Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Analitycal Hierarchy Proses

(1)

PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN

ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS

SKRIPSI

Oleh :

ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN

ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS

SKRIPSI

Oleh :

ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Analitycal Hierarchy Proses

Nama : Rosmawati Sitompul

NIM : 0412010016

Jurusan : Kehutanan Program Studi : Manajemen Kehutanan

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si Pindi Patana, S.Hut, M.Sc

Ketua

Anggota

Diketahui Oleh : Ketua Departemen Kehutanan

( Dr. ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS ) Nip : 132 287 853


(4)

(5)

ABSTRAK

ROSMAWATI SITOMPUL. Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process. Dibimbing oleh Nurdin Sulistiyono dan Pindi Patana.

Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu berkurang secara drastis. Saat ini, di sepanjang aliran sungai Deli terdapat beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 7,59 % dari 48.162 hektar areal DAS Deli . Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi tentang daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan dalam pengendalian banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas rawan banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai Deli dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan AHP. Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan banjir adalah curah hujan. Potensi rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli berturut-turut didominasi oleh kelas rawan, sedang, sangat rawan dan tidak rawan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan dalam penanganan daerah banjir.

Kata kunci : rawan banjir, AHP, jenis tanah, penutupan lahan, lereng, ketinggian, curah hujan, jarak dari sungai


(6)

ABSTRACT

The physical change in watershed has a direct effect to capacity the watershed from upstream.Then change in land use has decreased the capacity oh watershed in upstrean drastically. Nowdays, at entire length of Deli watershed there has been some damage, particullary in upstream section and the forets condition in upstream of Deli watershed has been left 7,59 % of 48.162 hectares of Deli Watershed. The severity of damage has caused the drastic change in water discharge in dry season and rainy season. In rainy season, there was a great increase water discharge. In overrate downstream area was nor ready due to it’s poor drainage causing the flooding. To consider the situations above, it would be important to have comprehensive information regarding the susceptible flooding areas in Deli Watershed, and the information should be made as a basis to take the polity and decision in managing the flooding. This research done to get class map of susceptible flooding areas in Deli watershed. By using the Geographical Information System and Analitycal Hierarchy Process. This research could present the information about the flooding ini Deli watershed and as information for management, controlling of susceptible flooding in Deli watershed. There are six factor influencing this flooding by land use, soil type, slope, elevation,

precipitation and buffer. This research result shows that susceptible flooding .potency in Deli watershed dominate respectively by medium class, susceptible, very susceptible and insusceptible. This research can used as a reference to take the policy and decision in management of flooding area.

Key words :susceptible flooding,analitycal hierarchy process, soil type, land use,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ...iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... . 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Daerah Aliran Sungai ... 5

Ekosistem Daerah Aliran Sungai ... 7

Komponen-Komponen Ekisisten DAS... 8

Sistem Hidrologi Dalam Ekosistem DAS ... . 8

Banjir……… ... 9

Jenis-Jenis Banjir ... 10

Faktor –Faktor Penyebab Banjir ... 12

Sistem Informasi Geografis ... 15

Teknologi Sistem Informasi Geografis ... 17

Pengideraan Jauh………….. ... 18

AHP ………. ... 19

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan Dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 22

Pengumpulan Data ... 22

Analisa Data ... 23

Skoring AHP ... 23

Pembuatan Data Spasial ... 29

Analisis GIS ... 38


(8)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Karakteristik DAS Deli ... 41

Letak dan Luas DAS Deli ... 41

Morfologi DAS Deli ... 41

Bentuk DAS…. ... 41

Panjang dan Kemiringan DAS Deli ... 42

Penutupan atau Penggunaan Lahan ... 43

Geomorfologi.. ... 43

Jenis Tanah…. ... 44

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembobotan Variabel Indikator Banjir ... 45

Variabel Indikator Banjir ... 50

Penutupan lahan... 54

Jenis Tanah………. 57

Curah Hujan……… 60

Kemiringan Lahan... 63

Ketinggian Tempat... 66

Jarak dari Sungai... 69

Pemodelan Peta Potensi Rawan Banjir ... 72

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 76

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Skala Pembandingan Berpasangan Elemen Hierarki ... 26

2. Nilai random consistencyindex (RI) ... 28

3. Nilai Rc DAS Deli... 42

4. Luas dan Kemiringan DAS Deli ... 42

5. Penggunaan Lahan DAS Deli ... 43

6. Geomorfologi DAS Deli ... 44

7. Jenis Tanah DAS Deli ... 44

8. Tipe Penutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Deli ... 51

9. Sebaran penutupan Lahan Pada Setiap Kelas Banjir ... 52

10.Klasifikasi Tanah Yang Terdapat di Daerah Aliran Sungai Deli ... 54

9. Sebaran Jenis Tanah Pada Setiap Kelas Banjir ... 55

10. Rata-Rata Curah Hujan di Daerah Aliran Sungai Deli Tahun 2006 ... 57

11. Sebaran Rata- Rata Curah Hujan Kelas Banjir ... 58

12. Kelas Kemiringan Lahan di daerah Aliran Sungai Deli ... 60

15. Sebaran Kelas Kelerengan pada Setiap Kelas Banjir ... 58

16. Kelas Ketinggian di Daerah Aliran Sungai Deli ... 60

17. Sebaran Ketinggian Tempat Pada Setiap Kelas Banjir ... 61

18. Kelas Jarak Dari Sungai ... 63

19. Sebaran Kelas Buffer Pada Setiap Kelas Banjir ... 63

20. Klasifikasi Tingkat Kerawanan Banjir ... 66

21. Luas daerah Tiap Kelas Potensi Rawan Banjir ... 66

22. Sebaran Potensi Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai Deli ... 70


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Hierarki Permasalahan... 25

2. Tahapan Analisis Citra ... 37

3. Tahapan Penelitian ... 40

4. Nilai Vektor Prioritas Variabel Indikator Banjir Berdasarkan Kriteria ... 46

5. Nilai Vektor Prioritas Berdasarkan Sub Kriteria ... 47

6. Peta Sebaran penutupan Lahan ... 53

7. Peta Sebaran Jenis Tanah... 56

8. Peta Sebaran Curah Hujan ... 59

9. Peta Sebaran Kelerengan ... 59

10. Peta Sebaran Ketinggian ... 62

11. Peta Sebaran Buffer ... 65

12. Peta Sebaran Potensi rawan Banjir... 68

13 Peta Sebaran Potensi Banjir Di Berbagai Daerah Di DAS Deli ... 72


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria

Faktor Utama Penyebab Banjir ... 79 2. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Curah Hujan ... 79 3. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Jenis Tanah ... 79 4. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Penutupan Lahan ... 80 5. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Tingkat Kelerengan ... 80 6. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Ketinggian Tempat ... 80 7. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Sub Kriteria

Jarak dari Sungai ... 80 8. Hasil Analisis Akurasi Klasifikasi Citra Landsat 5 TM Tahun

2006 ... 81 9. Peta Administrasi Daerah Aliran Sungai Deli ... 82 10.Foto Lokasi Penelitian ... 83


(12)

ABSTRAK

ROSMAWATI SITOMPUL. Permodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process. Dibimbing oleh Nurdin Sulistiyono dan Pindi Patana.

Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu berkurang secara drastis. Saat ini, di sepanjang aliran sungai Deli terdapat beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 7,59 % dari 48.162 hektar areal DAS Deli . Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi tentang daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan dalam pengendalian banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas rawan banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai Deli dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan AHP. Potensi rawan banjir dipengaruhi oleh penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, ketinggian, curah hujan dan jarak dari sungai. Faktor utama yang mempengaruhi potensi rawan banjir adalah curah hujan. Potensi rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli berturut-turut didominasi oleh kelas rawan, sedang, sangat rawan dan tidak rawan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan dalam penanganan daerah banjir.

Kata kunci : rawan banjir, AHP, jenis tanah, penutupan lahan, lereng, ketinggian, curah hujan, jarak dari sungai


(13)

ABSTRACT

The physical change in watershed has a direct effect to capacity the watershed from upstream.Then change in land use has decreased the capacity oh watershed in upstrean drastically. Nowdays, at entire length of Deli watershed there has been some damage, particullary in upstream section and the forets condition in upstream of Deli watershed has been left 7,59 % of 48.162 hectares of Deli Watershed. The severity of damage has caused the drastic change in water discharge in dry season and rainy season. In rainy season, there was a great increase water discharge. In overrate downstream area was nor ready due to it’s poor drainage causing the flooding. To consider the situations above, it would be important to have comprehensive information regarding the susceptible flooding areas in Deli Watershed, and the information should be made as a basis to take the polity and decision in managing the flooding. This research done to get class map of susceptible flooding areas in Deli watershed. By using the Geographical Information System and Analitycal Hierarchy Process. This research could present the information about the flooding ini Deli watershed and as information for management, controlling of susceptible flooding in Deli watershed. There are six factor influencing this flooding by land use, soil type, slope, elevation,

precipitation and buffer. This research result shows that susceptible flooding .potency in Deli watershed dominate respectively by medium class, susceptible, very susceptible and insusceptible. This research can used as a reference to take the policy and decision in management of flooding area.

Key words :susceptible flooding,analitycal hierarchy process, soil type, land use, slope, elevation, precipitation, buffer


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun. Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.

Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 - 2 juta ha per tahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002-2003, khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan tidak ada data 8,52 juta ha (7 %) (BAPLAN, 2005). Ini berarti sebenarnya hanya sekitar 85,96 juta ha yang dapat dikatakan hutan dari kawasan hutan yang telah ditetapkan.

Kerusakan hutan ini juga terdapat disekitar daerah aliran sungai (DAS) Deli yang terletak di tiga kabupaten yakni Deli Serdang, Karo dan Medan. Daerah aliran sungai ini dalam kondisi kritis. Di sepanjang aliran sungai terdapat


(15)

kerusakan di 20 titik, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli tinggal 15 persen. Banyaknya kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan debit air secara tajam pada saat musimkemarau dan musim hujan. Saat musim hujan, terjadi penambahan debit yang sangat besar. Di saat kelebihan debit, daerah hilir tidak siap karena drainasenya yang buruk sehingga mengakibatkan banjir (Maraganti, 2005).

Terganggunya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat menimbulkan banjir di musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahankritis/rusak yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan produksi usaha tani maupun kesejahteraan sosial.

Menurut Asdak (1995) kondisi suatu DAS dianggap mulai terganggu apabila koefisien air larian cenderung terus naik dari tahun ke tahun, tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim.

Gambaran terganggunya kondisi DAS tersebut juga nampak pada DAS Deli yang mempunyai luas 48.162 Ha, dengan keadaan bentuk wilayahnya sebesar 32,35 % mulai dari bergelombang, berbukit dan bergunung, dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian petani atau mengolah lahan pertanian sebesar 82 % dari jumlah desa-desa yang termasuk dalam DAS Deli. Pola hidrograf aliran sungai Sungai Deli menunjukkan kecenderungan penyimpangan dari yang normal antara lain : fluktuasi aliran debit air maksimum dan minimum yang telah mencolok, pergeseran waktu debit puncak terhadap waktu debit puncak normal. Luasan lahan kritis di ekosistem DAS Deli hampir


(16)

mencapai separuh luasan total, yang secara teoritis akan sangat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan Deli.

Menurut Maraganti (2005) debit air di DAS Deli saat kemarau hanya 10 meter kubik per detik. Namun, pada musim hujan, melonjak menjadi 315 meter kubik per detik. DAS Deli mempunyai panjang 82 kilometer (km) dan luas total 48.162 hektar. DAS yang berada di Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Medan ini sangat penting artinya bagi masyarakat. Banjir tahunan yang terjadi di Medan salah satunya adalah akibat kerusakan DAS Deli.

Pertambahan penduduk dan perkembangan wilayah perkotaan dapat mengakibatkan perubahan tataguna lahan yang dapat mengakibatkan perubahan karakteristik aliran seperti terjadinya banjir. Untuk menghindari terjadinya korban jiwa dan kerugian material yang besar akibat banjir maka perlu dilakukan tindakan-tindakan antisipasi. Untuk mengantisipasi terjadinya banjir dan mengurangi kerugian harta benda yang ditimbulkan maka diperlukan informasi lengkap tentang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah aliran sungai , baik luas genangannya, lama genangan maupun frekuensi kejadiannya kepada masyarakat di sekitar daerah rawan banjir. Jadi, untuk mengantisipasi timbulnya kerugian sebagai dampak terjadinya banjir maka diperlukan informasi yang memadai yang bisa digunakan oleh pengambil keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (GIS) merupakan teknologi spasial yang sedang berkembang saat ini. Melalui sistem ini dapat diperoleh permodelan spasial daerah rawan banjir yang menggambarkan daerah-daerah rawan banjir di sekitar DAS Deli, sehingga dapat dilakukan penanganan optimal.


(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kelas bahaya banjir disekitar DAS Deli melalui teknik permodelan spasial dengan menggunakan perangkat lunak GIS serta teknik penskoran variabel-bariabel yang mempengaruhi potensi banjir melalui Analitycal Hierarchy Process (AHP).

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi tingkat bahaya banjir dan daerah-daerah yang termasuk rawan banjir di DAS Deli, sehinggga dapat digunakan sebagai informasi/masukan dalam kegiatan pengendalian banjir di DAS Deli.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Daerah Aliran Sungai

DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan, manampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut. Selain itu DAS juga merupakan suatu ekisistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antar faktor-faktor biotik,nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari sistem tersebut (Suripin, 2002).

Daerah Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan untuk menahan air bagian hulu. Perubahan tataguna lahan akan menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis (Maryono, 2005).

Daerah aliran sungai (DAS) tersusun oleh kesatuan berlapis-lapis kawasan yang secara geografis membentang sejak dari hulu, tengah hingga hilir (kawsaan pesisir). Di kawasan hulu, DAS menjadi daerah tangkapan air hujan dan berfungsi sebgai kawasan penahan runoff yang seterusnya akan menjamin ketersediaan pasokan air bagi keseluruhan sistem ekologis DAS utamanya bagi penduduk di kawasan penyimpan presipitasi air hujan serta mengalirkan kelebihannya melalui jaringan anak sungai dan infiltrasi aliran air bawah tanah (underground). Cadangan air tanah tersebut selanjutnya kan menjadi sumber air di berbagai tempat bagi mereka yang tinggal di kawasan hilir.


(19)

Permukaan DAS pada dasarnya adalah suatu bentuk cembung yang miring atau cekungan yang menentukan arah aliran air yang umum atau sebenarnya memisahkan proses-proses flivial. Belahan lateral suatu daerah aliran sungai menjelaskan suatu lembah berbentuk huruf U atau lembah yang berbentuk huruf V, tergantung pada saling berinteraksi anatara iklim, tipe batuan dan struktur geologinya. Sedangkan belahan melintang mengungkapkan suatu peningkatan karakteristik kecuraman di dekat daerah bagian hulu (Seyhan, 1990).

Terganggunya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat menimbulkan banjir di musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahankritis/rusak yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan produksi usahatani maupun kesejahteraan sosial. Kondisi suatu DAS dianggap mulai terganggu apabila koefisien air larian cenderung terus naik dari tahun ke tahun, tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim (Asdak ,1995).

Menurut Maryono (2005), perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan (diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir.


(20)

Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang berikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem (Asdak, 1995).

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan fluktuasi debit air dan kandungan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS terhadap lingkungannya (Suripin, 2002).

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi yang mempunyai kerapatan drainse labih tinggi dan memiliki kemiringan yang besar. Sementara daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil dan memiliki kemiringan lereng yang kecil sampai dengan sangat kecil. Dan daerah aliran sungai bagian tengah merpakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang berbeda tersebut. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian hulu yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu,


(21)

perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 1995).

Komponen-komponen Ekosistem DAS

Komponen ekosistem DAS bagian hulu pada umumnya dapat dipandang sebagai suatu ekosistem pedesaan. Ekosistem ini terdiri atas empat konmponen utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya adanya komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai dijumpai adanya komponen lingkungan hutan bakau (Asdak, 1995).

Sistem Hidrologi Dalam Ekosistem DAS

Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat memberikan pengaruh besar terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaa, kandungan air tanah dan aliran sungai. Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia (Asdak, 1995).

Selanjutnya Asdak (1995), juga mnyebutkan bahwa pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS bermanfaat bagi


(22)

pengembangan sumberdaya alam dalam Skala DAS. Dalam sistem hidrologi ini, peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut amat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan dengan demikian mempengaruhi besar-kecilnya aliran air permukaan.

Terdapat ketergantungan yang sangat erat antara keadaan air di permukaan dan air di bawah permukaan. Bila terjadi perubahan prilaku secara kuantitatif pada salah satunya, maka bagian air yang lain akan terpengaruh pula. Oleh sebab itu, setiap aktivitas yang diduga berpengaruh terhadap prilaku air, maka keduanya perlu ditinjau lebih lanjut (Harto, 1993).

Banjir

Banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering menjadi tergenang air yang disebabkan oleh tingginya curah hujan dan topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung ataupun kemampuan infiltrasi tanah rendah sehingga tanah tidak mampu tidak mampu menyerap air. Selain itu banjir didefinisikan sebagai luapan air sungai akibat ketidakmampuan sungai menampung air (Seyhan, 1990).

Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang yang senantiasa terjadi pada setiap sungai. Pada umumnya akan terjadi saat curah hujan tinggi dan melebihi dari kapasitas tampung saluran atau alur sungai maka terjadilah banjir. Keberadaannya tidak dapat dicegah tetapi jika diketahui sejak dini maka korban atau kerugian yang akan terjadi dapat dihindari atau dikurangi sekecil mungkin (Syariman, 2006).


(23)

Untuk mengetahui besar kecilnya banjir suatu daerah perlu diketahui sebab-sebabnya. Salah satu diantaranya yaitu hujan yang tinggi, yang merupakan faktor pertama bagi daerah yang rentan banjir. Disamping penyebab banjir , maka faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan tingkatan banjir adalah faktor iklim, kondisi hidrologi dan kondisi fisik daerah aliran sungai. Keseluruhan dari faktor-faktor ini mempengaruhi regim hidrologikal ( karakteristik debit, muatan sedimen, geomorfologikal dinamik) dari sungai utama dan anak-anaknya. Namun selain faktor diatas , maka banjir juga dapat disebabkan oleh faktor kegiatan manusia seperti penggundulan hutan ataupun kegiatan lainnya (Yusuf, 2005).

Kejadian banjir menurut Kodoatie (2002) dan Sugianto (2002) disebabkan oleh teknis dan non teknis ( man made ) . Salah satu akibat dari man made adalah adanya perubahan tataguna lahan, urbanisasi dan penebangan hutan yang pengaruhnya sangat besar terhadap kuantitas banjir yang diilustrasikan pada sebuah DAS yang semula berupa hutan mempunyai debit 10 m3/ det jika berubah menjadi sawah debit sungainya akan menjadi antara 25 sampai 90 m3/det, ada kenaikan debit sebesar 2,5 atau 9 kali debitsemula dan seterusnya bila hutan berubah menjadi kawasan perdagangan/perindustrian, maka debitnya akan meningkat tajam menjadi 60 sampai 250 m3/det.

Jenis-jenis Banjir

Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air pada saat curah hujan yang di atas normal, bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat, terhambatnya aliran air di tempat lain, atau waduk yang jebol. Dalam masalah jumlah korbannya, banjir menduduki peringkat kedua, hanya dikalahkan oleh


(24)

kekeringan. Banyak faktor yang timbul akibat banjir. Jika dilihat dari sebab-sebab dan jenis timbulnya bencana banjir terjadinya cukup beragam antara lain :

1. Banjir kilat

Banjir ini biasanya didefinisikan sebagai banjir yang terjadi hanya dalam waktu 6 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Biasanya juga dihubungkan dengan banyaknya awan kumulus yang menggumpal di angkasa, kilat atau petir yang keras, badai tropis atau cuaca dingin. Karena banjir ini sangat cepat datangnya, peringatan bahaya kepada penduduk sekitar tempat itu harus kilat pula, dan segera dimulai upaya penyelamatan dan persiapan penanggulangan dampaknya.

2. Banjir luapan sungai

Jenis banjir ini berbeda dari banjir kilat karena banjir ini terjadi setelah proses yang cukup lama meskipun proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan sehingga datangnya banjir terasa mendadak dan mengejutkan. Selain itu banjir luapan sungai kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Penyebabnya adalah kelongsoran daerah-daerah yang biasanya mampu menahan kelebihan air, pencairan salju yang menumpuk semasa musim dingin, atau terkadang akibat kedua hal itu sekaligus.

3. Banjir pantai

Sebagian banjir dikaitkan dengan terjadinya badai tropis (juga disebut angin puyuh laut atau taifun). Banjir yang membawa bencana dari luapan air hujan sering makin parah akibat badai yang dipicu oleh angin kencang sepanjang pantai. Air garam membanjiri daratan akibat satu atau perpaduan dampak gelombang pasang, badai, atau tsunami. Sama seperti banjir luapan sungai, hujan


(25)

lebat yang jatuh di kawasan geografis luas akan menghasilkan banjir besar di lembah-lembah pesisir yang mendekati muara sungai.

(Yusuf, 2005).

Faktor- Faktor Penyebab Banjir 1. Intensitas Curah Hujan

Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu prosesdan menjdi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menetukan proses akan terjadinya dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhinya, bagaimana karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rta-rata hujan pada suatukawasan dengan berbgai model perhitungan rata- rata curah hujan (Sosrodarsono dan Takeda,2003).

Hujan yang terjadi secara merata diseluruh kawasan yang luas hanya bersifat setempat. Hujan bersifat setempat artinya ketebalan hujan yang diukur dari suatu pos hujan belum tentu dapat mewakili hujan untuk kawasan yang lebih luas kecuali hanya untuk lokasi disekitar pos hujan. Peluang hujan pada intensitas tertentu darisuatu lokasi yang lain dapat berbeda-beda. Sejauh mana curah hujan yang diukur dari suatu pos hujan dapat mewakili karakteristik hujan untuk daerah yang luas. Hal ini tergantung pada berbagai fungsi yakni jarak pos hujan itu sampai titik tengah kawasan yang dihitung curah hujannya, luad daerah, topografi, dan sifat hujan.


(26)

Intensitas curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Biasanya satuan yang digunakan adalah mm/jam. Jadi intensitas curah hujan berarti jumlah presipitasi atau curah hujan dalam waktu relatih singkat.

Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan

Keadaan Curah Hujan

Intensitas Curah Hujan ( mm)

1 jam 24 jam

Hujan sangat ringan Hujan ringan Hujan normal Hujan lebat Hujan sangat lebat

< 1 1-5 5-10 10-20 > 20 < 5 5-20 20-50 50-100 > 100

Kelas Intensitas Hujan

Kelas Intensitas Hujan Intensitas hujan

( mm/ hari )

Skor Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5

≤ 13, 6 ( sangat rendah )

13,6-20,7 ( rendah ) 20,7-27,7 ( sedang ) 27,7- 34,8 ( tinggi )

≥ 34,8 ( sangat tinggi )

10 20 30 40 50

2. Tingkat Erosi dan Sedimentasi

Proses perubahan alur sungai banyak dipengaruhi oleh adanya karakteristik angkutan sedimen pada sungai tersebut. Pada suatu sungai yang terjadi fluktuasi angkutan sedimen cukup besar, akan mengkibatkan prose erosi atau pun sedimentasi sehingga akan terjadi agradasi maupun degradasi dasar sungai. Sedangkan angkutan sedimen sendiri di sungai terdiri dari angkutan sedimen dasar sungai dan melayang (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).

Erosi dan sedimentasi merupakan proses terjadinya proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material yang terangkut di tempat yang lain. Erosi berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas


(27)

penampang sungai sedangkan besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran, sehingga timbul genangan dan banji di daearah aliran sungai

(Suripin, 2002).

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Di daerah beriklim basah erosi oleh airlah yang penting, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah unuk menyerap dan menahan air. Sedangkan sedimentasi adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa ke luar daerah aliran sungai (Arsyad, 1989).

3. Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

Penutupan lahan atau penggunaan lahan adalah aktivitas manusia atas lahan, yang ditunjukkan dengan adanya bentuk manusia seperti pemukiman dan sebagainya. Penutupan lahan atau pengunaan lahan penting untuk diketahui. Informasi tentang penggunaan lahan dapat digunakan untuk mengetahui penyebab bertambahnya volume banjir dan daerah yang terlanda banjir , dalam hal ini konversi lahan dari pertanian ke non pertanian, khususnya yang kedap air bisa merubah besarnya koefisien run-off. Sedangkan informasi tentang penutupan lahan dapat digunakan untuk mengetahui daerah resapan air sehingga diperoleh penyebab bertambahnya volume banjir dan daerah yang terlanda banjir .


(28)

4. Tingkat kelerengan ( Slope)

Kelerengan merupakan faktor yang mempunyai peranan penting dalam menentukan daerah rawan banjir. Fase lereng digunakan baik sebagai lereng tunggal maupun sebagai lereng majemuk. Lereng majemuk adalah lereng dengan lebih dari satu arah dan ditunjukkan oleh daerah punggung dan lembah dalam satu deliniasi, sedangkan lereng tunggal relatif mempunyai arah lereng yang seragam.

Kelas kelerengan yang berlaku di Indonesia

Kelas Kemiringan (%) keterangan

I II III IV V

0 – 8 8 – 15 15 – 25 25 – 40

≥ 40 Datar Landai Sedang Curam Sangat Curam

5. Jenis tanah

Jenis tanah merupakan faktor yang penting untuk menentukan daerah rawan banjir. Besar kecilnya tingkat bahaya erosi ditentukan oleh jenis tanah tersebut. Tingkat bahaya erosi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut mempunyai formasi kemiringan lereng besar. Demikian pula struktur vegetasi penutup tanah yang bertingkat-tingkat dapat menurunkan bahaya erosi daripada alahan dengan dominasi vegetasi pohon yang tidak atau kurang disertai serasah dan tumbuhan bawah (Arsyad, 1989).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola data spasial atau data yang bereferensi geografis. Setiap data yang merujuk lokasi dipermukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial


(29)

bereferensi geografis.Data GIS terdiri dari dua jenis yakni data grafis yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi dan data data tabular yang menyatakan nilai dari data grafis. Secara teknis SIG mengorganisasikan dan memanfaatka data dari peta digital yang tersimpan dalam basisi data. Dalam SIG dunia nyata dijabarkan dalam data peta digital yang menggambarkan posisi dari ruang ( space ) dan klasifikasi, atribut data dan hubungan antar item data. Kerincian data dalam SIG ditentukan oleh besarnya satuan pemetaan terkecil yang dihimpun dalam basis data (Budiyanto, 2002).

Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam, yakni data grafis dan data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut (Wayan, 2005).

Sistem informasi geografis mempunyai kemampuan analisis terhadap data spasial untuk keperluan manipulasi maupun permodelan. Fungsi analisis ini dijalankan memakai data spasial dan data atribut dalam sistem informasi geografis menjawab berbagai pertanyaan yang dikembangkan dari data yang ada menjadi suatu persoalan yang relevan. Data spasial dan SIG hanya merupakan model penyajian yang merefleksikan berbagai aspek realitas dunia nyata., sedangkan untuk meningkatkan peranan data dalam pengambilan keputusan mengenai kenyataan tersebut, suatu model harus ditampilkan yang menggambarkan obyek – obyek termasuk manyajikan hubungan antar obyek (Arifin dkk, 2006).

Sistem informasi geografis paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan , subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem pemrosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan . Subsistem


(30)

analisis data mencakup perbaikan, analisis dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapakan pada suatu masalah. Dalam rancangan sistem informasi geografis, komponen input dan output tertentu seringkali memiliki peranan dominan dalam membentuk arsitektur dari sisa suatu sistem. Hal ini penting untuk memahami mengenalai kedalaman prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input dan output data, juga organisasi data dan pemrosesan data (Lo, 1996).

Menurut Howard (1996), manfaat utama penggunaan sistem informasi spasial dengan komputer dibandingkan dengan metode pembuatan peta tradisional dan masukan data manual atau informasi manual adalah memperkecil kesalahan manusia, kemampuan memanggil kembali peta tumpangsusun dari simpanan data SIG seacra cepat, menggabungkan tumpangsusun tersebut, tetapi penggabungan batas agak sulit, dan untuk memperbaharui dengan memperhatiakan perubahan lingkungan data statistik dan batas-batas dan area yang nampak pada peta.

Teknologi Sistem Informasi Geografis

Menurut Howard (1996), teknologi yang digunakan dalam sistem informasi geografis memperluas penggunaan peta, model-model kartografi dan statistik spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk pengembangan model medan komplek dan pengujian masalah bentang lahan serta masalah penggunaan lahan. Saat ini penggunaan SIG yang paling umum adalah untuk pembuatan peta tematik kota dan memberikan revisi peta-peta tersebut.


(31)

Pengelolaan sistem informasi geografis (SIG) meningkat tajam sejak tahun 1980-an. Peningkatan pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah, akademis atau bisnis terutama di negara-negara maju. Perkembangan teknologi dijital sangat besar peranannya dalam perkembangan penggunaan SIG dalam berbagai bidang. Hal ini dikarenakan teknologi SIG banyak mendasarkan pada teknologi dijital sebagai alat analisis (Budiyanto, 2002).

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat. Tujuan utama penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam lingkungan. Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik. Yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu, penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi sintesis panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik (Lo, 1996).

Penginderaan jauh dari pesawat yang palin sesuai untuk kehutanan adalah foto udara. Secara operasional, data penginderaan jauh multispektral yang telah diguankan hanya terbatas pada penginderaan termal untuk mencegah bahaya kebakaran. Radar pandang sampling dari pesawat udara, sejauh ini hanya


(32)

digunakan sesekali untuk pemetaan yang belum mempunyai peta di negara- negara berkembang. Perkembangan penginderaan jauh sistem pesawat udara untuk terapan kehutanan tidak sama dengan perkembangan penginderaan jauh sistem satelit beberapa tahun belakang ini. Terapan penginderaan jauh sistem satelit untuk bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan perkembangan pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi (Howard, 1996).

AHP ( Analitycal Hierarchy Process )

AHP (Analitycal Hierarchy Process), disebut pula Proses Hierarki Analitik

(PHA), merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap suatu masalah. Metode ini dapat menjelaskan suatu keadaan yang kompleks dan tidak terstruktur dengan cara : 1) membagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya, 2) mengatur kembali bagian-bagian (atau peubah) tersebut ke dalam bentuk hierarki, kemudian 3) menetapkan suatu nilai numerik untuk setiap peubah tersebut melalui justifikasi penentuan tingkat kepentingannya, dan terakhir 4) melakukan sintesa untuk menentukan peubah yang mana mempunyai prioritas paling tinggi yang harus dikerjakan untuk memperoleh keluaran (outcome) yang diharapkan

(Triyana dan Saleh, 2003).

Prinsip dasar dalam menggunakan metode AHP antara lain : 1. Prinsip penyusunan hierarki (decomposision)

Untuk menerapkan metode AHP, pengambil keputusan harus dapat mendefenisikan permasalahan secara jelas dan rinci. Selanjutnya, dilakukan


(33)

menjadi elemen-elemen pokok dan sub –sub elemen lainnya secara hierarkis. Dalam AHP, hierarki permasalahan yang disusun harus mencerminkan hubungan antara tujuan (goal), kriteria, sub-kriteria dan alternatif.

2. Prinsip penetapan prioritas (comparative judgement)

Setelah hierarki permasalahan terbentuk, selanjutnya pengambil keputusan harus menetapkan prioritas antar elemen. Dalam hal ini, harus dilakukan peniliaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupkan inti dari AHP, karena ini akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen tersebut.

Untuk itu, pemgambil keputusan harus membuat pembandingan berpasangan antar elemen dalam suatulevel tertentu dalam kaitannya dengan pencapaian elemen di tingkat atasnya. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan dengan menyajikannya dalam bentuk matriks pembandingan berpasangan

(pairwise comparison). Proses pembandingan berpasangan anatar elemen dapat

dilakukan mulai dari puncak (tingkat pertama) hierarki untuk pembandingan antar kriteria. Kemudian, pada tingkat tepat dibawahnya (tingkat kedua) dilakukan pembandingan antar elemen.

3. Prinsip Konsistensi logika (logical consistency)

Dalam prinsip konsistensi logika, AHP melibatkan aspek kuantitaf dan kualitatif dari pikiran manusi. Aspek kualitatif digunakan untuk mendefesinikan masalah dan struktur hierarkinya. Sedangkan aspek kuantitaitf digunakan untuk mengekspresikan justifikasi dan preferensi secara ringkas (concisely). Proses AHP dirancang untuk menggabungkan kedua aspek tersebut. Dengan demikian aspek kuantitaif merupakan sebuah hal yang menasar untuk melakukan pengambilan


(34)

keputusan dalam situasi yang kompleks dimana sangat penting untuk dapat menentukan prioritas (Triyana dan Saleh, 2003).


(35)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2008 di Kabupaten Deli Serdang, Karo dan Medan. Analisa data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Data spasial : peta digital jaringan Sungai, peta digital lereng , peta digital ketinggian, peta digital jenis tanah, peta digital administrasi dan citra landsat 5 TM tahun 2006 path/row 129/57 dan path/row 129/58.

b. Data non spasial : penggunaan/ penutupan lahan, kelas kelerengan, jenis tanah, kejadian banjir dan curah hujan tahunan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer (PC), perangkat lunak GIS untuk menampilkan hasil, printer untuk mencetak data/peta,

Global Positioning System (GPS), dan Camera Digital .

Metode Penelitian 1. Pengumpulan Data

c. Pengumpulan data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP. DAS) Wampu-Sei Ular dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)


(36)

dilakukan sebagai persiapan awal dari penelitian. Data yang dikumpulkan adalah data spasial berupa peta digital jaringan sungai, peta digital lereng, peta digital ketinggian, peta digital jenis tanah. Peta digital administrasi dan citra landsat 5 TM tahun 2006 path/row 129/57 dan path/row 129/58, serta data non spasial berupa penggunaan/ penutupan lahan, kelas kelerengan, jenis tanah, kejadian banjir dan curah hujan tahunan.

2. Analisa Data

a. Skoring Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Dalam menentukan skor untuk tingkat rawan banjir dilakukan dengan menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP). Skoring dengan Analitycal Hierarchy Process dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat kriteria dan sub kriteria. Metode ini dapat menjelaskan suatu keadaan yang kompleks dan tidak terstruktur dengan cara :

1. Membagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya

2. Mengatur kembali bagian-bagian (atau peubah) tersebut ke dalam bentuk hierarki

3. Menetapkan suatu nilai numerik untuk setiap peubah tersebut melalui justifikasi penentuan tingkat kepentingannya

4. Melakukan sintesa untuk menentukan peubah yang mana

mempunyai prioritas paling tinggi yang harus dikerjakan untuk memperoleh keluaran (outcome) yang diharapkan


(37)

Dalam metode ini responden yang digunakan adalah individu yang dinilai termasuk dalam kategori tenaga ahli, baik karena kedudukannya, jabatannya, keilmuannya maupun pengalamannya. Tenaga ahli dalam penelitian ini adalah

1. Prof. Ir.Zulkifli Nasution, M.Sc.Ph.D, asal instansi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Misran, MM, asal instansi BPDAS Wampu-Sei Ular.

3. Dr. Deni Elfiati, SP, MP, asal instansi Fakultas Pertanian Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

4. Ir. Abdul Rauf, asal instansi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Adapun tahapan-tahapan dalam menggunakan AHP antara lain : 1. Penyusunan hierarki permasalahan

Hierarki permasalahan yang disusun harus mencerminkan hubungan antara tujuan (goal), kriteria, sub-kriteria dan alternatif. Penyusunan hierarki permasalahan dapat dilihat seperti gambar dibawah ini :


(38)

Menentukan Faktor Utama Penyebab Banjir

Tingkat 1 : Tujuan Utama

Tingkat 2 : Kriteria

Tingkat 3 : Sub kriteria

Gambar 1. Hierarki Permasalahan. Curah Hujan Jenis Tanah Jenis Vegetasi Tingkat Kelerengan Jaringan Sungai Tingkat Ketinggian

1. Hujan sangat ringan (< 5 mm/hari) 2. Hujan ringan (5-20 mm/hari) 3. Hujan normal (20-50 mm/hari) 4. Hujan lebat (50-100 mm/hari) 5. Hujan sangat lebat ( > 100 mm/hari)

1. Datar (0-8 % ) 2. Landai (8-15 %) 3. Sedang

(15 -25 %) 4. Curam (25-40 %) 5. Sangat curam (> 40 %) 1. Hutan

2. Semak belukar 3. Sawah 4. Pemukiman 5.Kebun campuran 6. Lahan kosong 7. Badan air 1.Hidromorfik kelabu

Glei

2. Latosol coklat 3. Podsolik merah kekuningan 4. Podsolik coklat kekuningan 5. Podsolik 6. Litosol 7. Regosol 1. Berombak

(< 10 m)

2.Berbukit Sedang (10-50 m) 3.Berbukit (50-300 m) 4. Bergunung (.>300 m)

1. 0- 200 m 2. 200- 400 m 3. 400- 600 m


(39)

2. Pembandingan berpasangan antar kriteria

Pembandingan antar kriteria dilakukan dengan cara :

a. Menentukan kriteria mana yang lebih penting dan seberapa kali lebih penting dibanding kriteria lainnya. Intensitas pembandingan ditunjukkan oleh skala nilai dari 1 sampai 9 atau kebalikan seperti pada tabel berikut :

Tabel 1 Skala pembandingan berpasangan dalam penilaian elemen- elemen suatu hierarki

Intensitas

Pentingnya Defenisi

1 Kedua elemen yang dibandingkan sama penting

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen yang lain

5 Elemen yang satu sangat penting dibandingkan

elemen lainnya

7 Satu elemen lebih jelas lebih penting daripada elemen lainnya

9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang

beredekatan

Kebalikan Juka untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i

b. Menyusunnya dalam bentuk matriks pembandingan berpasangan c. Pembandingan dilakukan dari baris terhadap kolom

2. Penentuan vektor prioritas


(40)

- Membagi setiap elemen pada masing-masing kolom dengan jumlah nilai dari kolom tersebut untuk menormalisasikannya

- Menjumlahkan hasilnya pada masing-masing baris dan dibagi masing-masing jumlah tersebut dengan banyaknya elemen pada setiap baris

3. Penentuan tingkat konsistensi

Untuk mengetahui konsisten atau tidaknya pembandingan antar kriteria, perlu dilakukan perhitungan tingkat konsistensi. Adapaun tahapan perhitungannya adalah sebagai berikut :

- Melihat kembali matriks pembandingan berpasangan antar kriteria (A) dan vektor prioritasnya.

- Mengalikan vektor prioritas tersebut dengan masing kolom dalam matriks A.

- Mengambil kolom jumlah baris dari hasil diatas dan dibagi dengan nilai yang sesuai dengan vektor prioritasnya.

- Menghitung nilai rata-rata dari vektor untuk menentukan akar ciri terbesar (λmaks).

- Menentukan indeks konsistensi ( CI = Consistency Indeks ) dengan rumusan sebagai berikut :

CI = 1 − − n n maks λ

- Menentukan nilai rasio konsistensi (CR= Consistency Ratio) dengan rumusan sebagai berikut :

CR =

Index y Consistenc Random


(41)

dimana, nilai Random Consistency Index (RI) untuk penentuan

consistency ratio tersebut adalah seperti pada tabel berikut :

Tabel 2 Nilai random consistencyindex (RI) untuk penentuan

consistency ratio

n RI

1 0,00

2 0,00

3 0,58

4 0,90

5 1,12

6 1,24

7 1,32

8 1,41

9 1,45

10 1,49

11 1,51

12 1,48

13 1,56

14 1,57

15 1,59

Keterangan : n = banyaknya elemen yang diperbandingkan RI = random consistencyindex

- Membuat kesimpulannya

4. Penentuan prioritas pada tingkat sub kriteria

- Pembandingan berpasangan untuk penentuan vektor prioritas sama seperti pada tingkat kriteria


(42)

- Penentuan tingkat konsistensi pada tingkat alternatif sama seperti pada tingkat kriteria

5. Sintesis

Proses sintesis permasalahan dalam AHP didasarkan atas penyatuan vektor-vektor prioritas kriteria (dan jika ada vektor sub-kriteria) dan matriks prioritas alternatif untuk suatu kriteria atau subkriteria tertentu. Adapun tahapan sintesis ini adalah sebagai berikut :

- Menentukan matriks prioritas alternarif dari masing-masing kriteria.

- Melihat kembali vektor prioritas kriteria yang telah diperoleh.

- Mengalikan matriks prioritas altrernatif dan vektor prioritas kriteria tersebut untuk memperoleh vektor prioritas alternatif menyeluruh menurut kriteria tersebut.

- Menentukan matriks pendapat gabungan dari masing-masing kriteria

- Menentukan rata-rata geometri dari masing-masing kriteria

- Menentukan vektor prioritas dengan membagi rataan geometris suatu kriteria.

b. Pembuatan Data Spasial

Pembuatan data spasial merupakan hal yang paling penting dalam analisa data. Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi on screen. Peta


(43)

kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli didijitasi sesuai luasan kawasan yang diteliti. Peta hasil dijitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang diteliti. Adapun data spasial yang digunakan dalam penelitian ini yakni :

1. Pembuatan Peta Curah Hujan

Data curah hujan tahun 2006 dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) harus diubah menjadi data dalam bentuk file DBF supaya dapat diproses di perangkat lunak ArcView. Proses pengubahan ini dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel yang prosedurnya antara lain :

a. Data curah hujan diketik di Microsoft Office Excel kemudian disimpan dalam bentuk file DBF.

b. Data curah hujan dibuka di perangkat lunak ArcView dengan menggunakan fitur Tables.

c. Ditampilkan dengan menggunakan menu View dan Add Event

Theme.

d. Diolah dengan menggunakan menu View Tool dan fitur

Thiessen Polygons untuk memperoleh peta curah hujan.

e. Hasil peta kemudian diinterseksi dengan poligon DAS Deli dengan menggunakan fitur GeoProcessing Wizard agar diperoleh peta curah hujan DAS Deli.

2. Pembuatan Peta Ketinggian

Data citra dari SRTM harus diubah dalam bentuk format grid/DEM supaya dapat diproses dalam Model Builder. Proses pengubahan ini ini


(44)

dilakukan dengan menggunakan perangklat lunak Global mapper yang prosedurnya antara lain :

a. Citra diproyeksi dalam proyeksi Geographic

(Latitude/Longitude), dengan datum WGS84.

b. Setelah citra diformat sesuai dengan yang ditentukan maka tahap selanjutnya adalah citra diformat ke dalam bentuk file

DEM. Proses ini menggunakan fitur Export raster and elevation data.

c. Kemudian data dalam bentuk file DEM tersebut dikonversikan ke grid dengan menggunakan Model Builder.

d. Setelah dikonversikan, data tersebut direclassify sesuai dengan kelas ketinggian yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta ketinggian.

3. Pembuatan Peta Kelerengan

Prosedur pembuatan peta kelerengan sama dengan pembuatan peta ketinggian. Peta kelerengan diperoleh dari DEM ketinggian melalui proses Derive Slope.

4. Pembuatan Peta Jenis Tanah

Peta Jenis Tanah dibuat dengan memanfaatkan perangkat lunak


(45)

a. Peta jenis tanah dalam bentuk format JPEG digitasi dengan menggunakan fitur Draw Polygon untuk masing-masing jenis tanah.

b. Hasil digitasi masing-masing jenis tanah kemudian digabungkan dengan menggunakan fitur Geoprocessing Wizard dari menu View, sehingga diperoleh peta digital jenis tanah.

5. Pembuatan Peta Buffer (Jarak dari Sungai)

Peta Buffer diperoleh dengan memanfaatkan perangkat lunak ArcView dengan teknik digitasi on screen yang prosedurnya antara lain :

a. Peta jaringan sungai dalam bentuk format JPEG digitasi dengan menggunakan fitur Draw Polygon agar diperoleh aliran sungainya.

b. Setelah digitasi, kemudian diolah dengan menggunakan fitur

Create Buffer dalam menu Theme. Sehingga diperoleh peta buffer

(jarak dari sungai).

6. Analisis Citra untuk Pembuatan Peta Penutupan Lahan

Citra Landsat 5 TM dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh peta penggunaan lahan (Land Use) dari kawasan yang diteliti. Analisis citra dapat dilakukan dalam enam tahap yang digambarkan dalam diagram alir seperti gambar 2, yang mencakup :


(46)

a. Mosaik Image

Mosaik image adalah penggabungan dua citra yakni citra landsat 129/57 dan citra landsat 129/58 sehingga gambaran pada kedua citra tersebut bertampalan.

b. Subset Image

Subset image adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan daerah kawasan yang diteliti dari kedua citra tersebut.

c. Koreksi Citra

Koreksi citra merupakan prosedur operasi agar diperoleh data yang sesuai dengan aslinya. Sebab citra hasil rekaman sensor penginderaan jauh mengalami berbagai distorsi yang disebabkan oleh gerakan sensor, faktor media antara, dan faktor objeknya sendiri, sehingga perlu dibetulkan atau dipulihkan kembali.

Koreksi citra terdiri dari :

1. Koreksi Geometris

Koreksi geometris dilakukan sesuai dengan atau penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random dengan sifat distorsi geometrik pada citra. Tujuan koreksi geometrik antara lain :

- Melakukan rektifikasi (pembetulan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi

- Mencocokkan (registrasi) posisis citra dengan citra lainnya ataua mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau mulittemporal


(47)

- Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu.

2. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari.

d. Perbaikan Citra (Image Enhancement)

Image Enhancement bertujuan untuk meningkatkan mutu citra,

baik untuk memperoleh keindahan gambar maupun untuk kepentingan analisis citra. Secara umum teknik perbaikan citra terdiri dari :

1. Perbaikan Spasial (Spatial enhancement)

Spatial Enhancement bertujuan memperbaiki citra

(memberikan efek kontras, penajaman tepi dan atau penghalisan citra) menggunakan nilai-nilai pixel yang bersangkutan dan yang ada disekitarnya.

2. Perbaikan Radiometrik (Radiometrik enhancement)

Radiometrik Enhancement adalah teknik memperbaiki citra


(48)

Teknik manipulasi citra dilakukan dengan menggunakan modifikasi histogram.

3. Perbaikan Spektral (Spectral enhancement)

Spectral Enhancement adalah teknik perbaikan citra

menggunakan masing-masing pixel sejumlah band (basis multi-band), meliputi analisis komponen utama (principal

componen), komponen baku, komponen vegetasi,

transformasi warna berdasarkan kontras intensitas siturasi, dan perentangan dekorelasi.

e. Klasifikasi Citra (Image classification)

Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan menggunakan teknik kuantitaif. Klasifikasi citra yang digunakan yakni klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing adalah proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutup lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi.

f. Uji Ketelitian

Uji ketelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Maksimum Likelihood. Uji ketelitian ini bertujuan untuk menguji kebenaran dari hasil interpretasi yang diperoleh dengan cara pengecekan di lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk


(49)

penutupan/penggunaan lahan yang homogen. Besarnya tingkat akurasi akan diperoleh dari hasil uji ketelitian, yang dihitung dari matriks analisis akurasi dengan formulasi sebagai berikut:

Producer’s accuracy = x100%

X X

kt kk

User’s accuracyi = x100%

X X

tk kk

Kappa accuracy = 100%

2 x X X N X X X N tk r k kt r k r k tk kt kk

− −

Overall accuracy = x100%

N X r k kk

Dimana :

N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan r = Jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xkk= Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (diagonal matriks)

Xkt = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke i)


(50)

Citra Landsat 129/57

Citra Landsat 129/58

Mosaik Image

Subset Image

Geometris

Koreksi

Radiometrik

Image Enhancement

Spasial Radiometrik Spektral

Citra Terkoreksi

Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification)

Uji Ketelitian

Peta Land Use


(51)

d. Analisis GIS

Untuk memperoleh peta tingkat rawan banjir, maka langkah yang dilakukan selanjutnya adalah analisis GIS melalui beberapa tahapan yakni :

• Pembuatan data spasial

Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi on screen.

• Konversi spasial vektor ke format grid

Data spasial dikonversi dari bentuk vektor ke format grid dengan tujuan untuk memudahkan pengolahan dengan perangkat lunak GIS

• Skoring dengan AHP

Data spasial yang telah dikonversi di skoring dengan AHP untuk memperoleh besarnya tingkat kerawanan

Weighted Overlay

Untuk memperoleh peta tingkat rawan banjir, maka tahapan selanjutnya adalah mengeoverlay-kan peta penutupan lahan dengan peta curah hujan kemudian peta jenis tanah dengan peta kelerengan dan peta ketinggian dengan peta jaringan sungai.

• Pengkasifikasian nilai-nilai rawan banjir

Dari hasil Weighted Overlay nilai-nilai rawan banjir diklasifikasikan berdasarkan skor dari masing-masing variabel.


(52)

Persamaan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi tingkat rawan banjir adalah :

a[P] + b[LU] + c[S] + d[ST] + e[K] + f[JS]

Keterangan :

P = Precipitation (curah hujan)

LU = Land use (penggunaan lahan)

S = Slope (kemiringan)

ST = Soil type (jenis tanah)

K = Ketinggian

JS = Jaringan Sungai a, b, c, d, e,f = kontanta/skor sesuai AHP

3. Uji Ketelitian Model

Dari hasil interpretasi potensi dan kejadian banjir dilakukan validasi terhadap kondisi sesungguhnya di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan pengecekan kondisi sesungguhnya dilapangan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat rawan banjir pada lokasi kejadian banjir. Hasil dari pengecekan lapangan dengan bantuan alat Global Positioning System (GPS) dimana fungsinya dapat menentukan keberadaan lokasi contoh tersebut. Uji ketelitian model ini dilakukan dengan cara ground check (cek lapangan) di beberapa titik pengamatan yang dipilih sebagai perwakilan dari luasan daerah yang diteliti. Pengambilan titik ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni biaya, waktu, dan tenaga.


(53)

PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA UTAMA Curah Hujan Jaringan sungai Tingkat Ketinggian Jenis Tanah Jenis Vegetasi Peta Tingkat Kelerengan Pembuatan Data Spasial Curah Hujan Pembuatan Data Spasial Jaringan Pembuatan Data Spasial Topografi Pembuatan Data Spasial Jenis Tanah Pembuatan Data Spasial Jenis Vegetasi Pembuatan Data Spasial Kelerengan Citra Landsat TM Klasifikasi Supervised Peta curah hujan Peta Jaringan sungai Peta Tingkat Ketinggian Peta Jenis Tanah Peta Jenis Vegetasi Tingkat Kelerengan

Peta Land Use

Skoring dengan AHP

Weighted Overlay

Pengklasifikasian nilai-nilai rawan banjir

Peta Rawan Banjir

Ground Check

MULAI

Adapun tahapan dari penelitian ini disajikan dalam gambar berikut :

Tidak

Ya


(54)

(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembobotan Variabel Indikator Banjir

Pembobotan variabel–variabel indikator banjir dilakukan dengan menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP). Dalam metode ini responden yang diambil sebanyak 4 (empat) orang ahli. Pembobotan ini dibagi menjadi dua tahap yakni berdasarkan kriteria dan sub kriteria faktor utama penyebab banjir. Hasil skoring dari masing-masing ahli dianalisa dengan menggunakan Software Expert Choice baik berdasarkan kriteria maupun sub kriteria.

Hasil skoring dari masing-masing ahli baik berdasarkan kriteria maupun sub kriteria dibuat menjadi suatu matriks gabungan agar diperoleh rataan geometris dari setiap variabel. Dengan demikian, akan diperoleh vektor prioritas atau nilai bobot dari masing-masing variabel yang sesungguhnya. Matriks gabungan berdasarkan tingkat kriteria maupun sub kriteria dari masing-masing ahli dapat dilihat pada lampiran 1.

Hasil matriks gabungan berdasarkan tingkat kriteria faktor utama penyebab banjir menunjukkan bahwa, nilai vektor prioritas dari masing-masing variabel indikator banjir berbeda-beda seperti ditunjukkan pada gambar 4.


(56)

0 .2 6 1

0 .1 4 4 0 .1 3 9 0 .1 4 7 0 .1 1 5

0 .1 9 4

0 0 .0 5 0 .1 0 .1 5 0 .2 0 .2 5 0 .3

N ila i V e k t or Priorit a s

V a ria be l I ndik a t or Ba njir

Cura h huja n J e nis t a na h J e nis ve ge t a si T ingk a t k e le re nga n K e t inggia n t e m pa t J a ra k da ri sunga i

Gambar 4. Nilai Vektor Prioritas Matriks Gabungan Berdasarkan Kriteria.

Gambar 4 menunjukkan bahwa, faktor yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling besar adalah curah hujan, yakni sebesar 0,261. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan merupakan faktor utama yang memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi terjadinya banjir. Sedangkan variabel indikator banjir yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah ketinggian tempat, yakni sebesar 0.155.

Menurut Moehansya (2006), distribusi hujan sepanjang tahun sangat berpengaruh pada kondisi air yang terdapat di wilayah DAS. Curah hujan yang rendah dan tidak terdistribusi baik sepanjang tahun akan menyebabkan suplai air yang berfluktuasi. Proporsi banyaknya air hujan yang berubah menjadi air limpasan dinamakan dengan istilah koefisien runoff (KR). Semakin besar KR berarti semakin banyak air hujan yang mengalir di permukaan tanah sebagai air limpasan yang berpotensi sebagai sumber banjir. Sebaliknya semakin kecil KR semakin sedikit air hujan yang berubah menjadi air limpasan dan semakin kecil akan terjadi banjir.


(57)

0.055 0.087 0.121 0.326 0.411 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

N ilai V ektor Prioritas

Variabel Indikator Banjir

Hujan sangat ringan Hujan ringan Hujan normal Hujan lebat Hujan sangat lebat

0.11 0.054 0.085 0.098 0.652 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Nilai Vektor Prioritas

Variabel Indikator Banjir

Hidromorfik kelabu glei Latosol coklat Podsolik merah kekuningan Podsolik coklat kekuningan Podsolik, Litosol, Regosol

0.176 0.126 0.162 0.122 0.081 0.156 0.177 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18

N ilai V ekt or Priorit as

Variabel Indikator Banjir

Hutan Semak belukar Saw ah Pemukiman Kebun campuran Lahan kosong Badan air 0.049 0.097 0.148 0.286 0.419 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

N ila i V e k t or Priorit a s

Variabel Indikator Banjir

Datar (0-8 %) Landai (8-15%) Sedang (15-25%) Curam (25-40%) Sangat curam (> 40%)

0.099 0.252 0.331 0.318 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35

N ilai Vektor Prioritas

Variabel Indikator Banjir

Berombak (< 10 m) Berbukit sedang (10-50 m) Berbukit (50-300 m) Bergunung (> 300 m)

0.384 0.341 0.275 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 Nilai Vektor Prioritas

Variabel Indikator Banjir

0-200 m 200-400 m 400-600 m

Hasil matriks gabungan berdasarkan tingkat sub kriteria faktor utama penyebab banjir menunjukkan bahwa, nilai vektor prioritas dari masing-masing variabel indikator banjir berbeda-beda seperti ditunjukkan pada gambar 5.


(58)

Gambar 5 menunjukkan hasil matriks gabungan dari para ahli berdasarkan sub kriteria dari masing-masing variabel indikator banjir, yakni curah hujan, jenis tanah, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian tempat dan jarak dari sungai

(buffer). Untuk tingkat sub kriteria curah hujan, faktor yang memiliki nilai vektor

prioritas yang paling besar adalah curah hujan sangat lebat yakni sebesar 0,411. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang sangat lebat merupakan faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi banjir. Sedangkan faktor yang nilai vektor prioritasnya paling kecil adalah curah hujan sangat ringan yakni sebesar 0,055. Namun, rata-rata curah hujan yang terdapat di Daerah Aliran Sungai Deli masuk kedalam kriteria curah hujan ringan dengan nilai vektor prioritas sebesar 0,087.

Berdasarkan sub kriteria jenis tanah, Podsolik/ Litosol Regosol merupakan faktor yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling besar, yakni sebesar 0,652. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tanah ini memiliki pengaruh besar terhadap potensi banjir dibandingkan jenis tanah yang lainnya. Dimana jenis tanah ini umumnya peka terhadap erosi. Tingkat bahaya erosi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut mempunyai formasi kemiringan lereng besar. Dan jenis tanah yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah Latosol Coklat sebesar 0,054.

Menurut Moehansyah (2006), sifat-sifat tanah yang paling dominan berpengaruh pada terjadinya air limpasan/banjir adalah sifat fisik tanah berupa kemampuan infiltrasi yang sangat ditentukan oleh porositas dan permeabilitas tanah di sepanjang profil. Ketebalan profil tanah yang mampu mengalirkan air hingga ke batas yang kedap air atau ke permukaan air tanah (ground water level)


(59)

sangat menentukan besar kecilnya air limpasan. Semakin tebal solum tanah yang mampu dilewati air dengan baik akan memperbesar volume air hujan yang dapat diserap dan disimpan di dalam tanah sehingga mengurangi volume air yang akan berubah menjadi air limpasan.

Untuk tingkat sub kriteria penutupan lahan, dapat dilihat bahwa badan air yang terdiri dari sungai dan tambak merupakan faktor yang memiliki nilai vektor prioritas terbesar, yakni sebesar 0,177. Hal ini menunjukkan bahwa badan air memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi banjir. Dan Kebun Campuran merupakan faktor yang paling kecil nilai vektor prioritasnya, yakni sebesar 0,081.

Menurut Maryono (2005), perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan (diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir.

Berdasarkan sub kriteria tingkat kelerengan, dapat dilihat bahwa kelas kelerengan IV dengan persen kemiringan > 49 % (sangat curam) memiliki nilai vektor prioritas yang paling besar yakni sebesar 0.419. Hal ini menunjukkan bahwa kelas kelerengan IV merupakan faktor utama yang mempengaruhi potensi terjadinya banjir. Semakin curam kemiringan lahan suatu daerah maka semakin besar potensi terjadinya banjir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moehansyah (2006) , kemiringan lahan berpengaruh pada infiltrasi air yang jatuh di permukaan


(60)

tanah. Semakin miring lahan semakin kecil kesempatan infiltrasi karena pengaruh gravitasi. Sebaliknya semakin kecil kemiringan lahan peluang terjadinya infiltrasi semakin besar sehingga memperkecil terjadinya air limpasan. Dan kelas kelerengan yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling kecil adalah kelas kelerengan II dengan persen kemiringan 8–15 % (landai), yakni sebesar 0.097 .

Daerah berbukit dengan ketinggian 50 – 300 meter merupakan faktor yang memiliki nilai vektor prioritas paling besar berdasarkan sub kriteria tingkat ketinggian tempat, yakni sebesar 0,331.Dan faktor yang paling memiliki nilai vektor prioritas paling kecil adalah daerah berombak dengan ketinggian 0 – 10 meter yakni sebesar 0,099. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi potensi terjadinya banjir adalah pada ketinggian 50 – 300 meter.

Berdasarkan sub kriteria tingkat jarak dari sungai, dapat dilihat dilihat bahwa radius 0 – 200 meter merupakan faktor yang memiliki nilai vektor prioritas yang paling besar, yakni sebesar 0.384. Hal ini menunjukkan bahwa radius 0- 200 meter merupakan faktor yang sangat mempengaruhi besarnya potensi banjir. Sedangkan nilai vektor prioritas yang paling kecil berada pada radius > 600 meter dari sempadan sungai.

Variabel Indikator Banjir Penutupan lahan

Data penutupan lahan di Daerah Aliran Sungai Deli diperoleh dari hasil interpretasi citra Landsat 5 TM dengan menggunakan klasifikasi terbimbing

(supervised classification). Citra yang telah diklasifikasi secara supervised

kemudian diuji ketelitiannya dengan menggunakan metode maximum likelihood. Uji ketelitian dilakukan terhadap setiap kelas tutupan lahan yang diinterpretasikan


(61)

secara visual. Hasil analisis akurasi dari citra dapat dilihat pada lampiran 8. Dari hasil interpretasi tersebut, diperoleh 7 jenis tutupan lahan yang terdapat di Daerah Aliran Sungai Deli. Penutupan lahan di kawasan daerah Aliran Sungai Deli disajikan dalam tabel 8.

Tabel 8 Tipe Penutupan Lahan Hasil Olahan Citra di Daerah Aliran Sungai Deli

No. Vegetasi Luas (Ha) Skor Kelas Potensi Rawan Banjir

1. Hutan 3.655 0,176 III Rawan

2. Semak Belukar 2.547 0,126 II Sedang

3. Sawah 8.143 0,162 III Rawan

4. Pemukiman 5.374 0,122 II Sedang

5. Kebun Campuran 26.187 0,081 II Sedang

6. Lahan Kosong 2.187 0.156 IV Sangat Rawan

7. Badan Air 69 0,177 IV Sangat Rawan

Luas Total 48.162

Sumber: Citra Landsat 5 TM, 2006

Lahan berupa hutan dijumpai pada bagian hulu DAS yakni dari Sibolangit ke selatan dan dibagian pantai yakni di Hamparan Perak. Hutan dibagian hulu biasanya didominasi oleh jenis-jenis campuran, sedangkan hutan pantai didominasi jenis-jenis bakau. Hutan secara keseluruhan menempati lahan seluas 3.655 ha atau 7,59 % dari seluruh wilayah daerah Aliran Sungai deli. Dan lahan yang paling mendominasi di wilayah Daerah Aliran Sungai Deli adalah Kebun campuran seluas 26.187 ha atau 54 % dari seluruh wilayah Das.

Dari ketujuh tipe penutupan lahan tersebut 4 (empat) diantaranya berada di kelas III (tiga ) rawan banjir, yakni Hutan, Sawah, Lahan kosong dan Badan Air. Dan tipe penutupan lahan yang lainnya berada di kelas II (dua) rawan banjir, yakni Semak Belukar, Pemukiman dan Kebun Campuran. Sebaran penutupan lahan yang terdapat pada setiap kelas banjir disajikan pada tabel 9.


(62)

Tabel 9. Sebaran Penutupan Lahan Pada Setiap Kelas Banjir

Tabel 9 menunjukkan bahwa jenis penutupan lahan yang paling mendominasi pada daerah rawan adalah semak belukar, untuk daerah sedang didominasi oleh pemukiman, daerah sangat rawan didominasi oleh hutan dan daerah tidak rawan di dominasi oleh semak belukar. Peta Sebaran Penutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Deli dapat dilihat pada gambar 6.

Kelas Banjir

Jenis Penutupan Lahan

Total Badan Air Hutan Kebun

Campuran

Lahan

Kosong Pemukiman Sawah

Semak Belukar

Rawan 1532.338 1510.2 752.091 225.031 6708.374 1386.116 15465.418 27678.282 Sangat Rawan 0.37 3591.6 90.482 633.72 12.645 4361.53 Sedang 583.404 5.914 1690.484 246.912 7615.479 1467.331 4591.23 16275.058

Tidak Rawan 15.561 15.561


(63)

Gambar 6. Peta Sebaran Penutupan Lahan.


(64)

Jenis Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah (Gambar 6), di Daerah Aliran Sungai Deli terdapat 5 jenis tanah yang tersebar menurut fisiografinya, yakni yang berada di wilayah dataran dan wilayah perbukitan hingga pegunungan. Klasifikasi jenis tanah yang terdapat di daerah Aliran Sungai Deli disajikan pada tabel 10.

Tabel 10 Klasifikasi Tanah yang terdapat di Daerah Aliran Sungai Deli

No. Jenis Tanah Luas

(Ha) Skor Kelas

Potensi Rawan Banjir

1. Hidromorfik Kelabu Glei 22.688 0,110 II Sedang

2. Latosol Coklat 6.604 0,054 I Tidak Rawan

3. Podsolik Merah

Kekuningan 2.497 0,085 II Sedang

4. Podsolik Coklat

Kekuningan 11.307 0,098 II Sedang

5. Podsolik, Litosol,

Regosol 5.066 0,652 IV Sangat Rawan

Luas Total 48.162

Sumber : BPDAS Wampu-Sei Ular, 2003

Jenis tanah yang paling mendominasi di Daerah Aliran Sungai Deli adalah jenis Hidromorfik Kelabu Glei seluas 22.688 ha, diikuti Podsolik Coklat Kekuningan seluas 11.307 ha, Latosol Coklat seluas 6.604 ha, dan Podsolik, Litosol, Regosol seluas 5.066 ha . Sedangkan jenis tanah yang paling sedikit adalah Podsolik Merah Kekuningan seluas 2.497 ha.

Berdasarkan Tabel 8, terdapat 3 (tiga) jenis tanah di daerah Aliran Sungai Deli yang berada di kelas II (dua) rawan banjir, yakni Hidromorfik Kelabu Glei, Podsolik Merah Kekuningan dan Podsolik Coklat Kekuningan. Latosol Coklat


(65)

berada di kelas I (satu) dan Podsolik/ Litosol Regosol Berada dikelas rawan banjir IV (empat). Sebaran jenis tanah pada setiap kelas banjir disajikan pada tabel 11.

Tabel 11 Sebaran Jenis Tanah Pada Setiap Kelas Banjir

Tabel 11 menunjukkan bahwa jenis tanah yang mendominasi di setiap kelas banjir adalah Podsolik Coklat Kekuningan. Pada daerah rawan, jenis tanah yang paling mendominasi adalah Podsolik Coklat Kekuningan, daerah sangat rawan didominasi oleh Podsolik/Litosol/Regosol, daerah sedang didominasi oleh Hidromorfik Kelabu Glei dan daerah tidak rawan hanya terdapat jenis tanah Hidromorfik Kelabu Glei.

Kelas Banjir

Jenis Tanah

Total Hidromorfik

Kelabu Glei

Latosol Coklat

Podsolik, Litosol, Regosol

Podsolik Coklat Kekuningan

Podsolik Merah Kekuningan

Rawan 9923.779 4268.009 180.499 10919.679 2386.316 27678.282

Sangat Rawan 4349.674 11.856 4361.53

Sedang 13411.026 1646.598 633.419 584.015 16275.058

Tidak Rawan 15.561 15.561


(66)

Gambar 7. Peta Sebaran Jenis Tanah.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi yang berjudulPermodelan Spasial Daerah Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analitycal Hierarchy Process ini dapat selesai sebagaimana mestinya. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian – Universitas Sumatera Utara.

Tidak lupa Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nurdin Sulistiyono, S. Hut, M. Si dan Pindi Patana, S. Hut, M. Sc selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan- rekan yang telah banyak membantu penulis dalam melaksankn penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, , oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak yang membutuhkan.

Medan, Desember 2008


(2)

(3)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Karakteristik DAS Deli Letak dan luas DAS Deli

Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli terletak di Kabupaten Karo, Deli Serdang dan Kota Madya Medan, Propinsi Sumatera Utara. DAS Deli di sebelah timur berbatasan dengan DAS Percut, sedangkan di sebelah barat dengan DAS Belawan. DAS tersebut terdiri dari tujuh Sub DAS yakni Sub DAS Petani, Sub DAS Simai-mai, Sub DAS Deli, Sub DAS Babura, Sub DAS Bekala, Sub DAS Sei Kambing dan Sub DAS Paluh Besar.

Letak Sub DAS tersebut dalam DAS antara lain ; Sub DAS Petani terletak di hulu, yakni ujung selatan berbatasan langsung dengan DAS yang alirannya mengalir ke selatan. Sub DAS Simai-mai berada di bagian hulu sebelah timur Sub DAS Petani, berbatasan langsung dengan DAS Percut. Sub DAS Deli terletak di tengah berbatasan langsung dengan Sub DAS Simai-mai, DAS Percut dan Sub DAS Babura. Sub DAS Babura dijumpai di tengah berbatasan dengan Sub DAS Petani, Sub DAS Bekala, Sub DAS Deli dan Sub DAS Sei Kambing.

Morfologi DAS Deli Bentuk DAS

Bentuk DAS sebenarnya sukar untuk dinyatakan secara kuantitatif.Bentuk DAS dinyatakan dengan Rc (ratio circularity), yang mempunyai pengaruh pada


(4)

pola aliran sungai dan ketajaman puncak discharge banjir. Nilai Rc untuk DAS Deli dan Sub DAS-nya dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

Tabel 3 Nilai Rc DAS Deli

Sub DAS Luas (Ha) Perimeter (Hm) Nilai Rc

Sub DAS Petani 10.187 574,6041 0,38

Sub DAS Simai-mai 3.043 388,7168 0,25

Sub DAS Deli 8.469 1.084,7490 0,09

Sub DAS Babura 5.911 684,8300 0,16

Sub DAS Bekala 4.793 366,2962 0,45

Sub DAS Sei Kambing 4.415 385,7653 0,37 Sub DAS Paluh Besar 11.344 544,8278 0,48 DAS Deli 48.162 1.628,8790 0,23

Sumber : BPDAS Wampu- Sei Ular (2003)

Berdasarkan nilai Rc dari masing-masing Sub DAS dapat dilihat bahwa bentuk DAS cendrung memanjang. Secara keseluruhan DAS Deli memiliki nilai Rc sebesar 0,23 yang artinya bentuk DAS Deli adalah memenjang.

Panjang dan Kemiringan DAS Deli

Panjang dan kemiringan DAS Deli diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu kelas I (datar), kelas II (landai), kelas III (agak curam), kelasIV (curam), kelas V (sangat curam). Panjang dan kemiringan lereng DAS Deli tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 4 Luas dan Kemiringan DAS Deli

Kelas Lereng Luas (ha) Luas (%)

I < 5 % 32.581 67.65

II 5 – 15 % 7.445 15.46

II 15 – 35 % 6.273 13.03

IV 35 – 50 % 1.521 3.16


(5)

Penutupan Lahan atau Penggunaan Lahan

Penutupan lahan atau penggunaan lahan adalah aktivitas manusia atas lahan, yang ditunjukkan dengan adanya bentuk pemanfaatan oleh manusia seperti permukiman dan sebagainya. DAS Deli memiliki bentuk penggunaan lahan yang dapat dikelolmpokkan menjadi 12 kategori penutupan lahan. Lahan berupa hutan dijumpai pada bagian hulu DAS (Sibolangit ke selatan) dan di bagian pantai (Hamparan Perak). Hutan dibagian hulu biasanya didominasi oleh jenis-jenis campuran, sedang hutan pantai ditempati denmgan jenis-jenis bakau. Masing – masing jenis dan luas penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5 Penggunaan Lahan DAS Deli

Kelas Luas (Ha) Luas (%)

Hutan 3.655 7,59

Belukar 2.068 4,29

Kebun rakyat 285 0,59

Perkebunan 2.284 4,74

Sawah 8.143 16,91

Tanaman Campuran 16.154 33,54

Tegalan 1.836 3,81

Perkebunan Tembakau 5.628 11,69

Alang-alang 479 0,99

Rawa 69 0,14

Pemukiman 5.374 11,16

Lain-lain 2.187 4,54

Jumlah DAS Deli 48.162 100

Sumber : BPDAS Wampu- Sei Ular (2003)

Geomorfologi

Kondisi geomorfologi DAS Deli dideskripsikan dengan menunjukkan sebaran ketinggian tempat. Berdasarkan bentuk topografi, geomorfologi wilayah


(6)

DAS Deli terdiri atas bentuk yang bervariasi, seperti disajikan pada tabel 4 berikut ini :

Tabel 6 Geomorfologi DAS Deli

Ketinggian tempat Luas (ha) Persentase (%)

< 10 m (berombak) 8.782 18,23

10 – 50 m (berbukit sedang) 19.478 40,44

50 -300 m (berbukit) 10.536 21,88

> 300 m (bergunung) 9.366 19,45

Jumlah 48.162 100

Sumber : BPDAS Wampu- Sei Ular (2003)

Jenis Tanah

Berdasarkan peta tanah DAS Deli terdapat jenis tanah yang tersebar menurut fisiografinya, yaiutu yang berada di wilayah daratan dan yang terdapat diwilayah perbukitan hingga pegunungan. Peta tanah daerah DAS Deli didominasi oleh jenis hidromorfik kelagu glei seluas 22.688 Ha (47,11 %) dan podsolik coklat kekuningan seluas 11.307 Ha (23,48 %). Penyebaran pada wilayah DAS Deli dapat dilihat pada tebel berikut :

Tabel 7 Jenis Tanah pada DAS Deli

Jenis Tanah Luas (ha) Persentase (%)

Hidromorfik Kelabu Glei 22.688 47,11

Latosol Coklat 6.604 13,71

Podsolik Merah Kuning 2.497 5,18

Podsolik Coklat Kekuningan 11.307 23,48

Podsolik,Litosol,Regosol 5.066 10,52

Jumlah 48.162 100