Pengaruh Waktu Dry Mechanical Milling dan Heat Treatment Terhadap Mikrostruktur, Densitas dan Sifat Magnet dari NdFeB

(1)

PENGARUH WAKTU DRY MECHANICAL MILLING DAN HEAT

TREATMENT TERHADAP MIKROSTRUKTUR, DENSITAS DAN

SIFAT MAGNET DARI NdFeB

SKRIPSI

WILLIAM

110801057

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PENGARUH WAKTU DRY MECHANICAL MILLING DAN HEAT

TREATMENT TERHADAP MIKROSTRUKTUR, DENSITAS DAN

SIFAT MAGNET DARI NdFeB

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar

Sarjana Sains

WILLIAM

110801057

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Pengaruh Waktu Dry Mechanical Milling dan Heat Treatment Terhadap Mikrostruktur, Densitas dan

Sifat Magnet dari NdFeB

Kategori : Skripsi

Nama : William

Nomor Induk Mahasiswa : 110801057

Program Studi : Sarjana (S1) Fisika

Departemen : Fisika

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juli 2015

Disetujui Oleh

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing,

Ketua,

Dr. Marhaposan Situmorang Drs. Herli Ginting, MS. NIP. 195510301980031003 NIP : 195505191986011001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH WAKTU DRY MECHANICAL MILLING DAN HEAT TREATMENT TERHADAP MIKROSTRUKTUR, DENSITAS DAN SIFAT

MAGNET DARI NdFeB

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2015

WILLIAM 110801057


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan studi selama perkuliahan dengan lancar dan dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “PENGARUH

WAKTU DRY MECHANICAL MILLING DAN HEAT TREATMENT

TERHADAP MIKROSTRUKTUR, DENSITAS DAN SIFAT MAGNET DARI NdFeB”. Yang dilaksanakan di Laboratorium Magnet, Pusat Penelitian Fisika (P2F) LIPI Gedung 440, Serpong, Tangerang Selatan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Skripsi ini disusun sebagai syarat akademis dalam menyelesaikan studi program sarjana (S1) Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini banyak sekali bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada:

1. Kedua orang tua saya yang tersayang Ayahanda Anton dan Ibunda Sui Ling yang tulus menyayangi penulis serta terus menerus memberikan nasihat, mendoakan, memotivasi serta dorongan materi maupun moril terhadap penulis. Dan kepada yang tersayang Abang Wilson, S.P. dan adik Julia Sutanti, serta keluarga besar penulis yang berjasa besar kepada penulis. Kepada saudara/i internal maupun eksternal penulis yang telah banyak memberikan kontribusi dan dukungan kepada penulis hingga akhirnya telah menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr.Sutarman M.Sc selaku Dekan Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Bapak Dr. Marhaposan Situmorang selaku ketua Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.


(6)

4. Bapak Ir.Muljadi,M.Si dan Bapak Herli Ginting, M.S. serta Bapak Tuaraja,S.Si., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Bambang Widyatmoko, M.Eng. , selaku Kepala Pusat Penelitian Fisika P2F LIPI Serpong.

6. Bapak Prof. Pardamean Sebayang, Bapak Prof. Masno Ginting dan Bapak Pontas Sinaga selaku pembimbing lapangan sekaligus senior Fisika FMIPA USU yang membantu penulis dan telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Drs.Aditya Warman, M.Si. selaku dosen wali penulis selama mengikuti perkuliahan.

8. Seluruh Staff dosen, Pembantu Dekan, Pegawai Tata Usaha Departemen Fisika FMIPA Universitas Sumatera Utara.

9. Ibu Jamillah (Ibu Emil) dari BATAN yang telah memberikan bimbingan singkat kepada penulis yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

10.Sahabat sahabat terdekat selama kuliah, WWRHP (William-Wahyu-Russell-Henni-Putri).

11.Kepada Mas Eko Arief selaku operator Lab. dan teman teman seperjuangan di Laboratorium Magnet, Kak Arjuna, Kak Devi, Henni Setia Ningsih, Wahyu Solafide, adik adik PKL dari UNILA Indah Retno, Jennifer, Anggun, serta teman – teman 2011 di LIPI, Trisno F. Manurung, Widya Susanti, Lilis Sagita, Nensi, Tabita, Inten, Trimala Sari, Elma Riska, Wiriya Sasmita, Intan Zahar, Parasian, Hendra Damos, Nova, Desi, Bambang, Khairuddin. Teman – teman seperjuangan di BATAN, Putri Astari Rahmy, Prahmadyana dan Sri Handika.

12.Teman – teman Physics Prolix (2011) yang telah memberikan kesan dan kenangan selama masa perkuliahan.

13.Staff Ahli Lab. Fisika Komputasi Bang Johaidin Saragih, M.Si. serta Asisten Laboratorium Fisika Komputasi dan kader – kadernya : Kartika Ermawan, Jan Putra, Yudha Prs, Rini T Devi, Julfriwin, Juli Eka, Jacky.


(7)

14.Seluruh adik – adik FISIKA USU stambuk 2012 (Lyana,Niko,dkk), 2013 (Andi,Gibson,dkk) dan 2014 (Andrian,dkk).

15.Seluruh teman – teman di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan serta kepada mereka yang tidak tersebutkan namanya yang telah mendukung penulis, saya ucapkan terima kasih.

Penulis juga mengharapkan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini apabila terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan , Juli 2015


(8)

PENGARUH WAKTU DRY MECHANICAL MILLING DAN HEAT TREATMENT TERHADAP MIKROSTRUKTUR, DENSITAS DAN SIFAT

MAGNET DARI NdFeB

ABSTRAK

Telah dilakukan proses penghalusan serpihan NdFeB dengan menggunakan

conventional ball mill dengan menggunakan metode dry milling dalam atmosfir

gas inert dengan menggunakan gas Nitrogen (N2) saat proses milling berlangsung. Bahan yang digunakan adalah serpihan NdFeB. Waktu milling yang menjadi

parameter penelitian divariasikan selama 8 jam, 16 jam, 24 jam dan 48 jam. Kemudian serbuk NdFeB diukur diameter partikel serbuk dengan PSA, analisis struktur kristal dengan XRD, pengamatan mikrostruktur dengan SEM-EDX dan kurva histeresis dengan VSM. Untuk pengujian densitas, sifat magnetik (fluks density) dan kurva B-H dengan Permagraph dilakukan pada sampel berbentuk

pelet. Sampel dalam bentuk serpihan yang telah dimilling dengan berbagai variasi

waktu milling, dicetak dengan gaya 7 tonf selama 2 menit, dan dengan

ditambahkan bahan perekat celuna sebanyak 3 wt%, hingga membentuk pelet dengan diameter ±1,6 cm. Selanjutnya sampel pelet di heat treatment selama 1

jam pada suhu 110ᵒC , 150ᵒC dan 170ᵒC. Sampel pelet kemudian dicoating

dengan sirlak. Kemudian, sampel pelet diukur densitasnya dengan menggunakan jangka sorong. Sampel pelet yang telah dilakukan heat treatment, dimagnetisasi

dengan impulse magnetizer pada tegangan 1500V DC. Sampel pelet yang telah

dimagnetisasi diukur fluks density menggunakan Gaussmeter. Dari nilai densitas

fluks magnet sampel, diperoleh sampel terbaik yaitu sampel hasil milling selama

48 jam pada suhu heat treatment 170ᵒC dan diperoleh fluks magnet sebesar 485,8

Gauss. Densitas tertinggi sebesar 5,740 gr/cm3 dan koersivitas pelet NdFeB yaitu 1,171 kOe dan BHmaks sebesar 0,62 MGOe.


(9)

EFFECT OF DRY MECHANICAL MILLING TIME AND HEAT TREATMENT ON MICROSTRUCTURE, DENSITY AND MAGNET

PROPERTIES OF NdFeB

ABSTRACT

Has been done smoothing process of NdFeB flakes using conventional ball mill by dry milling method within an inert gas atmosphere using Nitrogen gas (N2) while

milling process was held. The materials used were NdFeB flakes. Milling time which became the research parameter was varied for 8 hours, 16 hours, 24 hours and 48 hours. Then NdFeB powder particle diameter was measured by PSA, the crystal structure analysis by XRD, microstructure observation by SEM-EDX and the hysteresis curve by VSM. For density test, magnetic properties (flux density) and the BH-curve by Permagraph was done on pellet form samples. Sample in flakes form which has been milled with milling time variety, was pressed with 7 tonf force for 2 minutes and with added adhesive celuna as much as 3 wt% up to become pellets form with a diameter ±1.6 cm. Further the pellet samples were given heat treatment for 1 hour at temperature 110ᵒC, 150ᵒC and 170ᵒC. Pellet samples were then coated with sirlak. Then the pellet samples density was measured using a caliper. Pellet samples that have been done heat treatment, were magnetized with the impulse magnetizer in 1500V DC voltage. Pellet samples that have been magnetized , flux density was measured using a Gaussmeter. From the magnetic flux density sample value, the best sample that obtained was the sample in milling time for 48 hours at heat treatment temperature was 170ᵒC and obtained magnetic flux density at 485.8 Gauss. The highest density at 5.74 g / cm3 and NdFeB pellet coercivity are 1.171 kOe and BHmax 0.62 MGOe.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Isi viii

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Batasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Tempat dan Waktu Penelitian 4

1.7 Sistematika Penulisan 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Pengertian Magnet 6

2.2 Bahan Magnetik 6

1. Bahan Diamagnetik 7

2. Bahan Paramagnetik 8

3. Bahan Ferromagnetik 8

4. Bahan Anti Ferromagnetik 10

5. Bahan Ferrimagnetik 10

2.3 Domain 11

2.4 Klasifikasi Magnetik Material 12

2.4.1 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras 12

2.5 Histeresis Magnet 13

2.6 Magnet Permanen 15

2.6.1 Magnet Permanen NdFeB 17

2.6.2 Struktur Kristal Magnet NdFeB 17

2.6.3 Sifat Fisis Magnet NdFeB 18

2.6.4 Karakterisasi Magnet NdFeB Terhadap Temperatur 19 2.6.5 Proses Fabrikasi Magnet Permanen NdFeB 19

2.7 Sifat Magnetik Material 19

2.7.1 Suseptibilitas Magnetik 19

2.7.2 Magnetisasi 20

2.8 Mechanical Milling 21


(11)

2.8.1.1 Kecepatan Milling 22

2.8.1.2 Grinding Medium (Ukuran Bola) 23

2.8.1.3 Waktu Milling 23

2.8.1.4 Milling Atmosfer 23

2.8.1.5 Temperatur Milling 24

2.8.2 Gas Inert 24

2.8.2.1 Produksi Nitrogen 24

2.8.2.2 Kegunaan Nitrogen 25

2.9 Proses Kompaksi 26

2.10 Heat Treatment 27

2.11 Karakterisasi 27

2.11.1 Particle Size Analyzer (PSA) 27

2.11.2 Densitas 29

2.11.3 Vibrating Sample Magnetometer (VSM) 30

2.11.4 X-Ray Diffractometer (XRD) 31

2.11.5 Scanning Electron Microscope (SEM) 33

2.11.6 Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDS) 35

2.11.7 Prinsip Kerja SEM-EDX 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 37

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 37

3.1.1 Tempat Penelitian 37

3.1.2 Waktu Penelitian 37

3.2 Alat dan Bahan 37

3.2.1 Alat 37

3.2.2 Bahan 39

3.3 Diagram Alir Penelitian 40

3.4 Variabel Eksperimen 41

3.4.1 Variabel Penelitian 41

3.4.2 Variabel Percobaan yang diuji 41

3.5 Prosedur Penelitian 41

3.5.1 Proses Milling 41

3.5.2 Pembuatan Sampel Uji Berbentuk Pelet 42

3.5.2.1 Pencampuran Bahan Baku 42

3.5.2.2 Proses Kompaksi 42

3.5.2.3 Heat Treatment 43

3.5.2.4 Proses Magnetisasi 43

3.6 Pengujian 43

3.6.1 Analisa Ukuran Partikel Serbuk Magnet NdFeB 43

3.6.2 Sifat Fisis 44

3.6.2.1 Analisa Densitas Sampel Pelet NdFeB 44 3.6.3 Analisa Struktur Kristal, Mikrostruktur dan Sifat Magnet 44 3.6.3.1 Analisa Struktur Kristal Serbuk Magnet NdFeB 44 3.6.3.2 Analisa Sifat Magnetik Serbuk Magnet NdFeB 45 3.6.3.3 Analisa Sifat Magnetik Sampel Pelet Magnet NdFeB 46 3.6.3.4 Analisa Densitas Fluks Magnetik Sampel Pelet Magnet 46 3.6.3.5 Pengamatan Mikrostruktur dan Komposisi Sampel 46


(12)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 48

4.1 Ukuran Diameter Partikel Serbuk Magnet NdFeB 48 4.2 Analisa Struktur Kristal dan Fasa Sampel Serbuk NdFeB 50 4.3 Pengamatan Mikrostruktur Sampel Pelet Magnet NdFeB 56 4.3.1 Analisis Komposisi Unsur dari Serbuk NdFeB 60

4.4 Hasil Pengujian Sifat Fisis 63

4.4.1 Hubungan Antara Densitas Pelet NdFeB dengan waktu milling 63

4.4.2 Hubungan Antara Densitas Pelet dengan Ukuran Butir 65

4.5 Hasil Pengujian Sifat Magnet 66

4.5.1 Pengujian Serbuk NdFeB dengan VSM 67

4.5.2 Hasil Pengujian Permagraph 68

4.5.3 Pengujian Densitas Fluks Magnetik Pelet Magnet NdFeB 69 4.5.3a Hubungan Pengujian Fluks Magnetik dengan Waktu Milling 70

4.5.3b Hubungan Pengujian Fluks Magnetik dengan Ukuran Butir 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 74

5.1 Kesimpulan 74

5.2 Saran 75


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Parameter kemagnetan beberapa bahan ferromagnetik 16

Tabel 2.2 Karakteristik Magnet NdFeB 18

Tabel 2.3 Spesifikasi Gas Nitrogen 25

Tabel 4.1Hasil Pengukuran PSA Serbuk NdFeB dengan metode Dry Milling. 48

Tabel 4.2 Tiga peak tertinggi hasil Rietveld Refinement hasil drymilling 8 jam 52

Tabel 4.3 Tiga peak tertinggi hasil Rietveld Refinement hasil drymilling 16jam 53

Tabel 4.4 Tiga peak tertinggi hasil Rietveld Refinement hasil drymilling 24jam 54

Tabel 4.5 Tiga peak tertinggi hasil Rietveld Refinement hasil drymilling 48jam 56

Tabel 4.6 Hasil Pengujian EDX Spektrum 1,2,3 dan 4. 62 Tabel 4.7 Hasil Pengujian Densitas Pelet NdFeB pada Tiap Temperatur Heat

Treatment Terhadap Waktu Milling. 63

Tabel 4.8 Hasil Pengujian Densitas Pelet NdFeB pada Tiap Temperatur Heat Treatment Terhadap Ukuran Butir. 65

Tabel 4.9 Hasil Pengujian VSM Sampel serbuk NdFeB tanpa milling dengan

dry milling 48 jam 67

Tabel 4.10 Hasil Pengujian Permagraph Sampel NdFeB dry milling 48 jam 68

Tabel 4.11 Hasil Pengujian Densitas Fluks Magnetik Sampel Pelet Magnet NdFeB pada Tiap Temperatur Heat Treatment Terhadap Waktu

Milling. 70

Tabel 4.12 Hasil Pengujian Densitas Fluks Magnetik Sampel Pelet Magnet NdFeB pada Tiap Temperatur Heat Treatment Terhadap Ukuran


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Skema (a) nikel paramagnetik dan (b) nikel ferromagnetik 9 Gambar 2.2 (a) Sepotong besi dengan domain – domain yang tersusun

acak. (b) Pada magnet, domain domain acak bisa diubah arahnya dengan proses magnetisasi. 11 Gambar 2.3 (a) ilustrasi medan magnet yang timbul di sekitar koil

tembaga (solenoid), (b) ilustrasi kuat medan magnet yang meningkat di sekitar solenoid jika diletakkan inti

besi pada bagian dalam solenoid 13 Gambar 2.4 Kurva B-H beberapa bahan inti magnet 13

Gambar 2.5 Kurva histerisis 14

Gambar 2.6 Histeresis material magnet (a) Material lunak, (b) Material

keras 14

Gambar 2.7 Struktur Kristal Nd2Fe14B 18

Gambar 2.8 Faktor yang Mempengaruhi Proses Milling 22

Gambar 2.9 Pembuatan Nitrogen Cair pada Temperatur Ruang 25 Gambar 2.10 Peralatan VSM (Vibrating Sample Magnetometer) 30

Gambar 2.11 Difraksi Sinar X suatu Kristal 32 Gambar 2.12 Scanning Electron Microscope (SEM) 34

Gambar 2.13 Skema EDX (Energy Dispersive X-Ray) 36

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian 40

Gambar 4.1 Percikan Api yang Timbul Saat Penyaringan Serbuk

NdFeB hasil Dry Milling. 49

Gambar 4.2 Grafik Hasil Pengukuran PSA Serbuk NdFeB Hasil Milling

dengan Metode Dry Milling 49

Gambar 4.3 Grafik Pola Difraksi Hasil Analisa XRD Serbuk NdFeB hasil dry milling selama 8 jam 51 Gambar 4.4 Grafik Pola Difraksi Hasil Analisa XRD Serbuk NdFeB

hasil dry milling selama 16 jam 52

Gambar 4.5 Grafik Pola Difraksi Hasil Analisa XRD Serbuk NdFeB

hasil dry milling selama 24 jam 53

Gambar 4.6 Grafik Pola Difraksi Hasil Analisa XRD Serbuk NdFeB

hasil dry milling selama 48 jam 54

Gambar 4.7 Hasil Foto Secondary Electron SEM Morfologi Sampel

Serbuk NdFeB dry milling 48 jam dengan perbesaran

(a) 500 x, (b) 1000 x ,(c) 2000 x dan (d) 5000 x. 55 Gambar 4.8 Hasil Foto Morfologi Serbuk NdFeB dengan Perbesaran

5000 x yang dihasilkan oleh (a) Secondary Electron dan

(b) Back Scattered Electron. 56

Gambar 4.9 Ukuran diameter partikel serbuk NdFeB dengan perbesaran

2000 x 57

Gambar 4.10 Ukuran diameter partikel serbuk NdFeB dengan perbesaran


(15)

Gambar 4.11 Hasil Pengamatan SEM pada Serbuk NdFeB dry milling

48 jam perbesaran 5000 x dengan penembakan pada 4 titik 59 Gambar 4.12 Grafik Hasil Pengujian EDX (a) Spektrum 1, (b) Spektrum 2,

(c) Spektrum 3, (d) Spektrum 4 61

Gambar 4.13 Hubungan antara Densitas Pelet NdFeB dengan Waktu

Milling dengan Metode Dry Milling 62

Gambar 4.14 Hubungan antara Densitas Pelet NdFeB dengan Ukuran

Butir dengan Metode Dry Milling 63

Gambar 4.15 Kurva histeresis antara NdFeB tanpa Milling dengan Dry

Milling 48 jam 65

Gambar 4.16 Kurva Histeresis Hasil Pengujian Sampel Pelet NdFeB dry milling selama 48 jam dengan Permagraph 66

Gambar 4.17 Hubungan antara Densitas Fluks Magnetik Pelet Magnet NdFeB dengan Waktu Milling dengan Metode Dry Milling 68

Gambar 4.18 Hubungan antara Densitas Fluks Magnetik Pelet Magnet NdFeB dengan Ukuran Butir dengan Metode Dry Milling 70


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peralatan dan Bahan Penelitian 80

Lampiran 2 Perhitungan Densitas Sampel Pelet NdFeB 82

Lampiran 3 Hasil Pengujian Permagraph 84

Lampiran 4 Hasil Pengamatan SEM EDX 85


(17)

PENGARUH WAKTU DRY MECHANICAL MILLING DAN HEAT TREATMENT TERHADAP MIKROSTRUKTUR, DENSITAS DAN SIFAT

MAGNET DARI NdFeB

ABSTRAK

Telah dilakukan proses penghalusan serpihan NdFeB dengan menggunakan

conventional ball mill dengan menggunakan metode dry milling dalam atmosfir

gas inert dengan menggunakan gas Nitrogen (N2) saat proses milling berlangsung. Bahan yang digunakan adalah serpihan NdFeB. Waktu milling yang menjadi

parameter penelitian divariasikan selama 8 jam, 16 jam, 24 jam dan 48 jam. Kemudian serbuk NdFeB diukur diameter partikel serbuk dengan PSA, analisis struktur kristal dengan XRD, pengamatan mikrostruktur dengan SEM-EDX dan kurva histeresis dengan VSM. Untuk pengujian densitas, sifat magnetik (fluks density) dan kurva B-H dengan Permagraph dilakukan pada sampel berbentuk

pelet. Sampel dalam bentuk serpihan yang telah dimilling dengan berbagai variasi

waktu milling, dicetak dengan gaya 7 tonf selama 2 menit, dan dengan

ditambahkan bahan perekat celuna sebanyak 3 wt%, hingga membentuk pelet dengan diameter ±1,6 cm. Selanjutnya sampel pelet di heat treatment selama 1

jam pada suhu 110ᵒC , 150ᵒC dan 170ᵒC. Sampel pelet kemudian dicoating

dengan sirlak. Kemudian, sampel pelet diukur densitasnya dengan menggunakan jangka sorong. Sampel pelet yang telah dilakukan heat treatment, dimagnetisasi

dengan impulse magnetizer pada tegangan 1500V DC. Sampel pelet yang telah

dimagnetisasi diukur fluks density menggunakan Gaussmeter. Dari nilai densitas

fluks magnet sampel, diperoleh sampel terbaik yaitu sampel hasil milling selama

48 jam pada suhu heat treatment 170ᵒC dan diperoleh fluks magnet sebesar 485,8

Gauss. Densitas tertinggi sebesar 5,740 gr/cm3 dan koersivitas pelet NdFeB yaitu 1,171 kOe dan BHmaks sebesar 0,62 MGOe.


(18)

EFFECT OF DRY MECHANICAL MILLING TIME AND HEAT TREATMENT ON MICROSTRUCTURE, DENSITY AND MAGNET

PROPERTIES OF NdFeB

ABSTRACT

Has been done smoothing process of NdFeB flakes using conventional ball mill by dry milling method within an inert gas atmosphere using Nitrogen gas (N2) while

milling process was held. The materials used were NdFeB flakes. Milling time which became the research parameter was varied for 8 hours, 16 hours, 24 hours and 48 hours. Then NdFeB powder particle diameter was measured by PSA, the crystal structure analysis by XRD, microstructure observation by SEM-EDX and the hysteresis curve by VSM. For density test, magnetic properties (flux density) and the BH-curve by Permagraph was done on pellet form samples. Sample in flakes form which has been milled with milling time variety, was pressed with 7 tonf force for 2 minutes and with added adhesive celuna as much as 3 wt% up to become pellets form with a diameter ±1.6 cm. Further the pellet samples were given heat treatment for 1 hour at temperature 110ᵒC, 150ᵒC and 170ᵒC. Pellet samples were then coated with sirlak. Then the pellet samples density was measured using a caliper. Pellet samples that have been done heat treatment, were magnetized with the impulse magnetizer in 1500V DC voltage. Pellet samples that have been magnetized , flux density was measured using a Gaussmeter. From the magnetic flux density sample value, the best sample that obtained was the sample in milling time for 48 hours at heat treatment temperature was 170ᵒC and obtained magnetic flux density at 485.8 Gauss. The highest density at 5.74 g / cm3 and NdFeB pellet coercivity are 1.171 kOe and BHmax 0.62 MGOe.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan magnetik digunakan pada peralatan tradisional dan modern. Magnet permanen telah digunakan manusia selama lebih dari 5000 tahun seperti medium perekam pada komputer dan peralatan audio dan video. Dalam mendesain peralatan magnetik, seperti head perekam pada disk drive komputer atau

transformator dalam sistem tenaga, kita harus mengetahui besarnya eksitasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuatan medan magnet. (L.C.Shen, 2001).

Kebutuhan akan bahan magnet meningkat dengan pesat dalam beberapa dekade belakangan ini. Perkembangan yang dramatis di bidang magnet ini terjadi sejak ditemukannya bahan magnet permanen berbasis logam tanah jarang (rare earth permanent magnets) seperti NdFeB, RECo, dan REFeB. Saat ini bahan

magnet permanen digunakan secara luas dalam berbagai aplikasi untuk mengubah energi listrik menjadi energi mekanik atau sebaliknya. Tiga sifat penting yang menggambarkan kinerja magnet permanen adalah induksi magnetik remanens (Br), koersivitas (Hc), dan produk energi maksimum(BHmax). (E.Yuliati,2005).

Pada awalnya magnet permanen dibuat dari baja keras dan berbagai alloy,

misalnya ALNICO dari paduan logam Ni dan Co, kemudian berkembang dibuat dari bahan keramik atau ferit dari oksida-oksida logam misalnya: Feroxdure SrFe12O19 dan hexagonal ferit BaFe12O19. Bahan – bahan magnet tersebut memiliki kemampuan menghasilkan (BH)max 3-20 MGOe dan medan magnet koersifnya Hc sekitar 120 – 270. Kemudian pada tahun dua ribuan negara maju mulai memanfaatkan bahan tanah jarang (Sm, Pd, Nd) sebagai bahan baku magnet permanen, yang kemudian dikenal magnet tanah jarang, misalnya magnet Sm – Co dan magnet Nd-Fe-B.

Magnet permanen sistem Neodymium Iron Boron (Nd-Fe-B) memiliki keunggulan dibandingkan yang lainnya, yaitu memiliki energi produk maksimum atau (BH)max yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tipe magnet permanen sebelumnya. (M.Ginting, 2006).


(20)

Perkembangan magnet permanen saat ini sangat difokuskan untuk magnet permanen energi tinggi. Salah satu bahan magnet permanen yang dapat menghasilkan energi tinggi tersebut adalah dari jenis Re-Fe-B (Re = Nd, Pr).

Magnet permanen berjenis Re-Fe-B ini terbuat dari paduan logam tanah jarang berjenis Neodymium atau Praseodymium, logam Besi, dan Boron dengan fasa magnet Nd2Fe14B atau Pr2Fe14B yang memiliki struktur kristal tetragonal. Kelebihan lain dari magnet permanen berbasis Re-Fe-B ini adalah memiliki Induksi magnet saturasi yang tinggi mencapai 1,6 T atau 16 kG, dengan induksi remanensi tertinggi saat ini mencapai 1,53 T atau 15,3 kG dalam bentuk sintered magnet. (C.Kurniawan, 2013).

Magnet permanen jenis RE-Fe-B (RE = Nd, Pr) hingga saat ini merupakan jenis magnet permanen yang memiliki kualitas terbaik dengan energi produk yang mencapai 55 MGOe. Namun demikian, selain memiliki sifat magnet terbaik tersebut, magnet berbasis RE-Fe-B tersebut memiliki kekurangan diantaranya adalah temperatur Curie yang rendah dan rentan teroksidasi sehingga mudah terkorosi. Rendahnya ketahanan korosi tersebut disebabkan adanya fasa RE-Rich

yang ada di batas butir (grain boundaries) dan merupakan zat aktif yang dapat

bereaksi dengan oksigen pada lingkungan yang humid. (C.Kurniawan,2013).

Magnet Neodymium Iron Boron (NdFeB) adalah magnet bumi yang terbuat dari paduan unsur Neodymium, Besi dan Boron untuk membentuk struktur kristal tetragonal Nd2Fe14B. Dikembangkan pada tahun 1982 oleh General Motors dan Sumitomo Special Metals, magnet NdFeB adalah magnet permanen paling

kuat yang dibuat. (Fraden,2010).

Magnet permanen Neodymium-Iron-Boron (NdFeB) selalu menarik banyak perhatian sejak ditemukan pada 1980-an karena kinerjanya yang sangat baik. (J.Jin-Yun, 2014). Sehingga teknologi magnet untuk menghasilkan material magnetik dengan kualitas tinggi sangat ditentukan oleh teknologi proses materialnya pula. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pembuatan magnet ini karena magnet NdFeB memiliki kelebihan karena memiliki gaya tarik yang sangat tinggi antara kutubnya dan sangat menguntungkan.


(21)

Disamping itu, terdapat beberapa keunggulan dari sintered magnet antara

lain: produksi energi maksimum untuk ukuran magnet, induksi magnet remanen (Br) kuat, dan densitas yang lebih baik daripada bonded magnet. (Steve,2006).

Dalam memenuhi kebutuhan magnet permanen, pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan magnet permanen sintered NdFeB dengan metode dry milling dalam keadaan gas inert (gas N2) mengingat bahwa gas inert merupakan gas yang tidak reaktif atau tidak mudah bereaksi sehingga dapat mencegah terjadinya oksidasi dari lingkungan. NdFeB yang digunakan dalam bentuk Raw Material yang belum memiliki sifat magnetik. Proses dry milling dilakukan

dengan memvariasikan waktu milling process untuk mendapatkan induksi

magnetik (B) tertinggi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebelumnya, maka penulis merumuskan beberapa hal yang menjadi masalah dalam penelitian ini, diantaranya:

1. Bagaimana pengaruh variasi waktu terhadap proses milling sampel NdFeB

dengan atmosfir gas inert (gas N2).

2. Bagaimana pengaruh waktu maksimal terhadap hasil milling dengan

menggunakan metode dry milling.

3. Bagaimana pengaruh metode dry milling terhadap mikrostruktur dan sifat

magnet NdFeB setelah proses milling.

1.3 Batasan Masalah

Adapun yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Bahan baku NdFeB yang digunakan semula dalam bentuk serpihan kecil (Raw Material ) yang kemudian dimilling menjadi serbuk NdFeB.

2. Gas inert yang digunakan saat proses milling adalah gas Nitrogen (N2). 3. Salah satu variabel utama yang mempengaruhi mikrostruktur dan sifat

fisis serta magnetik dari sampel adalah waktu milling. Dalam penelitian

ini dilakukan variasi waktu milling yaitu 8 jam, 16 jam, 24 jam dan 48 jam


(22)

4. Parameter – parameter yang dianalisa antara lain : analisa ukuran partikel serbuk NdFeB menggunakan PSA (Particle Size Analyzer), analisa sifat

magnetik sampel NdFeB dengan menggunakan Gaussmeter, Vibrating Sample Magnetometer (VSM) dan Permagraph, analisa struktur kristal

serbuk NdFeB dengan menggunakan XRD (X-Ray Diffracometer) dan

pengamatan struktur mikro serbuk NdFeB dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menguasai teknik preparasi serbuk serpihan NdFeB dengan cara dry milling process menggunakan media atmosfir gas N2.

2. Mengetahui pengaruh variasi waktu milling NdFeB dengan metode dry milling dalam kondisi gas inert terhadap ukuran partikel, mikrostruktur

dan sifat magnetiknya.

3. Mengetahui pengaruh suhu heat treatment terhadap kuat medan magnet

NdFeB (magnetic flux density).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Mendapatkan parameter-parameter proses preparasi serbuk NdFeB untuk pembuatan magnet sinter NdFeB.

2. Mengetahui teknologi pembuatan magnet permanen NdFeB secara umum. 3. Mengetahui hubungan antara ukuran partikel dengan sifat magnetik

NdFeB.

1.6 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Magnet, Pusat Penelitian Fisika LIPI Gd.440 Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Desa Setu, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Kode Pos 15310, Provinsi Banten, Indonesia.


(23)

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada masing – masing bab adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, batasan masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tempat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini akan membahas tentang landasan teori yang menjadi acuan untuk proses pengambilan data, analisa data, serta pembahasan.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini membahas tentang peralatan dan bahan penelitian, diagram alir penelitian, prosedur penelitian, pengujian sampel.

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa data yang diperoleh dari penelitian.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan memberikan saran untuk penelitian selanjutnya.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Magnet

Kata magnet berasal dari Magnesia, nama suatu kota di kawasan Asia. Di kota inilah orang – orang Yunani sekitar tahun 600 SM menemukan sifat magnetik dari mineral magnetik. Secara umum, pengertian magnet adalah kemampuan suatu benda untuk menarik benda benda lain yang berada disekitarnya. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam lainnya. Hingga saat ini, magnet banyak dimanfaatkan untuk perangkat elektronik, seperti bel listrik, telepon, dan mikrofon. Berdasarkan asalnya, magnet dibagi menjadi dua kelompok, yaitu magnet alam dan magnet buatan. Magnet alam adalah magnet yang ditemukan di alam, sedangkan magnet buatan adalah magnet yang sengaja dibuat oleh manusia. Magnet buatan selanjutnya terbagi lagi menjadi magnet tetap (permanen) dan magnet sementara. Magnet tetap adalah magnet yang sifat kemagnetannya tetap (terjadi dalam waktu yang relatif lama). Sebaliknya, magnet sementara adalah magnet yang sifat kemagnetannya tidak tetap atau sementara. Sebuah magnet terdiri atas magnet – magnet kecil yang mengarah ke arah yang sama. Magnet – magnet kecil ini disebut magnet elementer.

Magnet mempunyai 2 kutub yaitu kutub utara dan kutub selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung – ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub – kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. (Julia,2011).

2.2 Bahan Magnetik

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam Medan


(25)

magnetik luar, bahan magnetik terdiri dari: Diamagnetik, Paramagnetik, Feromagnetik, Anti Ferromagnetik dan Ferrimagnetik.

1. Bahan Diamagnetik

Diamagnetik merupakan sifat universal dari atom karena terjadi gerakan elektron pada orbitnya mengelilingi nukleus. Elektron dengan gerakan seperti ini merupakan suatu rangkaian listrik, dan dari hukum Lenz diketahui bahwa gerakan ini diubah oleh medan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan gaya tolak. (Smallman,R.E. 2000).

Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/ molekulya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1978).

Konstribusi diamagnetik yang berasal dari elektron valensi kecil, tetapi apabila berasal dari kulit tertutup kontribusi sebanding dengan jumlah elektron di dalamnya dan dengan kuadrat radius “orbit”. Pada berbagai logam, efek diamagnetik ini dikalahkan oleh kontribusi paramagnetik yang berasal dari spin elektron. Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar tersebut.

Material diamagnetik mempunyai suseptibilitas magnetik negatif kecil, yang berarti akan bersifat lemah terhadap medan magnetik luar yang diberikan. (Matthew,2013).

Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron. Karena atom mempunyai elektron orbital, maka semua bahan bersifat diamagnetik. Suatu bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak menarik garis gaya. Permeabilitas bahan ini: μ< μ0 dengan suseptibilitas magnetik bahan: χm < 0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -10-5m3/kg. Contoh bahan diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.


(26)

2. Bahan Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/ molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total seluruh atom/ molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena gerakan atom/ molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan (Halliday & Resnick, 1978).

Setiap elektron berperilaku seperti magnet kecil dan dalam medan magnetik memiliki salah satu dari dua orientasi, yaitu searah atau berlawanan dengan arah medan, tergantung pada arah spin elektron tersebut. Oleh karena itu, energi elektron berkurang atau bertambah dan dapat dipaparkan secara mudah dengan teori pita. Jadi, apabila kita menganggap bahwa pita level energi terbelah menjadi dua bagian pada gambar 2.1a, dan masing – masing bagian terdapat elektron dengan spin berlawanan, maka bila terdapat medan, beberapa elektron akan mengubah keterikatan dari pita yang satu ke pita yang lain sampai kedua pita mempunyai level energi Fermi sama. (Smallman,R.E. 2000).

Di bawah pengaruh medan eksternal, mereka mensejajarkan diri karena torsi yang dihasilkan. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar.

Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/Kg, sedangkan permeabilitasnya adalah μ > μ0. Contoh bahan paramagnetik : alumunium, magnesium dan wolfram. (Nicola,2003).

3. Bahan Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet


(27)

total yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar (Halliday & Resnick, 1989).

Ferromagnetisme, seperti paramagnetisme, berasal dari spin elektron. Namun, pada material ferromagnetik, dihasilkan magnet permanen dan ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan dari spin elektron untuk tidak berubah arah meskipun medan ditiadakan. Mengenai struktur pita, ini berarti bahwa setengah pita terkait dengan satu pin secara otomatis berkurang apabila level kosong di puncak diisi oleh elektron dari puncak lainnya (Gambar 2.1b) dan perubahan energi potensial berkaitan dengan transfer ini disebut energi pertukaran. Jadi, meskipun secera energetik memang dimungkinkan adanya keadaan dimana semua spin berada dalam satu arah, terdapat faktor bertentangan yaitu prinsip pengecualian Pauli, karena apabila spin berada dalam satu arah banyak elektron harus memasuki keadaan kuantum lebih tinggi yang berarti terjadi peningkatan energi kinetik.

Gambar 2.1. Skema (a) nikel paramagnetik dan (b) nikel ferromagnetik (Raynor,1958)

Pada logam ferromagnetik terjadi pengarahan spin elektron secara spontan, karena interaksi yang kuat, meski tidak diterapkan suatu medan. Akan tetapi suatu spesimen besi dapat berada dalam kondisi tanpa magnetisasi karena pengarahan seperti itu terbatas di daerah kecil, atau domain, yang secara statistik saling bertentangan. Domain ini berbeda dengan butir logam polikristalin dan dalam satu butir terdapat beberapa domain. Dengan penerapan medan magnetik, domain dengan orientasi yang diutamakan tumbuh dengan mendifusi domain lain oleh


(28)

migrasi batas domain sehingga seluruh spesimen mengalami magnetisasi. (Smallman,R.E. 2000).

4. Bahan Anti Ferromagnetik

Bahan yang menunjukkan sifat antiferomanetik, momen magnetik atom atau molekul, biasanya terkait dengan spin elektron yang teratur dalam pola yang reguler dengan tetangga spin (pada sublattice berbeda) menunjuk ke arah yang berlawanan. Hal ini seperti ferromagnetik dan ferrimagnetik,suatu bentuk dari keteraturan magnet. Umumnya, keteraturan antiferromagnetik berada pada suhu yang cukup rendah, menghilang pada di atas suhu tertentu. Suhu Neel adalah suhu yang menandai perubahan sifat magnet dari antiferromagnetik ke paramagnetik. Di atas suhu Neel bahan biasanya bersifat paramagnetik.

Pada bahan antiferromagnetik terjadi peristiwa kopling momen magnetik di antara atom-atom atau ion-ion yang berdekatan. Peristiwa kopling tersebut menghasilkan terbentuknya orientasi spin yang anti paralel. Satu set dari ion magnetik secara spontan termagnetisasi di bawah temperatur kritis (dinamakan temperatur Neel). Temperatur menandai perubahan sifat magnet dari antiferromagnetik ke paramagnetik. Susceptibilitas bahan anti ferromagnetik adalah kecil dan bernilai positif. Susceptibilitas bahan ini di atas temperatur Neel juga sama seperti material paramagnetik, tetapi di bawah temperatur Neel, susceptibilitasnya menurun seiring menurunnya temperatur. (Matthew,2013).

5. Bahan Ferrimagnetik

Material Ferrimagnetik seperti ferrit (misalnya Fe3O4) menunjukkan sifat serupa dengan material ferromagnetik untuk temperatur di bawah harga kritis yang disebut dengan temperatur Curie, TC. Pada temperatur di atas TC maka material ferrimagnetik berubah menjadi paramagnetik. Ciri khas material ferrimagnetik adalah adalah adanya momen dipol yang besarnya tidak sama dan berlawanan arah. Sifat ini muncul karena atom-atom penyusunnya (A dan B) mempunyai dipole dengan ukuran yang berbeda dan arahnya berlawanan. Material ini dapat mempunyai magnetisasi walau dalam keadaan tanpa medan luar sekalipun. Material ferrimagnetik seperti ferrit biasanya non konduktif dan bebas losses arus.


(29)

Ferimagnetik,material yang memiliki susceptibilitas yang besar tergantung temperatur.

2.3 Domain

Penelitian mikroskopis menunjukkan bahwa magnet sebenarnya terbuat dari daerah-daerah kecil yang disebut domain, yang paling besar memiliki panjang atau lebar 1 mm. Setiap domain berperilaku seperti magnet kecil dengan kutub utara dan kutub selatan. Pada potongan besi yang tidak termagnetisasi, domain-domain ini tersusun acak seperti pada gambar 2.2 (a). Efek efek magnet domain saling meniadakan, sehingga potongan besi tersebut bukan merupakan magnet. Pada magnet, domain tersusun dalam satu arah. Sebuah magnet dapat dibuat dari potongan besi yang tidak termagnetisasi dengan menempatkannya di medan magnet yang kuat. Magnetisasi domain sebenarnya bisa berotasi sedikit hingga hampir paralel dengan medan eksternal. Atau, lebih umum lagi, batas – batas domain bergerak sehingga domain yang orientasi magnetnya paralel terhadap medan eksternal bertambah besar dengan mengambil tempat domain yang lain. (Giancolli,2001).

Gambar 2.2. (a) Sepotong besi dengan domain – domain yang tersusun acak. (b) Pada magnet, domain –domain acak bisa diubah arahnya dengan proses

magnetisasi. (Giancoli, 2001)

Medan magnet menyebabkan sedikit penyusunan domain pada benda yang tidak termagnetisasi. Keadaan dimana semua spin elektron terarahkan sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada temperatur rendah. Apabila temperatur dinaikkan, magnetisasi jenuh berkurang, mula mula turun perlahan lahan kemudian bertambah dengan cepat, hingga mencapai temperatur kritis, yang disebut temperatur Curie. Di atas temperatur Tc ini, spesimen tidak bersifat ferromagnetik,


(30)

tetapi berubah menjadi paramagnetik. Kristal ferromagnetik dalam keadaan alami mempunyai struktur domain. (Smallman,R.E. 2000).

2.4 Klasifikasi Magnetik Material

Klasifikasi secara sederhana dari material ferromagnetik berdasarkan koersivitasnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu soft magnetik material dan hard

magnetik material. Untuk material yang mempunyai nilai koersivitas yang tinggi disebut sebagai hard magnetik material sedangkan untuk material yang

mempunyai nilai koersivitas yang rendah disebut sebagai soft magnetik material.

Untuk hard magnetik material adalah material yang mempunyai nilai

koersivitas di atas 10 kA/m sedangkan untuk soft magnetik material adalah

material yang mempunyai nilai koersivitas di bawah 10 kA/m. (Hasan,2008).

2.4.1 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras

Bahan magnet secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu: magnet lunak (soft magnetik material) dan magnet keras (hard magnetik material). Magnet lunak

banyak digunakan untuk aplikasi pada bahan yang mudah dimagnetisasi dan didemagnetisasi. Sedangkan magnet keras banyak digunakan untuk aplikasi bahan yang membutuhkan sifat magnet yang permanen. Medan magnet dapat dihasilkan secara elektromagnetik, yaitu dengan melewatkan arus listrik pada konduktor seperti gambar 2.3 berikut ini. Kuat medan magnet dapat dinyatakan dengan persamaan:

... 2.1

dengan I arus (ampere), N cacah lilitan, l panjang kumparan (meter) dan H adalah

kuat medan magnet (ampere/meter). Kuat medan magnet juga dinyatakan dalam satuan oersteds (Oe), dengan 1 A/m = Oe.

Pada gambar 2.3b ditunjukkan kuat medan magnet yang meningkat dengan adanya inti besi pada solenoid. Peningkatan kuat medan magnet berasal dari medan solenoid ditambah medan magnet luar yang berasal dari magnetisasi besi.


(31)

Gambar 2.3. (a) ilustrasi medan magnet yang timbul di sekitar koil tembaga (solenoid), (b) ilustrasi kuat medan magnet yang meningkat di sekitar solenoid

jika diletakkan inti besi pada bagian dalam solenoid (Taufik, dkk. 2012)

2.5 Histeresis Magnet

Jika arus dialirkan pada suatu kumparan elektromagnetik, maka akan timbul medan magnet di sekitarnya, ketika arus dinaikkan maka medan magnet yang timbul akan meningkat sampai titik konstan. Hal ini menandakan bahwa inti ferromagnetik telah mencapai titik jenuhnya dan kerapatan fluks mencapai maksimal. Jika arus dihentikan fluks magnet tidak sepenuhnya hilang karena bahan inti elektromagnetik masih mempertahankan sifat kemagnetan.

Gambar 2.4. Kurva B-H beberapa bahan inti magnet (Taufik,dkk. 2012) Kemampuan untuk mempertahankan sifat magnet setelah arus dihentikan disebut retentivity, sedangkan jumlah fluks magnetik yang masih ada disebut Magnetisme Residual. Ketika fluks telah mencapai maksimal (jenuh) dan arus

diturunkan maka akan terjadi pelebaran nilai H (Coersive Force). Sifat retentivity , Magnetisme Residual dan Coersive Force dijelaskan pada kurva histeresis yang


(32)

Gambar 2.5. Kurva Histeresis (Taufik, dkk. 2012)

Bahan feromagnetik yang memiliki retentivity tinggi (hard magnetik material) sangat baik untuk memproduksi magnet permanen. Sedangkan bahan

feromagnetik yang memiliki retentivity rendah (soft magnetik material) ideal

untuk digunakan dalam elektromagnet, solenoida atau relay. (Taufik, dkk. 2012). Hal ini lebih jelas digambarkan dengan diagram histerisis atau hysteresis loop sebagai loop.

Gambar 2.6. Histeresis material magnet (a) Material lunak, (b) Material keras (Taufik, dkk.2012)

Diagram histeresis diatas menunjukkan kurva histeresis untuk material magnetik lunak pada gambar 2.6(a) dan material magnetik keras pada gambar 2.6(b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan

berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen

tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen, dan diperlukan


(33)

berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.6 Nilai H

yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam,

dan diperlukan medan Hc yang kecil untuk menghilangkannya. Magnet keras

adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di demagnetisasi. Karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi (V.det/m2) merupakan energi per satuan volume, luas daerah hasil integrasi di dalam loop histerisis adalah sama dengan energi yang diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai dari 0 sampai +H

hingga –H sampai 0. energi yang dibutuhkan magnet lunak dapat diabaikan;

medan magnet keras memerlukan energi lebih banyak sehingga pada kondisi-ruang, demagnetisasi dapat diabaikan. Dikatakan, magnetisasi permanen.

2.6 Magnet Permanen

Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap.

Jenis magnet tetap selama ini yang diketahui terdapat pada:

1. Magnet Neodymium, merupakan magnet tetap yang paling kuat. Magnet Neodymium (juga dikenal NdFeB, NIB, atau magnet Neo), merupakan jenis magnet tanah jarang (Rare Earth) terbuat dari campuran logam Neodymium.

Tetragonal Nd2Fe14B memiliki struktur kristal yang sangat tinggi uniaksial anisotropi magnetocrystalline (HA ~ 7 tesla). Senyawa ini memberikan potensi untuk memiliki tinggi koersivitas (yaitu, ketahanan mengalami kerusakan magnetik).

2. Magnet Samarium-Cobalt, salah satu dari dua jenis magnet bumi yang langka, merupakan magnet permanen yang kuat terbuat dari paduan Samarium dan Cobalt. Samarium-kobalt magnet memiliki produk-produk energi maksimum (BH max) yang berkisar dari 16 oersteds megagauss-(MGOe) menjadi 32 MGOe; batas teoretis mereka adalah 34 MGOe. Jenis magnet ini dapat ditemukan di dalam alat-alat elektronik seperti VCD, DVD, VCR Player, Handphone, dan lain-lain.


(34)

3. Magnet keramik, misalnya Barium Hexaferrite. Bahan ini digunakan untuk membuat magnet permanen, seperti core ferit untuk transformator, dan berbagai aplikasi lain. Ferit keras banyak digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil, pengeras suara (loud speaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver ,circulator , dan rice cooker. 4. Plastic Magnets

Fleksibel (Karet) magnet dibuat dengan mencampur ferit atau bubuk Neodymium magnet dan pengikat karet sintetis atau alami. Fleksibel (Karet) magnet dibuat dengan menggulung atau metode ekstrusi. Magnet plastik biasanya diproduksi dalam bentuk lembaran strip atau yang banyak digunakan dalam mikro-motor.

5. Magnet Alnico

Alinco magnet adalah magnet paduan yang mengandung Alumunium (Al), Nikel (Ni), Cobalt (Co). Karena dari tiga unsur tersebut magnet ini sering disebut Alinco. Sebenarnya magnet alinco ini tidak hanya mengandung ketiga unsur saja melainkan ada beberapa unsur mengandung besi dan tembaga, tetapi kandungan besi dan tembaga tersebut relative sedikit. Alinco magnet dikembangkan pada tahun 1930-an dengan metode sintering atau lebih umum disebut metode casting. Jenis magnet ini dapat ditemukan di dalam alat-alat motor (kipas angin, speaker, mesin motor). (Theresya,2014).

Tabel 2.1. Parameter kemagnetan beberapa bahan ferromagnetik

Material Remanensi (Br) (Tesla)

Koersivitas (Hc) (kA/m)

BHmax

(kJ/m3)

36Co Steel 0,96 18,25 7,42

Alnico 2 0,7 52 13,5

Alnico 5 1,2 57,6 40

Alnico DG 1,31 56 52

Ba0.6Fe2O3 0,395 192 28

Pt Co 0,645 344 76

SmCo5 0,9 696 160

Nd2Fe14B 1,3 1120 320


(35)

2.6.1 Magnet Permanen NdFeB

Magnet NdFeB adalah jenis magnet permanen rare earth (tanah jarang) yang

memiliki sifat magnet yang sangat baik, seperti pada nilai induksi remanen, koersivitas dan energi produk yang lebih tinggi pula apabila dibandingkan dengan magnet permanen lainnya. Dengan memiliki sifat magnetik yang tinggi, dalam aplikasinya magnet NdFeB dapat berukuran lebih kecil. Magnet logam tanah jarang (rare earth) terbentuk dari 2 atom unsur logam tanah jarang yaitu

Neodymium, unsur lainnya adalah 14 atom Besi dan 1 atom Boron, sehingga rumus molekul yang terbentuk adalah Nd2Fe14B. (Novrita, 2006).

Magnet permanen Neodymium-Iron-Boron memiliki energi produk yang

paling tinggi (mencapai 55 MGOe) dari keseluruhan material magnetik. Magnet NdFeB mempunyai dua proses utama; proses serbuk dan melt quenching. Energi

produk yang tinggi dari tipe magnet ini berarti secara signifikan volume material yang dibutuhkan lebih kecil untuk penggunaan yang sama dengan magnet lain dalam jumlah besar yang diproduksi seperti Alnico dan Ferrit. Akan tetapi, NdFeB memiliki kerugian, yaitu memiliki temperatur Curie yang rendah dan sangat rentan terhadap korosi. Temperatur Curie yang rendah (312C) ini menyebabkan magnet NdFeB tidak mungkin diaplikasikan pada suhu yang tinggi. (Matthew,2013).

2.6.2 Struktur Kristal Magnet NdFeB

Sel satuan NdFeB memiliki struktur kristal tetragonal yang kompleks. Terdiri dari 68 atom. Ada 6 atom besi pada sisi yang berbeda, 2 atom Neodymium pada posisi yang berbeda dan 1 sisi atom Boron. Semua atom Nd dan B bersama dengan 4 atom Fe akan membentuk jaring heksagonal.

Pada setiap lapisan bidang Fe pada atas dan bawah bidang terdapat Nd dan B yang dapat menstabilkan struktur ini. Panjang sumbu a setara dengan 8,8 , sumbu c = 12,19 . Jarak antara tetangga terdekat Fe-Fe antara 2,4 2,8 . Jarak antara Boron dengan atom atom tetangga terdekat adalah:

B – Fe (ki) = 2,09 B – Nd (g) = 2,86


(36)

Gambar 2.7. Struktur Kristal Nd2Fe14B (Matthew,2013)

2.6.3 Sifat Fisis Magnet NdFeB

Karakteristik magnet NdFeB adalah seperti tabel berikut ini. Tabel 2.2. Karakteristik magnet NdFeB

Karakteristik Satuan Nilai

Densitas g/cm3 7,5

Vickers Hardness D.P.N 570 Compression Strength N/mm2 780

Resistivitas Elektrik m.cm 150

Tensile Strength Kg.mm2 8

Modulus Young 1011 N/m2 1,6

Temperatur Curie C 310

Maximum Operating Temperature ᵒC 80 – 200

Saturation Field Strength kOe (kA/m) 30 – 40 (2400 – 3200) Relative Recoil Permeability µrec 1,05

Koefisien Temperatur Br (%/C) -0,11 Koefisien Temperatur Hci (%/ᵒC) -0,14 (sumber: eUK Magnet, NdFeB datasheet)


(37)

2.6.4 Karakterisasi Magnet NdFeB Terhadap Temperatur

Magnet NdFeB mudah didemagnetisasi pada temperatur tinggi, artinya sifat kemagnetan NdFeB mudah hilang pada temperatur tinggi, tetapi akan meningkat pada temperatur rendah. Beberapa cara yang dapat mempengaruhi agar magnet ini dapat digunakan pada temperatur tinggi yaitu bentuk geometri. Magnet dengan bentuk yang lebih tipis akan lebih mudah didemagnetisasi dibandingkan dengan bentuk yang lebih tebal. Bentuk magnet piring datar lebih direkomendasikan untuk digunakan pada temperatur tinggi. (Novrita,2006).

2.6.5 Proses Fabrikasi Magnet Permanen NdFeB

Magnet NdFeB biasanya dibuat dengan cara teknologi logam serbuk (powder metallurgy). Magnet NdFeB ini dapat dibuat dengan 3 cara (Novrita,2006) yaitu:

1. Teknik sintering, yaitu dengan cara teknologi logam serbuk yaitu dengan cara milling, dicetak, sintering, surface treatment, magnetisasi dan dihasilkan

produk akhir. Magnet yang dihasilkan dengan teknik ini menghasilkan energi produk (BHmax) yang paling tinggi.

2. Teknik Compression bonded, yaitu dengan cara mencampurkan serbuk

NdFeB dengan suatu binder/pelumas, dikompaksi dan kemudian dipanaskan. Energi produk yang dihasilkan dengan teknik ini lebih rendah bila dibandingkan dengan cara teknik sintering.

3. Teknik Injection Molding, yaitu dengan cara mencampurkan serbuk NdFeB

dengan suatu binder/pelumas dan kemudian diinjeksi. Energi produk yang dihasilkan dengan cara teknik ini lebih rendah dibandingkan dengan teknik

sintering dan teknik Compression bonded.

2.7 Sifat Magnetik Material 2.7.1 Suseptibilitas magnetik

Apabila logam ditempatkan dalam medan magnetik berkekuatan H, maka medan

induksi dalam logam adalah:


(38)

dimana I adalah intensitas magnetisasi. Besaran I merupakan sifat karakteristik

logam, dan berkaitan dengan suseptibilitas per satuan volume logam yang didefinisikan sebagai berikut.

⁄ ... (2.3)

Suseptibilitas diukur dengan metode yang berdasarkan pada kenyataan bahwa spesimen logam yang digantung dalam medan magnet melintang yang tidak-seragam mengalami gaya sebanding dengan , dimana V

adalah volume spesimen dan dH / dx adalah gradien medan yang diukur melintang

pada garis gaya. Gaya ini terukur dengan mudah dengan mengikatkan spesimen pada timbangan yang peka, dan lazim digunakan tipe rancangan Sucksmith. Logam yang memiliki negatif, seperti seperti tembaga, perak, emas, dan bismut, ditolak oleh medan dan disebut material diamagnetik. Logam umumnya memiliki nilai positif (berarti mengalami gaya tarik medan), bersifat paramagnetik (jika kecil)atau ferromagnetik (jika sangat besar). Hanya empat logam murni-besi, kobalt, dan nikel dari seri transisi, dan gadolinium dari seri tanah jarang – bersifat ferromagnetik ( = 1000) pada temperatur ruang, tetapi ada beberapa paduan ferromagnetik bahkan beberapa diantaranya tidak mengandung logam yang bersifat ferromagnetik. (Smallman,R.E. 2000).

2.7.2 Magnetisasi

Vektor magnetisasi dengan simbol besaran M di dalam bahan bahan ferromagnetik didefinisikan sebagai jumlah vektor vektor momen magnetik dari atom atom atau molekul molekul bahan per satuan volume. Harga absolut dari vektor magnetisasi tergantung dari harga suseptibilitas magnetik bahan tersebut. Magnetisasi selain memiliki pengertian suatu besaran fisis dengan satuan A/m dalam sistem satuan standar internasional skala besar (MKS) juga memiliki pengertian suatu proses pengutuban arah – arah momen – momen dipole magnetik dari atom – atom atau molekul – molekul bahan tersebut, khususnya pada bahan ferromagnetik, yang menyebabkan bahan ferromagnetik yang semula bukan magnet setelah dimagnetisasi akan menjadi magnetik dengan kutub utara dan selatan tertentu, sesuai dengan arah besaran vektor intensitas medan magnetik H


(39)

yang melakukan fungsi magnetisasi itu. Vektor intensitas medan magnetik H yang melakukan fungsi magnetisasi itu harus memenuhi syarat harga yang sama atau lebih besar daripada harga jenuh H bahan ferromagnetik, yang dapat diamati dari kurva B-H histeresisnya. Hubungan B, H, dan M ditunjukkan oleh persamaan berikut ini:

B = µH = µ0 µr H = µ0(1+χm) H ... (2.4) Atau

= H + χmH = H + M ... (2.5) Vektor magnetisasi:

M = χm H ... (2.6)

Dimana χm = suseptibilitas magnetik = (µr – 1), tidak memiliki dimensi, dan µr adalah permeabilitas relatif bahan (tidak memiliki dimensi). Nilai suseptibilitas magnetik suatu bahan dipengaruhi oleh suhu. Untuk bahan – bahan ferromagnetik, suseptibilitas magnetiknya adalah fungsi temperatur absolut (T Kelvin) yang ditunjukkan oleh persamaan berikut, yang dinamakan juga relasi Curie-Weiss.

... (2.7) Dimana:

C = konstanta Curie =

µ0 = permeabilitas vakum = 1,257 µ H/m. N0 = konstanta Avogadro.

(Rustam Effendi, 2007)

2.8 Mechanical Milling

Mechanical milling atau dipendekkan menjadi milling adalah proses penghalusan

atau penghancuran bahan dengan menggunakan energi mekanik dari tumbukan antara bola bola atau rod – rod milling dengan jar milling.

Dalam mechanical milling serbuk akan di campur dalam suatu chamber

(ruangan) dan dikenai energi agar terjadi deformasi yang berulang- ulang sehingga akan terjadi partikel partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari tumbukan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk yang berbeda juga, untuk bahan yang ulet sebelum terjadi fracture akan menjadi


(40)

flat atau pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung

terjadi fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. (Khoiriana,et al.

2003).

Ada beberapa variabel yang mempengaruhi proses milling , antara lain:

Gambar 2.8. Faktor yang Mempengaruhi Proses Milling. (Campbell and

Kaczmarek, 1996)

2.8.1 Faktor yang Mempengaruhi Proses Mechanical Milling

2.8.1.1 Kecepatan Milling

Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball mill semakincepat, maka energi yang di hasilkan juga akansemakin besar. Tetapi

di samping semua itu,design dari milling ada pembatasan kecepatanyang harus di

lakukan. Sebagai contoh pada planetary ball mill, meningkatkan kecepatan akan

mengakibatkan bola yang ada di dalam chamber juga akan semakin cepat

pergerakannya, tenaga yang di hasikan juga besar. Tetapi jikakecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga

bola bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya impact. Jadi sebaiknya

menggunakan kecepatan di bawah kecepatan kritisnya sehingga bola dapat jatuh dan menghasilkan tenaga impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke

waktu yang di butuhkan untuk mencapai hasil yang di inginkan. Pada penelitian ini akan digunakan Conventional Milling dengan kecepatan 700 rpm untuk

menghaluskan serpihan (flakes) untuk menghasilkan serbuk NdFeB dengan


(41)

2.8.1.2 Grinding Medium (Ukuran Bola)

Ukuran dari bola juga mempengaruhi efisiensi dari proses milling. Ukuran yang

besar dan density yang tinggi pada suatu bola akan menghasilkan energi impact

yang besar. Bentuk akhir dari serbuk setelah di lakukan milling juga dipengaruhi

oleh ukuran ball mill itu sendiri. Bola yang besar maka kemungkinan adanya

kontaminan akan semakin besar, walaupun energi yang akan dihasilkan juga besar tapi bagian bola yang akan menumbuk serbuk akan semakin kecil luasnya. Sedangkan jika menggunakan bola kecil semua maka energi yang dihasilkan juga kecil, tapi proses milling bisa lebih maksimal. Kaloshkin (1997) mengungkapkan

bahwa untuk memaksimalkan proses milling salah satunya adalah dengan

menggunakan ukuran bola yang berbeda – beda. Tetapi ada batasan dalam mengkombinasi bola tersebut, jika perbedaan (bola besar dan bola yang kecil) terlalu besar maka di khawatirkan bola yang besar akan menghancurkan bola yang kecil.

2.8.1.3 Waktu Milling

Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting untuk proses milling.

Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepat antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan memadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe mill yang digunakan, pengaturan milling,

intensitas milling, dan temperatur pada milling. Pada umumnya dihitung waktu

yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi dan jangka waktu lama ketika dengan energi milling

yang rendah. (Khoiriana,et al. 2003).

Namun, tingkat dari kontaminasi akan bertambah karena waktu milling

dan beberapa fasa yang tak terduga mungkin terbentuk jika serbuk dimilling

terlalu lama. ( P.Balaz, 2008).

2.8.1.4 Milling Atmosfer

Jenis atmosfir juga mempengaruhi fasa akhir yang terbentuk. Pada Cr-Fe serbuk saat di milling menggunakan atmosfir, tidak ada fasa amorphouse yang terbentuk


(42)

dan ketika serbuk dimilling dengan selain argon dan nitrogen atmosfir, terbentuk

fasa amorphous sepenuhnya.

2.8.1.5 Temperatur Milling

Temperatur juga merupakan faktor yang cukup penting. Karena dapat mempengaruhi dalam proses milling tersebut. Ada beberapa cara untuk

melakukan beberapa variasi temperatur, misalnya dengan menggunakan nitrogen cair untuk menghasilkan temperatur yang dingin dan menggunakan pemanas untuk temperatur yang cukup tinggi.

Temperatur milling mempengaruhi tingkat struktur nanocristalline yang

terbentuk. Milling pada temperatur yang lebih rendah dapat menimbulkan cacat yang disebabkan oleh deformasi plastis yang berkaitan dengan thermal recovery,

kerapatan dislokasi yang lebih tinggi dan oleh karena itu ukuran butir yang diperoleh dapat lebih halus. (Khoiriana,et al. 2003).

2.8.2 Gas Inert (N2)

Secara keseluruhan gas yang ada di bumi, gas Nitrogen (N2) merupakan gas inert yang paling umum. Nitrogen tersedia di atmosfir sebesar 78,9% beserta oksigen 20,9%, argon 0,9% dan gas – gas lainnya 0,1%.

2.8.2.1 Produksi Nitrogen

Nitrogen diproduksi terutama melalui proses destilasi fraksional dari udara cair. Udara bebas dikompresi dan didinginkan hingga menjadi cairan. Cairan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kolom destilasi dan tiga komponen utama akan dipisahkan yaitu: nitrogen, oksigen dan argon. Instalasinya disebut ASUs (Air Separation Units). Hasilnya adalah kemurnian nitrogen yang tinggi dengan

volume besar. Adapula metode lain dalam memproduksi nitrogen yaitu metode adsorpsi dan difusi pemisahan, tetapi kualitas nitrogen yang dihasilkan lebih rendah dan tingkat produksi jauh lebih lama.


(43)

Gambar 2.9. Pembuatan Nitrogen Cair pada Temperatur Ruang (Courtesy AGA) Nitrogen kemudian dipindahkan ke sebuah silinder dengan tekanan gas (150 – 300 bar) atau dalam bentuk cair yang disebut “Dewars” yang sangat terisolasi dalam wadah Stainless Steel.

2.8.2.2Kegunaan Nitrogen

Nitrogen digunakan terutama sebagai gas inert karena dapat melindungi material yang berpotensi reaktif terhadap oksigen (O2). Meskipun dalam kondisi tertentu adanya kemungkinan nitrogen dapat bereaksi dengan beberapa material akan tetapi secara umum nitrogen dianggap sebagai gas inert yang efektif dan murah dibandingkan dengan gas inert lainnya seperti argon dan helium yang lebih mahal. Dalam bentuk liquid (pada titik didih) biasanya digunakan sebagai pendingin karena dapat menyerap panas dalam jumlah besar ketika terevaporasi) dan juga pada kegunaan inertnya. (Sumber: www.wilhelmsen.com)

Berikut ini spesifikasi dari Nitrogen adalah sebagai berikut: Tabel 2.3. Spesifikasi gas nitrogen


(44)

2.9 Proses Kompaksi

Kompaksi merupakan proses pemadatan serbuk menjadi sampel dengan bentuk tertentu sesuai dengan cetakannya.

Ada dua macam metode kompaksi, yaitu:

1. Cold compressing, yaitu penekanan dengan temperatur kamar. Metode ini

dipakai apabila bahan yang digunakan mudah teroksidasi.

2. Hot compressing, yaitu penekanan dengan temperatur di atas temperatur

kamar. Metode ini dipakai apabila bahan yang digunakan tidak mudah teroksidasi.

Pada proses kompaksi, gaya gesek yang terjadi antar partikel yang digunakan dan antar partikel komposit dengan dinding cetakan akan mengakibatkan kerapatan pada daerah tepi dan bagian tengah tidak merata. Dan untuk menghindari terjadinya perbedaan kerapatan, maka pada saat kompaksi digunakan lubricant/pelumas yang bertujuan untuk mengurangi gesekan antara

partikel dan dinding cetakan. Dalam penggunaan lubricant/pelumas, dipilih bahan

pelumas yang tidak reaktif terhadap campuran serbuk dan yang memiliki titik leleh rendah sehingga pada proses curing, lubricant/ pelumas dapat menguap.

Terkait dengan pemberian lubricant/pelumas pada proses kompaksi, maka terdapat dua metode kompaksi, yaitu:

1. Die – wall compressing , yaitu penekanan dengan memberikan lubricant/

pelumas pada dinding cetakan.

2. Internal lubricant compressing, yaitu penekanan dengan mencampurkan lubricant/ pelumas pada material yang ditekan.

Proses kompaksi dapat dilakukan dengan tiga prosedur yang berbeda yaitu: secara axial (medan magnetik paralel terhadap sumbu tekanan/ sumbu y),

transversal (medan magnetik tegak lurus terhadap tekanan), atau isostatik (medan magnetik diberikan pertama sebelum serbuk dikompaksi yang kemudian dipress / kompaksi secara isostatik). Rasio orientasi butir lebih baik dilakukan dengan penekanan transversal dan isostatik, induksi remanen yang lebih baik sekitar 0,3 hingga 1,0 kG. Umumnya digunakan pencetak hidraulik dan mekanik.


(45)

2.10 Heat Treatment

Heat treatment adalah proses pemanasan dan pendinginan material yang

terkontrol dengan maksud merubah sifat fisik dari material tersebut. Proses Heat Treatment akan menyebabkan perubahan struktur-struktur suatu material yang

mulanya masih mengumpul menjadi terurai sehingga menjadi lebih keras, ulet dan tangguh. Secara umum proses Heat Treatment adalah sebagai berikut:

1. Pemanasan material sampai suhu tertentu.

2. Mempertahankan suhu untuk waktu tertentu (holding time) sehingga temperaturnya merata.

3. Pendinginan dengan metode media pendingin (air, oli atau udara).

Proses yang dilakukan dalam keadaan vakum dengan temperatur yang berbeda bertujuan untuk menghilangkan banyak kemungkinan adanya pengotor dari sampel saat proses pembuatan seperti hidrogen, oksigen, karbon, karbon dioksida dan hidrokarbon. Proses ini juga bergantung pada temperatur dan waktu dari semua parameter komposisi dan variabel sebelumnya yang dilakukan saat proses pembuatan sampel. (Tenaud,Ph., et al. 1991).

2.11 Karakterisasi

Untuk mengidentifikasi suatu material, maka harus dilakukan karakterisasi terhadap material tersebut. Sehingga secara fisis material tersebut dapat dibedakan dengan material lainnya. Oleh karena itu maka dilakukan analisa ukuran partikel serbuk NdFeB menggunakan PSA, pengukuran densitas pelet magnet NdFeB dengan menggunakan alat jangka sorong, analisa sifat magnet pelet magnet NdFeB menggunakan Gaussmeter, analisa struktur serbuk magnet NdFeB dengan XRD dan pengamatan mikrostruktur pelet magnet NdFeB menggunakan SEM.

2.11.1 Particle Size Analyzer (PSA)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran suatu partikel yaitu:

1. Metode Ayakan (Sieve Analysis)

2. Laser Diffractometer (LAS)


(46)

4. Electronical Zone Sensing (EZS)

5. Analisa gambar (Mikrografi) 6. Metode kromatografi

7. Ukuran aerosol submicron dan perhitungan

Sieve Analysis (analisa ayakan) dalam dunia farmasi seringkali digunakan

dalam bidang mikromeritik. Yaitu ilmu yang mempelajari tentang ilmu dan teknologi partikel kecil. Metode yang paling umum digunakan adalah analisa gambar (mikrografi). Metode ini meliputi metode mikroskopi dan metode holografi. Alat yang sering digunakan biasanya SEM, TEM, dan AFM. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih mengarah ke era nanoteknologi, para peneliti mulai menggunakan Laser Diffraction (LAS). Metode

ini dinilai lebih akurat bila dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun metode ayakan (Sieve Analysis), terutama untuk sampel – sampel dalam orde

nanometer maupun submikron. (Lusi,2011).

Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah Particle Size Analyzer

(PSA). Metode LAS dapat dibagi ke dalam dua metode:

1. Metode basah : metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji.

2. Metode kering : metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode ini baik

digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beralgomerasi kecil.

Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran

partikel :

1. Lebih akurat. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.

2. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.

Pengukuran partikel menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan kering ataupun


(47)

pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel – sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memiliki kecenderungan algomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel terdispersi ke dalam media sehingga partikel tidak saling beralgomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain

itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Beberapa analisa yang dilakukan, antara lain:

1. Menganalisa ukuran partikel.

2. Menganalisa nilai zeta potensial dari suatu larutan sampel.

3. Mengukur tegangan permukaan dari partikel clay bagi industri keramik dan sejenisnya. Dimana hal ini akan berpengaruh pada struktur lapisan clay. Struktur lapisan clay ini sangat berpengaruh pada metode slip casting.

4. Mengetahui zeta potensial koagulan untuk proses koagualasi partikel pengotor bagi industri WTP (Water Treatment Plant).

5. Mengetahui ukuran partikel tegangan permukaan dari densitas pada emulsi yang digunakan pada produk produk industri beverage. (Nanortim, 2010)

2.11.2 Densitas

Salah satu sifat yang penting dari suatu bahan adalah densitas. Densitas didefinisikan sebagai massa per satuan volum. Jika suatu bahan yang materialnya homogen bermassa m memiliki volume v, densitasnya adalah

... (2.8) dengan:

= densitas (gr/cm3) m = massa sampel (gr) V = volume sampel (cm3)

Secara umum, densitas suatu bahan tergantung pada faktor lingkungan seperti suhu dan tekanan. (Young,D.H. 2002).


(48)

2.11.3 VSM (Vibrating Sample Magnetometer)

Vibrating Sample Magnetometer (VSM) merupakan salah satu jenis peralatan

yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan. Dengan alat ini akan dapat diperoleh informasi mengenai besaran – besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalan kurva histeresis, sifat magnetik bahan sebagai akibat perubahan suhu, dan sifat – sifat magnetik sebagai fungsi sudut pengukuran atau kondisi anisotropik bahan.

Gambar 2.10. Peralatan VSM (Vibrating Sample Magnetometer) (P2F LIPI).

Salah keistimewaan VSM adalah merupakan vibrator elektrodinamik yang

dikontrol menggunakan arus balik. Sampel dimagnetisasi dengan medan magnet homogen. Jika sampel bersifat magnetik, maka medan magnet akan memagnetisasi sampel dengan meluruskan domain magnet. Momen dipol magnet sampel akan menciptakan medan magnet di sekitar sampel, yang biasa disebut

magnetic stray field. Ketika sampel bergetar, magnetic stray field dapat ditangkap

oleh coil. Medan magnet tersebar tersebut akan menginduksi medan listrik dalam coil yang sebanding dengan momen magnetik sampel. Semakin besar momen

magnetik, maka akan menginduksi arus yang semakin besar.

Dengan mengukur arus sebagai fungsi medan magnet luar, suhu maupun orientasi sampel, berbagai sifat magnetik bahan dapat dipelajari. Dalam penelitian ini, nilai magnetisasi diukur selain untuk mengetahui kemampuan magnetik nanosfer yang dihasilkan juga untuk mendapatkan informasi komposisi nanosfer. Karakterisasi sifat magnetik dengan VSM, Data yang diperoleh dari karakterisasi sifat magnet berupa kurva histeresis dengan sumbu x merupakan medan magnet


(49)

yang menginduksi sampel dalam satuan Tesla dan sumbu y merupakan magnetisasi sampel dalam satuan emu/gram. (Thresya,2014)

2.11.4 XRD (X-Ray Diffractometer)

X-Ray Diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksi dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2θ) dari suatu bahan. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fase struktur bahan dan mengetahui fase-fase apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji. Tahap pertama yang dilakukan dalam analisa sinar-X adalah melakukan analisa pemeriksaan terhadap sampel x yang belum diketahui strukturya. Sampel ditempatkan pada titik focus hamburan sinar- X yaitu tepat ditengah-tengah plate yang digunakan sebagai tempat yaitu sebuah plat tipis yang berlubang ditengah berukuran sesuai dengan sampel (pellet) dengan perekat pada sisi baliknya. (Sholihah & Zainuri, 2012).

Difraksi sinar-X digunakan untuk mengidentifikasi struktur kristal suatu padatan dengan membandingkan nilai jarak d (bidang kristal) dan intensitas puncak difraksi dengan data standar. Sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 100 pm yang dihasilkan dari penembakkan logam dengan elektron berenergi tinggi. Melalui analisis XRD diketahui dimensi kisi (d = jarak antar bidang ) dalam struktur mineral. Sehingga dapat ditentukan apakah suatu material mempunyai kerapatan yang tinggi atau tidak, dan difraksi sinar-X suatu kristal seperti pada gambar 2.11. Hal ini dapat diketahui dari persamaan Bragg yaitu nilai sudut difraksi θ yang berbanding terbalik dengan nilai jarak d (jarak antar bidang) dalam kristal. Sesuai dengan persamaan Bragg:

... (2.9) dengan : dhkl = jarak antar bidang

θ = sudut pengukuran (sudut difraksi) = panjang gelombang sinar-X


(50)

Gambar 2.11. Difraksi Sinar X suatu Kristal (www.google.com)

Prinsip dasar dari XRD adalah hamburan elektron yang mengenai permukaan kristal. Bila sinar dilewatkan ke permukaan kristal, sebagian sinar tersebut akan terhamburkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke lapisan berikutnya. Sinar yang dihamburkan akan berinterferensi secara konstruktif (menguatkan) dan destruktif (melemahkan). Hamburan sinar yang berinterferensi inilah yang digunakan untuk analisis.Difraksi sinar X hanya akan terjadi pada sudut tertentu sehingga suatu zat akan mempunyai pola difraksi tertentu.

Pengukuran kristalinitas relatif dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah tinggi puncak pada sudut-sudut tertentu dengan jumlah tinggi puncak pada sampel standar. Di dalam kisi kristal, tempat kedudukan sederetan ion atau atom disebut bidang kristal. Bidang kristal ini berfungsi sebagai cermin untuk merefleksikan sinar –X yang datang. Posisi dan arah dari bidang kristal ini disebut indeks miller. Setiap kristal memiliki bidang kristal dengan posisi dan arah yang khas, sehingga jika disinari dengan sinar –X pada analisis XRD akan memberikan difraktogram yang khas pula. Dari data XRD yang diperoleh, dilakukan identifikasi puncak – puncak grafik XRD dengan cara mencocokkan puncak yang ada pada grafik tersebut dengan database ICDD. Setelah itu, dilakukan refinement pada data XRD dengan menggunakan metode Analisis Rietveld yang terdapat pada program RIETAN. Melalui refinement tersebut, fase beserta sruktur, space group, dan parameter kisi yang ada pada sampel yang diketahui. Melalui grafik XRD, grain size dari sampel juga dapat diperkirakan.Grain size dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer, yaitu :


(51)

dengan : S = grain size

= panjang gelombang berkas sinar X B = FWHM (Full Width Half Maximum)

θ = besar sudut dari puncak dengan intesitas tinggi

2.11.5 SEM (Scanning Electron Microscopy)

Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut electron gun. Sebuah ruang

vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan. (Gunawan dan Azhari,2010). Gambar yang dihasilkan oleh SEM memiliki karakteristik penampilan tiga dimensi, dan dapat digunakan untuk menentukan struktur permukaan dari sampel. Hasil gambar dari SEM hanya ditampilkan dalam warna hitam putih. (Marlina,2007).

SEM menerapkan prinsip difraksi elektron, dimana pengukurannya sama seperti mikroskop optik. Prinsipnya adalah elektron yang ditembakkan akan dibelokkan oleh lensa elektromagnetik dalam SEM.

SEM menggunakan suatu sumber elektron berupa pemicu elektron (electron gun) sebagai pengganti sumber cahaya. Elektron – elektron ini akan

diemisikan secara termionik (emisi elektron dengan membutuhkan kalor, sehingga dilakukan pada temperatur yang tinggi) dari sumber elektron. Elektron – elektron yang dihasilkan adalah elektron berenergi tinggi, yang biasanya memiliki energi berkisar 20 keV – 200 keV atau sampai 1 MeV. Dalam prinsip pengukuran ini dikenal dua jenis elektron, yaitu elektron primer dan elektron sekunder. Elektron primer adalah elektron berenergi tinggi yang dipancarkan dari katoda (Pt, Ni, W) yang dipanaskan. Katoda yang biasa digunakan adalah tungsten (W) atau

Lanthanum hexaboride (LaB6). Tungsten digunakan karena memiliki titik lebur yang paling tinggi dan tekanan uap yang paling rendah dari semua meta, sehingga memungkinkannya dipanaskan pada temperatur tinggi untuk emisi elektron. Elektron sekunder adalah elektron yang berenergi rendah yang dibebaskan oleh


(1)

Analysis. Cambridge University Press. Cambridge.

Theresya.2014. Pengaruh Temperatur Heat Treatment dan Holding Time Terhadap Sifat Fisis, Mikrostruktur dan Sifat Magnet Permanen Bonded NdFeB. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana. UNIMED-Undergraduate-22379-BABII.pdf

Wahyuni, M.S., Erna H. 2010. Karakterisasi Cangkang Kerang Menggunakan XRD dan X-Ray Physics Basic Unit. Jurnal Neutrino. 3: 34-38.

Yan,G H, R J Chen, Y Ding, S Guo, Don Lee, A R Yan. 2010. The Preparation of Sintered NdFeB Magnet With High-Coercivity and High Temperature-Stability. Journal Of Physics. 266: 1-5.

Young, D. Hugh. 2002. Fisika Universitas. Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Yuliati, E. dan Mujamilah. 2005. Penghalusan Serbuk dan Efeknya Pada Fasa dan Sifat Magnetik Sistem Magnet Permanen Berbasis Nd2Fe14B. Jurnal Sains


(2)

Lampiran 1

Peralatan dan Bahan Penelitian

1. Bahan

Flakes NdFeB Gas Nitrogen Celuna WE-518

Sirlak

2. Peralatan


(3)

Moulding / Cetakan Neraca Digital Hidroulic Press

Under Vacuum Dryer Impulse Magnetizer Gaussmeter

PSA SEM VSM


(4)

Lampiran 2

Perhitungan Densitas Sampel Pelet NdFeB

Mengukur densitas sampel pelet magnet NdFeB a. Heat Treatment pada temperatur 110ᵒC 1. Hasil dry milling 8 jam

Diketahui : Massa : 8,179 gr Diameter : 1,635 cm Tinggi : 0,714 cm Ditanya : densitas ...? Penyelesaian:

= 1,498 cm3

=

= 5,458 gr/ cm

3

2. Hasil dry milling 16 jam Diketahui : Massa : 7,983 gr

Diameter : 1,63 cm Tinggi : 0,704 cm Ditanya : densitas ...? Penyelesaian:

= 1,468 cm3 =

= 5,467 gr/ cm

3


(5)

Ditanya : densitas ...? Penyelesaian:

= 1,434 cm3 =

= 5,519 gr/ cm

3

4. Hasil dry milling 48 jam Diketahui : Massa : 7,88 gr

Diameter : 1,619 cm Tinggi : 0,724 cm Ditanya : densitas ...? Penyelesaian:

= 1,48 cm3 =

= 5,628 gr/ cm

3

Perhitungan yang sama dapat dilakukan untuk Heat Treatment pada temperatur 150ᵒC dan temperatur 170ᵒC pada setiap variasi waktu dry milling (8 jam, 16 jam, 24 jam dan 48 jam) sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.

Waktu milling (Jam)

Densitas pelet NdFeB pada Temperatur Heat Treatment (gr/cm3)

110ᵒC 150ᵒC 170ᵒC

8 5,458 5,517 5,533

16 5,467 5,532 5,545

24 5,519 5,537 5,610


(6)

Lampiran 3