perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan seperti yang dimaksud dalam
Buku III K.U.H. Perdata. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian daripada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan
adalah bagian dari hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan. Karena perjanjian menimbulkan hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan maka dapat
disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.
17
Itulah sebabnya dikatakan bahwa perjanjian adalah salah satu sumber
perikatan. Perikatan disini merupakan hubungan hukum antar dua pihak atau lebih dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu
pihak ada hak dan pada pihak lain ada kewajiban.
18
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian yang akan atau telah dibuat secara hukum sah, dapat pertanggung jawabkan dan mempunyai kekuatan mengikat,
terlebih dahulu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1320 K.U.H. Perdata
yaitu :
17
J Satrio, Hukum Perjanjian, PT Citra Aditya, Bandung, 1983, hal 28
18
Dharma, Yos Satya, Hukum Perikatan, Macam-macam Perikatan, http: ysdFH- UIB.ppt, 2003
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.” Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya atau
pihak-pihak dan perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena
mengenai obyek suatu perjanjian. “Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subyeknya, tidak
selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk
dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi obyeknya adalah batal demi hukum
19
.”
3. Saat Terjadinya Perjanjian
Berdasarkan saat lahirnya terjadinya perjanjian, perjanjian dapat dibedakan menjadi :
19
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,hal. 32
a. Perjanjian Konsensuil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian, dimana adanya kata
sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
20
Pada perjanjian konsensuil, kata sepakat diantara para pihak sudah cukup untuk melahirkan perikatan.
Menurut asas konsensualitas, suatu persetujuan lahir pada titik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah
pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu
perjanjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh satu pihak diterima oleh pihak lain.
21
b. Perjanjian Riil Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi, kalau barang
yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
22
Bukan berarti dalam perjanjian riil tak perlu ada kata sepakat persetujuan, tetapi yang benar adalah, bahwa sepakat saja belum
cukup, untuk menimbulkan perjanjian riil. Malahan pada perjanjian yang riil, sepakat mempunyai dua fungsi, pertama ia merupakan
unsur daripada perjanjian riil, kedua ia juga sekaligus menimbulkan
20
Projodikoro, Wirjono, Pokok-pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1981,hal. 48.
21
Projodikoro, Op.Cit, hal. 49.
22
Projodikoro, Op.Cit. hal. 49.
perjanjian yang berdiri sendiri.
23
Kata sepakat pada perjanjian riil merupakan perjanjian pendahuluan sebelum adanya penyerahan
barang.
4. Beralihnya Perjanjian