Infeksi Nosokomial

(1)

INFEKSI NOSOKOMIAL

DISUSUN OLEH :

Dr. SRI AMELIA, M.Kes

NIP. 197409132003122001

DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan ... 1

BAB II Tinjauan Pustaka Penyebaran dan Transmission-based Precaution ... 3

Epidemiologi ... 8

Etiologi ... 8

Patogenesis ... 11

Tekhnik dan Prosedur Isolasi ... 15

Pemeriksaan Laboratorium ... 18

Pengobatan ... 22

BAB III Kesimpulan ... 23


(3)

(4)

INFEKSI NOSOKOMIAL

I. PENDAHULUAN

Infeksi nosokomial, menurut Greek berasal dari kata nosokomeion yang berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = perawatan). Jadi dengan kata lain infeksi yang didapat pasien ketika pasien tersebut dirawat di rumah sakit disebut dengan infeksi nosokomial. Dikatakan infeksi nosokomial bila pada saat masuk rumah sakit pasien tidak menunjukkan gejala-gejala klinis infeksi, tidak dalam masa inkubasi dari infeksi dan terjadi 3 x 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit, infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya. Umumnya infeksi nosokomial mengenai saluran kemih dan berbagai macam pneumonia.(1,2)

Di Amerika Serikat, tahun 1995, sekitar 2 juta pasien setiap tahunnya mendapat infeksi nosokomial, menghabiskan dana sekitar $4,5 milyar–$11 milyar setiap tahunnya. Dan menyebabkan 88.000 kematian–setiap 6 menit, satu pasien meninggal akibat infeksi nosokomial. (2,3,4)

Di Indonesia, angka infeksi nosokomial belumlah banyak. Angka yang ada hanya muncul dari beberapa penelitian yang sporadis di beberapa bagian seperti bagian anak, ICU, bedah dan bagian penyakit dalam. Dalam penelitian tahun 1988-1989 di rumah sakit Bandung, insidensi infeksi nosokomial 9,1% di ICU dan 8,8% di ruang neonatus. (5)

Infeksi oleh populasi kuman rumah sakit terhadap seorang pasien yang memang sudah lemah fisiknya tidaklah terhindarkan. Lingkungan rumah sakit harus diusahakan agar sebersih dan sesteril mungkin. Hal tersebut tidak selalu bisa sepenuhnya terlaksana, karenanya tidak mungkin infeksi nosokomial ini bisa diberantas secara total. Setiap langkah yang tampaknya mungkin, harus dikerjakan untuk menekan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Yang paling penting adalah kembali kepada kaedah sepsis dan antisepsis dan perbaikan sikap personil rumah sakit (dokter, tenaga medis).

Ada 2 kondisi yang mendukung terjadinya infeksi nosokomial antara lain : (6) 1. Karena orang sakit ada di rumah sakit, di tempat inilah kemungkinan terbesar

didapatkan organisme virulen yang menimbulkan penyakit.

2. Banyak pasien rumah sakit khususnya yang rentan terhadap infeksi, sebagai akibat prosedur rumah sakit yang menghilangkan penghalang anatomi normal terhadap


(5)

infeksi dan sebab daya tahan tubuh terganggu oleh pengobatan, keganasan atau usia yang ekstrem ( bayi atau usia lanjut).

Infeksi nosokomial ini dapat dicegah dengan penggunaan teknik isolasi agar tidak terjadi penyebaran baik penyebaran secara kontak langsung antar sesama pasien atau antara pasien dengan tenaga medis dan antara pasien dengan pengunjung, kontak tidak langsung melalui instrument medis yang kurang / tidak steril atau tindakan medis yang dapat merusak barrier alamiah tubuh, penyebaran melalui droplet misalnya penularan penyakit mumps, rubella, difteri, pertusis, influenza, kemudian penyebaran melalui udara misalnya penyebaran mycobacterium tuberculosa, cacar air, campak dan penyebaran yang dibawa oleh vektor misalnya lalat atau nyamuk.

Infeksi nosokomial dapat terjadi pada sesama pasien, tenaga medis ataupun pengunjung rumah sakit. Terjadinya infeksi nosokomial karena beberapa faktor antara lain : (6)

1. Agen penyakit

Dapat berupa bakteri, jamur, virus, parasit. 2. Reservoir / sumber

Apabila reservoirnya manusia, maka infeksi dapat berasal dari traktus respiratorius, traktus digestivus, traktus urogenitalis, kulit (variola) atau darah (hepatitis B).

3. Lingkungan

Keadaan udara sangat mempengaruhi, seperti kelembaban udara, suhu dan pergerakan udara atau tekanan udara.

4. Penularan

Penularan adalah perjalanan kuman pathogen dari sumber ke hospes. Ada 5 jalan yang dapat ditempuh antara lain : Kontak, baik langsung maupun tidak langsung, melalui udara, droplet, vehicles (zat pembawa) dan vector.

5. Hospes

Tergantung port d’entrée (tempat masuknya kuman penyakit) misalnya :

 Melalui kulit seperti Leptospira atau Staphylococcus.

 Melalui traktus digestivus seperti Escherichia coli, Shigella, Salmonella.

 Melalui traktus respiratorius bagian atas partikel > 5µm. Melalui traktus respiratorius bagian bawah partikel < 5µm.


(6)

 Melalui traktus uinarius seperti Klebsiella.

II. PENYEBARAN DAN TRANSMISSION-BASED PRECAUTIONS

Panduan isolasi yang ditetapkan oleh CDC pada 1996 terdiri atas dua tingkat:

Standard Precaution : yang berlaku terhadap semua klien dan pasien yang datang ke

fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan, dan Transmission-Based Precaution (kewaspadaan berdasarkan cara penularan), yang berlaku terutama terhadap pasien rawat. Pada semua kondisi yang ada, Transmission-Based Precautions harus digunakan bersama – sama dengan Standard Precautions.7

Penyebaran mikroorganisme penyebab infeksi nasokomial melalui 5 cara antara lain : kontak baik langsung maupun tidak langsung, udara, droplet, vehicles (zat pembawa) dan vektor .(1,6) Transmission-based precautions untuk pasien yang terdiagnosa atau dicurigai infeksi yang dapat ditularkan melalui udara, cairan atau kontak atau terinfeksi atau terkolonisasi dengan organisme epidemis.

1. Contact Precautions

Kewaspadaan ini mengurangi resiko terjadinya penyebaran organisme dari pasien yang terinfeksi atau terkolonisasi melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Kewaspadaan ini diindikasikan untuk pasien yang terinfeksi atau terkolonisasi oleh patogen enterik (hepatitis A atau echovirus), herpes simpleks, dan virus – virus demam berdarah (hemorrhagic fever viruses). Begitu pula cacar air dapat menyebar melalui udara dan kontak pada tahap – tahap yang berbeda. Pada bayi, terdapat sejumlah virus yang disebarkan oleh kontak langsung. Selain itu, contact precautions harus diterapkan pada pasien dengan infeksi basah atau draining yang mungkin menular (mis., draining

abscess, herpes zoster, impetigo, konjungtivitis,skabies, kutu, dan infeksi luka.

a. Kontak langsung

Kontak langsung bila terjadi hubungan langsung melalui permukaan tubuh antara 2 orang pasien, dimana yang satu sebagai sumber infeksi nasokomial sedangkan yang satu lagi pasien yang gampang dimasuki oleh mikroorganisme nasokomial akibat rendahnya daya tahan tubuh. Atau kontak antara tenaga medis dengan pasien, misalnya pada saat tenaga medis memandikan pasien.


(7)

b. Kontak tidak langsung

Paling sering terjadi dimana transfer mikroorganisme melalui insrumen atau alat. Biasanya mengenai pasien yang rentan dimasuki mikroorganisme melalui instrumen- instrumen rumah sakit yang kurang steril, seperti jarum suntik, sarung tangan, cairan infus termasuk selang dan jarumnya. Oleh karena itu untuk mencegah hal ini tenaga medis dianjurkan agar menggunakan dispossable syringe (jarum suntik yang hanya dipakai untuk satu pasien), sarung tangan dan alat-alat infus yang baru untuk satu pasien.

Tabel 1. Standard Precaution untuk pasien yang dicurigai terinfeksi mikroorganisme yang disebarkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung dengan lingkungan atau benda – benda yang digunakan dalam merawat pasien

PENEMPATAN PASIEN - Kamar pribadi; pintu kamar dapat dibiarkan terbuka.

- Jika kamar pribadi tidak tersedia, pasien ditempatkan dalam ruangan yang sama dengan pasien dengan infeksi aktif oleh mikroorganisme yang sama, namun tidak bersama pasien dengan infeksi lain.

PENGGUNAAN SARUNG TANGAN

- Gunakan sarung tangan periksa nonsteril (atau sarung tangan bedah yang diproses ulang) ketika memasuki ruangan pasien

- Ganti sarung tangan setelah kontak dengan barang barang infeksius (mis., feses atau drainase luka)

- Lepaskan sarung tangan sebelum meninggalkan ruangan pasien.

CUCI TANGAN - Setelah melepas sarung tangan, cuci tangan dengan agen antibakterial, atau gunakan lap tangan antiseptik beralkohol bebas air - Jangan menyentuh barang – barang maupun

permukaan yang berpotensi infeksius sebelum meninggalkan ruangan

PAKAIAN PELINDUNG - gunakan pakaian pelindung yang bersih nonsteril ketika memasuki ruangan apabila diantisipasi terjadi kontak dengan pasien atau pasien dengan inkontinensia, diare, ileostomi, kolostomi, atau drainase luka yang tidak tertutup


(8)

meninggalkan ruangan. Hindari agar baju yang dikenakan tidak menyentuh barang – barang maupun permukaan yang berpotensi terkontaminasi sebelum meninggalkan ruangan.

TRANSPOR PASIEN - Batasi transpor pasien hanya untuk keperluan – keperluan penting.

- Selama transpor, pastikan bahwa tindakan – tindakan kewaspadaan tetap terjaga untuk meminimalisir resiko penyebaran organisme

PERLENGKAPAN PERAWATAN PASIEN

- Jika mungkin, sediakan perlengkapan perawatan pasien yang tidak kritis untuk digunakan hanya pada seorang pasien - Bersihkan dan lakukan disinfeksi

perlengkapan yang digunakan bersama oleh pasien terinfeksi dan pasien yang tidak terinfeksi setiap kali habis digunakan.

2. Melalui udara (Airbone Transmission)

Biasanya tejadi pada pasien yang tinggal satu ruangan dengan pasien sumber infeksi. dimana mikroorganisme nasokomial dapat berada di udara selama beberapa jam dan tersebar luas kemudian dihirup oleh pasien yang rentan terhadap infeksi (ukuran partikel biasanya ≤ 5µm atau lebih kecil). Mikroorganisme yang dapat menyebar sepenuhnya maupun sebagian melalui udara antara lain tuberkulosis, virus varicella, dan virus rubeola.

Airborne precautions direkomendasikan untuk pasien – pasien yang dicurigai

maupun ditemukan telah terinfeksi agen–agen tersebut. Contohnya, seorang yang terinfeksi HIV dengan gejala batuk, keringat malam atau demam, dan temuan foto paru harus menjalani airborne precaution hingga diagnosis TB dapat disingkirkan.

Pada tempat – tempat dengan prevalensi TB yang tinggi, maka penting adanya suatu mekanisme yang dapat menilai (triase) pasien yang dicurigai TB karena tertundanya diagnosis akan mengakibatkan kurangnya isolasi dan terbukti sebagai faktor penting dalam penyebaran penyakit ini di rumah sakit. Dalam kondisi ini, airborne


(9)

Tabel 2. Standard Precaution untuk pasien – pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi mikroorganisme yang menyebar lewat udara.

PENEMPATAN PASIEN - Kamar pribadi - Pintu kamar tertutup

- Tekanan udara negatif dalam kamar, baik

menggunakan kipas maupun sistem filtrasi lainnya - Jika kamar pribadi tidak tersedia, pasien

ditempatkan dalam ruangan yang sama dengan pasien dengan infeksi aktif oleh mikroorganisme yang sama, namun tidak bersama pasien dengan infeksi lain (cohorting)

- Periksa semua pengunjung untuk melihat adanya kerentanan sebelum mengijinkan untuk

berkunjung

PERLINDUNGAN RESPIRASI - Gunakan masker bedah

- Jika diketahui atau dicurigai TB, gunakan respirator partikulat (jika tersedia) - Jika cacar air atau campak:

- orang yang imun : tidak diperlukan masker - orang yang rentan: tidak diperbolehkan

memasuki ruangan

- lepaskan masker setelah meninggalkan ruangan dan tempatkan masker bekas dalam kantong plastik atau tempat sampah yang tertutup rapat

TRANSPOR PASIEN - batasi transpor pasien hanya untuk keperluan – keperluan penting.

- Selama transpor, pasien harus memakai masker bedah

- Kabari daerah yang akan menjadi tujuan

3. Droplet

Biasanya mikroorganisme yang berukuran > 5 µm, penyebaran melalui batuk, bersin atau bicara dengan sumber infeksi, jarak sebar pendek dan mikroorganisme tidak bertahan lama di udara, ”deposit” biasanya di mukosa konjungtiva, hidung dan mulut. Contoh, penyakit dengan penyebaran melalui droplet adalah difteri, pertusis, mycoplasma, tuberculosa, Hib, virus influenza, respiratory syncytial virus, mumps dan rubella.

Droplet precaution adalah kewaspadaan untuk mengurangi resiko terjadinya


(10)

Mikroorganisme yang dapat menyebar misalnya., H.influenzae dan meningitis oleh

N.meningitides; M.pneumoniae, flu, mumps, dan virus rubella. Kondisi–kondisi lainnya

mencakup difteri, pertussis, wabah pneumonia, dan faringitis streptokokus (scarlet fever pada bayi dan anak kecil).

Droplet precautions lebih sederhada dibandingkan dengan airborne precautions

karena partikel–partikelnya berada di udara dalam waktu yang relatif singkat dan berpindah dalam jarak yang pendek, oleh karena itu, harus terjadi kontak yang berdekatan antara sumber dan pejamu yang rentan untuk terjadinya infeksi.

Tabel 3. Standard Precautions untuk pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi mikroorganisme yang menyebar melalui droplet partikel besar (> 5μm)

PENEMPATAN PASIEN - Kamar pribadi; pintu kamar dapat dibiarkan terbuka - Jika kamar pribadi tidak tersedia, pasien ditempatkan

dalam ruangan yang sama dengan pasien dengan infeksi aktif oleh mikroorganisme yang sama, namun tidak bersama pasien dengan infeksi lain (cohorting) - Jika kedua pilihan di atas tidak tersedia, pertahankan

jarak antar pasien sejauh paling sedikit 1 meter

PERLINDUNGAN RESPIRATOSI - Gunakan masker ketika berada dalam jarak 1 meter dari pasien

TRANSPOR PASIEN - Batasi transpor pasien hanya untuk keperluan – keperluan penting.

- Selama transpor, pasien harus memakai masker bedah

- Kabari daerah yang akan menjadi tujuan

4. Vehicles

Melalui makanan dan minuman, peralatan dan obat-obatan yang terkontaminasi mikroorganisme penyebab infeksi.

5. Vektor


(11)

EPIDEMIOLOGI

Infeksi nosokomial yang paling sering, melibatkan saluran kemih dan umumnya menyertai manipulasi urologis, termasuk penggunaan kateter tetap saluran kencing. Beberapa infeksi nosokomial saluran kencing mengakibatkan bakteremia kecuali pada adanya obstruksi. Tercatat 50.000 kematian tiap tahunnya disebabkan infeksi saluran kemih nosokomial. (5)

Dari penelitian yag dilakukan The National Nosocomial Infection Surveillance (NNIS) di Amerika Serikat, mereka mendapatkan persentase infeksi nosokomial tertinggi di unit luka bakar, diikuti dengan ICU neonatus dan ICU pediatri. (2)

Infeksi nosokomial meningkatkan dua kali lipat resiko kesakitan dan kematian pasien. Hal ini yang menyebabkan 88.000 kematian tiap tahunnya di Amerika Serikat. Jenis kelamin tidak mempengaruhi resiko terkena infeksi nosokomial (wanita : pria = 1:1,7). Bakteremia dan infeksi bedah lebih sering terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan dibanding anak yang lebih tua. Sedang pada infeksi saluran kemih lebih sering terjadi pada anak > 5 tahun dibanding anak yang lebih muda. (2)

Faktor predisposisi seorang pasien terkena infeksi nosokomial antara lain : jeleknya kondisi kesehatan pasien, pada pasien usia lanjut atau usia sangat muda dengan gangguan sistem imun. Faktor lain adalah tindakan invasif seperti pemasangan intubasi, kateter, drain bedah, dan trakeostomi, dimana tindakan medis tersebut dapat merusak barrier alamiah tubuh sehingga lebih rentan terkena infeksi. Selain itu obat-obatan yang diberikan kepada pasien terutama obat-obat yang dapat menekan sistem imun, antasida yang dapat mengurangi keasaman lambung sebagai barier tubuh, antimikroba yang dapat mengganggu flora normal tubuh dan menimbulkan resistensi, transfusi darah, juga meningkatkan resiko terkena infeksi nosokomial. (1)

ETIOLOGI

Setelah penisillin tersedia dimana-mana, Staphylococcus aureus penisillin-resisten dilaporkan menjadi penyebab infeksi pada penderita yang dirawat di rumah sakit. Pada pertengahan tahun 1950, infeksi S.aureus nosokomial yang disebabkan oleh tipe faga 94/96, menjadi masalah nosokomial yang besar di seluruh dunia yang menyebabkan penutupan beberapa unit bedah dan neonatus, dan pengembangan program pengendalian


(12)

infeksi. Bersamaan dengan pengenalan penisillinase-resisten penisillin, frekuensi infeksi menurun, dan di tahun 1970-an infeksi nosokomial yang disebabkan oleh kuman basilus gram negatif (Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacteriaceae) aerobik menjadi masalah utama. Di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an muncul metisillin-resisten Staphyococcus aureus dan Vancomycin-resisten Enterococcus. Dan di tahun 1990-1996, 3 bakteri gram positif penyebab infeksi nosokomial terbanyak ialah Staphylococcus

aureus, Staphylococcus koagulase negatif dan Enterococcus. Dan 4 bakteri gram negatif

antara lain, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp dan Klebsiella

pneumoniae. (3)

Infeksi nasokomial dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang menyusun flora normal pasien. Mikroorganisme seperti ini disebut oportunis karena menyebabkan infeksi dalam kondisi sebagai berikut : (5)

1. Apabila mikroorganisme berada dalam tubuh yang terganggu system kekebalannya.

2. Apabila mikroorganisme dapat memintasi penghalang anatomi setelah luka bakar atau pembedahan.

3. Apabila mikrorganisme terbawa masuk melalui kateter, alat penyuntik atau respirator yang terkontaminasi.

Tabel 4. Hubungan Infeksi Oportunis yang Khas dengan Faktor Pendorong Tertentu.

Faktor pendorong Mikroorganisme oportunistik yang sering Luka bakar, luka

Pembedahan abdominopelvik

Pembedahan jantung

Kateter intravena

Pseudomonas Serratia

Staphylococcus Mucor

Streptococcus anaerob dan Bacteroides

Basil gram negative, Serratia-Enterobacter-Klebsiella Staphylococcus

Difteroid

Staphylococcus (aureus) Aspergilli

Candida


(13)

Manipulasi saluran urine

Diabetes

Staphylococcus Candida

Crytococcus

Pseudomonas, Proteus dan basil gram negative lain Serratia-Enterobacter-Klebsiella

Staphylococcus epidermidis

Basil gram negatif Staphylococcus Candida

Mucor

Etiologi dan infeksi nasokomial sering dapat diduga dari lokasi infeksi atau masalah klinik yang mendasari. Contohnya meliputi hubungan Staphylococcus dengan alat intravascular. Pseudomonas aruginosa pada penderita luka bakar derajat tiga dan pada penderita gangguan neutropenia, dan Enterococcus faecalis, yang biasanya menginfeksi penderita yang mendapat sefalosporin spektrum yang luas. Infeksi enterik dengan Clostridium difficile, suatu organisme pembentuk spora anaerob yang menghasilkan enterotoksin, terjadi pada penderita rawat inap yang mendapat antibiotik, terutama klindamisin, penisilin, atau sefalosporin, dan kemoterapi untuk penyakit neoplastik.(4,5)

Infeksi virus nosokomial, sebagian besar terjadi pada populasi pediatri. Terutama disebabkan oleh agen pernafasan, termasuk virus sinsitial respiratori, influenza, parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, juga varisela dan campak. Anak yang mempunyai resiko adalah mereka yang tidak mempunyai imunitas spesifik terhadap agen tertentu. Infeksi virus nosokomial juga dapat disebabkan karena transfusi darah, virus yang sering terlibat antara lain ; Hepatitis C, Sitomegalovirus yang menyebabkan sindrom seperti mononukleosis pada hospes normal, pneumonitis berat atau hepatitis pada penderita kerusakan imun , dan virus immunodefisiensi manusia (HIV). Virus varisela-zooster nosokomial dapat menimbulkan infeksi berat yang mematikan, pada anak atau orang dewasa nonimun. (2,6)


(14)

Tabel 5. Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial.

Bakteri gram-positif

 Staphylococcus aureus (resisten-metisilin)

 Staphylococcus koagulase negatif

 Enterokokus Bakteri gram-negatif

 Escherichia coli

 Proteus mirabilis

 Klebsiella / Enterobacter / Serratia sp

 Pseudomonas sp

 Bacteroides sp Jamur

 Candida sp

 Aspergillus sp Virus

 Hepatitis B

 Hepatitis C

 Virus immunodefisiensi manusia

 Sitomegalovirus

 Virus saluran pernafasan

 Herpes simpleks PATOGENESIS

Infeksi nosokomial biasanya terjadi bila barrier alamiah terhadap invasi mikroba terganggu, atau bila penderita lemah ( ada gangguan sistem imun tubuh ). Kulit, membrana mukosa, saluran gastrointestinal, saluran kencing dan saluran nafas atas, berperan sebagai barrier alamiah terhadap terjadinya infeksi. Banyak tindakan-tindakan medis saat ini, termasuk pembedahan dan penggunaan tekhnik untuk mendukung kehidupan, seperti intubasi nasotrakea atau kateter intravaskular, mengganggu barrier ini. Pipa nasogastrik, dan penggunaan obat yang mengurangi keasaman lambung (antasid) juga menurunkan efisiensi pertahanan barrier yang penting. Penggunaan antibiotik yag tidak rasional seperti dosis kurang, pemberian yang terlalu singkat atau yang terlalu lama untuk profilaksis dan pemilihan jenis antibiotik yang kurang tepat, dapat menimbulkan resistensi kuman / bakteri sehingga meningkatka resiko infeksi nosokomial. (3,4,7)

Pengendalian sebagian besar infeksi bakteri tergantung pada jumlah leukositopolimorfonuklear (PMN) yang cukup dan berfungsi normal dan interaksi fagosit ini efektif dengan opsonin serum, komplemen dan antibodi. Sejumlah penyakit dan terapi mengganggu mekanisme respon hospes sistemik primer terhadap invasi mikroba. Ada


(15)

penyakit-penyakit yang memerlukan terapi, ternyata dapat mengubah jumlah PMN, fungsi PMN atau dapat menekan sistem barrier alamiah. Misalnya, keganasan hamatologis diobati dengan agen sitotoksik yang merangsang terjadinya penekanan sumsum tulang atau disertainya hipogamaglobulinemia. Tumor padat yang menyumbat organ, menyebabkan sekresi tidak teralirkan, yang bila terinfeksi menyebabkan abses atau bakteremia. Karsinoma bronkogen dan limfoma hodgkin berhubungan dengan penghambat kemotaksis PMN serum. Terapi kortikosteroid digunakan dalam terapi sejumlah keadan neoplastik yang juga mengganggu perlekatan PMN pada sel endotel, menyebabkan keterlambatan fagosit di tempat infeksi. Pneumonia nosokomial dengan basilus gram negatif aerobik yang dihubungkan dengan intubasi trakea, penggunaan antibiotik, penurunan keasaman lambung, dan semakin berat penyakit, semuanya dihubungkan dengan kolonisasi saluran pernafasan atas atau pipa trakea dengan organisme ini. Menurunnya refleks tersedak dan batuk memperbesar kemungkinan aspirasi organisme ini dan akhirnya menjadi pneumonia. Pneumonia legionella yang terjadi di rumah sakit juga sangat menyusahkan karena mikroba ini dapat hidup dalam air yang mengalir, air ledeng dan ujung shower. (7)

Asepsis pembedahan

Salah satu penjagaan kita terhadap infeksi adalah kulit yang utuh. Jika seseorang kehilangan perlindungan ini karena luka atau karena prosedur operasi, orang ini akan jauh lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini sering terjadi pada pasien luka bakar yang hebat dimana akan menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Oleh karena itulah infeksi nosokomial pada unit luka bakar melampaui angka 75%. Untuk meminimalkan infeksi nosokomial diperlukan tekhnik asepsis pembedahan yang ketat.

Pencegahan ini dimulai sebelum pasien memasuki ruang operasi serta mengharuskan pembersihan dan disinfeksi, sejauh dimungkinkan, daerah kulit yang akan dibedah. Prosedur ini biasanya mulai dengan menghilangkan rambut di daerah tersebut diikuti dengan pembersihan seksama daerah tersebut dengan alcohol atau desinfektan. Prosedur ini akan mengakibatkan pembuangan mekanik sebagian besar mikroorganisme pada kulit.


(16)

Penting pula bahwa ahli bedah dan tenaga medis yang bekerja di ruang bedah

tidak menjadi sumber infeksi bagi pasien yang akan dioperasi. Hal ini menuntut

pemakaian gaun steril, penggunaan masker penutup hidung dan mulut, pemakaian topi untuk menutup rambut, pencucian tangan dengan teliti dan seksama dan penggunaan sarung tangan karet yang steril apabila meyentuh apa saja yang akan berhubungan dengan luka pasien.

Tindakan asepsis ini tidak berakhir apabila pembedahan selesai. Pasien harus dijaga terhadap infeksi sampai lukanya sembuh dan infeksi tidak lagi menjadi masalah utama. Pembalut biasanya diganti pada selang waktu tertentu selama periode penyembuhan, yang pada waktu itu harus diingat bahwa tangan atau jari telanjang tidak boleh menyentuh luka atau bagian pembalut yang berhubungan dengan luka. Untuk itu diperlukan penggunaan sarung tangan steril atau pinset steril untuk menangani pembalut yang steril.

Asepsis medis

Asepsis medis umum harus ditujukan baik untuk menghancurkan pathogen maupun mengurangi jumlah mikroorganisme di lingkungan. Tekhnik asepsis ini menggunakan metode fisik dan kimia untuk mengendalikan mikroorganisme. Metode fisik meliputi langkah kebersihan umum menyeluruh yang membantu mencegah transfer mikroorganisme diantara tenaga medis, pengunjung dan pasien.

Langkah-langkah kebersihan itu antara lain : Pencucian tangan

Metode pencucian tangan dengan pembersihan penggosokkan yang teliti dengan sabun atau deterjen dan air mengalir, menggunakan sabun yang berulang-ulang dan pembilasan yang sering. Pencucian tangan dilakukan sebelum makan, sebelum menuangkan obat-obatan, sebelum menyajikan baki kepada pasien, sebelum dan sesudah perawatan umum yang diberikan kepada pasien, setelah dari toilet, setelah menangani pakaian kotor dan pispot. Pencucian untuk pembedahan memerlukan lebih banyak usaha daripada pencucian tangan rutin. Dalam hal ini substansi germicida diperlukan untuk menekan jumlah bakteri yang tinggal di kulit.


(17)

Perawatan instrument

Sebaiknya instrument yang digunakan dalam tindakan medis harus disterilisasi di dalam autoklaf. Cara ini menjamin keamanan dengan menghancurkan spora dan sel vegetatif ari mikroorganisme penyebab infeksi. Namun, instrument tertentu seperti yang mempunyai sisi pemotong yang tajam, mungkin menjadi rusak dengan autoklaf karena itu dianjurkan penggunaan bahan kimia. Semua instrument harus dibersihkan dari darah atau sekresi tubuh sebelum dilakukan prosedur sterilisasi.

Perawatan termometer

Sebaiknya setiap pasien mempunyai termometer sendiri-sendiri, tapi kalaupun itu tidak ada, maka prosedur pembersihannya harus dilakukan dengan teliti untuk menjamin keamanan semua pasien. Setelah termometer dipakai kemudian dicuci, dan dimasukkan ke dalam desinfektan.Desinfektan yang dipakai etil alkohol 70% yang mengandung

yodium 2% sangat efektif untuk menghancurkan semua bakteri vegetatif (temasuk basil

tuberkel) dan dilakukan selama 10 menit.

Tabel 6. Senyawa kimia yang digunakan untuk mendisinfeksi instrumen. Benda keras yang halus

Tabung karet dan kateter

Termometer

Peralatan pernafasan dan anestesia

- Etil alkohol (70-95%)

- Yodofor (100-500 ppm yodium) - Natrium hipoklorit

- Etilen oksida

- Yodofor ( 100-500 ppm yodium) - Etilen oksida

- Larutan cair fenol (1-5%)

- Etil alkohol (70-90%) mengandung yodium (2%)

- Etil alkohol (70-90%) - Glutaraldehida cair (2%)

Perawatan pembalut

Kain pembalut yang akan digunakan dalam prosedur pembedahan harus disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121°C selama 15 menit. Tidak ada pengganti


(18)

untuk metode ini. Kain pembalut yang steril harus ditangani sedemikian rupa agar

terhindar dari kontaminasi daerah yang akan kena kontak dengan luka pasien.

Kain pembalut yang kotor harus diautoklaf atau dibakar dalam tungku pembakar. Barang-barang ini harus ditangani dengan pinset dan dibungkus dengan kertas sebelum dibakar, atau dimasukkan ke dalam kantong yang dapat diautoklaf.

Perawatan buangan tubuh yang menginfeksi

Buangan yang mungkin mengandung mikroba patogen harus dibakar, apabila hal ini dapat dilakukan. Jika hal ini tidak mungkin, ludah atau buangan lainnya harus dicampur dengan bahan kimia efektif seperti fenol dan kresol. Kresol atau senyawa klor, seperti kaporit, dapat digunakan untuk mendisinfeksi tinja. Harus diingat, disinfeksi

selalu dihambat oleh bahan organik, karena itu agen kimia harus dicampur secara

seksama dengan buangan yang menginfeksi dan dibiarkan dalam waktu yang cukup agar efektif.

Perawatan alat suntik dan jarum suntikan

Sterilisasi alat suntikan dan jarum suntikan dengan autoklaf sangat ditekankan karena daya tahan virus hepatitis terhadap suhu sangat tinggi. Selain dengan autoklaf dapat juga dilakukan sterilisasi dengan hot air oven dengan suhu 160-180°C selama 1-2 jam). Saat ini rumah sakit menggunakan jarum suntik, alat suntikan, perlengkapan IV-line yang sekali dipakai lalu dibuang sehingga satu set buat satu pasien sehingga penyebaran infeksi dapat dihindari terutama infeksi yang menyebar melalui darah.

TEKHNIK DAN PROSEDUR ISOLASI

Penghalang pelindung yang steril di sekeliling pasien merupakan metode yang paling efektif untuk melindungi pasien dan tenaga medis yang terlibat dalam perawatan pasien. Tapi prosedur semacam ini tidak praktis, oleh karena itu diperlukan penggunaan berbagai kebijaksanaan dan praktek isolasi yang cocok bagi pasien dan dapat mengendalikan penyakit yang bersangkutan. Saat ini telah dibuat berbagai kebijaksanaan isolasi berupa kartu-kartu yang dikembangkan oleh Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang terpampang di pintu-pintu kamar rumah sakit yang dihuni pasien yang sedang diisolasi.


(19)

Penyakit yang memerlukan isolasi saluran pencernaan antara lain : Kolera

Diarrhea Enterokolitis

Gastroentritis, yang disebabkan oleh enterotoksik, salmonella, shigella Hepatitis A

Tifus abdominalis

Untuk memasuki kamar dengan isolasi saluran pencernaan, maka pengunjung dan tenaga medis harus memakai baju khusus, tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memasuki kamar, memakai sarung tangan, tidak perlu memakai masker, buangan tubuh pasien harus didisinfeksi.

Penyakit yang memerlukan isolasi pernafasan antara lain : Rubeola

Meningitis, meningokokkus Meningokokemia

Gondong Pertusis Rubella Tuberkulosis

Untuk kamar isolasi pernafasan pintu harus selalu ditutup, baju khusus tidak perlu, masker harus selalu digunakan, tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memasuki kamar, sarung tangan tidak perlu dipakai, sekret tubuh seperti dahak harus didisinfeksi.

Penyakit yang memerlukan isolasi ketat, antara lain : Antraks

Luka bakar luas, yang di infeksi oleh staphylococcus aureus dan streptococcus A Sindrom rubella

Difteria

Herpes simpleks


(20)

Cacar

Infeksi kulit, luas dengan staphylococcus aureus dan streptococcus A

Pintu kamar harus selalu tertutup, baju khusus harus dipakai bagi semua orang yang memasuki kamar, masker harus dipakai bagi semua orang yang memasuki kamar tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memasuki kamar, sarung tangan harus selalu dipakai, barang atau sekret tubuh pasien harus didisinfeksi.

Keadaan yang memerlukan isolasi untuk perlindungan, antara lain : Agranulositosis

Pasien dengan luka bakar yang luas

Pasien yang menerima terapi immunosupresif Pasien limfoma dan leukemia

Pasie dengan immunodefisiensi.

Kamar pribadi dengan pintu yang selalu tertutup, baju khusus harus dipakai semua orang yang memasuki ruangan, masker harus selalu dipakai bila masuk ke ruangan tersebut, tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memasuki ruangan, sarung tangan harus selalu dipakai bagi orang yang mempunyai kontak langsung dengan si pasien.

Tekhnik isolasi diatas sangat diperlukan dalam penanggulangan dan pengendalian infeksi nosokomial sehingga transfer mikroba penyebab infeksi dapat kita kendalikan. Tapi masih sedikit rumah sakit yang menerapkan tekhnik isolasi ini, yang menyebabkan angka infeksi nosokomial masih terbilang tinggi.

Tabel 7. Laju rata-rata infeksi nosokomial selama periode tiga tahun pada tiap-tiap pelayanan rumah sakit besar untuk pendidikan.

Pelayanan Laju rata-rata Pembedahan umum

Ginekologi Pengobatan Neurologi Bedah saraf Obstetri Oftalmologi Otolaringologi

11% 4% 7% 5% 8% 2% 0,5%


(21)

Ortopedi Pediatri Bedah plastik Urologi

7% 4% 11% 8%

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Dalam mengontrol infeksi nosokomial, laboratorium mikrobiologi mempunyai peranan antara lain : (1)

1. Identifikasi yang tepat terhadap organisme penyebab. 2. Ketersediaan data-data kuman patogen di rumah sakit.

3. Membantu tim pengendali infeksi dalam mengidentifikasi reservoir dan cara penyebaran kuman penyebab infeksi nosokomial.

4. Membantu tim pengendali infeksi dalam menentukan tipe organisme yang tepat sebagai penyebab infeksi nosokomial.

5. Bekerjasama secara efektif dengan klinisi penyakit infeksi dan membantu membedakan antara kejadian epidemic yang sebenarnya atau pseudoepidemik. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa infeksi nosokomial sama saja dengan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi umumnya. Dalam bidang penyakit infeksi, hasil-hasil tes laboratorium tergantung dari bahan pemeriksaan, waktu pengumpulan, cara pengumpulan bahan dan ketelitian teknis serta pengalaman pekerja laboratorium. Isolasi penyebab infeksi sangat penting untuk formulasi diagnosis, maka bahan harus diperoleh dari tempat yang paling besar kemungkinan menghasilkan penyebab infeksi pada stadium penyakit dan harus dilakukan sedemikian rupa hingga menguntungkan kehidupan dan pertumbuhan kuman. Penemuan penyebab infeksi paling bermakna bila diisolasi dari tempat yang dalam keadaan normal sama sekali tidak mengandung jasad renik(steril) misalnya dari darah, cairan serebrospinal, cairan sendi atau dari rongga pleura. (2)

Ada beberapa hal yang harus dipatuhi dalam pengambilan bahan pemeriksaan antara lain :(2,5)

1. Bahan dalam jumlah cukup harus diperoleh untuk memungkinkan pemeriksaan yang teliti.


(22)

2. Bahan harus representative bagi proses infeksi (misalnya dahak bukan saliva; nanah dari lesi yang mendasari bukan dari saluran sinus; usapan dari bagian dalam luka bukan dari permukaannya).

3. Pengambilan harus berhati-hati untuk menghindari kontaminasi dengan menggunakan alat yang steril dan tindakan aseptik.

4. Bahan harus segera dibawa ke laboratorium dan diperiksa dengan segera. Bila perlu menggunakan media transport agar bahan tetap baik.

5. Bahan pemeriksaan harus diambil dahulu sebelum diberikan obat-obat antimikroba.

Cara-cara pengumpulan bahan seperti yang diatas diperuntukkan untuk isolasi bakteri dan jamur, sedangkan untuk isolasi virus bahan biakan tidak perlu dari tempat yang secara anatomik paling jelas terkena infeksi. Bahan bilasan nasofaring dan tinja dapat digunakan untuk banyak biakan virus. (2)

Tabel 8. Cara Pengambilan Bahan

Material Metode Keterangan

Pus

Darah

Urin

Sputum

Jaringan

Tinja

Anaerobic transport atau sempit steril

2 tabung reaksi (bottle kit)

Midstreem kateter atau pungsi supra pubik dalam botol steril

Tabung steril

Pengambilan yang steril, dalam tabung steril yang tertutup

Tinja yang segar, yang sebaiknya diambil

Pewarnaan gram dan kultur kuman baik aerob maupun anaerob

10% V/V darah pada setiap tabung

Diperiksa dalam waktu 2 jam

Pewarnaan gram sebelum dikultur

Pemeriksaan 30 menit setelah pengambilan bahan

Dispesifikasi, bila diduga terdapat kuman


(23)

Rongga hidung

dengan rectal swab

Swab rongga hidung depan Jarang dilakukan

Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup pemeriksaan mikroskopik bahan segar yang tidak diwarnai dan yang diwarnai dan pembiakan di bawah keadaan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bila telah diisolasi kemudian dilakukan identifikasi secara keseluruhan mikroorganisme apa yang menjadi penyebab infeksi dan terakhir melakukan tes uji kepekaan terhadap obat-obat antibiotika. Selain pemeriksaan diatas untuk mendeteksi kuman penyebab dapat berdasarkan reaksi immunologis misalnya dengan tekhnik counterimmunoelectrophoresis (CIEP atau CEP). (2,5)

Di bawah ini tabel yang menunjukkan kriteria infeksi nosokomial berdasarkan hasil laboratorium.

Tabel 9. Kriteria Infeksi Nosokomial.

Tempat Infeksi Kriteria Infeksi Keterangan 1. Darah

2. Urin

3. Luka operasi

4. Luka lain

5. Luka bakar

6. Paru

Kultur positif

Koloni bakteri > 105/cc

Pus pada luka insisi

Terdapat pus

> 10 juta organisme / 1 gr jaringan biopsi

Infiltrat yang baru pada foto paru, yang tidak ada waktu masuk R.S. dihubungkan dengan produksi sputum yang baru.

Kontaminan harus disingkirkan. Jumlah yang rendah dapat diterima, bila disokong oleh gejala klinis. Luka infeksi yang dalam dan selulitis akan diklasifikasikan terpisah.

Termasuk dekubitus, trakeostomi.

Keberhasilan skin graft akan lebih besar bila jumlah < 105/1 gr jaringan.

Gejala klinis harus sesuai, harus disingkirkan penyakit lain seperti atelektasis atau emboli paru.


(24)

7. Intestinal

8. Lain-lain  Hepatitis  ISPA  Peritonitis

Kultur positif untuk patogen atau diare yang tidak dapat diterangkan, lebih dari 2 hari gejala klinis

Kuman patogen seperti Salmonella, Shigella, dan E.coli patogen.

PENGOBATAN

Infeksi nosokomial merupakan supra infeksi pada seorang pasien. Umumnya kuman penyebab infeksi nosokomial adalah kuman yang sudah resisten terhadap banyak antibotik. Sebelum ada hasil kultur, pengobatan sudah bisa dimulai, bila sudah ada hasil kultur antibiotik bisa diubah seperlunya. Golongan betalaktam antara lain cephalosporin, cefoperazone (cefobid) IM / IV tiap 12 jam dapat dipakai meski ada gangguan ginjal dan neutropenia. Betalaktam yang masih efektif terhadap kuman Pseudomonas misalnya cefoperazone. (4)

Bila setelah 3 hari masih demam dengan pemakaian cefoperazone dan penyakit makin berlanjut, boleh dikombinasikan dengan Vancomycine. Bila setelah 7 hari masih demam dan ada tanda-tanda kandidiasis sistemik, mulailah terapi antifungal (oral atau IV). Jangan lupa untuk menduga kateter sebagai sumber infeksi, kalau begitu maka kateter harus dicabut dan diganti dengan yang baru dan steril. Selain cefalosporine, quinolone baru misalnya norfloxacin juga telah digunakan sebagai profilaksis pada pasien neutropenia, tapi penggunaan obat ini secara luas untuk profilaksis dapat mempercepat timbulnya kuman E.coli yang resisten dengan norfloxacin. (4)

Pilihan antibiotik empiris dapat didasarkan pada seringnya organisme diisolasi di rumah sakit atau unit spesifik. Misalnya pada beberapa unit onkologi, Pseudomonas aeruginosa resisten-gentamicin sering menyebabkan infeksi pada penderita neutropenia, maka penggunaan antibiotic cefoperazon menjadi obat pilihan. Pada penderita infeksi intraabdomen, terapi harus meliputi antibiotik dengan aktivitas melawan Bacterioides fragilis anaerob di samping bacillus enteric aerob. Staphylococcus aureus resisten-metisilin harus dicurigai pada penderita sepsis yang memakai kateter intravena yang permanent. (3,6)


(25)

Lama pengobatan tergantung dari perjalanan infeksi nosokomial, keadaan klinik penderita dan respon terhadap terapi. Bakteremia yang disebabkan oleh Staphylococcus

aureus bersama dengan penggunaan kateter intravena dapat diobati secara aman dengan

antibiotic parenteral efektif selama 2 minggu. Pada penderita penyakit jantung vaskuler atau gangguan imunitas, diperlukan 4-6 minggu terapi antibiotic anti stafilokokkus. Infeksi saluran kencing nonbakteremia dapat secara efektif diobati selama 1 minggu bila tidak ada obstruksi. Terapi enterokolitis pseudomembranosa yang disebabkan

Clostridium difficile adalah dengan menghentikan antibiotic (bila mungkin) dan

pemberian Vankomisin atau Metronidazole. Bila penyebab infeksi, jamur maka dibutuhkan antifungal misalnya fluconazole dan amphotericine B. Sedang antiviral yang dipakai untuk infeksi nosokomial misalnya gancyclovir, acyclovir, amantadine, rimantadine. (3,6)


(26)

KESIMPULAN

1. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit, dengan syarat pasien masuk rumah sakit tanpa gejala, tidak dalam masa inkubasi, terjadi setelah 3 x 24 jam setelah dirawat di rumah sakit dan mikroorganisme penyebab berbeda dengan mikroorganisme saat masuk rumah sakit.

2. Penyebaran infeksi nosokomial ini melalui 5 cara yaitu melalui kontak baik langsung maupun tidak langsung, melalui udara, droplet, vehicles dan vektor. 3. Saat ini 3 macam bakteri gram positif penyebab infeksi yaitu Staphylococcus

aureus resisten-metisilin, Staphylococcus koagulase negatif dan Enterococcus. Dan ada 4 macam basil gram negatif yaitu E.coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp dan Klebsiella pneumonia.

4. Asepsis pembedahan melibatkan baik perawatan kulit untuk menekan mikroorganisme maupun penggunaan peralatan steril dan kain pembalut yang steril pula.

5. Asepsis medis ditujukan pada pengendalian lingkungan untuk melindungi pasien. Termasuk prosedur pencucian tangan, perawatan instrumen, perawatan termometer, alat suntikan dan jarum suntikan dan pembuangan sekret tubuh yang terkontaminasi.

6. Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi sangat diperlukan untuk mendeteksi mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial dan cara pemeriksaan laboratorium pada umumnya hampir sama dengan pemeriksaan laboratorium infeksi lainnya. 7. Pemberian antibiotika harus rasional untuk menghindari timbulnya resistensi

kuman. Obat golongan cefalosporine, cefoperazone, fluconazole, amphotericine B (antiviral) dan antifungal (gancyclovir, acyclovir) digunakan untuk mengatasi infeksi nosokomial.


(27)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojosugito,MA., Roeshadi D., Pusponegoro, AD., Supardi I., Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit, 2001

2. Murray, PR., Baron, EJ., Jorgensen, JH., Landry, ML., Pfaller, MA., Manual Clinical Microbiology, 9th Edition, American Society for Microbiology, Washington, 2007.

3. Brooks, G.F., Butel, J.S., Ornston, L.N., Jawetz, E., Melnick, J.L., Adelberg, E.A., Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology, 24th edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA, 2007.

4. Engelkirk, PG., Burton, GRW., Burton’Microbiology For The Health Sciences, 8th edition, Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore, 2007.

5. Quoc V.Nguyen, MD, Hospital-Acquired Infection, http://e-medicine-hospital-acquired-infection, 23 May 2006, p. 6 of 10.

6. Abedon, Stephen T., Nosocomial Infection : Supplemental Lecture,

7. Weinstein Robert, Nasocomial Infection Update, Volume 4 Number 3, Juli – September


(1)

2. Bahan harus representative bagi proses infeksi (misalnya dahak bukan saliva; nanah dari lesi yang mendasari bukan dari saluran sinus; usapan dari bagian dalam luka bukan dari permukaannya).

3. Pengambilan harus berhati-hati untuk menghindari kontaminasi dengan menggunakan alat yang steril dan tindakan aseptik.

4. Bahan harus segera dibawa ke laboratorium dan diperiksa dengan segera. Bila perlu menggunakan media transport agar bahan tetap baik.

5. Bahan pemeriksaan harus diambil dahulu sebelum diberikan obat-obat antimikroba.

Cara-cara pengumpulan bahan seperti yang diatas diperuntukkan untuk isolasi bakteri dan jamur, sedangkan untuk isolasi virus bahan biakan tidak perlu dari tempat yang secara anatomik paling jelas terkena infeksi. Bahan bilasan nasofaring dan tinja dapat digunakan untuk banyak biakan virus. (2)

Tabel 8. Cara Pengambilan Bahan

Material Metode Keterangan Pus

Darah

Urin

Sputum

Jaringan

Tinja

Anaerobic transport atau sempit steril

2 tabung reaksi (bottle kit)

Midstreem kateter atau pungsi supra pubik dalam botol steril

Tabung steril

Pengambilan yang steril, dalam tabung steril yang tertutup

Tinja yang segar, yang sebaiknya diambil

Pewarnaan gram dan kultur kuman baik aerob maupun anaerob

10% V/V darah pada setiap tabung

Diperiksa dalam waktu 2 jam

Pewarnaan gram sebelum dikultur

Pemeriksaan 30 menit setelah pengambilan bahan

Dispesifikasi, bila diduga terdapat kuman


(2)

Rongga hidung

dengan rectal swab

Swab rongga hidung depan Jarang dilakukan

Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup pemeriksaan mikroskopik bahan segar yang tidak diwarnai dan yang diwarnai dan pembiakan di bawah keadaan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bila telah diisolasi kemudian dilakukan identifikasi secara keseluruhan mikroorganisme apa yang menjadi penyebab infeksi dan terakhir melakukan tes uji kepekaan terhadap obat-obat antibiotika. Selain pemeriksaan diatas untuk mendeteksi kuman penyebab dapat berdasarkan reaksi immunologis misalnya dengan tekhnik counterimmunoelectrophoresis (CIEP atau CEP). (2,5)

Di bawah ini tabel yang menunjukkan kriteria infeksi nosokomial berdasarkan hasil laboratorium.

Tabel 9. Kriteria Infeksi Nosokomial.

Tempat Infeksi Kriteria Infeksi Keterangan

1. Darah 2. Urin

3. Luka operasi

4. Luka lain

5. Luka bakar

6. Paru

Kultur positif

Koloni bakteri > 105/cc

Pus pada luka insisi

Terdapat pus

> 10 juta organisme / 1 gr jaringan biopsi

Infiltrat yang baru pada foto paru, yang tidak ada waktu masuk R.S. dihubungkan dengan produksi sputum yang baru.

Kontaminan harus disingkirkan. Jumlah yang rendah dapat diterima, bila disokong oleh gejala klinis. Luka infeksi yang dalam dan selulitis akan diklasifikasikan terpisah.

Termasuk dekubitus, trakeostomi.

Keberhasilan skin graft akan lebih besar bila jumlah < 105/1 gr jaringan.

Gejala klinis harus sesuai, harus disingkirkan penyakit lain seperti atelektasis atau emboli paru.


(3)

7. Intestinal

8. Lain-lain

 Hepatitis

 ISPA

 Peritonitis

Kultur positif untuk patogen atau diare yang tidak dapat diterangkan, lebih dari 2 hari gejala klinis

Kuman patogen seperti Salmonella, Shigella, dan E.coli patogen.

PENGOBATAN

Infeksi nosokomial merupakan supra infeksi pada seorang pasien. Umumnya kuman penyebab infeksi nosokomial adalah kuman yang sudah resisten terhadap banyak antibotik. Sebelum ada hasil kultur, pengobatan sudah bisa dimulai, bila sudah ada hasil kultur antibiotik bisa diubah seperlunya. Golongan betalaktam antara lain cephalosporin, cefoperazone (cefobid) IM / IV tiap 12 jam dapat dipakai meski ada gangguan ginjal dan neutropenia. Betalaktam yang masih efektif terhadap kuman Pseudomonas misalnya cefoperazone. (4)

Bila setelah 3 hari masih demam dengan pemakaian cefoperazone dan penyakit makin berlanjut, boleh dikombinasikan dengan Vancomycine. Bila setelah 7 hari masih demam dan ada tanda-tanda kandidiasis sistemik, mulailah terapi antifungal (oral atau IV). Jangan lupa untuk menduga kateter sebagai sumber infeksi, kalau begitu maka kateter harus dicabut dan diganti dengan yang baru dan steril. Selain cefalosporine, quinolone baru misalnya norfloxacin juga telah digunakan sebagai profilaksis pada pasien neutropenia, tapi penggunaan obat ini secara luas untuk profilaksis dapat mempercepat timbulnya kuman E.coli yang resisten dengan norfloxacin. (4)

Pilihan antibiotik empiris dapat didasarkan pada seringnya organisme diisolasi di rumah sakit atau unit spesifik. Misalnya pada beberapa unit onkologi, Pseudomonas aeruginosa resisten-gentamicin sering menyebabkan infeksi pada penderita neutropenia, maka penggunaan antibiotic cefoperazon menjadi obat pilihan. Pada penderita infeksi intraabdomen, terapi harus meliputi antibiotik dengan aktivitas melawan Bacterioides fragilis anaerob di samping bacillus enteric aerob. Staphylococcus aureus resisten-metisilin harus dicurigai pada penderita sepsis yang memakai kateter intravena yang


(4)

Lama pengobatan tergantung dari perjalanan infeksi nosokomial, keadaan klinik penderita dan respon terhadap terapi. Bakteremia yang disebabkan oleh Staphylococcus

aureus bersama dengan penggunaan kateter intravena dapat diobati secara aman dengan

antibiotic parenteral efektif selama 2 minggu. Pada penderita penyakit jantung vaskuler atau gangguan imunitas, diperlukan 4-6 minggu terapi antibiotic anti stafilokokkus. Infeksi saluran kencing nonbakteremia dapat secara efektif diobati selama 1 minggu bila tidak ada obstruksi. Terapi enterokolitis pseudomembranosa yang disebabkan

Clostridium difficile adalah dengan menghentikan antibiotic (bila mungkin) dan

pemberian Vankomisin atau Metronidazole. Bila penyebab infeksi, jamur maka dibutuhkan antifungal misalnya fluconazole dan amphotericine B. Sedang antiviral yang dipakai untuk infeksi nosokomial misalnya gancyclovir, acyclovir, amantadine, rimantadine. (3,6)


(5)

KESIMPULAN

1. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit, dengan syarat pasien masuk rumah sakit tanpa gejala, tidak dalam masa inkubasi, terjadi setelah 3 x 24 jam setelah dirawat di rumah sakit dan mikroorganisme penyebab berbeda dengan mikroorganisme saat masuk rumah sakit.

2. Penyebaran infeksi nosokomial ini melalui 5 cara yaitu melalui kontak baik langsung maupun tidak langsung, melalui udara, droplet, vehicles dan vektor. 3. Saat ini 3 macam bakteri gram positif penyebab infeksi yaitu Staphylococcus

aureus resisten-metisilin, Staphylococcus koagulase negatif dan Enterococcus. Dan ada 4 macam basil gram negatif yaitu E.coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp dan Klebsiella pneumonia.

4. Asepsis pembedahan melibatkan baik perawatan kulit untuk menekan mikroorganisme maupun penggunaan peralatan steril dan kain pembalut yang steril pula.

5. Asepsis medis ditujukan pada pengendalian lingkungan untuk melindungi pasien. Termasuk prosedur pencucian tangan, perawatan instrumen, perawatan termometer, alat suntikan dan jarum suntikan dan pembuangan sekret tubuh yang terkontaminasi.

6. Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi sangat diperlukan untuk mendeteksi mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial dan cara pemeriksaan laboratorium pada umumnya hampir sama dengan pemeriksaan laboratorium infeksi lainnya. 7. Pemberian antibiotika harus rasional untuk menghindari timbulnya resistensi

kuman. Obat golongan cefalosporine, cefoperazone, fluconazole, amphotericine B (antiviral) dan antifungal (gancyclovir, acyclovir) digunakan untuk mengatasi infeksi nosokomial.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojosugito,MA., Roeshadi D., Pusponegoro, AD., Supardi I., Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit, 2001

2. Murray, PR., Baron, EJ., Jorgensen, JH., Landry, ML., Pfaller, MA., Manual Clinical Microbiology, 9th Edition, American Society for Microbiology, Washington, 2007.

3. Brooks, G.F., Butel, J.S., Ornston, L.N., Jawetz, E., Melnick, J.L., Adelberg, E.A., Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology, 24th edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA, 2007.

4. Engelkirk, PG., Burton, GRW., Burton’Microbiology For The Health Sciences, 8th edition, Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore, 2007.

5. Quoc V.Nguyen, MD, Hospital-Acquired Infection, http://e-medicine-hospital-acquired-infection, 23 May 2006, p. 6 of 10.

6. Abedon, Stephen T., Nosocomial Infection : Supplemental Lecture,

7. Weinstein Robert, Nasocomial Infection Update, Volume 4 Number 3, Juli – September