The Study of Cohabitation In The Use of Spaces P.comata (Trachypithecus Auratus) with Surili (Presbytis Comata Desmarest, 1822) on Mount Ciremai National Park.

STUDI KOHABITASI PENGGUNAAN RUANG
LUTUNG JAWA DENGAN SURILI DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG CIREMAI PROVINSI JAWA BARAT

WAKIDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Kohabitasi Penggunaan
Ruang Lutung Jawa dengan Surili di Taman Nasional Gunung Ciremai Provinsi
Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Wakidi
NIM E351110011

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

RINGKASAN
Studi kohabitasi penggunaan ruang Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) dengan
Surili (Presbytis comata Desmarest, 1822) Di Taman Nasional Gunung Ciremai
Provinsi Jawa Barat Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NOVIANTO
BAMBANG W
Informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies
yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar. Studi primata telah
berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan
pemanfaatan habitat dalam relung. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui
pola penggunaan ruang oleh Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata), 2)

Mengetahui luas relung ekologi (Niche Breadth) Lutung Jawa (T.auratus) dan
Surili (P.comata), 3) Mengetahui besarnya tumpang tindih relung ekologi (Niche
overlap ecologi) Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata),
Penelitian telah dilaksanakan pada Bulan Oktober 2012 sampai dengan
Bulan Februari 2013. Dalam penelitian ini dihitung besarnya derajat asosiasi
interspesifik antara Lutung Jawa dengan Surili dengan menggunakan Indeks
Jaccard. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui pengamatan langsung dan
wawancara dengan petugas lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu focal animal sampling pada lokasi yang diduga terdapat Lutung Jawa,
Surili maupun daerah yang terjadi kohabitasi antara Lutung Jawa dengan Surili di
TNGC. Unit contoh penelitian ini adalah Lutung Jawa, Surili dan pohon yang
digunakan oleh kedua spesies baik sendiri maupun digunakan secara bersamaan.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peta TNGC, 1 buah
kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah hagameter, 1
buah GPS receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buah phiban, 1
buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia perangkat lunak
Arcview 3.3 dan SPSS 16.0 for Windows.
Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa sebaran sapsial aktifitas
dalam dimensi ruang berupa rata-rata pemanfaatan ruang horizontal pada wilayah
jelajah T.auratus adalah 5,14 ha, untuk P.comata 5,31 ha. Luas jelajah P.comata

lebih besar dibandingkan dengan luas jelajah T.auratus hal ini disebabkan oleh
keberadaan jenis sumber pakan P.comata (75 jenis) lebih sedikit dibandingkan
jumlah jenis pakan T.auratus (82 jenis) menyebabkan pergerakan P.comata dalam
mencari pakan akan lebih jauh dibandingkan pergerakan T.auratus. Sedangkan
untuk pemanfaatan ruang vertikal rata-rata ketinggian yang dimanfaatkan oleh
T.auratus 27,72 m, sedangkan rata-rata ketinggian yang dimanfaatkan oleh
P.comata 27,5 m. Penggunaan ruang vertikal oleh T.auratus dan P.comata
memiliki kesamaan, hal ini terkait dengan keberadaan sumber pakan pada strata
tajuk pohon pakan, diketahui bahwa kedua spesies merupakan jenis primata
pemakan daun.
Perhitungan luas relung ekologi (Niche Breadth) dalam penggunaan
sumberdaya pakan oleh T.auratus adalah 0,7811 pada taraf nyata (selang
kepercayaan 95%), batas bawah dan atas nilai FT T.auratus adalah.. 0,7090 < FT<
0,8439
sedangkan luas relung ekologi .P.comata adalah 0,7615 nilai FT
P.comata adalah 0,6834 taraf nyata (selang kepercayaan 95%), batas bawah dan

atas nilai FT P.comata adalah 0,6834 < FT< 0,8298. Luas relung ekologi
T.auratus lebih besar dibandingkan luas relung ekologi P.comata. Perhitungan
nilai luas relung dengan memperhatikan sumberdaya pakan yang dipergunakan

oleh kedua spesies.
Besarnya tumpang tindih relung ekologi (Niche overlap ecologi) spesies
T.auratus dan P.comata. sebesar 0,999. Tumpang tindih relung( niche overlape)
terjadi karena penggunaan sumber daya pakan oleh kedua spesies memiliki
banyak kesamaan. Akan tetapi dalam penggunaan sumberdaya pakan yang sama
dilakukan secara bergantian dengan periode waktu berbeda sehingga tidak terjadi
konflik antara T.auratus dan P.comata.
Kata kunci : Kohabitasi, relung, T.auratus, P.comata, Taman Nasinal Gunung
Ciremai

SUMMARY
WAKIDI The Study of Cohabitation In The Use of Spaces P.comata
(Trachypithecus Auratus) with Surili (Presbytis Comata Desmarest, 1822) on
Mount Ciremai National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and
NOVIANTO BAMBANG W.
The Information on the use of space and the utilization of species feed
resource which is critical cohabitating to the wildlife conservation. Primate
studies have successfully demonstrated obvious difference regarding the selection
of feed and the utilization of the habitat in the recess. This research aimed at 1 )
finding out the use patterns of space by Javan Lutung (T.Auratus ) and Surili (

P.Comata ) 2 ) finding out the broad-ecological niches (niche breadth ) Javan
Lutung (T.Auratus ) and Surili (P.Comata) 3 ) finding out the overlapping
ecological niches ( niche overlap ecology ) Javan Lutung (T.Auratus ) and Surili (
P.Comata )
This study has been carried out in October 2012 until February 2013. This
study calculates the amount of interspesific degrees association between Javan
Lutung and Surili by using Index Jaccard. Collecting data is completed by direct
observation and interview with the field agents. The method used in this study is
focal animal sampling on the estimated site of Javan Lutung, Surili as well as the
regional that cohabitation happened between Javan Lutung and Surili in TNGC.
The samplings of this study are Javan Lutung, Surili, and trees that are used either
individually or simultaneously. The equipments used in this study are TNGC
map, Shunto compass, 1 piece of binoculars 8x21 Konica, 1 hagameter, 1 GPS
receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 piece of meter ribbon, 2 phiban, 1 digital
camera Olympus E420, 1 stopwatch, rope software Arcview 3.3 and SPSS 16.0
for Windows.
The results of the analysis and discussion show that distribution of spatial
activity in spatial dimensions are the average of horizontal space on T.auratus
ranges 5,14 ha, and on P.comata 5,31 ha. The Broad range of P.Comata is larger
than the broad range of T.Auratus, it is caused by the existence of the feed

resources P.Comata (75 types) is smaller than those kinds of feed T.Auratus ( 82
types ) that cause motion P.Comata in finding feed will be further than
movement of T.Auratus.Whereas the utilization of vertical space of average height
that utilized by T. Auratus is 27,72 m, while the average altitude is utilized by P.
Comata is 27.5 m.The use of vertical space by T. Auratus and S. Comata have in
common. This is related to the existence of a source of feed on the feed tree
canopy strata. It is known that the two species of primate is a species of leafeaters.
The calculation of ecological niches wide (Niche Breadth) in the use of
feed resources by T. Auratus is 0,7811 on a real level (95% confidence interval),
lower and upper boundary value of FT. T. Auratus is 0,7090 < FT < 0,8439 while
broad ecological niche of P. Comata is 0,7615 value of FT. P. Comata is 0,6834
on a real level (95% confidence interval), the lower and upper limit has value of

FT. P. Comata is 0,6834 < FT < 0,8298. The broad ecological niches of T.
Auratus is larger than the broad ecological niches of P. Comata. The calculation
of the value of the niche area of feed resources by taking into account that is used
by both species.
The magnitude of overlapping ecological niche (Niche overlap ecology) T.
Auratus and S. Comata species is 0,999. The overlap of the niche (niche overlape)
occurred because of the use of feed resource by both species have much in

common. However, in the use of the identical feed resources is done alternately
with different time periods so that no conflicts between T. Auratus and P. Comata.
Keywords : Cohabitation, Niches, T.Auratus, P.Comata, National Park
Mt.Ciremai

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI KOHABITASI PENGGUNAAN RUANG LUTUNG
JAWA DENGAN SURILI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG
CIREMAI PROVINSI JAWA BARAT


WAKIDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Nyoto Santoso,MS

Judul Tesis : Studi Kohabitasi Penggunaan Ruang Lutung Jawa
dengan Surili di Taman Nasional Gunung Ciremai
Provinsi Jawa Barat
: Wakidi
Nama

: E35111001
NlM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

vV,MSi

Dr Ir Yanto Santosa,DEA
Ketua
Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud. MS

2 S JUL 2013

Tanggal Ujian: 9 Juli 2013


Tanggal Lulus : ... ......... ... ..... .. 2013

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak 12 Oktober 2012 hingga 28 Februari 2013 ialah kohabitasi
spesies, dengan judul Studi Kohabitasi Penggunaan Ruang Lutung Jawa
(Trachypithecus auratus) dengan Surili (Prespbhytis comata) Di Taman Nasional
Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa,DEA
dan Bapak Dr.Ir. Novianto Bambang W,M.Si. selaku pembimbing serta Bapak
Dr. Ir. Nyoto Santoso,MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberikan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Kepala Taman Nasinal Gunung Ciremai berserta Staf, yang telah banyak
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan
kepada Istriku (Maya Indah Nurjanah,S.Pd.) dan anakku (Aliyah Fatinah
Ramadhan) serta seluruh keluarga besar, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juli 2013

Wakidi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1

PENDAHULUAN

1

Latar belakang

1

Tujuan penelitian

2

Manfaat penelitian

2

Kerangka pemikiran

3

METODE PENELITIAN

3

Lokasi dan Waktu

3

Alat dan bahan

3

Jenis data

4

Metode pengumpulan data

4

Metode Analisis data

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Sebaran spasial Lutung Jawa di TNGC

13

Sebaran spasial Surili di TNGC

19

Penggunaan ruang horizontal

24

Penggunaan ruang vertikal

27

Luas relung ekologi

33

Karakteristik pohon media kohabitasi

35

Implikasi terhadap pengelolaan TNGC

36

SIMPULAN DAN SARAN

38

Simpulan

38

Saran

38

2

3

4

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

42

RIWAYAT HIDUP

63

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8

Sebaran spasial T.auratus di SPTN Kuningan
Sebaran spasial T.auratus di SPTN Majalengka
Sebaran spasial P.comata di SPTN Kuningan
Sebaran spasial P.comata di SPTN Majalengka
Luas wilayah jelajah T.auratus di TNGC
Luas wilyah jelajah P.comata di TNGC
Penggunaan ruang horizontal T.auratus dan P. comata yang
berkohabitasi di TNGC

13
14
20
21
24
25

Rata-rata posisi ketinggian aktifitas harian T.auratus

29

9 Rata-rata posisi ketinggian aktifitas harian P.comata
10 Karekteristik pohon media kohabitasi antara T.auratus
11 Bentuk tajuk dan keberadaan pakan

27
31
37
37

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7

Bentuk petak analisis vegetasi metode jalur berpetak
Proposi bagian tumbuhan pakan yang dimakan T.auratus
Proporsi bagian tumbuhan pakan yang dimakan P.comata
Wilayah jelajah T.auratus. Dan P.comata yang berkohabitasi
Grafik posisi ketinggian aktifitas T.auratus
Grafik posisi ketinggian aktifitas P.comata
Grafik rata-rata posisi ketinggian aktifitas T auratus
Dan P.comata yang berkohabitasi pada setiap strata pohon

8
18
23
26
28
31
33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pancang
pada Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan dataran
rendah
2 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat tiang pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan dataran rendah

42
43

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pohon pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan dataran rendah
44
Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pancang pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan subpegunungan
45
Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat tiang pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan subpegunungan
47
Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pohon pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan subpegunungan
48
Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pancang
pada Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan pegunungan
50
Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat tiang pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan pegunungan
52
Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pohon pada
Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan pegunungan
54
Analisis Luas relung ekologi Lutung Jawa ( T.auratus)
56
Analisis Luas relung ekologi Surili (P.comata)
58
AnalisisTumpang Tindih relung ekologi T.auratus dengan P.comata
60
Nama ilmiah vegetasi di TNGC
62

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kerusakan hutan di indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan,
kerusakan tersebut memiliki dampak secara masif terhadap kelestarian satwa liar
dan terganggunya ekosistem. Akibat terjadinya kerusakan habitat, mendorong
satwa-satwa saling berbagi sumberdaya baik dengan cara kompetisi, asosiasi
maupun kohabitasi. Indonesia memiliki 40 jenis primata yang berasal dari lima
family (Suku), yaitu Pongidae (orangutan), Hylobatidae (owa dan siamang),
Cercophytecidae (monyet dan lutung), Tarsiidae (tarsius/binatang hantu) dan
Nycticidae (kukang/ malu-malu) (Supriatna dan Wahyono, 2000). Jenis-jenis
primata tersebut tersebar di beberapa pulau besar Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara serta pulau-pulau di sekitarnya
Primata merupakan satwa yang sensitif terhadap perubahan habitat, karena
satwa jenis ini sangat bergantung dengan vegetasi hutan, mengingat sumber
makananya sebagian besar adalah tumbuhan (Chivar & Raemakers,1980).
Menurut Ungar (1995) primata adalah subyek penting dalam mempelajari relung
karena kemudahan dalam mengumpulkan data perilaku makan dan strategi
pencarian pakan secara detail. Hasil studi tentang primata telah berhasil
menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan
habitat dalam relung. Spesies primata membedakan pakannya seperti frugifory
dan folyvory(Clutton-Brock & Harvey 1977), namun sering juga perbedaan pakan
karena alasan lainnya. Sebagai contoh, buah-buahan dipilih primata berdasarkan
kemasakannya, ukuran, keasaman dan komposisi kimiawinya (Ungar, 1995).
Selain itu ukuran tubuh juga menjadi faktor penting dalam pemilihan pakan oleh
primata(Kay 1984).
Nilai yang terkandung pada ekologi satwa liar adalah pengetahuan tentang
hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam
suatu komunitas. Teori relung (niche) menyatakan bahwa spesies yang
berkohabitasi akan beradaptasi untuk menghindari atau mengurangi persaingan
interspesifik dalam memanfaatkan sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981).
Hutchinson (1957) diacu dalam Odum (1993) mengemukakan istilah relung dasar
(fundamental niche) yang merupakan relung ekologi maksimal suatu organisme
dalam keadaan tak berkompetisi dengan sesamanya serta istilah relung nyata
(realized niche) sebagai relung hypervolume organisme dalam keadaan
berkompetisi. Akan tetapi hal tersebut masih sulit dipelajari, misalnya mekanisme
pembagian sumberdaya dan bagaimana pengaruh persaingan interspesifik
terhadap niche suatu spesies (Walter 1991). Meskipun sulit, ketertarikan pada
teori relung mendorong banyaknya penelitian tentang bagaimana perbedaan
eksploitasi sumberdaya dalam suatu komunitas oleh spesies-spesies berkohabitasi.
Spesies-spesies yang berkohabitasi membagi sumberdaya seperti dalam bentuk
perbedaan pemanfaatan ruang dalam habitat (Vrcibradic & Rocha 1996), metode
pencarian pakan (Slater1994), pemilihan pakan (Luiselli et al. 1998), dan pola
aktivitas (Wright 1989).

2
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditetapkan sebagai Taman
Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 424/MenhutII/2004 tanggal 19 Oktober 2004, dengan luas  15.500 Ha. Sebagian kawasan
TNGC sebelumnya merupakan wilayah pengelolaan Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat seluas 816.603 Ha. Pengelolaan oleh Perum Perhutani menyebabkan
sebagian vegetasi hutan di TNGC merupakan hutan tanaman industri. Kondisi
hutan yang homogen menyebabkan satwa-satwa kekurangan keanekaragaman
pakan (Ungar 1995). Diantara jenis satwa yang terpengaruh terhadap sistem
pengelolan tersebut adalah Lutung (Trachypithecus auratus) dan Surili (Presbytis
comata Desmarest, 1822). T. auratus dan P. comata adalah spesies yang
berkohabitasi di Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC). Pada primata yang
berkohabitasi, persaingan intraspesifik pencarian pakan berkembang seiring
dengan semakin besarnya koloni melalui persaingan interferensi (Isbell 1991).
Namun data tentang pengaruh eksploitasi pada persaingan spesies yang
berkohabitasi masih sangat sedikit (Connell 1983). Oleh karena itu penelitian
tentang kohabitasi T. auratus dan P. comata di Taman Nasional Gunung Ceremai
(TNGC) sangat penting dilakukan.

Tujuan
Penelitian tentang kohabitasi T. auratus dan P.comata di Taman Nasional
Gunung Ciremai (TNGC) Jawa Barat bertujuan untuk :
1. Mengetahui pola penggunaan ruang oleh T.auratus dan P. comata
2. Mengetahui luas relung ekologi (Niche Breadth) T.auratus dan P.comata
3. Mengetahui besarnya tumpang tindih relung ekologi (Niche overlap ecologi)
T.auratus dengan P.comata

Manfaat Penelitian
Penelitian tentang kohabitasi penggunaan ruang T.auratus dan P.comata di
TNGC diperoleh data tentang sebaran populasi T.auratus dan P.comata, pola
penggunaan ruang vertikal, ruang horizontal, luas relung dan tumpang tindih
relung, maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
a.
Sebagai salah satu faktor penting dalam rencana pengelolaan TNGC
b.
Sebagai acuan untuk penyusunan rencana ekowisata di TNGC
c.
Salah satu dasar dalam pengelolaan spesies T.auratus dan P.comata di
TNGC.
d.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang perilaku satwa yang
berkohabitasi.

3
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengkaji kohabitasi T.auratus dengan P.comata. Kajian ini
penting karena di kawasan TNGC kedua primata ini secara umum mempunyai
kesamaan sumber pakan dan penggunaan habitat secara bersama yang berimbas
pada konservasi sumberdaya. Interaksi interspesifik di antara keduanya seperti
persaingan dalam memanfaatkan sumber pakan dan pembagian sumberdaya
menjadi salah satu isu perdebatan tentang teori ekologi dan praktek pengelolaan
satwa liar.
Kohabitasi yang berlangsung lama menimbulkan terjadinya proses seleksi
alam yang mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam
komunitas. Akibat selanjutnya adalah terjadinya pemisahan relung (Pianka 1988).
Kohabitasi memaksa spesies beradaptasi terhadap lingkungannya untuk
mengurangi atau menghindari persaingan interspesifik pada sumberdaya yang
terbatas (Pianka 1981). Persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan
peran fungsional pada komunitas, serta posisi di dalam gradien suhu, kelembaban,
pH, tanah dan keadaan lainnya disebut relung ekologi (Odum 1971).
Grinnell (1928) menyatakan bahwa tidak mungkin dua spesies yang hidup
bersama pada suatu habitat dapat menempati relung ekologi yang identik dalam
waktu yang lama. Fleagle (1978) menyatakan bahwa relung ekologi kebanyakan
merupakan pemanfaatan mikrohabitat oleh suatu spesies yang disebut relung
ruang (spatial niche). Studi tentang ekologi satwa liar dipandang penting karena
membandingkan segala hal yang berhubungan dengan makanan dan perilaku
spesies yang berkohabitasi pada kondisi lingkungan yang mirip (Porter 2001).
Penelitian ini berusaha mengukur besarnya tumpang tindih penggunaan ruang,
baik secara horizontal maupun vertikal dan mengkaji tingkat kesamaan
pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara T.auratus dengan P.Comata.

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di TNGC yang meliputi Seksi Pengelolaan Taman
Nasional (SPTN) Wilayah Kuningan, dan SPTN Wilayah Majalengka
pengambilan data dilakukan pada Bulan Oktober 2012 hingga Februari 2013.

Alat Penelitian
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta TNGC,
1 buah kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah
hagameter,1 buah GPS receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buah
phi ban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol
alkohol 70%, kertas koran, sasak, 1 buah gunting, label gantung, alat tulis, tally

4
sheet, bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak ArcView 3.3
dan SPSS 16.0 for Windows serta komputer.
Jenis Data
Data primer
Data-data primer yang dikumpulkan yaitu : data penggunaan ruang secara
vertikal, penggunaan ruang secara horizontal, karakteristik pohon yang menjadi
media kohabitas dan karakteristik habitat T.auratus dan P.comata.

Data sekunder :
Data-data sekunder yang dikumpulkan yaitu : peta digital TNGC, daftar
jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pakan dari text book, skripsi,
tesis, desertasi, jurnal dan laporan penelitian.

Metode Pengumpulan Data
Data Primer
Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung
(observational approach) yang merupakan hasil observasi semua unit contoh
(sampling unit) pada kawasan TNGC. Unit contoh untuk penggunaan ruang dan
pemanfaatan tumbuhan sumber pakan adalah pohon yang digunakan T.auratus
atau P.comata, juga penggunaan pohon oleh keduannya. Pengamatan aktivitas
satwa menggunakan metode Consentration count. Unit contoh pengamatan
aktivitas satwa yaitu individu satwa, baik T.auratus atau P.comata, yang
dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin.

Penetapan Plot Pengamatan
Penetapan plot penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan
penjelajahan pada jalur tertentu yang merupakan ekoton atau tempat kedua jenis
tersebut ditemukan hidup bersama. Ekoton tersebut merupakan core area dari
kedua jenis primata yang diamati. Kondisi lingkungan, aktivitas dan pergerakan
telah diamati berdasarkan ko-habitasi kedua jenis primata tersebut pada tipe hutan
campuran di area Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC). Penentuan lokasi
pengamatan dengan metode perhitungan konsetrasi(Concentration count), metode
ini dipilh karena pertimbangan kondisi core area T.auratus atau P.comata, di
tempat yang tidak datar / curam, sehingga tidak memungkinkan dengan metode
jalur. Pertimbangan lainya adalah tingkat sensitifitas dari kedua spesies terhadap
kehadiran manusia, apabila dilakukan dengan pergerakan dan menimbulkan
kegaduhan, maka satwa yang diamati akan pergi jauh dan sulit dilakukan
pengamatan.

5
Pengamatan Aktifitas Satwa
Pengamatan aktifitas satwa berdasarkan perilaku harian dilaksanakan
dengan metode scan Techniques dan Ad Libitum. Dengan Scan Techniqu,
pengamatan dilakukan terhadap aktifitas primata yang terlihat waktu 30 menit
dimana durasi pengambilan data adalah 10 menit. Dengan metode Ad Libitum,
pencatatan data dilakukan tanpa ada batasan waktu. Tempat satwa dalam
melakukan aktifitas diamati, kemudian frekuensi satwa pada ketinggian tertentu
dalam melakukan aktifitas dipersentasekan terhadap frekuensi aktifitas tersebut.
Aktifitas yang diamati digolongkan ke dalam 4 aktifitas, yaitu
a. Inative. Perilaku ini meliputi aktifitas diam, seperti : istirahat, memonitoring
ataupun memberikan perhatian pada sesuatu.
b. Feeding. Perilaku ini merupakan aktifitas mencari makan.
c. Traveling. Perilaku berpindah tempat yang meliputi : berjalan, berlari ataupun
meloncat.
d. Social. Perilaku ini meliputi: mencari kutu, berpelukan dan bermain. Perilaku
ini melibatkan anggota kelompok lainnya.
Pengamatan ini dilakukan untuk melihat berbagai aktifitas yang dilakukan
kedua spesies pada suatu lokasi yang telah ditentukan. Tehnik pengamatannya
adalah
a. Waktu pengamatan pada interval 06.00-18.00 yang dilakukan secara
berselang-seling pagi atau sore sesuai dengan pengamatan pendahuluan
b. Pengamat berjalan lamban pada jalur pengamatan, sambil mengamati kiri,
kanan, dan di atas jalur. Juga jika memungkinkan dilakukan pengintaian agar
tidak terdeteksi oleh T.auratus atau P.comata,
c. Satwa yang teramati dicatat jumlah, lokasi, dan aktifitas selama kurang dari
10 menit. Pendeskripsian lokasi dengan metode recoqnaissance (pengamatan
sepintas), pemotretan, dan catat koordinat dengan GPS (tujuannya untuk
memetakan keberadaan satwa), jejak T.auratus atau P.comata, (kotoran,
bekas makan) yang teramati dicatat kondisi jejak dan keterangan-keterangan
lainnya dalam tally sheet serta didokumentasikan.

Pemanfatan Ruang Vertikal
Pemanfaatan ruang vertikal oleh T.auratus dan P.comata, diukur
berdasarkan ketinggian tajuk pohon secara absolut dan relatif. Pada ruang vertikal
absolut menurut Rahayuni (2007) ketinggian pemanfaatan ruang pohon oleh satwa
dikatagorikan menjadi beberapa interval.
Data penggunaan ruang secara vertikal dikumpulkan dengan cara mengukur
posisi ketinggian aktivitas T.auratus atau P.comata pada pohon saat sendirian dan
berada secara bersamaan. Data yang dikumpulkan meliputi :
1. Waktu pengumpulan data meliputi hari, tanggal dan kondisi cuaca.
2. Posisi ketinggian aktifitas satwa. Data posisi ketinggian aktivitas satwa
diukur dalam meter (m) meliputi posisi ketinggian aktifitas satwa pada strata
tajuk hutan tropis di TNGC. Penggolongan strata tajuk hutan A (> 30 m), B
(26-30 m), C (21-25 m), D (16-20), E (11-15 m), F(6-10 m), dan G (< 5 m).
3. Lama aktifitas. Aktifitas satwa terdiri dari aktifitas berpindah, makan,
istirahat (Chiver & Raemakers 1980) dan sosial (social grooming/menelisik)
(Chalmers 1980). Aktifitas berpindah meliputi berjalan quadropedal, berlari

6

4.

kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan
menuruni pohon (Betrand 1969). Aktifitas yang termasuk dalam aktifitas
makan meliputi makan, minum dan foraging. selanjutnya, aktifitas istirahat
yang diamati meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Sedangkan aktifitas
sosial yang diamati meliputi social grooming, kawin, bermain, berkelahi,
belajar berkelahi dan belajar kawin.
Peubah pohon yang diamati meliputi ukuran tajuk dan bentuk tajuk yang di
tuliskan secara deskriptif

Pemanfatan Ruang Horizontal
Data penggunaan ruang secara horizontal berupa bentuk lintasan, panjang
lintasan dan wilayah jelajah dikumpulkan dengan cara mengambil titik koordinat
wilayah jelajah lutung atau surili dengan menggunakan Global Position Sistem
(GPS) mulai dari lokasi tidur hingga kembali ke pohon tempat tidurnya. Selain
itu juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah T.auratus dan P.comata
daerah tumpang tindih wilayah jelajah keduanya serta daerah yang tidak terdapat
kedua satwa tersebut.

Pemanfaatan Pohon Pakan
Pemanfaatan pohon pakan T.auratus dan P.comata meliputi parameterparameter sebagai berikut:
a. Tinggi pohon dan ketinggian tempat pada pohon sewaktu satwa makan.
b. Jenis dan bagian makanan yang dimakan, berupa daun, buah dan biji, serta
bunga. Penggolongan buah dan biji dalam satu kesatuan dilakukan untuk
memudahkan pengamatan, karena pada saat aktifitas makan sulit diketahui
secara pasti apakah satwa tersebut hanya memakan buah saja, biji saja atau
pun buah dan biji sekaligus.
Jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan sekaligus dicatat untuk
penghitungan luas relung (niche) ekologi masing-masing jenis berdasarkan
pemanfaatan sumberdaya pakan. Selanjutnya. Tabel resource matrix dibuat
untuk penghitungan luas niche ekologi serta tumpang tindih relung ekologi
dalam hal pakan.

Karakteristik Pohon Tidur
Pengamatan terhadap pohon yang digunakan oleh T.auratus atau P.comata
ditandai oleh perjumpaan pada awal pagi. Pada saat pengamatan satwa
diasumsikan belum berpindah dari pohon tidur. Parameter yang diamati meliputi:
jenis, ketinggian pohon, bentuk percabangan, hubungannya dengan tajuk pohon
sekitarnya dan komposisi individu dalam satu pohon.

Karakteristik Pohon Media Kohabitasi
Karakteristik pohon media kohabitasi yang dikumpulkan dari pohon tempat
satwa beraktivitas, baik digunakan oleh T.auratus saja, P.comata saja maupun
digunakan keduanya. Karakteristik pohon tersebut meliputi peubah tinggi pohon

7
(TP), diameter setinggi dada (DBH), tinggi bebas cabang (TBC), diameter tajuk
(DT), tinggi tajuk (TT), bentuk tajuk (BT) dan keberadaan pakan (KP). Bentuk
tajuk (BT) dibedakan dalam tujuh bentuk dasar yaitu irregular, vase, oval,
pyramidal, fastigate/columnar, round dan weeping (Grey & Deneke 1978).

Habitat Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata)
Habitat merupakan komponen penting bagi T.auratus, P.comata dan satwa
liar lainnya sebagai tempat mereka makan, minum, berkembang biak hingga
kegiatan sosial. Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
penyebaran dan produktivitas satwa liar (Alikodra, 2002). Pada penelitian ini akan
dikumpulkan data habitat baik abiotik maupun biotik.
Komponen abiotik yang dikaji dalam penelitian ini meliputi ketinggian,
sumber air, kelerengan, jarak dengan pemukiman, jarak dengan perkebunan, jarak
dengan jalan umum dan aktivitas manusia. Teknik pengumpulan data komponen
abiotik adalah sebagai berikut:
a. Kelerengan lahan. Pengukuran kelerengan lahan dilakukan dengan cara
menelaah peta kontur, peta rupa bumi, dan peta kelas lereng kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremai.
b. Ketinggian tempat. Pengukuran ketinggian tempat lokasi penelitian dilakukan
dengan menggunakan GPS.
c. Jarak terhadap jalan, sumber air, pemukiman dan lahan pertanian atau
perkebunan diperoleh dengan mencatat titik koordinat jalan, sumber air,
lokasi pemukiman, perkebunan/pertanian masyarakat, dengan menggunakan
GPS. Titik koordinat tersebut dipetakan dalam peta kawasan Taman Nasional
Gunung Ciremai selanjutnya diukur jaraknya terhadap titik koordinat dimana
T.auratus atau P.comata ditemukan. .

Karakteristik Habitat
Data karakteristik habitat diperoleh melalui analisis vegetasi. Arsitektur
tegakan digambarkan oleh keadaan sebaran, komposisi jenis, diameter dan tinggi
pohon, luas tajuk dan proyeksi tajuk. Untuk mendapatkan pola arsitektur tegakan
di habitat primata, dilakukan pemetaan sebaran jenis pohon, tinggi pohon, tinggi
bebas cabang, lebar tajuk, diameter pohon dan proyeksi tajuk terhadap permukaan
tanah. Analisis vegetasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi
vegetasi habitat T.auratus atau P.comata di Taman Nasional Gunung Ceremai.
Melalui kegiatan ini diperoleh tingkat kerapatan, keragaman dan kelimpahan
spesies.
Banyaknya petak sampel minimum dalam penelitian ini adalah sepuluh
petak. Jumlah petak sampel ini sama sebagaimana disarankan Gotelli & Ellison
(2004): untuk mengatasi permasalahan penentuan jumlah sampel, banyaknya
sampel minimal adalah tiga ulangan, baik bersifat snapshot maupun trajectory.
Penentuan ini tidak didasarkan pada teori dasar observasi lapangan, melainkan
lebih didasarkan pada pengalaman di lapangan (Gotelli & Ellison 2004). Supaya
bisa menggambarkan kondisi habitat yang diamati, penempatan kesepuluh petak
pengamatan sampel mempertimbangkan aktivitas kelompok T.auratus atau
P.comata, kondisi topografi, dan tipe penutupan lahan. Beberapa petak sampel

8
vegetasi ditempatkan pada titik perjumpaan dan lintasan.Penempatan petak lagi
pada lokasi yang topografi dan penutupan lahan yang berbeda, tetapi masih di
dalam habitat T.auratus dan P.comata. Pertimbangan-pertimbangan demikian
diharapkan bisa mewakili setiap kondisi habitat yang diamati.
Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan jalur berpetak. Dalam
metode ini terlebih dahulu di tentukan arah yang akan dilakukan analisis vegetasi
pada titik tertentu sebagi titik pengamatan dengan intensitas sampling (IS) 2% dari
luas wilayah jelajah masing-maasing jenis. Petak sampel vegetasi ditempatkan
pada titik perjumpaan dan lintasan T.auratus dan P.comata, dan beberapa petak
lagi ditempatkan pada lokasi yang topografi dan penutupan lahan yang berbeda,
tetapi masih di dalam habitat T.auratus dan P.comata, dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan tesebut diharapkan bisa mewakili setiap kondisi
habitat T.auratus dan P.comata yang diamati. Data yang diambil adalah jenis
tiang, pancang dan pohon. Pengambilan data tingkat pancang, tiang dan pohon
dilakukan karena menurut Gunawan et al. (2008), T.auratus banyak
memanfaatkan strata B (20–30 m) dan C (4–20 m) untuk berbagai aktifitasnya,
dan tidak pernah terlihat pada strata D (ketinggian 1-4 m) dan E (ketinggian X2tabel maka H1 diterima, selang kepercayaan yang di
pakai adalah 95 %.

Analisis Waktu Aktifitas
Data pengamatan waktu aktifitas T.auratus dan P.comata pada unit contoh
(pohon) dianalisis dengan Independent-Samples T Test dengan hipotesis yang
digunakan adalah:
1. Waktu yang digunakan T.auratus dan P.comata
penggunaan waktu aktifitas lutung dan surili adalah :
H0 = penggunaan waktu oleh semua individu adalah sama
H1 = penggunaan waktu oleh semua individu adalah tidak sama.
2. Penggunaan waktu oleh T.auratus dan P.comata berdasarkan ketinggian
pohon adalah :
H0 = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas ketinggian
pohon adalah sama.
H1 = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas ketinggian
pohon adalah tidak sama
Hipotesis di uji dengan metode khi-kuadrat, dengan persamaan sebagai
berikut:

10
X2 =
Keterangan:
Oij = Nilai amatan ke-ij
Eij = Nilai harapan ke-ij
Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan khi-kuadrat
(X2), jika X2hitung > X2tabel maka H1 diterima, selang kepercayaan yang di pakai
adalah 95%.

Penggunaan Ruang Horizontal
Penggunaan ruang horizontal yang dilakukan oleh T.auratus dan P.comata
didasarkan pada pengamatan pergerakan yang dihitung sebagai jarak-lurus antara
dua titik yang berkesinambungan pada peta panjang lintasan harian T.auratus dan
P.comata didapat dengan menghitung jumlah pergerakan (total panjang garis
lurus dari titik-titik yang berurutan) selama pengamatan, sedangkan untuk
mendapatkan luasan wilayah jelajah, metode analisis yang digunakan adalah
metode minimum convex polygon (MCP), yang merupakan wilayah terkecil
berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi satwa selama
periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang menghubungkan
titik-titik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis wilayah jelajah
dilakukan dengan bantuan program komputer ArcView GIS 3.2. Analisis
dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat terluar (maximum
convex polygon) tempat lutung dan surili beraktivitas. Berdasarkan hasil analisis
akan diperoleh luas penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah
masing-masing koloni lutung atau surili. Selain itu juga dilakukan analisis
vegetasi pada wilayah jelajah T.auratus, wilayah jelajah P.comata dan daerah
tumpang tindih wilayah jelajah keduanya.

Analisis Luas Relung (Niche Breadth)
Perhitungan dan analisis luas relung T.auratus dan P.comata dilakukan
dengan persamaan Smith (1978) dalam krebs (1982), pengukuran luas relung
(niche breadth) dilakukan dengan memasukan keberadaan sumberdaya yang
digunakan oleh spesies dengan rumus:

Keterangan:
Pj : proposi sumberdaya yang digunakan individu yang dijumpai
Aj : Proporsi sumberdaya-j terhadap total sumberdaya
Untuk sampel yang besar dengan selang kepercayaan 95 % untuk FT
diperoleh dengan menggunakan arcsine transformation sebagai berikut.
Di bawah selang kepercayaan 95% = sin [x –(1.96/2 √ )]
Di atas selang kepercayaan 95% = sin [x+(1.96/2 √ )]

11
Keterangan:
X = Arcsin (FT)
Y = Jumlah total individu yang dipelajari =  Nj
Derajat Asosiasi Interspesifik dan Tumpang Tindih Relung (Niche Overlap)
Derajat Asosiasi Interspesifik
Asosiasi interspesifik antara T.auratus dan P.comata dihitung dengan
menggunakan Indeks Jaccard (JI). Pemilihan Indeks Jaccard dikarenakan indeks
ini lebih teliti dan tidak bias baik pada populasi besar maupun kecil (Goodall
1973). Indeks ini mengindikasikan ada tidaknya asosiasi antara T.auratus dengan
P.comata. Asosiasi interspesifik yang dihitung meliputi asosiasi jenis tumbuhan
sumber pakan, asosiasi penggunaan jenis pohon dan asosiasi posisi ketinggian
aktifitas. Indeks Jaccard = 0 berarti tidak ada asosiasi dan jika indeks = 1 berarti
terdapat asosiasi maksimal.
Keterangan:
Ji = Indeks Jaccard
a = jumlah unit contoh yang digunakan T.auratus bersamaan dengan P.comata
b = jumlah unit contoh yang hanya digunakan T.auratus
c = jumlah unit contoh yang hanya digunakan P.comata

Tumpang Tindih Relung (Niche overlap)
Perhitungan tumpang tindih relung (niche overlap percentage) dan indeks
tumpang tindih relung dengan menggunakan persamaan Morisita (Simplified
Morisita’s Index). Pemilihan indeks Morisita karena indeks ini merupakan indeks
terbaik dan tidak terpengaruh oleh pengulangan dengan persamaan sebagai
berikut:
CH =
Keterangan :
Ch = indeks tumpang tindih relung Morisita antara spesies j dengan spesies k
pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh
spesies j
pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh
spesies k
n = jumlah jenis sumberdaya pohon
Persentase tumpang tindih relung dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :

Pjk =

12
Keterangan :
Pjk = persentase tumpang tindih relung antara spesies j dengan spesies k
Pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh
spesies-j
Pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh
spesies k
n = jumlah total sumberdaya yang ada
Tumpang tindih penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah
dihitung dengan menggunakan persentase tumpang tindih relung dengan cara
menampalkan peta wilayah jelajah koloni T.auratus dengan koloni P.comata.
Berdasarkan hasil penampalan kedua peta tersebut maka diketahui luas daerah
yang tumpang tindih.

Analisis Vegetasi
Komposisi jenis dinilai berdasarkan nilai-nilai parameter kuantitatif
tumbuhan yang mencerminkan tingkat penyebaran, dominansi dan kelimpahannya
dalam suatu komunitas hutan. Dalam penelitian ini yang akan dihitung adalah
kerapatan masing-masing jenis saja. Nilai-nilai ini dapat dinyatakan dalam nilai
mutlak maupun nilai relatif, yang dirumuskan mengikuti :

Analisis Kerapatan Jenis Pakan
Kerapatan (K)

=

Analisa Keanekaragaman Jenis Pakan
Keanekaragaman jenis pakan, menggunakan pendekatan indeks Keragaman
Shannon-Wiener (Krebs 1978) :
H’ = -

 pi. ln pi

Dimana :
H’ = Indeks Keragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)
Keterangan untuk Nila H’
H’ 3 = Kondisi Keragaman tinggi

13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Spasial Lutung Jawa (T.auratus)
T.auratus merupakan salah satu satwa primata yang terdapat di TNGC,
keberadaan T.auratus merupakan salah satu indikator bahwa kawasan konservasi
TNGC merupakan habitat yang cocok bagi perkembangbiakan T.auratus dan
primata lainnya. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, diketahui bahwa
persebaran di TNGC tersebar pada 28 lokasi yang mencangkup 9 dari 11 Resort di
Wilayah Seksi Kuningan dan Majalengka. Data rincian sebaran T.auratus di
SPTN Kuningan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Kuningan
Blok/Resort
Ciayakan/Mandiraancan
Cibunian/Cigugur
Cigowong Kuta/Cigugur
Cipariuk/Mandirancan
Cadas Poleng/Cigugur
Cigedong /Mandirancan
Kinina/Cigugur
Kondang Amis /Cilimus
Kopi Gede/Jalaksana
Sayana Atas/Jalaksana
P. Badak/Cigugur

Tipe Hutan

Dataran rendah

Subpegunungan

Pegunungan

Jumlah
Populasi
34
17
8
8
4
4
8
6
4
4
12

Titik Koordinat Lokasi
X/E
Y/S
108,44643o
6,88426o
108,42712o
6,93864o
108,42096o
6,94200o
108,44565o
6,88375o
108,42704o
6,93836o
o
108,44578
6,88386o
108,42615o
6,93875o
108,44872o
6,89950o
108,41432o
6,93864o
108,41382o
6,93888o
108,40336o
6,92606o

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebaran lokasi T.auratus di Seksi
Kuningan terbesar dijumpai pada tipe hutan dataran rendah yaitu di Blok
Ciayakan dan Blok Cibunian. Kedua lokasi memiliki karakteristik yang hampir
sama yaitu topografi berupa lembah yang cukup luas, terdapat mata air yang
mengalir sepanjang tahun serta keberadaan tumbuhan pakan yang banyak. Jenis
tumbuhan pakan di Blok Cibunian sebanyak 53 jenis dan di Blok Ciayakan
sebanyak 52 jenis. Selain itu kedua blok oleh masyarakat sekitar merupakan
daerah yang ―dikramatkan‖, sehingga masyarakat sangat jarang ke lokasi tersebut.
Kearifan lokal masyarakat disekitar Blok Ciayakan dan Blok Cibunian juga
terlihat dari adanya kepercayaan dan larangan untuk mengambil kayu di kedua
blok meskipun kayu tersebut mati ataupun roboh secara alami. Dampak positif
dari kearifan lokal masyarakat di sekitar terhadap populasi T.auratus adalah
jumlah populasi besar dan tersedianya tumbuhan pakan.
Perjumpaan dengan T.auratus pada tipe hutan subpegunungan di SPTN
Kuningan dijumpai di enam Blok, Jumlah populasi terbesar dijumpai di Blok
Kinina, rata-rata jumlah populasi di setiap blok pada tipe hutan subpegunungan
adalah 4,1. Jumlah populasi pada tipe hutan subpegunungan lebih kecil

14
dibandingkan pada tipe hutan dataran rendah. Berdasarkan hasil pengamatan
terhadap lokasi di sekitar blok-blok yang dijumpai merupakan daerah yang berada
pada daerah bekas lokasi hutan tanaman industri yang dulu dikelola oleh Perum
Perhutani. Perjumpaan koloni T.auratus pada tipe hutan pegunungan di SPTN
Kuningan hanya dijumpai di Blok Pangguyangan Badag sebanyak 12 ekor.
Jumlah tersebut kemungkinan bisa lebih besar, hal ini terjadi karena keterbatasan
pengamatanyng disebabkan kondisi topografi yang curam, vegetasi yang rapat
serta sensitifitas T.auratus yang tinggi.
Sebaran lokasi perjumpaan dengan T.auratus di wilayah Seksi Majalengka
adalah Resort Sangiang, Argalingga, Gunung Wangi, Argamukti, dan Resort
Bantaragung. Data rincian sebaran T.auratus di SPTN Majalengka pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Majalengka
Blok/Resort
Gunung Garaswatu/Gunung
Wangi
Gunung Larang /Bantar
Agung
Situ Sangiang/Sangiang

Tipe Hutan

Jumlah
Populasi

Titik Koordinat Lokasi
X/E
Y/S

8

108,21002o

6,51245o

5

108,37925o

6,88922o

38

108,20203o

6,56417o

Arpesi/Argamukti

8

108,43556o

6,85736o

Batu gajah/Argalingga

6

108,22104o

6,53581o

4

108,22200o

6,54112o

2

108,38217o

6,91044o

Batu Segara/Argamukti
Lempah Masawa/Bantar
Agung
Lempah terong /Argalingga
Loji/Argamukti
Bedeng/Argamukti
Cikolomberan/Argamukti
Grogol/Argamukti
Kebon teh/Argamukti
Kolepat/Argalingga
Legok Jumena/Argamukti
Mongormasi/Argamukti
Sayang kaak/Argamukti

Dataran Rendah

Subpegunungan

2

Pegunungan

9
2
8
4
2
4
6
2
5

108,38031o
108,42581o
108,15630o
108,22292o
108,22241o
108,22231o
108,38364o
108,22231o
108,22289o
108,22134o

6,90836o
6,86278o
6,55201o
6,55084o
6,55455o
6,55455o
6,91717o
6,54209o
6,54090o
6,55173o

Keberadan T.auratus di TNGC hampir menyebar merata pada setiap resort,
untuk wilayah pengelolaan seksi kuningan terdapat di empat resort dan terdapat
lima resort di wilayah seksi Majalengka. Koloni T.auratus tidak dijumpai pada
dua resort yaitu Resort Darma dan Resort Pesawahan. Berdasarkan Informasi dari
kantor Balai TNGC, wilayah kerja Resort Pesawahan sering terjadi kebakaran
hutan pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan berkurangnya tumbuhantumbuhan sebagai sumber pakan serta habitat T.auratus dan P.comata sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Chivers (1988), primata sangat peka
terhadap gangguan habitatnya. Tidak di jumpai T.auratus di Resort Darma terjadi

15
karena terjadinya fragmentasi habitat akibat pengelolaan pada masa lalu intensif
oleh Perum Perhutani sebelum menjadi Taman Nasional.
Langkanya penelitian terkait populasi T.auratus di TNGC menyulitkan
peneliti dalam mendapatkan gambaran tentang penyebaran populasi T.auratus di
TNGC secara lebih lengkap. Tidak hanya di TNGC, penelitian tentang ekologi
dan penyebaran primata di kawasan konservasi dan kawasan lainnya, baik
penelitian pada tingkat populasi maupun di tingkat individu masih terbatas
(Supriatna et al. 1994). Penelitian sebelumnya terkait penyebaran T.auratus di
TNGC baru terbatas pada SPTN Wilayah Majalengka yaitu di daerah Situ
Sangiang Resor Sangiang, merupakan lokasi dengan jumlah koloni terbesar (Setya
et. Al. 2011).
Masih terdapatnya T.auratus di TNGC menandakan bahwa kawasan
konservasi ini masih mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi kelompok ini.
Menurut Caughley & Sinclair (1994), ada beberapa faktor yang kemungkinan
dapat mempengaruhi penyebaran mahluk hidup yaitu iklim, subtrat, supply
makanan, habitat, predator, dan patogen. Menurut Mac Fadyen (1963), salah satu
faktor yang menentukan penyebaran satwa adalah terkait dengan kebutuhan
biologi satwa itu sendiri, terutama kebutuhan pakan dan reproduksi. Baik pada
skala zoogeografi maupun ekologi, penyebaran satwa merupakan hasil interaksi
antara dua jenis faktor, yakni sejarah penyebaran masa lalu dan kebutuhan biologi
dari satwa itu sendiri. Faktor-faktor yang menentukan penyebaran spasial satwa
sering menjadi hal yang misterius bagi manusia (MacFadyen 1963).
Berkelompok merupakan salah satu strategi satwa untuk mempertahankan
diri dari berbagai ancaman, terutama dari predator (Cowlishaw & Dunbar 2000).
Berkelompok juga dapat meningkatkan peluang dalam mendeteksi keberadaan
predator karena adanya kewaspadaan kolektif. Dengan bertambahnya ukuran
kelompok, kemampuan mangsa dalam mendeteksi pemangsa akan semakin besar
(Cowlishaw & Dunbar 2000). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tidak
menjumpai individu soliter. Ukurankelompok rata-rata T.auratus di TNGC
berkisar 4--17 individu. Ukuran kelompok T.auratus rata-rata di TNGC umumnya
berbeda dengan pendapat Medway (1970) yang menyatakan bahwa individu
anggota koloni lutung budeng antara 6 – 23 ekor. Akan tetapi jumlah tersebut
lebih besar dari hasil penelitian Rowe (1996) yang mengatakan bahwa setiap
koloni lutung terdiri dari 13 ekor.
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu
spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Kapasitas untuk mendukung organisme disebut daya dukung habitat
(Indrianto 2006). Lokasi T.auratus di TNGC memiliki ketinggian yang bervariasi
mulai 424 mdpl hingga 1