Mechanical Milling Pengaruh Waktu Dry Mechanical Milling dan Heat Treatment Terhadap Mikrostruktur, Densitas dan Sifat Magnet dari NdFeB

yang melakukan fungsi magnetisasi itu. Vektor intensitas medan magnetik H yang melakukan fungsi magnetisasi itu harus memenuhi syarat harga yang sama atau lebih besar daripada harga jenuh H bahan ferromagnetik, yang dapat diamati dari kurva B-H histeresisnya. Hubungan B, H, dan M ditunjukkan oleh persamaan berikut ini: B = µH = µ µ r H = µ 1+χ m H ..................................... 2.4 Atau = H + χ m H = H + M ..................................................... 2.5 Vektor magnetisasi: M = χ m H .......................................................................... 2.6 Dimana χ m = suseptibilitas magnetik = µ r – 1, tidak memiliki dimensi, dan µ r adalah permeabilitas relatif bahan tidak memiliki dimensi. Nilai suseptibilitas magnetik suatu bahan dipengaruhi oleh suhu. Untuk bahan – bahan ferromagnetik, suseptibilitas magnetiknya adalah fungsi temperatur absolut T Kelvin yang ditunjukkan oleh persamaan berikut, yang dinamakan juga relasi Curie-Weiss. ....................................................................... 2.7 Dimana: C = konstanta Curie = µ = permeabilitas vakum = 1,257 µ Hm. N = konstanta Avogadro. Rustam Effendi, 2007

2.8 Mechanical Milling

Mechanical milling atau dipendekkan menjadi milling adalah proses penghalusan atau penghancuran bahan dengan menggunakan energi mekanik dari tumbukan antara bola – bola atau rod – rod milling dengan jar milling. Dalam mechanical milling serbuk akan di campur dalam suatu chamber ruangan dan dikenai energi agar terjadi deformasi yang berulang- ulang sehingga akan terjadi partikel – partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari tumbukan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk yang berbeda juga, untuk bahan yang ulet sebelum terjadi fracture akan menjadi Universitas Sumatera Utara flat atau pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung terjadi fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. Khoiriana,et al. 2003. Ada beberapa variabel yang mempengaruhi proses milling , antara lain: Gambar 2.8. Faktor yang Mempengaruhi Proses Milling. Campbell and Kaczmarek, 1996

2.8.1 Faktor yang Mempengaruhi Proses Mechanical Milling

2.8.1.1 Kecepatan Milling

Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball mill semakin cepat, maka energi yang di hasilkan juga akan semakin besar. Tetapi di samping semua itu, design dari milling ada pembatasan kecepatan yang harus di lakukan. Sebagai contoh pada planetary ball mill, meningkatkan kecepatan akan mengakibatkan bola yang ada di dalam chamber juga akan semakin cepat pergerakannya, tenaga yang di hasikan juga besar. Tetapi jika kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga bola – bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya impact. Jadi sebaiknya menggunakan kecepatan di bawah kecepatan kritisnya sehingga bola dapat jatuh dan menghasilkan tenaga impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu yang di butuhkan untuk mencapai hasil yang di inginkan. Pada penelitian ini akan digunakan Conventional Milling dengan kecepatan 700 rpm untuk menghaluskan serpihan flakes untuk menghasilkan serbuk NdFeB dengan metode dry milling dengan kondisi inert. Universitas Sumatera Utara

2.8.1.2 Grinding Medium Ukuran Bola

Ukuran dari bola juga mempengaruhi efisiensi dari proses milling. Ukuran yang besar dan density yang tinggi pada suatu bola akan menghasilkan energi impact yang besar. Bentuk akhir dari serbuk setelah di lakukan milling juga dipengaruhi oleh ukuran ball mill itu sendiri. Bola yang besar maka kemungkinan adanya kontaminan akan semakin besar, walaupun energi yang akan dihasilkan juga besar tapi bagian bola yang akan menumbuk serbuk akan semakin kecil luasnya. Sedangkan jika menggunakan bola kecil semua maka energi yang dihasilkan juga kecil, tapi proses milling bisa lebih maksimal. Kaloshkin 1997 mengungkapkan bahwa untuk memaksimalkan proses milling salah satunya adalah dengan menggunakan ukuran bola yang berbeda – beda. Tetapi ada batasan dalam mengkombinasi bola tersebut, jika perbedaan bola besar dan bola yang kecil terlalu besar maka di khawatirkan bola yang besar akan menghancurkan bola yang kecil.

2.8.1.3 Waktu

Milling Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting untuk proses milling. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepat antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan memadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe mill yang digunakan, pengaturan milling, intensitas milling, dan temperatur pada milling. Pada umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi dan jangka waktu lama ketika dengan energi milling yang rendah. Khoiriana,et al. 2003. Namun, tingkat dari kontaminasi akan bertambah karena waktu milling dan beberapa fasa yang tak terduga mungkin terbentuk jika serbuk dimilling terlalu lama. P.Balaz, 2008.

2.8.1.4 Milling Atmosfer

Jenis atmosfir juga mempengaruhi fasa akhir yang terbentuk. Pada Cr-Fe serbuk saat di milling menggunakan atmosfir, tidak ada fasa amorphouse yang terbentuk Universitas Sumatera Utara dan ketika serbuk dimilling dengan selain argon dan nitrogen atmosfir, terbentuk fasa amorphous sepenuhnya.

2.8.1.5 Temperatur

Milling Temperatur juga merupakan faktor yang cukup penting. Karena dapat mempengaruhi dalam proses milling tersebut. Ada beberapa cara untuk melakukan beberapa variasi temperatur, misalnya dengan menggunakan nitrogen cair untuk menghasilkan temperatur yang dingin dan menggunakan pemanas untuk temperatur yang cukup tinggi. Temperatur milling mempengaruhi tingkat struktur nanocristalline yang terbentuk. Milling pada temperatur yang lebih rendah dapat menimbulkan cacat yang disebabkan oleh deformasi plastis yang berkaitan dengan thermal recovery, kerapatan dislokasi yang lebih tinggi dan oleh karena itu ukuran butir yang diperoleh dapat lebih halus. Khoiriana,et al. 2003.

2.8.2 Gas Inert N

2 Secara keseluruhan gas yang ada di bumi, gas Nitrogen N 2 merupakan gas inert yang paling umum. Nitrogen tersedia di atmosfir sebesar 78,9 beserta oksigen 20,9, argon 0,9 dan gas – gas lainnya 0,1.

2.8.2.1 Produksi Nitrogen

Nitrogen diproduksi terutama melalui proses destilasi fraksional dari udara cair. Udara bebas dikompresi dan didinginkan hingga menjadi cairan. Cairan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kolom destilasi dan tiga komponen utama akan dipisahkan yaitu: nitrogen, oksigen dan argon. Instalasinya disebut ASUs Air Separation Units. Hasilnya adalah kemurnian nitrogen yang tinggi dengan volume besar. Adapula metode lain dalam memproduksi nitrogen yaitu metode adsorpsi dan difusi pemisahan, tetapi kualitas nitrogen yang dihasilkan lebih rendah dan tingkat produksi jauh lebih lama. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9. Pembuatan Nitrogen Cair pada Temperatur Ruang Courtesy AGA Nitrogen kemudian dipindahkan ke sebuah silinder dengan tekanan gas 150 – 300 bar atau dalam bentuk cair yang disebut “Dewars” yang sangat terisolasi dalam wadah Stainless Steel.

2.8.2.2 Kegunaan Nitrogen

Nitrogen digunakan terutama sebagai gas inert karena dapat melindungi material yang berpotensi reaktif terhadap oksigen O 2 . Meskipun dalam kondisi tertentu adanya kemungkinan nitrogen dapat bereaksi dengan beberapa material akan tetapi secara umum nitrogen dianggap sebagai gas inert yang efektif dan murah dibandingkan dengan gas inert lainnya seperti argon dan helium yang lebih mahal. Dalam bentuk liquid pada titik didih biasanya digunakan sebagai pendingin karena dapat menyerap panas dalam jumlah besar ketika terevaporasi dan juga pada kegunaan inertnya. Sumber: www.wilhelmsen.com Berikut ini spesifikasi dari Nitrogen adalah sebagai berikut: Tabel 2.3. Spesifikasi gas nitrogen sumber: www.uigi.com nitrogenhtml Universitas Sumatera Utara

2.9 Proses Kompaksi