PERBANDINGAN NILAI FAAL PARU PADA PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) STABIL DENGAN ORANG SEHAT

(1)

PERBANDINGAN NILAI FAAL PARU PADA PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) STABIL

DENGAN ORANG SEHAT

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ALLIVIA FIRDAHANA G0006176

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Perbandingan Nilai Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Stabil dengan Orang Sehat

Allivia Firdahana, NIM/Semester : G.0006176/VIII, Tahun: 2010 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Rabu, Tanggal 2 Juni Tahun 2010

Pembimbing Utama

Nama : Yusup Subagio Sutanto, dr., SpP

NIP : 195703151983121002 ……… Pembimbing Pendamping

Nama : Wachid Putranto, dr., SpPD

NIP : 19720226200501001 .………... Penguji Utama

Nama : Eddy Surjanto, dr., SpP(K)

NIP : 1950110419751110 ……… Anggota Penguji

Nama : Lilik Wijayanti, dr., M.Kes

NIP : 196903051998022001 ………

Surakarta, ………..

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Sri Wahjono, dr., M.Kes., DAFK Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., M.S NIP. 194508241973101001 NIP. 194811071973101003


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Juni 2010

Allivia Firdahana NIM G0006176


(4)

ABSTRAK

Allivia Firdahana, G0006176, 2010, Perbandingan Nilai Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Stabil dengan Orang Sehat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan penelitian : Perubahan faal paru bisa terjadi secara patologis maupun fisiologis. Perubahan secara patologis dapat terjadi karena penyakit PPOK sedangkan perubahan secara fisologis dapat terjadi karena proses penuaan. Hal tersebut sama-sama berpengaruh terhadap penurunan nilai faal paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan nilai faal paru antara penderita PPOK stabil dengan orang sehat.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian diambil dari poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan November 2009 sampai Februari 2010. Sampel penelitian adalah 60 ( 30 penderita PPOK dan 30 orang sehat). Setiap sampel diukur nilai faal parunya dengan menggunakan Mini wright Peak Flow Metre. Analisis data dengan menggunakan uji t independent.

Hasil Penelitian : Dengan uji t independent didapatkan nilai sig 0,000 atau probabilitas dibawah 0,05 (p<0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai faal paru penderita PPOK berbeda dengan nilai faal paru orang sehat.

Simpulan Penelitian : Didapatkan perbedaan yang bermakna pada nilai faal paru penderita PPOK dibandingkan dengan nilai faal paru orang sehat, dimana penderita PPOK memiliki nilai faal paru yang lebih rendah daripada orang sehat.

Kata kunci: Nilai Faal Paru – Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Stabil – Orang Sehat


(5)

ABSTRACT

Allivia Firdahana, G0006176, 2010, Comparation of Lungs Physiological Score between Stable Chronic Obstructive Lung Disease Patient and Healthy People, Medical Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.

Objective : Lungs Physiological changes can both occur pathologiccally or physiologically. The phatological changes could happen because of the chronic obstructive lung disease while physiological changes could happen because of aging process. Both of the factors have influences in the reduction of lungs physiological score. The study aim is to know comparation of lungs physiological score between stable chronic obstructive lung disease patient and healthy people.

Method : The type of the study is observasional analytic with cross sectional approach. The subject of the study taken from Public District hospital dr. Moewardi, Surakarta in November 2009 until February 2010. The amount of this study sample is 60 people (Consist of 30 chronic obstructive Lung disease Patient and 30 health people). Each sample measured by mini wright peak flow metre. The analysis of the data was using t independent test.

Result : With t independent test, observer gets sig 0,000 score or probability below 0,05 (p<0,05). This result shows that physiological score in the chronic obstructive lung disease patient different from healthy people physiological score.

Conclusion : There is differences in the chronic obstructive lung disease patients have lower result than healthy people.

Key word : Lungs Physiological Score - Stable Chronic Obstructive Lung Disease - Healthy People


(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, serta anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbandingan Nilai Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Stabil dengan Orang Sehat”.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Prof. DR. AA. Subiyanto, dr. M.S., selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Sudarman, dr.,M.Kes., DAFK., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran UNS.

3. Yusup Subagio Sutanto, dr.SpP sebagai pembimbing utama atas segala kesabaran, keramahan, dan pengertian yang telah memberi masukan, nasihat, semangat, serta meluangkan waktu memberi bantuan dalam penulisan skripsi ini.

4. Wachid Putranto, dr.SpPD sebagai pembimbing pendamping atas semua saran yang berharga, bantuan, serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

5. DR. Eddy Surjanto, dr.SpP(K) sebagai penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi.

6. Lilik Wijayanti, dr.,M.Kes., sebagai penguji pendamping yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi.

7. Semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna maka dengan segenap hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi para pembaca di ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu saraf pada khususnya.

Surakarta, Mei 2010

Allivia Firdahana


(7)

Halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 3

C.Tujuan Penelitian ... 3

D.Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI ... 4

A.Tinjauan Pustaka ... 4

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik……… 5

2. Arus Puncak Ekspirasi………... 10

3. Hubungan antara APE dengan PPOK……….. 13

B.Kerangka Pemikiran ... 15

C.Hipotesis ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

A.Jenis Penelitian ... 17

B.Lokasi Penelitian ……... 17

C.Subjek Penelitian ... 17


(8)

E. Ukuran Sampel... 18

F. Rancangan Penelitian... 18

G.Alat dan Bahan Penelitian... 19

H.Cara Kerja... 19

I. Identifikasi Variabel ………. 20

J. Definisi Operasional Variabel .……… 20

K.Analisis Data... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 24

BAB V PEMBAHASAN ... 27

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 30

A.Simpulan ... 30

B.Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31 LAMPIRAN


(9)

Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan umur………... 24 Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan tinggi badan...25 Tabel 4.3. Hasil uji t beda APE antara penderita PPOK stabil

dengan orang sehat...25


(10)

Lampiran A Surat ijin penelitian Fakultas

Lampiran B Surat ijin penelitian RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran C Nilai Normal PEFR untuk pria

Lampiran D Data nilai APE pada sampel PPOK stabil Lampiran E Data nilai APE pada sampel orang sehat Lampiran F Informed Consent

Lampiran G Penghitungan dengan SPSS 16.0 Lampiran H Surat Ethical Clearance


(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) semakin sering diperbincangkan karena prevalensinya yang semakin meningkat. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK diinstalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta,726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan faktor resiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor resiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya (Riyanto dan Hisyam, 2007).

Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru dalam tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan perfusi. Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status kesehatan atau fungsi paru individu yang diperiksa. Pengukuran ventilasi ini dapat menggunakan alat sederhana seperti peak flow meter, spirometri sederhana, body plesthymografi, atau spirometri yang memakai gas tertentu (Yunus dkk, 2003).

GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) merekomendasikan spirometer untuk mendiagnosis adanya obstruksi dengan memeriksa Forced Vital Capacity (FVC), Forced Expiratory Volume in one second (FEV1), dan FEV√FVC (Jackson and Hubbard, 2003). Meskipun


(12)

demikian, sebuah penelitian di Inggris telah membuktikan bahwa pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang lazim pula disebut Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) juga bisa digunakan dalam diagnosis PPOK. Terlebih lagi mengingat Mini Wright Peak Flow Meter lebih ringan, mudah dibawa, mudah dioperasikan, serta lebih ekonomis.

Arus Puncak Ekspirasi yang biasa disebut sebagai APE merupakan salah satu cara pemeriksaan faal paru dengan menggunakan alat peak flow meter. Alat dan cara pemeriksaan APE lebih mudah dan lebih sederhana dibandingkan dengan pemeriksaan faal paru yang lainnya. Alatnya mudah dibawa dan dibersihkan, sehingga pemeriksaan APE dapat dilakukan dimana-mana dan kapan saja (Pradjnaparamita, 1997).

Perubahan faal paru baik yang terjadi secara patologis dalam PPOK maupun secara fisiologis dalam proses penuaan berpengaruh terhadap penurunan APE. APE adalah kecepatan maksimum aliran udara yang terjadi saat seseorang melakukan ekspirasi paksa secara cepat yang dimulai dari posisi inspirasi maksimal. APE merupakan salah satu parameter faal paru untuk menentukan adanya kelainan di saluran pernapasan, jika menurun berarti ada hambatan aliran udara di saluran pernapasan (Yunus, 1997).

Terdapat beberapa faktor normal yang mempengaruhi besarnya faal paru. Besarnya pengaruh masing-masing faktor tidak sama besar. Faktor yang paling besar pengaruhnya ialah umur, tinggi badan, berat badan, dan jenis kelamin (Price dan Wilson, 2006).


(13)

Berdasarkan uraian di atas penulis mencoba meneliti masalah perbandingan nilai faal paru antara penderita PPOK stabil dengan orang sehat. B. Perumusan Masalah

Bagaimana Perbandingan Nilai Faal Paru antara Penderita PPOK Stabil dengan Orang Sehat ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Perbandingan Nilai Faal Paru antara Penderita PPOK Stabil dengan Orang Sehat.

D. Manfaat Penelitian a.Teoritis

Mengetahui Perbandingan Nilai Faal Paru antara Penderita PPOK Stabil dengan Orang Sehat.

b.Aplikatif

Memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan faal paru terutama pada penderita PPOK sehingga dapat menunjang kesembuhan pasien.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka


(14)

a. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel (PDPI, 2003). Penyakit paru obstruksi kronik meliputi bronchitis kronik dan emfisema (Barnes et al., 2003).

Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya (PDPI, 2001). Sedangkan emfisema ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Price dan Wilson, 2006).

b. Patofisiologi

Pada bronchitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi juga oleh metaplasia sel goblet, saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru (Mansjoer dkk, 2001) c. Patogenesis

Pada emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan protease-antiprotease dan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan.


(15)

Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Maitra dan Kumar, 2003).

Pada bronkitis kronis terdapat gambaran khas yaitu hipersekresi mukus, yang dimulai di saluran napas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan. Berbagai iritan ini memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD 8+, makrofag, dan neutrofil (Maitra dan Kumar, 2003)

d. Diagnosis

Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan : 1) Gambaran klinis

a) Anamnesis

(1) Keluhan dengan batuk berulang, dengan atau tanpa dahak. Sesak napas, dengan atau tanpa mengi.

(2) Ada atau tidak riwayat penyakit emfisema dalam keluarga. (3) Mempunyai riwayat merokok atau tidak

(4) Mempunyai faktor predisposisi yaitu : Berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, polusi udara dan asap rokok.


(16)

b) Pemeriksaan Fisis (1) Inspeksi

(a) Purshed lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)

(b) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)

(c) Penggunaan otot bantu napas (d) Hipertropi otot bantu napas (e) Pelebaran sela iga

(f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai (g) Penampilan pink puffer atau blue bloater

(2) Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. (3) Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

(4) Auskultasi

(a) Suara napas vesikuler normal

(b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa


(17)

(d) Bunyi jantung terdengar jauh

(PDPI, 2001) 2) Uji Faal Paru (Hadiarto, 1998)

a) Spirometri

Merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting untuk mendeteksi adanya obstruksi jalan napas maupun derajat obstruksi. Hambatan aliran udara pernapasan pada ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama. VEP1 / FEV1

merupakan parameter yang paling banyak digunakan untuk menentukan obstruksi, derajat obstruksi, bahkan dapat menilai prognosis (Hadiarto, 1998)

b) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% (PDPI, 2001)

c) Kapasitas difusi

d) Analisis gas darah

Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik (PDPI, 2001).


(18)

Hipertensi pulmonal pada tingkat lanjut PPOK dapat diketahui dengan EKG.

Gambaran abnormal EKG antara lain : a) P pulmonal deviasi aksis ke kanan b) “ Low Voltage” sering pada emfisema

(Hadiarto, 1998) 4) Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

Pada emfisema terlihat gambaran : a) Hiperinflasi

b) Hiperlusen

c) Ruang retrosternal melebar d) Diafragma mendatar

e) Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)

Pada bronchitis kronik: a) Normal

b) Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus (PDPI, 2001).


(19)

e. Faktor Resiko 1) Faktor Pejamu

a) Genetik

b) Hiperresponsif jalan napas c) Nutrisi dan perkembangan paru d) Jenis Kelamin

2) Faktor Paparan a) Merokok b) Polusi udara

c) Debu dan bahan kimia di tempat kerja d) Infeksi

(Hansel and Barnes, 2003)

f. Derajat PPOK

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2008, PPOK dibagi atas 4 derajat:

a. PPOK Ringan:

VEP1/KVP < 70%; VEP1 ≥ 80% prediksi b. PPOK Sedang:

VEP1/KVP < 70%, atau 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi c. PPOK Berat:

VEP1/KVP < 70%, atau 30% ≤VEP1<50% prediksi d. PPOK Sangat Berat:


(20)

VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau VEP1<50% disertai gagal napas kronik

2. Arus Puncak Ekspirasi

Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru dalam tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan perfusi. Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status kesehatan atau fungsi paru individu yang diperiksa ( Yunus dkk., 2003)

Pada pemeriksaan penunjang faal paru, spirometer merupakan pemeriksaan gold standar. Bila spirometer tidak tersedia dapat digunakan APE (Daniel, 2004). Peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometer hanya terdapat di rumah sakit besar saja, seringkali jauh dari jangkauan puskesmas (Yunus, 2001).

Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi merupakan pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer. Tujuan pemeriksaan ini adalah mengukur secara objektif arus udara pada saluran napas besar (Menaldi, 2001).

Dalam setiap pemeriksaan APE sebaiknya dilakukan 3 kali tiupan, kemudian diambil angka tertinggi. Tiupan dilakukan setelah inspirasi dalam, dilanjutkantiupan dengan cepat dan kuat (Pradjnaparamita, 1997). Nilai yang dianggap reprodusibel ialah jika perbedaan antara 2 nilai yang didapat < 10%


(21)

untuk 3 kali maneuver atau < 15% untuk 4 kali maneuver dihitung dari nilai APE tertinggi (Alsagaff dan Mangunegoro, 1993).

Indikasi Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi di antaranya :

a. Menegakkan diagnosis asma termasuk asma kerja dan pengukuran harus dilakuakn secara serial, pagi, dan sore hari setiap hari selam 2 minggu.

b. Pasien asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar.

c. Evaluasi pengobatan pasien asma akut, PPOK, dan sindroma obstruksi pasca tuberculosis (SPOT) yang mengalami eksaserbasi akut, sesudah pemberian obat bronkodilator

d. Evaluasi progresiviti penyakit

e. Mendapatkan variasi harian arus udara pada saluran napas pasien asma dan nilai terbaik dengan cara pemeriksaan APE serial pagi dan sore hari setiap hari selama 2-3 minggu

f. Monitor faal paru

(Menaldi, 2001) Ada tiga macam cara pengukuran APE, yaitu:

a. APE sesaat

1) Dapat dilakukan setiap waktu

2) Untuk mengetahui adanya obstruksi saluran napas

3) Untuk mengetahui seberapa berat obstruksi saat itu, terutama untuk yang sudah mengetahui standard normalnya.


(22)

4) Nilai APE sesaat selalu dibandingkan dengan nilai tertinggi untuk mendapatkan persentase.

b. APE tertinggi

1) Sebagai standard nilai normal seseorang 2) Sebagai pembanding untuk nilai persentase

3) APE tertinggi didapat dari nilai APE tertinggi dari hasil monitor APE setiap hari 2 kali sehari pagi dan sore selama 2 minggu. c. APE variasi harian

1) Mengetahui nilai tertinggi / standard normal seseorang

2) Mengetahui stabilitas asma (asma yang terkontrol), asma yang terkontrol adalah yang memiliki variasi harian < 20% (GINA, 2002).

(Pradjnaparamita, 1997).

Harga normal nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) untuk laki-laki adalah 500-700 L/menit, sedangkan untuk perempuan 380-500 L/menit. Variasi dari nilai APE pada populasi umum ditentukan oleh umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, dan merokok (Jain,1998).

Interpretasi pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi adalah: Menurut Menaldi (2001) :

a. Obstruksi : < 80% dari nilai dugaan atau pada orang dewasa jika didapatkan nilai APE < 200 L/menit

b. Obstruksi akut : < 80% dari nilai terbaik


(23)

Nilai tertinggi

Jika didapat nilai >15%, maka dianggap obstruksi saluran napas yang ada belum terkontrol.

3. Hubungan Antara Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan PPOK

Meskipun rokok disebut-sebut sebagai faktor risiko utama, akan tetapi mekanisme terjadinya PPOK sangat kompleks sehingga seringkali faktor tersebut tidak berdiri sendiri (Muhammad, 2004). Faktor resiko meliputi faktor host, paparan lingkungan dan penyakit biasanya muncul dari interaksi antara kedua faktor tersebut.

Faktor host antara lain genetik, hiperreaktivitas bronkus (Daniel, 2004), umur, jenis kelamin, ras, dan tinggi badan (Alsagaff dan Mangunegoro, 1993). Faktor lingkungan antara lain asap rokok, occupational dusts and chemicals, polusi udara, infeksi saluran napas ( Daniel, 2004), nutrisi, status sosioekonomi, dan factor risiko lingkungan sejak bayi (Muhammad, 2004).

Obstruksi saluran nafas ini bisa dibuktikan dengan pengukuran faal paru dengan spirometer. Bila spirometer tidak tersedia dapat digunakan APE ( Daniel, 2004). Akibat obstruksi saluran napas dan karena lebih mudah mengempis daripada normal, maka APE sangat berkurang (Guyton and Hall, 1997). Variasi nilai APE sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan dan merokok (Jain, 1998).


(24)

B. Kerangka Pemikiran

Saluran Pernapasan

a. Genetik b. Nutrisi

c. Hiperresponsif jalan napas d. Jenis Kelamin


(25)

C. Hipotesis

Terdapat perbandingan nilai faal paru antara penderita PPOK stabil dengan orang sehat.

Iritasi&Inflamasi saluran napas

Penebalan lapisan otot polos & jaringan ikat

Hilangnya elastisitas Alveolar

Hipertrofi Kelenjar

Penyempitan saluran napas & fibrosis

Penurunan nilai APE

Destruksi parenkim Hipersekresi mukus

Obstruksi jalan napas

a. Umur

b. Jenis Kelamin c. Ras

d. Tinggi badan e. Riwayat penyakit pernapasan

f. Rokok g. Obat-obatan


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN


(27)

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan studi cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik RSUD Dr.Moewardi Surakarta pada bulan November 2009.

C. Subjek Penelitian 1. Subjek

subjek dalam penelitian ini adalah pasien di Poliklinik RSUD Dr. Moewardi, Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

2. Kriteria inklusi a.laki-laki

b.Umur > 45 tahun

c.Tinggi badan 150-180 cm

d.Penderita PPOK yang bersedia menjadi sampel. 3. Kriteria eksklusi

a.Tidak mampu menjalani uji faal paru adekuat

b.Minum obat pelega napas dalam waktu 24 jam terakhir c.Sedang batuk atau sesak napas

d.Sudah pernah didiagnosis Dokter menderita penyakit paru yang menyebabkan obstruksi saluran napas.

e.Terjadi perbedaan nilai APE>10% untuk 3 manuver atau >15% untuk manuver dihitung dari nilai APE tertinggi.


(28)

D. Teknik Sampling

Pengambilan sample diambil secara purposive sampling, yaitu sample diambil berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu (Taufiqurrahman, 2004).

E. Ukuran Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini adalah 60 sampel. Penelitian ini menggunakan analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisis yang melibatkan sebuah variabel dependen dan sebuah variabel independen. Menurut patokan umum, setiap penelitian yang dianalisis dengan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 subjek penelitian (Murti, 2006). F. Rancangan Penelitian

Sampel penderita PPOK stabil Sampel orang sehat

nilai APE ukur nilai APE ukur

% nilai APE % nilai APE

Uji T G. Alat dan Bahan Penelitian

1. Mini Wright Peak Flow Metre 2. Kapas dan alkohol 70% (sterilisasi)


(29)

H. Cara Kerja

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan cara mengukur dan mencatat nilai APE pada kelompok kontrol dan kelompok sampel yang sebelumnya sudah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran tinggi badan, dan pencatatan umur.

Sebelum dilakukan pemeriksaan APE, tiap sampel diterangkan terlebih dahulu mengenai rencana pemeriksaan, carakerja alat yang dipakai, dan hasil yang akan dicatat. Setiap sample berada dalam posisi berdiri sambil memegang sendiri alat Mini Wright Peak Flow Metre, kemudian melakukan inspirasi maksimal melalui hidung dan bagian mulut pada alat (mouth piece) dimasukkan ke dalam mulut. Kemudian secara cepat mengeluarkan napas dengan dihembuskan secara kuat melalui mulut yang sudah ada alatnya dan tidak boleh ada udara yang keluar melalui hidung. Dilakukan 3 kali pengukuran berturut-turut pada tiap sample dengan diselingi istirahat minimal 2 menit antar pemeriksaan dan diambil nilai yang terbesar. Setiap akan ganti probandus, alat dibersihkan dengan alkohol 70%.

Nilai yang dianggap reprodusibel ialah jika perbedaan antara dua nilai yang didapat < 10%. Manuver tidak bisa diterima jika terlambat waktu mulai manuver, batuk, dan mengakhiri belum pada saatnya.

Baca hasil pengukuran APE (nilai APE) ukur pada peak flow meter (dalam L/menit). Berdasarkan umur dan tinggi badan sampel penelitian, dibaca nilai APE prediksi pada table nilai normal APE untuk pria Indonesia berdasarkan penelitian tim IPP 1992.


(30)

I. Identifikasi variabel

1. Variabel Bebas : PPOK stabil

2. Variabel Terikat : Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) 3. Variabel Luar :

a. Terkendali yaitu riwayat TB paru, asma, umur, jenis kelamin, ras, rokok, dan tinggi badan.

b. Tidak terkendali yaitu polusi udara, nutrisi, status sosial ekonomi, genetik.

J. Definisi Operasional variabel 1. Variable bebas :

a. PPOK stabil

a. Definisi : PPOK stabil adalah Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang memiliki kriteria yaitu tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik, hasil analisis gas darah menunjukkan PH normal PCO2 > 60 mmHg dan PO2 < 60 mmHg,dahak tidak berwarna atau jernih, aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri), Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan, tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.(PDPI, 2001) b. Alat ukur : Diagnosis dokter

c. Skala Pengukuran : Nominal b. Orang Sehat


(31)

1) Definisi : Yang dimaksud sebagai orang sehat dalam penelitian ini adalah orang yang apabila diperiksa faal parunya tidak ada restriksi dan obstruksi, dan juga tidak menderita penyakit yang dapat menyebabkan restriksi maupun obstruksi.

2) Alat ukur : Diagnosis dokter 3) Skala Pengukuran : Nominal 2. Variable terikat : Nilai Faal Paru

a.Definisi : Yang dimaksud nilai faal paru dalam penelitian ini adalah nilai APE yaitu jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer (Menaldi, 2001)

b.Alat Ukur : Mini Wright Peak Flow Meter c.Satuan : L/menit

d.Skala Pengukuran : Interval 3. Variabel Luar Terkendali

a. TB Paru

Definisi: penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2002).

b. Asma

Definisi: Merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif,


(32)

keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan (PAPDI, 2007).

c. Umur

Definisi: Umur sampel umur dalam tahun yang dihitung berdasarkan selisih tahun wawancara dengan tahun kelahiran (Mulyono, 2003).

d. Jenis Kelamin

Definisi: Jenis kelamin adalah jenis kelamin sampel dibedakan laki-laki dan perempuan (Mulyono, 2003)

e. Ras

Definisi: Sampel penelitian adalah WNI keturunan asli Indonesia. f. Tinggi Badan

Definisi: Tinggi badan sampel adalah tinggi bada sampel tanpa alas kaki dalam sentimeter yang diukur dengan stature meter (Mulyono, 2003)

g. Rokok

Definisi:Derajat berat merokok diukur dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikali lama merokok dalam tahun. Perokok ringan 0-200, perokok sedang 201-600, sedangkan pada perokok berat > 600 (PDPI, 2000)


(33)

Data yang diperoleh pada penelitian ini akan dianalisis dengan analisis uji t menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows. Uji t adalah statistik parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata dua sampel (Sugiyono, 2005).

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian tentang perbandingan nilai faal paru pada penderita PPOK Stabil dengan Orang Sehat yang dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr.Moewardi pada awal bulan November 2009 sampai akhir Februari 2010. Besar sampel keseluruhan pada penelitian ini adalah 60 orang yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri dari 30 orang penderita PPOK stabil dan 30 orang sehat.

Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan umur

PPOK Orang Sehat

Umur (tahun)

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%)

45-50 3 10 3 10

51-55 1 3,33 2 6,67

56-60 3 10 4 13,33

61-65 4 13,33 6 20


(34)

71-75 6 20 5 16,67

76-80 0 0 1 3,33

81-85 2 6,67 1 3,33

Jumlah 30 100 30 100

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa umur sampel PPOK stabil dan orang sehat di Poliklinik Paru RSDM paling banyak adalah kelompok umur 66-70 tahun yaitu 11 orang dan 8 orang.

Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan tinggi badan

PPOK Orang Sehat

Tinggi badan (cm)

Frekuensi Presentase (%) Frekuensi Persentase (%)

150-155 6 20 1 3,33

156-160 5 16,67 5 16,67

161-165 11 36,67 11 36,67

166-170 6 20 5 16,67

171-175 1 3,33 4 13,33

176-180 1 3,33 4 13,33

Jumlah 30 100 30 100

Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sampel terbanyak adalah kelompok dengan tinggi badan 161-165 cm baik sampel PPOK stabil maupun orang sehat yaitu sebesar 11 orang (36,67%).


(35)

Tabel 4.3. Hasil uji t tentang beda Arus Puncak Ekspirasi (APE) antara penderita PPOK stabil dengan Orang sehat

Kelompok mean SD t p

PPOK stabil 43,7 12,9 16,62 < 0,001

Orang sehat 89,4 7,8

Rata-rata persentase APE pada penderita PPOK stabil dengan orang sehat adalah masing-masing sebesar 43,7 % dan 89,4%.

Dari uji normalitas dengan uji Shapiro Wilk terhadap nilai APE pasien PPOK stabil dan orang sehat didapatkan nilai p=0,137 dan p=0,716. Jadi, bisa dikatakan distribusi frekuensi APE pada kedua kelompok normal. Dengan demikian analisis menggunakan uji t dapat dilaksanakan.

Setelah dilakukan uji t, maka didapatkan nilai p= 0,000, jadi terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai APE antara kelompok PPOK stabil dengan orang sehat. Ternyata nilai APE penderita PPOK stabil lebih rendah (43,7%) dibandingkan dengan nilai APE orang sehat (89,4%).


(36)

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian mengenai perbandingan nilai Faal Paru pada penderita PPOK stabil dengan orang sehat dilaksanakan dari awal bulan November 2009 hingga akhir Februari 2010. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Paru RSUD DR. Moewardi Surakarta.

Pengukuran nilai APE didahului dengan wawancara untuk mengetahui apakah sampel memenuhi kriteria atau tidak. Setelah mendapatkan sampel yang telah memenuhi kriteria didapatkan 30 sampel kelompok penderita PPOK stabil dan 30 sampel kelompok orang sehat.

Besarnya nilai APE tergantung pada beberapa faktor, antara lain umur, tinggi badan, dan paparan inhalan di tempat kerja (Alsegaff et al., 1993). Dalam penelitian ini yang dibandingkan adalah presentase APE dimana nilai tersebut sudah dibagi dengan nilai APE prediksi berdasarkan umur dan tinggi badan. Sehingga faktor umur dan tinggi badan yang dapat mempengaruhi penurunan APE sudah dikendalikan.

Dari hasil analisis data persentase APE sampel PPOK stabil dan orang sehat dengan uji t didapatkan p=0,000 (p<0,05) yang berarti secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut, dimana persentase APE kelompok PPOK stabil lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat. Hal ini disebabkan


(37)

perubahan paru yang awalnya masih reversible lama kelamaan menjadi irreversible. Pembatasan aliran udara biasanya bersifat progresif sehingga nilai faal parunya menurun secara drastis. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor umur dan tinggi badan sampel. Semakin tua seseorang berarti juga mengalami paparan yang lebih lama terhadap berbagai penyebab PPOK.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Nindya Susiarini mengenai perbandingan nilai APE pada pria berusia 50 tahun, baik yang tidak mempunyai kelainan paru maupun yang menderita PPOK di RSUP dr.Kariadi Semarang. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa adanya perbedaan nilai APE yang bermakna antara kelompok penderita PPOK dan tanpa kelainan paru, dimana nilai APE kelompok penderita PPOK lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan paru.

Menurut Nolan dan White (1999) pengukuran FEV1 dinilai memiliki akurasi yang lebih dibandingkan dengan pengukuran APE dalam mendiagnosa PPOK. Namun demikian dalam penelitian yang dilakukan oleh Jackson dan Hubbard (2003) didapatkan bahwa 90% sampel penderita PPOK dalam penelitian yang mereka lakukan memiliki nilai APE yang kurang dari 80%.

Ada 3 faktor utama penyebab PPOK yaitu merokok, polusi udara, dan infeksi. Lingkungan kerja juga bisa menjadi faktor predisposisi. Selain itu juga bisa disebabkan

oleh faktor genetik yaitu defisiensi enzim α1-antitripsin. Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK saling memperkuat dan merokok merupakan faktor yang dianggap paling dominan terhadap terjadinya PPOK.

Paparan asap rokok akan mengakibatkan respon inflamasi yang berupa : edema, pembentukan proteoglikan dan kolagen di jaringan submukosa dan interstisial,


(38)

membesarnya sel mukous dan sel goblet serta meningkatnya jumlah pembuluh darah kecil yang kemudian berdilatasi, hipertrofi dan hiperplasi otot-otot jalan napas (Abiyoso, 2002). Akibat obstruksi saluran napas dan karena lebih mudah mengempis daripada saluran normal maka APE sangat berkurang (Guyton & Hall, 1997).

BAB VI


(39)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di RSUD DR. Moewardi pada awal bulan November 2009 hingga akhir Februari 2010 dapat disimpulkan bahwa terdapat perbandingan yang bermakna antara nilai faal paru penderita PPOK stabil dengan orang sehat, dimana nilai faal paru penderita PPOK stabil lebih rendah dibanding dengan orang sehat.

B. Saran

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih besar dan ruang lingkup penelitian yang lebih luas sehingga hasil yang diperoleh lebih bervariasi dalam hal distribusi dan frekuensi.

2. Peneliti menyarankan pada penelitian selanjutnya sebaiknya menyamakan jumlah sampel pada setiap kelompok umur dan tinggi badan agar didapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff H., Mangunegoro H. 1993. Nilai Normal Faal paru Orang Indonesia pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987. Surabaya: Airlangga University Press. pp : 26, 122-3


(40)

Barnes P.J., Shapiro S.D. and Pauwels S.A. 2003. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Fur Respir J. 22:672-688.

GINA. 2002. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma. P:70

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2008. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, GOLD 2008, p:10.

Guyton A.C., Hall E.J. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hansel T.T., Barnes P.J. 2003. An Atlas of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Washington, DC: The Parthenon Publishing Group. pp: 10-4.

Jackson H., Hubbard R. 2003. Detecting chronic obstructive pulmonary disease using peak flow rate: cross sectional survey. BMJ. 327: 653-4.

Jain P. 1998. Utility of Peak Expiratory Flow Monitoring. In: Chest the Cardiopulmonary and Critical Care Journal. Vol.114. p: 862.

Mansjoer A., Triyanti K., Savitri R., Wardhani W.I. dan Setiowulan W. (eds). 2000. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. edisi ke 3. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 480-2.

Menaldi R. 2001. Prosedur Tindakan Bidang paru dan Pernafasan dan Diagnosa dan Terapi. Jakarta: Bagian Pulmonologi FK UI, pp: 33-6.

Mulyono. 2003. Keserasian Ukuran Tempat Sujud (Shof Sholat) dengan Antropometri jama’ah di Masjid se-Kodya Surakarta. http://www.journal.unair.ac.id. (28 Maret 2009)

Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp: 110-4. Nolan D., White P. 1999. FEV 1 and PEF in chronic obstructive pulmonary disease

management. Thorax. 54: 468

PB PAPDI. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI 2007, p: 981.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2000. PPOK, Tantangan dan Penatalaksanaan di Abad 21. Dalam: Pertemuan Ilmiah Khusus 2000. PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2001. PPOK Pedoman Diagnosa dan


(41)

Pradjnaparamita. 1997. Persiapan Pemeriksaan APE dalam Pelangi Asma. Dalam: Kumpulan Makalah Workshop on Respiratory Physiology and Its Clinical Aplication. Jakarta: PDPI

Price S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 737-8,759,784

Riyanto B.S., Hisyam B. 2007. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam: Buku Ajar, Ilmu Penyakit Dalam. edisi ke 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. pp: 978-87

Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfa beta. p: 119.

Taufiqurrahman M.A. 2004. Pengantar Metodelogi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF.

Yunus F. 1997. Faal paru dan olahraga. Jur Resp Ind. 17:100-5

Yunus F., Wiyono W.H. dan Harahap F. 2003. Pemeriksaan Spirometri. Dalam: Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Yakarta: PIPKRA, p: 10.


(1)

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian mengenai perbandingan nilai Faal Paru pada penderita PPOK stabil dengan orang sehat dilaksanakan dari awal bulan November 2009 hingga akhir Februari 2010. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Paru RSUD DR. Moewardi Surakarta.

Pengukuran nilai APE didahului dengan wawancara untuk mengetahui apakah sampel memenuhi kriteria atau tidak. Setelah mendapatkan sampel yang telah memenuhi kriteria didapatkan 30 sampel kelompok penderita PPOK stabil dan 30 sampel kelompok orang sehat.

Besarnya nilai APE tergantung pada beberapa faktor, antara lain umur, tinggi badan, dan paparan inhalan di tempat kerja (Alsegaff et al., 1993). Dalam penelitian ini yang dibandingkan adalah presentase APE dimana nilai tersebut sudah dibagi dengan nilai APE prediksi berdasarkan umur dan tinggi badan. Sehingga faktor umur dan tinggi badan yang dapat mempengaruhi penurunan APE sudah dikendalikan.

Dari hasil analisis data persentase APE sampel PPOK stabil dan orang sehat dengan uji t didapatkan p=0,000 (p<0,05) yang berarti secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut, dimana persentase APE kelompok PPOK stabil lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat. Hal ini disebabkan


(2)

perubahan paru yang awalnya masih reversible lama kelamaan menjadi irreversible. Pembatasan aliran udara biasanya bersifat progresif sehingga nilai faal parunya menurun secara drastis. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor umur dan tinggi badan sampel. Semakin tua seseorang berarti juga mengalami paparan yang lebih lama terhadap berbagai penyebab PPOK.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Nindya Susiarini mengenai perbandingan nilai APE pada pria berusia 50 tahun, baik yang tidak mempunyai kelainan paru maupun yang menderita PPOK di RSUP dr.Kariadi Semarang. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa adanya perbedaan nilai APE yang bermakna antara kelompok penderita PPOK dan tanpa kelainan paru, dimana nilai APE kelompok penderita PPOK lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan paru.

Menurut Nolan dan White (1999) pengukuran FEV1 dinilai memiliki akurasi yang lebih dibandingkan dengan pengukuran APE dalam mendiagnosa PPOK. Namun demikian dalam penelitian yang dilakukan oleh Jackson dan Hubbard (2003) didapatkan bahwa 90% sampel penderita PPOK dalam penelitian yang mereka lakukan memiliki nilai APE yang kurang dari 80%.

Ada 3 faktor utama penyebab PPOK yaitu merokok, polusi udara, dan infeksi. Lingkungan kerja juga bisa menjadi faktor predisposisi. Selain itu juga bisa disebabkan oleh faktor genetik yaitu defisiensi enzim α1-antitripsin. Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK saling memperkuat dan merokok merupakan faktor yang dianggap paling dominan terhadap terjadinya PPOK.

Paparan asap rokok akan mengakibatkan respon inflamasi yang berupa : edema, pembentukan proteoglikan dan kolagen di jaringan submukosa dan interstisial,


(3)

membesarnya sel mukous dan sel goblet serta meningkatnya jumlah pembuluh darah kecil yang kemudian berdilatasi, hipertrofi dan hiperplasi otot-otot jalan napas (Abiyoso, 2002). Akibat obstruksi saluran napas dan karena lebih mudah mengempis daripada saluran normal maka APE sangat berkurang (Guyton & Hall, 1997).

BAB VI


(4)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di RSUD DR. Moewardi pada awal bulan November 2009 hingga akhir Februari 2010 dapat disimpulkan bahwa terdapat perbandingan yang bermakna antara nilai faal paru penderita PPOK stabil dengan orang sehat, dimana nilai faal paru penderita PPOK stabil lebih rendah dibanding dengan orang sehat.

B. Saran

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih besar dan ruang lingkup penelitian yang lebih luas sehingga hasil yang diperoleh lebih bervariasi dalam hal distribusi dan frekuensi.

2. Peneliti menyarankan pada penelitian selanjutnya sebaiknya menyamakan jumlah sampel pada setiap kelompok umur dan tinggi badan agar didapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff H., Mangunegoro H. 1993. Nilai Normal Faal paru Orang Indonesia pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987. Surabaya: Airlangga University Press. pp : 26, 122-3


(5)

Barnes P.J., Shapiro S.D. and Pauwels S.A. 2003. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Fur Respir J. 22:672-688.

GINA. 2002. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma. P:70

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2008. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, GOLD 2008, p:10.

Guyton A.C., Hall E.J. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hansel T.T., Barnes P.J. 2003. An Atlas of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Washington, DC: The Parthenon Publishing Group. pp: 10-4.

Jackson H., Hubbard R. 2003. Detecting chronic obstructive pulmonary disease using peak flow rate: cross sectional survey. BMJ. 327: 653-4.

Jain P. 1998. Utility of Peak Expiratory Flow Monitoring. In: Chest the Cardiopulmonary and Critical Care Journal. Vol.114. p: 862.

Mansjoer A., Triyanti K., Savitri R., Wardhani W.I. dan Setiowulan W. (eds). 2000. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. edisi ke 3. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 480-2.

Menaldi R. 2001. Prosedur Tindakan Bidang paru dan Pernafasan dan Diagnosa dan Terapi. Jakarta: Bagian Pulmonologi FK UI, pp: 33-6.

Mulyono. 2003. Keserasian Ukuran Tempat Sujud (Shof Sholat) dengan Antropometri jama’ah di Masjid se-Kodya Surakarta. http://www.journal.unair.ac.id. (28 Maret 2009)

Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp: 110-4. Nolan D., White P. 1999. FEV 1 and PEF in chronic obstructive pulmonary disease

management. Thorax. 54: 468

PB PAPDI. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI 2007, p: 981.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2000. PPOK, Tantangan dan Penatalaksanaan di Abad 21. Dalam: Pertemuan Ilmiah Khusus 2000. PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2001. PPOK Pedoman Diagnosa dan


(6)

Pradjnaparamita. 1997. Persiapan Pemeriksaan APE dalam Pelangi Asma. Dalam: Kumpulan Makalah Workshop on Respiratory Physiology and Its Clinical Aplication. Jakarta: PDPI

Price S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 737-8,759,784

Riyanto B.S., Hisyam B. 2007. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam: Buku Ajar, Ilmu Penyakit Dalam. edisi ke 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. pp: 978-87

Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfa beta. p: 119.

Taufiqurrahman M.A. 2004. Pengantar Metodelogi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF.

Yunus F. 1997. Faal paru dan olahraga. Jur Resp Ind. 17:100-5

Yunus F., Wiyono W.H. dan Harahap F. 2003. Pemeriksaan Spirometri. Dalam: Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Yakarta: PIPKRA, p: 10.