklim dalam penelitian ini yaitu:

a. Bagaimana klasifikasi iklim Oldeman di Sumatera Utara berdasarkan data yang terbaru.

b. Bagaimana klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson dan kaitannya dengan

penggunaannya dalam bidang kehutanan di Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Membuat klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang baru.

b. Membuat klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara dan


(19)

1.4. Hipotesis Penelitian

Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa hipotesis yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu:

a. Klasifikasi iklim Oldeman yang digunakan saat ini di Sumatera Utara tidak sesuai lagi berdasarkan data iklim yang terbaru (1970-2008).

b. Dalam bidang kehutanan klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson lebih cocok dibandingkan dengan klasifikasi iklim Oldeman.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Adanya peta klasifikasi iklim Oldeman yang baru dan peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson.

2. Bagi Pengambil kebijakan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana pembangunan di Sumatera Utara.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Iklim

Klimatologi berasal dari bahasa Yunani, klima dan logos yang masing-masing berarti kemiringan (“slope”) yang diarahkan ke lintang tempat sedangkan logos sendiri berarti Ilmu. Jadi definisi klimatologi adalah ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan sifat iklim, mengapa iklim di berbagai tempat di bumi berbeda, dan bagaimana kaitan antara iklim dengan aktivitas manusia. Klimatologi memerlukan interpretasi dari data-data yang banyak sehingga memerlukan statistik dalam pengerjaannya, orang-orang sering juga mengatakan klimatologi sebagai meteorologi statistik (Bayong, 2004).

Iklim dinyatakan sebagai rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama, diperlukan kegiatan penelitian lebih banyak yang lebih dari sekedar kumpulan data statistik yang mungkin diliputi oleh perkataan “rata-rata”. Data statistik memang penting, akan tetapi hanya merupakan bahan mentah dengan pengertian harus mendapat pengolahan yang lebih lanjut agar benar-benar dapat mendekati kondisi yang sebenarnya. Semuanya merupakan suatu pemeriksaan eksperimental dalam suatu rangkaian yang terus menerus pada akhirnya akan timbul suatu gambaran mengenai kondisi iklim tersebut. Iklim merupakan kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur. Unsur-unsur cuaca dan iklim antara lain: radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, awan dan presipitasi (hujan), evaporasi (penguapan), tekanan udara, angin (Kartaspoetra, 2004).


(21)

2.2. Klasifikasi Iklim

Unsur-unsur iklim yang menunjukkan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).

Thornthwaite (1933) dalam Bayong (2004) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.

Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia sering ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada daerah tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi pertanian, sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan dalam kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi (As-Syakur, 2007).

Variasi suhu di kepulauan Indonesia tergantung pada ketinggian tempat (altitude/elevasi), suhu udara akan semakin rendah seiring dengan semakin


(22)

tingginya ketinggian tempat dari permukaan laut. Suhu menurun sekitar 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan ketinggian tempat. Keberadaan lautan disekitar kepulauan Indonesia ikut berperan dalam menekan gejolak perubahan suhu udara yang mungkin timbul (Lakitan, 2002).

Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Lakitan, 2002). Bayong (2004) mengungkapkan bahwa dengan adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, di mana dengan adanya korelasi antara tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.

Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah:

a. Sistem Klasifikasi Oldeman

Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut.

Oldeman et al. (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm per bulan, sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70


(23)

mm/bulan. Dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75%, maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan. Maka menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm.

Lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas yang digunakan, sehingga periode 5 bulan basah berurutan dalam satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat melakukan 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan (Bayong, 2004).

Oldeman et al, (1980) membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang terjadi dalam setahun, sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone D dan zone E, sedangkan pemberian nama sub zone berdasarkan angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3 sub 4 dan sub 5.

Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya dapat ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun, di mana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di


(24)

bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik (Oldeman et al., 1980).

Penentuan tipe iklim Oldeman dapat dilihat pada Tabel 1 dan segitiga Oldeman pada Gambar 1, sedangkan penentuan zona agroklimat Oldeman dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kriteria Penentuan Tipe Iklim Oldeman

Zone Klasifikasi Bulan Basah Bulan Kering

A1 10-12 Bulan 0-1 Bulan

A2 10-12 Bulan 2 Bulan

B1 7-9 Bulan 0-1 Bulan

B2 7-9 Bulan 2-3 Bulan

B3 7-9 Bulan 4-5 Bulan

C1 5-6 Bulan 0-1 Bulan

C2 5-6 Bulan 2-3 Bulan

C3 5-6 Bulan 4-6 Bulan

C4 5 Bulan 7 Bulan

D1 3-4 Bulan 0-1 Bulan

D2 3-4 Bulan 2-3 Bulan

D3 3-4 Bulan 4-6 Bulan

D4 3-4 Bulan 7-9 Bulan

E1 0-2 Bulan 0-1 Bulan

E2 0-2 Bulan 2-3 Bulan

E3 0-2 Bulan 4-6 Bulan

E4 0-2 Bulan 7-9 Bulan

E5 0-2 Bulan 10-12 Bulan

A

B

C

D

E


(25)

Sumber: (Oldeman et al., 1980)

Gambar 1. Segitiga Oldeman Tabel 2. Zona Agroklimat Oldeman

Tipe Iklim Penjabaran

A Sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena

fluks radiasi matahari sepanjang tahun rendah.

B1 Sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim

yang baik.

B2-B3 Dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering yang pendek cukup untuk palawija.

C1

Dapat tanam padi sekali dan palawija dua kali setahun.

C2-C4 Setahun hanya dapat tanam padi satu kali dan penanaman palawija

jangan tanam di musim kering. D1

Tanam padi umur pendek satu kali dan palawija cukup.

D2-D4 Hanya mungkin tanam padi sekali dan palawija sekali. Perlu

adanya irigasi. E


(26)

b. Sistem Klasifikasi Schmidth-Fergusson

Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto et al, (2000) penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidth-Fergusson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidth-Fergusson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klasifikasi iklim Mohr. Menurut As-Syakur (2008) pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah dalam klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau bulan basah selama tahun pengamatan dengan banyaknya tahun pengamatan.

Klasifikasi Iklim menurut Schmidth-Fergusson (1951) didasarkan kepada perbandingan antara Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB). Ketentuan penetapan bulan basah dan bulan kering mengikuti aturan sebagai berikut:

Bulan Kering : bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 60 mm

Bulan Basah : bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100 mm

Bulan Lembab : bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm.

Bulan Lembab (BL) tidak dimasukkan dalam rumus penentuan tipe curah hujan yang dinyatakan dalam nilai Q, yang dihitung dengan persamaan berikut:

Rata-rata jumlah BK

Q = --- x 100 % Rata-rata jumlah BB

Rata-rata jumlah bulan basah adalah banyaknya bulan basah dari seluruh data pengamatan dibagi jumlah tahun data pengamatan, demikian pula rata-rata


(27)

jumlah bulan kering adalah banyaknya bulan kering dari seluruh data pengamatan dibagi jumlah tahun data pengamatan.

Berdasarkan besarnya nilai Q ini selanjutnya ditentukan tipe curah hujan suatu tempat atau daerah dengan menggunakan Tabel Q atau diagram segitiga kriteria klasifikasi tipe iklim menurut Schmidth-Fergusson, seperti terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 2, untuk zone agroklimatnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Kriteria Pembagian Tipe Iklim Schmidth-Fergusson (Tabel Q)

Tipe Iklim Kriteria

A (Sangat Basah) B (Basah)

C (Agak Basah) D (Sedang) E (Agak Kering) F (Kering)

G (Sangat Kering) H (Luar Biasa Kering)

0 ≤ Q < 0,143 0,143 ≤ Q < 0,333 0,333 ≤ Q < 0,600 0,600 ≤ Q < 1,000 1,000 ≤ Q < 1,670 1,670 ≤ Q < 3,000 3,000 ≤ Q < 7,000 7,000 ≤ Q


(28)

Gambar 2. Diagram Segitiga Schmidth-Fergusson Tabel 4. Zona Agroklimat Schmidth-Fergusson

Tipe Iklim Schmidth-Fergusson Zona Agroklimat

A Hutan hujan tropis

B Hutan hujan tropis

C

Hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya

di musim kemarau

D Hutan musim

E Hutan savana

F Hutan savana

G Padang ilalang


(29)

2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Di samping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi (As-Syakur, 2008).

Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survey lapangan. Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer, sedangkan Sistem Informasi Geografis otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi (As-Syakur, 2008).

Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai


(30)

atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa dimanfaatkan dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (As-Syakur, 2008).

Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial.

Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x, y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sampel dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya: batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya (As-Syakur, 2008).

Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon).


(31)

Bentuk produk suatu SIG dapat bervariasi baik dalam hal kualitas, keakuratan dan kemudahan pemakainya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk peta-peta, tabel

angka-angka: teks

di atas kertas atau media lain (hard copy), atau dalam cetak lunak (seperti file elektronik) (Barus dan Wiradisastra, 2000).


(32)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang terletak diantara 1-4° Lintang Utara dan 98-100° Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Utara memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai Timur dan 156 pulau di Pantai Barat (BPS, 2007). Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2009 sampai dengan bulan Mei 2009.


(33)

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan yang memiliki rentang minimal 10 tahun dari 265 stasiun penakar hujan yang tersebar di seluruh wilayah Sumatera Utara, peta topografi Sumatera Utara (1: 250000), literatur yang relevan (buku, jurnal).

Alat yang digunakan adalah: Komputer (Hardware), Arcview 3.3, MS Word 2007, MS. Excel 2007 (Software), GPS.

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data 3.3.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Mengambil data curah hujan sebagai bahan pembuatan klasifikasi Oldeman yang

lama yaitu periode tahun 1970-1993.

b. Mengambil data curah hujan periode tahun 1970-2008.

Data yang digunakan sebanyak 265 data yang berasal dari pos pengamatan curah hujan yang tersebar di seluruh Wilayah Sumatera Utara dari instansi terkait yaitu Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit), Dinas Pertanian, Pekerjaan Umum (PU) Pengairan, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN), Perseroan Terbatas Perkebunan Swasta (PTPS). Data yang lain yaitu data informasi geografis Sumatera Utara diambil dari peta rupa bumi Sumatera Utara skala 1: 250000 dari Bakosurtanal Jakarta.


(34)

3.3.2. Analisis Data

Untuk membuktikan hipotesis yang pertama maka digunakan uji statistik beda rata-rata dengan rumus sebagai berikut:

H0 : µ1 = µ2 H1 : µ1 ≠ µ2

Z hitung =

(Sudjana, 2002)

Kriteria pengujian adalah: tolak H0 jika – z tabel ≤ z hitung ≤ z tabel dengan derajat kebebasan (dk) = (n1+n2-2) dan peluang (1-α), di mana:

: rata-rata jumlah bulan basah/kering tahun 1970-2008 : rata-rata jumlah bulan basah/kering tahun 1970-1993

n : besar sampel

S : simpangan baku

n1 : jumlah data bulan basah/kering tahun 1970-2008 n2 : jumlah data bulan basah/kering tahun 1970-1993

S1 : besarnya varians data rata-rata bulan basah/kering tahun 1970-2008 S2 : besarnya varians data rata-rata bulan basah/kering tahun 1970-1993

Untuk menjawab hipotesis yang kedua digunakan cara studi literatur mengenai prinsip dasar dalam penentuan masing-masing klasifikasi dan


(35)

mengoverlaykan masing-masing peta (Oldeman dan Schmidth-Fergusson) dengan peta tutupan lahan.

Untuk memetakan klasifikasi iklim dan zona agroklimat masing-masing metode (Oldeman dan Scmidth-Fergusson) dianalisis dengan menggunakan software ArcView GIS. Data-data yang digunakan yaitu data pos penakar curah hujan yang berisi data atribut koordinat lintang dan bujur serta nilai Q (Schmidth-Fergusson) masing-masing titik, jumlah bulan basah dan bulan kering (Oldeman), serta peta digital wilayah Sumatera Utara sebagai batasan analisis.

Tahapan berikutnya adalah merubah data koordinat tabel dalam format *.xls menjadi format *.dbf dengan menggunakan mikrosoft excel, dengan menggunakan software arcview data point *.dbf dirubah kedalam bentuk *.shp dengan terlebih dahulu menyiapkan peta dasar Sumatera Utara. Kemudian untuk melakukan analisis pemetaan data ini digunakan extension spasial analyst, avswatx. Setelah data atribut menjadi *.shp dan peta batas administrasinya Sumatera Utara disiapkan serta extension spasial analystnya aktif, maka langkah selanjutnya adalah melakukan interpolasi titik penakar curah hujan melalui menu surface-interpolate grid.

Setelah itu akan muncul hasil dengan klasifikasi nilai Q (Schmidth-Fergusson) secara beraturan lalu sesuaikan dengan urutan klasifikasi nilai Q dalam tabel Q Schmidth-Fergusson (Tabel 3 di halaman 12 dan Tabel 4 di halaman 13). Untuk klasifikasi Oldeman dilakukan metode tumpang tindih (overlay) dari peta bulan kering turut (Januari-Desember) dengan peta bulan basah


(36)

berturut-turut sehingga mendapatkan satu peta, lalu sesuaikan dengan kriteria klasifikasi Oldeman (Tabel 1 di halaman 9 dan Tabel 2 di halaman 10).


(37)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menjelaskan posisi 265 data yang digunakan bisa dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Objek data penelitian terdapat pada Lampiran 4).

Gambar 4. Peta Lokasi Sebaran Data Penelitian

Berdasarkan peta sebaran data pada Gambar 4 terlihat bahwa ada ketidak seimbangan sebaran data antara tiap wilayah. Sebaran data di wilayah pantai timur terlihat lebih rapat, sementara di wilayah pegunungan dan pantai barat sebarannya sudah berkurang kerapatannya. Hal tersebut tentunya bisa mempengaruhi keakuratan hasil pemetaan ini. Menurut Wiesner (1970) dalam Handoko (1993) kerapatan


(38)

stasiun penakar hujan rata-rata di daerah tropik 14 km2/stasiun, jadi untuk Sumatera Utara yang luasnya 71.680,68 km2 idealnya memiliki stasiun penakar hujan sebanyak 5120 penakar.

4.1. Analisis Rata-Rata Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Tahun 1970-1993 dan Tahun 1970-2008

Berdasarkan hasil uji statistik beda rata-rata Bulan Basah dan Bulan Kering pada 265 data dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Uji Statistik

Variabel Z- hitung Z-tabel α Keterangan

Bulan Basah 0,01602 -1,95996 1,95996

0.05 **

Bulan Kering 1,55756 -1,95996 1,95996 **

** = Berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 5 dapat kita lihat bahwa pada Bulan Basah terjadi perbedaan yang nyata. Hal tersebut ditunjukan pada nilai Z-hitung Bulan Basah (0,01602) lebih kecil dari pada Z-tabel (1,95996), dengan menggunakan kaidah yang digunakan dalam uji statistik (uji Z) maka Ho ditolak, artinya tidak sama antara Bulan Basah dari data Curah Hujan tahun 1970-1993 dengan Bulan Basah dari data Curah Hujan tahun 1970-2008.

Demikian juga untuk Bulan Kering terjadi perbedaan yang nyata. Hal tersebut ditunjukkan pada nilai Z-hitung Bulan Kering (1,55756) lebih kecil dari pada Z-tabel (1,95996), dengan menggunakan kaidah yang digunakan dalam uji statistik (uji Z) maka Ho ditolak, artinya tidak sama antara Bulan Kering dari data Curah Hujan tahun


(39)

1970-1993 dengan Bulan Kering dari data Curah Hujan tahun 1970-2008.

Berdasarkan hasil uji statistik tersebut maka dapat dikatakan bahwa klasifikasi iklim berdasarkan Oldeman yang dibuat tahun 1993 memang sudah tidak bisa digunakan lagi karena sudah terjadi perubahan jumlah bulan basah dan bulan kering yang menjadi dasar pengklasifikasian iklim Oldeman.

Banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa fenomena pemanasan global sedang berlangsung akibat terjadinya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cepat di atmosfer. Selama periode 1850 sampai 1998, diperkirakan sebesar 270 (+30) Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40% dari karbon yang dilepaskan ini berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri (67%) dan pembukaan hutan atau konversi lahan (33%), sedangkan yang 60% berasal dari proses alami yang kemudian diserap kembali oleh laut dan ekosistem bumi. Dengan demikian dengan meningkatkan aktivitas kehidupan manusia dalam mengkonsumsi energi dan pembukaan hutan, konsentrasi gas rumah kaca di udara akan terus meningkat. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan diikuti dengan meningkatnya suhu global, karena gas rumah kaca mempunyai kemampuan untuk menyerap radiasi gelombang panjang dan merubahnya menjadi bentuk panas terasa. Terjadinya perubahan suhu global ini akan diikuti oleh perubahan iklim global (Boer et al., 2002).

Menurut Boer et al, ( 2002), perubahan iklim akibat adanya pemanasan global diyakini akan mengarah pada terjadinya penurunan curah hujan yang berlebihan pada suatu lokasi tertentu dan peningkatan curah hujan yang berlebihan di tempat lain.


(40)

Dengan demikian tingkat resiko kekeringan atau kebanjiran akan semakin besar. Indonesia bagian Utara (Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Sumatera bagian Utara), curah hujan musim hujan akan semakin berkurang sedangkan curah hujan musim kemarau akan cenderung semakin tinggi, khususnya Kalimatan bagian Utara. Hasil uji statistik menunjukan adanya perbedaan yang nyata antara jumlah bulan basah dan bulan kering pada periode tahun 1970-1993 dengan periode tahun 1970-2008 hal tersebut menunjukan bahwa indikasi adanya perubahan iklim di Sumatera Utara telah terjadi. Adanya bukti ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi kita semua untuk tidak lagi mengabaikan aspek perubahan iklim.

4.2. Pemetaan Klasifikasi Iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson

Dari 265 data curah hujan yang digunakan dengan menggunakan software GIS maka didapat hasil peta klasifikasi iklim Oldeman (Gambar 5 dan Tabel 6) dan Schmidth-Fergusson (Gambar 6 dan Tabel 7).


(41)

Gambar 5. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 2009

Tabel 6. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009) di Masing-masing Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara

KLASIFIKASI IKLIM KLASIFIKASI IKLIM

OLDEMAN TAHUN 2009 OLDEMAN TAHUN 2009

1 Langkat A1, B1, C1, D1, D2, E2, E3 15 Tobasa C1, D1, D2, E1, E2

2 Binjai B1, C1, D1, D2 16 Samosir C1, D1, E1, E2

3 Deli Serdang C1, D1, D2, E2, E3 17 Humbahas A1, C1, D1, E1, E2

4 Medan C1, D1, D2, E2 18 Tapanuli Utara A1, D1, E1, E2

5 Serdang Bedagai C1, D1, D2, E1, E2, E3 19 Tapanuli Tengah A1, C1, D1

6 Tebing Tinggi D1, E1, E2, E3 20 Labuhan Batu C1, D1, E1

7 Karo C1, D1, D2, E1, E2 21 Tapanuli Selatan A1, C1, D1, E1, E2

8 Dairi C1, D1, D2, E1, E2 22 Padang Sidempuan D1, E1, E2

9 Pak-Pak Barat C1, D1, E1 23 Padang Lawas Utara D1, E1, E2

10 Simalungun B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3 24 Padang Lawas D1, D2, E1, E2

11 Pematang Siantar C1, D1 25 Mandailing Natal C1, D1, E1, E2

12 Asahan C1, D1, D2, E1, E2, E3 26 Nias A1, C1, D1

13 Tanjung Balai D1, D2, E2 27 Nias Selatan C1, D1

14 Batu Bara C1, D1, D2, E1, E2, E3


(42)

Gambar 6. Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson

Tabel 7. Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson di Masing-masing Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara

KLASIFIKASI IKLIM KLASIFIKASI IKLIM

SCHMIDTH-FERGUSSON SCHMIDTH-FERGUSSON

1 Langkat A, B 15 Tobasa A, B, C, D, E

2 Binjai A, B 16 Samosir A, B, C

3 Deli Serdang A, B, C 17 Humbahas A, B, C

4 Medan A, B 18 Tapanuli Utara A, B

5 Serdang Bedagai A, B, C, D 19 Tapanuli Tengah A, B

6 Tebing Tinggi B, C 20 Labuhan Batu A, B

7 Karo B, C, D 21 Tapanuli Selatan A, B

8 Dairi A, B, C, D 22 Padang Sidempuan B

9 Pak-Pak Barat A, B 23 Padang Lawas Utara A, B, C

10 Simalungun A, B, C 24 Padang Lawas B, C

11 Pematang Siantar A 25 Mandailing Natal A, B, C

12 Asahan A, B, C, D 26 Nias A

13 Tanjung Balai B 27 Nias Selatan A, B

14 Batu Bara B, C, D


(43)

Tabel 8. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009 dan 1993)

KLASIFIKASI IKLIM KLASIFIKASI IKLIM

OLDEMAN TAHUN 1993 OLDEMAN TAHUN 2009

1 Langkat A, B1, C1, D2, E2 A1, B1, C1, D1, D2, E2, E3

2 Binjai B1, C1, D1 B1, C1, D1, D2

3 Deli Serdang A, D1, E2 C1, D1, D2, E2, E3

4 Medan D1 C1, D1, D2, E2

5 Serdang Bedagai A, C1, D1, E2 C1, D1, D2, E1, E2, E3

6 Tebing Tinggi D1, E2 D1, E1, E2, E3

7 Karo D1, E2 C1, D1, D2, E1, E2

8 Dairi C1, D1 C1, D1, D2, E1, E2

9 Pak-Pak Barat C1, D2 C1, D1, E1

10 Simalungun A, C1, D1, E2 B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3

11 Pematang Siantar C1 C1, D1

12 Asahan C1, D1, E2 C1, D1, D2, E1, E2, E3

13 Tanjung Balai D1, E2 D1, D2, E2

14 Batu Bara E2 C1, D1, D2, E1, E2, E3

15 Tobasa C1, D1, E2 C1, D1, D2, E1, E2

16 Samosir E2 C1, D1, E1, E2

17 Humbahas A, D1, E2 A1, C1, D1, E1, E2

18 Tapanuli Utara A, C1, D1 A1, D1, E1, E2

19 Tapanuli Tengah A A1, C1, D1

20 Labuhan Batu C1, D1 C1, D1, E1

21 Tapanuli Selatan A, C1, D1, E2 A1, C1, D1, E1, E2

22 Padang Sidempuan E2 D1, E1, E2

23 Padang Lawas Utara C1, D1, E2 D1, E1, E2

24 Padang Lawas D1, E2 D1, D2, E1, E2

25 Mandailing Natal A, E2 C1, D1, E1, E2

26 Nias B1 A1, C1, D1

27 Nias Selatan B1 C1, D1

NO KAB/KOTA

Berdasarkan hasil rincian tabel di atas dapat dilihat bahwa peta Oldeman tahun 1993 telah mengalami banyak perubahan, dengan kecenderungan terjadinya pertambahan jumlah klasifikasi Oldemannya. Pada Klasifikasi iklim Oldeman tahun 1993 terdapat 6 klasifikasi (A, B1, C1, D1, D2, E2) sedangkan pada Klasifikasi Oldeman tahun 2009 terdapat 8 klasifikasi (A1, B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3). Hal ini menunjukkan bahwa di Sumatera Utara telah terjadi pergeseran pola hujan dalam


(44)

rentang waktu 1970-2008. Jika dibandingkan dari penampilan petanya dilihat dengan jelas bahwa terjadi penurunan luasan terutama wilayah klasifikasi iklim C1 dan A1, pada klasifikasi iklim 2009 (Gambar 5) luasan klasifikasi iklim C1 dan A1 menjadi lebih kecil dibandingkan dengan peta Oldeman tahun 1993 (Gambar 7).

Gambar 7. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 1993

Hasil pengolahan data curah hujan tahun 1970-2008 didapatkan klasifikasi Oldeman sebagai berikut:

a. Klasifikasi Oldeman A1

Klasifikasi iklim Oldeman tipe A1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat, Humbahas, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Nias.


(45)

Gambar 8. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe A1

Pola hujan pada Tipe A1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 10 bulan (Maret-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 100 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 3108-4388 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 3822 mm. Zona agroklimat pada Tipe A1 adalah sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya kerapatan fluks radiasi surya rendah sepanjang tahun.

b. Klasifikasi Oldeman B1

Klasifikasi iklim Oldeman tipe B1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat, Binjai, dan Simalungun.


(46)

Gambar 9. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe B1

Pola hujan pada Tipe B1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 8 bulan (Mei-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 100 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 2595-3104 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 2933 mm. Zona agroklimat pada Tipe B1 adalah sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim tanam yang baik.

c. Klasifikasi Oldeman C1

Klasifikasi iklim Oldeman tipe C1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat, Binjai, Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, Karo, Dairi, Pak-Pak Barat, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Nias dan Nias Selatan.


(47)

Gambar 10. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe C1

Pola hujan pada Tipe C1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 5 bulan (Agustus-Desember) dan terjadi hujan yang < 100 mm pada bulan Pebruari. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1750-3957 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 2729 mm. Zona agroklimat pada Tipe C1 adalah dapat tanam padi sekali dan palawija dua kali setahun.

d. Klasifikasi Oldeman D1

Klasifikasi iklim Oldeman tipe D1 ini terdapat di seluruh Kabupaten/Kota Sumatera Utara.


(48)

Gambar 11. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D1

Pola hujan pada Tipe D1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 4 bulan (Agustus-Nopember) dan terjadi hujan yang < 100 mm pada bulan Pebruari. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1705-3085 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 2274 mm. Zona agroklimat pada Tipe D1 adalah tanam padi umur pendek satu kali dan biasanya produksi bisa tinggi karena kerapatan fluks radiasi surya tinggi, waktu tanam palawija cukup.

e. Klasifikasi Oldeman D2

Klasifikasi iklim Oldeman tipe D2 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat, Binjai, Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, Karo, Dairi, Simalungun, Asahan, Tanjung Balai, Tobasa, dan Padang Lawas.


(49)

Gambar 12. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D2

Pola hujan pada Tipe D2 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 3 bulan (September-Nopember) dan curah hujan yang < 100 mm berturut-turut terjadi selama 2 bulan (Pebruari-Maret). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1749-2409 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1911 mm. Zona agroklimat pada Tipe D2 adalah hanya mungkin tanam padi satu kali atau palawija sekali setahun, tergantung pada adanya persediaan air irigasi.

f. Klasifikasi Oldeman E1

Klasifikasi iklim Oldeman tipe E1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Serdang Bedagai, Binjai, Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Pak-Pak Barat, Simalungun, Asahan, Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas dan Mandailing Natal.


(50)

Gambar 13. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E1

Pola hujan pada Tipe E1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 2 bulan (September-Oktober) dan terjadi hujan yang < 100 mm pada bulan Pebruari. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1615 – 2145 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1922 mm. Zona agroklimat pada Tipe E1 adalah daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali tanam palawija, itu pun tergantung pada ada tidaknya hujan.

g. Klasifikasi Oldeman E2

Klasifikasi iklim Oldeman tipe E2 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat, Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Simalungun, Asahan, Tanjung Balai, Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas dan Mandailing Natal.


(51)

Gambar 14. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E2

Pola hujan pada Tipe E2 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 2 bulan (September-Oktober) dan curah hujan yang < 100 mm berturut-turut terjadi selama 2 bulan (Januari-Pebruari). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1172-2233 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1685 mm. Zona agroklimat pada Tipe E2 adalah daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali tanam palawija, itu pun tergantung pada ada tidaknya hujan.

h. Klasifikasi Oldeman E3

Klasifikasi iklim Oldeman tipe E3 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Simalungun, Asahan, dan Batu Bara.


(52)

Gambar 15. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E3

Pola hujan pada Tipe E3 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 1 bulan (Oktober) dan curah hujan yang < 100 mm berturut-turut terjadi selama 4 bulan (Januari-April). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1027-1823 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1488 mm. Zona agroklimat pada Tipe E3 adalah daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali tanam palawija, itu pun tergantung pada ada tidaknya hujan.

Hasil pengolahan data curah hujan tahun 1970-2008 didapatkan klasifikasi Schmidth-Fergusson sebagai berikut:

a. Klasifikasi Schmidth-Fergusson A

Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe A ini terdapat hampir di seluruh Kabupaten/Kota Sumatera Utara, kecuali: Tebing Tinggi, Karo, Tanjung Balai, Batu Bara, Padang Sidempuan dan Padang Lawas.


(53)

Gambar 16. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe A

Pola hujan pada Tipe A seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 12 bulan (Januari-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1705-4338 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 2687 mm. Rata-rata jumlah bulan keringnya adalah 1 bulan. Zona agroklimat pada Tipe A adalah daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis.

b. Klasifikasi Schmidth-Fergusson B

Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe B ini terdapat hampir di seluruh Kabupaten/Kota Sumatera Utara, kecuali: Pematang Siantar, dan Nias.


(54)

Gambar 17. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe B

Pola hujan pada Tipe B seperti terlihat pada grafik di atas menunjukan bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 12 bulan (Januari-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1480-2751 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1931 mm. Rata-rata jumlah bulan keringnya adalah 2 bulan. Zona agroklimat pada Tipe B adalah daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropis.

c. Klasifikasi Schmidth-Fergusson C

Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe C ini terdapat di Kabupaten/Kota: Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Simalungun, Asahan, Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Padang Lawas Utara, Padang Lawas dan Mandailing Natal.


(55)

Gambar 18. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe C

Pola hujan pada Tipe C seperti terlihat pada grafik di atas menunjukan bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 10 bulan (Januari-Mei; Agustus-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1283-2083 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1629 mm. Rata-rata jumlah bulan keringnya adalah 3 bulan. Zona agroklimat pada Tipe C adalah daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba, diantaranya terdapat jenis vegetasi yang daunnya gugur pada musim kemarau, misalnya Jati.

d. Klasifikasi Schmidth-Fergusson D

Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe D ini terdapat di Kabupaten/Kota: Serdang Bedagai, Karo, Dairi, Asahan, Batu Bara dan Tobasa.


(56)

Gambar 19. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi

Schmidth-Fergusson Tipe D

Pola hujan pada Tipe D seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 4 bulan (September-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1172-1319 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1213 mm. Rata-rata jumlah bulan keringnya adalah 5 bulan. Zona agroklimat pada Tipe D adalah daerah sedang dengan vegetasi hutan musim.

e. Klasifikasi Schmidth-Fergusson E

Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe E ini terdapat di Kabupaten Tobasa.


(57)

Gambar 20. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi

Schmidth-Fergusson Tipe E

Pola hujan pada Tipe E seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 4 bulan (September-Desember), curah hujan hujan yang < 60 mm terjadi selama 3 bulan (Januari-Maret). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1027-1088 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1058 mm. Rata-rata jumlah bulan keringnya adalah 7 bulan. Zona agroklimat pada Tipe E adalah daerah agak kering dengan vegetasi hutan Sabana.

Pada peta Oldeman hasil olahan tahun 2009 terlihat bahwa terjadi penurunan luasan wilayah tipe iklim dibanding peta Oldeman tahun 1993. Pada peta Oldeman tahun 1993 seluruh Tapanuli Tengah sampai ke daerah pesisir Tapsel dan Madina adalah tipe iklimnya A, sedangkan pada peta Oldeman tahun 2009 Tapanuli Tengah hanya sebagian kecil yang tipenya A, selebihnya didominasi oleh tipe iklim C1. Daerah pesisir Tapsel berubah menjadi C1 dan pesisir Madina berubah menjadi D1. Kepulauan Nias dari tipe B1 pada peta Oldeman tahun 1993 menjadi dominan C1 dan


(58)

D1. Namun secara umum wilayah Sumatera Utara didominasi oleh tipe D1. Adanya informasi perubahan ini tentunya bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk mengantisipasi kejadian yang ekstrim yang berdampak negatif dengan teknik adaptasi (penyesuaian seluruh kegiatan terhadap kondisi iklim). Menurut IPCC (2001) kemampuan adaptasi (adaptive capacity) merujuk pada kemampuan dari suatu sistem (misalnya pertanian) untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman iklim saat ini dan akan datang, termasuk kejadian iklim ekstrim, sehingga dampak negatif yang akan ditimbulkan dapat ditekan atau sebaliknya kondisi tersebut dapat disiasati sehingga menimbulkan dampak yang positif. Jadi kemampuan adaptasi tidak hanya menunjukkan kemampuan untuk menekan dampak negatif dari suatu kejadian, tetapi juga kemampuan untuk memanfaatkan potensinya sehingga menimbulkan dampak yang positif.

4.3. Evaluasi Kesesuaian Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson untuk Bidang Kehutanan

Berdasarkan hasil kajian literatur, yang difokuskan pada prinsip dasar penentuan klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson maka terdapat beberapa perbedaan. Dengan adanya perbedaan ini tentunya dalam aplikasinya pun akan berbeda, terutama untuk kepentingan evaluasi kesesuaian tanaman terhadap iklim di wilayah tertentu. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.


(59)

Tabel 9. Perbedaan Prinsip Dasar Penentuan Klasifikasi Oldeman dan Schmidth-Fergusson

Dasar Penentuan Klasifikasi Iklim Klasifikasi Ikli m

Kl asifikasi Oldeman Sc hmidth-Fergusson

Hidrologi Kebutuhan Tan. Padi dan Palawija Penguapan

Bulan Basah > 200 mm Bulan Basah > 100 mm Bulan Kering < 100 mm Bulan Kering < 60 mm Penghitungan Bulan Basah

dan Bulan Ke ring

Jumlah bulan basah dan Nilai Q = Rata-rata bulan kering bulan ke ring Rata-rata bulan basah

Aplikasi Pertanian (Tan. Pangan) Kehutanan dan Perkebunan

Curah Hujan

Rataan seluruh data Se tiap tahun

Penentuan akhir

Gambar 21. Peta Overlay Tutupan Lahan dengan Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson


(60)

Gambar 22. Peta Overlay Tutupan Lahan Dengan Peta Klasifikasi Iklim Oldeman

Berdasarkan hasil evaluasi peta klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson yang dioverlay dengan peta tutupan lahan seperti terlihat pada Gambar 21 bisa kita lihat bahwa di Kabupaten Labuhan Batu wilayah yang diklasifikasikan berdasarkan Schmidth-Fergusson (A dan B dengan zone agroklimatnya hutan hujan tropis) sesuai dengan tutupan lahannya yang didominasi oleh perkebunan dan hutan. Sedangkan dari Gambar 22 bisa kita lihat bahwa di Kabupaten Labuhan Batu, wilayah yang diklasifikasikan berdasarkan Oldeman C1, D1 dan E1 dengan zone agroklimat padi dan palawija secara umum tidak sesuai dengan tutupan lahannya yang didominasi oleh perkebunan dan hutan. Berdasarkan uraian tersebut maka


(61)

dapat dikatakan bahwa untuk bidang perkebunan dan kehutanan lebih tepat digunakan klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson, sedangkan untuk tanaman pangan (pangan dan palawija) lebih tepat digunakan klasifikasi iklim Oldeman.

4.4. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan Memanfaatkan Informasi Sumberdaya Iklim

Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan faktor sumberdaya iklim selama ini kurang mendapat perhatian. Namun dengan adanya fakta-fakta terjadinya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim, paradigma yang tadinya kurang atau bahkan tidak memperdulikan faktor iklim dalam setiap kegiatan menjadi berubah. Pada saat ini masyarakat lebih sadar betapa besarnya peranan sumberdaya iklim dalam segala aspek kehidupan.

a. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengelolaan Sumberdaya Pertanian dan Perkebunan di Sumatera Utara (Peta Kesesuaian Komoditas Pertanian dengan Iklim)

Iklim merupakan salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan dan produksi tanaman. Jenis-jenis dan sifat-sifat iklim bisa menentukan jenis-jenis tanaman yang tumbuh pada suatu daerah serta produksinya. Oleh karena itu kajian klimatologi dalam bidang pertanian sangat diperlukan. Seiring dengan semakin berkembangnya isu pemanasan global dan akibatnya pada perubahan iklim, membuat sektor pertanian begitu terpukul. Tidak teraturnya perilaku iklim dan perubahan awal musim dan akhir musim seperti musim kemarau dan musim hujan membuat para petani begitu susah untuk merencanakan masa tanam dan


(62)

masa panen. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, hujan merupakan faktor pembatas penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (Asyakur, 2007).

Adanya peta Oldeman dapat membantu sektor pertanian dalam mengatasi adaptasi terhadap iklim. Dengan informasi peta klasifikasi Oldeman maka dapat dipetakan wilayah iklim yang sesuai untuk tanaman padi khususnya. Tanaman padi (Oryza sativa) dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500-2000 mm (Anonimus, 2008). Berdasarkan informasi tersebut maka yang sesuai untuk tanaman padi tanpa bantuan irigasi teknis adalah wilayah klasifikasi iklim C1, D1, dan D2 seperti terlihat pada Gambar 23. Untuk wilayah klasifikasi iklim E1, E2 dan E3 bisa ditanami padi dengan bantuan irigasi teknis terutama di musim kemarau (Januari-Juni) seperti terlihat pada Gambar 23. Selain itu untuk tanaman pangan informasi klasifikasi iklim Oldeman dapat dimanfaatkan dalam pengaturan pola tanam (Balitbang Dinas Pertanian, 2007).


(63)

Gambar 23. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Tanaman Padi (Oriza sativa)

Pemanfaatan peta Schmidth-Fergusson terutama untuk informasi kesesuaian iklim pada komoditas tanaman perkebunan misalnya karet dan kelapa sawit tentu sangat membantu pihak-pihak terkait di Sumatera Utara dalam memutuskan pengembangan tanaman tersebut.

Dalam kegiatan evaluasi kesesuaian lahan untuk perkebunan faktor iklim adalah faktor utama yang harus terlebih dahulu dievaluasi sebelum evaluasi faktor lahan lainnya (bentuk wilayah dan sifat tanah). Jika dalam evaluasi ternyata lahan tersebut secara klimatologis tidak sesuai, maka dapat disimpulkan bahwa lahan tersebut tidak direkomendasikan untuk perkebunan. Hasil evaluasi


(64)

ini sangat beralasan karena setiap tanaman memiliki persyaratan agronomis yang pada kenyataannya didominasi oleh persyaratan iklim (Rahmat et al., 1999). Maka dengan adanya peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara kita bisa memetakan wilayah yang sesuai dari sisi iklimnya untuk tanaman perkebunan andalan Sumatera Utara (karet dan sawit).

Menurut Endert (1949), dalam Djikman, (1951) tanaman karet (Ficus elastica) paling cocok ditanam pada wilayah yang mempunyai iklim dengan kriteria bulan kering antara 0-3 dan jumlah curah hujan tahunan yang ideal adalah 2500-5000 mm, maka untuk wilayah Sumatera Utara yang cocok adalah wilayah yang mempunyai tipe iklim Schmidth-Fergusson A-B, artinya kalau dilihat dari sisi iklim (curah hujan) hampir semua wilayah Sumatera Utara cocok untuk tanaman karet seperti terlihat pada Gambar 24.


(65)

Gambar 24. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Karet (Ficus

elastica)

Berdasarkan Gambar 24, hampir seluruh wilayah Sumatera Utara dari segi iklim (curah hujan) cocok untuk tanaman karet. Kecuali beberapa daerah yang relatif kecil yang tidak cocok (sebagian kecil Kab. Madina, Paluta, Dairi, Batu Bara; sebagian besar Kab. Tobasa, Samosir, Karo, Sergai). Namun dalam kenyataannya di lapangan di Sumatera Utara hampir sebagian besar perkebunan yang ada adalah sawit. Hal ini tentunya banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain pengetahuan tentang pentingnya informasi iklim yang sesuai untuk tanaman sawit, paradigma yang berkembang bahwa dengan menanam sawit


(66)

sudah pasti untung, peranan lembaga-lembaga yang berwenang untuk memberikan pemahaman tentang kesesuaian lahan dengan faktor pendukung lainnya masih kurang.

Menurut Rahmat et.al (1999), tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) paling cocok ditanam pada wilayah yang mempunyai iklim dengan kriteria bulan kering < 1 dan jumlah curah hujan tahunan yang ideal adalah 1750-3000 mm, maka untuk wilayah Sumatera Utara yang cocok adalah wilayah yang mempunyai tipe iklim Schmidth-Fergusson A, seperti terlihat pada Gambar 25.

Berdasarkan Gambar 25, hanya beberapa wilayah Sumatera Utara dari segi iklim (curah hujan) cocok untuk tanaman kelapa sawit (Langkat di bagian pegunungan, sebagian besar Kab. Labuhan Batu, Nias dan Nisel, Simalungun; sebagian kecil Dairi, Pak-Pak Barat, Deli Serdang, Sergai). Tetapi dalam kenyataannya sama dengan kasus tanaman karet, masyarakat tidak mengetahui informasi ini dan akhirnya hampir di seluruh Sumatera Utara ramai-ramai merubah lahannya menjadi perkebunan sawit dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih besar.


(67)

Gambar 25. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)

b. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Upaya Peringatan Dini

Wilayah-Wilayah yang Rawan Terkena Bencana Akibat Terjadinya Iklim Ekstrim

Kondisi iklim yang menyimpang dari normal seringkali menimbulkan dampak yang negatif. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya penyimpangan iklim di Indonesia ialah fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation). Kejadian El-Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau kekeringan sedangkan La-Nina berasosiasi dengan kejadian banjir. Kondisi ini dapat memicu terjadinya berbagai kejadian yang tidak diinginkan.


(68)

Upaya untuk mengantisipasi atau menekan dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini sudah banyak dilakukan. Namun demikian, upaya yang dilakukan umumnya tidak bersifat mencegah atau mengurangi dampak negatif yang akan ditimbulkan (preventif) tetapi lebih bersifat memperbaiki dampak yang sudah terjadi (kuratif). Dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi fenomena terjadinya iklim ekstrim, langkah-langkah umum yang dapat dilakukan diantaranya ialah melakukan pemetaan daerah-daerah yang sensitif terhadap fenomena ini, meningkatkan kemampuan peramalan sehingga langkah-langkah antisipasi dapat dilakukan lebih awal, khususnya pada daerah-daerah yang rawan dan menerapkan teknologi budidaya yang dapat menekan risiko terkena dampak kejadian (Boer, 2003).

Salah satu upaya dalam menekan resiko terjadinya bencana akibat terjadinya iklim ekstrim (banjir dan kekeringan) adalah dengan memetakan wilayah-wilayah yang rawan. Dengan adanya informasi ini instansi pemerintah khususnya yang terkait langsung dengan hal ini dapat melakukan perencanaan pengelolaan wilayah di daerah tersebut yang berwawasan kebencanaan sehingga dapat menekan resiko terjadinya kerugian yang diakibatkan oleh bencana tersebut.

Salah satu data yang penting dalam pembuatan peta rawan banjir dan kekeringan adalah data curah hujan bulanan. Karena salah satu penentuan tingkat rawan banjir dan kekeringan didasarkan pada besarnya curah hujan yang jatuh dalam satu bulan di daerah tersebut. Kriteria untuk menentukan tingkat rawan


(69)

banjir seperti terlihat pada Tabel 10 dan tingkat rawan kekeringan terlihat pada Tabel 11.

Tabel 10. Kriteria Rawan Banjir Berdasarkan Rata-rata Curah Hujan Bulanan Curah Hujan Bulanan

NIlai Bobot Kriteria banjir

< 150 mm 150 mm – 250 mm 250 mm – 350 mm

> 350 mm

0 1 2 3 Aman Rendah Menengah Tinggi (BMKG, 2007)

Tabel 11. Kriteria Rawan Kekeringan Berdasarkan Klasifikasi Iklim Oldeman

Tipe Oldeman

(Utama) Nilai Bobot Kriteria Kekeringan

A 5 Sangat Aman

B 4 Aman

C 3 Sedang

D 2 Agak Rawan

E 1 Rawan

(BMKG, 2007)

Berdasarkan tabel kriteria rawan banjir dan kekeringan di atas, maka dengan adanya peta klasifikasi iklim berdasarkan Oldeman dapat dipetakan wilayah-wilayah yang rawan banjir dan kekeringan seperti terlihat pada Gambar 26 dan 27.


(70)

Gambar 26. Peta Tingkat Kerawanan Terjadi Banjir Berdasarkan Rata-rata Jumlah Curah Hujan Bulanan

Gambar 27. Peta Tingkat Kerawanan Terjadi Kekeringan Berdasarkan Rata-Rata Jumlah Curah Hujan Bulanan


(71)

Berdasarkan hasil dari pemetaan-pemetaan tadi, maka diharapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan semua instansi terkait memperhatikan sumberdaya iklim ini. Misalnya dalam pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten Kota hendaknya melibatkan peta potensi sumberdaya iklim ini dalam menentukan peruntukan wilayah baik pemukiman, industri, pertanian dan lain-lain agar terhindar atau meminimalisir resiko bencana yang diakibatkan oleh iklim.


(72)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Klasifikasi iklim Oldeman yang dibuat tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi karena terjadi perubahan pola hujan di Sumatera Utara sehingga bulan basah dan bulan kering yang menjadi dasar penentuan tipe iklim Oldeman juga berubah.

b. Dari hasil pemetaan tipe iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson yang dilihat dari dasar penentuannya dan dibandingkan dengan peta tutupan lahan maka untuk bidang kehutanan lebih cocok digunakan peta klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson.

5.2. Saran

Dengan adanya hasil penelitian ini maka penulis menyarankan beberapa hal antara lain:

a. Pemetaan klasifikasi iklim ini harus direvisi minimal sepuluh tahun sekali.

b. Kepada semua instansi terkait hendaknya memperhatikan peta klasifikasi iklim ini sebelum mengambil keputusan, mengingat pentingnya informasi iklim dimasa yang akan datang.

c. Pemetaan klasifikasi iklim ini tentunya mempunyai kekurangan terutama jumlah

dan sebaran data penelitian yang masih jauh dari ideal dan untuk itu bagi para peneliti yang tertarik dengan bidang yang yang sama bisa lebih memperdalam


(73)

lagi kajian ini dimasa yang akan datang dengan jumlah dan sebaran data yang lebih baik.

d. Kepada semua instansi yang terkait secara langsung pada terbangunnya jaringan stasiun penakar hujan (BMKG, PPKS, PTPN dan PU Pengairan) agar menambah jaringan stasiun penakar hujan dengan sebaran yang lebih merata dan memelihara yang sudah ada di Sumatera Utara, supaya didapat data yang lebih akurat.

e. Khusus untuk BMKG agar meningkatkan kerja sama dengan instansi swasta khususnya yang bergerak di bidang perkebunan dalam meningkatkan kwantitas data dan kwalitas sebaran jaringan stasiun penakar hujan di Sumatera Utara.


(74)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2008. Klimatologi. http://www.bticnet.com/cli.html.

As-Syakur, A.R. 2008. Prediksi Erosi dengan Menggunakan Metode USLE dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Berbasis Piksel di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan. Proseding PIT XVII MAPIN. pp 1-11.

As-Syakur, A.R. 2007. Klasifikasi Iklim. http://mbojo.wordpress.com/. ________. 2007. Klimatologi untuk Pertanian. http://mbojo.wordpress.com/.

Aronoff, Stanley. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa: WDL Publications.

Balitbang Dinas Pertanian. 2007. Atlas Sumberdaya Pertanian Indonesia. Balitbang Jakarta.

Bayong, Tj.H.K. 2004. Klimatatologi. ITB. Bandung.

BMKG, 2007. Laporan Akhir Penyusunan Peta Rawan Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Asahan. Medan.

Boer, R. dan S. Alimoeso. 2002. Strategi Anitisipasi Kejadian Iklim Ekstrim. Paper presented at ‘Seminar Upaya Peningkatan Ketahanan Sistem Produksi Tanaman Pangan terhadap Iklim Ekstrim’. Departemen Pertanian, Pasar Minggu, 24 Juni 2002, Jakarta.

Boer, R. 2003. Penyimpangan Iklim di Indonesia. Disajikan dalam Seminar Nasional Ilmu Tanah dengan Tema "Menggagas Strategi Alternatif dalam Menyiasati Penyimpangan Iklim serta Implikasinya pada Tataguna Lahan dan Ketahanan Pangan Nasional" Gedung University Center Universitas Gadjah Mada. Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Bogor.


(75)

Barus B., dan U.S. Wiradisastra, 2000, Sistem Informasi Geografi, Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Burrough PA. 1986. Principle of Geographical Information System. Oxford University Press, Oxford. 178 p.

Djikman, M. J. 1951, Hevea, Thirty Years of Research in the Far East. University of Miami Press. Coral Gables, Florida.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Climate Change 2001: The

Scientific Basis. Cambridge University Press. 2001.

Irianto, G., I. Amien, Irsal Las, B. Rachman. 2001. Pengelolaan Air Berbasis Pulau untuk Mengantisipasi Kelangkaan Air dan Mencapai Ketahanan Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Puslittbangtanak.

Kartasapoetra, A.G. 2004. Klimatologi; Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Lakitan, B. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Oldeman, R.L., Irsal Las, and Muladi. 1980. The agro-climatic maps of Kalimantan,

Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara Contrib. No.60. Centr. Res. Inst.Agrc. Bogor.

Rachmat-Adiwiganda, M., H.H. Siregar and E.S. Sutarta. 1999. Agroclimatic Zones for Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. 1999 Porim International Palm Oil Congress (PIPOC) Kuala Lumpur Malaysia.

Samuel, L. 2002. Pengembangan Komoditas Pertanian Berdasarkan Pendekatan Iklim: Suatu Kajian pada Kawasan-Kawasan Sentra Produksi Tanaman di Propinsi Maluku. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.


(76)

Schmidth, F.H. and J.H.A. Fergusson. 1951. Rainfall Tipes Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinee. Kem. Perhubungan– DMG. Jakarta.

Sudjana. 2002. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Weisner, C.J. 1970. Hydrometeorology. Chapmam and Hall. Ltd., London. dalam Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor.


(1)

Berdasarkan hasil dari pemetaan-pemetaan tadi, maka diharapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan semua instansi terkait memperhatikan sumberdaya iklim ini. Misalnya dalam pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten Kota hendaknya melibatkan peta potensi sumberdaya iklim ini dalam menentukan peruntukan wilayah baik pemukiman, industri, pertanian dan lain-lain agar terhindar atau meminimalisir resiko bencana yang diakibatkan oleh iklim.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Klasifikasi iklim Oldeman yang dibuat tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi karena terjadi perubahan pola hujan di Sumatera Utara sehingga bulan basah dan bulan kering yang menjadi dasar penentuan tipe iklim Oldeman juga berubah.

b. Dari hasil pemetaan tipe iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson yang dilihat dari dasar penentuannya dan dibandingkan dengan peta tutupan lahan maka untuk bidang kehutanan lebih cocok digunakan peta klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson.

5.2. Saran

Dengan adanya hasil penelitian ini maka penulis menyarankan beberapa hal antara lain:

a. Pemetaan klasifikasi iklim ini harus direvisi minimal sepuluh tahun sekali.

b. Kepada semua instansi terkait hendaknya memperhatikan peta klasifikasi iklim ini sebelum mengambil keputusan, mengingat pentingnya informasi iklim dimasa yang akan datang.

c. Pemetaan klasifikasi iklim ini tentunya mempunyai kekurangan terutama jumlah dan sebaran data penelitian yang masih jauh dari ideal dan untuk itu bagi para peneliti yang tertarik dengan bidang yang yang sama bisa lebih memperdalam


(3)

lagi kajian ini dimasa yang akan datang dengan jumlah dan sebaran data yang lebih baik.

d. Kepada semua instansi yang terkait secara langsung pada terbangunnya jaringan stasiun penakar hujan (BMKG, PPKS, PTPN dan PU Pengairan) agar menambah jaringan stasiun penakar hujan dengan sebaran yang lebih merata dan memelihara yang sudah ada di Sumatera Utara, supaya didapat data yang lebih akurat.

e. Khusus untuk BMKG agar meningkatkan kerja sama dengan instansi swasta khususnya yang bergerak di bidang perkebunan dalam meningkatkan kwantitas data dan kwalitas sebaran jaringan stasiun penakar hujan di Sumatera Utara.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2008. Klimatologi. http://www.bticnet.com/cli.html.

As-Syakur, A.R. 2008. Prediksi Erosi dengan Menggunakan Metode USLE dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Berbasis Piksel di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan. Proseding PIT XVII MAPIN. pp 1-11.

As-Syakur, A.R. 2007. Klasifikasi Iklim. http://mbojo.wordpress.com/. ________. 2007. Klimatologi untuk Pertanian. http://mbojo.wordpress.com/.

Aronoff, Stanley. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa: WDL Publications.

Balitbang Dinas Pertanian. 2007. Atlas Sumberdaya Pertanian Indonesia. Balitbang Jakarta.

Bayong, Tj.H.K. 2004. Klimatatologi. ITB. Bandung.

BMKG, 2007. Laporan Akhir Penyusunan Peta Rawan Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Asahan. Medan.

Boer, R. dan S. Alimoeso. 2002. Strategi Anitisipasi Kejadian Iklim Ekstrim. Paper presented at ‘Seminar Upaya Peningkatan Ketahanan Sistem Produksi Tanaman Pangan terhadap Iklim Ekstrim’. Departemen Pertanian, Pasar Minggu, 24 Juni 2002, Jakarta.

Boer, R. 2003. Penyimpangan Iklim di Indonesia. Disajikan dalam Seminar Nasional Ilmu Tanah dengan Tema "Menggagas Strategi Alternatif dalam Menyiasati Penyimpangan Iklim serta Implikasinya pada Tataguna Lahan dan Ketahanan Pangan Nasional" Gedung University Center Universitas Gadjah Mada. Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Bogor.


(5)

Barus B., dan U.S. Wiradisastra, 2000, Sistem Informasi Geografi, Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Burrough PA. 1986. Principle of Geographical Information System. Oxford University Press, Oxford. 178 p.

Djikman, M. J. 1951, Hevea, Thirty Years of Research in the Far East. University of Miami Press. Coral Gables, Florida.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Climate Change 2001: The

Scientific Basis. Cambridge University Press. 2001.

Irianto, G., I. Amien, Irsal Las, B. Rachman. 2001. Pengelolaan Air Berbasis Pulau untuk Mengantisipasi Kelangkaan Air dan Mencapai Ketahanan Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Puslittbangtanak.

Kartasapoetra, A.G. 2004. Klimatologi; Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Lakitan, B. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Oldeman, R.L., Irsal Las, and Muladi. 1980. The agro-climatic maps of Kalimantan,

Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara Contrib. No.60. Centr. Res. Inst.Agrc. Bogor.

Rachmat-Adiwiganda, M., H.H. Siregar and E.S. Sutarta. 1999. Agroclimatic Zones for Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. 1999 Porim International Palm Oil Congress (PIPOC) Kuala Lumpur Malaysia.

Samuel, L. 2002. Pengembangan Komoditas Pertanian Berdasarkan Pendekatan Iklim: Suatu Kajian pada Kawasan-Kawasan Sentra Produksi Tanaman di Propinsi Maluku. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.


(6)

Schmidth, F.H. and J.H.A. Fergusson. 1951. Rainfall Tipes Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinee. Kem. Perhubungan– DMG. Jakarta.

Sudjana. 2002. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Weisner, C.J. 1970. Hydrometeorology. Chapmam and Hall. Ltd., London. dalam Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor.