Spatial Analysis of Land Use Change in Relation with The Use of Zoning Area at Gunung Halimun Salak National Park
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
MUHAMAD ILYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dan karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Muhamad Ilyas NIM A156120304
(3)
MUHAMAD ILYAS. Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan OMO RUSDIANA.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis terluas di pulau Jawa (Balai TNGHS 2006). ekosistem TNGHS berperan penting sebagai pengatur tata air dan ikim mikro, konservasi hidupan liar, tempat penelitian, pendidikan lingkungan, kegiatan ekowisata dan pelestarian budaya setempat. Berbagai kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam wilayah kelola TNGHS yang tidak sesuai dengan rencana zonasi TNGHS akan menyebabkan terganggunya ekosistem hutan. Akan tetapi, perubahan penggunaan lahan tersebut harus dimonitor dalam rangka mengendalikan kerusakan hutan. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun 2000- 2010, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, (3) memprediksi penggunaan lahan tahun 2026 menggunakan model spasial perubahan penggunaan lahan, dan (4) merumuskan arahan penggunaan lahan kawasan TNGHS.
Pemodelan perubahan penggunaan lahan di perkenalkan untuk memprediksi pola perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang. Metode CLUE-S digunakan untuk mensimulasikan perubahan penggunaan lahan berdasarkan pada faktor yang mempengaruhinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa, (1) selama periode 2000-2010, penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan sebesar 5,55%. Penurunan luasan hutan diikuti oleh kenaikan luasan ladang sebesar 2,21 %, sawah sebesar 1,46%, semak sebesar 0,63%, kebun campuran sebesar 0,60 %, lahan terbangun sebesar 0,63% dan kebun teh sebesar 0,32 %. Pola perubahan lahan di kawasan TNGHS yang paling utama adalah lahan hutan menjadi kebun campuran, ladang dan semak. (2). Berdasarkan analisis regresi logistik biner, faktor yang mempengaruhi perubahan hutan menjadi lahan non-hutan adalah kepadatan penduduk. (3). Hasil prediksi menunjukkan terjadinya peningkatan luas penggunaan lahan hutan terjadi pada skenario 2 dan 3. Penggunaan lahan kebun campuran, ladang, sawah dan semak meningkat untuk skenario pada kondisi saat ini dan dan skenario 1. Model CLUE-S yang disimulasikan dalam penelitian ini memiliki ketelitian sebesar 88,53%.
Arahan penggunaan lahan dikawasan TNGHS adalah kebijakan restorasi hutan pada zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan dari penggunaan lahan kebun campuran, ladang, sawah, dan semak. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan zonasi pada tahun 2026 menjadi 9,23%.
Kata Kunci : CLUE-S, model spasial, perubahan penggunaan lahan, sistem informasi geografis, Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
(4)
MUHAMAD ILYAS Spatial Analysis of Land Use Change in Relation with The Use of Zoning Area at Gunung Halimun Salak National Park. Under direction of KHURSATUL MUNIBAH and OMO RUSDIANA.
Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP) is the largest tropical rain forest ecosystem in Java. GHSNP ecosystems play an important role as watersheds protection, microclimate, wildlife conservation, research, environmental education, ecotourism and preservation of local culture. A variety of land use activities by communities that does not comply with the zoning plan of GHSNP will cause degradation of the forest ecosystem. However, its change should be monitored to control forest degradation. This study aims to: (1) analyze land use changes in the period 2000-2010, (2) analyze the factors that drive the land use changes from forest to Non-forest, (3) predict the use of land in 2026 using spatial models of land use change, (4) formulate directives refinement for land use planning GHSNP.
Land use change modelling has been introduced to predict future pattern of change. CLUE-S was used to simulate land-use change based on the driving factors. The results of the analysis showed there is changes in land use in the 2000-2010 period.The most extensive land use decline is forest that decreased by 5,5%. On the other hand, the land use that extensively increase is field that rise 2,21%, rice field that rise to 1,46% and bush that increased 3,4%. The main pattern in land use change is from forest into mixed garden, field and bush. (2) According to the regression analysis, the factors that drive the land use changes from forest to Non-forest is density population. (3). Prediction result show forest landuse increased occurs in scenario 2 and 3. The landuse of a mix garden, field, paddy field and shrubs increased in the scenarios currrent conditions and scenario 1. CLUE-S model is simulated in this study has an accuracy of 88.53%.
Alternatives of policy that selected based on the study for the refinement of landuse planning is forest restoration policy on core zones, jungle zones and rehabilitation zones, namely the restoration efforts of forest from mixed garden, fields, paddy field and shrubs. This policy can reduce 9.23% of the incompatibility between land use and zoning plan.
Keywords : CLUE-S, geographical information system, Gunung Halimun Salak National Park, land use change, spatial model,
(5)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(6)
ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
DALAM KAITANNYA DENGAN PEMANFAATAN ZONASI
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
MUHAMAD ILYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
(7)
(8)
Nama : Muhamad Ilyas NIM : A 156120304
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Khursatul Munibah, MSc
Ketua Anggota
Dr Omo Rusdiana, M Sc F Trop
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R P Sitorus Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr
(9)
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah yang berjudul Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini telah diselesaikan dengan baik.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Dr Khursatul Munibah, MSc dan Dr Omo Rusdiana, MSc FTrop selaku Ketua dan Anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
5. Kementerian Kehutanan cq Balai Taman Nasional Danau Sentarum yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini.
6. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat ini.
7. Rekan-rekan PWL kelas BAPPENAS maupun Reguler angkatan 2012 dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan. Akhirnya semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih.
Bogor, Maret 2014
(10)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.5 Kerangka Pemikiran 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 5
2.2 Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak 7
2.3 Penggunaan dan Penutupan Lahan 8
2.4 Sistem Informasi Geografis 14
2.5 Penginderaan Jauh 14
3 METODE 15
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 15
3.2 Bahan dan Alat 15
3.3 Jenis dan Sumber Data 16
3.4 Metode Pengumpulan Data 16
3.5 Rancangan Penelitian 16
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data 17
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 26
4.1 Sejarah Kawasan 26
4.2 Letak Kawasan 27
4.3 Kondisi Biotik 28
4.4 Karakteristik Wilayah 28
4.5 Kependudukan 35
4.6 Zonasi TNGHS 37
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 40
5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 40
5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan 51
5.3 Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan 52
5.4 Skenario Penggunaan Lahan Hasil Prediksi Tahun 2026 68
5.5 Arahan Penggunaan Lahan di Kawasan TNGHS 74
6 SIMPULAN DAN SARAN 76
6.1 Simpulan 76
6.2 Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 77
LAMPIRAN 81
(11)
DAFTAR TABEL
1 Matriks hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis
dan keluaran 19
2 Matriks perubahan penggunaan lahan tahun t0-t1 20
3 Matriks Kesalahan (Error Matrixs) 21
4 Luas perubahan penggunaan lahan per tahun 24
5 Kemiringan lereng kawasan TNGHS 29
6 Kelas ketinggian kawasan TNGHS 30
7 Formasi geologi kawasan TNGHS 31
8 Sebaran jenis tanah kawasan TNGHS 32
9 Jumlah penduduk didalam dan disekitar kawasan TNGHS tahun
2000-2010 37
10 Sebaran zonasi kawasan TNGHS 38
11 Matrik Kesalahan, Akurasi dan Nilai Kappa Citra Landsat Kawasan
TNGHS 43
12 Luas perubahan penggunaan lahan di kawasan TNGHS tahun
2000-2010 44
13 Matriks perubahan penggunaan lahan kawasan TNGHS periode tahun
2000-2010 pada berbagai zona 46
14 Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan
menjadi non-hutan 51
15 Skenario untuk prediksi perubahan penggunaan lahan Tahun 2026 53 16 Kebutuhan penggunaan lahan periode tahun 2000-2010 (demand.in0) 52 17 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2026 (demand.inl) 54 18 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2026 skenario 1 (demand.in2) 55 19 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2026 skenario 2 (demand.in3) 56 20 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2026 skenario 3 (demand.in4) 57 21 Presentase luas kebutuhan penggunaan lahan prediksi Tahun 2026
berdasarkan skenario 57
22 Faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan tiap penggunaan lahan
tahun 2000 58
23 Nilai exp (β) untuk tiap penggunaan tahun 2000 60
24 Faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan tiap penggunaan lahan
tahun 2010 60
25 Nilai exp (β) untuk tiap penggunaan tahun 2010 62
26 Nilai elastisitas konversi tiap jenis penggunaan lahan 63
27 Matriks konversi tiap jenis penggunaan lahan 63
28 Data yang digunakan pada pemodelan tahap 1 dan tahap 2 64 29 Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2010-2026 hasil prediksi
pada berbagai zona 66
30 Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2010-2026 hasil prediksi
skenario 1 pada berbagai zona 68
31 Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2010-2026 hasil prediksi
skenario 2 pada berbagai zona 70
32 Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2010-2026 hasil prediksi
skenario 3 pada berbagai zona 72
(12)
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir kerangka pemikiran 5
2 Peta lokasi penelitian kawasan TNGHS 15
3 Bagan alir penelitian 18
4 Struktur penyusunan model spasial 23 5 Peta batas administrasi kecamatan kawasan TNGHS 27
6 Peta kemiringan lereng kawasan TNGHS 29
7 Peta kelas ketinggian kawasan TNGHS 30
8 Peta geologi kawasan TNGHS 31
9 Peta jenis tanah kawasan TNGHS 32
10 Sebaran curah hujan kawasan TNGHS 33
11 Peta jarak ke jalan kawasan TNGHS 34
12 Peta jarak ke pusat kota kawasan TNGHS 34
13 Peta jarak ke kota terdekat kawasan TNGHS 35
14 Peta jarak ke sungai kawasan TNGHS 35
15 Peta kepadatan penduduk kawasan TNGHS 36
16 Peta kepadatan tenaga kerja pertanian kawasan TNGHS 37
17 Peta zonasi kawasan TNGHS 39
18 Kenampakan penggunaan dan penutupan lahan skala 1: 25.000
dari citra Landsat 40
19 Grafik perubahan penggunaan lahan kawasan TNGHS Periode
tahun 2000-2010 44
20 Perbandingan peta penggunaan lahan di kawasan TNGHS
tahun 2000 dan 2010 45
21 Grafik perubahan penggunaan lahan kawasan TNGHS Periode
tahun 2000-2010 pada berbagai zona 50
22 Perbandingan peta penggunaan lahan prediksi dan aktual tahun 2010 65
23 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2026 67
24 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2026 dengan skenario 1 69 25 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2026 dengan skenario 2 71 26 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2026 dengan skenario 3 73
DAFTAR LAMPIRAN
1 Citra landsat kawasan TNGHS tahun 2000 81
2 Citra landsat kawasan TNGHS tahun 2010 82
3 Variabel yang mempengaruhi perubahan hutan menjadi non-hutan 83 4 Titik hasil referensi cek lapangan dan Google Earth 85 5 Kriteria zonasi berdasarkan Permenhut No.P.56/Menhut-II/2006a
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional 89
6 Luas tiap penggunaan lahan pada berbagai zona hasil prediksi tahun
2026 tanpa skenario 90
7 Kriteria kondisi kesesuaian penutupan lahan dan zonasi pada berbagai
(13)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang memiliki luas 113.357 ha berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis terluas di pulau Jawa (Balai TNGHS 2006).
Kawasan TNGHS memiliki peranan penting dalam perlindungan hutan hujan dataran rendah dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di sekelilingnya. Selain itu, ekosistem TNGHS berperan penting sebagai pengatur tata air dan ikim mikro, konservasi hidupan liar, tempat penelitian, pendidikan lingkungan, kegiatan ekowisata dan pelestarian budaya setempat.
Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor SK.128/IV-Sek/HO/2006 tanggal 25 Juli 2006, TNGHS ditunjuk sebagai salah satu model taman nasional dari 21 taman nasional yang ditetapkan. Pembentukan ini ditujukan untuk mempersiapkan infrastruktur dan kelembagaan pengelola taman nasional agar mampu lebih berdaya guna dan mampu menggalang pendanaan secara mandiri. Selain itu, Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 776/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 ditetapkan lahan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Konservasi.
Kawasan TNGHS secara administratif berada di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Lebak di Provinsi Banten, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat. Pola dan struktur ruang di dalam RTRW Kabupaten idealnya sama dengan sistem zonasi TNGHS yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini kewenangannya berada di bawah Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.56 Tahun 2006a tentang pedoman zonasi taman nasional, zonasi taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengelolaannya agar dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan TNGHS, maka ditetapkan pembagian zonasi. TNGHS dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lainnya meliputi : zona rehabilitasi, zona budaya, enclave, dan zona khusus, sedangkan di luar kawasan ditetapkan sebagai zona peyangga.
Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: penggunaan lahan untuk permukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas dan galena), pembangunan infrastruktur (jaringan listrik, jalan kabupaten dan provinsi, serta pusat pemerintahan desa) dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS (Balai TNGHS, 2006).
Berbagai kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam wilayah kelola TNGHS yang tidak sesuai dengan rencana zonasi TNGHS akan
(14)
menyebabkan terganggunya ekosistem hutan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006) diperkirakan terjadi deforestasi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 21.586,1 ha (25,68 %) pada periode 1989 – 2004.
Balai TNGHS (2006) menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem di TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan antara lain kegiatan illegal dan bencana alam. Kegiatan illegal yang terjadi adalah penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar, perburuan satwa liar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan hutan terkait perluasan penggunaan lahan untuk permukiman, lahan pertanian, dan kebutuhan lainnya.
Data dan informasi mengenai permodelan spasial kondisi kawasan hutan, terutama perubahan penutupan lahannya merupakan hal yang penting karena diperlukan dalam pertimbangan pengambilan keputusan pengelolaan kawasan hutan. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan sebagai interaksi masyarakat dengan hutan dan faktor pendorongnya harus diketahui. Perubahan penggunaan lahan dapat diprediksi secara kuantitatif dengan memasukkan faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan kebijakan (Munibah et al. 2010). Prediksi perubahan penggunaan lahan dapat dianalisis melalui berbagai pendekatan model, salah satunya adalah CLUE-S.
Model CLUE-S ini merupakan gabungan dari pemodelan empiris, analisis spasial, dan model dinamis, serta merupakan model terpadu, secara spasial nyata, dinamis dan berdasarkan pada sosial ekonomi dan lingkungan.
1.2 Perumusan Masalah
Penunjukkan kawasan TNGHS telah menimbulkan beberapa permasalahan mendasar terkait pemanfaatan sumberdaya alam. Permasalahan ini erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dengan sumber mata pencaharian utama dari bidang pertanian. Dari Hasil studi yang dilakukan Galudra et al. (2005), didapatkan bahwa beberapa kawasan hutan yang ditunjuk sesungguhnya telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.
Masih terjadinya aktivitas ilegal pada kawasan TNGHS lebih disebabkan oleh luas kepemilikan lahan dan tingkat pendapatan masyarakat yang relatif sangat kecil. Menurut Sudarmadji (2000) dalam Widada (2004), dan hasil penelitian Suhaeri (1994), menunjukkan bahwa masih banyak perilaku masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan taman nasional, yaitu : (1). kegiatan Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI); (2). kegiatan ladang berpindah dan perambahan kawasan; (3). perburuan satwa; dan (4). penebangan pohon dan pengambilan kayu bakar.
Penelitian terhadap trend perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun telah dilakukan Cahyadi (2003), dimana didapatkan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (1999 – 2001), telah terjadi degradasi hutan pada koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak seluas 347.523 Ha. Lebih lanjut dari studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006), menunjukkan bahwa periode tahun 1989 -2004, telah terjadi deforestasi kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (± 25%). Deforestasi tersebut diikuti dengan
(15)
kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berupa kegiatan pemanenan kayu, perluasan lahan pertanian dan pembangunan perumahan.
Proses kehilangan hutan pada kawasan TNGHS terbanyak terjadi pada periode tahun 2001-2003, seluas 4.367,79 hektar (Prasetyo dan Setiawan 2006). Hal yang cukup memprihatinkan adalah terdapatnya laju deforestasi yang tinggi pada desa-desa yang merupakan tempat bermukim masyarakat tradisional warga kasepuhan. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan secara tajam pada Desa Sirnarasa pada periode tahun 2001-2004, dan pada desa Citorek secara konsisten sejak tahun 1989. Kemungkinan hal ini berhubungan dengan adanya implementasi otonomi daerah, dimana dengan otonomi daerah tersebut tidak terdapat kepastian hukum. Disamping itu, terdapat juga anggapan bahwa budaya masyarakat tradisional tidak berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya alam.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Yatap (2008) didapatkan bahwa peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan di TNGHS adalah : kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan permukiman dan perluasan lahan pertanian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas pertanyaan penelitian pada perubahan penggunaan lahan di TNGHS adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perubahan penggunaan lahan di TNGHS pada berbagai zona (inti, rimba, pemanfaatan dan lainnya) tahun 2000 - 2010
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di TNGHS
3. Bagaimana kondisi penggunaan lahan pada berbagai zona (inti, rimba, pemanfaatan dan lainnya) di TNGHS di masa yang akan datang
4. Bagaimana arahan rencana penggunaan lahan di kawasan TNGHS tahun 2010 – 2026.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan kawasan TNGHS pada berbagai zona (inti, rimba, pemanfaatan, dan lainnya) untuk periode tahun 2000 -2010
2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS
3. Memprediksi penggunaan lahan pada berbagai zona (inti, rimba, pemanfaatan, dan lainnya) untuk tahun 2026 dengan menggunakan model spasial perubahan penggunaan lahan
4. Merumuskan arahan rencana penggunaan lahan di TNGHS lahan terkait dengan pemanfaatan zonasi kawasan TNGHS
(16)
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dan UPT Balai TNGHS untuk dapat mengendalikan perubahan penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatan zonasi di TNGHS
2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terutama terkait dengan perubahan penggunaan lahan melalui pemodelan spasial dinamik
1.5 Kerangka Pemikiran
Khusus pada Taman Nasional, prinsip pengelolaannya didasarkan pada konsep konservasi, yang dijabarkan dalam bentuk pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan. Sistem zonasi yang diatur pada pengelolaan taman nasional, telah membagi kawasan Taman Nasional menjadi zona-zona (inti, rimba dan pemanfaatan) sesuai dengan bentuk pemanfaatan yang diperbolehkan.
Hal ini seringkali berbenturan dengan berbagai aktivitas dari kelompok masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan pelestarian alam, dimana dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya kelompok masyarakat masih bergantung pada pemanfaatan langsung terhadap sumberdaya alam.
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah TNGHS terutama dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan yang sebagian besar bermukim di sekitarnya. Pola Pemanfaatan didasarkan pada pandangan masyarakat terhadap hutan, yaitu : Hutan tutupan (leuweung tutupan), Hutan titipan (leuweung titipan) dan Hutan Sampalan (leuweung bukaan). Selain itu terdapat anggapan pada masyarakat kasepuhan, bahwa kegiatan ladang berpindah merupakan budaya (tatali paranti karuhun), (Suheri 1994).
Tingkat degradasi hutan pada berbagai zona (inti, rimba, pemanfaatan dan khusus) berbeda-beda sesuai dengan karakteristik zona dan faktor penyebabnya. Faktor Sosial ekonomi seringkali dijadikan alasan untuk melakukan berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan taman nasional. Di dalam perkembangannya terjadi perubahan penggunaan lahan yang mengancam fungsi dari ekosistem TNGHS. Perubahan penggunaan lahan di TNGHS yang tidak sesuai mengakibatkan degradasi hutan sehingga fungsi ekosistem TNGHS semakin menurun. Analisis spasial terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan TNGHS akan menghasilkan pola perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Untuk mengetahui penyebab perubahan tersebut, perlu di ketahui peubah-peubah biofisik dan sosial ekonomi yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang berdampak pada degradasi hutan. Selain itu prediksi perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang sangat bermanfaat bagi perencanaan kawasan TNGHS.
Hasil yang di harapkan dari penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi spasial (keruangan) kondisi perubahan penggunaan lahan kawasan TNGHS pada tiap zona (inti, rimba dan pemanfaatan) yang dapat dijadikan
(17)
sebagai dasar di dalam penentuan rencana pengelolaan kawasan TNGHS di masa yang akan datang. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Taman Nasional (TN) merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam (KPA) selain Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya (TAHURA). Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional meliputi: 1. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; 2. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 3. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan 4. merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Tujuan pengelolaan Taman Nasional adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah, secara nasional atau internasional serta
Arahan Rencana Penggunaan Lahan di Kawasan TNGHS Perubahan penggunaan
Lahan
Kesejahteraan Masyarakat
Analisis dan Model Spasial Penggunaan Lahan Zonasi TNGHS
1. Zona Inti 2. Zona Rimba 3. Zona
Pemanfaatan 4. Lainnya
• Konservasi keanekaragaman hayati
• Pengatur tata air • Iklim mikro • Pendidikan • Ilmu Pengetahuan • Wisata
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SLAK
Sosial Ekonomi Biofisik Wilayah
Prediksi dan Skenario Penggunaan Lahan
(18)
memiliki nilai penting bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993).
Fungsi Taman Nasional adalah sebagai : 1. kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2. kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan 3. Kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen PHKA 2004).
TNGHS terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, meliputi dua kabupaten di Provinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak di Provinsi Banten. TNGHS ditetapkan melauli Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007a).
Widada (2004) menyebutkan bahwa Taman Nasional secara umum memiliki peranan sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, wahana pendidikan lingkungan, mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa, wahana kegiatan wisata alam, sumber plasma nutfah dan perlindungan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa, serta pelestarian ekosistem hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan sumber air bagi masyarakat di sekitar kawasan.
TNGHS sebagai kawasan taman nasional memiliki fungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan, tempat perlindungan terhadap satwa langka dan hampir punah, sebagai tempat perlindungan terhadap sumberdaya alam yang mengandung kekayaan genetis, sebagai tempat perlindungan terhadap sumber daya air, sebagai tempat pendidikan dan penelitian, dan sebagai tempat rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a).
Taman nasional memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung. Kelompok yang menerima manfaat langsung dari keberadaan taman nasional adalah petani, nelayan, pelancong, dan sebagainya. Adapun kelompok yang mengambil manfaat dari keberadaan taman nasional umumnya berupa manfaat- manfaat pilihan (option benefits) di masa mendatang (Effendi, 1998). Lebih lanjut Effendi (1998) menyebutkan bahwa nilai ekonomi taman nasional sangat bergantung pada preferensi, kebudayaan dan nilai etika yang sangat bervariasi tergantung dari distribusi pendapatan dan aset yang ada di masyarakat. Misalnya, masyarakat kaya akan bersedia membayar lebih besar daripada masyarakat miskin untuk kelestarian suatu taman nasional.
Widada (2004) menyebutkan bahwa nilai manfaat ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berdasarkan analisis nilai ekonomi total (NET) mencapai Rp 439,75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerap karbon Rp 429,77 milyar (97,73%), nilai ekowisata Rp 1.27 milyar (0,29%), nilai air (domestik dan pertanian) Rp 6,64 rnilyar (1,5%), nilai pelestarian Rp 0,67 rnilyar (0,15%), nilai pilihan Rp 0,76 milyar (0,17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp 0,64 milyar (0,15%). Apabila nilai penyerap karbon tidak diperhitungkan, maka NET TNGHS sebesar Rp 9,57 milyar, dengan nilai ekonomi air (domestik dan pertanian) menunjukkan proporsi yang tertinggi (66,58%), kemudian nilai ekowisata (12,70%), nilai pilihan (7,63%), nilai pelestarian (6,70%), dan nilai keberadaan (6,40%). Nilai manfaat dari taman nasional tersebut tentunya tidak akan memberikan hasil yang optimal dan
(19)
berkelanjutan apabila di dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan, terutama terkait dengan degradasi hutan akibat perubahan penggunaan lahan.
2.2 Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Dalam Permenhut No. 56 tahun 2006a tentang pedoman zonasi taman nasional, diatur suatu sistem zonasi dalam pengelolaan taman nasional yang membagi kawasan taman nasional menjadi beberapa zona sesuai dengan peruntukannya. Pengaturan sistem zonasi tersebut meliputi : a). Zona inti; b) zona rimba; c) zona pemanfaatan dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya.
Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Kriteria penetapan zonasi dilakukan berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis (sensitivitas ekologi), urutan spektrum sensitivitas ekologi dari yang paling peka sampai yang tidak peka terhadap intervensi pemanfaatan, berturut-turut adalah zona: inti, perlindungan, rimba, pemanfaatan, koleksi, dan lain-lain. Selain hal tersebut juga mempertimbangkan faktor-faktor: keterwakilan (representation), keaslian (originality) atau kealamian (naturalness), keunikan (uniqueness), kelangkaan (raretiness), laju kepunahan (rate of extinction), keutuhan satuan ekosistem (ecosystem integrity), keutuhan sumberdaya/kawasan (resource/region integrity), luasan kawasan (area/size), keindahan alam (natural beauty), kenyamanan (amenity), kemudahan pencapaian (accessibility), nilai sejarah/arkeologi/ keagamaan (historical/ archeological/religious value), dan ancaman manusia (threat of human interference), sehingga memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian secara ketat atas populasi flora fauna serta habitat terpenting.
Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Penetapan zonasi yang ada pada suatu taman nasional didasarkan pada berbagai kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Pembagian kawasan TNGHS sangat penting, setiap bagian kawasan memiliki peranan yang cukup berarti, sehingga masing-masing perlu dipertahankan atau dilestarikan. Pembagian ini antara lain adalah: (1) kawasan hutan pegunungan bawah dan atas yang merupakan hutan primer, harus dipertahankan untuk menjadi areal inti sebagai preservasi hewan dan tumbuhan liar, (2) kawasan hutan pegunungan atas (> 1800 m dpl) yang tidak terlalu luas di Gunung Salak mempunyai vegetasi yang sangat spesifik, sehingga keberadaan kawasan ini menjadi sangat penting bagi TNGHS, (3) kawasan hutan pegunungan rendah yang berfungsi sebagai habitat hidupan liar seperti leopard dan gibbon, (4) hutan tanaman, areal ini dapat digunakan sebagai daerah penyangga (buffer zone) antara TNGHS dan daerah di luarnya (Mirmanto et al. 2008).
Suryanti (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam ekosistem yang memiliki zona berbeda di TNGHS, yaitu zona hutan kaki pegunungan, zona hutan
(20)
sub pegunungan, dan zona hutan pegunungan. Pengaruh elemen-elemen lansekap buatan manusia seperti patch areal pertanian, patch areal perkebunan teh, patch
areal pertambangan, dan patch permukiman, akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati pada kawasan TNGHS.
Berdasarkan Rencana Pengelolaan TNGHS tahun 2007-2026, kawasan TNGHS dibagi menjadi 8 zona antara lain : 1.Zona inti, 2.Zona rimba, 3.Zona Pemanfaatan, 4. Zona rehabilitasi, 5.Zona khusus, 6. Zona Tradisional, 7. Zona Budaya dan 8. Enclave. (GHSNPMP-JICA 2007a).
Zona inti dan zona rimba pada kawasan TNGHS diidentifikasi melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara keseluruhan. Zona ini meliputi ekositem hutan alam yang masih tersisa.
Penetapan zona pemanfaatan pada kawasan TNGHS berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Selain itu zona pemanfaatan kawasan TNGHS berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah-wilayah rawan gangguan pengunjung .
Wilayah yang menjadi zona rehabilitasi pada kawasan TNGHS merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan dataran rendah, areal yang rusak akibat PETI, koridor Gunung Halimun Salak dan sebagainya. Dimasa depan, setelah ekosistem dinilai pulih kembali, zona rehabilitasi dapat ditetapkan sebagai zona inti, zona rimba ataupun zona pemanfaatan.
Wilayah zona khusus di kawasan TNGHS merupakan wilayah-wilayah yang telah ada sarana SUTET (Saluran Umum Tegangan Ekstra Tinggi) serta wilayah kuasa pengelolaan PT.Chevron Geothermal Salak di kawasan Gunung Salak dan PT.Antam di daerah Cikidang- Gunung Sibentang Gading yang terletak di Kabupaten Lebak. Demikian pula dengan jalan provinsi dan kabupaten yang melitas di kawasan TNGHS yaitu di daerah Model Kampung Konservasi (MKK) di Desa Cipeuteuy dan Desa Gunung Malang.
Zona tradisional merupakan wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu. Selain itu, zona tradisional merupakan wilayah kasepuhan (permukiman tradisional) yang berada di kawasan TNGHS. Identifikasi zona budaya dilakukan dengan penelusuran sejarah berupa areal yang penting bagi kegiatan religi dan budaya seperti makam dipuncak Gunung Salak, situs Cibedug dan situs Kosala di Kabupaten Lebak.
Kawasan Enclave merupakan kawasan yang bukan merupakan bagian dari pengelolaan TNGHS akan tetapi secara geografis berada di dalam kawasan TNGHS. Kawasan ini berupa kawasan permukiman/kasepuhan, kawasan perkebunan teh swasta (PTPN VIII Cianten dan PT. Nirmala Agung) dan areal penggunaan lainnya.
2.3 Penggunaan dan Penutupan Lahan
Penggunaan lahan (land use) mengandung aspek aktifitas penggunaan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik
(21)
(Rustiadi et al. 2009). Penutupan lahan memiliki keterkaitan dengan keadaan penampakan permukaan bumi atau apa yang ada di atas sebuah lahan, sedangkan penggunaan lahan berhubungan dengan suatu aktivitas yang dilakukan oleh manusia pada suatu bidang lahan tertentu. (Lillesand dan Kiefer 1990).
2.3.1 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan
Perubahan penggunaan lahan merupakan perubahan aktivitas pemanfaatan lahan yang dilakukan pada suatu wilayah dari satu bentuk ke bentuk kegiatan lainnya sebagai akibat dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktural sosial ekonomi masyarakat yang berkembang. Perubahan penutupan lahan dapat terbagi menjadi 2 bentuk yaitu perubahan peutupan lahan menjadi kategori lain yaitu dari hutan menjadi non hutan dan perubahan penutupan lahan yang mengalami modifikasi yaitu dari hutan rapat menjadi hutan jarang (FAO, 2000 dalam Phong, 2004).
Perubahan penutupan lahan terdiri dari perubahan yang bersifat tetap (land use) dan bersifat sementara (land cover). Perubahan yang bersifat tetap artinya perubahan dari satu jenis penggunaan menjadi penggunaan lahan jenis lain, sedangkan perubahan sementara artinya yang berubah hanya tutupan lahannya, jenis penggunaan lahannya tetap (Lo, 1995).
Verbrug et al. (2006) melakukan penelitian di kawasan lindung wilayah Filipina dan mendapatkan bahwa perubahan penggunaan lahan pada kawasan lindung merupakan ancaman utama bagi keberadaan keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan oleh kerusakan vegetasi didalamnya dan kegiatan peningkatan lahan pertanian diwilayah batas kawasan lindung.
Penelitian terhadap trend perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun dilakukan oleh Cahyadi (2003), dimana didapatkan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (tahun 1990-2001), telah terjadi degradasi hutan pada koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak seluas 347. 523 hektar. Lebih lanjut, dari hasil studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006), diperkirakan bahwa pada periode tahun 1989-2004, telah terjadi deforestasi kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (± 25%). Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berupa kegiatan pemanenan kayu, perluasan lahan pertanian dan pembangunan perumahan.
2.3.2 Faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan
Kurniawan (2012) menyatakan faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan hutan menjadi lahan pertanian di Kabupaten Sukabumi adalah kepadatan tenaga kerja pertanian, jenis tanah, formasi geologi, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai.
Hadi (2012) melakukan penelitian tentang perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bogor. Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian adalah formasi geologi, kemiringan lereng, jarak dari pusat kota, jarak dari jalan, jumlah sekolah dasar, jumlah rumah sakit dan jumlah puskesmas.
(22)
Yatap (2008) menyatakan bahwa perubahan penutupan lahan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dipengaruhi oleh beberapa peubah sosial ekonomi yang pengaruhnya sangat dominan yaitu kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan permukiman dan perluasan lahan pertanian.
Munibah (2008) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah bentuklahan, kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata pencaharian masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Hesaki (2012), faktor penyebab perubahan penggunaan/penutupan lahan di area cagar biosfer Cibodas disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk, selanjutnya sumber pendapatan, kemiringan lereng, ketinggian dan jenis tanah.
Faktor-faktor yang secara nyata menentukan perubahan penggunaan lahan menurut Saefulhakim et al. (1999) dengan menggunakan alat analisis
multinominal logit model adalah tipe penggunaan lahan pada masa sebelumnya, status kawasan dalam kebijakan tata ruang, hak penguasaan dan kepemilikan lahan, karakteristik fisik lahan, karakteristik sosial ekonomi wilayah dan karakteristik interaksi spasial antara aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal suatu wilayah.
2.3.3 Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan
Menurut Rustiadi et al. (2002) pemahaman dinamika pembangunan lahan dan analisis pemanfaatan ruang suatu wilayah membutuhkan syarat perlu
(necessary condition) pemahaman yang lengkap tentang berbagai aspek dinamis di wilayah tersebut seperti aspek perkembangan wilayah, perubahan aktifitas perekonomian dan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu diperlukan tolak ukur objektif dalam bentuk peubah-peubah yang akan dikaji untuk mengevaluasi keseluruhan dari aspek tersebut.
Melalui kajian empirik, Saefulhakim et al. (1999) melakukan pengembangaan model sistem interaksi antar aktivitas sosial ekonomi dengan perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan database Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Sumatera Barat menyimpulkan bahwa elastisitas dinamika perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan, dinamika karakteristik sosial ekonomi internal dan karakteristik interaksi spasial kegiatan sosasial ekonomi.
Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa dinamika struktur penggunaan lahan dapat mengarah kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Arah perubahan penggunaan lahan khususnya dari penggunaan pertanian ke non pertanian secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan rakyat, perekonomian wilayah, dan tata ruang wilayah. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan akan memperlihatkan kecenderungan meningkat atau menurun dalam tata ruang dengan arah mendekati atau menjauhi pusat aktivitas manusia, sehingga membentuk suatu pola yang dapat dipelajari dan diprediksi. Dengan demikian mempelajari dan memprediksi dinamika struktur penggunaan lahan dan perubahannya terkait dengan analisis spasial sangat penting, karena penggunaan lahan mempunyai lokasi yang melekat pada posisi geografisnya.
(23)
2.3.4 Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan
Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstrak dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab-akibat). Model merupakan abstraksi dari suatu realitas, sehingga wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri (Marimin 2005).
Pemodelan perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu cara untuk memahami dan menjelaskan dinamika perubahan penggunaan lahan. Analisis aspek biofisik, sosial, dapat di integrasikan dengan perkembangan model. (Veldkamp dan Verburg, 2004).
Secara umum Briassoulis (2000) menggambarkan klasifikasi pemodelan untuk analisis penggunaan lahan dan perubahannya. Model perubahan penggunaan lahan dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu model statistik dan ekonometrik (statistical and econometric models), model interaksi spasial (spatial interaction model), model optimasi (optimation model), dan model terintegrasi
(integrated model). Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan pada deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan, salah satunya adalah CLUE-S.
Conversion of Land Use and its Effect atau (CLUE) merupakan pendekatan empiris yang dilakukan dengan studi kasus antara lain di Atlantic Zone (Costa Rica), China, Ekuador, Honduras, dan Pulau Jawa (Veldkamp et al. 2001). Model ini merupakan model terpadu, secara spasial nyata, dinamis dan berdasarkan pada sosial ekonomi dan lingkungan. Pemodelan dengan CLUE terdiri atas dua tahap, yaitu (1) analisis pola perubahan penggunaan lahan yang berasal dari penggunaan lahan lampau dan saat ini, sehingga dapat diketahui variabel penentu (driving factors) yang paling mempengaruhi baik dari aspek biofisik, sosial ekonomi maupun kebijakan, (2) menggunakan hasil analisis tersebut untuk menetapkan skenario yang memungkinkan untuk dilakukan. Model CLUE ini terdiri dari modul permintaan (demand module) dan modul Alokasi (allocation module).
Verbrug et al. (1999) mengaplikasikan model CLUE untuk mensimulasikan kondisi tekanan penduduk terhadap perubahan penggunaan lahan di Pulau Jawa. Penggunaan lahannya diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu : ladang berpindah, sawah, kebun dan tegalan, permukiman dan industri, perkebunan, dan lainnya. Hasil dan penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan ladang berpindah terdapat di bagian barat Pulau Jawa, areal persawahan mengalami penurunan di bagian utara Pulau Jawa dan penggunaan permukiman meningkat di sebagian wilayah pulau terutama di bagian barat.
Conversion of Land Use and its Effect at Small regional extent (CLUE-S). Verburg et al. (2002) mengembangkan pemodelan spasial untuk perubahan penggunaan lahan pada areal lebih kecil dari nasional atau provinsi. Model ini dinamakan Conversion of Land Use and Its Effect at Small regional extent atau CLUE-S. Pada pemodelan dengan CLUE-S ini beberapa konsep digunakan berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan yaitu konektivitas, stabilitas dan
resilience. Konektivitas merupakan suatu istilah yang menentukan/ menjelaskan bahwa lokasi-lokasi mempunyai hubungan spasial, misalnya suatu jarak tertentu satu sama lain. Stabilitas merupakan karakter suatu jenis penggunaan lahan
(24)
tertentu untuk terkonversi. Resilience atau daya lenting merupakan kapasitas menyangga dari suatu ekosistem atau masyarakat dalam menerima gangguan.
Model CLUE-S ini telah diterapkan di DAS Selangor (Malaysia), Pulau Sibuyan (Filipina), dan Provinsi Bac Kan (Vietnam), Kabupaten San Mariano (Filipina), Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor (Indonesia). Selain itu juga model ini telah dilakukan untuk menggambarkan faktor aksesibilitas sebagai driver dari perubahan penggunaan lahan di Kabupaten San Mariano (Filipina). Keuntungan penggunaan model ini adalah pertimbangan secara eksplisit untuk memfungsikan sistem land use secara keseluruhan.
Aplikasi CLUE-S di DAS Selangor. Engelsman (2002) melakukan
pemodelan spasial peruhahan penggunaan lahan dengan model CLUE-S untuk wilayah perkotaan di DAS Selangor, Malaysia. Penggunaan lahan yang digunakan terdiri atas delapan kelas, yaitu hutan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, perkebunan campuran, semak dan padang rumput, lahan pertambangan, lahan urban dan wilayah perairan. Driving factors-nya adalah ketinggian wilayah jarak ke jalan, jarak ke laut, jarak ke pusat permukiman, jarak ke pusat hutan, jenis tanah (alluvial dan fluvisol), lapisan tanah (tanah dangkal), kelas kesesuaian lahan, kepadatan penduduk dan tenaga kerja sektor pertanian. Hasil dan perhitungan regresi logistik dapat diketahui bahwa variabel yang paling mempengaruhi adalah jarak terhadap pusat permukiman dan jarak terhadap jalan. Hasil dan pemodelan ini menunjukkan bahwa kebutuhan penggunaan lahan untuk wilayah perkotaan meningkat selama periode 1999-2014 dan hasil simulasinya menunjukkan bahwa persebaran wilayah perkotaan menyebar dari selatan ke utara sampai perbatasan Kuala Lumpur. Perkembangan ini seperti suatu koridor yang membentang sepanjang jalan utama sampai ke bagian barat Semenanjung Malaysia.
Aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan (Filipina). Pemodelan perubahan
penggunaan lahan di Pulau Sibuyan (Filipina) dilakukan oleh Verburg et al.
(2002). Tujuan dilakukan pemodelan spasial ini adalah untuk membangun model spasial dinamik perubahan penggunaan lahan pada skala regional. Penggunaan lahan dikiasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu : hutan, perkebunan kelapa sawit, padang rumput, sawah dan lainnya (mangrove dan permukiman). Driving factors -nya adalah ketinggian, kemiringan lereng, jarak ke kota, jarak ke sungai, jarak ke jalan, jarak ke pantai, geologi, bahaya erosi dan kepadatan penduduk. Model ini mengintegrasikan modul kebutuhan lahan (non spasial) dan modul pengalokasian penggunaan lahan (spasial). Unit analisisnya adalah berupa piksel ukuran (1 .000x 1.000) m. analisis non spasial berupa laju perubahan penggunaan lahan periode sebelumnya yang diperoleh dari data penginderaan jauh multi waktu yang digunakan untuk memprediksi kebutuhan penggunaan lahan masa datang. Analisis spasial menggunakan pendekatan cellular automata (CA) dengan regresi logistik sebagai transition rule-nya. Hasil pemodelan ini adalah model yang mudah diterapkan pada situasi perubahan penggunaan lahan dan daerah studi yang tidak ada pembatasan area.
Soepbroer (2001) mengaplikasikan model CLUE-S di Pulau Sibuyan (Filipina). Tujuan penelitiannya adalah untuk mengaplikasikan program ini secara realistis dan untuk menganalisis kinerjanya. Data dengan menggunakan ukuran sel 250 m2, pada periode 15 tahun yaitu 1997-2012. Penggunaan lahannya diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu : hutan, kelapa, rumput, padi dan lainnya. Hasil pemodelan spasial menggambarkan adanya lahan terbangun di
(25)
sepanjang kaki pegunungan, padang rumput berkembang di bagian utara, perkebunan kelapa berkembang ke bagian barat dan penanaman padi yang dipusatkan pada bagian utara pulau dan di sepanjang pantai utara dan pantai barat. Hasil pemodelan ini dapat menggambarkan secara baik suatu kondisi penggunaan lahan yang kompleks pada wilayah yang lebih kecil.
Aplikasi CLUE-S untuk Pemodelan Aksesibilitas. Witte (2003)
mengaplikasikan model CLUE-S untuk pemodelan aksesibilitas. Aksesibilitas diduga mempunyai pengaruh dalam perubahan penggunaan lahan. Variabel aksesibilitas dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan waktu tempuh. Hasil dan penelitian ini menunjukkan bahwa tiga tipe aksebilitas berdasarkan waktu tempuh memberikan dampak besar terhadap perubahan penggunaan lahan, yaitu penduduk lebih terkonsentrasi pada wilayah yang mempunyai aksesibilitas dengan waktu tempuh yang lebih cepat.
Aplikasi CLUE-S di Indonesia. Warlina (2007) mengaplikasikan model
CLUE-S di Kabupaten Bandung. Tujuan penelitiannya adalah untuk membangun model perubahan penggunaan lahan untuk konsep penataan ruang dalam rangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Data dengan menggunakan ukuran sel 250 m2
Kurniawan (2012) mengaplikasikan model CLUE-S di Kabupaten Sukabumi. Tujuan penelitiannya adalah membangun model spasial perubahan penggunaan lahan dalam kaitannya dengan perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Sukabumi. Data dengan menggunakan ukuran sel 100 m
, pada periode 20 tahun yaitu 2003-2023. Penggunaan lahannya diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu : air, hutan, lainnya, kawasan terbangun, perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah. Hasil pemodelan spasial menggambarkan terdapat penurunan pada kawasan hutan sebesar 11% dan peningkatan jenis penggunaan lahan pertanian lahan kering meningkat 70 % dan kawasan terbangun menjadi 17 %. Hasil pemodelan ini akan lebih baik dengan menerapkan spasial policy untuk mengatur wilayah tertentu agar tidak terkonversi.
2
Dari beberapa contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa model CLUE-S dapat diaplikasikan pada pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya, baik aspek biofisik wilayah, aspek sosial ekonomi maupun aspek aksesibilitas. Model ini juga dapat dikembangkan dengan mengaitkan aspek bencana alam dan aspek ketahanan pangan dalam memproyeksikan kebutuhan penggunaan lahan masa datang.
, pada periode 23 tahun yaitu 2010-2032. Penggunaan lahannya diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu : air, hutan, kawasan terbangun, lahan kering, perkebunan, sawah dan lainnya. Hasil pemodelan spasial menggambarkan terdapat penurunan pada kawasan hutan menjadi lahan pertanian, dan terjadi peningkatan kawasan terbangun dan lahan kering. Validasi pemodelan ini dapat memprediksi penggunaan lahan pada tahun 2032 dengan akurasi 91,25%.
Perbedaan pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan antara dengan model CLUE dan CLUE-S adalah dalam aspek skala dan sumber data. Model CLUE diaplikasikan dalam skala luas baik nasional atau level benua. Unit analisisnya berupa piksel dengan resolusi kasar, yaitu : ukuran piksel lebih besar dari (1.000 x 1.000) m. Data pcnggunaan lahan diperoleh dengan cara sensus atau survei. Model CLUE-S diaplikasikan untuk wilayah lebih kecil dalam skala lokal atau regional. Unit analisisnya berupa piksel dengan resolusi yang lebih halus,
(26)
yaitu : ukuran piksel kurang dari (l.000 x 1.000) m. Penggunaan lahan diperoleh dari peta atau data penginderaan jauh (remote sensing) (Verburg et al. 2002).
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Aronoff (1989) dalam Prahasta (2002) menjelaskan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau manajemen data (menyimpan atau pengaktifan kembali), analisis dan manipulasi data serta keluaran data. Pemasukan data kedalam SIG dilakukan dengan cara digitasi dan tabulasi.
Sistem informasi geografis merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis, dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis (Rind 1992 dalam Prabowo et al. 2005).
Sedangkan menurut Widjojo (1993) SIG dapat didefinisikan sebagai perangkat lunak untuk penyimpanan, pemanggilan kembali, transformasi dan
display data keruangan permukaan bumi yang terdiri dari :
1. Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur, dan ketinggian)
2. Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis 3. Hubungan antara data spasial, atribut, dan waktu
Menurut Jaya (2002), pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spatial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (polygon), batas (line atau arc) dan lokasi (point). Data spasial (peta) yang umum digunakan di bidang kehutanan, antara lain peta rencana tata ruang, peta rencana tata guna hutan, peta rupa bumi (kontur), peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta tata batas, peta batas unit pengelolaan hutan, peta batas administrasi kehutanan, peta tanah, peta iklim, peta geologi, peta vegetasi, dan peta potensi sumberdaya hutan.
2.5 Penginderaan Jauh
Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya.
(27)
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Informasi tersebut diperoleh karena masing-masing objek memiliki kekhasan dalam memantulkan, menyerap, meneruskan atau memancarkan energi gelombang elektromagnetik yang datang padanya sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Penginderaan jauh tidak hanya mencakup pengumpulan data mentah, akan tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh (Jaya, 2005).
3 METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian berlokasi di kawasan TNGHS yang secara administrasi terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus - November 2013. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan perbanyakan tesis.
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian TNGHS
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat tahun 2000 dan 2010, Citra Quick Bird tahun 2010, peta Rupa Bumi Indonesia
(28)
(RBI) skala 1 : 25.000, peta administrasi skala 1 : 25.000, peta jenis tanah, peta geologi tahun 1992, peta elevasi, peta kemiringan lereng, peta curah hujan, peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak Tahun 2012 dan data potensi desa Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak tahun 2000 dan 2010.
Alat yang digunakan dalah Receiver GPS, kamera digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : ERDAS Imagine ArcGis, CLUE-S, Google Earth, ArcGis, SPSS dan Microsoft Excel.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil interpretasi data penginderaan jauh dan data pengecekan lapang, sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang terkait.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data penggunaan lahan hasil interpretasi data penginderaan jauh dan data pengecekan lapang untuk akurasi hasil interpretasi penggunaan lahan. Data penggunaan lahan diperoleh dengan cara melakukan interpretasi penggunaan lahan secara visual dari citra Landsat Tahun 2000 dan 2010 yang di verifikasi dengan pengamatan lapangan (Ground truth). Citra Landsat tahun 2000 dan tahun 2010 diperoleh dari USGS melalui BTIC Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROF).
Data sekunder melipuit data fisik lahan dan data sosial dan ekonomi. Data fisik lahan meliputi : peta geologi, peta jenis tanah, peta elevasi, peta lereng, peta curah hujan, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan peta administrasi. Peta geologi tahun 1992 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Peta jenis tanah tahun 1993 diperoleh dari Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak)/Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP). Peta elevasi dan kemiringan lereng tahun 2011, peta administrasi updating 2009 diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Peta curah hujan tahun 2005 diperoleh dari Balai TNGHS. Peta RBI tahun 2000 diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Data kepadatan penduduk dan kepadatan tenaga kerja pertanian diperoleh dari data potensi desa tahun 2000 dan 2010, Badan Pusat Statistik (BPS).
3.5 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian terdiri atas empat tujuan, yaitu : (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, (3) prediksi penggunaan lahan tahun 2026 melalui
(29)
model spasial perubahan penggunaan lahan, dan (4) merumuskan arahan rencana penggunaan lahan di kawasan TNGHS. Bagan alir penelitian tertera pada Gambar 3.
Tujuan pertama yaitu analisis perubahan penggunaan lahan meliputi proses interpretasi citra Landsat tahun 2000 dan 2010. Klasifikasi peta penggunaan lahan, uji interpretasi penggunaan lahan tahun 2010 dan tumpang susun antara peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010. Tujuan kedua yaitu analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010 menggunakan metode regresi logistik biner. Tujuan ketiga yaitu memprediksi penggunaan lahan tahun 2026 melalui pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan menggunakan metode CLUE-S melalui beberapa skenario. Tujuan keempat yaitu merumuskan arahan rencana pengelolaan TNGHS dan menyusun skenario kebijakan pengendalian perubahan penggunaan lahan terkait dengan pemanfaatan zonasi kawasan TNGHS.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Unit analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah poligon penggunaan lahan di kawasan TNGHS. Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data teknik analisis dan keluaran tertera pada Tabel 1.
3.6.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 3.6.1.1 Analisis Citra Landsat Tahun 2000 dan 2010
Tahapan yang dilakukan dalam interpretasi citra Landsat untuk wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebagai berikut :
a. Pemotongan Batas Area Penelitian
Pemotongan batas area penelitian diperlukan untuk melakukan clip citra Landsat path/row 122/065 untuk memperoleh wilayah yang akan dianalisis, yaitu kawasan TNGHS. Metode yang digunakan adalah extract by mask, yaitu memotong citra Landsat dengan wilayah batas kawasan TNGHS.
b. Rektifikasi Citra
Citra Landsat terlebih dahulu direktifikasi/koreksi geometrik agar posisinya sesuai dengan posisi objek di permukaan bumi.
c. Interpretasi citra Landsat
Interpretasi citra landat dilakukan untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan dan analisis perubahan penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan mengacu pada sistem klasifikasi Badan Planologi Kementerian Kehutanan berdasarkan kepada Permenhut No.67/Menhut-II/2006b tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan.
Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik interpretasi visual (digitize on screen) pada skala 1 : 25.000, dengan pendekatan unsur yang meliputi rona (berkaitan dengan warna/ derajat keabuan suatu objek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari bentuk obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek yang lain) (Lillesand dan Kiefer 1997), asosiasi/korelasi (Sutanto 1986).
(30)
Gambar 3 Bagan Alir Penelitian
Citra Landsat Tahun 2000 dan2010
Interpretasi dan Klasifikasi Cek Lapangan,
Citra Google Earth
Peta Penggunaan Lahan tahun 2000 dan 2010
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis Faktor-faktor penyebab Perubahan Penggunaan Lahan
MODEL CLUE-S
Validasi Model
Model Perubahan Penggunaan Lahan
Simulasi prediksi perubahan lahan
Skenario Perubahan Lahan
1.Kepadatan penduduk 2. Kepadatan tenaga kerja pertanian 3. Jenis Tanah 4. Formasi Geologi 5. Elevasi
6. Kemiringan Lereng 7. Curah Hujan 8. Jarak ke Jalan 9. Jarak ke pusat kota 10. Jarak ke kota terdekat 11. Jarak ke sungai
1. Zona Inti 2. Zona Rimba 3. Zona Pemanfaatan 4. Zona Lain
Arahan Rencana Penggunaan Lahan di TNGHS Koefisien Regresi Logistik
Elastisitas Kebutuhan Lahan
Tidak
Ya
Regulasi dan Peraturan Terkait Pengelolaan TN
- Permenhut No. P56/Menhut-II/2006a tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional
- Permenhut No. P26/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan - Rencana Pengelolaan TNGHS
(31)
Tabel 1 Hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran
NO TUJUAN JENIS DATA SUMBER DATA
TEKNIK
ANALISIS KELUARAN 1 Menganalisis
perubahan penggunaan lahan Penggunaan Lahan Citra Landsat tahun 2000 dan 2010 Interpretasi visual, klasifikasi, analisis tumpang susun SIG Peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 2 Menganalisis
faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
- Faktor Fisik (Jenis tanah, Formasi Geologi,Elevasi, kemiringan lereng, Curah hujan) - Faktor Sosial
Ekonomi (Kepadatan penduduk, Kepadatan tenaga kerja pertanian) - Aksesibilitas
(jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke pusat kota dan jarak ke sungai)
Peta geologi, peta jenis tanah, peta lereng, peta curah hujan, peta RBI dan peta Administrasi, Potensi desa 2000 dan 2010. Analisis tumpang susun SIG, regresi logistik Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan
3 Memprediksi penggunaan lahan tahun 2026
- Data kebutuhan penggunaan lahan - Koefisien hasil
regresi logistik tiap jenis
penggunaan lahan - Nilai elastisitas
perubahan penggunaan lahan
-Penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 -Driving factor
yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
- Model CLUE-S - Model spasial penggunaan lahan - Peta prediksi
penggunaan lahan tahun 2026
4 Merumuskan arahan rencana penggunaan lahan di TNGHS
- Peta prediksi perubahan lahan - Regulasi dan
peraturan terkait pengelolaan TN
Hasil tujuan ke-3
-Model CLUE-S -Analisis tumpang
susun
Arahan rencana penggunaan lahan TNGHS
(32)
Kombinasi citra Landsat yang digunakan adalah 5-4-3 (RGB) karena memiliki informasi terbaik untuk identifikasi penggunaan lahan. (Kurniawan, 2012).Citra Landsat tahun 2000 dan 2010 di interpretasi menjadi peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010. Analisis perubahan lahan tahun 2000 dan 2010 menghasilkan matriks perubahan lahan, contoh matrik disajikan pada pada Tabel 2.
Tabel 2 Matriks perubahan penggunaan lahan tahun t0-t1
Tipe penggunaan lahan
Tahun t1
B H K Kt L Lt Sw S
T
ahu
n
t
B
0
- - - B t0
H - - - H t0
K - - - Kt t0
Kt - - - Kt t0
L - - - Lt t0
Lt - - - Sw t0
Sw - - - Sw t0
S - - - S t0
Jumlah B t1 Ht1 Kt1 Ktt1 Lt1 Ltt1 Sw t1 S t1
= Tetap = Berubah
Keterangan : B= Badan Air, H=Hutan, K=Kebun Campuran, Kt= Kebun Teh, L=Ladang, Lt= Lahan terbangun, Sw= Sawah dan S=Semak
Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun (overlaying) antara peta penggunaan lahan tahun 2000 dan tahun 2010 menggunakan software ArcGIS.
3.6.1.2 Pengujian Hasil Interpretasi
Hasil interpretasi penggunaan lahan pada citra satelit perlu diuji untuk mengetahui akurasi dari interpretasi. Pengambilan titik uji menggunakan bantuan perangkat lunak Erdas Imagine dengan metode Stratified Random Sampling, yaitu : metode pengambilan titik berstrata secara acak sesuai luas penggunaan lahan di tiap kelas, sehingga kelas yang mempunyai luasan yang lebih besar akan memiliki nilai uji yang lebih banyak (proporsional). Untuk meningkatkan akurasi pengujian hasil interpretasi maka titik uji ditentukan sebanyak 150 titik.
Untuk menghitung besarnya akurasi hasil klasifikasi dapat diuji dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Akurasi klasifikasi umumnya dilakukan dengan metode overall accuracy. Selain itu dihitung pula besarnya akurasi pembuatan (producer accuracy), akurasi pengguna (users accuracy), dan akurasi umum (overall accuracy) serta akurasi kappa (kappa accuracy).
Nilai Overall Accuracy dan Kappa Accuracy dihitung dengan menggunakan
error matrix dimana barisnya adalah kelas penggunaan lahan hasil interpretasi citra dan kolomnya adalah kelas penggunaan lahan hasil cek lapangan atau cek menggunakan citra resolusi tinggi (Quick Bird dan Google Earth). Matriks dan rumus Kappa Accuracy yang digunakan pada penelitian ini tertera pada Tabel 3 (Jensen 1996).
(33)
Tabel 3 Matriks Kesalahan (Error Matrix) Penggunaan Lahan
Hasil Interpretasi
Penggunaan Lahan
Pi+ Pi+ ... ... Pi+ Jumlah
P+i X11 X+i
P+i X11 X
...
+i
X11 X
...
+i
X11 X
P
+i
+i Xmn X
Jumlah
+i
Xi+ Xi+ Xi+ Xi+ Xi+ N
Keterangan :
P+i : Jenis penggunaan lahan hasil interpretasi
Pi+ : Jenis penggunaan lahan hasil validasi
X+i
X
: Jumlah titik hasil interpretasi pada jenis penggunaan lahan ke-i
i+
X
: Jumlah titik hasil validasi pada jenis penggunaan lahan ke-i
ii
bersesuaian dengan penggunaan lahan hasil validasi : Jumlah jenis penggunan lahan ke-i hasil interpretasi yang
i : Baris atau kolom
r : Jumlah tipe penggunaan lahan
N : Jumlah titik penggunaan lahan yang dilakukan validasi k : Nilai Kappa
Pengujian nilai klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai Overall Accuracy
di atas 85% (Jensen 1996).
3.6.2 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis yaitu perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan periode tahun 2000 sampai dengan 2010. Analisis regresi logistik biner dilakukan dengan metode forward stepwise, yaitu : melakukan pemodelan melalui regresi berulang/bertahap dengan cara memasukkan variabel bebas satu persatu kemudian mempertahankannya dalam model apabila variabel tersebut mempunyai pengaruh signifikan. Variabel yang tidak signifikan akan dikeluarkan dari model, sehingga variabel yang yang terdapat dalam model adalah variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penggunaan lahan. Hasil regresi logistik diuji ketepatanna melalui metode ROC ( Relative Operating Characteristic) dengan nilai antara 0,5 -1,0.
Nilai 1,0 mengindikasikan hasil perhitungan tepat sempurna, sedangkan nilai 0,5 mengindikasikan bahwa hasil tersebut karena pengaruh acak (Pontius dan Scheneider 2001). Exp (β) dihitung untuk mengetahui pengaruh relatif setiap variabel terhadap pengunaan lahan. Exp (β) menunjukkan apakah peluang dari penggunaan lahan tertentu pada grid sel meningkat (exp (β) > 1) atau menurun (exp (β) < 1) akibat dari satu peningkatan variabel bebas.
Variabel tidak bebas yang digunakan adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan. Variabel bebas yang digunakan adalah kepadatan
) * ( ) ( 1 2 1 1 + = + + = + =
∑
∑
∑
− + − = i r i i i r i i r i ii x x N x x x N k(34)
penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, kemiringan lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak kepusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai.
Persamaan regresi logistik yang digunakan adalah :
Dimana :
Pi
β o = Nilai peluang untuk peubah tetap ke 1 β1-n = konstanta
X
= Nilai koefisien untuk peubah bebas ke 1 sampai n
1-n,1
n = Jumlah variabel
= Peubah bebas ke 1 sampai n , pada peubah tetap ke 1
X1 = Kepadatan penduduk X7
X
= Curah hujan
2 = Kepadatan tenaga kerja pertanian X8
X
= Jarak ke jalan
3 = Formasi geologi X9
X
= Jarak ke pusat kota
4 = Jenis tanah X10
X
= Jarak ke kota terdekat
5 = Elevasi X11
X
= Jarak ke kota sungai
6 = Kemiringan lereng
3.6.3 Penyusunan Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan
Penyusunan model spasial penggunaan lahan yang dilakukan berbasis spasial dan bersifat dinamis. Model spasial dibangun menggunakan perangkat lunak CLUE-S dengan keluaran model adalah peta penggunaan lahan tahun 2010 dan tahun 2026.
Model spasial disusun dalam 2 tahap, yaitu : Prediksi tahun 2010 dan tahun 2026. Prediksi tahun 2010 digunakan sebagai validasi model. Data input yang digunakan dalam penyusunan model adalah penggunaan lahan awal, laju perubahan penggunaan lahan per tahun atau kebutuhan penggunaan lahan (land use demand), kesesuaian lokasi (location suitability), konversi jenis penggunaan lahan (landuse type specific conversion), dan kebijakan dan pembatasan penggunaan lahan (landuse policies and restriction). Struktur penyusunan model spasial CLUE-S disajikan pada Gambar 4.
3.6.3.1 Transformasi Format Vektor ke Raster
Model spasial perubahan penggunaan lahan dilakukan dalam format data raster, sehingga semua data vektor terlebih dahulu diubah kedalam bentuk data raster. Parameter yang digunakan untuk penetapan ukuran raster adalah ukuran minimun raster untuk model dapat melakukan simulasi. CLUE-S adalah model spasial perubahan penggunaan lahan yang ditujukan untuk wilayah kecil (small region) dengan ukuran raster lebih kecil dari (1.000x1.000) m (Verbrug et al. 2002). Ukuran raster lebih kecil dari (100x100) m khusus untuk wilayah TNGHS tidak dilakukan mengingat keterbatasan dari perangkat lunak CLUE-S yang
1 21 2 12 1 1 1 ...
1 P o X X nXn
P
Log = β +β +β +β
−
(35)
membatasi jumlah baris dan kolom maksimum 1.000x1.000 dan model CLUE-S tidak dapat melakukan proses perhitungan luas probabilistik dengan ukuran pengolahan data yang terlalu besar. Hasil transformasi format vektor ke raster untuk wilayah TNGHS dengan ukuran yang lebih kecil dari (100x100)m melebihi batas maksimum jumlah baris dan kolom pada model CLUE-S. Ukuran raster yang dianalisis adalah (100x100) m memiliki jumlah baris sebanyak 422 dan jumlah kolom sebanyak 629. Luas untuk tiap sel adalah 10.000 m2 atau 1 ha.
Gambar 4 Struktur penyusunan model spasial.
Selain itu, Model CLUE-S disimulasikan dalam format raster sehingga dilakukan transformasi data spasial dari vektor ke raster.
3.6.3.2 Kebutuhan Penggunaan Lahan
Laju perubahan penggunaan lahan per tahun diperoleh dari perubahan penggunaan lahan tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Perhitungan kebutuhan penggunaan lahan dilakukan selama 17 tahun kedepan, yaitu tahun 2010-2026. Perubahan penggunaan lahan per tahun tertera pada Tabel 4.
Penggunaan lahan tahun 2000
Kalkulasi perubahan penggunaan lahan
Apakah total kebutuhan lahan terpenuhi
Penggunaan lahan tahun
2000
Kepadatan penduduk dan tenaga kerja pertanian tahun 2000
Regresi Logistik Biner
Penggunaan lahan prediksi tahun 2010
Validasi
Penggunaan lahan Aktual tahun
2010
Penggunaan lahan tahun 2010 MODEL CLUE-S
Kebutuhan lahan
Faktor Biofisik dan aksesibilitas Matrik perubahan
penggunaan lahan Nilai Elastisitas
(36)
Tabel 4 Luas perubahan penggunaan lahan per tahun.
Tahun Penggunaan Lahan
P1 P2 P3 ... Pn
Y1 X11
Y2 X21
Y3 X32
...
Yn Xml Xmn
P1 –
Y
Pn : Jenis penggunaan lahan
1
X
– Yn : Tahun penggunaan lahan
11 – Xmn : Luas penggunaan lahan
3.6.3.3 Peluang Pengalokasian Penggunaan Lahan
Nilai alokasi sel untuk tiap jenis penggunaan lahan diperoleh dari hasil regresi logistik biner dari tiap jenis penggunaan lahan. Metode regresi logistik biner dengan menggunakan persamaan di bawah ini :
Dimana :
P1
Βo : Nilai peluang untuk peubah tetap ke 1 β1-n : konstanta
X
: Nilai koefisien untuk peubah bebas ke 1 sampai n
1-n,1
n : Jumlah variabel
: Peubah bebas ke 1 sampai n , pada peubah tetap ke 1 X1 : Kepadatan penduduk X7
X
: Curah hujan
2 : Kepadatan tenaga kerja pertanian X8
X
: Jarak ke jalan
3 : Formasi geologi X9
X
: Jarak ke pusat kota
4 : Jenis tanah X10
X
: Jarak ke kota terdekat
5 : Elevasi X11
X
: Jarak ke sungai
6 : Kemiringan lereng
Variabel tidak bebas yang digunakan adalah luas tiap jenis penggunaan lahan, yaitu : Badan air, hutan, kebun campuran, kebun teh, ladang, lahan terbangun, sawah dan semak. Variabel bebas yang digunakan adalah kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, kemiringan lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak sungai.
3.6.3.4 Konversi Jenis Penggunaan Lahan
Konversi jenis penggunaan lahan dibagi atas 2 jenis, yaitu : elastisitas konversi (conversion elasticity) dan matriks konversi (conversion matrix) dari setiap penggunaan lahan. Elastisitas konversi adalah nilai peluang penggunaan lahan dapat berubah. Penetapan nilai elastisitas diperoleh dari model CLUE-S yang pernah dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi wilayah TNGHS. Parameter yang digunakan dalam menentukan nilai elastisitas adalah akurasi maksimum perbandingan antara penggunaan lahan hasil prediksi dan penggunaan lahan aktual. Nilai elastisitas berada diantara 0 dan 1. Nilai elastisitas yang
1 21 2 12 1 1 1 ...
1 P o X X nXn
P
Log =β +β +β +β
−
(1)
88
Lampiran 4 (Lanjutan)
No Koordinat Sistem Hasil Interpretasi Data Referensi Kesesuaian
X y
116 643834.2528 9260973.2894 Hutan Hutan Sesuai
117 648357.8640 9256541.6414 Ladang Kebun Campuran Tidak Sesuai
118 667113.9981 9257677.9925 Kebun teh Kebun teh Sesuai
119 664485.6003 9250313.5676 Sawah Sawah Sesuai
120 664398.8575 9262136.2700 Semak Hutan Sesuai
121 642630.2865 9272238.1298 Hutan Hutan Sesuai
122 666515.1617 9247833.3611 Sawah Sawah Sesuai
123 642082.1236 9269599.4212 Ladang Kebun Campuran Tidak Sesuai
124 693089.8221 9261215.8510 Badan Air Badan Air Sesuai
125 641714.6243 9260929.5103 Sawah Ladang Sesuai
126 660651.9346 9248915.8622 Semak Semak Sesuai
127 641594.3157 9249522.9917 Ladang Ladang Sesuai
128 670434.1271 9256237.8939 Ladang Ladang Sesuai
129 644804.5879 9261211.0576 Semak Kebun Campuran Tidak Sesuai 130 682064.9417 9256927.1914 Semak Kebun Campuran Tidak Sesuai
131 672436.9751 9238828.6526 Semak Semak Sesuai
132 642519.6197 9250193.2395 Kebun Campuran Kebun Campuran Sesuai 133 657729.5288 9274518.9828 Ladang Kebun Campuran Tidak Sesuai
134 676796.8985 9243145.6256 Semak Semak Sesuai
135 667417.0505 9263934.1258 Semak Semak Sesuai
136 653137.4633 9273002.2241 Kebun Campuran Kebun Campuran Sesuai
137 663022.1513 9240989.3894 Ladang Ladang Sesuai
138 664643.6599 9249509.7858 Sawah Sawah Sesuai
139 675957.1428 9246907.7008 Ladang Ladang Sesuai
140 654841.3528 9271314.7882 Kebun Campuran Kebun Campuran Sesuai
141 642972.6987 9252123.0519 Semak Semak Sesuai
142 639877.3944 9259117.0707 Ladang Ladang Sesuai
143 658344.1382 9251194.8015 Ladang Ladang Sesuai
144 646997.3350 9270801.1406 Sawah Sawah Sesuai
145 656157.8091 9263976.9536 Semak Semak Sesuai
146 677759.6433 9255725.8528 Kebun teh Kebun teh Sesuai
147 634265.8620 9253180.7329 Sawah Kebun Campuran Tidak Sesuai
148 650421.0623 9258732.4800 Ladang Ladang Sesuai
149 661885.4889 9251995.8544 Sawah Ladang Tidak Sesuai
(2)
89
Lampiran 5 Kriteria zonasi berdasarkan Permenhut No.P.56/Menhut-II/2006a tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional
Zona Kriteria aspek konservasi yang
dipertimbangkan Luasan Kondisi lingkungan Letak
Inti Keberadaan, kekhasan, kelangkaan kehati dan ekosistemnya; habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik; tempat aktivitas satwa migran
Cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis- jenis tertentu, menunjang pengelolaan efektif,dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami
Asli dan belum terganggu oleh aktivitas manusia
Rimba Habitat, daerah jelajah, perlindungan dan perkembangbiakan satwa, keberadaan ekosistem dan kehati untuk penyangga zona inti, habitat satwa migran
Pemanfaatan Cukup untuk menjamin kelestarian
potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam
Terdapat daya tarik alam yang indah dan unik, kondisi lingkungan yang mendukung, memungkinkan pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan
Tidak berbatasan langsung
dengan zona inti
Tradisional Terdapat potensi sumber daya alam hayati non kayu tertentu
yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidupnya
Rehabilitasi Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara
ekologis berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; Adanya spesies invasif yang mengganggu jenis atau spesies asli dalam kawasan; perlu waktu lima tahun
Religi Kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan,
oleh masyarakat, situs budaya dan sejarah
Khusus Telah ada kelompok masyarakat yang tinggal sebelum
ditetapkan dan sarana/prasarana seperti telekomunikasi, transportasi, listrik dan sebagainya.
(3)
90
Lampiran 6 Luas tiap penggunaan lahan pada berbagai zona hasil prediksi tahun
2026 tanpa skenario
Penggunaan
Lahan Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Zona 7 Zona 8
Badan Air 0 26 13 22 86 2 0 20
Hutan 31.076 17.611 167 3.438 2.695 175 3 183 Kebun Campuran 6 225 1 5.586 4.904 108 0 1.058
Kebun teh 3 132 5 45 305 120 0 1.391
Ladang 32 761 144 7.167 4.156 258 0 1.424
Lahan terbangun 11 64 22 281 782 55 1 413
Sawah 3 220 205 3.055 5.535 163 0 2.416
Semak 235 2.226 729 8.596 3.171 532 6 842
Ket :
zona 1 = zona inti, zona 2 = zona rimba, zona 3= zona pemanfaatan zona 4 = zona rehabilitasi zona 5 = zona khusus zona 6 = zona tradisional zona 7 = zona budaya zona 8 = enclave
: Sesuai
: Memungkinkan Sesuai
: Tidak Sesuai
(4)
91
Lampiran 7 Kriteria kondisi kesesuaian penutupan lahan dan zonasi pada berbagai
zona
Penutupan Lahan pada Tiap Zona
Kondisi Kesesuaian Penutupan Lahan
Prediksi Tahun 2026 Tindakan Sesuai Memungkinkan
berubah
Tidak Sesuai Inti
Badan Air √ Badan Air Restorasi penggunaan
lahan lainnya menjadi hutan kembali
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
Semak √ Semak
Rimba
Badan Air √ Badan Air Restorasi penggunaan
lahan lainnya menjadi hutan kembali
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
Semak √ Semak
Pemanfaatan
Badan Air √ Badan Air Pengelolaan hutan
bersama masyarakat (PHBM), Model Desa Konservasi,
Pengembangan Wisata Alam
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
Semak √ Semak
Rehabilitasi
Badan Air √ Badan Air Rehabilitasi semak
dan restorasi kebun campuran, ladang, dan sawah menjadi hutan
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
Semak √ Semak
Khusus
Badan Air √ Badan Air Pengembangan
wilayah perdesaan, perubahan penggunaan lahan kebun campuran, sawah dan ladang secara berasaskan konservasi
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
Semak √ Semak
Tradisional
Badan Air √ Badan Air Pengembangan Model
Desa Konservasi
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
(5)
92
Lampiran 7 (Lanjutan)
Zonasi
Kondisi Kesesuaian Penutupan Lahan
Prediksi Tahun 2026 Tindakan Sesuai Memungkinkan
Berubah
Tidak Sesuai Budaya
Badan Air √ Badan Air Perlindungan situs
dan cagar budaya
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
Semak √ Semak
Enclave
Badan Air √ Badan Air Pengendalian
perubahan penggunaan lahan dalam rangka menyangga
ekosistem zona disekitarnya
Hutan √ Hutan
Kebun Campuran √ Kebun Campuran
Kebun Teh √ Kebun Teh
Ladang √ Ladang
Lahan Terbangun √ Lahan Terbangun
Sawah √ Sawah
(6)