Implementasi Pelayanan Publik Bidang Izin Usaha Perikanan Dan Penangkapan Ikan Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan Kabupaten Nias

(1)

IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN

USAHA PERIKANAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI BADAN

PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA BERKELANJUTAN

KABUPATEN NIAS

TESIS

Oleh

FILINA BAEHA 087024013

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KABUPATEN NIAS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan ( MSP)

pada Program Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh FILINA BAEHA

087024013/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN USAHA PERIKANAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA BERKELANJUTAN KABUPATEN NIAS

Nama mahasiswa : FILINA BAEHA

Nomor Induk Mahasiswa : 087024013

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA) (Drs. Amru Nasution, M.Kes)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA Anggota : 1. Drs. Amru Nasution, M. Kes

2. Drs. Kariono, M.Si

3. Drs. Husni Thamrin Nasution, M.Si 4. Prof. Subhilhar, Ph.D


(5)

PERNYATAAN

IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN USAHA PERIKANAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA BERKELANJUTAN KABUPATEN NIAS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2010 Penulis,


(6)

Nias, melalui pendekatan proses dan dampak dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias.

Metode atau jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini, bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan serta dianalisis. Adapun informan kunci (key

informan) dalam penelitian ini adalah masyarakat yang secara khusus mengurus izin

usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan perizinan terpadu Kabupaten Nias, sebanyak 8 (delapan) orang. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara

purpusive sampling, yaitu pengambilan sampel secara cermat atau atas pertimbangan

tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti. Atau orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Teknik pengumpulan data yaitu melalui data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung pada objek penelitian dengan cara wawancara mendalam (indept interview), kepada masyarakat pengurus izin usaha perikanan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun melalui alat bantu tulis dan

tape recorder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari BPPT Kabupaten Nias

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti profil badan perizinan terpadu, dasar pengukuran indeks kepuasan maksimum, alur kerja pelayanan, persyaratan izin usaha, dan standar pelayanan minimal (SPM). Teknik analisis data yaitu dengan cara mengumpulkan data yang telah dikumpul melalui wawancara mendalam dan diinterpretasikan serta dianalisis dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai.

Hasil penelitian lapangan melalui pendekatan proses, diketahui bahwa keberadaan badan perizinan ini telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pada sektor pelayanan publik terutama dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan usaha yang meliputi kemudahan dalam memproses satu jenis pelayanan, proses pelayanan yang lebih sederhana, menghindari biaya pengurusan yang lebih besar. Dalam aspek dampak, diketahui telah memberikan kepastian hukum dan keamanan berusaha di bidang perikanan, meningkatkan PAD Kabupaten Nias, namun pada sisi lain, masih belum memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam meminimalisir aktivitas pelanggaran di perairan laut, serta pengrusakan ekosistem dan degradasi pantai yang cenderung disebabkan oleh maraknya kapal asing dan kurangnya pengawasan pemerintah. Pada sektor investasi, belum mampu meningkatkan ketertarikan investor di bidang perikanan, diindikasikan atau


(7)

disebabkan oleh faktor bencana alam dan letak geografis Kabupaten Nias yang jauh dari tingkat Propinsi sehingga akses transportasi udara, laut dan darat masih sulit untuk ditempuh.

Kata Kunci : Implementasi, Pelayanan perizinan bidang usaha perikanan, Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan


(8)

management in Nias Regency

The research method applied by the writer in this research is a descriptive study by quantitative approach as a problem solving procedure by depict the subject and object of research based on the fact. Therefore, in this research the writer did not test the hypothesis but to describe the data and fact in the research object, and to interprete and analyze the data and fact. The key informan in this research are people who apply the fishery and fish cathmant business permit in integrated permit agency in Nias regency for 8 persons. The determining of informan by the purposive sampling, to take the sample carefly based on the certain consideration. Or the person who assume know the social situation. The data collection method are primary and secondary data. The primary data are collected to the research object directly by the indept interview specially to the people who apply the fishery and fish cathmant permit by direct interview or by ape recorder. The secondary data are data from integrated permit service agent of Nias regency that related to the studied object such as the profile of integratedpermit regency, measurement of maximum satis faction index, service work path, requirement of business permit and minimize service standard. The data aqnalysis method is by collecting the data through indept interview and interpreted and analyzed based on the theoretical review.

The results of research through process approach indicated that the exixtence of permit agency probide the contribution to the increasing of public service specially in increasing permit service quality thyat consist of easiness in processing of service type, the simplest service process, avoid the expensive cost. In impact aspect, there is a law enforcement and the business safety in fishery business, to increase the the origin reginal income of Nias regency, but in another hand, there is not a big impact significantly in minimize the the violence in the sea, damage of ecosystem and coastal degradation that caused by the foreign vessel and the lower of government supervision. In investment sector, it has not yet increase the interesting for investor to have invest in fishery caused by the natural disasters and geographical position of Nias regency that far from Province in air, sea and land transportation.

Key word : Implementation, Permit service in Fishery business, Sustainable Resource Management


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, atas berkat dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul ”Implementasi Pelayanan Publik bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan Kabupaten Nias”.

Tesis ini disusun guna memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk meraih Gelar Strata Dua (S-2) pada Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sjahril Pasaribu, DTM, H. Sp(K)A.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairudin Nisa B, M,Sc

3. Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan, Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

4. Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan, Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si


(10)

6. Bapak Drs. Amru Nasution, M. Kes, selaku Dosen Pembimbing II, dengan ketulusan hati, penuh kesabaran dan waktu dalam memberikan bimbingan, saran-saran demi pengembangan dan penyempurnaan Tesis ini

7. Dosen-dosen penguji, Bapak Drs. Husni Thamrin Nasution, M.Si dan Bapak Kariono, M.Si, atas saran dan masukan dalam penyempurnaan Tesis ini

8. Segenap Bapak-bapak dan Ibu Dosen, atas ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

9. Para Pegawai atau staf Studi Pembangunan, kak Dina, bu Nisa, bang Iwan, Dade dan Tika, terimakasih atas waktu dan masukan, motivasi yang diberikan selama perkuliahan di Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

10. Bapak Binahati B. Baeha, SH (Bupati Nias) dan keluarga, yang telah memberikan semangat dan dukungan penuh, baik moril maupun material, juga keluarga besar Baeha dan sanak family yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan Tesis ini

11. Pemerintah Kabupaten Nias dan masyarakat atas dukungan penuh, baik moril maupun material sehingga perkuliahan ini dapat selesai

12. Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Nias, Bapak Fatolosa Lase, SE, Bapak dan Ibu para Kabid, Kasubbag dan staf, yang telah


(11)

memberikan banyak masukan yang berharga, meluangkan waktu dan tempat kepada penulis selama melaksanakan penelitian

13. Kedua orang tua ku yang terkasih, (Papa Mamaku Alm), atas dukungan penuh dan doa mama, cinta kasih yang sangat besar dan Mulya, pengorbanan dan kesabaranMu, sehingga mengantarkan dan memampukan saya meniti dan menyelesaikan pendidikan ini sampai dengan selesai

14. Abang dan kakak yang kusayangi, atas doa dan dukungan yang diberikan sehingga Tesis ini dapat selesai

15. Seseorang yang kusayangi, D.H, atas doa dan waktunya yang selalu setia menemaniku dalam suka maupun duka. Gagasan dan ide-idenya dalam penyelesaian Tesis ini

16. Rekan-rekan mahasiwa/i Angk. XIII, yang telah banyak memberikan saran dan dukungan atas penyempurnaan dan penyelesaian Tesis ini.

Penulis,


(12)

I. IDENTITAS DIRI

Nama : FILINA BAEHA, SE

Tempat/Tgl. Lahir : Tumori Nias, 15 Juni 1983

Alamat : Jl. Simpang Afulu, Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Utara

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Jabatan : Staf Bagian Keuangan Setda Kabupaten Nias Pangkat/Golongan : Penata Muda/IIIa

Alamat Kantor : Jl. Ononamolo I Lot, Kec. Gunungsitoli Kab. Nias

II. PENDIDIKAN

1. SD Inpres Sitolubanua Kec. Lahewa 1989-1995

2. SLTP.N.1 Lahewa 1995-1998

3. SMU.N.1 Lahewa 1998-2001

4. STIE PEMBNAS Gunungsitoli 2002-2006

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. CPNS Kabupaten Nias Tahun 2006 2. PNS Kabupaten Nias Tahun 2008


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.4. Kerangka Berpikir ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Implementasi Kebijakan ... 10

2.2. Konsep Pelayanan Publik... 19

2.3. Kualitas Pelayanan ... 23

2.4. Model NPM Konsep Manajemen Baru dalam Pelayanan Publik 30

2.5. Perizinan ... 35

2.5.1 Perizinan Terpadu ... 37

2.6. Pembangunan Berkelanjutan ... 39

2.6.1 Pengertian dan Jenis Sumber Daya Alam ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1. Jenis Penelitian ... 43

3.2. Defenisi Konsep ... 43


(14)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Nias ... 47

4.1.2. Identifikasi Bidang Usaha Potensial ... 48

4.1.3. Kondisi dan Potensi Perikanan Kabupaten Nias... 50

4.2. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias ... 53

4.2.1. Kebijakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias ... 74

4.3. Analisis Implementasi Pelayanan Perizinan Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di BPPT Kabupaten Nias ... 77

4.4. Deskripisi Hasil Penelitian ... 86

4.5. Analisis Implementasi Pelayanan Publik Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan dalam pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

5.1. Kesimpulan ... 128

5.2. Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jenis Perizinan di BPPT Kabupaten Nias ... 57 2. Struktur Organisasi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias 64 3. Retribusi yang dibayarf oleh pengurus izan... 69 4. Matriks implementasi perizinan di BPPT Kabupaten Nias Menurut

Grindle ... 84 5. Gambaran Karakteristik Informan ... 85 6. Matriks Realita Pelayanan di BPPT Kabupaten Nias ditinjau dari

Pendekatan Proses ... 102 7. Target dan Realisasi Retribusi Izin Usaha Perikanan Berdasarkan Perda

No.15 Tahun 2002... 115 8. Target dan Realisasi Penerimaan Daerah dari Penjualan Hasil Laut

Kabupaten Nias berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2002 ... 116 9. Matriks Realita Pelayanan di BPPT Kabupaten Nias ditinjau dari


(16)

1. Tahapan atau Alur Proses Pelayanan Perizinan pada Badan Pelayanan Terpadu Kabupaten Nias Berdasarkan Keputusan Bupati Nias Nomor 17 Tahun 2007 ... 60


(17)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pelayanan izin usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan pelayanan perizinan terpadu Kabupaten Nias, melalui pendekatan proses dan dampak dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias.

Metode atau jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini, bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan serta dianalisis. Adapun informan kunci (key

informan) dalam penelitian ini adalah masyarakat yang secara khusus mengurus izin

usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan perizinan terpadu Kabupaten Nias, sebanyak 8 (delapan) orang. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara

purpusive sampling, yaitu pengambilan sampel secara cermat atau atas pertimbangan

tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti. Atau orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Teknik pengumpulan data yaitu melalui data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung pada objek penelitian dengan cara wawancara mendalam (indept interview), kepada masyarakat pengurus izin usaha perikanan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun melalui alat bantu tulis dan

tape recorder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari BPPT Kabupaten Nias

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti profil badan perizinan terpadu, dasar pengukuran indeks kepuasan maksimum, alur kerja pelayanan, persyaratan izin usaha, dan standar pelayanan minimal (SPM). Teknik analisis data yaitu dengan cara mengumpulkan data yang telah dikumpul melalui wawancara mendalam dan diinterpretasikan serta dianalisis dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai.

Hasil penelitian lapangan melalui pendekatan proses, diketahui bahwa keberadaan badan perizinan ini telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pada sektor pelayanan publik terutama dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan usaha yang meliputi kemudahan dalam memproses satu jenis pelayanan, proses pelayanan yang lebih sederhana, menghindari biaya pengurusan yang lebih besar. Dalam aspek dampak, diketahui telah memberikan kepastian hukum dan keamanan berusaha di bidang perikanan, meningkatkan PAD Kabupaten Nias, namun pada sisi lain, masih belum memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam meminimalisir aktivitas pelanggaran di perairan laut, serta pengrusakan ekosistem dan degradasi pantai yang cenderung disebabkan oleh maraknya kapal asing dan kurangnya pengawasan pemerintah. Pada sektor investasi, belum mampu meningkatkan ketertarikan investor di bidang perikanan, diindikasikan atau


(18)

(19)

ABSTRAC

This research aims to study the implementation of public service in fishery and fish catching permit at integrated permit service agent in sustainable resources management in Nias Regency

The research method applied by the writer in this research is a descriptive study by quantitative approach as a problem solving procedure by depict the subject and object of research based on the fact. Therefore, in this research the writer did not test the hypothesis but to describe the data and fact in the research object, and to interprete and analyze the data and fact. The key informan in this research are people who apply the fishery and fish cathmant business permit in integrated permit agency in Nias regency for 8 persons. The determining of informan by the purposive sampling, to take the sample carefly based on the certain consideration. Or the person who assume know the social situation. The data collection method are primary and secondary data. The primary data are collected to the research object directly by the indept interview specially to the people who apply the fishery and fish cathmant permit by direct interview or by ape recorder. The secondary data are data from integrated permit service agent of Nias regency that related to the studied object such as the profile of integratedpermit regency, measurement of maximum satis faction index, service work path, requirement of business permit and minimize service standard. The data aqnalysis method is by collecting the data through indept interview and interpreted and analyzed based on the theoretical review.

The results of research through process approach indicated that the exixtence of permit agency probide the contribution to the increasing of public service specially in increasing permit service quality thyat consist of easiness in processing of service type, the simplest service process, avoid the expensive cost. In impact aspect, there is a law enforcement and the business safety in fishery business, to increase the the origin reginal income of Nias regency, but in another hand, there is not a big impact significantly in minimize the the violence in the sea, damage of ecosystem and coastal degradation that caused by the foreign vessel and the lower of government supervision. In investment sector, it has not yet increase the interesting for investor to have invest in fishery caused by the natural disasters and geographical position of Nias regency that far from Province in air, sea and land transportation.

Key word : Implementation, Permit service in Fishery business, Sustainable Resource Management


(20)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi sinyal dan warna baru dalam penyelenggaraan tata Pemerintahan di Indonesia. Salah satu esensi dari desentralisasi adalah perbaikan pelayanan publik, berarti Pemerintahan yang dekat dengan rakyat, tanggap, responsif dan konsisten dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Dalam Undang-undang ini diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah, seperti pada pasal 1 ayat 5 yaitu otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, otonomi daerah bermakna untuk memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.

Seiring dengan perubahan zaman dan kondisi masyarakat yang semakin dinamis, Pemerintah terus menata sistem Pemerintahannya menuju ke arah demokratisasi dan peningkatan pelayanan publik, dimana wujud konkritnya adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI N0. 24 Tahun 2006) menginstruksikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk sebuah badan pelayanan perizinan dengan tujuan memaksimalkan pelayanan dan menyederhanakan birokrasi, yang berbunyi “penyelenggaraan perizinan yang proses


(21)

2

pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat”.

Secara umum masyarakat selalu menginginkan agar pelayanan yang diberikan oleh birokrasi Pemerintah Daerah dilakukan dengan baik, yaitu tepat, berarti apa yang diberikan atau dilaksanakan benar-benar mengenai apa yang dibutuhkan. Cepat, berarti pemenuhan dilakukan dengan cepat dan tidak menyita waktu yang lama, serta tidak berbelit-belit. Murah, bahwa masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari pemerintah daerah dapat diperoleh dengan biaya yang seminimal mungkin. Ramah, artinya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah daerah kepada masyarakat yang dilayaninya senantiasa mengutamakan kesopanan, sehingga masyarakat merasa benar-benar dihargai harkat dan martabatnya sebagai warga negara. Hal ini terlihat bahwa masyarakat tidak hanya memandang kualitas pelayanan dari segi hasil (out-put) saja, tetapi juga bagaimana proses pemberian pelayanan yang diterima.

Salah satu tugas utama dari aparatur adalah melayani masyarakat. Namun pada kenyataannya komitmen aparatur Pemerintah dalam memberikan pelayanan publik masih relatif rendah atau masih jauh dari harapan. Hal ini terutama dalam proses izin usaha yang banyak dihadapi dalam ketidakpastian. Tanpa disadari bahwa perizinan merupakan salah satu kunci sukses kreatifitas dan kearifan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi Daerah serta meningkatkan PAD. Sudah menjadi fenomena umum dan tidak sedikit fakta yang diaplikasikan media mulai dari tingkat Nasional, Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengatakan bahwa ketika


(22)

berurusan dengan birokrasi hampir dipastikan akan berhadapan dengan banyak meja. Masih sering dijumpai pelayanan aparatur dengan prosedur berbelit-belit, diskriminasi, lamban, tidak adanya kepastian waktu ditambah dengan perilaku aparatur yang cenderung cuek serta adanya indikasi pungutan liar dan kolusi, korupsi dan nepotisme. Banyak pengguna jasa Pemerintah sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan aparat birokrasi, (Dwiyanto 2005:8).

Kondisi tersebut di atas bukan hanya retorika belaka. Banyak penelitian yang mengatakan bahwa Indonesia salah satu Negara dengan proses perizinan paling kompleks, lama dan korup di Asia (Rustina 2008), dan lebih buruk dari Vietnam dan Thailand dengan peringkat 133 dari jumlah Negara di Dunia. Birokrasi perizinan yang rumit menyebabkan 80% keluhan pelaku usaha domestik baik formal maupun informal.

Selanjutnya survey dan riset yang dilakukan oleh para akademisi dan praktisi, menunjukkan bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur Pemerintah masih jauh yang diharapkan. Studi Bank Dunia (world bank) di 5 (lima) Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia, Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan timur, Jakarta dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa rata-rata waktu untuk memperoleh tanda daftar perusahaan (TDP), surat izin perdagangan (SIUP), mencapai 107 hari dengan biaya mencapai Rp. 931.000. situasi ini membuat peringkat daya tarik investasi Indonesia merosot drastis.


(23)

4

Merujuk instruksi dari Pemerintah Pusat, melalui Permendagri Nomor 24 tahun 2006 serta fenomena dan tuntutan masyarakat Kabupaten Nias yang semakin dinamis, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Nias sebagai salah satu daerah otonom ikut andil dalam menjawab tuntutan dan harapan masyarakat dalam pelayanan publik. Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) berdasarkan Peraturan Daerah NO.10 Tahun 2007, yang operasionalnya telah dimulai pada tanggal 3 agustus 2007. Namun setelah adanya PP. 41 tahun 2007 tentang struktur perangkat daerah maka seiring dengan itu pula Pemerintah Kabupaten Nias merubah nama BPTSP menjadi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Nias.

Tujuan pembentukan badan ini pada dasarnya sebagai wujud konkrit Pemerintah Kabupaten Nias untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah, yaitu menyederhanakan birokrasi perizinan, mempercepat waktu pelayanan serta mengurangi tahapan-tahapan dalam pelayanan dan membina koordinasi yang lebih baik antara penyelenggara pelayanan dengan pengguna jasa. Badan ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen Pemerintahan di Daerah yang diharapkan mampu memberikan hasil berupa produktivitas secara kualitas maupun kuantiítas. Dalam meningkat pelayanan perizinan terpadu (BPPT) ini pada hakekatnya memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah maupun pelaku usaha dan masyarakat;


(24)

1. Menyederhanakan birokrasi. Adanya BPPT membuat kerja birokrasi lebih efisien dan efektif sehingga beban administrasi Pemerintah Daerah secara keseluruhan menjadi berkurang. Adanya BPPT sangat memungkinkan untuk mensentralisasi berbagai data yang menyangkut aktivasi masyarakat di wilayah tersebut, sehingga beban pendataan di instansi lain berkurang dan pemerintah daerah pun dapat menghindari terjadinya duplikasi kegiatan pendataan yang tidak perlu.

2. Meningkatkan investasi di Daerah. Kemudahan yang diberikan BPPT akan meningkatkan minat investor asing maupun domestik untuk menanamkan modalnya di Daerah yang bersangkutan. Selama ini pelayanan dokumen yang dibutuhkan investor telah menjadi alasan utama para pelaku untuk menghentikan kegiatan usahanya atau memindahkannya ketempat lain.

3. Meningkatkan jumlah formalisasi usaha. Berdasarkan data Nasional jumlah pelaku usaha yang memformalkan usahanya cenderung menurun. Kemudahan usaha yang diberikan BPPT akan merangsang pelaku usaha untuk melakukan formalisasi usahanya.

4. Meningkatkan pendapatan Daerah. Secara tidak langsung kemudahan pelayanan perizinan juga berdampak positif terhadap pendapatan daerah melalui mekanisme pajak dan retribusi.

5. Meningkatkan citra positif Pemda. Selama ini saluran komunikasi antara pemda dan masyarakat yang dilayaninya. BPPT dapat dijadikan sebagai


(25)

6

saluran bagi pemda untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Dari Sisi Dunia Usaha dan Masyarakat :

1. Terhindar dari biaya ekonomi tinggi. Pelaku usaha membutuhkan kepastian dan legalitas hukum atas usaha yang dijalankannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Melalui BPPT pengurusan administrasi perizinan usaha menjadi mudah dan murah. Hal ini membuat pelaku usaha terhindar dari pungutan liar yang biasanya terjadi pada saat pengurusan izin.

2. Masyarakat memperoleh segala haknya sebagai warga negara, memperoleh pelayanan publik yang lebih baik serta memberikan kepastian dan jaminan hukum dari formalitas yang dimiiki

Adapun alasan penulis memilih implementasi bidang perizinan usaha perikanan dan penangkapan ikan di Kabupaten Nias adalah dengan dasar pertimbangan bahwa Kabupaten Nias merupakan daerah kepulauan sehingga sektor perikanan mempunyai potensi sangat besar untuk dikembangkan, baik ikan untuk dikonsumsi maupun diperdagangkan. Ironisnya, meski potensi perikanan di Kabupaten Nias sangat besar, namun karena lemahnya kebijakan pengawasan dan pengendalian terhadap sumber daya kelautan serta perikanan yang ada, pencurian ikan masih menjadi kendala program pembangunan perikanan di daerah ini. Belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolahan sumber daya kelautan dan perikanan


(26)

antara lain disebabkan terjadinya praktik-praktik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara tidak bertanggung jawab, serta melanggar peraturan sehingga terjadi kehilangan sumber daya yang cukup besar setiap tahunnya.

Eksploitasi potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi dengan cara-cara penangkapan ikan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan menjadi bumerang di belakang hari. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat dan tujuan pengelolaan perikanan berdasarkan UU NO 31/2004 tentang Perikanan adalah “untuk menjaga sumberdaya ikan agar tetap lestari dan tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan dimana sistem perizinan menjadi istrumen pengendalian yang utama”.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana penerapan pelayanan publik dalam pengurusan izin usaha perikanan dan penangkapan ikan di Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias. Untuk menemukan jawabannya maka penulis akan melakukan penelitian yang dituangkan dalam judul “Implementasi pelayanan publik bidang izin usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan pelayanan perizinan terpadu dalam pengelolaan sumber daya berkelanjutan terpadu Kabupaten Nias.”


(27)

8

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Pelayanan

Publik Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan di Kabupaten Nias.?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui implementasi pelayanan bidang izin usaha perikanan dan surat penangkapan ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias melalui pendekatan proses

2. Mengetahui implementasi pelayanan bidang izin usaha perikanan dan penangkapan ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias melalui pendekatan dampak

1.4.Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Secara praktis, sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Nias, khususnya BPPT Kabupaten Nias dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dalam bidang perizinan.

2. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan di bidang kebijakan publik dan menjadi acuan oleh penelitian lain yang


(28)

3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui karya ilmiah dan untuk menerapkan taor-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

1.5.Kerangka Pemikiran

IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN USAHA PERIKANAN DAN PENANGKAPAN IKAN

DI BPPT

Menghindari Biaya Pengurusan yang Lebih

Besar Kemudahan dalam Memproses SatuJenis

Pelayanan

Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan

Proses pelayanan yang lebih sederhana Meminimalisir kegiatan menyimpang dan melanggar peraturan Perlindungan Pembinaan Investasi Kepastian hukum dan kepastian berusaha di

bidang perikanan Dampak Proses Tuntutan Masyarakat akan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata. Sedangkan implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Untuk melaksanakan program pembangunan, Pemerintah menuangkannya ke dalam berbagai kebijakan. Konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli sangat bervariatif bentuknya, sebagaimana Dunn (1994) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pilihan tindakan Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not todo) guna menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat.

Anderson (1975) mengatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan sejumlah aktor Pemerintah dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan. Selanjutnya memberikan definisinya bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;


(30)

3. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Sementara Jones (1977), menekankan kebijakan publik terdiri dari komponen-kompenen:

1) Goal atau tujuan yang diinginkan

2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan

3) Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,

membuat rencana, melaksanakan dan mengevalusi program 5) Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak).

Untuk dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn (1944) mengatakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu:

1. Menetapkan agenda kebijakan (agenda setting) 2. Merumuskan kebijakan (policy formulation)


(31)

12

3. Mengadopsi kebijakan (policy adoption)

4. Pelaksanaan/implementasi kebijakan (policy implementation) 5. Penilaian dan evaluasi kebijakan (policy assesment and evaluation).

Dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas, dapat dipahami bahwa kebijakan publik merupakan suatu yang abstrak dan tidak memberikan out comes terhadap tujuan organisasi Pemerintahan, bilamana tidak diwujudkan dalam karya nyata. Artinya implementasi merupakan instrumen kunci dalam mewujudkan kebijakan yang telah dirumuskan. Implementasi adalah tahapan yang mutlak dilakukan dalam proses kebijakan publik secara sistematis (public policy process). Pelaksanaan atau implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 448) ialah proses atau perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya). Program akan menunjang pelaksanaan karena di dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain:

a. Tujuan yang akan dicapai

b. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan. c. Aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

e. Strategi pelaksanaan.

Menurut Edward III, dalam Nugroho (2003), mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :


(32)

b. Sumber daya (Resources) c. Sikap pelaksana (Disposition) d. Komunikasi (Communication)

Pelaksanaan Kebijakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan dan mengerahkan segenap sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini pengawasan atau monitoring dapat dilakukan. Tahapan implementasi atau pelaksanaan kebijakan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dan disahkan dengan membentuk dan memberikan kewenangan atau otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program ataupun proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Setiap kebijakan apakah itu menyangkut program atau proyek yang telah dirumuskan dan ditetapkan senantiasa diikuti oleh pelaksanaan atau implementasi yang merupakan penerjemahan terhadap apa yang telah dirumuskan dalam perencanaan pembangunan.

Dalam hal ini, implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.


(33)

14

Dalam proses kebijakan publik, suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar dapat merealisasikan dampak atau tujuan yang dinginkan. Dunn (1998: 24-25) menganjurkan bahwa setiap tahapan proses kebijakan publik dari tahapan penyusunan agenda (agenda setting) sampai evaluasi kebijakan (policy evaluation), termasuk dalam hal ini adalah tahapan implementasi kebijakan (policy implementation), perlu dilakukan analisis. Analisis dalam hal ini tidaklah sama dengan proses evaluasi kebijakan. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah: lebih baik perumusan masalah publik benar tapi pelaksanaannya salah atau bias, dari pada perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar. Hal ini memberi arti penting kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implementasi yang tepat bagi proyek pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah teragregasi berdasarkan kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat melalui implementasi.

Tahjan dalam Nugroho (2003), menekankan bahwa unsur-unsur penting yang mutlak dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah;

a. Unsur pelaksana; artinya ada implementator kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, pelaksana operasional, pengawasan atau penilaian b. Adanya program yang dilakukan, artinya rencana bersifat komprehensif,


(34)

kesatuan. Seperti prosedur, metode, standar pelayanan dan besaran biaya atau sumber daya.

c. Kelompok sasaran (Target Group) artinya sasaran yang dikehendaki dan standar waktu dalam mencapai sasaran tersebut

Model yang lain adalah model kerangka analisis implementasi (A Frame For

Implementation Analisys) yang diperkenalkan oleh Mazmanian dan Sabatier (1983)

Duet Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel,yaitu:

1. Variabel independent, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana dan perekrutan pejabat pelaksanaan dan keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resources dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel dependent, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksanaan, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atau kebijakan


(35)

16

yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Model yang ketiga adalah model Hoogwood dan Gun (1980). Menurut kedua pakar ini untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:

1. Berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar. 2. Untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk

sumber daya waktu gagasan ini sangat bijaksana karena berkenaan dengan

feasibility (kemampuan untuk melaksanakan) dari implementasi kebijakan.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijakan publik adalah kebijakan yang kompleks dan menyangkut dampak yang luas karena itu implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya maupun sumber aktor. 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang

handal. Jadi prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang ditanggulangi.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi asumsinya, semakin sedikit hubungan “sebab-akibat” semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijakan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan.


(36)

6. Hubungan saling ketergantungan kecil asumsinya jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan berjalan dengan efektif, apalagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektifitas implementasi kebijakan.

Model yang berikutnya disusun oleh Elmore (1989), Benny Hjern & David O Porter (1981). Model ini dimulai mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat di dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri, implementasi kebijakan atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Oleh karena itu kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan.

Grindle dalam Winarno (2002), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah ditransformasikan,


(37)

18

maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup:

1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan 5. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu konteks implementasinya adalah:

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Dari beberapa teori tentang faktor-faktor keberhasilan implementasi pelayanan di atas ini, maka penulis sependapat dengan teori Grindle, dalam Winarno (2002), mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

Berdasarkan teori di atas, maka dalam mengetahui implementasi pelayanan perizinan terpadu di BPPT dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias, maka penulis membuat indikator-indikator dengan melihat dari pendekatan proses dan dampak, yakni sebagai berikut :

1. Pendekatan Proses


(38)

b. Proses pelayanan yang lebih sederhana

c. Menghindari pengurusan biaya yang lebih besar 2. Pendekatan Dampak

a. Kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang perikanan b. Meminimalisir pelanggaran

c. Pengembangan Investasi.

2.2. Konsep Pelayanan Publik

Secara sederhana, pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang atau jasa. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan (Lukman 1999:6).

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 mengatakan bahwa pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Lebih lanjut Lijan, (2006:6) menyatakan bahwa pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik


(39)

20

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan

Berkaitan dengan tugas aparatur Pemerintahan terhadap masyarakat, hal ini sangat jelas bahwa tugas utama Pemerintah adalah untuk melayani rakyat. Bila mana kegiatan pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa tersebut tidak terpenuhi kebutuhan penggunanya maka akan hilang kepercayaan pengguna jasa terhadap jasa yang bersangkutan (organisasi publik/Pemerintah).

Dunn dalam Said (2004:17) mengatakan bahwa Pemerintah mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini Berarti Pemerintah sebagai pemegang otoritas penting dalam merumuskan kebijakan, tujuan serta langkah-langkah untuk menjawab harapan masyarakat.

Lebih lanjut untuk mendapatkan sasaran pemberian pelayanan secara cepat Macaulay dan Cook dalam Sadu (2003:48) menyarankan menggunakan pendekatan S-M-A-R-T atau :

a. Specifik (spesifik)

b. Measurable (terukur)

c. Achievable (dapat dicapai)

d. Relevant (relevan)

e. Time-bound (keterkaitan dengan waktu)


(40)

“a service is an activity or series of activities of more less intangible nature the normally, but not necessarily, take place in interactions between customer and service employees and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems”.

(Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian dari aktivitas yang lebih kurang bersifat tak bisa diraba secara biasanya atau normal, tetapi tidak perlu, berlangsung dalam interaksi antara pelanggan dan para karyawan jasa atau layanan dan atau sumber daya secara fisik atau barang-barang dan atau system dari penyedia jasa atau layanan, yang mana disajikan sebagai suatu solusi untuk memecahkan permasalahan pelanggan).

Pelayanan Umum dapat disebut berdaya guna dan berhasil guna apabila masyarakat sebagai konsumen merasa puas. Tolok ukurnya adalah ada atau tidaknya keluhan dari masyarakat menyangkut pelayanan yang diberikan. Mengacu pada pengertian-pengertian di atas dapat diartikan bahwa dalam proses pelayanan kepada masyarakat, pemerintah bertugas sebagai pelayan masyarakat sedangkan yang dilayani adalah masyarakat, sehingga kedudukan pemerintah seharusnya lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat. Oleh karena itu jelas bahwa misi pemerintah dalam memberikan pelayanan bukan profit oriented (mencari untung), melainkan sebagai kewajiban yang harus diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Pemerintah harus tetap memperlakukan setiap orang dengan adil dan tanpa memandang status sosial.

Pentingnya system pelayanan yang berkualitas dalam arti pelayanan sederhana, mudah dan dilakukan secara wajar dan professional dan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari ”empowering” yang dialami oleh masyarakat pada sisi


(41)

22

lainnya, maka kiranya setiap organisasi sistem terutama yang langsung berhadapan dengan masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau kinerjanya kepada masyarakat, selalu berfokus kepada pencapaian layanan, sehingga pelayanan yang diberikan diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat.

Ratminto dkk, (2005:245) juga menjelaskan beberapa azas dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan dan perizinan yang harus diperhatikan, adalah sebagai berikut :

1 Empati dengan customer. Pegawai yang melayani urusan perizinan dari

instansi penyelenggara jasa perizinan harus dapat berempati dengan masyarakat pengguna jasa pelayanan.

2. Pembatasan prosedur. Prosedur harus dirancang sependek mungkin, dengan demikian konsep one stop shop benar-benar diharapkan.

3. Kejelasan tata cara pelayanan. Tata cara pelayanan harus didesain sesederhana mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan.

4. Minimalisasi persyaratan pelayanan. Persyaratan dalam mengurus pelayanan harus dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar diperlukan.

5. Kejelesan kewenangan. Kewenangan pegawai yang melayani masyarakat pengguna jasa harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan tugas dan distribusi kewenangan.


(42)

6. Transparansi biaya. Biaya pelayanan harus ditetapkan seminimal mungkin dan setransparan mungkin.

7. kepastian jadwal dan durasi pelayanan. Jadwal dan durasi pelayanan juga harus pasti, sehingga masyarakat memiliki gambaran yang jelas dan tidak resah

8. Minimalisasi formulir. Formulir-formulir harus dirancang secara efisien, sehingga akan dihasilkan formulir komposit (satu formulir yang dapat dipakai untuk berbagai formulir) Kejelasan hak dan kewajiban providers dan customers. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik bagi providers maupun bagi customers harus dirumuskan secara jelas dan dilengkapi dengan sangsi serta ketentuan ganti rugi.

9. Efektivitas penanganan keluhan. Pelayanan yang baik sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya keluhan.

2.3. Kualitas pelayanan.

Wyckof dalam Purnama (2006:19) memberikan pengertian kualitas layanan sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen. Hal ini berarti apabila pelayanan diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Sebaliknya, apabila pelayanan yang diterima rendah dari yang diharapkan, maka kualitas pelayanan akan dipersepsikan buruk. Inti dari penjelasan Wyckof ini adalah bahwa konsep kualitas pelayanan umum terkait dengan upaya


(43)

24

untuk memenuhi atau bahkan melebihi harapan yang dituntut atau yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Lebouf (1992:50) menyatakan bahwa ”Kualitas layanan merupakan kemampuan suatu layanan yang diberikan oleh pemberi layanan dalam memenuhi keinginan penerima layanan tersebut”.

Zeithaml, dkk dalam Sedarmayanti (2004:90) menyatakan bahwa tolok ukur kualitas pelayanan dapat diukur oleh 10 (sepuluh) dimensi, yaitu:

1. Tangibles, terdiri dari fasilitas fisik, personil dan komunikasi.

2. Reliability, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan

pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.

3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab

terhadap mutu pelayanan yang diberikan.

4. Competence, tuntutan dimilikinya pengetahuan dan ketrampilan yang baik

oleh aparatur dalam memberi pelayanan.

5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap

keinginan konsumen, serta mau mekakukan kontak atau hubungan pribadi. 6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan

masyarakat.

7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai

bahaya dan resiko.


(44)

9. Communications, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara,

keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

10.Understanding the Customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui

kebutuhan pelanggan.

Dengan demikian organisasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, hendaknya selalu berfokus kepada pencapaian pelayanan sehingga pelayanan yang diberikan diharapkan dapat diberikan untuk memenuhi pelanggan. Menerapkan prinsip menyiapkan kualitas pelayanan sebaik mungkin, perlu dilakukan untuk dapat menghasilkan kinerja secara optimal, sehingga kualitas pelayanan dapat meningkat, dimana yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan membentuk layanan yang dijanjikan secara tepat dan memiliki rasa taggung jawab terhadap mutu pelayanan serta perhatian pada pelanggan. Disamping itu, untuk mewujudkan kualitas pelayanan yang didasarkan pada sistem kualitas memiliki cara atau karakteristik tertentu, antara lain dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus.

Gronroos dalam Purnama (2006:20) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) aspek pokok dalam menilai kualitas pelayanan, yaitu :

1. Outcome-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan hasil kinerja

layanan yang ditunjukan oleh penyedia layanan menyangkut profesionalisme dan ketrampilan. Konsumen menyadari bahwa penyedia


(45)

26

layanan memiliki sistem operasi, sumber daya fisik, dan pekerja dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah konsumen secara profesional.

2. Process-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan proses

terjadinya layanan. Kriteria ini terdiri dari : a. Sikap dan perilaku pekerja

b. Kendalan dan sifat dapat dipercaya

c. Tindakan perbaikan jika melakukan kesalahan

3. Image-related Criteria, yaitu reputasi dan kredibilitas penyedia layanan

yang memberikan keyakinan konsumen bahwa penyedia layanan mampu memberikan nilai atau imbalan sesuai pengorbanannya.

Berdasarkan pada apa yang telah diutarakan, maka dapat diartikan bahwa pada dasarnya kualitas pelayanan dapat meliputi beberapa aspek kemampuan yaitu sebagai berikut :

Pertama, aspek sumber daya manusia. Kemampuan sumber daya manusia terdiri dari ketrampilan, pengetahuan dan sikap. Bila ketrampilan pengetahuan dan sikap diupayakan untuk ditingkatkan menjadi lebih profesional maka hal tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan tugas, dan apabila pelaksanaan tugas dilakukan secara lebih profesional, maka akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.

Kedua, aspek sarana dan prasarana. Apabila pengelolaan atau pemanfaatan sarana dan prasarana dilakukan secara cepat, tepat dan lengkap, sesuai dengan


(46)

tuntutan kebutuhan masyarakat pelanggan, maka hal tersebut akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.

Ketiga, aspek prosedur yang dilaksanakan. Berkaitan dengan aspek prosedur yang dilaksanakan, kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan dapat diciptakan bila memperhatikan dan menerapkan ketepatan, kecepatan serta kemudahan prosedur, sehingga dapat meningkatkan kuaitas pelayanan untuk menjadi prima atau lebih baik dari sebelumnya.

Keempat, aspek jasa yang diberikan. Aspek jasa yang diberikan peningkatan kualitas pelayanan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan diharapkan dapat dilakukan dengan cara memberikan kemudahan dalam mendapat informasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan sehingga pelayanan prima atau pelayanan yang lebih baik dapat diwujudkan.

Beberapa karakteristik kualitas jasa menurut Nasir dalam Tjandra, dkk (2005:137) sebagai berikut :

1. Ketepatan waktu pelayanan.

2. Aksebilitas dan kemudahan untuk mendapatkan jasa meliputi lokasi, keterjangkauan waktu operasi (waktu pelayanan yang cukup memadai), keberadaan pegawai pada saat konsumen memerlukan jasa publik)

3. Akurasi pendampingan/pelayanan jasa yang diberikan. 4. Sikap sopan santun karyawan yang memberikan pelayanan


(47)

28

6. Kondisi dan keamanan fasilitas yang digunakan oleh konsumen

7. Kepuasan konsumen terhadap karakteristik atau aspek-aspek tertentu dari jasa publik yang diberikan

8. Kepuasan konsumen terhadap jasa publik secara keseluruhan

Kemudian dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan Keputusan Nomor KEP/25/M-PAN/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Dalam keputusan tersebut ditetapkan 14 (empat belas) unsur yang relevan, valid dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus ada sebagai dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya. 3. Kejelasan petugas Pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang

memberikan pelayanan

4. Kedisplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan berlaku.


(48)

5. Tanggung jawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.

7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanandapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.

8. Keadilan mendapat pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9. Kesopanan dan keramahan petugas, yakni sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.

10.Kewajaran biaya pelayanan, yaitu kejangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.

11.Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan

12.Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

13.Kenyamanan Lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.


(49)

30

14.Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

2.4. Model NPM Konsep Manajemen Baru dalam Pelayanan Publik

Model NPM (New Public Management), pada dasarnya merupakan model yang dikembangkan oleh para teoritisi dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi (model tradisional) yang dinilai kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan yang diinginkan dengan mengedepankan pendekatan manajerial.

NPM memfokuskan diri pada perbaikan birokrasi dari dalam organisasi

(inside the organization) dengan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan

Hughes (1994:2). Dokrin ini lebih jelasnya diungkapkan oleh Rhodes mengadopsi pendapat Hood Hughes (1994,2) sebagai berikut : pertama, memfokuskan pada kegiatan manajemen bukan pada aktivitas kebijakan, penilaian kinerja dan efisiensi;

kedua, pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang

berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user – pay bases);

ketiga, menggunakan ‘quasi market’ dan melemparkan ke pasar (contracting out)

sebagai daya dorong terciptanya kompetisi; keempat, pemotongan biaya; kelima, pola manajemen yang menekankan pada antara lain target keluaran, pembatasan waktu kontrak, insentif keuangan dan kebebasan dalam mengelola.


(50)

Model NPM ini merupakan follow up dari teori dan gagasan yang didengung-dengungkan oleh praktisi dan akademisi, dimana konsep administrasi menagement sebelumnya adalah Good Governance atau pemerintahan yang baik dan bersih dan

Reinventing Goverment yaitu menata birokrasi dengan cara mengadopsi nilai-nilai

wira usaha dalam diri aparatur pemerintahan. David Osborne dan Ted Gaebler (1992, 13-22) sebagai pencetus Reinventing Government menawarkan suatu pendekatan manajerial dari sisi lain dalam mengelola birokrasi pemerintahan dimana birokrasi menjadi bergaya wirausaha (entreprenuer government). Dengan karakteristik: mendorong kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada masyarakat, mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil bukan pada masukan, digerakan oleh misi bukan ketentuan dan peraturan, mendefinisikan klien (masyarakat) kembali sebagai pelanggan dan menawarkan banyak pilihan, mencegah masalah sebelum muncul, mencurahkan energi untuk menghasilkan uang bukan untuk membelanjakan, desentralisasi wewenang dengan manajemen partisipasi, menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi, dan tidak hanya memfokuskan pada pengadaan perusahaan Negara, tetapi juga pada mengkatalisir semua sektor pemerintah, swasta, dan lembaga suka rela ke dalam tindakan untuk memecahkan masalah masyarakatnya.

New Public Management mengedepankan prinsip efisensi dan efektifitas. Pendekatan manajerial model NPM yang dikembangkan pertama kali oleh Hood ini atau managerialism istilah Pollitt atau market based public administration istilah Lan


(51)

32

dan Rosenbloom atau entrepreneurial government istilah Osborne dan Gaebler, walau memiliki istilah yang berbeda namun pada dasarnya sama-sama berupaya mentransformasi birokrasi lama menjadi birokrasi baru. Dengan melakukan hal-hal yang sebagaimana dikemukakan Owen E. Hughes (1994, 3)

Improving public management, reducing budgets, privatisations of public enterprise seem universal; no-one now is arguing for or increasing the scope of government or bureaucracy.

(meningkatkan menajemen publik, mengurangi anggaran, privatisasi perusahaan dan usaha untuk meningkatkan birokrasi yang efisien).

Dari kedua teoritis di atas, memiliki tujuan yang sama pula, antara lain :

pertama, lebih memperhatikan pada hasil tujuan dan tanggung jawab personal

manajer; kedua, lebih mengutamakan pembentukan organisasi, personil, dan pekerja dan suasana yang lebih fleksibel; ketiga, membuat tujuan organisasi dan personil yang jelas dan mudah diukur dengan menentukan indikatornya; keempat, staf senior lebih memiliki komitmen politik (politically commited) pada pemerintah, tidak partisan dan tidak netral benar; kelima, fungsi pemerintah lebih kepada fasilitator dari pada pelaksana; terakhir, pada fungsi pemerintah dikurangi dengan melakukan privatisasi (Hughes, 1994, 58)

Istilah NPM yang berbeda antara para teoritis memang dimungkinkan, sebagaimana dikemukakan oleh Ewan Ferlie, Lynn Ashburner, Louise Fitzgerald dan Andrew Pettigrew (1996, 10) yang mengibaratkan NPM sebagai sebuah kanvas


(52)

kosong (putih) yang dapat digambar oleh siapa saja tentang apa saja yang disukai, sehingga tidak ada satupun definisipun yang jelas tentang apa itu NPM, prosesnya bahkan bagaimana NPM seharusnya.

Indeed, sometimes the new public management seems like an empty canvass : you can paint on it whatever you like. There is no clear or agreed definition of what the new public management actually is and not only is there controversy about what is, or what is in the process of becoming, but also what ought to be.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa kultur yang dibangun adalah kultur dengan nilai-nilai efisien, profesional dan menitik beratkan pada kualitas pelayanan yang baik dan memuaskan pengguna (user) bukan sekedar pelanggan (customer). Nilai kualitas pelayan yang baik merupakan visi yang diwujudkan lebih lanjut dalam misi-misi yang menjadi dasar dalam memberikan pelayan dengan kualitas yang baik. Struktur birokrasi publik menjadi ramping dan lebih mendatar (flat), dengan spesialisasi yang makin kabur dan sangat desentralistis serta cepat merespon perubahan lingkungan yang terjadi. Pembangunan sumber daya birokrat diawali dengan proses rekrutmen dan pelatihan yang transparan dan terbuka bagi siapa saja untuk terlibat didalamnya. Kepemimpinan pada model ini merupakan kepemimpinan yang demokratis dan kepemimpinan transformasional di semua level pimpinan mulai dari pimpinan di level atas sampai pada pemimpin di level bawah.

Model ini, juga diidentifikasikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1997, 10), sebagai berikut :


(53)

34

b. Mengkaji kembali apa yang seharusnya dilakukan dan dibiayai,

c. Perampingan pelayanan publik serta privatisasi dan swastanisasi kegiatan, d. Mempertimbangkan cara pemberian pelayanan secara lebih efektif sesuai

biaya, seperti kontrak keluar, mekanisme pasar, dan pembebanan pada pengguna,

e. Orientasi pelanggan (berbeda istilah dengan Ferlie yang menggunakan istilah user), termasuk standard mutu yang eksplisit untuk pelayanan publik,

f. Benchmarking dan pengukuran kinerja

Intisari New Public Management (NPM) berbunyi: ”Segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi warga adalah pemborosan”. Kalimat ini mengungkapkan bahwa administrasi bukanlah tujuan akhir, dan hanya punya satu tugas, yakni memberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa Negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai pembayar pajak kepada Negara. Ini artinya, warga tidak lagi dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya mempunyai hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Jadi, Negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak, dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-asministrasi publik lainnya.


(54)

Prinsip dalam New Public Management berbunyi: dekat dengan warga, memiliki mentalitas melayani dan luwes, inovatif dalam memberikan layanan jasa kepada warga. Dengan demikian, tugas administrasi adalah menciptakan transparansi dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan.

Perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public

Management) sebagai paradigma baru dalam upaya ‘mentransformasi birokrasi yang

kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar serta pengguna jasa atau masyarakat dalam bentuk manajemennya (Hughes,1994,1).

2.5. Perizinan

Pada umumnya, birokrasi perizinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi kendala bagi perkembangan dunia usaha di Indonesia. Masyarakat dan kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan oleh pemerintah yang tidak memiliki kejelasan prosedur, berbelit-belit, tidak transparan, waktu pemrosesan izin yang tidak pasti, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan terutama berkaitan dengan biaya-biaya tidak resmi.

Pada saat hubungan antara Indonesia dengan IMF masih berjalan, Indonesia dinilai selalu mematuhi program IMF. Namun, temyata pada semester I tahun 2002 persetujuan investasinya malah anjlok hingga 42% (empat puluh dua persen). Hal itu dinilai berkaitan dengan adanya ekonomi biaya tinggi seperti pungutan tidak resmi,


(55)

36

birokrasi yang masih tidak efisien, aturan perburuhan yang belum jelas, serta pelaksanaan otonomi daerah yang menghambat investasi.

Perizinan merupakan ujung tombak dari peran birokrasi Pemerintahan dalam penataan investasi perlu diskenariokan dalam format desentralisasi perizinan (decentralized licensing), yang dinilai sebagai salah satu altematif solusi efektlif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut investasi. Sehubungan sistem pemerintahan yang di desentralisasikan (decentralized

government). Desentralisasi perizinan merupakan format kebijakan pemerintahan

yang urgen sejalan dengan kebutuhan untuk menata sistem investasi sebagai pilar utama perekomonian Indonesia. Dikaitkan dengan teori kebijakan publik, perizinan merupakan bagian dari pendekatan command and control, yaitu pendekatan kebijakan investasi dari sudut kewenangan regulasi Pemerintah.

Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun dalam daftar usaha. Sedangkan Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan syah atau diperbolehkan seseorang atau badan melakukan usaha atau kegiatan tertantu (Permendagri N0. 24 Tahun 2006).

Berdasarkan defenisi tersebut di atas, berarti perizinan akan selalu berkaitan dengan aktivitas pengawasan terhadap obyek perizinan. Pengawasan terhadap


(56)

investasi sebagai aktivitas obyek perizinan, mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: pemberi izin (aparat perizinan), pelaku investasi (subyek perizinan), dan aktivitas investasi (obyek perizinan). Ketiga aspek dalam perizinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, pengawasan terhadap pemberi izin harus diberi makna kebutuhan untuk membenahi kondisi birokrasi, dengan melakukan pengawasan secara intensif dan efektif terhadap aparat pemerintahan. Konsep desentralisasi pemerintahan yang menggeser kekuasaan pemerintahan dari Pusat ke Daerah, termasuk kewenangan pengawasan terhadap aparat pemerintahan dari kekuasaan pengawasan pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, merupakan upaya memfungsikan peran pengawasan Badan-badan Pengawasan Daerah (Bawasda) yang dinilai lebih memperhatikan permasalahan seputar birokrasi Daerah dibandingkan pengawasan pusat yang jauh dari wilayah yang menjadi sasaran pengawasan.

2.5.1. Perizinan Terpadu

Pelayanan Perizinan Terpadu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sarnpai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Penyelengaraan pelayanan terpadu merupakan perbaikan terhadap model Pelayanan Satu Atap yang sebelumnya dilaksanakan. Pelayanan satu atap (PSA) tidak memberikan pelayanan paripurna karena kewenangan penerbitan atau penandatanganan perizinan masih berada di SKPD. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu yang bertujuan untuk melakukan percepatan pelayanan perizinan dengan jangka waktu penyelesaian pelayanan


(57)

38

perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya.

Jangka waktu ini diharapkan bisa menjadi lebih cepat dengan adanya teknologi yang dapat diterapkan dalam proses pelayanan perizinan seperti yang telah dilakukan dibeberapa Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Paradigma pelayanan perizinan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Pola pelayanan perizinan terpadu di Kabupaten Nias dimaksudkan untuk mempermudah dan meningkatkan kualitas pelayanan. Program ini bertujuan untuk:

1. Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memproses satu jenis pelayanan yang terkait dengan kewenangan instansi lain.

2. Mendapatkan pelayanan dengan memproses yang lebih sederhana dan terkoordinasi dalam satu tempat.

3. Menghindari dari biaya pengurusan yang lebih besar karena mendapatkan pelayanan dalam satu lokasi.

Perda juga meningkatkan nilai tambah stabilitas perizinan yang dikeluarkan melalui satu titik pelayanan. Dengan demikian, perda merupakan upaya untuk menjawab perkembangan dunia usaha di masa depan dengan cara yang lebih efisien dari sisi biaya dan lebih efektif dari sisi waktu (Wibawa, 2007;10). Manfaat lain dari pendekatan perda yang efektif adalah bahwa prosedur untuk mendirikan usaha yang sederhana, pasti, dan murah akan menarik minat para investor untuk menanamkan modal mereka di daerah tersebut.


(58)

2.6. Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development)

Pembangunan berkelanjutan pada sekarang ini adalah sebuah tema Dunia tepatnya setelah Konferensi Lingkungan Hidup pertama di Stockholm tahun 1972 lalu dan Konferensi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 lalu. Paradigma baru tentang keberlanjutan pembangunan dipercaya telah mampu menggeser beberapa paradigma lama seperti paradigma pertumbuhan ekonomi (growth paradigm) yang sangat dominan sampai tahun 1970-an dan paradigma yang menekankan pemerataan hasil-hasil pembangunan tersebut.

Defenisi tentang pembangunan berkelanjutan menurut Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Comission on Evironment and

Development-WCED) tahun 1987 mengemukakan bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya”.

Arifin (2001:13) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya ikut diperhitungkan dalam penghitungan pendapatan Nasional.

Emil dalam Arifin (2001:16) menekankan bahwa sehati-hati apapun kebijakan ekonomi makro jika pola pembagunan masih cenderung ekstraktif terhadap sumber daya alam, maka surplus neraca perdagangan hanya akan habis untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup yang porak-poranda.


(59)

40

Dari uraian di atas, dapat diartikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil sumber daya alam tidak akan bertahan lama. Untuk itu sumber daya alam harus dikelola dan dimanfaatkan dengan efisien, sebaliknya lingkungan sumber daya alam harus dilestarikan dan dijaga keutuhannya untuk menjamin keberlangsungannya pada generasi mendatang. Selanjutnya para ahli dan perumus kebijakan Nasional harus memperhatikan dan memadukan antara aspek ekologis dan aspek ekonomis dalam pembangunan. Pada tingkat aplikasi dan pelaksanaan, pemerintah bersama-sama dengan rakyat ikut bertanggung jawab terhadap degradasi lingkungan dan kebijakan sistem yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

Fenomena yang sama di Kabupaten Nias, yang memiliki potensi yang handal terhadap sumber daya laut dan perikanan. Sangat disayangkan bila potensi sumber daya tersebut hanya dieksploitasi untuk tujuan ekonomi tanpa memperhatikan atau mengabaikan kelestariannya. Oleh sebab itu, pemerintah harus sungguh-sungguh mensosialisasikan konsep pembangunan berkelanjutan agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan nilai-nilai keberlanjutannya.

2.6.1 Pengertian dan Jenis Sumber Daya Alam

Sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia dalam mencapai kesejahteraan.

UU Nomor 5 Tahun 1990 Pengelolaan sumber daya alam (SDA) adalah, pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara


(60)

bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya.

Sedangkan Mackinnon dalam Arifin (2001), mengatakan bahwa konservasi atau pelestarian alam adalah pemanfaatan sumber daya alam dengan cara-cara yang bertanggungjawab, penuh pemikiran, serta dengan pengekangan atau pengaturan perilaku manusia sehingga terjamin persediaan sumber daya alam yang menjadi tempat bergantung kelangsungan dan kepuasan hidup manusia.

Herman Haeruman dalam Soerjani dkk, (1983:11), mengklasifikasikan jenis sumber daya alam berdasarkan fungsinya, yakni sebagai berikut:

1) Jenis-jenis Sumber daya alam (SDA) :

a) Sumber daya alam Hayati (biotik) adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk hidup. Contohnya, tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan lain sebagainya

b) Sumber daya alam non hayati (abiotik) adalah sumber daya alam yang berasal dari benda mati. Contohnya, bahan tambang, air, udara, batuan dan lain sebagainya

2) Sumber daya Alam berdasarkan sifat pembaharuan :

a) sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable), adalah sumber daya alam yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan. Contohnya; air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan dan lain sebagainya.


(61)

42

b) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable), adalah sumber daya alam yang tidak dapat di daur ulang atau sifatnya hanya dapat digunakan sekali saja, tidak dapat dilestarikan serta dapat punah. Contohnya, minyak bumi, batu bara, timah dan gas alam.

c) Sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya (unlimited), antara lain; sinar matahari, arus air laut, udara, dan lain sebagainya.

3) Sumber daya alam berdasarkan penggunaannya :

a) sumber daya alam penghasil bahan baku, yaitu sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghasilkan benda atau barang lain sehingga nilai jualnya akan menjadi tinggi. Contoh; hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian, dan lain sebagainya

b) sumber daya alam penghasil energi, yaitu sumber daya alam yang dapat menghasilkan atau memproduksi energi untuk kepentingan umat manusia. Contoh; ombak, panas bumi, arus air sungai,, minyak bumi, gas bumi, dan sebagainya.


(62)

3.1. Jenis Penelitian.

Metode atau jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yang oleh Nawawi (1990: 63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian kualitatif digunakan bila masalah penelitian belum jelas, sehingga peneliti langsung masuk ke objek penelitian. Melalui penelitian ini peneliti akan melakukan eksplorasi terhadap suatu objek (Sugiyono, 2008:24).

Dengan demikian dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan, dideskripsikan serta dianalisis.

3.2. Defenisi Konsep

Defenisi konsep digunakan untuk menjelaskan secara khusus hal-hal yang diteliti di lokasi penelitian. Ini dimaksudkan untuk memfokuskan pada apa yang perlu mendapat perhatian untuk diteliti, yakni sebagai berikut :

1. Implementasi Pelayanan Publik adalah suatu proses pelaksanaan kebijakan untuk melayani atau memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat akan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996

Arifin, Bustanul, Ph.D, Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2001

Anderson, James E., Public Policy Making, New York : Holt, Rinehart and Winston, 1979

Dwiyanto, Agus, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2005

Dwiyanto, Agus, Kemitraan Pemerintah – Swasta dan Relevansi Terhadap Reformasi Administrasi Negara, JKAP Vol. I , Nomor I , Program Magister Administrasi Publik, UGM, Yogyakarta, 1996

Dunn, William, N, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada university Press, Yogyakarta, 1996

Dunn, William, N, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi kedua, Gadjah Mada University, Press, Yogyakarta, 2000

Ferlie, Ewan. Ashburner, Lynn. Fitzgerald, Louise dan Pettigrew, Andrew, The New Public Management in Action, Oxford University Press, New York, 1996. Fitzsimmons, James A dan Mona fitzsimmons, Service Management (Operations,

Strategy dan Information Technology). fourth edition, The Mc.Grow-Hill Companies, New York, 2004

Grindle, Merilee S, Politics and Policy Implementation in The Third World, Princnton University Press, New Jersey, 1980

Hughes, E, Owen, Public Management And Administration, St. Martin’s, United States of America, 1994


(2)

Hand Out Penulisan Proposal Tesis, Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009.

Jones, Charles O, Pengantar Kebijakan Publik, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Lukman, Sampara, Manajemen Kualitas pelayanan, STIA-LAN Press, Jakarta, 1999.

Lebouf, Michel, Memenangkan dan Memelihara Pelanggan, Pustaka Tangga, Jakarta, 1992

Mazmanian, Daniel A and Paul A. Sabatier, Implementation and Public Policy, Scott Foresman and Company, USA, 1983

Napitupulu, Paimin, Dr, M.Si, Pelayanan publik dan Customer satisfaction, Alumni, Bandung, 2007

Nawawi, Hadari, Metodologi Penelitian bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001

Osborne, David & Gaebler Ted, Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Presindo, Jakarta, 1996

Patton, Michael Quinn, Qualitative Evaluation Methods, Beverly Hills: Sage Publications, 1987

Purnama, Nursya’bani, Manajemen Kualitas Pespektif Global, Ekonisia, Yogyakarta, 2006

Ratminto & Atik S. Winarsih, Manajemen Pelayanan, Pustaka Ilmu, Yogyakarta, 2005

Riant Nugroho D, Kebijakan Publik, Formulasi, implementasi dan Evaluasi, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003

Rasyid, Ryaas, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Yarsif Watampone, Jakarta, 1997

Sabatier, Paul,“Top down and Bottom up Approaches to Implementation Research” Journal of Public Policy 6, (Jan), h. 21-48.1986


(3)

Subarsono Agus, Drs, Analisis Kebijakan Publik. Konsep, Teory & Aplikasinya, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005

Sinambela, Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik (teori, Kebijakan dan Impelemntasi), Bumi Aksara, Jakarta, 2006

Sugiyono, Prof, Dr, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D, Alfabeta, Bandung, 2008

Sarundajang, SH, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta, Jakarta, 2005

Sedarmayanti, Good Governance, Keperintahan yang baik dalam rangka Otonomi Daerah (membangun system manajemen kinerja guna meningkatkan produktifitas menuju good governance), Mandar Maju, Bandung, 2004

Supriatna, Tjahwa, Administrasi, Birokrasi dan Pelayanan Publik, PT Nimas Mutianan, Jakarta, 1996

Soerjani, Mohammad & Samad Bahrin, Manusia dalam keserasian lingkungan, FEUI, Jakarta, 1983

Wasistiono, Sadu, Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung, 2003

Sumber-sumber dari internet :

- Frida Rustina, 2008, Peringkat pelayanan perizinan, online (http:www.google.co.id diakses 16 Mei 2009)

- Utomo, Warsito, 2000, Otonomi dan Pengembangan Kelembagaan di Daerah, Makalah Seminar Nasional Profesional Birokrasi dan Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik, Fisipol UGM (online), (http://journal/google.birokrasi/html, diakses 29 April 2010)

- Green Coast, Wetlands Internasional, Both Ends, IUCN dan Oxfam Belanda, 2008, Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias Propinsi Sumatera Utara, WWF. (online) Email.hapriansyah@wwf.or.id diakses tanggal 5 Mei 2010


(4)

Peraturan Hukum :

- Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah - Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

- Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/20/M/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik - Peraturan Bupati Nias Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Nias

- Keputusan Bupati Nias Nomor 061/118/K/2007 tentang Penetapan Standar Pelayanan Minimal penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Nias


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

Implementasi Pelayanan Bidang Izin Usaha Perikanan Dan Surat Penangkapan Ikan Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Dalam Rangka Pengelolaan

Sumberdaya Berkelanjutan

A. Pendekatan Proses

1. Kemudahan dalam memproses satu jenis pelayanan :

a. Menurut saudara, apakah persyaratan atau prosedur administrasi di BPPT mudah dipenuhi dan diatur secara jelas.?

b. Sepengetahuan saudara, kegiatan apa yang telah dilakukan oleh pihak BPPT agar mekanisme pengurusan ini dapat diketahui dan diterima oleh semua pihak serta dilakukan secara luas dan terbuka?

c. Apakah sistem atau alur kerja pelayanan lebih baik dari sebelum dan sesudah dilimpahkan di BPPT.? Apakah mampu memberi kemudahan bagi masyarakat yang melakukan pengurusan di BPPT ini?

2. Proses pelayanan yang lebih sederhana :

a. Apakah penyelenggaraan pelayanan atau urusan dari awal sampai akhir dilakukan pada satu tempat, yaitu pada BPPT?

b. Apakah terdapat penyederhanaan persyaratan (berkas) pada sistem terpadu sekarang dengan sebelumnya ?

c. Bagaimana menurut bapak/saudara koordinasi teknis dilapangan antara BPPT dengan Dinas Perikanan?

d. Apakah ada standar waktu pelayanan atau proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan ?

3. Menghindari Biaya Pengurusan yang Lebih Besar

a. Setahu anda apakah ada kepastian biaya dalam sistem atau pengurusan izin usaha perikanan di BPPT.?


(6)

b. Apakah ada kesamaan Retribusi izin usaha perikanan di BPPT?

c. Apakah retribusi yang sudah ditentukan sesuai dengan bidang usaha bapak? B. Pendekatan Dampak

1. Kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang Perikanan

a. Apakah dengan adanya sistem perizinan memberikan kepastian dalam berusaha di bidang perikanan ?

2. Meminimalisir Pelanggaran

b. menurut bapak/saudara, apakah dengan adanya sistem perizinan mampu mengurangi aktivitas pelanggaran dan perusakan lingkungan pesisir pantai dan ekosistem laut.?

3. Investasi

c. Sepengetahuan saudara, apakah kehadiran BPPT dan sistem perizinan yang ada mampu menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Nias.?

d. Sepengetahuan saudara, apakah kehadiran BPPT dan sistem perizinan yang ada mampu menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Nias.?

e. Apakah kehadiran BPPT dan sistem perizinan yang ada telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan PAD Kabupaten Nias?