Efek latihan pernafasan terhadap faal paru, derajat sesak nafas dan kapasitas fungsional penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil

(1)

TESIS

EFEK LATIHAN PERNAFASAN TERHADAP FAAL PARU,

DERAJAT SESAK NAFAS DAN KAPASITAS FUNGSIONAL

PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK STABIL

OLEH

HARIMAN ALAMSYAH S

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU DAN KEDOKTERAN

RESPIRASI FK USU – RSUP.H.ADAM MALIK

MEDAN

2010


(2)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Efek latihan pernafasan terhadap faal paru, derajat sesak nafas dan kapasitas fungsional penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil

Nama : Hariman Alamsyah S

Program Studi : Program pendidikan dokter spesialis I paru dan kedokteran respirasi

Menyetujui Pembimbing

Dr. Amira Permata Sari Tarigan SpP NIP. 19691107.199903.2.002

Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen Departemen Ilmu Peny. Departemen Ilmu Peny. Ilmu Peny. Paru dan Paru dan Kedokteran Paru dan Kedokteran Kedokteran Respirasi

Respirasi Respirasi

Prof.Dr.H.Tamsil S.Sp.P(K) Dr.H.Hilaluddin S. DTM&H, SpP(K) Prof.Dr.H.Luhur Soeroso, SpP(K) NIP.19521101.198003.1.005 NIP.19451007.197302.1.002 NIP.19440715.197402.1.001


(3)

TESIS

PPDS ILMU PENYAKIT PARU DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Judul Penelitian : Efek latihan pernafasan terhadap faal paru, derajat sesak nafas dan kapasitas fungsional penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil

Nama Peneliti : Hariman Alamsyah S

NIP : -

Pangkat / Golongan : -

Fakultas : Kedokteran Univesitas Sumatera utara

Program studi : Program pendidikan dokter spesialis I Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

Jangka Waktu : 4 (empat) bulan

Lokasi Penelitian : Poli Paru RS. Tembakau Deli Medan dan Poli Paru RS. Bangkatan Binjai

Biaya yang diperlukan : Rp.10.200.000


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBARAN PERSETUJUAN i

USULAN PENELITIAN ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

DAFTAR SINGKATAN viii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang 1

1.2.Perumusan Masalah 3

1.3.Hipotesis 4

1.4.Tujuan Penelitian 4

1.4.1. Tujuan umun 4

1.4.2. Tujuan khusus 4

1.5.Manfaat Penelitian 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PPOK 6

2.2. Otot dan Mekanisme Pernafasan pada PPOK 9

2.3. Sesak nafas pada PPOK 12


(5)

2.5. Kapasitas fungsional pada PPOK 19

2.6. Pemeriksaan Faal Paru pada PPOK 21

2.7. KERANGKA KONSEP 23

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian 24

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 24.

3.3. Populasi dan Sampel 24

3.3.1. Populasi 24

3.3.2. Sampel 24

3.3.3. Kriteria inklusi dan eksklusi 24

3.4. Besar Sampel 25

3.5. Cara Kerja 26

3.6. Kerangka Operasional 31

3.7. Identifikasi Variabel 32

3.8. Definisi Operasional 32

3.9. Bahan dan alat 33

3.10. Manajemen dan Analisa Data 34

3.10.1. Analisis Data 34

3.10.2. Pengolahan Data 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 35


(6)

4.3. Pembahasan Penelitian 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 54

5.2. Saran 55


(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sudah mulai menjadi masalah kesehatan yang membutuhkan perhatian, dimana jumlah penderita PPOK di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1995, di Indonesia PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kelima.1,2 . Dalam SEAMIC Health Statistic yang diterbitkan maret 2001 tampak bahwa bronkitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di negara kita (3,6%).1

Dewasa ini lebih dari 30 juta orang Amerika yang menderita PPOK seperti emfisema, asma dan bronkitis kronik dan menghabiskan uang langsung dan tidak langsung sejumlah tidak kurang dari 61,2 milyar dolar setahunnya. Saat ini PPOK adalah penyebab kematian ke-4 di Amerika Serikat dan diperkirakan pada tahun 2020 menjadi penyebab kematian ke-3 pada pria dan wanita .4 WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering. Di seluruh dunia terdapat tiga juta kematian akibat PPOK setiap tahunnya.3,4

Penderita PPOK mengalami penurunan faal paru, penurunan kapasitas fungsional dan akhirnya terjadi penurunan kualitas hidup. Penderita PPOK selain mengalami penurunan faal paru, juga mengalami gangguan ekstrapulmonal. Salah


(8)

satu gangguan ekstrapulmonal adalah gangguan otot-tulang rangka.5 Gangguan otot-tulang rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penatalaksanaan PPOK terutama suportif, paliatif, meredakan gejala, meningkatkan kapasitas fungsional dan memperbaiki kualiti hidup pasien. Salah satu strategi penatalaksanaan PPOK adalah dengan rehabilitasi paru.6,7 Komponen dari rehabilitasi paru adalah edukasi, terapi fisik ( latihan pernafasan, fisioterapi dada, postural drainase ), latihan rekondisi ( jalan kaki, bersepeda, berlari ) dan bantuan psikososial. Latihan pernafasan merupakan salah satu program rehabilitasi paru yang manfaatnya masih diperdebatkan.

Pardy dkk. telah melakukan penelitian tentang latihan pernafasan selama 15 menit 2 kali sehari selama 8 minggu pada 9 orang pasien PPOK. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa latihan pernafasan tidak dapat memperbaiki faal paru tapi meningkatkan uji jalan 12 menit.8 Lioa dkk. melaporkan pada 10 orang penderita PPOK yang dilakukan latihan pernafasan selama 30 menit tiap hari selama 10 minggu, dimana hasilnya tidak ada perubahan faal paru dan uji jalan 6 menit secara bermakna.9 Sanchez dkk telah melakukan penelitian latihan pernafasan dengan alat INSPIRX pada 20 pasien PPOK, didapati hasil bahwa latihan pernafasan dapat mengurangi sesak nafas dan meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup penderita PPOK.10 Raymond dkk melalukan latihan pernafasan dengan pursed lips breathing selama 6 minggu pada 12 pasien PPOK dapat mengurangi sesak nafas dan kapasitas fungsional penderita PPOK.11 Thomas dkk melakukan penelitian latihan


(9)

pernafasan pada 30 orang penderita PPOK dengan alat COACH 2 insentive spirometer selama 15 menit 2x sehari selama 5 hari dalam seminggu selama 8 minggu dapat memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan dapat mengurangi sesak nafas.12

Penelitan tentang rehabilitasi paru masih sedikit di Indonesia. Walaupun ada, tetapi tidak menjadikan program latihan pernafasan sebagai salah satu program utama rehabilitasi paru dalam penelitian terhadapa penderita PPOK stabil.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek latihan pernafasan terhadap faal paru dengan pengukuran VEP1 dan VEP1/KVP, derajat sesak nafas dengan skala Medical Resecarh Council (MRC) dan kapasitas fungsional dengan uji jalan 6 menit pada pasien-pasien PPOK stabil.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Jumlah penderita PPOK semakin meningkat dari waktu ke waktu. WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat penyebab ke-3 kematian tersering, mengakibatkan kematian tiga juta orang setiap tahunnya dan menghabiskan tidak kurang dari 61,2 milyar dolar setiap tahunnya di Amerika Serikat.3,4 Penderita PPOK selain mengalami penurunan faal paru juga mengalami gangguan ekstrapulmonal, yang salah satunya adalah gangguan otot-tulang rangka.6 Sejumlah penelitian rehabilitasi paru telah dilakukan yang mana hasilnya tidak menunjukkan perbaikan dalam faal paru tapi dapat memperbaiki kapasitas


(10)

fungsionalnya. Penelitian terhadap latihan pernafasan sebagai salah satu program utama dari rehabilitasi paru belum dilakukan di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti efek latihan pernafasan terhadap faal paru (VEP1 dan VEP1/KVP), derajat sesak nafas dengan skala Medical Research Council (MRC) dan kapasitas fungsional pada penderita PPOK stabil RS.Tembakau Deli Medan RS. Bangkatan Binjai.

1.3. HIPOTESIS

1. Latihan pernafasan dapat meningkatkan faal paru ( VEP1 dan VEP1/KVP) pada

penderita PPOK stabil.

2. Latihan pernafasan dapat menurunkan derajat sesak nafas pada penderita PPOK stabil.

3. Latihan pernafasan dapat meningkatkatkan kapasitas fungsional pada penderita PPOK stabil.

1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. Tujuan umum:

Menganalisa efek latihan pernafasan terhadap penderita PPOK stabil di RSUP.H.Adam Malik Medan dan RS.Tembakau Deli Medan..

1.4.2. Tujuan khusus

1. Menganalisa efek latihan pernafasan terhadap faal paru (VEP1 dan VEP1/KVP)

terhadap penderita PPOK stabil di RS. Tembakau Deli Medan dan RS. Bangkatan Binjai.


(11)

2. Menganalisa efek latihan pernafasan terhadap derajat sesak nafas pada penderita PPOK stabil di RS.Tembakau Deli Medan dan RS. Bangkatan Binjai.

3. Menganalisa efek latihan pernafasan terhadap kapasitas fungsional melalui pemeriksaan tes berjalan 6 menit pada penderita PPOK stabil di RS. Tembakau Deli Medan dan RS. Bangkatan Binjai.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1. Memberi masukan agar latihan pernafasan dapat dipakai untuk penatalaksanaan penderita PPOK stabil yang berobat jalan ke poli paru.

2. Memberi masukan agar latihan pernafasan dapat dimasukkan sebagai bagian dari program rehabilitasi paru pada penderita PPOK stabil.

3. Memberi masukan untuk penelitian selanjutnya tentang rehabilitasi paru pada penderita PPOK stabil.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Definisi PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) adalah penyakit paru kronik ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun berbahaya.3

Data yang ada mengenai prevalensi dan morbiditas PPOK diperkirakan dibawah dari angka yang sebenarnya dikarenakan PPOK tidak selalu dikenal dan didiagnosis sebelum tanda klinik muncul. Tahun 1991 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat empat belas juta orang menderita PPOK, meningkat 41,5% dibandingkan tahun 1982. Kejadian meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok (90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok).3

WHO memperkirakan pada tahun 2020, PPOK menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian terbanyak, dengan tiga juta angka kematian dan beban PPOK pada masyarakat akan menduduki tingkat ke-3 meningkat dari sebelumnya rangking ke-6 (tahun 1990). Saat ini PPOK merupakan penyakit non-infeksi kedua terbanyak.3 Di Indonesia tidak ada yang akurat tentang kekerapan PPOK. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari waktu ke waktu tampak bahwa sekitar sepertiga morbiditas dan mortalitas di Indonesia adalah penyakit paru, termasuk didalamnya PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan


(13)

Republik Indonesia (SKRT) 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari sepuluh penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada SKRT 1995 menduduki peringkat kelima. Diperkirakan di Indonesia terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevalensi 5,6%. 2

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh obstruksi saluran nafas kecil dan emfisema. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan penimbunan kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratnya sakit.

Karateristik PPOK adalah peradangan kronis mulai dari saluran nafas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF dll yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada dua proses lain yang juga penting yaitu ketidakseimbangan proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.3,13,14

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Gejala utamanya adalah sesak nafas, batuk, wheezing dan peningkatan produksi sputum.15, Gejala bisa tidak tampak sampai kira-kira 10 tahun


(14)

sejak awal merokok. Dimulai dengan sesak nafas ringan dan batuk sesekali. Sejalan dengan progresifitas penyakit gejala semakin lama semakin berat.15

Foto toraks tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis PPOK tetapi dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang juga dapat menimbulkan gejala obstruksi saluran nafas ( bronkiektasis, kanker paru dan lain-lain).16

Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosa PPOK dan menilai derajat keparahan penyakit. Spirometri sekarang menjadi baku emas untuk mendiagnosa PPOK. Pada pengukuran spirometri penderita PPOK, didapat penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) dan penurunan kapasitas vital

paksa (KVP). Nilai VEP1/KVP selalu kurang dari 80% nilai normal. VEP1 merupakan

parameter yang paling umum dipakai unutk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.1,15,17

Panduan mengenai derajat/klassifikasi PPOK telah dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti American Thoracic Society (ATS), European Respiratory Society

(ERS), British Thoracic Society (BTS) dan terakhir adalah Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Keempat panduan tersebut hanya mempunyai perbedaan sedikit, kesemuanya berdasarkan rasio VEP1/KVP dan nilai

VEP1.

Tujuan penatalaksanaan PPOK terutama suportif, paliatif, meredakan gejala, meningkatkan kapasitas fungsional dan memperbaiki kualiti hidup pasien. Salah satu strategi penatalaksanaan PPOK adalah dengan rehabilitasi paru. Program rehabilitasi


(15)

paru tersebut meliputi edukasi, instruksi teknik pernafasan dan konservasi energi, fisioterapi dada, dukungan psikososial dan latihan rekondisi.6,7

Tabel 2.1. Klassifikasi Derajat Keparahan PPOK dari Beberapa Panduan 18,19 Derajat 0

(beresiko) Derajat I

50≤ VEP1

Ringan 70≤ VEP1

Ringan 60≤VEP1<80

Derajat I (Ringan) 80≥VEP1

Derajat I (Ringan) 80≥VEP1 Derajat II (Sedang) 50≤VEP1<80 Derajat II 35≤ VEP1<50 Sedang 50≤ VEP1<70 Sedang 40≤ VEP1<60

Derajat IIa (Sedang) 50≤VEP1<80

Derajat IIb 30≤VEP1<50

Derajat III (Berat) 30≤VEP1<50 Derajat III VEP1 < 35 Berat VEP1<50 Berat VEP1<40 Derajat III (Berat) VEP1 <50 & gagal nagas atau

gagal jantung kanan atau

VEP1<30

Derajat IV (Sangat berat) VEP1 <50 & gagal

nagas atau gagal jantung kanan atau

VEP1<30 ATS 1995 ERS 1995 BTS 1997 GOLD 2001 GOLD 2008

2.2. OTOT DAN MEKANISME PERNAFASAN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKSIF KRONIK

Pada PPOK terjadi gangguan otot pernafasan yang dipengaruhi kontraksi otot dan kekuatan otot pernafasan. Hilangnya daya elastisitas paru pada PPOK menyebabkan hiperinflasi dan obstruksi jalan nafas kronik yang menganggu proses ekspirasi sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang dan terdapat udara yang terjebak (air trapping). Air trapping dalam keadaan lama menyebabkan


(16)

diafragma mendatar, kontraksi kurang efektif dan fungsinya sebagai otot utama pernafasan berkurang terhadap ventilasi paru. Berbagai kompensasi otot interkostal dan otot inspirasi tambahan yang biasa dipakai pada kegiatan tambahan akan dipakai terus menerus hingga peran diafragma menurun sampai 65%. Volume nafas mengecil dan nafas menjadi pendek sehingga terjadi hipoventilasi alveolar yang akan meningkatkan konsumsi O2 dan menurunkan daya cadangan penderita. Frekuensi respirasi meningkat sebagai upaya untuk mengkompensasi saluran nafas yang kecil dan menimbulkan sesak nafas yang khas.20

Hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik yang menetap merupakan faktor penyebab disfungsi otot rangka. Disfungsi otot rangka pasien PPOK menyebabkan kelemahan otot rangka yang mempengaruhi toleransi latihan dan kualitas hidup pasien. Disfungsi otot rangka meliputi perubahan anatomi dan fungsi. Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara perubahan fungsi berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktivitas enzim.21

Kelemahan otot perifer ditemukan pada pasien PPOK sehingga membatasi kapasitas fungsional dan menurunkan kualitas hidup. Perubahan metabolik jaringan otot terutama disebabkan oleh hipoksia, muscle wasting dan perubahan kapasitas glikolisis. Keseimbangan biokimia tersebut dapat diperburuk oleh nutrisi kurang.22

Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK tidak hanya berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), tumor nekrosis factor-α (TNF-α),


(17)

penyakit paru dan selanjutnya berkembang menjadi penurunan massa otot rangka (muscle wasting).Muscle wasting adalah kehilangan fat-free mass index (FFMI) yaitu 0,16 kg/m2 pada laki-laki dan 0,15 kg/m2 pada perempuan ditemukan pada 25% pasien PPOK derajat 2 dan 3 serta 35% derajat 4. kehilangan absolut atau relatif FFMI menyebabkan perubahan metabolisme protein tubuh dan otot yaitu penurunan respon lipolitik setelah stimulasi beta-adrenergik. Muscle wasting akan menurunkan masukan nutrisi, meningkatkan konsumsi energi dan terapi dengan kortikosteroid dan mempengaruhi otot pernafasan mengakibatkan kelemahan otot nafas sehingga terjadi gagal nafas saat eksaserbasi.22

Pengurangan massa otot pada pasien PPOK terutama pada ekstremitas bawah. Faktor yang berperan pada proses pengecilan adalah Adenosine triphospate (ATP), TNF-∝, interferon γ (IFγ) dan apoptosis. Jalur ATP berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe otot sering merupakan respon terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama keadaan ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah besar dibandingkan organ viseral sedangkan otak tidak terpengaruh. Pengaruh TNF-∝ pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein dan hilangnya adult myosin heavy chain. IFγ mempengaruhi regulasi otot rangka melalui penghambatan serat otot baru yang terbentuk, degenerasi serat otot yang baru dibentuk dan ketidak mampuan memperbaiki kerusakan otot rangka. Proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis juga berperan pada pengecilan otot.22


(18)

Penurunan proporsi serat otot, atropi serabut otot tipe I dan tipe IIa vastus lateralis serta terjadi peningkatan serat IIb mengakibatkan penurunan berat badan. Penurunan serabut otot tipe I dan peningkatan relatif serabut tipe II didapatkan pada otot rangka perifer pasien PPOK stabil. Hal ini menunjukkan perubahan proses oksidatif ke glikolisis. Metabolisme glikolisis menghasilkan ATP yang lebih kecil dibandingkan metabolisme oksidatif sehingga sangat berpengaruh pada metabolisme otot rangka penderita PPOK.22

Penurunan massa sel tubuh mencapai lebih dari 40% merupakan manifestasi sistemik pada PPOK. Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam proses penurunan massa sel tubuh. Massa lemak bebas yang hilang dapat mempengaruhi proses pernafasan, fungsi otot perifer, kapasitas latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis pasien PPOK. Kehilangan berat badan yang terjadi yaitu sekitar 5% dari berat badan sebelumnya dalam waktu 3 bulan atau 10% dalam waktu 6 bulan terjadi pada 25-40% pasien PPOK. Kaheksia pada PPOK berhubungan dengan kelemahan otot, disfungsi diafragma, gagal nafas, menurunnya kualiti hidup dan kematian.23

2.3. SESAK NAFAS PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKSIF KRONIK

Sesak nafas pada PPOK terjadi oleh karena berbagai mekanisme. Perbedaan mekanisme ini berbadasarkan bentuk neuropsikologi: reseptor → saraf afferen → proses di susunan saraf pusat (SSP) → saraf efferen → sesak nafas.


(19)

Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena kebutuhan ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk.

Untuk mengukur derajat sesak nafas dapat menggunakan prinsip psikofisik. Dua tujuan untuk mengukur sesak nafas adalah untuk membedakan pasien sesak nafas yang lebih ringan dan sesak nafas yang lebih berat dan untuk mengevaluasi perubahan sesak nafas setelah pemberian pengobatan.

Salah satu dari kuesioner untuk mengukur derajat sesak nafas adalah skala

Medical Research Council (MRC) yang dikembangkan oleh Fletcher dkk. Skala ini terdiri atas lima poin. Skala ini berdasarkan satu pandangan tentang tindakan yang bisa menimbulkan sesak nafas, seperti berjalan. Skala MRC telah terbukti mampu mengklassifikasikan keparahan sesak nafas.21

2.4. LATIHAN PERNAFASAN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKSIF KRONIK

Sejarah rehabilitasi pertama kali dikembangkan pada penderita PPOK, kemudian diterapkan pada penyakit paru kronik misalnya penyakit interstisial, fibrosis kistik, bronkiektasis, bentuk dada abnormal, persiapan operasi dan evaluasi setelah operasi. Rehabilitasi dapat juga digunakan pada paska trauma akut, penderita


(20)

yang menggunakan ventilator yang lama dan penderita dengan gejala respirasi yang tidak stabil.24

Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan pengobatan standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala dan meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal. Tujuan utama adalah mengembalikan tubuh untuk hidup mandiri. Rehabilitasi paru mencakup usaha yang holistik untuk memulihkan keadaan pasien debilitating dan disabling untuk mencapai fungsi yang optimal. Pada tahun 1974, Committee of the American College of Chest Physician mendefinisikan rehabilitasi paru sebagai suatu seni dari ilmu kedokteran praktis yang disesuaikan secara individu, multidisiplin yang diformula berdasarkan diagnosis yang tepat, terapi, emosional atau pemulihan baik secara fisiopatologi maupun psikopatologi dari penyakit paru dan usaha pemulihan pasien mencapai kapasitas fungsional tertinggi sesuai dengan kelemahan dan kondisi secara keseluruhan. Menurut National Institute of Health (NIH) dan European Respiratory Society (ERS) adalah pelayanan multidimensi terus menerus langsung terhadapa pasien dengan penyakit paru dan keluarganya bisa secara interdisiplin tim ahli dengan tujuan mencapai dan mempertahankan tingkat maksimal individu serta fungsinya dalam masyarakat.24

Penderita yang dianjurkan untuk mendapatkan rehabilitasi paru adalah penderita dengan penyakit paru kronik, stabil dengan pengobatan standar, dapat dijangkau dengan pelayanan kesehatan primer, dapat dimotivasi secara aktif dan terdapat keterbatasan faal paru. Lamanya program rehabilitasi paru antara 4-12 minggu. Tempat rehabilitasi paru bisa dilakukan di rumah sakit maupun di rumah.


(21)

Strijbos dkk melaporkan perbaikan yang sama dalam penampilan latihan dan sesak setelah melakukan rehabilitasi di rumah sakit dan di rumah.25

Latihan pernafasan merupakan salah satu program rehabilitasi yang manfaatnya masih diperdebatkan. Purse-lip breathing sering dilakukan oleh pasien secara spontan, selama purse-lip breathing diaktifkan otot perut selama ekspirasi ternyata dapat memperbaiki pertukaran gas yang dapat dilihat dengan membaiknya saturasi oksigen arteri. Purse-lip breathing juga memperbaiki pola nafas, meningkatkan volume tidal dan mengurangi sesak nafas.26

Latihan pernafasan dilakukan untuk mendapatkan pengaturan nafas yang lebih baik dari pernafasan sebelumnya yang cepat dan dangkal menjadi pernafasan yang lebih lambat dan dalam. Tujuan latihan pernafasan :

1. Mengatur pola pernafasan dan kecepatan pernafasan sehingga mengurangi air trapping

2. Memperbaiki kemampuan pergerakan dinding dada

3. Memperbaiki ventilasi tanpa meningkatkan energi pernafasan 4. Melatih pernafasan agar sesak berkurang

5. Memperbaiki pergerakan diafragma

6. Meningkatkan rasa percaya diri penderita sehingga lebih tenang.

Teknik latihan nafas yang digunakan adalah pursed-lip breathing, pernafasan diafragma dan posisi membungkuk. Penderita PPOK yang mengalami hiperinflasi letak diafragma lebih rendah dan datar. Pada keadaan itu pergerakan otot-otot pernafasan tidak efektif. Pernafasan pursed-lip breathing bertujuan memberikan


(22)

manfaat subjektif pada penderita yaitu mengurangi sesak, rasa cemas dan tegang karena sesak. Pernafasan pursed lip breathing dilakukan dengan cara penderita duduk dan bernafas dengan cara menghembuskan melalui mulut yang hampir tertutup (seperti bersiul) selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan dapat menimbulkan tekanan saat ekspirasi sehingga aliran udara melambat dan meningkatkan tekanan dalam rongga perut yang diteruskan sampai bronkioli sehingga kolaps saluran nafas saat ekspirasi dapat dicegah.

Pernafasan diafragma dilakukan dengan cara meletakkan tangan kanan pada dinding dada dibawah klavikula dan tangan kiri diletakkan diatas umbilikus. Penderita disuruh inspirasi selama 2 detik kemudian udara dihembuskan secara perlahan selama 10 detik, waktu ekspirasi perut ditekan maksimal an diharapkan tekanan ekspirasi di mulut meningkat. Pernafasan diafragma adalah suatu teknik pernafasan yang diajarkan dalam program rehabilitasi ternyata kurang efisien. Kurang efisiennya latihan pernafasan ini karena dilibatkannya otot pernafasan tambahan dalam proses kontraksi otot pernafasan sewaktu inspirasi.27

Ada tiga tipe kategori latihan pernafasan yaitu normokapnia hiperpnea,

resistive loading training dan thresold loading training. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan belum jelas keunggulan dari metode yang satu terhadap metode yang lain.29

Metode dari normokapnia hiperpnea membutuhkan individu untuk mempertahankan tingkat target yang tinggi dari ventilasi sampai 30 menit. Untuk mencegah hipokapnia, seseorang bernafas biasa melalui ruang hampa udara. Sesi


(23)

latihan hanya dilakukan 3-5 kali perminggu untuk mencapai 70-90% dari maksimal ventilasi. Efek latihan dievaluasi dengan melihat perubahan waktu kelelahan selama latihan. Latihan ini harus dilakukan di rumah sakit dan memerlukan biaya yang tinggi.30

Metode dari resistive loading training adalah dengan menggunakan alat sederhana yang bisa dibawa dan digunakan satu per orang. Metode ini dilakukan dengan inspirasi dan ekspirasi melalui diameter lubang yang berbeda. Untuk suatu aliran udara dengan lubang yang kecil maka beban yang lebih besar tercapai.30 Ada beberapa contoh dari alat ini yaitu Respirex 2 dan Tri-Gym.

Gambar 2.1 Respirex 230 Gambar 2.2. Tri-Gym31

Tri-Gym merupakan alat latihan pernafasan untuk inspirasi dan ekspirasi. Terdiri atas dua katup untuk inspirasi dan ekspirasi yang didalamnya terdiri dari beberapa angka yang dipergunakan untuk menunjukkan tahanan yang diinginkan dan terdapat tiga tabung silinder untuk menunjukkan kecepatan aliran udara. Pada alat ini juga terdapat tiga buah bola yang berbeda warna untuk menunjukkan perbedaan tekanan yang melewati alat. Alat ini murah dan mudah untuk digunakan.31

Metode dari thresold loading training juga dengan menggunakan alat dan bisa dipegang dengan tangan. Dengan metode ini dapat menghasilkan tekanan negatif


(24)

yang adekuat pada saat dimulainya inspirasi dengan mengatasi beban pada alat. Alat ini terdiri dari pegas dan membutuhkan suatu tekanan inspirasi agar katup inspirasi terbuka dan memungkinkan untuk menghirup udara.30 Contoh dari alat ini yaitu:

Gambar 2.3. Thresold IMT 30

Latihan pernafasan dilakukan 20-30 menit perhari ( sekaligus atau 2x sehari ) dengan frekwensi minimal 3x perminggu selama 4-12 minggu. Tujuan latihan pernafasan dengan menggunakan alat ini adalah untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot melalui perubahan struktur serat-serat otot.32 Latihan pernafasan pada penderita PPOK akan menurunkan tekanan inspirasi maksimal dan tekanan transdiafragma. Penurunan tekanan inspirasi maksimal akan menyebakan berkurangnya sesak nafas. Bertambahnya kekuatan otot inspirasi dapat mengurangi sesak nafas sedangkan bertambahnya kekuatan otot ekspirasi dapat membantu pengeluaran sekret.33 Menurut Ramirez-Sarmiento dkk menyatakan bahwa proporsi serat otot tipe I meningkat 38% dan serat otot tipe II meningkat 21% dari otot-otot interkostalis eksternal setelah dilakukan latihan pernafasan. Akibat perubahan serat-serat otot itu akan menyebabkan bertambahnya kekuatan dan daya tahan otot sehingga sesak nafas berkurang dan dapat meningkatkan aktivitas dan kualitas hidup


(25)

penderita PPOK.32 Leth dan Bredley dalam penelitiannya setelah dilakukan lima minggu latihan pernafasan didapati kenaikan otot 55% dan kenaikan daya tahan 81 sampai 96%.33

2.5. KAPASITAS FUNGSIONAL PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Kualitas hidup adalah tingkat keadaan individu dalam lingkungan kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Kualitas hidup dapat dijadikan hasil pengukuran yang menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan penampilannya pada beberapa bidang misalnya kemampiuan fisik, okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi. Kualitas hidup penderita PPOK merupakan ukuran penting karena berhubungan dengan keadaan sesak yang akan menyulitkan penderita melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status fungsionalnya seperti merawat diri, mobilitas, makan, berpakaian dan aktivitas rumah tangga.34

Pada sistem Internasional Classification of Impairment and Handicap

(ICIDH) WHO, penyakit paru diklasifikasikan menjadi empat tingkat yaitu patologi,

impairment, disability dan handicap. Impairment saluran nafas merupakan hilangnya atau abnormalitas psikologis, struktur anatomi atau fungsi akibat penyakit saluran nafas. Impairment merupakan keadaan patologi dan dapat ditentukan dengan pengukuran laboratorium. Pada penyakit saluran nafas, impairment menunjukkan


(26)

penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan udara yang

terperangkap pada uji faal paru atau penurunan otot quadriceps pada uji fungsi otot.

Disabilty saluran nafas akibat penyakit paru menunjukkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas normal. Pada keadaan ini terjadi penurunan fungsi dinamis dan keterbatasan kerja fisik. Pada rehabilitasi paru ditentukan oleh uji lapangan seperti uji jalan dalam waktu yang ditentukan dan kuesioner indeks sesak untuk mengukur derajat sesak.

Handicap saluran nafas adalah suatu akibat impairment dan disability

sehingga pasien tidak mampu berperan dalam masyarakat seperti yang diharapkan, misalnya penurunan kinerja latihan saat uji jalan dalam waktu yang ditentukan merupakan disabilty tetapi kumpulan ketidakmampuan untuk memepertahankan pekerjaan adalah handicap.34

Pada tahun 1976, McGravin dkk memperkenalkan uji jalan 12 menit untuk mengevaluasi ketidakmampuan pasien PPOK. Kemudian dimodifikasi oleh Guyan dkk dengan uji jalan 6 menit. Uji jalan 6 menit dikembangkan kemudian ternyata hasilnya sebaik uji jalan 12 menit. Uji ini untuk menilai status fungsional pasien PPOK. Uji ini layak digunakan, objektif, murah dan mudah untuk dilakukan terutama pada pasien dengan pendidikan rendah. Indikasi uji jalan 6 menit adalah untuk mengukur status fungsional, memprediksi mortalitas dan morbiditas penyakit serta untuk mengukur respon pengobatan.34

Uji jalan 6 menit mempunyai korelasi bermakna dengan komsumsi oksigen maksimum (r=0,73) dan mempunyai korelasi bermakna dengan pengukuran kualitas


(27)

hidup. Jika dibandingkan dengan pengukuran VEP1 pada PPOK, uji jalan 6 menit

mempunyai reproduksibiliti lebih baik.36 Hubungan yang lemah ditemukan antara uji jalan 6 menit dengan VEP1. McGravin dkk yang pertama kali melaporkan hubungan

yang jelek antara jauhnya berjalan dengan VEP1 (r=0,28). Penjelasan yang terbaik untuk pengamatan ini adalah uji jalan 6 menit tidak hanya tergantung pada fungsi pernafasan tapi juga kardiovaskular, nutrisi dan kondisi otot perifer. VEP1

menggambarkan keterlibatan sistem pernafasan sedangkan uji jalan 6 menit menggambarkan efek sistemik dari penyakit.34

Pada penelitian terhadap 112 penderita PPOK berat yang stabil, perubahan kecil yang bermakna setelah latihan adalah 54 meter (CI:95%,37-71m). Pada penelitian lain mendapatkan nilai pada 117 laki-laki sehat yaitu rata-rata 580 m dan 173 perempuan sehat 500 m.36 Penelitian lain yang menggambarkan manfaat latihan dan latihan otot diafragma didapatkan rata-rata peningkatan 50 m (20%).35

2.6.PEMERIKSAAN FAAL PARU PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKSIF KRONIK

Pemeriksaan faal paru merupakan baku emas untuk menunjang diagnosis PPOK. Pemeriksaan ini juga berguna untuk menilai manfaat pengobatan. . Derajat beratnya PPOK juga ditentukan oleh pemeriksaan faal paru. Pemeriksaan spirometri merupakan sebagian dari pemeriksaan faal paru, yaitu pemeriksaan terhadap fungsi ventilasi.36,38 Ada empat volume paru utama dan empat kapasitas paru utama yang dapat diukur dengan pemeriksaan spirometer.37,39


(28)

Pada pengukuran spirometri penderita PPOK, didapat penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP). Nilai

VEP1/KVP selalu kurang dari 80% nilai normal. VEP1 merupakan parameter yang

paling umum dipakai unutk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Pemeriksaan VEP1 dan rasio VEP1 dan KVP merupakan pemeriksaan yang


(29)

2.7.KERANGKA KONSEP

PPOK

- Penurunan faal paru - Sesak nafas

Inflammasi sistemik

Peningkatan TNFα, CRP, IL-6, IL-8

- Batuk - Wheezing - Produksi sputum meningkat

Penurunan massa otot rangka Penurunan proporsi

otot:tipe I dan IIa <<, IIb

Perubahan fungsi Perubahan anatomi

Penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup

Rehabilitasi Paru

Latihan Pernafasan

- Mengurangi air trapping

- Memperbaiki pergerakan dinding dada - Memperbaiki ventilasi

- Sesak berkurang

- Memperbaiki pergerakan diafragma - Meningkatkan rasa percaya diri

Peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidup


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitan ini adalah uji klinis yang membandingkan efek latihan pernafasan pada penderita PPOK stabil dengan penderita PPOK stabil yang tidak mendapat latihan pernafasan.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitan ini dilakukan di Poli Paru RS.Tembakau Deli Medan dan RS. Bangkatan Binjai selama kurun waktu 4 bulan atau sampel telah terpenuhi.

3.3. POPOULASI DAN SAMPEL 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua penderita PPOK stabil yang berobat jalan di Poli Paru RS.Tembakau Deli Medan dan Poli Paru RS. Bangkatan Binjai

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kriteria eksklusi yang dipilih secara acak.

3.3.3. Kriteria inklusi dan eksklusi

a. Kriteria Inklusi:


(31)

2. VEP1 < 50% 3. VEP1/KVP < 70 % 4. Tidak sedang eksaserbasi 5. Umur 50-75 tahun

6. Meneruskan obat – obatan dari poli paru

7. Bukan pengikut senam atau jenis latihan lainnya b. Kriteria Eksklusi :

1. Menderita kelainan jantung 2. Menderita kor pulmonal 3. Mempunyai riwayat asma

4. Menderita SOPT ( Sindroma Obstruksi Paska TB paru ) 5. Menderita gangguan neurologik (stroke) dan saraf perifer lain 6. Menderita gangguan sendi

7. Menderita gangguan psikiatri 8. Menderita penyakit hernia

9. Mengalami eksaserbasi selama penelitian

3.4 BESAR SAMPEL

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus uji klinik, yaitu:40 n1 = n2 = (z∝ + zβ)2 s2


(32)

Z∝ : nilai baku dari tabel Z yang besarnya tergantung dari nilai α yang ditentukan, α = 0,05 → Zα = 1,96

Zβ : nilai baku dari tabel Z yang besarnya tergantung dari nilai β yang ditentukan, β = 0,015 → Zβ = 1,036

s : simpangan baku kedua kelompok = 0,29 x1-x2: perubahan nilai faal paru : 0,22

Jumlah sampel yang dibutuhkan :

n1=n2 = (1,960 + 1,036)2 0,292 = 15,49

[0,22]2

Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini = 16

3.5. CARA KERJA

Peserta yang dipilih untuk mengikuti penelitian ini adalah pasien-pasien yang memenuhi semua kriteria inklusi dan eksklusi. Untuk memastikan peserta adalah penderita PPOK dilakukan seleksi antara lain : berdasarkan diagnosa rawat jalan pada status pasien dan dilakukan pemeriksaan ulang oleh peneliti berupa anamnese, pemeriksaan fisik, foto toraks dan faal paru dengan spirometri. Gejala dan tanda kelainan yang diamati yaitu batuk berdahak dan sesak nafas yang lebih dari 3 tahun, suara pernafasan yang melemah dengan atau tidak disertai ekspirasi memanjang, dari foto toraks adanya sela iga melebar, jantung menggantung, hiperlusen, corakan bronkovaskular bertambah dan nilai faal paru VEP1 antara 30-80% dan rasio


(33)

seleksi menggunakan uji bronkodilator dengan cara memberikan bronkodilator inhalasi dosis terukur 2 semprot (Ventolin MDI) dan dibandingkan perubahan hasil perubahan Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudahnya dengan menggunakan Peak Flow meter. Yang dipilih sebagai peserta penelitian adalah nilai perubahan APE yang kurang atau sama dengan 15%. Menseleksi peserta dari Penyakit dari Sindroma Obstruksi Paska TB (SOPT) dilakukan antara lain dengan menganamnese peserta dan pemeriksaan foto toraks pasien. Yang dapat mengikuti penelitian yaitu pasien yang tidak ada riwayat pernah menderita menderita TB paru dan secara radiologi tidak dijumpai kelainan fibrosis atau kalsifikasi pada foto toraksnya. Untuk menseleksi pasien dengan kelainan jantung, gangguan neurologis, gangguan psikiatri, gangguan sendi, menderita penyakit hernia dilakukan antara lain dengan menganamnese peserta dan dari rekam medis peserta. Penderita yang mempunyai kelainan diatas tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dikelompokkan secara randomisasi sederhana untuk menentukan penempatan kelompok/grup penelitian. Randomisasi dilakukan dengan menggunakan pencabutan nama didalam amplop secara acak untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus mendapatkan perlakuan latihan pernafasan sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan latihan pernafasan.

Data awal peserta dicatat berupa : nama, umur, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, tinggi badan, riwayat merokok, lama menderita PPOK, pemakaian obat bronkodilator sehari-hari, derajat sesak nafas dengan skala


(34)

MRC (Medical Research Council), foto toraks, pengukuran faal paru dengan spirometri (VEP1 dan VEP1/KVP)..

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap 1:

Pada tahap awal penelitian, peserta penelitian melakukan uji jalan 6 menit dan diajarkan cara melakukan latihan pernafasan dengan alat Tri-Gym.

Cara melakukan uji jalan 6 menit :

1. Pastikan pasien dalam keadaan stabil sebelum melakukan uji jalan 6 menit. 2. Pasien diberikan nebulisasi bronkodilator sebelum dilakukan uji jalan 6 menit 3. Pasien duduk istirahat dikursi dekat tempat start 5-10 menit sebelum uji jalan

dilakukan, kemudian diberikan penjelasan tentang uji jalan : a. Diperkenalkan dengan lokasi, periksa tanda vital.

b. Berjalan di koridor sepanjang 30 meter bolak-balik. c. Menempuh jarak sejauh mungkin dalam waktu 6 menit.

d. Penderita harus dapat mengatur sendiri kecepatan jalannya agar nyaman dan tidak cepat lelah atau sesak (skala Borg 3-6).

e. Jika sesak/lelah (skala Borg 7-8) penderita boleh istirahat dan dapat meneruskan uji kembali bila sudah tenang.

4. Set stop watch untuk 6 menit

5. Posisikan pasien pada garis start kemudian mulai berjalan bersamaan dengan stop watch dihidupkan.


(35)

6. Jika pasien butuh istirahat waktu stop watch jangan dimatikan. Jika tidak dapat meneruskan lagi maka uji dibatalkan.

7. Uji jalan dihentikan bila stop watch telah berdering dan penderita diistirahatkan. 8. Catat jarak yang ditempuh dalam meter.

Cara melakukan latihan pernafasan :

Latihan pernafasan ini dengan menggunakan alat Tri-Gym terdiri atas latihan ekspirasi dan inspirasi.

Latihan ekspirasi:

- Putar dan buka katup pembuka yang paling atas (A) untuk mencapai hambatan yang diinginkan.

- Angka dari 0 sampai 8 menunjukkan peningkatan tahanan yang diinginkan. - Dimungkinkan untuk melihat tahanan yang sebenarnya (tekanan positif) melalui

manometer diantara rangka utama dan selang penghubung (B).

- Gunakan pipa mulut (C) untuk meniup ke alat sehingga bola-bola yang berwarna itu naik sesuai dengan aliran udara yang diinginkan.

Latihan inspirasi :

- Putar dan buka katup pembuka yang bawah (D) untuk mencapai hambatan yang diinginkan.

- Angka dari 0 sampai 9 menunjukkan peningkatan tahanan yang diinginkan. Dimungkinkan untuk melihat tahanan yang sebenarnya (tekanan negatif) melalui manometer di antara rangka utama dan selang penghubung (B).


(36)

- Gunakan pipa mulut (C) untuk meniup ke alat sehingga bola-bola yang berwarna itu naik sesuai dengan aliran udara yang diinginkan.

A B

D C

Gambar 3.1. Tri-Gym(31)

Latihan pernafasan yang terdiri dari latihan ekspirasi dan inspirasi dengan menggunakan alat Tri-Gym dilakukan selama 5 menit, 2x sehari pagi dan sore hari, setiap hari selama 4 minggu di rumah.36

Tahap 2:

Peserta penelitian melakukan kontrol ke poli Paru setiap minggu . Pada hari ke-28, peserta penelitian dilakukan pengukuran ulang faal paru (VEP1 dan VEP1/KVP),

derajat sesak nafas dan uji jalan 6 menit.

Peserta penelitian yang mendapatkan latihan pernafasan dan mengalami eksaserbasi selama penelitian dikeluarkan dari penelitian.


(37)

3.6. KERANGKA OPERASIONAL

Penderita PPOK stabil

- Spirometri

- Derajat sesak nafas (skala MRC) - Uji jalan 6 menit

Randomisasi

Kelompok kontrol: Terapi sehari-hari dan Tanpa latihan pernafasan

4 minggu

Dikeluarkan dari penelitian

Eksaserbasi

Analisa statistik - Spirometri

- Derajat sesak nafas (skala MRC) - Uji jalan 6 menit

Kelompok kasus : Terapi sehari-hari dan latihan pernafasan

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi


(38)

3.7. IDENTIFIKASI VARIABEL

1. Variabel bebas : latihan pernafasan 2. Variabel tergantung

1. Faal paru : VEP1, VEP1/KVP

2.Derajat sesak nafas (skala MRC)

3. Kapasitas fungsional (uji jalan 6 menit )

3.8.DEFINISI OPERASIONAL

1. Kriteria PPOK stabil :

a. Tidak dalam kondisi gagal nafas akut pada gagal nafas kronik. b. Dahak tidak berwarna atau jernih

c. Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK d. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

e. Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan 2. Derajat PPOK :

- Sedang : Pasien PPOK dengan atau tanpa gejala, VEP1 50-80%, VEP1/KVP < 70%

- Berat : Pasien PPOK dengan atau tanpa gejala, VEP1 30-50, VEP1/KVP < 70%

3. Faal Paru : yang dinilai adalahVEP1 ( Volume Ekspirasi Paksa per detik ) dan

KVP ( Kapasitas Vital Paksa )

4. VEP1 : Volume ekspirasi paksa persatu detik yaitu volume udara yang dikeluarkan

sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal


(39)

5. KVP : Kapasitas vital paksa yaitu jumlah udara yang bisa dikeluarkan maksimal setelah inspirasi maksimal yang dilakukan secara cepat dan paksa.

6. Kapasitas fungsional adalah tingkat kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

7. Uji jalan 6 menit : Penilaian terhadap status fungsi atau kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari penderita PPOK yang diuukur dalam meter. 8. Derajat sesak nafas : Tingkat keparahan sesak nafas dengan menggunakan skala

Medical Research Council (MRC).

9. Latihan pernafasan adalah latihan ekspirasi dan inspirasi dengan menggunakan alat Tri-Gym .

10. Terapi sehari-hari : terapi yang dipergunakan secara teratur dan didapat dari poli PPOK RSUP.H.Adam Malik dan Poli paru RS. Tembakau Deli Medan dan telah digunakan > 6 minggu sebelum penelitian.

3.9. BAHAN DAN ALAT

1. Spirometri merek chest graph III-101 yang sudah dkalibrasi (formulasi pneumobil) 2. Latihan pernafasan Tri-Gym (KM 805)

3. Alat nebulizer 4. Tensimeter 5. Stetoskop 6. Pulse oksimeter 7. Stop watch


(40)

9. Formulir data dasar 10. Formulir persetujuan

3.10. MANAJEMEN DAN ANALISA DATA 3.10.1. Analisis Data

Pengolahan data penelitian ini diformasikan dengan menggunakan langkah-langkah berikut :

Editing : untuk melengkapi kelengkapan, konsisitensi dan kesesuaian antara kriteria yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

Coding :untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan aneka karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer. • Cleaning : Pemeriksaan data yang sudah dimasukkan ke dalam progrm

komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.

3.10.2. Pengolahan data

Pada uji statistik dibandingkan parameter sebelum dan sesudah perlakuan digunakan uji t tidak berpasangan bila sebaran data normal. Bila sebaran data tidak normal, uji yang dilakukan adalah uji Wilcoxon dengan menggunakan SPSS 15 dengan tingkat kemaknaan :

a.p < 0,05 : bermakna


(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini jumlah penderita PPOK yang mengikuti penelitian sebanyak 32 orang. Dimana ke 32 penderita tersebut dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan perlakuan (mengikuti latihan pernafasan dengan alat tri-Gym) sebanyak 16 orang dan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan sebanyak 16 orang ( kontrol ). Jumlah subjek pada awal penelitian sama banyak dengan akhir penelitian dan tidak dijumpai subjek yang drop out. Pada hari ke 1 dan 28 seluruh subjek penelitian dipepriksa faal parunya (VEP1dan VEP1/KVP), derajat sesak nafas

dan dilakukan uji jalan 6 menit. Hasil penelitian kemudian dianalisa secara statistik dan hasil disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

4.2.KARAKTERISTIK PENDERITA

Karakteristik penderita kedua kelompok yang diperlihatkan pada tabel 4.1. s/d 4.8. menunjukkan nilai uji statistik yang tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok. Ke tiga puluh dua subjek penelitian semuanya berjenis kelamin laki-laki.

Umur

Distribusi peserta penelitian menurut umur pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.1. Kelompok perlakuan berumur antara 52 sampai 75 tahun dan kelompok kontrol berumur antara 53 sampai 75 tahun. Rerata umur kelompok


(42)

perlakuan adalah 64,94 (SD 7,938) dan kelompok kontrol 66 (SD 7,367). Hasil uji statistik menurut sebaran umur antara kedua kelompok menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,687).

Tabel 4.1. Sebaran umur subyek penelitian

Umur (tahun) Perlakuan Kontrol

Rerata Rentang

Standar Deviasi Jumlah

64,94 52-75 7,398 16

66 53-75 7,367 16 Uji T berpasangan p=0,687

Suku

Distribusi peserta penelitian menurut suku pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.2. Pada kelompok perlakuan terdiri atas suku Jawa 14 orang (87,5%), suku Batak 1 orang (6,25%) dan suku Melayu 1 orang (6,25%) sedangkan pada kelompok kontrol terdiri atas suku Jawa 9 orang (56,25%), suku Batak 4 orang (25%) dan suku Melayu 3 orang (18,75%). Hasil uji statistik menurut sebaran suku antara kedua kelompok tidak terdapat perbedan bermakna (p=0,143)

Tabel 4.2. Karakteristik penderita berdasarkan suku

Suku Perlakuan Kontrol n (%) n (%) Jawa 14 (87,5%) 9 (56,25%) Batak 1 (6,25%) 4 (25%) Melayu 1 (6,25) 3 (18,75%) Jumlah 16 (100%) 16 (100%) Uji Chi-Square p=0,143


(43)

Riwayat Pendidikan

Distribusi peserta penelitian menurut pendidikan pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.3. Pada kelompok perlakuan memiliki riwayat pendidikan tamatan SD 13 orang (81,25%), tamatan SMP 2 orang(12,5%) dan tamatan SMA 1 orang (6,25%) sedangkan pada kelompok kontrol yang tamatan SD 9 orang (56,25%), tamatan SMP 4 orang (25%) dan tamatan SMA 3 orang (18,75%). Hasil uji statistik menurut riwayat pendidikan antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,302)

Tabel 4.3. Karateristik penderita berdasarkan riwayat pendidikan Pendidikan Perlakuan Kontrol n (%) n (%) SD 13 (81,25%) 9 (56,25%) SMP 2 (12,5%) 4 (25%) SMA 1(6,25%) 3 (18,75%) Jumlah 16 (100%) 16 (100%) Uji Chi-Square p=0,302

Lama menderita PPOK

Distribusi peserta penelitian menurut lama menderita PPOK pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.4. Lama menderita PPOK pada kelompok perlakuan antara 5 sampai 20 tahun sedangkan pada kelompok kontrol antara 2 sampai 20 tahun. Rerata lama menderita PPOK pada kelompok perlakuan 8,44 tahun (SD 4,412) sedangkan pada kelompok kontrol 7,75 tahun (SD 5,247). Hasil uji


(44)

statistik menurut sebaran lama menderita PPOK anatara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,691).

Tabel 4.4. Sebaran lama menderita PPOK subyek penelitian

Umur (tahun) Perlakuan Kontrol

Rerata Rentang

Standar Deviasi Jumlah

8,44 5-20 4,412

16

7,75 2-20 5,247

16 Uji T berpasangan 0,691

Derajat PPOK

Distribusi peserta penelitian menurut derajat PPOK pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.5. Kelompok perlakuan terdapat derajat berat sebanyak 6 orang (37,5%) dan derajat sangat berat 10 orang (62,5%) sedangkan pada kelompok kontrol terdapat derajat berat sebanyak 7 orang (43,75%) dan derajat sangat berat 9 orang (56,25%). Klassifikasi derajat sangat berat pada kelompok perlakuan (62,5%) dan kelompok kontrol (56,25) merupakan peserta penelitian terbanyak. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna anatara kedua kelompok (p=0,719).

Tabel 4.5. Karakteristik penderita berdasarkan derajat PPOK

Derajat Perlakuan Kontrol n(%) n (%) Berat 6 (37,5%) 7 (43,75%) Sangat berat 10 (62,5%) 9 (56,25%) Jumlah 16 (100%) 16 (100%) Uji Chi Square p=0,719


(45)

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Distribusi peserta penelitian menurut IMT pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.6. .IMT pada kelompok perlakuan antara 15,27 sampai 26,10 sedangkan pada kelompok kontrol antara 14,85 sampai 29,62. Rerata IMT kelompok perlakuan 19,86 (SD 3,84) sedangkan pada kelompok kontrol 22,04 (SD 4,17). Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,135). Tabel 4.6. Sebaran subyek penelitian berdasarkan IMT

Indeks Massa Tubuh (IMT) Perlakuan Kontrol Rerata

Rentang

Standar Deviasi Jumlah

19,86 15,27-26,10

3,84 16

22,04 14,85-29,62

4,17 16 Uji T berpasangan p=0,135

Riwayat Merokok dan Indeks Briksman

Distribusi peserta penelitian menurut riwayat merokok dan Indeks Briksman pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.7. dan 4.8. Pada kelompok perlakuan seluruh subjek penelitian berjumlah 16 orang sudah berhenti merokok (100%) sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 13 orang (81,25%) yang sudah berhenti merokok dan 3 orang (18,75%) yang masih merokok. Hasil uji statistik menunjukkan antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,069). Berdasarkan lamanya merokok dan jumlah batang rokok yang dihisap perhari (Indeks Briksman=IB). Dimana IB adalah jumlah batang rokok yang dihisap dalam 1 hari dikali dengan lamanya merokok dalam tahun. IB pada kelompok perlakuan antara


(46)

300 sampai 960 sedangkan pada kelompok kontrol antara 215 sampai 1320. Rerata IB pada kelompok perlakuan 510,38 (SD 201,82) sedangkan pada kelompok perlakuan antara 600,44 (SD 253,36). Hasil uji statistik menunjukkan diantara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,275).

Tabel 4.7. Karakteristik penderita berdasarkan riwayat merokok

Riwayat merokok Perlakuan Kontrol n (%) n (%) Sudah berhenti merokok 16 (100%) 13 (81,25%) Masih merokok 0 (0%) 3 (18,75%) Jumlah 16 (100%) 16 (100%) Uji Chi-Square p=0,069

Tabel 4.8. Sebaran subyek penelitian berdarkan Indeks Briksman

Indeks Briksman (IB) Perlakuan Kontrol

Rerata Rentang

Standar Deviasi Jumlah

510,38 300-960

201,82 16

600,44 215-1320

253,36 16 Uji T berpasangan p=0,275

Nilai dasar VEP1, KVP, derajat sesak nafas skala MRC dan uji jalan 6 menit

Pada tabel 4.9. dapat dilihat rerata nilai dasar VEP1 kelompok perlakuan

adalah 600,63 (SD 350,04) ml dan kontrol 757,5 (SD 352,96) ml. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0,217). Pada tabel 4.10 dapat dilihat rerata nilai dasar KVP kelompok perlakuan adalah 918,75 (SD 491,85) ml dan kontrol 1236,25 (SD 675,33) ml. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0,14).


(47)

Pada tabel 4.11 dapat dilihat rerata derajat sesak nafas kelompok perlakuan adalah 3,63 (SD 0,62) dan kontrol 3,56 (SD 0,63). Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0,78). Pada tabel 4.12. dapat dilihat rerata uji jalan 6 menit pada kelompok perlakuan adalah 270,63 (SD 37,90) m dan kontrol adalah 276,25 (SD 28,72) m. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0,64).

Tabel 4.9. Nilai dasar VEP1

VEP1 (ml) Perlakuan Kontrol

Rerata Rentang Standar Deviasi Jumlah 600,63 230-1460 491,85 16 757,5 430-1450 352,96 16 Uji T berpasangan p=0,217

Tabel 4.10. Nilai dasar KVP

KVP (ml) Perlakuan Kontrol

Rerata Rentang Standar Deviasi Jumlah 918,75 320-2050 350,04 16 1236,25 710-2550 675,33 16 Uji T berpasangan p=0,14

Tabel 4.11. Nilai dasar derajat sesak nafas skala MRC Derajat sesak nafas

skala MRC

Perlakuan Kontrol

Rerata Rentang Standar Deviasi Jumlah 3,63 3-5 0,62 16 3,56 2-4 0,63 16 Uji T berpasangan p=0,78


(48)

Tabel 4.12. Nilai dasar uji jalan 6 menit

Jarak jalan 6 menit (m) Perlakuan Kontrol Rerata Rentang Standar Deviasi Jumlah 270,63 190-325 37,90 16 276,25 250-350 28,72 16 Uji T berpasangan p=0,64

Nilai VEP1 setelah 4 minggu

Nilai VEP1 setelah 4 minggu dapat dilihat pada tabel 4.13. Rerata nilai VEP1

setelah 4 minggu pada kelompok perlakuan 846,25 (SD 437,03) ml dan kontrol 726,25 (SD 328,08 ) ml. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok (p=0,387).

Tabel 4.13. Nilai VEP1 setelah 4 minggu

Perlakuan Kontrol

VEP1 (ml)

Perubahan VEP1 (ml) Perubahan VEP1 (ml)

Rerata Rentang Standar Deviasi 846,25 410-1660 437,03 726,25 370-1340 328,08 Uji T berpasangan p=0,387

Nilai KVP setelah 4 minggu

Nilai KVP setelah 4 minggu dapat dilihat pada tabel 4.14. Rerata nilai KVP setelah 4 minggu pada kelompok perlakuan 1403,75 (SD 538,76) ml dan kontrol 1177,5 (SD 634,15) ml. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna yang diantara kedua kelompok (p=0,286).


(49)

Tabel 4.14. Nilai KVP setelah 4 minggu

Perlakuan Kontrol

KVP (ml)

Perubahan KVP (ml) Perubahan KVP (ml) Rerata Rentang Standar Deviasi 1403,75 760-2800 538,76 1177,5 670-2470 634,15 Uji T berpasangan p=0,286

Derajat Sesak Nafas skala MRC setelah 4 minggu

Derajat sesak nafas setelah 4 minggu dapat dilihat pada tabel 4.15. Rerata derajat sesak nafas setelah 4 minggu pada kelompok perlakuan 2,63 (SD 0,5) dan kontrol 3,38 (SD 0,62). Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,001).

Tabel 4.15. Derajat sesak nafas skala MRC setelah 4 minggu

Perlakuan Kontrol

Derajat sesak nafas

Skala MRC Perubahan derajat sesak nafas Perubahan derajat sesak nafas Rerata Rentang Standar Deviasi 2,63 2-3 0,5 3,38 2-4 0,62 Uji t berpasangan p=0,001

Uji jalan 6 menit setelah 4 minggu

Uji jalan 6 menit setelah 4 minggu dapat dilihat pada tabel 4.16. Rerata perubahan jarak jalan 6 menit kelompok perlakuan 319,38 (SD 33,9)m dan kontrol 271,88 (SD 29,71m). Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,0001)


(50)

Tabel 4.16. Uji jalan 6 menit setelah 4 minggu

Perlakuan Kontrol

Uji jalan 6 menit

Perubahan jarak (m) Perubahan jarak (m) Rerata Rentang Standar Deviasi 319,38 250-360 33,9 271,88 250-350 29,71 Uji t berpasangan p=0,0001

Perubahan nilai VEP1, KVP, derajat sesak nafas dan jarak jalan 6 menit

Pada tabel 4.17 dapat dilihat perubahan nilai VEP1 kelompok perlakuan

adalah -245,62 (SD 87) ml sedangkan kelompok kontrol 31,29 (SD 24,88) ml dari nilai dasar yang secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0.235). Perubahan nilai KVP pada kelompok perlakuan adalah -485 (SD 46,91) ml sedangkan kelompok kontrol 58,75 (SD 41,18) ml, dari nilai dasar yang secara uji statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,03). Perubahan derajat sesak nafas pada kelompok perlakuan adalah 1 (SD 0,019) sedangkan kelompok kontrol 0,18 (SD 0,01), dari nilai dasar yang secara uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,02). Perubahan uji jalan 6 menit pada kelompok perlakuan -48,75 (SD 4) m sedangkan pada kelompok kontrol 4,37 (SD 0,99) m, dari nilai dasar yang secara uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,001).

Tabel 4.15. Perubahan nilai VEP1, derajat sesak nafas dan uji jalan 6 menit

Perlakuan Kontrol Variabel

X ± SD X ± SD

p ΔVEP1

Δ KVP

ΔDerajat sesak nafas ΔJarak jalan 6 menit

-245,62 ± 87 -485 ± 46,91 1 ± 0,019 -48,75 ± 4

31,29 ± 24,88 58,75 ± 41,18 -0,018 ± 0,01 4,37 ± 0,99

0,235 0,03* 0,02* 0,001*


(51)

0 100 200 300 400 500 600 700 800 Perlakuan Kontrol

VEP1 awal (ml) VEP1 akhir (ml)

Gambar 4.1. Perubahan nilai VEP1

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Perlakuan Kontrol KVP awal KVP akhir

Gambar 4.2. Perubahan nilai KVP

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Hr ke-1 Hr ke-28

Waktu

Sk

a

la Perlakuan

Kontrol


(52)

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300

Perlakuan Kontrol

Uji jalan 6 menit awal (m)

Uji jalan 6 menit akhir (m)

Gambar 4.4. Perubahan uji jalan 6 menit

Selama penelitian dilakukan tidak dijumpai efek samping yang timbul dan tidak ada yang mengalami eksaserbasi selama mengikuti penelitian. Pemakaian obat subjek selama penelitian ini adalah sama.

4.3. PEMBAHASAN PENELITIAN

Pada penelitian ini seluruh subyek penelitian berjumlah 32 orang, terdiri atas dua kelompok yaitu 16 orang kelompok yang mendapatkan perlakuan dan 16 orang kelompok kontrol. Keseluruhan subyek mengikuti penelitian sampai selesai. Pada kedua kelompok penelitian semuanya laki-laki. Sesuai dengan penelitian Yunus dkk. Di RSUP Persahabatan mendapatkan laki-laki (86,2%) dibanding perempuan (13,6%).41 Penelitian Riyadi dkk mendapatkan pasien PPOK laki-laki (92,8%) dibanding perempuan (7,2%),42 dan penelitian Amira dkk mendapatkan pasien PPOK keseluruhannya laki-laki (100%).43 Berdasarkan ini dapat digambarkan bahwa pasien PPOK lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Sebaran subyek menurut rerata umur antara kelompok perlakuan 64,94 (SD 7,938) dan kelompok kontrol 66 (SD 7,367), hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,687).


(53)

Hal ini sesuai dengan penelitian Wihastuti dkk mendapatkan rerata usia penderita PPOK adalah 65,4 dan penelitian Abidin dkk yang mendapatkan rerata usia penderita PPOK 66,2 dan Amira dkk mendapatkan umur 67,44.44 Perubahan faal paru terjadi secara perlahan-lahan sesuai dengan pertambahan usia. Sekitar usia diatas 30 tahun seseorang mulai berkurang fungsi parunya sekitar 25-30 ml pertahunnya dari nilai VEP1 dan seorang perokok akan mengalami penurunan yang lebih cepat yaitu sekitar

125 ml pertahunnya. Karena paru mempunyai cadangan yang cukup sejumlah bagian paru tidak berfungsi sebelum gejala muncul. Hal ini dapat terjadi hingga 30 tahun lamanya dan setelah paru mengalami kerusakan yang luas baru gejala akan muncul.45 Menurut laporan survey di Inggris tentang kunjungan berobat penderita PPOK meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Angka konsultasi per 10.000 populasi naik dari 417 paa umur 45-64 menjadi 866 pada umur 65-74 dan meningkat menjadi 1032 pada umur 75-84.46

Sebaran subjek penelitian berdasarkan suku, didapati hasil penderita PPOK terbanyak adalah suku jawa yaitu dari kelompok perlakuan 14 orang (87,5%) dan kontrol sebanyak 9 orang (56,25%). Hal ini sesuai dengan penelitian Nuryunita dkk (2006) di tempat yang sama, didapati hasil penderita PPOK terbanyak berasal dari suku jawa sebesar 70%.47

Sebaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan didapati hasil penderita PPOK terbanyak memiliki pendidikan SD (81,25%), sedangkan penelitian Amira dkk mendapatkan hasil penderita PPOK di BP4 RS Pirngadi terbanyak memiliki pendidikan SMA (56,25%).43 Lama menderita PPOK pada kelompok perlakuan


(54)

adalah 8,44 tahun dan kontrol adalah 7, 75 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Nuryunita dkk mendapatkan hasil lama penderita PPOK terbanyak lebih dari 5 tahun.47

Sebaran subyek penelitian berdasarkan derajat PPOK, hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,719). Klassifikasi derajat sangat berat pada kelompok perlakuan (62,5%) dan kelompok kontrol (56,25) merupakan peserta penelitian terbanyak. Derajat PPOK yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan GOLD 2008. Sebaran subyek penelitian berdasarkan IMT 19,86 (SD 3,84) sedangkan pada kelompok kontrol 22,04 (SD 4,17), hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,135). Rerata IMT pada kelompok perlakuan dan kontrol pada penelitian ini masih dalam batas normal. Riyadi dkk mendapatkan IMT pada penderita PPOK sebesar 19,7 pada kelompok perlakuan dan 20,2 pada kelompok kontrol dan Abidin dkk mendapatkan rerata IMT pada penderita PPOK sebesar 20,4.42

Pada penelitian ini semua penderita PPOK memiliki riwayat merokok, 16 orang dari kelompok perlakuan sudah berhenti merokok dan 3 orang dari kontrol yang masih merokok. Nilai rerata Indeks Briksman dari kelompok perlakuan adalah 510,38 dan kontrol adalah 600,44. Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan PPOK. 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok. Merokok dapat menyebabkan terjadinya PPOK anatara lain melalui mengurangi fungsi maksimum


(55)

paru yang dapat dicapai, menyebabkan percepatan awal terjadinya penurunan faal paru dan menyebabkan makin cepatnya penurunan faal paru.3

Nilai VEP1 sebelum penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak

terdapat perbedaan yang bermakna. Pada kelompok perlakuan setelah penelitian didapatkan peningkatan nilai VEP1 namun secara statistik tidak terdapat perbedaan

yang bermakna (p=0,239) sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan penurunan nilai VEP1 namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,17).

Nilai VEP1 pada PPOK mengalami penurunan sekitar 50 ml/tahun.45

Paltiel dkk melakukan penelitian pada 32 pasien PPOK mendapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna dalam VEP1.48 Belman dkk juga melaporkan

hasil yang tidak berbeda bermakna dalam VEP1 terhadap pasien PPOK yang

mendapatkan latihan pernafasan.49 Wouters menjelaskan tentang 3 tipe otot penderita PPOK yaitu myosin heavy chain-1 (MHC-1), MHC-2A dan MHC-2B. Tipe otot MHC-2B terdapt paling banyak pada PPOK daripada kedua tipe otot yang lain. Pada penelitian itu didapatkan korelasi yang tidak bermakna antara MHC-2B dengan nilai VEP1 (p=0,38) dan korelasi yang bermakna antara MHC-2A dengan VEP1

(p=0,05).50Sarmiento dkk melakukan penelitian terhadp 14 pasien PPOK dengan melakukan latihan pernafasan 30 menit tiap hari selama 5 minggu didapati peningkatan serat otot tipe I (MHC-1) sebanyak 38% dan peningkatan serat otot ttipe II (MHC-2) sebanyak 21%. Hal ini yang menyebabkan latihan pernafasan tidak akan terjadi perubahan VEP1 yang bermakna. 32


(56)

Nilai KVP sebelum penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Pada kelompok perlakuan setelah penelitian didapatkan peningkatan nilai KVP 485 ml sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan penurunan KVP 8,75 ml dan secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,03). Guell dkk meneliti tentang manfaat rehabilitasi paru dengan salah satu komponen latihannya adalah latihan pernafasan didapati hasil peningkatan KVP secara bermakna dan perubahan VEP1 yang tidak bermakna. Guell dkk

mengatakan latihan pernafasan akan menyebabkan peningkatan fleksibiliti dinding dada dan kekuatan otot-otot pernafasan. KVP tergantung atas kekuatan otot-otot pernafasan sedangkan VEP1 tidak, hal ini lah menyebabkan latihan pernafasan dapat

meningkatkan nilai KVP sedangkan VEP1 tidak berubah.51 Ries dkk. Meneliti

penderita PPOK yang mendapat program latihan pernafasan didapatkan hasil perbaikan volume residu (VR), kapasitas paru total (KPT), kapasitas residu fungsional (KRF) dan KVP sedangkan VEP1 tidak terjadi perbaikan. Hal ini

disebabkan pada program latihan tersebut akan menyebabkan perbaikan otot-otot ventilasi sehingga dapat mengurangi hiperinflasi paru.52

Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena kebutuhan ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk.21


(57)

Dua tujuan untuk mengukur sesak nafas adalah untuk membedakan pasien sesak nafas yang lebih ringan dan sesak nafas yang lebih berat dan untuk mengevaluasi perubahan sesak nafas setelah pemberian pengobatan.21 Pada Penelitian ini untuk mengukur derajat sesak nafas adalah dengan skala MRC (Medical Resecarch Council), skala ini terdiri atas 5 poin. Perubahan derajat sesak nafas pada penelitian ini didapati hasil pada kelompok perlakuan didapati penurunan derajat sesak nafas 1 skala dan kelompok kontrol didapati penurunan 0,18, hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,02).

Lisboa dkk melakukan penelitian pada 20 pasien PPOK dengan melakukan latihan pernafasan selama 30 menit selama 10 minggu mendapatkan hasil dapat mengurangi sesak nafas dibandingkan kontrol.9 Sanchez-Riera dkk melakukan penelitian pada 20 pasien PPOK dengan melakukan latihan pernafasan selama 15 menit 2x sehari selama 24 minggu didapati hasil perbaikan dalam sesak nafas tapi tidak signifikan bermakna dibandingkan kontrol.10 Harver dkk melakukan penelitan pada 20 pasien PPOK dengan melakukan latihan pernafasan 15 menit 2x sehari selama 8 minggu didapati hasil perbaikan dalam sesak nafas dan berbeda bermakna dibandingkan kontrol.53

Ortega dkk melakukan latihan pernafasan untuk melihat manfaat strength,

endurance training. Strength training adalah latihan dengan berbagai cara untuk menguatkan otot-otot pernafasan sedangkan endurance adalah latihan yang menetap pada satu cara tertentu. Kombinasi dari manfaat tersebut akan memperbaiki ventilasi, mengurangi volume akhir ekspirasi dan sesak nafas.53 Mota dkk melakukan penelitian


(58)

latihan pernafasan pada 16 pasien PPOK dalam waktu yang singkat (5 minggu) di dapati hasil tidak ada perubahan dalam faal paru diantara dua kelompok, peningkatan uji jalan 6 menit sebesar 13% pada kelompok perlakuan dan tidak ada perubahan dalam kelompok kontrol dan pengurangan derajat sesak nafas pada kelompok perlakuan (3±1 vs 2±1, p<0.01) tetapi tidak pada kelompok kontrol (2±2 vs 2±1). Menurut Mota dkk latihan pernafasan dapat mengurangi sesak nafas karena dapat mengurangi hiperinflasi melalui 2 cara, yaitu memodifikasi keseimbangan antara paru dan dinding dada (meningkatkan otot inspirasi dan mengangkat diafragma untuk mengurangi volume udara yang terperangkap di rongga dada) dan meningkatkan aktivitas otot ekspirasi untuk mengkompensasi aktivitas otot inspirasi.54

Kapasitas fungsional adalah kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penilaian obyektif kapasitas fungsional pada penelitian ini dilakukan dengan uji jalan 6 menit. Perubahan jarak jalan setelah penelitian pada kelompok perlakuan didapatkan peningkatan 48,75 m dan kelompok kontrol didapati penurunan 4,37 m, hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,001).

Weiner dkk melakukan latihan pernafasan pada pasien PPOK diperoleh hasil peningkatan jarak jalan 6 menit sebanyak 69 m pada kelompok perlakuan dan penurunan 10 m pada kontrol,48 Beckerman dkk mendapatkan peningkatan 72 m pada kelompok perlakuan dan penurunan 16 m pada kontrol56 dan Hill dkk mendapatkan peningkatan 28 m dan kelompok kontrol tidak berubah.57


(59)

Mota dkk menyatakan bahwa pada latihan pernafasan dapat mengurangi kebutuhan oksigen yang ditandai selama latihan pernafasan diamati bahwa saturasi oksigen, denyut jantung tidak berubah sementara aktivitas semakin meningkat. Hal ini lah yang mendasari bahwa latihan pernafasan dapat meningkatkan kapasitas fungsional penderita PPOK.55 Weiner dkk , mengamati 38 pasien PPOK yang mendapatkan latihan pernafasan dan diamati selama 1 tahun didapati peningkatan kapasitas fungsional, penurunan derajat sesak nafas dan tidak ada perubahan dalam faal paru setelah pengamatan 3 bulan. Terjadi penurunan faal paru pada kelompok kontrol sedangkan pada kelompok perlakuan tidak ada perubahan setelah pengamatan 9 bulan, tidak terjadi perubahan derajat sesak nafas yang bermakna setelah 9 bulan dan tidak ada perubahan uji jalan menit yang bermakna setelah pengamatan 6 bulan.56


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN

Telah dilakukan penelitian tentang efek dari latihan pernafasan dengan menggunakan alat Tri-Gym selama 15 menit, 2x sehari selama 4 minggu terhadap faal paru, derajat sesakan nafas dan kapasitas fungsional penderita PPOK dan diperoleh kesimpulan, yaitu: Latihan pernafasan pada penderita PPOK stabil derajat berat dan sangat berat dapat :

1. Meningkatkan nilai VEP1 namun secara statistik tidak bermakna dibandingkan

kelompok kontrol (p=0,235).

2. Meningkatkan nilai KVP dan secara statistik bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p=0,03).

3. Mengurangi derajat sesak nafas yang ditandai dengan terdapatnya penurunan bermakna skala Medical Research Council (MRC) sebesar 1 poin dibandingkan kelompok kontrol (p=0,02).

4. Meningkatkan kapasitas fungsional yang ditandai dengan terdapatnya peningkatan bermakna jarak jalan 6 menit sebesar 48,75 m dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001).


(61)

5.2 SARAN

1. Penderita PPOK harus kontrol secara rutin dan teratur ke poli paru untuk memantau progresivitas penyakitnya.

2. Program latihan pernafasan sebaiknya diberikan secara berkelanjutan pada penderita PPOK stabil.

3. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan kombinasi latihan pernafasan dengan program lain dari rehabilitasi paru yang lainnya sehingga dapat dicapai peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidup penderita PPOK stabil yang lebih maksimal.

4. Pada penelitian yang lebih lanjut perlu dilakukan pemantauan kadar VO2 max pada penderita PPOK yang program latihan pernafasan atau rehabilitasi paru.

5. Dalam penatalaksanaan penderita PPOK stabil, untuk mengevaluasi kemajuan terapi yang diberikan selain evaluasi faal paru juga sebaiknya juga dilakukan evaluasi derajat sesak nafas dan kapasitas fungsionalnya.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2004

2. Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125

3. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease updated 2008

4. Lopez AD, Murray CC. The global burden of disease 1990-2020. Nat med 1998; 4:1241-1243

5. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect on chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003; 21:347-360

6. Duerden Martin. The Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. MeRec Bulletin 2006; 16:17-20

7 Hui KP, Hewitt AB. A simple pulmonary rehabilitation program improve health outcomes and reduce hospitalization in patients with COPD. Chest 2003;

124:94-97

8. Pardy RL, Rivington RN, Despas PJ, et al. Inspiratory muscle training compared with physiotherapy in patients with chronic airflow limitation. Am Rev Respir Dis 1981; 123:421-425

9. Lisboa C, Munoz V, Beroiza KT, et al. Inspiratory muscle training in chronic air flow limitation: comparison of two different training loads with a threshold device. Eur Respir j 1994; 7:1266-1274

10.Sanchez HR, Teodoro MR, Francisco OR, Pilar CR, Daniel DC, Teresa EH et al. Inspiratory muscle training in patient COPD. Chest 2001;120;748-756

11. Raymond JC, Ronald DF, Adrian IA, John MT, Colleen B, Archie FW. Effect of breathing retraining in patient ith COPD. Chest 1981;79;393-398

12. Thomas AR, Christina MP, Dominic O, Edelbert I, Boulellier S. Respiratory muscle endurance training in COPD. Am J Respir Crit Care Med 2000;162;1709-


(63)

1714

13. Maranatha D. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). In: Alsagaff H, Wibisono J, Winariani eds. Buku ajar ilmu penyakit paru 2004. Surabaya. Gramik FK Unair 2004.9-30

14. Rennard SI, Barnes PJ. Pathogenesis of COPD. In: Barnes PJ, Drazen JM, Rennard S, Thompson NC, eds. Athma and COPD basic mechanism and clinical management. Amsterdam: Academic Press 2002.361-379

15. Nanshan Z. COPD vs Asthma making a correct diagnosis. Asia Pacific COPD Round Table Issue, 2003; 5:1-2

16. Tan WC. Support for the regional adaptation of the GOLD guidelines. Asia Pacific COPD Round Table Issue 2003; 5:3-4

17. American Thoracic Society. Standards for diagnosis and care of patients with COPD. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:77-120

18. Halphin DMG. COPD. United Kingdom : Moy,2001 :10-45

19. Ivor MA, Lowry J, Bourbeau J, Borycki E. Assesment of COPD. In: Bourbeau J. Nault D, Borycki E, eds. Comperehensive management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. London: BC Decker In; 2002:19-31.

20. Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease : systemic effect of COPD. Thorax 2002; 57:1067-1070

21. Donal AM. Mechanisme and measurement of dyspnea in chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc 2006, 3:234-238

22.Takabatake N, Nakamura H, Minamihaba O. A novel pathophysiologic phenomenon in cachexic patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163:1289-1290

23. Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effect of COPD. Chest 2002; 121:127-130

24.Oca MM, Torres SH Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle inflammation and nitric oxide in patient with COPD. Eur Respir J 2005; 26:390-397


(64)

25. Ries AL. Rehabilitation in chronic obstructive pulmonary disease and other respiratory disorder. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser RM, Senior RM, eds. Fishman’s Pulmonary disease and disorder, 3rd ed . New York: McGraw-Hill 1998.709-719

26. Casaburi R, ZuWallack R. Pulmonary Rehabilitation for Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. NEJM 2009; 360:1329-1335

27. Wijkstra PJ, Van Der Mark TW, kraan J, Van Altena R, Koeter GH, Postma DS. Effect of home rehabilitation on physical performance in patient with chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 1996; 9:104-110

28. Yunus F. Rehabilitasi penyakit paru obstruktif kronik. J.Respir Indonesia 2001; 21(4):138-140

29. American Thoracic Society. Pulmonary rehabilitation. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159:1666-16678

27..Donner CF, carone M, Bertolotig, Zotti AM. Methods of assessment of quality of life Eur Respir Rev 1997; 7:42-45

28. American Thoracic Society. ATS statement: Guidelines for the six-minute walk test. Am J Respir Crit Care Med 2002; 166:111-117

29. Redelmeier DA. Ahmed M, bayoumi, Roger S, Goldstein. Interpreting small differences in functional status : the six minute walk test in chronic lung disease patients. Am J Respir Crit care Med 1997; 155:1278-1282

30. Geddes EL,Reid WD, Brooks D, O’brien K, Crowe J. A primer on inspirator muscle trainers. Physioterapi Can 2004;56; 128-142

31.Tri-Gym Breathing Exerciser Avalaible from

http://www.medicalsearch.com.au.australia. Accesessed on September 2009

32. Ernesto C, Stefania , Leonardo MF, Enrico MC. Respiratory muscles training in COPD patients. International Journal of COPD 2007:2(1).19-25

33. Goldstein RS. Ventilatory muscle training. In: Simonds AK, Muir JF, Pierson DJ eds. Pulmonary Rehabilitation. London : BMJ Publishing Group 1996.45-67

34.Carter R, David B, Holliday, Nevasuruba C, Stocks J, Grothues C et al. six minute walk work for assessment functional capacity in patient with COPD. Chest 2003;123:1408-15


(1)

paru, uji jalan 6 menit dimana Bapak/Ibu/Saudara/i melakukan jalan biasa selama 6 menit dan boleh beristirahat bila kelelahan dan boleh berhenti sebelum 6 menit bila tidak sanggup untuk menyelesaikannya dan mengukur derajat keparahan sesak nafas. Setelah 4 minggu akan dilakukan pemeriksaan ulang spirometri, uji jalan 6 menit dan pengukuran derajat sesak nafas

Seluruh peserta akan ditentukan secara acak dengan cara yang sama yaitu mencabut nama dalam amplop, apakah seseorang mendapatkan perlakuan latihan pernafasan atau tidak. Bila Bapak/Ibu/Saudara/i secara acak mendapatkan latihan pernafasan, maka akan mengikuti program latihan pernafasan dengan menggunakan alat Tri-Gym selama 4 minggu, setiap hari selama 5 menit pagi dan sore hari yang dilakukan di rumah dan melakukan kontrol ke poliklinik sekali seminggu. Seluruh gejala dan tanda yang timbul akan dicatat dan diamati terus oleh peneliti. Bila secara acak Bapak/Ibu/Saudara/i tidak mendapatkan latihan pernafasan maka anda hanya melakukan kontrol ke poliklinik sekali seminggu.

Apabila selama program latihan pernafasan dan uji jarak jalan 6 menit timbul efek samping berupa sesak nafas, kelelahan dan denyut jantung yang meningkat, maka peserta diistirahatkan dan diberi oksigen, pengasapan pelega pernafasan dan anti pembengkakan sampai kondisi membaik

Kami sangat mengharapkan keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini karena selain bermanfaat untuk diri sendiri, juga bermanfaat bagi


(2)

dibebankan biaya apapun. Semua data dan hasil penelitian ini bersifat rahasia, tidak diketahui orang lain. Apabila berkeberatan, Bapak/Ibu/Saudara/i bebas untuk menolak mengikuti penelitian ini, tanpa khawatir akan mengurangi pelayanan kami. Jika sudah mengerti dan bersedia mengikuti penelitian ini, Bapak/Ibu/saudara/i dapat mengisi lembar persetujuan.

Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi Bapak/Ibu/saudara/i sekalian. Namun, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan pada penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/i dapat menghubungi saya.

Nama :Dr. Hariman Alamsyah S

Alamat Kantor :Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU- RS HAM - Jl.Bunga Lau no.17, Telp.061-8365915 Alamat rumah : Jl.Tangguk Bongkar X No.15 medan

Telp: 061-77578415/ 061-7350035

Demikian penjelasan ini saya sampaikan, kiranya hasil dari penelitian ini banyak bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 2009 Peneliti


(3)

LAMPIRAN 5

SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN ( INFORMED CONSENT ) Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ... Umur : ... Jenis kelamin : ... Pekerjaan : ... Alamat : ...

Setelah mempelajari dan mendapat penjelasan yang sejea;ls-jelasnya mengenai penelitian dengan judul EFEK LATIHAN PERNAFASAN TERHADAP FAAL PARU, DERAJAT SESAK NAFAS DAN KAPASITAS FUNGSIONAL PENDERITA PPOK STABIL, dan setelah mengetahui dan menyadari sepenuhnya resiko yang mungkin terjadi, dengan ini saya menyatakan bahwa saya bersedia dengan sukarela menjadi subjek penelitian tersebut dan patuh akan ketentuan-ketentuan yang dibuat peneliti. Jika sewaktu-waktu ingin berhenti, saya berhak untuk tidak mlanjutkan mengikuti penelitian ini tanpa ada sanksi apapun.

Yang menyatakan Peneliti

( ) ( dr. Hariman Alamsyah S)


(4)

(5)

LAMPIRAN 7

DATA PENELITIAN

N0 Nama Kelompok JK Umur Suku Pendi dikan merokok Rwyt IB IMT

Lama PPOK Derajat PPOK VEP1 awal VEP1 akhir KVP awal KVP

akhir Derajat Sesak awal erajat sesak akhir Jarak jalan 6 menit awal Jarak jalan 6 menit akhir 1 Tn.N Perlakuan

Laki-laki 70

Jawa SD Sudah

berhenti 300 23,17 5

Sangat

Berat 520 750 810 1400 4 3 325 350 2 Tn.MT Perlakuan

Laki-laki 74

Jawa SD Sudah

berhenti 600 15,42 10 Berat 730 840 1220 1490 4 3 265 300 3 Tn.T Perlakuan

Laki-laki 58

Jawa SMP Sudah

berhenti 370 26,1 12

Sangat

Berat 470 890 750 1330 3 2 265 330 4 Tn.KS Perlakuan

Laki-laki 75

Jawa SD Sudah

berhenti 960 15,42 20

Sangat

Berat 280 410 580 930 3 2 250 275 5 Tn.M Perlakuan

Laki-laki 73

Jawa SD Sudah

berhenti 696 20,78 10

Sangat

Berat 250 50 400 940 4 3 280 320 6 TN.LN Perlakuan

Laki-laki 66

Jawa SMA Sudah

berhenti 270 26 15

Sangat

Berat 230 480 240 980 3 3 275 300 7 Tn MU Perlakuan

Laki-laki 71

Jawa SMP Sudah

berhenti 360 15,75 5

Sangat

Berat 290 600 490 940 5 3 250 335 8 Tn. TU Perlakuan

Laki-laki 61

Jawa SD Sudah

berhenti 480 22,08 5

Sangat

Berat 650 1590 950 1330 4 3 195 260 9 Tn SA Perlakuan

Laki-laki 53

Jawa SD Sudah

berhenti 250 15,27 7

Sangat

Berat 260 500 380 760 4 3 190 250 10 Tn. SU Perlakuan

Laki-laki 60

Jawa SD Sudah

berhenti 480 16,67 4

Sangat

Berat 440 590 700 1200 4 3 260 320 11 Tn. SB Perlakuan

Laki-laki 58

Jawa SD Sudah

berhenti 360 24,26 10 Berat 1460 1660 2050 2800 3 2 300 350 12

Tn.

MG Perlakuan

Laki-laki 52

Jawa SD Sudah

berhenti 360 16,8 5

Sangat

Berat 580 830 1230 1630 4 3 300 360 13 Tn.RM Perlakuan

Laki-laki 72

Batak SD Sudah

berhenti 660 18,8 6 Berat 820 1120 1010 1470 3 2 285 350 14 Tn.K Perlakuan

Laki-laki 65

Melayu SD Sudah

berhenti 680 20,32 5 Berat 730 920 1180 1480 4 3 300 340 15 Tn.P Perlakuan

Laki-laki 68

Jawa SD Sudah

berhenti 620 18,26 10 Berat 1220 1440 1740 2420 3 2 270 \320


(6)

16 Tn.LE Kontrol

Laki-laki 63

Jawa SD

Masih 720 22,66 6 Berat 680 870 970 1360 3 2 320 350 17 Tn.JP Kontrol

Laki-laki 53

Jawa SMA Sudah

berhenti 480 19,38 10 Berat 990 910 1400 1320 3 3 250 250 18 Tn.SI Kontrol

Laki-laki 67

Jawa SD Sudah

berhenti 1320 14,85 18

Sangat

Berat 520 370 790 580 4 4 350 350 19 Tn.SR Kontrol

Laki-laki 70

Jawa SD Sudah

berhenti 660 16,67 5 Berat 560 580 720 780 4 3 250 260 20 Tn.BS Kontrol

Laki-laki 67

Batak SMA Sudah

berhenti 360 21,48 2 Berat 1450 1340 2550 2470 3 3 300 300 21 Tn.SK Kontrol

Laki-laki 75

Jawa SD

Masih 720 26,95 5 Berat 1350 1300 2460 2390 3 3 300 300 22 Tn.HS Kontrol

Laki-laki 50

Batak SMA

Masih 215 24,61 3

Sangat

Berat 800 820 1330 1240 3 3 300 300 23 Tn.Z Kontrol

Laki-laki 70

Jawa SMP Sudah

berhenti 360 18,02 2 Berat 610 580 1040 940 2 2 300 300 24 Tn. WI Kontrol

Laki-laki 53

Jawa SD Sudah

berhenti 432 25,44 10 Berat 1420 1310 2560 2260 4 4 250 250 25 Tn.BH Kontrol

Laki-laki 67

Batak SMP Sudah

berhenti 660 20,83 20

Sangat

Berat 580 560 870 820 4 4 260 250 26 Tn.KL Kontrol

Laki-laki 71

Jawa SD Sudah

berhenti 540 25,6 3 Berat 790 810 1270 1310 4 4 250 250 27 Tn.AA Kontrol

Laki-laki 68

Melayu SMP Sudah

berhenti 680 27,08 5

Sangat

Berat 480 440 760 700 3 3 270 250 28 Tn.AD Kontrol

Laki-laki 73

Melayu SMP Sudah

berhenti 720 29,62 10

Sangat

Berat 580 590 930 940 4 4 250 250 29 Tn.NG Kontrol

Laki-laki 69

Jawa SD Sudah

berhenti 500 20,38 7

Sangat

Berat 590 620 880 930 4 3 270 250 30 Tn.Sn Kontrol

Laki-laki 67

Jawa SD Sudah

berhenti 860 22,63 10

Sangat

Berat 430 470 710 770 4 4 250 250 31 Tn.AT Kontrol

Laki-laki 70

Batak SD Sudah

berhenti 620 18,67 8

Sangat

Berat 460 430 720 670 4 4 290 270

32

Tn.SD

Kontrol

Laki-laki 66

Melayu SD

Sudah

berhenti 480 20,35 6

Sangat