Tinjauan Pedagang Kaki Lima

pemberontakan. Menurut Scott 1993:235 bentuk perlawanan ini bersifat impresif, jangka ketahanan puluhan atau ratusan tahun, jumlah orang yang terlibat selama jangka waktu itu juga jauh melampaui jumlah mereka yang terlibat dalam gerakan sosial tertentu.

2.2. Tinjauan Pedagang Kaki Lima

McGee dan Y.M Young dalam Hodri, 2011: 8 memberikan definisi terhadap pedagang kaki lima sebagai, “The people who offers goods or service for sale f rom public place, primarily streets and pavment.” Definisi tersebut berarti bahwa pedagang kaki lima merupakan orang yang menawarkan barang dan jasa di ruang publik untuk dijual, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Sementara itu, BAB 1, pasal 1, ayat 7 pada Peraturan Daerah Tentang Pedagang Kaki Lima Kabupaten Jember menyebutkan bahwa pedagang kaki lima yang selanjutnya disebut PKL adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dan bersifat sementara di fasilitas umum, dengan menggunakan sarana berdagang yang mudah dibongkar pasang dan dipindahkan. Lebih lanjut, Bromley dalam Hodri, 2011: 9 menjelaskan bahwa pedagang kaki lima dalam memilih lokasi bagi aktivitas usahanya akan berusaha untuk selalu mendekati pasar atau pembeli agar barang atau jasa yang mereka jual lebih mudah dijumpai dan dapat terlihat oleh pembeli atau konsumennya. Mengenai ciri-ciri dari pedagang kaki lima, Chandrakirana, Kamala dan Isono Sadoko dalam Hodri, 2011: 10 menjabarkan sebagai berikut: 1. Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen; 2. Mendapatkan pasokan barang dagangan dari berbagai sumber seperti produsen, pemasok, toko pengecer maupun PKL sendiri; 3. Pada umumnya berperan sebagai pengusaha yang mandiri; 4. Berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda, dan secara gelar di pinggir-pinggir jalan, atau di muka toko yang dianggap strategis; 5. Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen sarana usahanya; 6. Pada umumnya memperkerjakan anggota keluarganya sendiri untuk membantu; 7. Kebanyakan pedagang menjalankan usahanya tanpa izin; 8. Rendahnya biaya operasional usaha pedagang kaki lima; 9. Cara pembayaran bahan mentah atau barang dagangan secara kontan; 10. Bebas menentukan waktu usahanya atau tidak mengenal pembatasan waktu usaha. Asiyah 2012 menyatakan bahwa gambaran negatif selalu dikaitkan dengan para PKL, seperti tidak teratur dan kotor,dan tidak bisa diatur karena mereka biasanya berjualan di mana pun mereka suka. Keberadaan PKL tidak dapat dilepaskan dari kenyataan ketidakmampuan sektor formal untuk menyerap para tenaga kerja yang tersedia. Hal ini disebabkan karena jumlah lapangan kerja di sektor formal jauh lebih terbatas dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Kondisi ini mengakibatkan para tenaga kerja yang tidak terserap ke dalam sektor formal cenderung beralih ke sektor informal, salah satunya adalah dengan menjadi pedagang kaki lima PKL. Asiyah 2012 menyatakan bahwa dari berbagai kajian menunjukkan bahwa sektor informal seperti menjadi PKL tampaknya merupakan piliha n paling riil dan “menjanjikan” bagi masyarakat migran, di mana selain tidak dibutuhkan syarat-syarat yang rumit, juga dianggap lebih menguntungkan dan bebas dalam bekerja. Tidak jauh berbeda dengan kota-kota di Indonesia lainnya, di Kabupaten Jember juga banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi pedagang kaki lima PKL. Hermawan 2008:3 menyatakan bahwa terdapat sekitar 893 PKL yang menggelar barang dagangannya di kawasan ini. Pedagang kaki lima ini memiliki jenis-jenis barang dagangan yang dapat berbeda antara satu pedagang dengan pedangan lainnya. Dalam hal ini, pedagang kaki lima tersebut ada yang berjualan makanan, minuman, mainan anak-anak, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedagang Kaki Lima Kabupaten Jember disebutkan bahwa dalam perkembangannya, pedagang kaki lima di kawasan perkotaan Kabupaten Jember telah menggunakan bahu jalan, trotoar atau fasilitas umum yang dapat menimbulkan gangguan ketentraman, ketertiban, kebersihan lingkungan, dan kelancaran lalu lintas sehingga perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terarah agar tercipta ketertiban sosial.

2.3. Tinjauan Perlawanan Tersembunyi