Collaborative Development of Mount. Ciremai National Park: An Action Research

(1)

PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN

MELALUI RISET AKSI

ARIF ALIADI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011 Arif Aliadi E.051050191


(3)

ABSTRACT

ARIF ALIADI. Collaborative Development of Mount. Ciremai National Park: An Action Research. Under the direction of RINEKSO SOEKMADI and HERRY PURNOMO.

Conflict over natural resource management in Kuningan district rose due to access restriction since establishment of Ciremai Mountain National Park according to Ministry of Forestry Decree No. SK.424/Menhut-II/2004. Local communities from 26 villages surround National Park could not get access to their agroforest they have developed before establishment of the Park. The objectives of the research are to develop a process of conflict resolution as well as to develop a collaborative Ciremai Mountain National Park management. An action research had been done to achieve those objectives during September 2006 to September 2010. The result showed conflict was resolved. There were attitude changes among stakeholders involved in conflict from confrontation into collaborative attitude. This attitude changed was a strong foundation to establish collaboration among stakeholders. This research also showed collaborative national park management has been developed and implemented up to now.


(4)

RINGKASAN

ARIF ALIADI. Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan HERRY PURNOMO.

Konflik dalam pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai terjadi ketika masyarakat di sekitar TN Gunung Ciremai kehilangan akses untuk mengelola kebun campuran (agroforest) yang sudah mereka kembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional pada bulan Oktober 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004. Sebanyak 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang termasuk dalam Kabupaten Kuningan, sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan Perhutani yang menyatakan bahwa obyek kerjasama adalah lahan di hutan lindung dengan total luas 8.645 hektar. Lahan tersebut dapat dikelola dengan pola agroforestri. Perubahan status dari hutan lindung menjadi Taman Nasional membuat kesepakatan yang dibuat menjadi tidak berlaku lagi.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik yang terjadi dan proses penyelesaian yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, serta mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Penelitian dilakukan mulai dari bulan September 2006 sampai September 2010.

Metode Riset Aksi (Action Research) dilakukan untuk mengumpulkan data dan dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis konflik (Moore, 1996) dan analisis kemungkinan kolaborasi (Borrini-Fayerabend, 1996) digunakan untuk menggambarkan sejauh mana kolaborasi sudah dikembangkan.

Proses penyelesaian konflik yang dilakukan melalui 8 tahap yaitu investigasi, analisis stakeholder, persiapan negosiasi, mendiskusikan pilihan-pilihan skenario, negosiasi, pro-aktif dalam menanggapi hasil negosiasi, konsolidasi setelah negosiasi dilakukan, dan internalisasi hasil negosiasi. Proses penyelesaian konflik yang dilakukan berhasil mengubah sikap konfrontatif para pihak menjadi kolaboratif. Sikap ini menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Strategi kolaborasi yang dikembangkan untuk pengelolaan TN Gunung Ciremai meliputi konseptualisasi, advokasi kebijakan TN Gunung Ciremai, diskusi payung hukum kolaborasi, membuat pedoman kolaborasi, serta melaksanakan kolaborasi. Kolaborasi yang telah dikembangkan cukup berhasil didorong menjadi pendekatan dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Pendekatan kolaborasi telah diimplementasikan oleh pengelola TN Gunung Ciremai dalam bentuk berbagai kerjasama dengan masyarakat dengan para pihak (stakeholders) di daerah.


(5)

© Hak cipta milik Arif Aliadi, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(6)

PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN

MELALUI RISET AKSI

ARIF ALIADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

Judul Makalah : Pengembangan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi

Nama : Arif Aliadi

NIM : E051050191

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi M.Sc.F.

Ketua Anggota

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp.

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2006 ini adalah kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. dan Bapak Dr. Ir. Herry Punomo, M.Comp. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sanusi K. Wijaya, Bapak Usep Sumirat, saudara Rachmat Firmansyah dan kawan-kawan dari LSM Kanopi dan Para Penggiat PHBM di Kabupaten Kuningan, yang telah membantu selama pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011 Arif Aliadi


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 1967 dari ayah Ali Moertolo dan ibu Isminah. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011.

Penulis bekerja sebagai pekerja sosial di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) sejak tahun 1990 dan mengelola berbagai program yang terkait dengan kehutanan masyarakat. Bidang yang menjadi tanggung jawab penulis ialah pendampingan masyarakat, tata kelola kehutanan, dan pengembangan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Taman Nasional ... 8

Aktivitas Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional ... 9

Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional ... 12

Solusi Yang Dilakukan ... 13

Kesenjangan antara Konflik dan Solusi ... 15

Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif ... 16

METODOLOGI ... 19

Kerangka Pemikiran ... 19

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

Metode ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

Hasil Penelitian ... 42

Siklus 1: Konflik dan Penyelesaiannya ... 42

Siklus 2: Strategi Kolaborasi ... 59

Pembahasan ... 71

Metode Riset Aksi ... 71

Jenis Konflik ... 75

Proses Penyelesaian Konflik ... 81

Tingkat Kolaborasi ... 87

Pengelolaan TN Gunung Ciremai di Masa Depan ... 90

SIMPULAN DAN SARAN ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Permasalahan Taman Nasional ... 1

2. Kegiatan yang Dilarang dan Boleh Dilakukan di Taman Nasional ... 11

3. Tipologi Partisipasi Masyarakat ... 22

4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif ... 37

5. Prosedur Kerja Riset Aksi Yang Dilakukan ... 38

6. Tahapan Terjadinya Konflik dalam Penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai ... 49 7. Peran Peneliti dan Para Penggiat PHBM dalam Pengembangan Kolaborasi . 60


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Permasalahan ... 6

2. Tahapan Konflik ... 24

3. Desain Kolaborasi ... 29

4. Skema Manajemen Kolaboratif ………. 31

5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai ... 33

6. Spiral Action Research Yang Digunakan ... 35

7. Contoh Matriks Klasifikasi Stakeholder Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan ... 40

8. Siklus 1: Konflik dan Penyelesaiannya ... 43

9. Klasifikasi Para Pihak di Kabupaten Kuningan Berdasarkan Tingkat Kepentingan Pelibatan (importance) dan Pengaruh (influence) ... 54

10. Siklus 2: Strategi Kolaborasi ... 59


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Profil Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat (LPI PHBM) ... 99

2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.424/Menhut-II/2004 ... 100

3. Desa-desa di Sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah membuat Kesepakatan dengan Perhutani KPH Kuningan ... 103

4. Peta Taman Nasional Gunung Ciremai ... 104

5. Notulensi Pertemuan LPI tanggal 25 Oktober 2004 ... 105

6. Informasi tentang Taman Nasional dan Hutan Lindung ... 108

7. Proses Usulan Kawasan Konservasi menurut Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2002 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 tanggal 23 Januari 2004 ... 110

8. Materi Dialog Taman Nasional Gunung Ciremai ... 111

9. Catatan Pertemuan dengan Kepala Sub-Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. 112 10. Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II tanggal 14 Desember 2004 ... 114

11. Catatan Pertemuan antara Peneliti bersama sebagian Anggota LPI PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut ... 118

12. Kronologis Peristiwa dalam Perubahan Status Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai ... 120

13. Bahan Rapat tanggal 8 Oktober 2004 ... 124

14. Surat Para Penggiat PHBM Kuningan tanggal 5 Februari 2005 ... 125

15. Daftar Stakeholder Yang Terkait dengan TN Gunung Ciremai ... 132

16. Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai ... 134

17. Nota Perjanjian Kerjasama antara BKSDA Jabar II dengan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Pengelolaan Hutan Lembah Cilengkrang melalui Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai ... 140


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan taman nasional di Indonesia masih belum berhasil membuat kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik. Jarang sekali ada kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat langsung dari keberadaan taman nasional. Mungkin di beberapa taman nasional, masyarakat masih bisa mengambil hasil hutan non-kayu dari dalam kawasan, namun mereka harus bersedia membayar sejumlah kompensasi kepada petugas kawasan atau mereka akan disebut sebagai pencuri, perambah, dan berbagai cap negatif lain.

Keadaan ini membuat eksistensi taman nasional terancam. Effendi (2000) menyebutkan beberapa ancaman yang disebabkan oleh manusia di kawasan taman nasional di seluruh Indonesia. Bentuk-bentuk ancaman yang dilaporkan adalah pemukiman, perladangan, pertambangan, penggembalaan ternak, penggunaan lahan untuk bertani, tumpang tindih peruntukan, penebangan pohon, pengambilan hasil hutan non kayu, penangkapan ikan, perburuan, pengambilan biota laut, dan penebangan mangrove. Suporahardjo (2003) memberikan contoh permasalahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional (Tabel 1).

Tabel 1. Permasalahan Taman Nasional

Nama Taman Nasional Jenis Permasalah Volume

1. TN Gunung Halimun

Pemukiman liar Kebakaran Hutan PETI

Penebangan Liar Penyerobotan lahan

59 ha 42 ha 3 ha 47,75 ha 621,84 ha

2. TN Ujung Kulon Pemukiman liar

Perladangan liar

2188,27 ha 1143,37 ha

3. TN Kerinci Seblat Pemukiman liar 1665 ha

5. TN Kutai Pemukiman dan perladangan liar 4977 ha

Sumber: Suporahardjo (2003)

Contoh serupa juga ditemui di negara lain. Armend dan Armend, (1992) dalam McNeely et al. (1994) yang mereview kawasan konservasi di


(16)

Amerika Selatan menemukan bahwa 86% dari semua kawasan konservasi telah dihuni oleh manusia yang melakukan aktivitas ekonomi. Keadaan demikianlah yang menyebabkan terjadinya banyak kasus di taman nasional. Machlis dan Technell (1985) dalam

Hasil penelitian di atas juga diperkuat dengan penelitian oleh IUCN. Wells et.al. (1992) menyebutkan di dalam bukunya, bahwa pada awal tahun 1980-an, ada suatu studi yang dilakukan oleh IUCN (1984) yang meringkas jenis-jenis ancaman yang dihadapi oleh 43 kawasan konservasi yang paling terancam di dunia. Sepuluh ancaman terbesar adalah tidak memadainya sumberdaya untuk pengelolaan, perambahan, perubahan dalam tata air atau pembangunan dam, perburuan, adjacent land development, pembangunan internal yang tidak sesuai (misalnya jalan), pertambangan dan sumberdaya berpotensi tinggi, konflik ternak, kegiatan militer, dan kegiatan kehutanan.

McNeely (1989) melaporkan bahwa dari 100 taman nasional yang diteliti di seluruh dunia, terdapat 1611 ancaman spesifik terhadap taman nasional, dimana 95% di antaranya terjadi di negara berkembang. Sepuluh ancaman yang paling berbahaya adalah pemindahan satwa liar yang ilegal, kurang memadainya manajemen personalia, penebangan pohon/vegetasi, erosi tanah, sikap-sikap lokal, konflik atas lahan, api, human harrasment of animals, kerusakan/kehilangan habitat, dan vegetation trampling.

Permasalahan yang diungkap dimuka menunjukkan tidak adanya dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Tanpa dukungan masyarakat, petugas kawasan konservasi bekerja sendiri mengamankan kawasannya. Dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan fasilitas, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin keamanan kawasan konservasi. Ancaman akan semakin besar.

Sementara itu, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bersifat merusak kawasan taman nasional. Agroforestri adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan tujuan konservasi. Muda (2005) menyatakan bahwa pola agroforest “Napu” ditemui di dalam kawasan TN Kelimutu (NTT) yang didominasi jenis tanaman kopi, dadap (pohon


(17)

pelindung), jeruk, dan salak. Keberadaan “Napu” sudah ada sebelum terjadinya penetapan TN Kelimutu. Agroforest “Napu” merupakan pola usaha tani yang tidak bertentangan dengan defisini dan tujuan pengelolaan taman nasional. Selanjutnya Muda (2005) menjelaskan bahwa agroforest “Napu” memberi keuntungan secara ekologis, ekonomis maupun sosial.

Manfaat agroforestri juga diungkapkan oleh Aliadi dan Kaswinto (2000) yang menyatakan bahwa manfaat agroforestri tumbuhan obat yang dikembangkan di zona rehabilitasi TN Meru Betiri Jawa Timur sesuai dengan fungsi-fungsi taman nasional, yaitu fungsi taman nasional, yaitu (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (b) pengawetan plasma nutfah, dan (c) pelestarian pemanfaatan keragaman hayati.

Permasalahan muncul ketika agroforestri yang telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan taman nasional tidak dapat diakomodir dalam pengelolaan taman nasional. Hal ini terjadi di TN Gunung Ciremai.

Kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 ha, yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Pada awalnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas 15.518,23 Ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka serta merupakan gunung tertinggi di Propinsi Jawa Barat (3.078 m) ialah hutan lindung (7.748,75 Ha), hutan produksi (2.690,48 Ha), hutan produksi terbatas (4.943,62 Ha) dan areal penggunaan lain (135,38 Ha). Kemudian, pada tahun 2003 berubah menjadi hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003.

Hermawan et.al. (2005) menyebutkan bahwa sebanyak 47% lahan di Gunung Ciremai telah dikelola melalui sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Hasil penelitian Dewi (2006) di Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa kelompok rumah


(18)

tangga miskin dan menengah memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pengelolaan lahan PHBM, terlihat dari nilai persentase luasan asset lahan sebesar 39 % (rumah tangga miskin) dan 35 % (rumah tangga menengah). Kondisi ini terjadi dikarenakan keberadaan nilai asset lahan pribadi yang minin serta tidak mencukupi kebutuhan livelihood rumah tangga, akibatnya kelompok rumah tangga miskin dan menengah memiliki ketergantungan akan lahan PHBM. Untuk kelompok ruman tangga miskin, sebanyak 62 % pendapatan rumah tangga berasal dari hasil lahan seperti : padi gogo, melinjo, cengkeh dan kopi. Sedangkan untuk kelompok rumah tangga menengah, sebanyak 34 % pendapatan rumah tangga diperoleh dari hasil lahan, seperti : padi gogo, cengkeh, dan melinjo. Sumber pendapatan dari lahan merupakan hasil dari pola agroforestri yang dikembangkan masyarakat di dalam kawasan Gunung Ciremai, sebelum kawasan tsb. ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Perumusan Masalah

Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 424/Menhut-II/2004, telah menyebabkan hilangnya akses masyarakat untuk mengelola kebun campuran yang telah dikembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya. Ketika status Gunung Ciremai masih hutan lindung dan dikelola oleh Perhutani, masyarakat telah membuat kesepakatan kerjasama dengan Perhutani yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Sampai tahun 2004, sudah ada 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang membuat NKB yang menyatakan bahwa wilayah hutan lindung yang termasuk dalam wilayah administrasi desa adalah obyek kerjasama. Total luas hutan lindung yang menjadi obyek kerjasama mencapai 8.645 hektar. Di antara 26 desa tersebut, 8 desa di antaranya telah membuat NPK yang merupakan perjanjian yang lebih detail antara lain mengatur bentuk pemanfaatan hutan lindung berupa agroforest atau kebun campuran.

Perjanjian kerjasama berupa NKB dan NPK merupakan salah satu wujud kerjasama dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat


(19)

(PHBM). Perubahan status kawasan dari hutan lindung menjadi Taman Nasional berimplikasi pada perubahan pengelola hutan. Hutan lindung dikelola oleh Perhutani sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor kehutanan. Sedangkan Taman Nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan.

Perubahan status kawasan hutan dan pengelola telah membuat masyarakat yang tinggal di 26 desa sekitar TN Gunung Ciremai menjadi resah dan bertanya-tanya. Keresahan dan pertanyaan yang paling banyak diutarakan adalah apakah PHBM yang selama ini dilakukan, dianggap merusak hutan sehingga pola pengelolaannya harus diganti dengan sistem Taman Nasional? Mengapa tidak ada proses evaluasi terlebih dahulu terhadap PHBM sebelum pola Taman Nasional ditetapkan sebagai pengganti ?

Masyarakat juga kuatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil dari tanaman yang mereka telah tanam sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional. Kekuatiran mereka semakin besar ketika sejumlah pertanyaan tidak ada penjelasan atau jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:

• Kalau misalnya pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa menerima PHBM sebagai pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, pola apakah yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat untuk tetap dapat memperoleh akses dan manfaat dari kawasan TN Gunung Ciremai ?

• Bagaimana bentuk kemitraan dan kesepakatan kerjasama yang akan dikembangkan antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Ciremai?

Keresahan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab menimbulkan ketidak pastian bagi masyarakat. Apabila ketidak pastian ini dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat fatal karena menimbulkan sejumlah resiko. Resiko yang akan terjadi antara lain munculnya konflik secara terbuka maupun tersembunyi. Apabila resiko ini dibiarkan terjadi, maka taman nasional akan rusak.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti Gambar 1.


(20)

Aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aktifitas masyarakat di dalam kawasan

taman nasional

Teori-teori konservasi dan kaitannya dengan aktifitas masyarakat di dalam

kawasan taman nasional

Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut peraturan perundangan konservasi

Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut teori-teori konservasi

Penerapan konservasi di Indonesia mengacu pada peraturan perundangan dan paragima konservasi konvensional, dimana penetapan dan pengelolaan taman nasional tidak mempertimbangkan aktifitas masyarakat yang telah dilakukan sebelum penetapan taman nasional

Muncul ketidak jelasan bagi masyarakat mengenai hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang

sudah diakses sebelum penetapan taman nasional

Masyarakat kehilangan akses untuk memanfaatkan sumberdaya hutan di dalam kawasan taman nasional

Status perjanjian antara masyarakat dengan pengelola

hutan sebelumnya menjadi tidak jelas

Masyarakat kehilangan peluang

untuk memperoleh pendapatan

Pendapatan masyarakat menurun

Resiko-resiko yang akan muncul

Konflik terbuka, misal perambahan, penebangan kayu, pemungutan hasil hutan

non kayu, protes dengan demo, tindak kekerasan seperti merusak pos jaga, dll.

Konflik tersembunyi, misal masyarakat “menerima” taman nasional tapi melakukan berbagai aksi penolakan diam-diam seperti memindahkan pal batas, “mematikan” bibit

pohon untuk rehabilitasi, melakukan suap

Akibat: Taman Nasional rusak, keanekaragaman hayati terancam


(21)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mengembangkan proses penyelesaian konflik, dan (b) mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat member gambaran tentang konflik yang terjadi dan cara penyelesaian konflik melalui kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Gambaran tentang strategi kolaborasi yang dikembangkan, baik desain kolaborasi maupun tahapan membangun kolaborasi diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola taman nasional lain di Indonesia yang sedang menghadapi konflik.

Penggunaan metode Riset Aksi (Action Research) dalam proses penyelesaian konflik dan pengembangan kolaborasi diharapkan dapat digunakan dalam pengelolaan taman nasional lain di Indonesia.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional

Sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan (1999) menetapkan kebijaksanaan pembangunan dan pengelolaan taman nasional sebagai berikut:

1. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayti dan ekosistemnya.

2. Taman Nasional dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

3. Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Zona inti adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman Nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan pengunjung, dan zona lain adalah zona di luar tertentu seperti zona rimba dan zona pemanfaatan tradisional.

4. Kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di dalam kawasan taman nasional meliputi penelitian dan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak mengurangi fungsi pokok dari kawasan taman nasional tersebut. 5. Kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat dikembangkan secara terbatas pada

zona pemanfaatan taman nasional, serta pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan pariwisata alam kepada BUMN/BUMD atau swasta atau


(23)

koperasi selama jangka waktu tiga puluh tahun untuk penyediaan sarana dan prasarana pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional berdasarkan Rencana Pengelolaan Pariwisata Alam Taman Nasional.

6. Pembangunan dan pengelolaan taman nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan serta saling terkait dan menunjang dengan kepentingan pembangunan wilayah di sekitarnya (Integrated Conservation and Development Program), sehingga mampu menjamin upaya konservasi sumber daya alam hayati dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. 7. Kewenangan pembangunan dan pengelolaan di dalam kawasan Taman

Nasional sepenuhnya berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan. Sementara itu kegiatan pembangunan dan pengelolaan di luar kawasan taman nasional dan berkaitan dengan kepentingan masyarakat berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Dinas/Instansi terkait.

Aktifitas yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional

Masyarakat boleh melakukan aktifitas di taman nasional sepanjang sesuai dengan tujuan umum yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 3, yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Selanjutnya, aktifitas masyarakat yang dilakukan juga harus sesuai dengan fungsi taman nasional yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 4 yaitu,

a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya;

c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pemanfaatan kawasan hutan ditegaskan kembali dalam UU No. 41 tahun 1999 Pasal 24 dan PP 34 tahun 2002 Pasal 16 yang menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan


(24)

kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Lebih lanjut dijelaskan tentang pemanfaatan apa saja yang boleh dilakukan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 26 yang boleh dilakukan adalah pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Selanjutnya UU No. 5 tahun 1990 Pasal 31 menambahkan kegiatan lain yang boleh dilakukan di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yaitu kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam dan harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Khusus untuk kegiatan wisata, UU No. 5 tahun 1990 Pasal 34 (3) menjelaskan bahwa di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.

Di sisi lain, ada pula kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan taman nasional, seperti disebutkan dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 33, yaitu:

1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

2. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

3. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.


(25)

Secara lebih detail, kegiatan yang boleh dilakukan dan dilarang di dalam kawasan taman nasional diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Tabel 2).

Tabel 2. Kegiatan yang dilarang dan boleh dilakukan di Taman Nasional

No. Kegiatan Dilarang/ tidak Keterangan

1 Menanam t anaman pangan

Dilarang PP 68 t hn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2)

2 Menanam pohon Tidak PP 68 t hn 1998 Pasal 41 (1d,

2), 17 (2)

3 Pemukiman dilarang

4 Penebangan pohon unt uk komersial

dilarang PP 68 t hn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2)

5 Pengambilan herba dan kayu bakar

t idak PP 68 t hn 1998 Pasal 49, 21, 22, 23, 50, 25, 28, 23, 51, 25, 26, 27, 28, 23

6 Berburu dilarang PP 68 t hn 1998 Pasal 44 (1,

2, 3, 4), 19 (2)

7 Menangkap ikan dilarang PP 68 t hn 1998 Pasal 44 (1,

2, 3, 4), 19 (2)

8 Berkemah t idak • UU No. 5 t hn 1990 Pasal

34

• PP 16 t hn 1994 Pasal 1 (2, 4), 3 (1a)

• PP 68 t hn 1998 Pasal 31 (1), 50, 51, 25, 26, 27, 28, 23

9 Koleksi ilmiah dengan ij in t idak • UU RI No. 5 Thn 1990 Pasal 1 (14), Pasal 30

• PP 68 t hn 1998 Pasal 39, 40. 41, 48 (1, 2), 21, 22, 23

10 Pengelolaan habit at t idak PP 68 t hn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2)

11 Int roduksi non-eksot ik t idak PP 68 t hn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2)

12 Pengambilan rot an dan kayu dengan i j in

Dilarang/ kasuist ik PP 68 t hn 1998 Pasal 44 Ayat 3

13 Eksplorasi mineral t idak PP 68 t hn 1998 Pasal 39, 40, 41, 49, 59, 51  t uj uan penelit ian.

14 Pengendalian margasat wa Tidak PP 68 t hn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2)

15 Pemanf aat an oleh pengunj ung

Tidak • UU No. 5 t hn 1990 Pasal

34

• PP 16 t hn 1994 Pasal 1 (2, 4), 3 (1a)

• PP 68 t hn 1998 Pasal 31 (1), 50, 51, 25, 26, 27, 28, 23

16 Int roduksi eksot ik dilarang PP 68 t hn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2)

Sumber : Sumar dj a, et al . 1984; UU No. 5/ 1990; PP No. 68/ 1998; dan PP No. 16/ 1994


(26)

Konflik Pemanfaatan Lahan di Kawasan Taman Nasional

Fazriyas (1998) menyebutkan bahwa program penanganan perladangan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat melalui relokasi para peladang kurang berhasil karena petani peladang yang direlokasi banyak kembali menggarap lahan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat. Mereka menggarap lahan menjadi kebun/ladang dan bahkan menjadi pemukiman, sehingga mengakibatkan sering terjadinya benturan antara pengelola TN Kerinci Seblat dengan masyarakat. Beberapa alasan petani kembali menggarap lahan di dalam kawasan adalah:

• Petani merasa terpaksa untuk melakukan perladangan karena tidak memiliki lahan usaha tani di luar TN Kerinci Seblat. Kalaupun ada sangat kecil.

• Menganggap bahwa lahan tersebut telah lama digarap oleh para orang tua (warisan) sebelum adanya TN Kerinci Seblat.

• Lahan yang dikelola telah jadi milik karena ladang dibeli dari pihak lain.

• Untuk menambah pendapatan keluarga

Permasalahan yang diakibatkan oleh keberadaan penduduk sekitar kawasan menurut Soekmadi (1995) dalam

Selanjutnya Soekmadi (1995)

Prabandari (2001) biasanya berupa (a) pemukiman penduduk di dalam kawasan, (b) penggunaan kawasan untuk kepentingan lain, (c) penggembalaan ternak dalam kawasan, dan (d) pengambilan/perburuan hasil hutan secara tidak terkendali.

dalam

Muda (2005) memberi contoh konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TN Kelimutu di NTT. Sejak ditetapkan TN Kelimutu pada tahun 1997, konflik sering terjadi, seperti (a) klaim kepemilikan lahan oleh Prabandari (2001) menyebutkan tiga faktor utama yang menyebabkan interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi adalah (a) tingkat pendapatan penduduk sekitar kawasan yang umumnya di bawah standar layak hidup, (b) latar belakang pendidikan yang merupakan dasar pola pikir konservatif-produktif masih rendah, (c) rendahnya tingkat pemilikan/penguasaan lahan per kapita akibat sistem “bagi waris” dan pertanian kurang intensif.


(27)

masyarakat adat, (b) penyerobotan lahan, (c) penebangan liar, (d) perladangan berpindah, (e) kebakaran, (f) pembangunan jalan, dan (g) pencabutan pal batas.

Mulyani (1997) menyatakan bahwa hambatan paling serius dalam pendirian suatu taman nasional dan kawasan konservasi pada umumnya adalah timbulnya konflik dengan penduduk lokal karena penduduk lokal yang umumnya tergolong miskin kehilangan akses atas sumberdaya hutan yang sebelumnya menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih-lebih bila pemilikan tanah di dalam kawasan dikuasai oleh pemilikan adat (suku). Undang-undang, peraturan, kegiatan patroli atau penataan batas seringkali bukan merupakan penghalang bagi penduduk untuk melakukan aktifitasnya di dalam kawasan.

Mulyani (1997) dalam penelitiannya di TN Siberut menyatakan bahwa sebanyak 73.33% responden telah mengetahui TN Siberut, namun kebanyakan (90.09%) tidak tahu tujuan taman nasional. Mereka beranggapan bahwa hutan yang sekarang statusnya menjadi taman nasional adalah merupakan hutan nenek moyang mereka yang boleh dimanfaatkan untuk kepentingan hidup (56.67%), merupakan tempat mata pencaharian mereka (36.67%) misal untuk mengumpulkan rotan, dan mempunyai fungsi perlindungan dan tata air (6.67%). Oleh karena itu tidak heran apabila hampir semua responden (96.67%) mengatakan perlu memelihara hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Dan apabila dilihat dari segi preferensi masyarakat, maka sebanyak 80% responden tidak mengingkan untuk meninggalkan tempat tinggalnya saat ini, walaupun sudah menjadi taman nasional.

Solusi yang Dilakukan

Solusi yang dikembangkan di beberapa taman nasional pada umumnya bertujuan untuk mengalihkan tekanan masyarakat terhadap taman nasional atau mengurangi ketergantungan masyarakat ke dalam taman nasional.

Hal ini sejalan dengan pendapat Prabandari (2001), yang menyatakan bahwa sebagai upaya untuk menjembatani kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi, pemerintah telah membuat program pembinaan daerah penyangga. Tujuan program ini adalah


(28)

mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya hutan di kawasan konservasi, dengan cara meningkatkan kesejahteraan ekonominya.

Muda (2005) memberi contoh solusi atas konflik di TN Kelimutu, yaitu (a) sosialisasi akan keberadaan dan fungsi taman nasional, (b) koordinasi dengan instansi terkait lainnya, (c) penyuluhan, (d) diselesaikan dengan sumpah adat dan pelaku membuat surat pernyataan, (e) pal batas ditanam kembali, (f) pembongkaran pondok milik petani, dan (g) barang temuan diselamatkan untuk diselesaikan lebih lanjut melalui proses hukum.

Sementara itu, solusi yang dilakukan oleh pengelola TN Kerinci Seblat menurut Fazriyas (1998) adalah relokasi petani ke luar taman nasional. Namun mereka kembali lagi berladang di TN Kerinci Seblat.

Solusi lain dilakukan melalui pendekatan ICDP (Integrated Conservation and Development Program). Menurut oleh Wells, Hanah dan Brandon (1992) komponen utama ICDP terdiri atas tiga, yaitu (a) pengelolaan taman nasional (inventarisasi dan monitoring sumberdaya biologi, patroli, penyediaan fasilitas, infrastruktur, penelitian, pendidikan konservasi), (b) kawasan penyangga (kegiatan yang mendatangkan keuntungan biologi dan sosial ekonomi), dan (c) pembangunan sosial ekonomi masyarakat sekitar taman nasional (meningkatkan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja baru, penyediaan sumberdaya lain atau pelayanan sosial dan pengembangan wisata alam, pembangunan sarana jalan untuk penyediaan akses pasar.

Kebijakan pemerintah pusat yang dinyatakan oleh Fathoni (2005) dalam Sarasehan Nasional Konservasi terkait dengan solusi atas konflik di taman nasional adalah mengembangkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan petugas taman nasional. Untuk itu akan dilakukan empat program yaitu (a) menyusun rencana detail pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga, (b) mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia yang profesional untuk melakukan proses pemberdayaan masyarakat, (c) meningkatkan income dan kesejahteraan masyarakat di daerah penyangga, (d) meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi.


(29)

Mustafa (2002) menyatakan bahwa tercapainya resolusi konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi salah satunya ditandai dengan terbukanya ruang atau akses kepada komunitas-komunitas lokal di sekitar kawasan, atau dibukanya ruang partisipasi yang mengarah pada perbaikan taraf hidup komunitas. Adanya pengakuan hak kelola masyarakat untuk ikut mengelola kawasan bisa diukur dengan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam pengelolaan kawasan yang dalam perjalanan waktu jumlah individu dan kelompoknya semakin membesar.

Mustafa (2002) memberi contoh resolusi konflik yang dilakukan di TN Meru Betiri Jawa Timur melalui kesepakatan aturan main yang diatur dalam perjanjian kerjasama antara pengelola TN Meru Betiri dengan masyarakat lokal. Kesepakatan tsb. cukup ditaati oleh masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh (a) pendekatan yang digunakan untuk tercapainya norma-norma kontrak adalah partisipatif dengan melibatkan beragam stakeholders, (b) adanya harapan manfaat ke depan dari semua stakeholders yang terlibat dalam kesepakatan tersebut untuk mencapai kondisi yang lebih baik jika norma-norma kontrak tersebut bisa tercapai, dan (c) adanya program pemberdayaan dari pihak pendamping yang berupaya agar tujuan membantu kehidupan ekonomi masyarakat miskin dan tujuan konservasi kepentingan ekologis yang berdimensi jangka panjang bisa berjalan selaras.

Suraji (2003) yang melakukan penelitian Taman Hutan Raya Gunung Betung Lampung menyatakan bahwa keberadaan kebun campur dalam kawasan hutan tidak semata-mata kesalahan masyarakat, sebab masyarakat sudah ada sebelum berbagai kebijakan terhadap kawasan diberlakukan. Kenyatan bahwa Register 19 adalah Taman Hutan Raya perlu dijaga kelestariannya. Pembatasan areal lahan garapan dengan kepastian ijin pengelolaan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mempengaruhi pola perencanaan lahan yang dilakukan.

Kesenjangan antara Konflik dengan Solusi

Konflik yang terjadi di kawasan taman nasional terutama menyangkut tentang pemanfaatan lahan, seperti untuk perladangan, pemukiman,


(30)

kepentingan adat, pembukaan jalan, dsb. Salah satu konflik yang menarik untuk menjadi masalah penelitian adalah konflik pemanfaatan lahan untuk kepentingan perladangan dalam rangka membangun agroforestri. Banyak contoh agroforestri yang dikemukakan menunjukkan adanya kesejalanan antara praktek agroforestri dengan asas-asas konservasi. Di sisi lain, pengembangan agroforestri menghadapi kendala ketidak jelasan hak akses, kelola, dan kontrol terhadap agroforestri yang dikembangkan. Oleh karena ketidak jelasan hak-hak tsb. menyangkut masalah tenurial system, maka solusi utama yang harus dikembangkan adalah memperjelas hak-hak tsb.

Sayangnya, masih sedikit sekali contoh-contoh penyelesaian konflik atas lahan di taman nasional, melalui penyusunan kesepakatan kerjasama yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat dan pengelola taman nasional. Pada umumnya solusi yang dilakukan adalah melalui pengembangan kegiatan ekonomi di luar taman nasional atau di zona penyangga yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap taman nasional.

Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif

Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan ada tiga hal yang melatari munculnya kebutuhan untuk bermitra, bekerja sama atau berkolaborasi dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia, yaitu:

1. Pengelolaan taman nasional yang cenderung soliter telah menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan. Rata-rata pengelola di lapangan menjustifikasi buruknya prestasi pengelolaan kawasan dengan alasan keterbatasaan dan kekurangan sumberdaya (man, money, materials, methods) sehingga sangat tidak mungkin untuk membangun dan mengoperasikan sebuah bentuk pengelolaan yang ideal. Dari alasan ini, muncul kebutuhan dari pengelola untuk membangun jaringan kerjasama agar kendala kekurangan sumberdaya tersebut dapat diatasi melalui kontribusi pihak-pihak lain.

2. Konflik dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir banyak terjadi karena dirangsang oleh meningkatnya kecerdasan dan keberanian arus bawah


(31)

untuk memperjuangkan harapan-harapannya, yang pada akhirnya direspon oleh pengelola dengan membuka ruang-ruang akses dan peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Dari situasi ini kebutuhan tentang kemitraan atau kolaborasi mulai dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi alat peredam konflik.

3. Falsafah pengetahuan pengelolaan sumberdaya alam menyebutkan bahwa informasi dan pengetahuan sumberdaya ekosistem tidak didominasi oleh satu pihak saja tetapi tersebar di berbagai pihak. Pengetahuan ini terutama dimiliki oleh masyarakat yang telah lama hidup di dalam dan di sekitar kawasan, para professional yang membawa pesan-pesan ilmiahnya, pengelola yang telah berpengalaman tentang masalah-masala pengelolaan, dan lain-lain. Idealnya, dalam sebuah manajemen sumberdaya alam, kelengkapan informasi dan pengetahuan tentang aset dan aspek-aspek lain yang mempengaruhinya adalah sangat vital, sehingga perlu ada proses penggabungan pengetahuan yang hanya bisa dicapai dengan cara mengajak para pihak pemegang pengetahuan untuk sama-sama terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, sumberdaya alam selalu menjadi property yang disengketakan karena banyak pihak yang bergantung pada kemanfaatannya.

4. Pengetahuan dan teori pengelolaan sumberdaya milik publik sangat memesankan pentingnya kemitraan, walaupun bentuknya nanti akan bermacam-macam, tergantung situasi dan kondisi setiap lapangan yang berbeda-beda. Posisi konflik di dalam pengetahuan tersebut tidak lebih dari sekedar implikasi atas tidak terpraktekkannya pesan-pesan pengetahuan tentang keharusan untuk bekerjasama antar pemegang pengetahuan dan pemangku kepentingan.

Holling (1978) dan Lee (1993) dalam Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan agar setiap aksi pengelolaan memperhatikan dua dimensi penting, yaitu dimensi pengelolaan adaptif dan dimensi politik. Dimensi pengelolaan adaptif mengharuskan kemitraan dalam pengelolaan berjalan layaknya uji coba yang dilakukan secara terus-menerus dan mengandalkan perubahan dan pengalaman-pengalaman baru yang muncul selama proses berlangsung sebagai


(32)

aset untuk memperbaiki perjalanan selanjutnya. Sementara dimensi politik mengharuskan segala keputusan yang diambil dalam kerangka pengelolaan adaptif didasari oleh kesepakatan-kesepakatan banyak pihak yang terlibat melalui analisis bersama terhadap berbagai faktor dan gejala-gejala baru yang muncul. Dimensi politik juga menjaga agar tidak ada kesenjangan antara unsur-unsur legal dengan situasi aktualnya.

Sebenarnya gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah berjalan sebelum tahun 2005. Dalam Saresehan Nasional Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia yang diadakan pada bulan Agustus 2005, telah diidentifikasi 47 gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional yang terdistribusi pada 37 kawasan Taman Nasional (Nugroho, 2005).

Sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah memulai inisiatif Taman Nasional Model, dengan kolaborasi sebagai salah satu komponen utama dari Taman Nasional Model (Fathoni, 2005). Namun demikian, kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional masih dianggap tidak optimal karena alasan-alasan (1) belum terencana secara komprehensif walaupun telah tersusun Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif, (2) kolaborasi yang efektif dan efisien dalam pengelolaan Taman Nasional belum dipahami oleh pengelola maupun para pihak yang lain, (3) belum didasarkan pada collaborative planning sehingga setiap pihak berpikir dan bekerja berdasarkan institusinya masing-masing, (4) sumberdaya yang meliputi “4m” yaitu man (sumberdaya manusia), money (anggaran/dana), material (peralatan), dan method (metode/cara) selain belum memadai juga sangat tidak terintegrasi dengan baik . Perlu digaris bawahi bahwa sumberdaya yang dibutuhkan tersebut tidak seluruhnya dimiliki oleh Departemen Kehutanan, tetapi tersebar di berbagai pihak seperti LSM, penyandang dana, Pemerintah Daerah, dan bahkan swasta. Oleh karena itu kemitraan atau kolaborasi adalah keniscayaan dalam inisiasi Taman Nasional Model (Fathoni, 2005).


(33)

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Secara konseptual, konservasi dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu (1) Romantic-trancendental Conservation Ethic, (2) Resource Conservation Ethic, dan (3) Evolutionary-Ecological Land Ethic (Noss dan Cooperrider,1994).

Konsep Konservasi

Romantic-trancendental Conservation Ethic. Konsep ini berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa tokoh yang mengembangkan konsep ini adalah Ralph Waldo, Henry David Thoreau, dan John Muir. Menurut konsep ini, alam diciptakan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi alam juga mempunyai fungsi religius, yaitu untuk pencucian jiwa. Pendapat ini telah mendapat dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan mereka telah membentuk organisasi, yaitu Sierra Club.

Resource Conservation Ethic. Konsep ini berkembang pada pergantian abad ke-19 menjadi abad 20. Tokohnya adalah Gifford Pinchot. Pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah utilitarian, artinya alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian sumberdaya alam berfungsi sebagai bahan baku untuk menjalankan perekonomian. Dari konsep ini berkembang ilmu ekonomi sumberdaya alam. Menurut Pinchot:

- Konservasi adalah penggunaan semberdaya alam yang sebaik-baiknya untuk sebanyak-banyaknya orang dan dalam jangka waktu yang selama mungkin

- Konservasi pada akhirnya ditujukan untuk pembangunan

- Konservasi menekankan pemerataan, yaitu pembagian sumberdaya alam yang adil bagi konsumen, baik masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang, termasuk efisiensi dan meminimalkan limbah.

- Praktek konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi-guna (multiple-use) dalam pemanfaatan sumberdaya tanah dan air.

Kedua konsep di atas mempunyai pendapat yang saling bertolak belakang. Kelompok John Muir menekankan perlindungan sumberdaya alam,


(34)

sedangkan kelompok Pinchot menginginkan pemanfaatan sumberdaya alam tetapi terbatas.

Evolutionary-Ecological Land Ethic. Konsep ini mulai berkembang sejak tahun 1949, ketika Aldo Leopold mempublikasikan “A Sand County Almanac”. Sebenarnya Leopold termasuik penganut konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic. Tetapi dalam perkembangannya, Leopold merasa bahwa konsep tersebut kurang memadai dan kurang ilmiah. Pendapat seperti itu muncul setelah Leopold melihat bahwa dalam ilmu ekologi dan evolusi, alam tidaklah sesederhana yang dibayangkan, melainkan sangat rumit dan di dalamnya terjadi interaksi yang sangat padu. Menurut konsep ini equilebrium tidak ada, yang ada adalah keseimbangan dinamis atau non-equilibrium. Selain itu alam juga menyangkut dimensi waktu yang sangat panjang, karena alam merupakan hasil dari proses evolusi. Dari konsep ini berkembang ilmu conservation biology, economic dan ecological-anthropology.

Bagi Indonesia konsep yang paling berpengaruh pada awal pembentukan kawasan lindung adalah konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir. Dia mempengaruhi pandangan konservasi sebagian orang-orang Eropa, termasuk bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia.

Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang dianut Belanda itulah yang diterapkan di Indonesia, yaitu berupa penetapan kawasan-kawasan lindung yang relatif kecil. Bentuk kawasan-kawasan waktu itu adalah suaka margasatwa dan cagar alam. Suaka margasatwa ditujukan untuk melindungi satwa tertentu saja, sedangkan cagar alam lebih ditekankan pada perlindungan spesies tumbuhan tertentu. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan, yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Sejak itu penetapan kawasan lindung lebih banyak memusatkan perhatian pada perlindungan jenis. Pendekatan seperti itulah yang mempengaruhi Indonesia sampai dengan diselenggarakannya III World Congress on National Park and Protected Areas di Bali tahun 1992.


(35)

Tema Kongres adalah Parks and Sustainable Development. Peserta yang hadir dalam Kongres cukup berimbang, artinya proporsi peserta dari negara maju seimbang dengan peserta dari negara berkembang. Hal ini sangat mendukung bagi munculnya pemikiran baru yang mendorong lahirnya konsep konservasi yang mungkin sesuai untuk negara berkembang. Walaupun demikian perbedaan pendapat tetap terjadi, antara kelompok Environmentalist dengan kelompok International Conservationitst.

Kelompok Environmentalist adalah kelompok yang mempertahankan konsep konservasi lama. Mereka tetap menghendaki agar Taman Nasional merupakan tempat yang dilindungi untuk kepentingan rekreasi, pendidikan, dan tempat untuk merenungkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Dengan demikian manajemen Taman Nasional diarahkan untuk kepentingan tersebut. Seandainya timbul dampak positif berupa perlindungan tata air dan tanah dari erosi, maka hal tersebut tidak dimasukkan menjadi bagian dari manajemen kawasan.

Kelompok International Conservationists merupakan kelompok yang menginginkan agar Taman Nasional dapat memberikan sumbangannya terhadap masyarakat lokal, karena keberadaan suatu Taman Nasional sesungguhnya tergantung dari dukungan masyarakat lokal. Dengan demikian seharusnya keberadaan masyarakat lokal menjadi salah satu bahan yang dipertimbangkan dalam penyusunan manajemen Taman Nasional. Oleh karena itu kelompok ini menginginkan pendekatan multiple-use approach, dengan penerapan sistem zonasi, misalnya zona inti dan zona penyangga.

Pimbert (1994) menyampaikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terdiri atas tujuh tipe, yaitu (1) Passive participation, (2) Participation in Information Giving, (3) Participation by Consultation, (4) Participation for Material Incentives, (5) Functional Participation, (6) Interactive Participation, dan (7) Self-Mobilization. Ketujuh tipe partisipasi masyarakat beserta ciri-cirinya dijelaskan pada Tabel 3. Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional


(36)

Tabel 3. Tipologi Partisipasi Masyarakat

No. Tipologi Partisipasi

Keterangan

1 Passi ve

par t i ci pat i on

Masyarakat diberi t ahu apa yang sedang at au sudah t erj adi. Inf ormasi disampaikan oleh pengelola proyek at au pengelola kawasan t anpa memberi kesempat an bagi masyarakat unt uk menanggapi. Inf ormasi hanya disebarkan kepada pihak luar yang prof essional . 2 Par t i ci pat i on i n

Inf or mat i on Gi vi ng

Masyarakat dit anya oleh penelit i at au pengl elola proyek dengan menggunakan kuesioner. Masyarakat t idak diberi kesempat an unt uk memeriksa hasil kaj ian, apalagi mempengaruhi hasil kaj ian.

3 Par t i ci pat i on by Consul t at i on

Masyarakat diaj ak berkonsult asi. Pihak luar mendengarkan pendapat masyarakat , t et api pi hak luarlah yang mendef inisikan masalah dan sol usi dengan sedikit memasukkan pandangan dari masyarakat . Proses konsult asi t idak memberi ruang unt uk proses pengambilan keput usan dan pihak luar t idak memiliki kewaj iban unt uk menj amin dit erimanya masukan dari masyarakat .

4 Par t i ci pat i on f or Mat er i al

Incent i ves

Masyarakat berpart isipasi dengan berkont ribusi sesuat u, misalnya t enaga kerj a, unt uk memperol eh sesuat u bisa berupa uang, makanan dll .

5 Funct i onal

Par t i ci pat i on

Masyarakat berpart isipasi dengan membent uk kelompok unt uk mencapai t uj uan t ert ent u yang berhubungan dengan proyek, dan bisa dif asilit asi oleh pihak l uar sepert i organisasi sosial. Ket erlibat an masyarakat bel um t ent u di mulai dari t ahap

perencanaan proyek t et api bisa ket ika proyek sudah berj alan at au set elah keput usan t ent ang proyek t elah dibuat . Kelompok masyarakat seringkali t ergant ung pada f asilit at or dari l uar t et api cenderung akan menj adi mandiri.

6 Int er act i ve

Par t i ci pat i on

Masyarakat t erlibat dalam analisis bersama yang akan beruj ung pada penyusunan rencana aksi dan

pembent ukan kelompok baru at au memperkuat kelompok yang sudah ada. Part isipasi t ingkat ini melibat kan met ode mult i -disiplin dan mengakomodir berbagai pandangan dan menggunakan syst em

pembelaj aran yang sist emat is dan t erst rukt ur. Pada t ingkat ini, kelompok t elah berperan dalam

pengambilan keput usan.

7 Sel f -Mobi l i zat i on Masyarakat berpart isipasi dengan mengambil

inisiat iat if mandiri unt uk mengubah syst em. Inisiat if t sb. mungkin saj a memberi t ant angan t erhadap ket idak seimbangan power.


(37)

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam memberikan peluang bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.

Selanjutnya dalam Pasal 49 tentang Pemberdayaan Masyarakat disebutkan pada ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA. Pada ayat (3) disebutkan bahwa Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a) pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c). fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.

Pengertian konflik (Fuad & Maskanah, 2000) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak/lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Menurut Fisher et al. (2001), konflik adalah hubungan antara dua pihak/lebih (individu/kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasar kedua pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dan konflik sangatlah sulit untuk dipisahkan.

Konflik

Menurut Moore (1996), ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber penyebab, yaitu:

1. Konflik nilai: konflik yang terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam mengevaluasi ide-ide/perilaku; tujuan yang secara intrinsik paling bernilai bersifat eksklusif; perbedaan cara hidup, ideologi atau agama.


(38)

2. Konflik struktural : konflik yang terjadi karena adanya pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol, kepemilikan atau distribusi atas sumberdaya yang timpang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara; faktor-faktor geografi, fisik atau lingkungan yang menghalangi kerjasama; kendala waktu.

3. Konflik kepentingan: konflik yang terjadi karena adanya kompetisi yang dirasakan/nyata atas kepentingan substansi (isi); kepentingan tata cara; kepentingan psikologis.

4. Konflik hubungan: konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi yang kuat; salah persepsi atau stereotipe; kurang/salah komunikasi; perilaku negatif yang berulang-ulang.

5. Konflik data: konflik terjadi karena kurang/salah informasi; perbedaaan pandangan tentang apa yang relevan; perbedaaan interpretasi atas data; perbedaan prosedur penilaian.

Selain dari jenis konflik, maka konflik juga bisa dilihat dari proses terbentuknya konflik (Doucet, 2006). Tahapan Yang Dilalui Konflik

Formation (pembentukan)

Eskalation (eskalasi/peningkatan) Endurance (bertahan)

Improvement (perbaikan) Settlement/resolution

Reconstrution and reconciliation

endurance

improvemment / de-escalat ion escalat ion

set t lement / resol ut ion

Format ion reconst ruct ion and

Reconciliat ion


(39)

Masing-masing tahapan tahapan konflik secara rinci oleh Doucet (1996: hal 12-18) dijelaskan secara jelas dan ringkas. Pada tahap pertama di dalam perkembangan konflik, berkaitan dengan kemunculan suatu konflik, yaitu bergerak dari konflik tersembunyi berkembang menjadi konflik mencuat lalu menjadi konflik terbuka. Dan pada saat inilah konflik mulai kelihatan wujudnya.

Jika keberadaan mekanisme kelembagaan yang tersedia tak mampu merespon secara konstruktif dan para pihak yang berkonflik telah sampai pada titik dimana sikap permusuhan telah diekspresikan secara terbuka, maka eskalasi konflik akan terus meningkat. Dan konflik ini akan bertahan dalam jangka waktu tertentu atau konflik mungkin akan berlarut-larut dan berkepanjangan karena perbedaaan telah berpindah pada suatu kondisi perang terbuka, kekerasan menjadi bagian yang diakui pada tahap konflik ini, proses negosiasi telah mengalami jalan buntu.

Menurut Doucet Ada waktunya konflik mengalami perbaikan atau deeskalasi. Kondisi ini sering dibantu oleh keadaan ketika konflik telah mencapai tingkat yang stabil dimana para pihak yang bersengketa mulai merasa tidak nyaman dengan pengorbanan yang sangat merugikan bagi mereka. Para pihak mulai memikirkan untuk melakukan usaha-usaha penyelesaian dan melakukan interaksi yang lebih konstruktif. Bahkan terkadang mulai meminta bantuan pihak ketiga untuk melakukan proses mediasi. Selain itu, mulai juga ada inisiatif proses pre-negoasiasi antara para pihak yang berkonflik. Proses ini memberikan kesempatan pada perwakilan para pihak yang bersengketa untuk berinteraksi, mengakui bahwa dialog yang konstruktif paling tidak memungkinkan dan menghasilkan ide-ide dan perspekstif baru. Di dalam proses ini partisipan mengembangkan suatu tingkat kepercayaan. Mereka dapat menemukan rentang pandangan, kebutuhan dan prioritas pada sisi yang lain mengindentifikasi area yang fleksibel, menghasilkan ide untuk membangun kepercayaan yang terukur dimana akan mengkonsolidasikan proses-proses eskalasi dan bergerak ke arah formal dan proses negosiasi publik.


(40)

Sering pada tahap perbaikan atau deeskalasi ini dicapai beberapa kali, tetapi kadang tidak dapat berkelanjutan dan konflik segera memasuki kembali pada tahap bertahan (endurance), upaya penyelesaian konflik menjadi buntu atau macet lagi.

Di dalam penyelesaian konflik (settlement or resolution), para pihak yang bersengketa mulai mengarah ke perubahan perilaku dan sikap. Perubahan perilaku seperti para pihak mengakhiri kekerasan secara langsung dan tidak terlalu ngotot terhadap beberapa tujuan mereka demi pencapaian kepentingan yang lain. Walaupun perasaan permusuhan, ketakutan dan kecurigaan, persepsi ketidakadilan dan ketidasetaraan yang bersifat struktural yang melandasi terjadinya konflik mungkin masih tersisa. Pada tahap ini mungkin akan ditemukan solusi yang kompromistik, yang nantinya dapat menjadi landasan untuk mendapatkan solusi kolaborasi yang lebih sejati, tetapi mungkin juga tidak, karena penyelesaian (settlement) merupakan suatu cara mencapai suatu kesepakatan tentang aspek khusus dari konflik dari pada untuk mencapai kesapakatan atas konflik secara keseluruhan.

Sebaliknya penyelesaian konflik (conflict resolution), adalah suatu jalan keluar yang menyeluruh, dimana sumber penyebab yang utama dari konflik dihilangkan agar supaya tidak menjadi laten, seperti elemen-elemen sisa yang mungkin akan memicu terjadi kembali kekerasan. Ada 7 dimensi dari penyelesaian konflik sejati, yaitu (Doucet, 1996: hal 16):

1. completeness— isu-isu dalam konflik dilenyapkan atau penting untuk menghentikannya;

2. acceptability---jalan keluar dapat diterima oleh seluruh pihak, tidak hanya satu atau kelompok elit;

3. self –supporting—tidak cukup ada sangsi dari pihak ketiga untuk memelihara kesapakatan;

4. satisfactory—seluruh pihak memandang jalan keluar sesuai dengan sistem nilai mereka;

5. uncompromising—tidak ada tujuan dirahasiakan di dalam bentuk solusi yang bersifat kompromis;


(41)

6. innovative—solusi baru yang ditetapkan positif dan mengabsahkan hubungan baru antara para pihak;

7. uncoerced—kesepakatan yang telah dicapai tanpa pemaksaan oleh kekuatan dari luar.

Reconstruction dan reconciliation ini merupakan dua komponen paling penting dari tahap pasca kesepakatan. Rekontruksi dan rekonsiliasi adalah dua proses yang saling berkaitan dan saling mendukung. Melalui dua proses tersebut, pelaksanaan kesapakatan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk bekerja bersama dalam aksi konkrit.

Rekonstruksi lebih bersifat fisik (perbaikan infrastruktur, membangun kembali rumah sakit, sekolahan, pabrik, perbaikan pasokan air), ekonomi (pelatihan, pekerjaan, pendapatan, reformasi agraria), politik (penetapan kewenangan sipil, kekuatan polisi dan pengadilan yang mandiri, reformasi konstitusi dan pemilihan umum), dan sosial (mengintegraikan kembali rakyat yang menjadi korban perang, pemukiman kembali pengungsi, mengurangi mobillisasi tentara). Keberhasilan pelaksanaan rekontruksi ni adalah penting untuk membangun kembali masyarakat yang dirobek oleh perang dan untuk membantu kelancaran proses rekonsiliasi dalam jangka panjang.

Rekonsiliasi dapat digambarkan sebagai perbaikan hubungan antara orang, selain juga antara orang dan lingkungan. Ini harus diingatkan bahwa proses ini dapat menjadi sulit, butuh waktu yang sangat lama dan mensyaratkan rasa sensitif yang besar serta dorongan.

Berbagai konflik yang terjadi memerlukan penyelesaian agar kawasan konservasi dapat dikelola dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara atau proses.

Negosiasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan konflik. Menurut Fisher (1995), ada tiga fase penting dari proses membangun konsensus, yaitu: pre-negosiasi, negosiasi dan pelaksanaan (or post-negosiasi), yaitu:

1. Fase Pra-negosiasi  memulai inisiatif


(42)

 perwakilan

 menyusun aturan main dan agenda bersama  pencarian fakta bersama

2. Fase Negosiasi

 menemukan pilihan yang saling menguntungkan  mengemas kesepakatan

 memproduksi kesepakatan

 mengikat para pihak untuk berkomitmen  Ratifikasi

3. Fase Pelaksanaan atau Pasca Negosiasi

 mencari keterkaitan kesepakatan dengan kebijakan formal. Dalam hal ini coba dikaji adakah kendala untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui, terutama dari sisi kebijakan yang ada;

 Monitoring

 menegosiasikan kembali jika diperlukan

Means, Cynthia, Nielsen dan Vitoonviriyasakltorn (2002) Konflik dan Kolaborasi

dalam

Selanjutnya Means et.al. (2002) menyatakan bahwa memulai manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifikasi dan ditanggapi.

Suporahardjo (2005) menyatakan bahwa konflik kadang-kadang memiliki sejarah panjang dalam hal dampaknya di dalam suatu kawasan sebelum aktivitas manajemen kolaboratif dimulai. Hal ini dapat disebabkan oleh hubungan dan persaingan kekuasaan yang berkembang antara atau antar desa, atau hubungan buruk yang telah berlangsung lama antar kelompok masyarakat dan agen luar. Kadang-kadang ada warisan hubungan permusuhan, kecurigaan, aliansi dan usaha pendamaian konflik yang gagal. Konflik yang ada mungkin menyangkut masalah persaingan sumberdaya, kelangkaan, pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya pengguna kunci dalam pengambilan keputusan, dsb.


(43)

Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian problem dan penyelesaian konflik (Straus, 2002). Sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi-pihak.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Gray, 1989).

Kolaborasi

Ada empat desain kolaborasi yaitu (1) perencanaan yang apresiatif; (2) strategi secara kolektif, (3) dialog, dan (4) menegosiasikan penyelesaian (Gray; 1989). Desain Kolaborasi Faktor-faktor yang memotivasi Peningkatan berbagi visi

Hasil yang diharapkan

Pertukaran informasi Kesepakatan bersama

Perencanaan yang apresiatif

- Search conference

- Pengumpulan informasi bersama komunitas

Strategi kolektif

- Kemitraan swasta – komunitas

- Usaha bersama (joint venture)

- Konsorsium riset dan pengembangan

Penyelesaian konflik

Dialog

- Dialog kebijakan

- Pertemuan publik

Negosiasi penyelesaian

- Negosiasi peraturan

- Status kepemilikan tanah

- Pilihan cara penyelesaian (peradilan,

musyawarah, jalur politik, kolaborasi)


(44)

Untuk desain perencanaan yang apresiatif, tujuannya adalah meningkatkan penyelidikan bersama atas problem yang terjadi. Dalam perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara eksplisit akan dicapai. Kerja Utama dalam perencanaan ini adalah melakukan eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas problemnya. Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan. Dari sini diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang harus dinegesiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan yang apresiatif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama komunitas).

Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagi visi, dapat merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk merealisasikan visi. Strategi kolektif ini dapa dalam bentuk kemitraan atau joint venture.

Dialog antara para pihak yang bersengketa merupakan bentuk pertemuan penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses kolaborasi. Tujuan dialog ini adalah untuk mengeskplorasi perbedaan, memperjelas area ketidak sepakatan dan menyeldiki landasan bersama tanpa dibebani harapan atas kesepakatan yang mengikat. Tujuan dialog yang sebenarnya ini perlu dipahami oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam banyak kasus sering mekanisme dialog ini diposisikan sebagai forum untuk membangun kesepakatan yang mengikat. Misalnya dalam pertemuan public dan dialog kebijakan, dialog ini lebih fokus pada pertukaran informasi dan kemungkinan menghasilkan usulan kebijakan untuk dipertimbangkan oleh para pihak legislative atau lembaga pemerintahan.


(45)

Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang bersengketa ini dimotiviasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan membangun kesepakatan bersama. Untuk kasus sengketa pengelolaan sumberdaya alam, isu-isu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan, misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan yang perlu dicabut dan direvisi. Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi.

Istilah Collaborative Management atau Manajemen Kolaboratif digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996) untuk menggambarkan suatu situasi dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses manajemen kolaboratif, pengelola kawasan yang dilindungi mengembangkan kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 4.

Manajemen Kolaboratif

Pengawasan penuh ol eh pengel ol a

Kerj asama dal am mengont rol ant ara pengel ol a dengan st akehol der

Pengawasan penuh ol eh st akehol der Manaj emen Kol aborat if pada suat u kawasan konservasi

Proses konsul t asi Mencari konsensus

Negosiasi (t erl ibat dal am proses

pembuat an keput usan dan mengembangkan

perj anj ian yang spesif ik)

Berbagi ot orit as dan t anggung

j awab dal am bent uk f ormal

Pel impahan ot orit as dan t anggung j awab Tidak ada

kont ribusi dari st akehol der yang

l ain

Tidak ada kont ribusi dari

pengel ol a

Meningkat nya harapan st akehol der

Meningkat nya kont ribusi, komit men, dan ‘ akunt abil it as’ st akehol der

Gambar 4. Skema Manajemen Kolaboratif (Borrini-Feyerabend, 1996) Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada Gambar 3 adalah:


(46)

1. pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder dan meminimalkan hubungan mereka dengan kawasan, atau

2. memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau

3. secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau

4. mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau

5. membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan), atau

6. berbagi otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal, misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau

7. melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada satu atau beberapa stakeholder.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan TN Gunung Ciremai yang termasuk dalam Kabupaten Kuningan, di desa-desa yang sudah pernah menandatangani perjanjian atau kesepakatan kerjasama dalam program PHBM dengan Perhutani. Penelitian juga akan dilakukan di Jakarta dan Bogor, terutama untuk mengumpulkan informasi, data serta diskusi dengan pihak Departemen Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA). Penelitian dilakukan mulai bulan September 2006 sampai September 2010.


(47)

i

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah action research (Riset Aksi). Pengertian action research dikutip dari Dick (1997) adalah suatu proses dimana terjadinya suatu perubahan dan meningkatnya pemahaman terhadap situasi yang berubah, dapat dicapai dalam waktu yang sama. Riset Aksi biasanya digambarkan sebagai siklus, dengan aksi dan refleksi kritis yang terjadi secara bergantian. Refleksi digunakan untuk mengkaji Aksi terdahulu dan menyusun rencana untuk siklus berikutnya.

Riset Aksi digunakan dalam situasi tertentu. Dick (1997) menyarankan bahwa Riset Aksi dapat digunakan ketika situasi di lokasi penelitian sangat dinamis sehingga membutuhkan tanggapan yang cepat atau dengan kata lain, penelitian juga harus responsive terhadap dinamika atau perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, penelitian juga dituntut untuk memiliki fleksibilitas yang tinggi.

Selain itu Dick (1997) juga menyatakan bahwa Riset Aksi bersifat partisipatif. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapa yang harus berpartisipasi? Partisipasi dalam kegiatan apa?” Dalam konteks partisipasi,


(48)

Riset Aksi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, walaupun kadang-kadang juga dilakukan oleh individu, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk memperbaiki suatu praktek atau kegiatan untuk melakukan suatu perubahan.

Riset Aksi yang dilaksanakan di Kabupaten Kuningan melibatkan LPI PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), yaitu organisasi multi-pihak dan terdiri atas berbagai instansi pemerintah Kabupaten Kuningan, perwakilan petani, LSM, Perhutani KPH Kuningan, serta individu pemerhati lingkungan (Lampiran 1). LPI PHBM adalah organisasi yang lahir pada waktu terjadi konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Negara, dengan Perhutani KPH Kuningan. LPI PHBM berperan untuk memfasilitasi proses negosiasi antara masyarakat dengan Perhutani. Mereka juga berperan mendorong kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mengalokasikan dana untuk pengembangan PHBM.

Dalam konflik perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, LPI PHBM mengalami perpecahan, dan sebagian anggota bergabung dalam wadah yang disebut Para Penggiat PHBM. Mereka adalah perwakilan petani, individu dan LSM yang peduli terhadap masyarakat yang terkena dampak negative dari perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, dan ingin mencari solusi.

LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM adalah pihak-pihak atau mitra yang dilibatkan dalam Riset Aksi. Mereka menjalankan beberapa peran. Menurut Dick (1997) ada 7 bentuk peran yang dijalankan oleh mitra, yaitu (a) peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil keputusan, (d) peran sebagai pelaksana, (e) peran sebagai fasilitator, (f) peran sebagai peneliti dan asisten peneliti yang merancang penelitian, (g) peran sebagai resipien yang berarti mitra hanya diinformasikan hasil penelitian dan implikasinya.

Dalam riset aksi, orang-orang atau para pihak tersebut secara sadar dan konsisten bergerak mengikuti suatu siklus yang berulang, yang terdiri atas: memahami masalah melalui proses Refleksi, menyusun Rencana, melakukan


(1)

a. Melakukan koreksi, teguran, peringatan, dan pembatalan perjanjian kemitraan ini bila terjadi penyimpangan prinsipil dari kesepakatan yang telah dibuat melalui musyawarah Forum PHBM Desa Pajambon;

b. Mendapatkan laporan secara periodik dan insidental mengenai pelaksanaan kegiatan PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya;

c. Mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak lain sebagai akibat dibatalkannya perjanjian kemitraan dengan PIHAK KEDUA setelah mempertimbangkan saran/pendapat Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya;

d. Mengkoordinasikan pemanfaatan dana dari PIHAK KEDUA untuk kegiatan konservasi yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini.

Pasal 6

KEWAJIBAN DAN HAK PIHAK KEDUA 1. PIHAK KEDUA berkewajiban:

a. Menjamin status dan fungsi hutan sebagai asset negara yang tidak boleh disewakan dan diperjualbelikan;

b. Menyediakan sarana dan pra-sarana sesuai dengan program;

c. Membantu PIHAK PERTAMA dalam penyelenggaran retribusi karcis masuk pengunjung dan jasa lainnya di kawasan hutan Lembah Cilengkrang;

d. Melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan serta kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai;

e. Memperhatikan kaidah kelestarian dan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga tidak merusak lingkungan;

f. Memberikan laporan kepada PIHAK PERTAMA secara periodik dan insindental mengenai pelaksanaan kegiatan PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; g. Setiap anggota POKTAPEPAR turut berperan aktif dalam menghindari, mencegah, dan

menghentikan terhadap upaya-upaya pihak lain yang akan mengganggu dan merusak kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

h. Bersama-sama PIHAK PERTAMA dan atau Forum PHBM Desa Pajambon terlibat dalam proses rehabilitasi, pengawasan, evaluasi, pemeliharaan, pengamanan, perlindungan serta promosi dan informasi;

i. Menjaga, memelihara, dan mengefektifkan fungsi, tugas, dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon;

j. Membangun jaringan kerja dengan pihak lain yang terkait dengan bidang kemitraan; k. Melaksanakan pengaturan, pengamanan serta memantau dampak negatif pengunjung

dalam rangka menjamin kenyamanan dan keamanan pengunjung;

l. Mengkoordinir seluruh anggota POKTAPEPAR serta menyusun dan menyepakati aturan-aturan POKTAPEPAR demi tercapainya tujuan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini;

m. Mentaati dan menjalankan petunjuk-petunjuk teknis dari PIHAK PERTAMA yang tidak tercantum dalam Nota Perjanjian Kemitraan ini, tetapi berkaitan langsung dengan pelaksanaan Nota Perjanjian Kemitraan ini;

n. Memberikan kontribusi dalam bentuk apapun terhadap proses pengelolaan guna mendapatkan sharing manfaat yang sebesar-besarnya melalui musyawarah dengan PIHAK PERTAMA dan Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya;


(2)

o. Menyisihkan sebagian hasil yang didapat untuk kepentingan kegiatan konservasi kawasan yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini. 2. PIHAK KEDUA berhak:

a. Mendapatkan seluruh hak yang merupakan kewajiban PIHAK PERTAMA sebagaimana diatur dalam huruf (a) s/d huruf (h) ayat (1) pasal 6 Nota Perjanjian Kemitraan ini; b. Mengoptimalkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk

pengembangan budidaya sepanjang tidak merusak ekosistem alaminya;

c. Mengajukan saran dan masukan atau koreksian terhadap kebijaksanaan PIHAK PERTAMA untukmendukung kelancaran pengelolaan;

d. Mendapatkan sharing manfaat sesuai dengan nilai kontribusi yang diberikan yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini.

Pasal 7

MONITORING DAN EVALUASI

1. Monitoring merupakan salah satu fungsi pengelolaan yang dimaksudkan untuk mengawasi seluruh proses/kegiatan pada obyek dan ruang lingkup kerjasama yang dimaksud pada pasal 3 dan mengendalikan hal-hal yang bersifat mengganggu, menghambat, dan menggagalkan tujuan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini.

2. Monitoring dilaksanakan secara periodik maupun insidental;

3. Evaluasi dilakukan minimal setiap 1 (satu) tahun sekali untuk mengukur tingkat keberhasilan atas pelaksanaan Nota Perjanjian Kemitraan ini yang dilakukan bersama oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA, dan Forum PHBM Desa Pajambon terhadap seluruh proses/kegiatan pada obyek dan ruang lingkup kemitraan yang dimaksud pasal 3.

4. Evaluasi dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh kedua belah pihak dan Forum PHBM Desa Pajambon untuk menentukan berlanjut atau tidaknya Nota Perjanjian Kemitraan ini.

Pasal 8

TARIF DAN MEKANISME SHARING

1. Besarnya tarif masuk pengunjung ke obyek wisata alam dan jasa lingkungan lainnya ditetapkan berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku;

2. Tarif masuk pengunjung terdiri dari: a. Penerimaan Negara Bukan Pajak;

b. Biaya operasional pengelolaan yang ditimbulkan dengan adanya kesepakatan kemitraan ini dibebankan kepada pengunjung dengan cara menambahkan pada biaya pokok tiket masuk atas dasar kesepakatan;

c. Biaya asuransi kecelakaan pengunjung.

3. Perimbangan pembagian hasil tiket masuk wisata alam sebagaimana dimaksud huruf (a) ayat 2 di atas ditetapkan berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku;

4. Para pihak yang berhak mendapatkan sharing output sebagaimana dimaksud huruf (b) ayat 2 di atas adalah PIHAK KEDUA, Forum PHBM Desa, Pemerintah Desa Pajambon


(3)

5. Sharing output yang bersumber dari kawasan hutan Lembah Cilengkrang di luar penyelenggaraan wisata alam sepenuhnya menjadi hak PIHAK KEDUA yang pengaturan lebih lanjut sejalan dengan maksud ayat 4 di atas.

6. Ruang lingkup sharing:

a. Sharing meliputi sharing peran, tanggung jawab, input, proses, maupun output;

b. Sharing dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan peningkatan

kualitas sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya atas dasar saling menguntungkan; 7. Pelaksanaan sharing output:

a. Sharing ouput dari penyelenggaraan wisata alam dilakukan setiap akhir bulan.

b. Sharing output di luar sebagaimana huruf (a) ayat 7 di atas dilakukan pada saat diperolehnya pemanfaatan hasil kegiatan.

8. Nilai sharing output:

Sharing output masing-masing pihak sebagaimana dimaksud ayat (4) pasal 8 adalah sebagai berikut:

No. Pihak yang Berhak Mendapatkan Sharing Manfaat

Jenis Kegiatan Wisata Alam Bumi Perkemahan Di Luar Wisata Alam 1. 2. 3. 4. PIHAK KEDUA PEMERINTAH DESA

FORUM PHBM DESA PAJAMBON DANA KONSERVASI 75 % 12,5 % 5 % 7,5 % 75 % 12,5 % 5 % 7,5 % 75 % 12,5 % 5 % 7,5 % 9. Penyerahan sharing output:

a. Penyerahan sharing output dilakukan secara terbuka dengan proses administrasi yang tertib sesuai dengan aturan yang disepakati bersama melalui Forum PHBM Desa Pajambon.

b. Penyerahan sharing output dilakukan dalam bentuk uang.

c. Penyerahan sharing output dari kegiatan di luar wisata alam sepenuhnya hak PIHAK KEDUA, Forum PHBM Desa Pajambon, Pemerintahan Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya, dan Kegiatan Konservasi.

Pasal 9 JANGKA WAKTU

1. Nota Perjanjian Kemitraan ini berlaku sejak ditandatanganinya Nota Perjanjian Kemitraan ini untuk jangka waktu 5 (lima) tahun atas hasil evaluasi sebagaimana ayat (3) pasal 7; 2. Setelah jangka waktu tersebut ayat (1) di atas, Nota Perjanjian Kemitraan ini bisa

diperpanjang atas permohonan PIHAK KEDUA; 3. Perjanjian kemitraan ini berakhir apabila:

a. Jangka waktu berakhir dan tidak diperpanjang;

b. PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA merasa tidak memungkinkan lagi melanjutkan kerjasama kemitraan ini.


(4)

Pasal 10 SANKSI

1. Apabila berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi salah satu pihak tidak memenuhi sebagian atau seluruh kewajibannya, dikenakan sanksi yang diatur berdasarkan musyawarah dan mufakat di antara kedua belah pihak dan Forum PHBM Desa Pajambon. 2. Sanksi yang dimaksud ayat (1) pasal 10 di antaranya berupa peringatan, koreksian,

pencabutan, dan pembatalan Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 11

FORCE MAJUURE

1. Apabila terjadi hal-hal di luar kemampuan para pihak di tingkat desa yang merupakan force majuure, seperti bencana alam, kebakaran hutan, musibah yang menimpa pengunjung, serta peristiwa-peristiwa di luar kemampuan para pihak di tingkat desa maka semua pihak secara bersama-sama untuk melakukan penanggulangan.

2. Pada saat terjadi force majuure, PIHAK KEDUA segera melaporkan kepada PIHAK PERTAMA paling lama 1 kali 24 jam, baik secara lisan maupun tertulis.

3. Dalam melakukan penanggulangan force majuure tersebut, berkoordinasi dengan para pihak terkait lainnya.

Pasal 12 PERSELISIHAN

1. Segala bentuk perselisihan, diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat di antara kedua belah pihak dan atau melalui Forum PHBM Desa Pajambon, Forum PHBM Kecamatan sampai ke Forum PHBM Kabupaten Kuningan.

2. Apabila penyelesaian yang dimaksud pasal 12 ayat (1) di atas tidak tercapai, diselesaikan melalui melalui jalur hukum yang berlaku.

Pasal 13 LAIN LAIN

1. Apabila PIHAK KEDUA sudah cukup layak dan bermaksud untuk mendapatkan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) sesuai peraturan perundangan yang berlaku maka dapat mengajukan permohonannya ke Menteri Kehutanan RI atas rekomendasi PIHAK PERTAMA;

2. Dalam hal pelayanan pengunjung ke obyek wisata alam, PIHAK KEDUA menggunakan tiket masuk yang diterbitkan oleh Perum Perhutani KPH Kuningan sampai diterbitkannya tiket masuk oleh PIHAK PERTAMA.

Pasal 14 PENUTUP


(5)

2. Apabila terdapat kekeliruan atau hal-hal lain yang belum diatur dalam Nota Perjanjian Kemitraan ini, diatur kemudiaan dalam bentuk addendum yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini.

PIHAK PERTAMA Kepala BKSDA Jabar II,

Ir. Ikin Zainal Mutaqin

PIHAK KEDUA Ketua POKTAPEPAR,

Mulyadi

Saksi-saksi: Ketua Forum PHBM

Desa Pajambon,

KUSMANSYAH

Ketua BPD Desa Pajambon,

S. ANDRIES A.F. Kepala Desa Pajambon,

A. SUPRIYADI

Camat Kramatmulya,

Drs. ALI JUMENA S.P.

Menyetujui: BUPATI KUNINGAN,


(6)

RINGKASAN

ARIF ALIADI. Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional

Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi. Dibimbing oleh RINEKSO

SOEKMADI dan HERRY PURNOMO.

Konflik dalam pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai terjadi

ketika masyarakat di sekitar TN Gunung Ciremai kehilangan akses untuk

mengelola kebun campuran (agroforest) yang sudah mereka kembangkan sebelum

Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional pada bulan Oktober

2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004. Sebanyak

26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang termasuk dalam Kabupaten Kuningan,

sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan Perhutani yang menyatakan

bahwa obyek kerjasama adalah lahan di hutan lindung dengan total luas 8.645

hektar. Lahan tersebut dapat dikelola dengan pola agroforestri. Perubahan status

dari hutan lindung menjadi Taman Nasional membuat kesepakatan yang dibuat

menjadi tidak berlaku lagi.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik yang terjadi dan

proses penyelesaian yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, serta

mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Penelitian

dilakukan mulai dari bulan September 2006 sampai September 2010.

Metode Riset Aksi (

Action Research

) dilakukan untuk mengumpulkan data

dan dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis konflik (Moore, 1996) dan

analisis kemungkinan kolaborasi (Borrini-Fayerabend, 1996) digunakan untuk

menggambarkan sejauh mana kolaborasi sudah dikembangkan.

Proses penyelesaian konflik yang dilakukan melalui 8 tahap yaitu

investigasi, analisis stakeholder, persiapan negosiasi, mendiskusikan

pilihan-pilihan skenario, negosiasi, pro-aktif dalam menanggapi hasil negosiasi,

konsolidasi setelah negosiasi dilakukan, dan internalisasi hasil negosiasi. Proses

penyelesaian konflik yang dilakukan berhasil mengubah sikap konfrontatif para

pihak menjadi kolaboratif. Sikap ini menjadi landasan yang kuat bagi

pengembangan strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Strategi kolaborasi yang dikembangkan untuk pengelolaan TN Gunung

Ciremai meliputi konseptualisasi, advokasi kebijakan TN Gunung Ciremai,

diskusi payung hukum kolaborasi, membuat pedoman kolaborasi, serta

melaksanakan kolaborasi. Kolaborasi yang telah dikembangkan cukup berhasil

didorong menjadi pendekatan dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Pendekatan kolaborasi telah diimplementasikan oleh pengelola TN Gunung

Ciremai dalam bentuk berbagai kerjasama dengan masyarakat dengan para pihak

(

stakeholders

) di daerah.