Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp. pada Bibit Jabon
PENGARUH pH DAN PENGGOYANGAN MEDIA
TERHADAP PERTUMBUHAN Botryodiplodia sp. DAN UJI
PATOGENISITAS Botryodiplodia sp. PADA BIBIT JABON
PUTRI ARSHINTA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh pH dan
Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji
Patogenisitas Botryodiplodia sp. pada Bibit Jabon adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2013
Putri Arshinta
NIM E44080057
ABSTRAK
PUTRI ARSHINTA. Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap
Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodiplodia sp. pada
Bibit Jabon. Dibimbing oleh ACHMAD.
Penyakit mati pucuk pada bibit jabon disebabkan oleh fungi patogen dari
genus Botryodiplodia. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pH dan
tingkat penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp., serta
mempelajari kejadian penyakit dan tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada
bibit jabon. Hasil penelitian menunujukan pemberian pH, penggoyangan media
dan uji patogenisitas memberikan pengaruh yang beragam terhadap pertumbuhan
Botryodiplodia sp. Pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan media PDB
(Potato Dextrose Broth), Botryodiplodia sp. tumbuh pada kisaran pH 4-8.
Pertumbuhan terbaik pada media PDA adalah pH 4 dan pada media PDB adalah
pH 6. Bobot biomassa, tumbuh optimum pada media PDB dengan kecepatan
penggoyangan 50 rpm. Seluruh tanaman dengan inokulasi patogen menunjukkan
gejala penyakit. Tingkat keparahan tertinggi mencapai 61% yaitu pada bibit
berumur 3 bulan. Bibit tanpa inokulasi patogen tidak menunjukkan adanya gejala
penyakit hingga akhir pengamatan.
Kata kunci: Botryodiplodia sp., jabon, penggoyangan media, pH, uji patogenisitas
ABSTRACT
PUTRI ARSHINTA. The Influence of pH and Shaking Media On The Growth of
Botryodiplodia sp. and Pathogenicity Testing of Botryodiplodia sp. on Jabon
Seedling. Supervised by ACHMAD.
Die back disease on jabon seedling caused by a genus of Botryodiplodia.
The objectives of this research are to investigate the effect of pH and media
shaking on growth Botryodiplodia sp. and to examine the disease incidence and
disease severity of die-back on jabon seedling. The result shows that giving pH,
shaking media, and pathogenicity testing give influence of diverse on the growth
of Botryodiplodia sp. On the media of PDA (Potato Dextrose Agar) and PDB
(Potato Dextrose Broth), Botryodiplodia sp. live at range pH 4-8. The best growth
of Botryodiplodia sp. shows on PDA with pH 4 and PDB with pH 6. When
shaking speed is 50 rpm, weight biomass on PDB shows optimum growth. All
seedlings with inoculation pathogen shows disease incidence. Top level of disease
severity attained 61%, when seedling at the age of 3 month. Seedling without
inoculation pathogen does not show disease incidence until last observation.
Key words: Botryodiplodia sp., jabon, pathogenicity testing, pH, shaking media
PENGARUH pH DAN PENGGOYANGAN MEDIA
TERHADAP PERTUMBUHAN Botryodiplodia sp. DAN UJI
PATOGENISITAS Botryodiplodia sp. PADA BIBIT JABON
PUTRI ARSHINTA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan
Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp. pada
Bibit Jabon
Nama
: Putri Arshinta
NIM
: E44080057
Disetujui oleh
Dr Ir Achmad, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Desember
2012 ini ialah fungi, dengan judul Pengaruh pH dan Penggoyangan Media
terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp.
pada Bibit Jabon.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Achmnad, MS selaku
dosen pembimbing, serta Ai Rosah S.Hut yang telah banyak memberi saran. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para staf Laboratorium
Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium
Bioteknologi Kehutanan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB,
Laboratorium Mikoriza Puslitbang Kehutanan Bogor, dan Laboratorium Mikologi
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa,
mama, dan seluruh keluarga serta teman-teman Silvikultur 45, khususnya Icha dan
Imun, juga teman-teman Winning Eleven yang telah memberikan dorongan moril
dan semangat kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Putri Arshinta
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Hama dan Penyakit Jabon
Patogenisitas
Botryodiplodia sp.
Sifat-sifat umum Botryodiplodia sp.
Taksonomi dan Morfologi Botryodiplodia sp.
Bioekologi dan Nilai Ekonomi
Gejala Penyakit dan Kisaran Inang
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Pelaksanaan Penelitian
Tahap Persiapan
Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar)
Pembuatan media PDB (Potato Dextrose Broth)
Penyediaan isolat fungi patogen
Pemurnian dan peremajaan
Sterilisasi bahan, peralatan, dan ruang inokulasi
Penyediaan bibit
Tahap Pelaksanaan
Uji pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
Uji pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH
Uji pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
Uji patogenisitas
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
vi
vi
vii
1
1
1
2
2
2
2
3
4
4
4
4
5
5
6
6
6
7
7
7
7
7
7
8
8
8
8
9
9
10
11
12
12
12
DAFTAR ISI
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
Patogenisitas Botryodiplodia sp.
Pembahasan
Pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
Patogenisitas Botryodiplodia sp.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
13
14
15
16
16
18
18
19
21
21
22
22
24
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Keparahan dan nilai numerik penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan pH terhadap
biomassa miselia Botryodiplodia sp.
Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap
biomassa miselia Botryodiplodia sp.
Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap
gejala penyakit
Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada
bibit jabon
10
14
14
16
16
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA
dengan berbagai tingkatan pH
2 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA
3 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan
berbagai tingkatan pH setelah 3 hst
4 Konidia Botryodiplodia sp.
5 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai
tingkatan pH
6 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan
berbagai tingkatan penggoyangan
12
12
13
13
14
15
7 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon
15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media pertumbuhan Botryodiplodia sp.
2 Pertumbuhan diameter Botryodiplodia sp. pada media PDA
dengan berbagai tingkatan pH
3 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH kontrol (6.25) pada media PDB
4 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 2 pada media PDB
5 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 4 pada media PDB
6 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 6 pada media PDB
7 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 8 pada media PDB
8 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. tanpa perlakuan
penggoyangan (0 rpm) pada media PDB
9 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
penggoyangan 50 rpm pada media PDB
10 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
penggoyangan 100 rpm pada media PDB
11 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
penggoyangan 150 rpm pada media PDB
12 Rekapitulasi bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada
akhir pengamatan
13 Tingkat keparahan mati pucuk pada bibit jabon
hingga akhir pengamatan
14 Perkembangan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
15 Rekapitulasi uji-F
24
24
24
25
25
25
25
25
25
26
26
26
26
27
28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan hutan tanaman, baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun
hutan rakyat merupakan jawaban atas tuntutan pembangunan akibat berkurangnya
hutan alam serta untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan
hidup. Pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan pada pembangunan HTI
harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain tidak memerlukan syarat-syarat
tumbuh yang tinggi, cepat tumbuh dan dapat dimanfaatkan untuk industri olahan
kayu yang memiliki pasar yang luas.
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan salah satu jenis tumbuhan
lokal Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan
tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti reklamasi lahan bekas tambang,
penghijauan dan pohon peneduh (Mansur dan Tuheteru 2010). Tanaman ini
termasuk fast growing species, bahkan oleh pemerintah mulai diprogramkan
untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas HTI yang menjanjikan.
Permintaan pasar yang tinggi dalam skala luas, menuntut ketersediaan bibit
jabon yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Sejauh ini pertumbuhan jabon
di lapangan tidak terlalu banyak gangguan, namun tidak demikian pada masa
pembibitan di persemaian. Sebagaimana diketahui bahwa karakteristik semai pada
umumnya rentan terhadap serangan patogen. Serangan patogen ini merupakan
salah satu penyebab utama berkurangnya jumlah bibit dan menurunkan kualitas
semai jabon.
Gejala yang terjadi pada bibit jabon yang terserang patogen, mula-mula
daun menguning dan batang berwarna kecoklatan kemudian lama-kelamaan akan
menjadi hitam. Setelah dilakukan pengamatan secara makroskopis dan
mikroskopis, patogen yang teridentifikasi adalah berupa fungi dari genus
Botryodiplodia yang mengakibatkan penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
Botryodiplodia sp. merupakan patogen yang memiliki kisaran inang yang
luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui
luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga
(Semangun 2007). Pada awalnya, daun yang paling dekat dengan ranting yang
terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas
sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan
cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna
menjadi coklat di bagian pembuluh (Mbenoun et al. 2008). Botryodiplodia
theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang
(Semangun 2000).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pH dan tingkat
penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp., serta
mempelajari kejadian penyakit (Disease Incidence) dan tingkat keparahan
penyakit (Disease Severity) mati pucuk pada bibit jabon.
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang
penyebab penyakit pada bibit jabon, mengetahui pengaruh penyakit yang
disebabkan oleh patogen terhadap kelangsungan hidup bibit jabon, dan dapat
memberikan informasi mengenai respon pertumbuhan diameter koloni serta bobot
miselia Botryodiplodia sp. terhadap pemberian perlakuan pH dan tingkat
penggoyangan media. Dengan diketahuinya penyebab penyakit mati pucuk pada
bibit jabon, maka hasil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dan bahan
rekomendasi dalam pengendaliannya.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara in vitro, perlakuan perbedaan pH dan tingkat penggoyangan media
mempengaruhi pertumbuhan fungi patogen Botryodiplodia sp.
2. Kejadian penyakit dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
akibat serangan Botryodiplodia sp. dipengaruhi oleh umur semai jabon.
TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Jabon merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter,
mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan tinggi bebas cabang lebih dari
25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100-160 cm. Di hutan tanaman,
kecepatan tumbuh diameter jabon ialah 2-3 cm/tahun dan tinggi 2-3 m/tahun
(Lembaga Biologi Nasional 1980). Menurut Heyne (1987), kayu Jabon
merupakan kelas awet V, kelas kuat III-IV dengan berat jenis 0.42 (0.29-0.56).
Kayunya lunak dengan nilai penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur
sebesar 3% (radial) dan 6.9% (tangensial).
Jabon termasuk ke dalam jenis intoleran yang menghendaki adanya cahaya
penuh selama periode hidupnya. Karakteristik habitat alami jabon adalah dengan
ketinggian tempat tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ˚C, curah
hujan rata-rata 1500-5000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah.
Namun, dalam menunjang produktivitasnya jabon tumbuh optimal pada
ketinggian kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang baik untuk
jabon yaitu tanah lempung, podsolik cokelat, dan aluvial lembab yang biasanya
terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah dan rawa, dan
tanah kering yang kadang tergenang air. Umumnya, jabon ditemukan di hutan
sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang sungai dan punggungpunggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010).
Secara morfologi, pada pohon muda permukaan batang licin dan berwarna
sangat terang, sedangkan pada pohon tua berwarna kelabu hingga cokelat kelabu,
3
beralur dangkal, kadangkala dengan punggung-punggung kecil, sering retak dan
agak kasar. Cabang-cabang mendatar dengan ujung menjuntai, pemangkasan
cabang terjadi secara alami. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan
ukuran panjang 15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk
menyerupai jantung, bagian ujung lancip (Sutisna et al. 1998). Jabon mempunyai
daun tunggal dengan ujung daun berbentuk runcing sampai meruncing serta
berdaun penumpu, penumpu antar tangkai berbentuk segitiga sempit dan mudah
rontok (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Perbanyakan tanaman jabon untuk memenuhi permintaan yang cukup
tinggi, dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Cara generatif
dilakukan dengan mengecambahkan bijinya sedangkan cara vegetatif dilakukan
dengan cara stek pucuk maupun stek batang (Khaerudin 1994). Buah jabon
merupakan buah majemuk dengan bentuk bulat dan bertekstur lunak. Jabon
berbuah setahun sekali pada musim berbunganya, yakni pada bulan Januari-Juni
dan akan masak pada bulan Maret-Juni. Buah jabon merupakan buah majemuk,
berbentuk bulat dengan ukuran berkisar 4.5-6 cm, memiliki ruang-ruang biji yang
sangat banyak dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji
(Mansur dan Tuheteru 2010).
Jabon ditanam sebagai ornamen, pohon penaung, dan dapat digunakan
untuk reforestasi dan aforestasi (Soerianegara dan Lemmens 1993). Menurut
Tantra (1980) kayu jabon merupakan kayu ringan yang digunakan untuk papan,
peti, tripleks, dan korek api. Selain itu di industri perkayuan, jabon kerap
dimanfaatkan untuk pembuatan kayu lapis (plywood), papan blok (laminated
board, block board), papan serat (fiber block), dan papan partikel (particle board)
(Mansur dan Tuheteru 2010). Kulit kayu yang telah kering berguna untuk
mengobati demam dan sebagai obat kuat, ekstraksi dari daun digunakan untuk
obat kumur, daun muda dapat dijadikan sebagai makanan ternak (fodder), getah
kuning dari kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan untuk barang
kerajinan tangan (Kapisa dan Sapulata 1994).
Hama dan Penyakit Jabon
Tanaman jabon secara umum tidak memiliki hama dan penyakit yang serius.
Namun, hama yang sering menyerang semai atau kecambah di persemaian antara
lain semut, bekicot dan penyakit dumping off oleh cendawan Fusarium spp.,
Rhizoctonia spp., dan Phytium spp. (Mansur dan Tuheteru 2010).
Selain itu dilaporkan intensitas serangan dan kerugian yang diakibatkan dari
serangan hama pada tanaman jabon lebih mendominasi dibandingkan dengan
serangan patogen. Tanaman muda biasa dimakan binatang liar seperti rusa dan
banteng. Serangga dan jamur Gloeosporium anrhocephali Desm and Mont.
menyerang daun yang menyebabkan defoliasi dan mati pucuk. Selain itu terdapat
beberapa serangga yang menyerang jabon tanaman muda di antaranya ulat grayak,
kutu putih dan kutu daun (Mulyana et al. 2010).
4
Patogenisitas
Patogenisitas adalah kemampuan patogen dalam menyebabkan penyakit,
berbeda dengan virulensi. Virulensi merupakan keberhasilan ekspresi dari
patogenisitas. Suatu patogen dikatakan avirulen apabila gagal menimbulkan
penyakit (Bilgrami dan Dube 1976).
Menurut Agrios (1988), patogen dapat mengakibatkan penyakit tanaman
melalui berbagai cara, antara lain:
a.
Melemahkan inang melalui penyerapan makanan dari
sel-sel inang secara terus menerus untuk dimanfaatkan oleh patogen.
b.
Membunuh atau mengganggu metabolisme dari selsel inang dengan racun, enzim, atau pengaturan bahan-bahan untuk
pertumbuhan yang mereka sekresikan.
c.
Menghentikan transportasi makanan, nutrisi mineral,
dan air melalui jaringan-jaringan yang konduktif pada inang.
d.
Mengkonsumsi kandungan sel-sel inang melalui suatu
penghubung.
Botryodiplodia sp.
Sifat-sifat Umum Botryodiplodia sp.
Botryosphariaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat sejumlah
species yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang paling
dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia, Neofusicoccum, Pseudofusicoccum,
Dothiorella, dan Sphaeropsis (Henuk 2010). Anggota Botryosphaeriaceae
mempunyai distribusi yang sangat luas dan terjadi dalam varietas yang luas pada
berbagai tanaman inang termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae,
dan angiospermae, dimana anggota-anggota Botryosphaeriaceae ini dapat
berperan sebagai saprofit, parasit, dan endofit (Begoude et al. 2009). Von Arx
(1987) melaporkan bahwa spesies-spesies Botryosphaeriaceae telah lama dikenal
sebagai patogen penting pada beberapa tanaman. Tanaman yang terinfeksi
menunjukkan gejala yang beragam, misalnya mati pucuk, kanker, hawar, dan
busuk pada seluruh organ tanaman bagian atas.
Taksonomi dan Morfologi Botryodiplodia sp.
Klasifikasi Botryodiplodia sp. menurut Alexopoulos (1996) adalah sebagai
berikut :
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Punithalingam (1976) menyebutkan bahwa karakter morfologi
Botryodiplodia sp. ditandai dengan pertumbuhan miselia seperti benang rambut
5
halus atau kapas dan miselium udara berlimpah. Koloni mula-mula berwarna
sepia, berubah menjadi abu-abu dan kemudian menjadi hitam. Piknidia sederhana,
bergerombol, sering agregat, stromatik, ostiolate, lebar sampai dengan 5 mm.
Konidia awalnya uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid-oblong,
berdinding tebal, memotong seperti sekat; konidia matang uniseptate, coklat
seperti warna kayu manis, berukuran 20-30 µm x 10-15 µm.
Bioekologi dan Nilai Ekonomi
B. theobromae merupakan cendawan yang memiliki kisaran inang yang
luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui
luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga
(Semangun 2007).
Patogen dapat membentuk struktur bertahan pada kondisi lingkungan yang
tidak menguntungkan untuk berkembang. Kondisi lingkungan yang mendukung,
dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan segera berkecambah
dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu
lingkungan yang berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama musim
kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan patogen ini.
Kondisi tanaman yang lemah didukung oleh kelembaban yang tinggi akan
mendukung terjadinya penetrasi pada jaringan tanaman inang baru. Penetrasi yang
sudah berhasil selanjutnya akan terjadi kolonisasi, patogen akan tumbuh dan
memperbanyak dalam jaringan tanaman inang. Fase-fase kritis patogen adalah
pada saat sebelum terjadi penetrasi, pada fase ini pengendalian akan lebih efektif
dibanding apabila sudah lanjut (Henuk 2010)
Botryodiplodia sp. ditemukan terdapat di berbagai belahan dunia
diantaranya, di Amerika bagian utara dan selatan, Eropa, Afrika, Asia, dan
Oceania (Urbez-Torres et al. 2008). Sejak akhir 1980 area perkebunan kakao di
Kamerun mengalami kejadian penyakit mati pucuk yang luar biasa yang
disebabkan oleh B. theobromae. Pada beberapa perkebunan di Kamerun, penyakit
ini dapat merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas
produksi kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Tahun 1998, B. theobromae
ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada
pembibitan, patogen terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius
sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha et
al. 2009). Menurut Rustini (2010) di Denpasar, Bali, hampir 53,24% dari buah
pisang yang dijual mengalami pembusukan akibat cendawan B. theobromae, hal
ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasar karena permintaan pisang di
Bali cukup tinggi untuk berbagai upacara keagamaan.
Gejala Penyakit dan Kisaran Inang
Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker
batang (Semangun 2000). B. theobromae pada tanaman kakao merupakan parasit
lemah atau parasit sekunder terutama pada bagian cabang dan ranting. Sebagai
parasit lemah cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan lemah,
mengikuti patogen yang kuat atau menginfeksi melalui luka-luka yang
diakibatkan oleh serangga. Gejala awal, daun yang paling dekat dengan ranting
6
yang terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas
sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan
cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna
menjadi cokelat di bagian pembuluh. Juga terdapat eksudat berwarna putih atau
kekuningan yang keluar dari batang utama (Mbenoun et al. 2008).
B. theobromae pada tanaman karet dapat menyebabkan penyakit mati
pucuk. Gejalanya timbul pustul yang berukuran 3-5 mm pada batang kemudian
kulit menjadi busuk disertai keluarnya lateks atau getah pada tanaman muda
berumur 1-2 tahun. Serangan yang berat dapat menyebabkan retak dan
gummosis. Selain itu, patogen ini dapat menekan pertumbuhan tanaman,
menyebabkan produksi lateks rendah, dan untuk varietas yang rentan seluruh
pohon mati dalam waktu 3-4 minggu (Pha et al. 2009).
Serangan B. theobromae dapat menyebabkan busuk buah pada manggis.
Gejala yang ditunjukkan pada awalnya kulit buah manggis akan berubah warna
menjadi kehitaman dan mengkilat, kemudian warnanya menjadi lebih suram
karena membentuk banyak piknidia yang menghasilkan konidium. Biasanya
gejala dimulai dekat dengan tangkai kemudian dengan cepat akan meluas ke
seluruh buah (Semangun 2007).
Penyakit busuk buah merupakan penyakit pasca panen pada pisang yang
disebabkan oleh B. theobromae. Patogen ini menyebabkan busuk ujung buah (tip
rot), busuk telapak, dan busuk pangkal. Buah menjadi lunak dan berair, serta
mengeluarkan bau yang khas. B. theobromae pada pisang hidup pada bagian
tanaman yang membusuk, infeksinya hanya melalui luka-luka. Spora cendawan
sudah terdapat pada permukaan buah di lapang (Semangun 2007).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Desember
2012, di Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,
Laboratorium Bioteknologi Kehutanan Pusat Antar Universitas (PAU)
Bioteknologi IPB, Laboratorium Mikoriza Puslitbang Kehutanan Bogor, dan
Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah cawan petri, labu
erlenmeyer, autoclave, laminar, lampu bunsen, cork borer, sudip, mikroskop,
oven, alat shaker, timbangan digital, pH meter, pisau, alat penyiram/sprayer, alat
tulis, laptop, dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ialah bibit Anthocepalus cadamba
yang berumur 3, 4, dan 5 bulan, isolat cendawan Botryodiplodia sp. yang
7
merupakan koleksi Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB, media PDA, media PDB, alkohol 70%, aquades, NaOH pro
analisis, HCl 37%, kertas saring, alumunium foil, plastik wrap, tissue, kapas,
kentang, agar putih, chlorampenicol, dan spirtus.
Metode Pelaksanaan Penelitian
Tahap Persiapan
Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar)
Satu liter PDA memerlukan 200 gram kentang yang telah dipotong dadu dan
1 liter aquades kemudian direbus hingga kentang menjadi empuk. Air ekstrak
kentang dipisahkan dan ditambahkan aquades sampai larutan menjadi 1 liter.
Larutan dituang kedalam wadah yang berisi dekstrosa/glukosa 20 gram dan agar
sebanyak 15 gram. Sebelum larutan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer,
ditambahkan chlorampenicol dan diaduk hingga merata. Media disterilkan
menggunakan autoclave pada tekanan 1 atm dengan suhu 121 °C selama 15
menit.
Pembuatan media PDA pada berbagai tingkatan pH menggunakan bahan
dan alat yang sama. Namun, dekstrosa dan agar ditambahkan setelah masingmasing larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan HCl dan NaOH 1% untuk
mengatur pH media menjadi 2, 4, 6, dan 8. Dekstrosa dan agar akan tercampur
saat media disterilkan dengan menggunakan autoclave.
Pembuatan Media PDB (Potato Dextrose Broth)
Satu liter PDB memerlukan 200 gram kentang yang telah dipotong dadu dan
1 liter aquades, kemudian direbus hingga kentang menjadi empuk. Air ekstrak
kentang dipisahkan dan ditambahkan dextrose 20 gram. Sebelum larutan
dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan chlorampenicol dan diaduk
hingga merata. Media disterilkan menggunakan autoclave pada tekanan 1 atm
dengan suhu 121 °C selama 15 menit.
Pembuatan media PDB pada berbagai tingkatan pH menggunakan bahan
dan alat yang sama. Namun, larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan HCl
dan NaOH 1% untuk mengatur pH media menjadi 2, 4, 6, dan 8 sebelum media
disterilkan dengan menggunakan autoclave.
Penyediaan Isolat Fungi Patogen
Isolat yang digunakan adalah isolat murni Botryodiplodia sp. yang diisolasi
dari batang bibit jabon berumur 4 bulan yang menunjukkan gejala penyakit. Isolat
merupakan koleksi Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB.
8
Pemurnian dan Peremajaan Biakan
Pemurnian dan peremajaan biakan dilakukan sehingga diperoleh biakan
yang homogen, bebas dari kontaminasi dan memiliki viabilitas yang cukup tinggi.
Sterilisai Bahan, Peralatan dan Ruang Inokulasi
Sterilisasi bahan seperti media PDA dan PDB, dilakukan pada waktu
pembuatan media dengan menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu
121 oC dan tekanan 1 atm.
Peralatan yang akan digunakan seperti cawan petri disterilkan dengan cara
memasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60-80 °C, sedangkan untuk
sterilisasi cork borer dan sudip dilakukan dalam laminer air flow pada saat
pelaksanaan inokulasi dengan cara dibakar pada api bunsen hingga membara.
Kebersihan lingkungan kerja dijaga dengan membatasi orang orang yang
memasuki ruangan isolasi serta membersihkan ruangan dengan desinfektan.
Strerilisasi ruang inokulasi (laminar air flow) dilakukan menggunakan larutan
alkohol 70% yang disemprotkan sebelum dan sesudah inokulasi kemudian
dibersihkan dengan menggunakan tisu. Blower atau peniup udara pada laminar
air flow dinyalakan sebelum dan selama pemakaian untuk menghindari
kontaminan. Selain itu sebelum digunakan dan setelah disemprot dengan alkohol
70%, laminar air flow dapat disterilisasi dengan menggunakan lampu UV yang
dinyalakan selama beberapa menit.
Penyediaan Bibit
Bibit jabon diperoleh dari persemaian Karya Barokah dengan umur bibit
yaitu 3 bulan, 4 bulan, dan 5 bulan. Setiap tingkatan umur, bibit dipilih yang
berukuran seragam dan dalam kondisi yang baik. Setelah dilakukan pengangkutan
dari persemaian, bibit tidak langsung diberi perlakuan melainkan diberi tenggang
waktu selama 3 hari sebelum diberi perlakuan. Hal ini dimaksudkan agar bibit
tidak mengalami stres akibat perbedaan lingkungan tumbuh. Penyiraman bibit
dilakukan dua kali sehari selama penelitian.
Tahap Pelaksanaan
Uji Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media
PDA dengan Berbagai Tingkatan pH
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali.
Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam cawan petri dan
perlakuannya berupa pengaturan tingkatan pH pada media PDA.
Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow
menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) ditanam tepat di tengah cawan petri yang
berdiameter 9.0 cm berisi media PDA dengan lima tingkatan pH, yaitu kontrol
(A0) dengan pH 6.8, pH 2 (A1), pH 4 (A2), pH 6 (A3), dan pH 8 (A4). Pengamatan
dilakukan setiap 24 jam dengan mengukur diameter koloni arah radial sampai
miselia memenuhi cawan petri.
Perhitungan pertumbuhan diameter miselia Botryodiplodia sp. dilakukan
dengan cara mengukur diameter arah radial. Rumus perhitungannya sebagai
berikut:
9
Diameter arah radial = Ø x + Ø y
2
Øy
Øx
Keterangan:
Ø x = diameter sumbu X
Ø y = diameter sumbu Y
Uji Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB
dengan Berbagai Tingkatan pH
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali.
Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam labu erlenmeyer dan
perlakuannya berupa pengaturan tingkatan pH pada media PDB.
Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow
menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) kemudian dimasukkan kedalam labu
erlenmeyer yang berisi media PDB dengan lima tingkatan pH yang berbeda, yaitu
kontrol (B0) dengan pH 6.25, pH 2 (B1), pH 4 (B2), pH 6 (B3), dan pH 8 (B4).
Biakan patogen dibiarkan tumbuh selama enam hari.
Setelah enam hari, miselia Botryodiplodia sp. dipisahkan dari media PDB
dengan menyaring miselia Botryodiplodia sp. dari media tumbuhnya. Penyaringan
dilakukan menggunakan kertas saring yang telah dioven selama 24 jam pada suhu
60 °C dan telah diketahui berat keringnya. Miselia Botryodiplodia sp. pada kertas
saring dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C, sehingga akan didapatkan bobot
kering miselia Botryodiplodia sp. dan kertas saring. Biomassa miselia dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
Biomassa miselia = (BK kertas saring + BK miselia) – BK kertas saring
Keterangan:
BK = berat kering (gram)
Uji Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB
dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali.
Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam labu erlenmeyer dan
perlakuannya berupa pengaturan tingkat penggoyangan media PDB.
Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow
menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) kemudian dimasukkan kedalam labu
erlenmeyer yang berisi media PDB. Penggoyangan media dilakukan
menggunakan shaker dengan empat tingkatan penggoyangan, yaitu 0 rpm (C1) ,
50 rpm (C2), 100 rpm (C3), dan 150 rpm (C4).
Setelah diinkubasi selama enam hari, miselia Botryodiplodia sp. dipisahkan
dari media PDB dengan menyaring miselia Botryodiplodia sp. dari media
tumbuhnya. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang telah dioven
selama 24 jam pada suhu 60 °C dan telah diketahui berat keringnya. Miselia
10
Botryodiplodia sp. pada kertas saring dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C,
sehingga akan didapatkan bobot kering miselia Botryodiplodia sp. dan kertas
saring. Biomassa miselia dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Biomassa miselia = (BK kertas saring + BK miselia) – BK kertas saring
Keterangan:
BK = berat kering (gram)
Uji Patogenisitas
Metode yang digunakan dalam uji patogenisitas menggunakan metode
penempelan. Batang jabon sehat disemprot dengan alkohol untuk menghilangkan
kontaminan yang mungkin menempel pada permukaan kulit batang yang akan di
inokulasi. Batang dilukai dengan pisau steril kemudian potongan patogen
Botryodiplodia sp. ditempel pada batang yang telah dilukai. Batang ditutup
alumunium foil untuk menjamin potongan patogen tidak terlepas.
Pengamatan dilakukan terhadap insiden dan keparahan penyakit mati pucuk
pada setiap tingkatan umur. Insidensi penyakit atau kejadian penyakit merupakan
persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman yang
diamati (N) tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya. Rumus yang digunakan
adalah :
Pengamatan keparahan penyakit (Disease Severity) yang disebabkan oleh
cendawan atau fungi yang menyerang tanaman dihitung menggunakan metode
Townsend dan Heuberger dengan rumus sebagai berikut:
Keparahan penyakit =
Keterangan:
n
= jumlah tanaman dalam setiap kategori
V
= nilai numerik dari kategori serangan
Z
= kategori serangan dengan nilai numerik tertinggi
N
= jumlah seluruh tanaman yang diamati
Tabel 1 menyajikan keparahan dan nilai numerik penyakit yang digunakan:
Tabel 1 Keparahan dan nilai numerik penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Skor
0
1
2
3
Keterangan
Tidak ada gejala
≥ 10-20% bagian tanaman terserang
≥ 21-60 % bagian tanaman terserang
≥ 61-100% bagian tanaman terserang
Percobaan ini disusun dalam rancangan petak terbagi (Split Plot Design)
dengan pola RAL diulang tiga kali. Sebagai petak utama adalah inokulasi fungi
11
patogen Botryodiplodia sp. sedang anak petak adalah umur semai jabon. Satuan
percobaannya adalah sepuluh semai jabon yang masing-masing ditanam dalam
polybag terpisah. Faktor inokulasi fungi patogen terdiri atas dua taraf, yaitu: P0
(kontrol, tanpa inokulasi fungi patogen) dan P1 (diinokulasi Botryodiplodia sp.).
Faktor umur bibit terdiri atas tiga taraf, yaitu: U1 (bibit umur 3 bulan), U2 (bibit
umur 4 bulan), dan U3 (bibit umur 5 bulan).
Analisis Data
Rancangan Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis
sidik ragam. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap
peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data menggunakan software SAS
9.1.3. Apabila hasil analisis menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s multiple range test–DMRT).
Pengujian pH dan penggoyangan media menggunakan pola RAL dengan
model linier aditif sebagai berikut (Mattjik et al. 2002):
Yij = μ + αi + ij
Keterangan:
Yij
μ
αi
ij
: Nilai respon pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada masing-masing percobaan (pH dan penggoyangan media)
ke-i dan ulangan ke-j
: Nilai rata-rata umum
: Perlakuan (pH dan penggoyangan media) ke-i
: Galat percobaan perlakuan konsentrasi (pH dan penggoyangan
media) ke-i dan ulangan ke-j
Uji patogenesitas disusun dalam rancangan petak terbagi (Split Plot
Design) dalam pola RAL diulang tiga kali, model yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Yijk = µ + αi + ik + βj + (αβ)ij + ijk
Keterangan:
Yijk
µ
αi
ik
βj
(αβ)ij
ijk
: Intensitas serangan pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf
:
:
:
:
:
:
ke-i dari faktor inokulasi dan taraf ke-j dari faktor umur
Nilai rata-rata intensitas serangan sesungguhnya
Pengaruh utama dari taraf ke-i faktor inokulasi
Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari faktor inokulasi
dalam ulangan ke-k (galat petak utama)
Pengaruh utama dari taraf ke-j faktor umur
Pengaruh interaksi taraf ke-i dengan faktor inokulasi dan taraf
ke-j faktor umur
Pengaruh galat pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf ke-i
faktor inokulasi dan taraf ke-j faktor umur (galat anak petak)
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA
dengan Berbagai Tingkatan pH
Hasil pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada media PDA
menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi tersebut tidak tumbuh. Hal ini ditunjukkan
dengan tidak adanya pertumbuhan miselia. Selain itu pada pH 2, media PDA tidak
berbentuk padat (Gambar 2). Pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. pada pH 4,
6, 8, dan kontrol (pH 6.8) sama-sama memenuhi cawan petri pada 3 hst (hari
setelah tanam), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai
tingkatan pH
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. meski sama-sama
memenuhi cawan petri pada 3 hst namun pertambahan panjang diameternya
berbeda antara pH yang satu dengan yang lain. Pertumbuhan pertambahan
panjang diameter paling maksimal adalah pada media PDA dengan pH 4, yaitu
sebesar 4.93 cm kemudian pH 6, pH kontrol (6.8), dan pH 8 dengan nilai
pertambahan panjang masing-masing sebesar 4.60 cm, 4.53 cm, dan 4.08 cm.
Sedangkan untuk pH 2 tidak mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan Botryodiplodia sp. pada media PDA, mula-mula terlihat
adanya koloni yang tumbuh seperti benang atau rambut halus berwarna putih
keabu-abuan. Koloni yang dimaksud merupakan kumpulan dari miselia
(miselium) yang berkembang. Hari berikutnya miselium berubah warna menjadi
abu-abu keruh, semakin lama miselium semakin tebal dan berubah warna menjadi
hitam. Pertumbuhan miselium terhitung cepat, karena dalam waktu 3 hst telah
memenuhi cawan petri (Gambar 2).
Gambar 2 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA
13
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada beberapa tingkatan
pH, secara visual lebih baik pada media PDA dengan pH kontrol (6.8). Pada
media ini, miselium yang tumbuh terlihat halus, kompak dan paling tebal, serta
pertumbuhannya menyebar secara merata bila dibandingkan dengan pertumbuhan
diameter koloni pada media PDA dengan pH yang lain. Selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 3.
a
Gambar 3
b
c
d
e
Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai
tingkatan pH setelah 3 hst: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol
(6.8)
Pengamatan secara mikroskopis, menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 4 x 10 menunjukkan bahwa fungi ini memiliki ciri-ciri konidia
berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder, dan memiliki sekat,
seperti yang terlihat pada Gambar 4.
a
b
Gambar 4
Konidia Botryodiplodia sp., berbentuk jorong dan tunggal: (a) konidia muda hyalin
dan tidak memiliki sekat, (b) konidia tua berwarna gelap dan memiliki sekat
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan
Berbagai Tingkatan pH
Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia
sp. pada media PDB menunjukan bahwa perlakuan pH pada media PDB
berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 2). Respon tertinggi
ditunjukkan pada media PDB dengan pH 6 dengan biomassa miselia sebesar
0.197 gram diikuti pada media PDB pH 8, pH 4, pH kontrol (6.25), dan pH 2
berturut-turut dengan bobot 0.195 gram, 0.189 gram, 0.184 gram, dan 0.118 gram.
Berat kering miselia pada media PDB dengan pH 2 adalah berat kering
inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan
berlangsung, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
14
Tabel 2 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian pH terhadap biomassa miselia
Botryodiplodia sp.
pH media
Rata-rata biomassa (g)1
Kontrol (6.25)
0.184a
2
0.118b
4
0.189a
6
0.197a
8
0.195a
1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
a
e
a
d
d
Gambar 5
e
a
e
b
c
b
c
b
d
c
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH setelah di
inkubasi selama 6 hari: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol
(6.25)
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan
Berbagai Tingkatan Penggoyangan
Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia
sp. di media PDB menunjukan bahwa perlakuan penggoyangan pada media PDB
berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap
biomassa miselia Botryodiplodia sp.
Tingkatan shaker (rpm)
Kontrol (0)
50
100
150
Rata-rata biomassa (g)1
0.085b
0.233a
0.209a
0.092b
Pada tingkat penggoyangan media menggunakan shaker 50 rpm
menunjukkan biomassa miselia tertinggi dengan nilai 0.233 gram. Selanjutnya
biomassa miselia tertinggi yaitu pada tingkat penggoyangan 100 rpm, 150 rpm,
dan 0 rpm (tanpa penggoyangan) dengan nilai berturut-turut yaitu 0.209 gram,
0.092 gram, dan 0.085 gram. Biomassa miselia Botryodiplodia sp. yang tercatat
pada media PDB dengan tingkatan shaker 0 rpm adalah berat kering inokulum
yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung
(Gambar 6).
15
Gambar 6
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
media setelah di inkubasi selama 6 hari. Pada kecepatan 0 rpm, miselia tidak
mengalami pertumbuhan seperti yang ditunjukkan dengan anak panah
Patogenisitas Botryodiplodia sp.
Kejadian penyakit dapat diamati dari gejala yang timbul pada tanaman yang
terserang. Berdasarkan hasil pengamatan selama 14 hari, serangan penyakit mati
pucuk hanya terjadi pada tanaman jabon dengan inokulasi fungi patogen. Seluruh
tanaman yang di inokulasi fungi patogen, baik yang berumur 3, 4, maupun 5 bulan
menunjukkan gejala penyakit. Tanaman jabon tanpa inokulasi fungi patogen sama
sekali tidak menunjukkan gejala penyakit.
Gejala penyakit mati pucuk yang dijumpai pada saat pengamatan, awalnya
menyerang daun yang paling dekat dengan batang yang diinokulasi fungi patogen.
Daun akan berubah warna, dari kekuningan sampai kecoklatan kemudian
kerusakan akan terus meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat
sehingga tulang daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran
infeksi pada pucuk dan batang, mengakibatkan seluruh bagian tanaman
menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Bagian luar dan dalam batang
juga mengalami perubahan warna menjadi cokelat (Lampiran 1). Gejala penyakit
mati pucuk pada bibit jabon dapat dilihat pada Gambar 7.
a
Gambar 7
b
Gejala yang nampak pada bibit jabon yang ditunjukkan dengan anak panah: (a) tanpa
inokulasi fungi patogen, batang yang dilukai tidak menimbulkan gejala penyakit
namun terlihat adanya kumpulan getah yang menutupi luka sebagai struktur bertahan,
(b) dengan inokulasi fungi patogen, daun dan batang menunjukkan gejala
16
Berdasarkan hasil analisis ragam yang telah dilakukan, diketahui bahwa
faktor dengan inokulasi fungi patogen berpengaruh nyata terhadap intensitas
serangan penyakit mati pucuk yang ditimbulkan, sedangkan faktor tanpa inokulasi
fungi patogen dan faktor umur serta interaksi kedua faktor tidak memberikan
pengaruh yang nyata, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap gejala penyakit
Perlakuan
Kejadian penyakit1
Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0b
Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0b
Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0b
Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen
100a
Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen
100a
Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen
100a
1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Setelah diketahui kejadian penyakit berdasarkan gejala yang ditunjukkan
oleh tanaman yang terserang, setiap umur tanaman memiliki nilai keparahan yang
berbeda. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon pada perlakuan dengan
inokulasi fungi patogen, hingga akhir pengamatan yang memiliki nilai tertinggi
mencapai 61% yaitu pada perlakuan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen
berumur 3 bulan. Selanjutnya pada bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen
berumur 5 bulan dengan tingkat keparahan mencapai 54% dan bibit jabon dengan
inokulasi fungi patogen berumur 4 bulan dengan tingkat keparahan 42%. Pada
perlakuan tanpa inokulasi fungi patogen, semai yang berumur 3 bulan sampai 5
bulan tidak menunjukkan gejala serangan penyakit hingga akhir pengamatan,
maka nilai keparahannya adalah 0%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor dengan inokulasi fungi
patogen dan faktor umur berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Tabel
5). Secara tunggal, gejala penyakit terjadi pada bibit yang di inokulasi fungi
patogen. Bibit tanpa inokulasi fungi patogen tidak ada yang terserang.
Tabel 5
Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Perlakuan
Tingkat keparahan1
Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0.00b
Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0.00b
Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0.00b
Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen
61.00a
Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen
42.00a
Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen
54.00a
1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Pembahasan
Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA
dengan Berbagai Tingkatan pH
Fungi pada umumnya mempunyai kemampuan bertahan hidup pada selang
pH 3 sampai dengan 9 (Tarr 1972). Selang pH yang demikian besar bagi fungi
17
untuk bertahan hidup merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Tindakan
pengaturan pH media diarahkan untuk memberikan gambaran kondisi pH untuk
menekan pertumbuhan patogen. Berdasarkan pengujian pertumbuhan in vitro
Botryodiplodia sp. pada media PDA menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi
tersebut nyata tidak tumbuh. Tetapi pengendalian patogen dengan perlakuan
pengaturan pH kurang dari 2 tidak mungkin dilakukan, karena pada kondisi ini
kemungkinan hidup bagi inang atau tanaman juga sangat kecil. Kisaran pH untuk
tanaman jabon yaitu antara pH 4 sampai dengan pH 7.5.
Koloni Botryodiplodia sp. berdasarkan pengamatan, dapat memenuhi cawan
petri pada 3 hst. Secara makroskopis, koloni mula-mula berwarna putih seperti
kapas atau rambut halus kemudian berubah menjadi abu-abu keruh dan lama
kelamaan menghitam. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan pernyataan Gandjar et al.
(1999), yang menyebutkan bahwa koloni B. theobromae tumbuh cepat pada media
PDA dengan membentuk miselia aerial yang lebat dan berwarna coklat
kehitaman.
Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp.
memiliki konidia yang berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder,
konidia muda hyalin dan konidia tua memiliki sekat. Hal ini sesuai dengan ciriciri yang diungkapkan oleh Gandjar et al. (1999) bahwa B. theobromae memiliki
konidia bersel dua, berbentuk elips, berwarna coklat tua. Akan tetapi pematangan
konidia berjalan lambat, sehingga sering ditemukan konidia bersel satu dan
berwarna hyalin.
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan pH 4, 6, 8, dan kontrol
(6.8) sama-sama memenuhi cawan petri yang berdiameter 9 cm pada 3 hst, namun
pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni per harinya berbeda antar
perlakuan pH. Pertumbuhan miselia pada media PDA dengan pH 4 mengalami
pertambahan panjang paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Pada media PDA
dengan pH 2, miselia Botryodiplodia sp. tidak mengalami pertambahan panjang
karena Botryodiplodia tumbuh pada kisaran pH 3.5-8 dengan pH optimum untuk
pertumbuhannya antara pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pada media PDA
dengan pH 2 tidak mengalami pertumbuhan.
Secara visual, penampakan pertumbuhan miselia Botryodiplodiai sp. pada
media PDA berbeda antara pH kontrol (6.8) dan yang lainnya. Berdasarkan
pengamatan, pada pH kontrol (6.8) menunjukkan penampakan yang paling baik
dengan miselia terlihat halus, kompak dan paling tebal serta pertumbuhannya
merata dibandingkan dengan pH yang lainnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, Botryodiplodia sp. dapat tumbuh baik pada
pH 4, 6, 8, dan kontrol (pH 6.8) karena pH media masih dalam kisaran tumbuh
Botryodiplodia sp. sedangkan pada media PDA dengan pH 2, Botryodiplodia sp.
tidak dapat tumbuh karena dibawah kisaran pH untuk pertumbuhan
Botryodiplodia sp. Pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni
Botryodiplodia sp. terbaik ditunjukkan pada media PDA dengan pH 4, sedangkan
penampakan visual pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. yang terbaik adalah
pada media PDA dengan pH kontrol (6.8).
18
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Miselia Botryodiplodia sp. pada Media PDB
dengan Berbagai Tingkatan pH
Fungi adalah heterotrof yang mendapatkan nutrisinya melalui penyerapan
(absorption) molekul-molekul organik kecil dari medium di sekitarnya. Fungi
akan mencerna makanan diluar tubuhnya dengan cara mensekresikan enzimenzim hidrolitik yang sangat ampuh ke dalam makanan tersebut. Enzim-enzim itu
akan menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana
yang dapat diserap dan digunakan oleh fungi (Campbell et al. 2003). Menurut
Moore (1972) enzim tidak dapat aktif pada pH yang ekstrem, tetapi mereka
mempunyai tingkat pH optimum yang berbeda untuk aktivitasnya. Derajat
kemasaman (pH) optimum untuk enzim adalah kisaran pH 4-8 dan pH yang tidak
menguntungkan dapat mengubah kemampuan normal dari sel.
Seperti yang telah diketahui bahwa pH optimum untuk pertumbuhan
Botryodiplodia sp. adalah pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pertumbuhan
yang baik bagi
TERHADAP PERTUMBUHAN Botryodiplodia sp. DAN UJI
PATOGENISITAS Botryodiplodia sp. PADA BIBIT JABON
PUTRI ARSHINTA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh pH dan
Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji
Patogenisitas Botryodiplodia sp. pada Bibit Jabon adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2013
Putri Arshinta
NIM E44080057
ABSTRAK
PUTRI ARSHINTA. Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap
Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodiplodia sp. pada
Bibit Jabon. Dibimbing oleh ACHMAD.
Penyakit mati pucuk pada bibit jabon disebabkan oleh fungi patogen dari
genus Botryodiplodia. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pH dan
tingkat penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp., serta
mempelajari kejadian penyakit dan tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada
bibit jabon. Hasil penelitian menunujukan pemberian pH, penggoyangan media
dan uji patogenisitas memberikan pengaruh yang beragam terhadap pertumbuhan
Botryodiplodia sp. Pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan media PDB
(Potato Dextrose Broth), Botryodiplodia sp. tumbuh pada kisaran pH 4-8.
Pertumbuhan terbaik pada media PDA adalah pH 4 dan pada media PDB adalah
pH 6. Bobot biomassa, tumbuh optimum pada media PDB dengan kecepatan
penggoyangan 50 rpm. Seluruh tanaman dengan inokulasi patogen menunjukkan
gejala penyakit. Tingkat keparahan tertinggi mencapai 61% yaitu pada bibit
berumur 3 bulan. Bibit tanpa inokulasi patogen tidak menunjukkan adanya gejala
penyakit hingga akhir pengamatan.
Kata kunci: Botryodiplodia sp., jabon, penggoyangan media, pH, uji patogenisitas
ABSTRACT
PUTRI ARSHINTA. The Influence of pH and Shaking Media On The Growth of
Botryodiplodia sp. and Pathogenicity Testing of Botryodiplodia sp. on Jabon
Seedling. Supervised by ACHMAD.
Die back disease on jabon seedling caused by a genus of Botryodiplodia.
The objectives of this research are to investigate the effect of pH and media
shaking on growth Botryodiplodia sp. and to examine the disease incidence and
disease severity of die-back on jabon seedling. The result shows that giving pH,
shaking media, and pathogenicity testing give influence of diverse on the growth
of Botryodiplodia sp. On the media of PDA (Potato Dextrose Agar) and PDB
(Potato Dextrose Broth), Botryodiplodia sp. live at range pH 4-8. The best growth
of Botryodiplodia sp. shows on PDA with pH 4 and PDB with pH 6. When
shaking speed is 50 rpm, weight biomass on PDB shows optimum growth. All
seedlings with inoculation pathogen shows disease incidence. Top level of disease
severity attained 61%, when seedling at the age of 3 month. Seedling without
inoculation pathogen does not show disease incidence until last observation.
Key words: Botryodiplodia sp., jabon, pathogenicity testing, pH, shaking media
PENGARUH pH DAN PENGGOYANGAN MEDIA
TERHADAP PERTUMBUHAN Botryodiplodia sp. DAN UJI
PATOGENISITAS Botryodiplodia sp. PADA BIBIT JABON
PUTRI ARSHINTA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan
Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp. pada
Bibit Jabon
Nama
: Putri Arshinta
NIM
: E44080057
Disetujui oleh
Dr Ir Achmad, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Desember
2012 ini ialah fungi, dengan judul Pengaruh pH dan Penggoyangan Media
terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp.
pada Bibit Jabon.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Achmnad, MS selaku
dosen pembimbing, serta Ai Rosah S.Hut yang telah banyak memberi saran. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para staf Laboratorium
Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium
Bioteknologi Kehutanan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB,
Laboratorium Mikoriza Puslitbang Kehutanan Bogor, dan Laboratorium Mikologi
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa,
mama, dan seluruh keluarga serta teman-teman Silvikultur 45, khususnya Icha dan
Imun, juga teman-teman Winning Eleven yang telah memberikan dorongan moril
dan semangat kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Putri Arshinta
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Hama dan Penyakit Jabon
Patogenisitas
Botryodiplodia sp.
Sifat-sifat umum Botryodiplodia sp.
Taksonomi dan Morfologi Botryodiplodia sp.
Bioekologi dan Nilai Ekonomi
Gejala Penyakit dan Kisaran Inang
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Pelaksanaan Penelitian
Tahap Persiapan
Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar)
Pembuatan media PDB (Potato Dextrose Broth)
Penyediaan isolat fungi patogen
Pemurnian dan peremajaan
Sterilisasi bahan, peralatan, dan ruang inokulasi
Penyediaan bibit
Tahap Pelaksanaan
Uji pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
Uji pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH
Uji pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
Uji patogenisitas
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
vi
vi
vii
1
1
1
2
2
2
2
3
4
4
4
4
5
5
6
6
6
7
7
7
7
7
7
8
8
8
8
9
9
10
11
12
12
12
DAFTAR ISI
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
Patogenisitas Botryodiplodia sp.
Pembahasan
Pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp.
pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
Patogenisitas Botryodiplodia sp.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
13
14
15
16
16
18
18
19
21
21
22
22
24
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Keparahan dan nilai numerik penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan pH terhadap
biomassa miselia Botryodiplodia sp.
Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap
biomassa miselia Botryodiplodia sp.
Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap
gejala penyakit
Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada
bibit jabon
10
14
14
16
16
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA
dengan berbagai tingkatan pH
2 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA
3 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan
berbagai tingkatan pH setelah 3 hst
4 Konidia Botryodiplodia sp.
5 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai
tingkatan pH
6 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan
berbagai tingkatan penggoyangan
12
12
13
13
14
15
7 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon
15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media pertumbuhan Botryodiplodia sp.
2 Pertumbuhan diameter Botryodiplodia sp. pada media PDA
dengan berbagai tingkatan pH
3 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH kontrol (6.25) pada media PDB
4 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 2 pada media PDB
5 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 4 pada media PDB
6 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 6 pada media PDB
7 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
pH 8 pada media PDB
8 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. tanpa perlakuan
penggoyangan (0 rpm) pada media PDB
9 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
penggoyangan 50 rpm pada media PDB
10 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
penggoyangan 100 rpm pada media PDB
11 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan
penggoyangan 150 rpm pada media PDB
12 Rekapitulasi bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada
akhir pengamatan
13 Tingkat keparahan mati pucuk pada bibit jabon
hingga akhir pengamatan
14 Perkembangan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
15 Rekapitulasi uji-F
24
24
24
25
25
25
25
25
25
26
26
26
26
27
28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan hutan tanaman, baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun
hutan rakyat merupakan jawaban atas tuntutan pembangunan akibat berkurangnya
hutan alam serta untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan
hidup. Pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan pada pembangunan HTI
harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain tidak memerlukan syarat-syarat
tumbuh yang tinggi, cepat tumbuh dan dapat dimanfaatkan untuk industri olahan
kayu yang memiliki pasar yang luas.
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan salah satu jenis tumbuhan
lokal Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan
tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti reklamasi lahan bekas tambang,
penghijauan dan pohon peneduh (Mansur dan Tuheteru 2010). Tanaman ini
termasuk fast growing species, bahkan oleh pemerintah mulai diprogramkan
untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas HTI yang menjanjikan.
Permintaan pasar yang tinggi dalam skala luas, menuntut ketersediaan bibit
jabon yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Sejauh ini pertumbuhan jabon
di lapangan tidak terlalu banyak gangguan, namun tidak demikian pada masa
pembibitan di persemaian. Sebagaimana diketahui bahwa karakteristik semai pada
umumnya rentan terhadap serangan patogen. Serangan patogen ini merupakan
salah satu penyebab utama berkurangnya jumlah bibit dan menurunkan kualitas
semai jabon.
Gejala yang terjadi pada bibit jabon yang terserang patogen, mula-mula
daun menguning dan batang berwarna kecoklatan kemudian lama-kelamaan akan
menjadi hitam. Setelah dilakukan pengamatan secara makroskopis dan
mikroskopis, patogen yang teridentifikasi adalah berupa fungi dari genus
Botryodiplodia yang mengakibatkan penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
Botryodiplodia sp. merupakan patogen yang memiliki kisaran inang yang
luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui
luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga
(Semangun 2007). Pada awalnya, daun yang paling dekat dengan ranting yang
terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas
sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan
cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna
menjadi coklat di bagian pembuluh (Mbenoun et al. 2008). Botryodiplodia
theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang
(Semangun 2000).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pH dan tingkat
penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp., serta
mempelajari kejadian penyakit (Disease Incidence) dan tingkat keparahan
penyakit (Disease Severity) mati pucuk pada bibit jabon.
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang
penyebab penyakit pada bibit jabon, mengetahui pengaruh penyakit yang
disebabkan oleh patogen terhadap kelangsungan hidup bibit jabon, dan dapat
memberikan informasi mengenai respon pertumbuhan diameter koloni serta bobot
miselia Botryodiplodia sp. terhadap pemberian perlakuan pH dan tingkat
penggoyangan media. Dengan diketahuinya penyebab penyakit mati pucuk pada
bibit jabon, maka hasil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dan bahan
rekomendasi dalam pengendaliannya.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara in vitro, perlakuan perbedaan pH dan tingkat penggoyangan media
mempengaruhi pertumbuhan fungi patogen Botryodiplodia sp.
2. Kejadian penyakit dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
akibat serangan Botryodiplodia sp. dipengaruhi oleh umur semai jabon.
TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Jabon merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter,
mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan tinggi bebas cabang lebih dari
25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100-160 cm. Di hutan tanaman,
kecepatan tumbuh diameter jabon ialah 2-3 cm/tahun dan tinggi 2-3 m/tahun
(Lembaga Biologi Nasional 1980). Menurut Heyne (1987), kayu Jabon
merupakan kelas awet V, kelas kuat III-IV dengan berat jenis 0.42 (0.29-0.56).
Kayunya lunak dengan nilai penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur
sebesar 3% (radial) dan 6.9% (tangensial).
Jabon termasuk ke dalam jenis intoleran yang menghendaki adanya cahaya
penuh selama periode hidupnya. Karakteristik habitat alami jabon adalah dengan
ketinggian tempat tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ˚C, curah
hujan rata-rata 1500-5000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah.
Namun, dalam menunjang produktivitasnya jabon tumbuh optimal pada
ketinggian kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang baik untuk
jabon yaitu tanah lempung, podsolik cokelat, dan aluvial lembab yang biasanya
terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah dan rawa, dan
tanah kering yang kadang tergenang air. Umumnya, jabon ditemukan di hutan
sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang sungai dan punggungpunggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010).
Secara morfologi, pada pohon muda permukaan batang licin dan berwarna
sangat terang, sedangkan pada pohon tua berwarna kelabu hingga cokelat kelabu,
3
beralur dangkal, kadangkala dengan punggung-punggung kecil, sering retak dan
agak kasar. Cabang-cabang mendatar dengan ujung menjuntai, pemangkasan
cabang terjadi secara alami. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan
ukuran panjang 15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk
menyerupai jantung, bagian ujung lancip (Sutisna et al. 1998). Jabon mempunyai
daun tunggal dengan ujung daun berbentuk runcing sampai meruncing serta
berdaun penumpu, penumpu antar tangkai berbentuk segitiga sempit dan mudah
rontok (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Perbanyakan tanaman jabon untuk memenuhi permintaan yang cukup
tinggi, dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Cara generatif
dilakukan dengan mengecambahkan bijinya sedangkan cara vegetatif dilakukan
dengan cara stek pucuk maupun stek batang (Khaerudin 1994). Buah jabon
merupakan buah majemuk dengan bentuk bulat dan bertekstur lunak. Jabon
berbuah setahun sekali pada musim berbunganya, yakni pada bulan Januari-Juni
dan akan masak pada bulan Maret-Juni. Buah jabon merupakan buah majemuk,
berbentuk bulat dengan ukuran berkisar 4.5-6 cm, memiliki ruang-ruang biji yang
sangat banyak dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji
(Mansur dan Tuheteru 2010).
Jabon ditanam sebagai ornamen, pohon penaung, dan dapat digunakan
untuk reforestasi dan aforestasi (Soerianegara dan Lemmens 1993). Menurut
Tantra (1980) kayu jabon merupakan kayu ringan yang digunakan untuk papan,
peti, tripleks, dan korek api. Selain itu di industri perkayuan, jabon kerap
dimanfaatkan untuk pembuatan kayu lapis (plywood), papan blok (laminated
board, block board), papan serat (fiber block), dan papan partikel (particle board)
(Mansur dan Tuheteru 2010). Kulit kayu yang telah kering berguna untuk
mengobati demam dan sebagai obat kuat, ekstraksi dari daun digunakan untuk
obat kumur, daun muda dapat dijadikan sebagai makanan ternak (fodder), getah
kuning dari kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan untuk barang
kerajinan tangan (Kapisa dan Sapulata 1994).
Hama dan Penyakit Jabon
Tanaman jabon secara umum tidak memiliki hama dan penyakit yang serius.
Namun, hama yang sering menyerang semai atau kecambah di persemaian antara
lain semut, bekicot dan penyakit dumping off oleh cendawan Fusarium spp.,
Rhizoctonia spp., dan Phytium spp. (Mansur dan Tuheteru 2010).
Selain itu dilaporkan intensitas serangan dan kerugian yang diakibatkan dari
serangan hama pada tanaman jabon lebih mendominasi dibandingkan dengan
serangan patogen. Tanaman muda biasa dimakan binatang liar seperti rusa dan
banteng. Serangga dan jamur Gloeosporium anrhocephali Desm and Mont.
menyerang daun yang menyebabkan defoliasi dan mati pucuk. Selain itu terdapat
beberapa serangga yang menyerang jabon tanaman muda di antaranya ulat grayak,
kutu putih dan kutu daun (Mulyana et al. 2010).
4
Patogenisitas
Patogenisitas adalah kemampuan patogen dalam menyebabkan penyakit,
berbeda dengan virulensi. Virulensi merupakan keberhasilan ekspresi dari
patogenisitas. Suatu patogen dikatakan avirulen apabila gagal menimbulkan
penyakit (Bilgrami dan Dube 1976).
Menurut Agrios (1988), patogen dapat mengakibatkan penyakit tanaman
melalui berbagai cara, antara lain:
a.
Melemahkan inang melalui penyerapan makanan dari
sel-sel inang secara terus menerus untuk dimanfaatkan oleh patogen.
b.
Membunuh atau mengganggu metabolisme dari selsel inang dengan racun, enzim, atau pengaturan bahan-bahan untuk
pertumbuhan yang mereka sekresikan.
c.
Menghentikan transportasi makanan, nutrisi mineral,
dan air melalui jaringan-jaringan yang konduktif pada inang.
d.
Mengkonsumsi kandungan sel-sel inang melalui suatu
penghubung.
Botryodiplodia sp.
Sifat-sifat Umum Botryodiplodia sp.
Botryosphariaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat sejumlah
species yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang paling
dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia, Neofusicoccum, Pseudofusicoccum,
Dothiorella, dan Sphaeropsis (Henuk 2010). Anggota Botryosphaeriaceae
mempunyai distribusi yang sangat luas dan terjadi dalam varietas yang luas pada
berbagai tanaman inang termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae,
dan angiospermae, dimana anggota-anggota Botryosphaeriaceae ini dapat
berperan sebagai saprofit, parasit, dan endofit (Begoude et al. 2009). Von Arx
(1987) melaporkan bahwa spesies-spesies Botryosphaeriaceae telah lama dikenal
sebagai patogen penting pada beberapa tanaman. Tanaman yang terinfeksi
menunjukkan gejala yang beragam, misalnya mati pucuk, kanker, hawar, dan
busuk pada seluruh organ tanaman bagian atas.
Taksonomi dan Morfologi Botryodiplodia sp.
Klasifikasi Botryodiplodia sp. menurut Alexopoulos (1996) adalah sebagai
berikut :
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Punithalingam (1976) menyebutkan bahwa karakter morfologi
Botryodiplodia sp. ditandai dengan pertumbuhan miselia seperti benang rambut
5
halus atau kapas dan miselium udara berlimpah. Koloni mula-mula berwarna
sepia, berubah menjadi abu-abu dan kemudian menjadi hitam. Piknidia sederhana,
bergerombol, sering agregat, stromatik, ostiolate, lebar sampai dengan 5 mm.
Konidia awalnya uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid-oblong,
berdinding tebal, memotong seperti sekat; konidia matang uniseptate, coklat
seperti warna kayu manis, berukuran 20-30 µm x 10-15 µm.
Bioekologi dan Nilai Ekonomi
B. theobromae merupakan cendawan yang memiliki kisaran inang yang
luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui
luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga
(Semangun 2007).
Patogen dapat membentuk struktur bertahan pada kondisi lingkungan yang
tidak menguntungkan untuk berkembang. Kondisi lingkungan yang mendukung,
dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan segera berkecambah
dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu
lingkungan yang berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama musim
kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan patogen ini.
Kondisi tanaman yang lemah didukung oleh kelembaban yang tinggi akan
mendukung terjadinya penetrasi pada jaringan tanaman inang baru. Penetrasi yang
sudah berhasil selanjutnya akan terjadi kolonisasi, patogen akan tumbuh dan
memperbanyak dalam jaringan tanaman inang. Fase-fase kritis patogen adalah
pada saat sebelum terjadi penetrasi, pada fase ini pengendalian akan lebih efektif
dibanding apabila sudah lanjut (Henuk 2010)
Botryodiplodia sp. ditemukan terdapat di berbagai belahan dunia
diantaranya, di Amerika bagian utara dan selatan, Eropa, Afrika, Asia, dan
Oceania (Urbez-Torres et al. 2008). Sejak akhir 1980 area perkebunan kakao di
Kamerun mengalami kejadian penyakit mati pucuk yang luar biasa yang
disebabkan oleh B. theobromae. Pada beberapa perkebunan di Kamerun, penyakit
ini dapat merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas
produksi kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Tahun 1998, B. theobromae
ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada
pembibitan, patogen terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius
sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha et
al. 2009). Menurut Rustini (2010) di Denpasar, Bali, hampir 53,24% dari buah
pisang yang dijual mengalami pembusukan akibat cendawan B. theobromae, hal
ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasar karena permintaan pisang di
Bali cukup tinggi untuk berbagai upacara keagamaan.
Gejala Penyakit dan Kisaran Inang
Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker
batang (Semangun 2000). B. theobromae pada tanaman kakao merupakan parasit
lemah atau parasit sekunder terutama pada bagian cabang dan ranting. Sebagai
parasit lemah cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan lemah,
mengikuti patogen yang kuat atau menginfeksi melalui luka-luka yang
diakibatkan oleh serangga. Gejala awal, daun yang paling dekat dengan ranting
6
yang terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas
sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan
cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna
menjadi cokelat di bagian pembuluh. Juga terdapat eksudat berwarna putih atau
kekuningan yang keluar dari batang utama (Mbenoun et al. 2008).
B. theobromae pada tanaman karet dapat menyebabkan penyakit mati
pucuk. Gejalanya timbul pustul yang berukuran 3-5 mm pada batang kemudian
kulit menjadi busuk disertai keluarnya lateks atau getah pada tanaman muda
berumur 1-2 tahun. Serangan yang berat dapat menyebabkan retak dan
gummosis. Selain itu, patogen ini dapat menekan pertumbuhan tanaman,
menyebabkan produksi lateks rendah, dan untuk varietas yang rentan seluruh
pohon mati dalam waktu 3-4 minggu (Pha et al. 2009).
Serangan B. theobromae dapat menyebabkan busuk buah pada manggis.
Gejala yang ditunjukkan pada awalnya kulit buah manggis akan berubah warna
menjadi kehitaman dan mengkilat, kemudian warnanya menjadi lebih suram
karena membentuk banyak piknidia yang menghasilkan konidium. Biasanya
gejala dimulai dekat dengan tangkai kemudian dengan cepat akan meluas ke
seluruh buah (Semangun 2007).
Penyakit busuk buah merupakan penyakit pasca panen pada pisang yang
disebabkan oleh B. theobromae. Patogen ini menyebabkan busuk ujung buah (tip
rot), busuk telapak, dan busuk pangkal. Buah menjadi lunak dan berair, serta
mengeluarkan bau yang khas. B. theobromae pada pisang hidup pada bagian
tanaman yang membusuk, infeksinya hanya melalui luka-luka. Spora cendawan
sudah terdapat pada permukaan buah di lapang (Semangun 2007).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Desember
2012, di Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,
Laboratorium Bioteknologi Kehutanan Pusat Antar Universitas (PAU)
Bioteknologi IPB, Laboratorium Mikoriza Puslitbang Kehutanan Bogor, dan
Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah cawan petri, labu
erlenmeyer, autoclave, laminar, lampu bunsen, cork borer, sudip, mikroskop,
oven, alat shaker, timbangan digital, pH meter, pisau, alat penyiram/sprayer, alat
tulis, laptop, dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ialah bibit Anthocepalus cadamba
yang berumur 3, 4, dan 5 bulan, isolat cendawan Botryodiplodia sp. yang
7
merupakan koleksi Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB, media PDA, media PDB, alkohol 70%, aquades, NaOH pro
analisis, HCl 37%, kertas saring, alumunium foil, plastik wrap, tissue, kapas,
kentang, agar putih, chlorampenicol, dan spirtus.
Metode Pelaksanaan Penelitian
Tahap Persiapan
Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar)
Satu liter PDA memerlukan 200 gram kentang yang telah dipotong dadu dan
1 liter aquades kemudian direbus hingga kentang menjadi empuk. Air ekstrak
kentang dipisahkan dan ditambahkan aquades sampai larutan menjadi 1 liter.
Larutan dituang kedalam wadah yang berisi dekstrosa/glukosa 20 gram dan agar
sebanyak 15 gram. Sebelum larutan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer,
ditambahkan chlorampenicol dan diaduk hingga merata. Media disterilkan
menggunakan autoclave pada tekanan 1 atm dengan suhu 121 °C selama 15
menit.
Pembuatan media PDA pada berbagai tingkatan pH menggunakan bahan
dan alat yang sama. Namun, dekstrosa dan agar ditambahkan setelah masingmasing larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan HCl dan NaOH 1% untuk
mengatur pH media menjadi 2, 4, 6, dan 8. Dekstrosa dan agar akan tercampur
saat media disterilkan dengan menggunakan autoclave.
Pembuatan Media PDB (Potato Dextrose Broth)
Satu liter PDB memerlukan 200 gram kentang yang telah dipotong dadu dan
1 liter aquades, kemudian direbus hingga kentang menjadi empuk. Air ekstrak
kentang dipisahkan dan ditambahkan dextrose 20 gram. Sebelum larutan
dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan chlorampenicol dan diaduk
hingga merata. Media disterilkan menggunakan autoclave pada tekanan 1 atm
dengan suhu 121 °C selama 15 menit.
Pembuatan media PDB pada berbagai tingkatan pH menggunakan bahan
dan alat yang sama. Namun, larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan HCl
dan NaOH 1% untuk mengatur pH media menjadi 2, 4, 6, dan 8 sebelum media
disterilkan dengan menggunakan autoclave.
Penyediaan Isolat Fungi Patogen
Isolat yang digunakan adalah isolat murni Botryodiplodia sp. yang diisolasi
dari batang bibit jabon berumur 4 bulan yang menunjukkan gejala penyakit. Isolat
merupakan koleksi Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB.
8
Pemurnian dan Peremajaan Biakan
Pemurnian dan peremajaan biakan dilakukan sehingga diperoleh biakan
yang homogen, bebas dari kontaminasi dan memiliki viabilitas yang cukup tinggi.
Sterilisai Bahan, Peralatan dan Ruang Inokulasi
Sterilisasi bahan seperti media PDA dan PDB, dilakukan pada waktu
pembuatan media dengan menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu
121 oC dan tekanan 1 atm.
Peralatan yang akan digunakan seperti cawan petri disterilkan dengan cara
memasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60-80 °C, sedangkan untuk
sterilisasi cork borer dan sudip dilakukan dalam laminer air flow pada saat
pelaksanaan inokulasi dengan cara dibakar pada api bunsen hingga membara.
Kebersihan lingkungan kerja dijaga dengan membatasi orang orang yang
memasuki ruangan isolasi serta membersihkan ruangan dengan desinfektan.
Strerilisasi ruang inokulasi (laminar air flow) dilakukan menggunakan larutan
alkohol 70% yang disemprotkan sebelum dan sesudah inokulasi kemudian
dibersihkan dengan menggunakan tisu. Blower atau peniup udara pada laminar
air flow dinyalakan sebelum dan selama pemakaian untuk menghindari
kontaminan. Selain itu sebelum digunakan dan setelah disemprot dengan alkohol
70%, laminar air flow dapat disterilisasi dengan menggunakan lampu UV yang
dinyalakan selama beberapa menit.
Penyediaan Bibit
Bibit jabon diperoleh dari persemaian Karya Barokah dengan umur bibit
yaitu 3 bulan, 4 bulan, dan 5 bulan. Setiap tingkatan umur, bibit dipilih yang
berukuran seragam dan dalam kondisi yang baik. Setelah dilakukan pengangkutan
dari persemaian, bibit tidak langsung diberi perlakuan melainkan diberi tenggang
waktu selama 3 hari sebelum diberi perlakuan. Hal ini dimaksudkan agar bibit
tidak mengalami stres akibat perbedaan lingkungan tumbuh. Penyiraman bibit
dilakukan dua kali sehari selama penelitian.
Tahap Pelaksanaan
Uji Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media
PDA dengan Berbagai Tingkatan pH
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali.
Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam cawan petri dan
perlakuannya berupa pengaturan tingkatan pH pada media PDA.
Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow
menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) ditanam tepat di tengah cawan petri yang
berdiameter 9.0 cm berisi media PDA dengan lima tingkatan pH, yaitu kontrol
(A0) dengan pH 6.8, pH 2 (A1), pH 4 (A2), pH 6 (A3), dan pH 8 (A4). Pengamatan
dilakukan setiap 24 jam dengan mengukur diameter koloni arah radial sampai
miselia memenuhi cawan petri.
Perhitungan pertumbuhan diameter miselia Botryodiplodia sp. dilakukan
dengan cara mengukur diameter arah radial. Rumus perhitungannya sebagai
berikut:
9
Diameter arah radial = Ø x + Ø y
2
Øy
Øx
Keterangan:
Ø x = diameter sumbu X
Ø y = diameter sumbu Y
Uji Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB
dengan Berbagai Tingkatan pH
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali.
Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam labu erlenmeyer dan
perlakuannya berupa pengaturan tingkatan pH pada media PDB.
Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow
menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) kemudian dimasukkan kedalam labu
erlenmeyer yang berisi media PDB dengan lima tingkatan pH yang berbeda, yaitu
kontrol (B0) dengan pH 6.25, pH 2 (B1), pH 4 (B2), pH 6 (B3), dan pH 8 (B4).
Biakan patogen dibiarkan tumbuh selama enam hari.
Setelah enam hari, miselia Botryodiplodia sp. dipisahkan dari media PDB
dengan menyaring miselia Botryodiplodia sp. dari media tumbuhnya. Penyaringan
dilakukan menggunakan kertas saring yang telah dioven selama 24 jam pada suhu
60 °C dan telah diketahui berat keringnya. Miselia Botryodiplodia sp. pada kertas
saring dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C, sehingga akan didapatkan bobot
kering miselia Botryodiplodia sp. dan kertas saring. Biomassa miselia dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
Biomassa miselia = (BK kertas saring + BK miselia) – BK kertas saring
Keterangan:
BK = berat kering (gram)
Uji Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB
dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali.
Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam labu erlenmeyer dan
perlakuannya berupa pengaturan tingkat penggoyangan media PDB.
Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow
menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) kemudian dimasukkan kedalam labu
erlenmeyer yang berisi media PDB. Penggoyangan media dilakukan
menggunakan shaker dengan empat tingkatan penggoyangan, yaitu 0 rpm (C1) ,
50 rpm (C2), 100 rpm (C3), dan 150 rpm (C4).
Setelah diinkubasi selama enam hari, miselia Botryodiplodia sp. dipisahkan
dari media PDB dengan menyaring miselia Botryodiplodia sp. dari media
tumbuhnya. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang telah dioven
selama 24 jam pada suhu 60 °C dan telah diketahui berat keringnya. Miselia
10
Botryodiplodia sp. pada kertas saring dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C,
sehingga akan didapatkan bobot kering miselia Botryodiplodia sp. dan kertas
saring. Biomassa miselia dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Biomassa miselia = (BK kertas saring + BK miselia) – BK kertas saring
Keterangan:
BK = berat kering (gram)
Uji Patogenisitas
Metode yang digunakan dalam uji patogenisitas menggunakan metode
penempelan. Batang jabon sehat disemprot dengan alkohol untuk menghilangkan
kontaminan yang mungkin menempel pada permukaan kulit batang yang akan di
inokulasi. Batang dilukai dengan pisau steril kemudian potongan patogen
Botryodiplodia sp. ditempel pada batang yang telah dilukai. Batang ditutup
alumunium foil untuk menjamin potongan patogen tidak terlepas.
Pengamatan dilakukan terhadap insiden dan keparahan penyakit mati pucuk
pada setiap tingkatan umur. Insidensi penyakit atau kejadian penyakit merupakan
persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman yang
diamati (N) tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya. Rumus yang digunakan
adalah :
Pengamatan keparahan penyakit (Disease Severity) yang disebabkan oleh
cendawan atau fungi yang menyerang tanaman dihitung menggunakan metode
Townsend dan Heuberger dengan rumus sebagai berikut:
Keparahan penyakit =
Keterangan:
n
= jumlah tanaman dalam setiap kategori
V
= nilai numerik dari kategori serangan
Z
= kategori serangan dengan nilai numerik tertinggi
N
= jumlah seluruh tanaman yang diamati
Tabel 1 menyajikan keparahan dan nilai numerik penyakit yang digunakan:
Tabel 1 Keparahan dan nilai numerik penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Skor
0
1
2
3
Keterangan
Tidak ada gejala
≥ 10-20% bagian tanaman terserang
≥ 21-60 % bagian tanaman terserang
≥ 61-100% bagian tanaman terserang
Percobaan ini disusun dalam rancangan petak terbagi (Split Plot Design)
dengan pola RAL diulang tiga kali. Sebagai petak utama adalah inokulasi fungi
11
patogen Botryodiplodia sp. sedang anak petak adalah umur semai jabon. Satuan
percobaannya adalah sepuluh semai jabon yang masing-masing ditanam dalam
polybag terpisah. Faktor inokulasi fungi patogen terdiri atas dua taraf, yaitu: P0
(kontrol, tanpa inokulasi fungi patogen) dan P1 (diinokulasi Botryodiplodia sp.).
Faktor umur bibit terdiri atas tiga taraf, yaitu: U1 (bibit umur 3 bulan), U2 (bibit
umur 4 bulan), dan U3 (bibit umur 5 bulan).
Analisis Data
Rancangan Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis
sidik ragam. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap
peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data menggunakan software SAS
9.1.3. Apabila hasil analisis menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s multiple range test–DMRT).
Pengujian pH dan penggoyangan media menggunakan pola RAL dengan
model linier aditif sebagai berikut (Mattjik et al. 2002):
Yij = μ + αi + ij
Keterangan:
Yij
μ
αi
ij
: Nilai respon pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada masing-masing percobaan (pH dan penggoyangan media)
ke-i dan ulangan ke-j
: Nilai rata-rata umum
: Perlakuan (pH dan penggoyangan media) ke-i
: Galat percobaan perlakuan konsentrasi (pH dan penggoyangan
media) ke-i dan ulangan ke-j
Uji patogenesitas disusun dalam rancangan petak terbagi (Split Plot
Design) dalam pola RAL diulang tiga kali, model yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Yijk = µ + αi + ik + βj + (αβ)ij + ijk
Keterangan:
Yijk
µ
αi
ik
βj
(αβ)ij
ijk
: Intensitas serangan pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf
:
:
:
:
:
:
ke-i dari faktor inokulasi dan taraf ke-j dari faktor umur
Nilai rata-rata intensitas serangan sesungguhnya
Pengaruh utama dari taraf ke-i faktor inokulasi
Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari faktor inokulasi
dalam ulangan ke-k (galat petak utama)
Pengaruh utama dari taraf ke-j faktor umur
Pengaruh interaksi taraf ke-i dengan faktor inokulasi dan taraf
ke-j faktor umur
Pengaruh galat pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf ke-i
faktor inokulasi dan taraf ke-j faktor umur (galat anak petak)
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA
dengan Berbagai Tingkatan pH
Hasil pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada media PDA
menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi tersebut tidak tumbuh. Hal ini ditunjukkan
dengan tidak adanya pertumbuhan miselia. Selain itu pada pH 2, media PDA tidak
berbentuk padat (Gambar 2). Pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. pada pH 4,
6, 8, dan kontrol (pH 6.8) sama-sama memenuhi cawan petri pada 3 hst (hari
setelah tanam), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai
tingkatan pH
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. meski sama-sama
memenuhi cawan petri pada 3 hst namun pertambahan panjang diameternya
berbeda antara pH yang satu dengan yang lain. Pertumbuhan pertambahan
panjang diameter paling maksimal adalah pada media PDA dengan pH 4, yaitu
sebesar 4.93 cm kemudian pH 6, pH kontrol (6.8), dan pH 8 dengan nilai
pertambahan panjang masing-masing sebesar 4.60 cm, 4.53 cm, dan 4.08 cm.
Sedangkan untuk pH 2 tidak mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan Botryodiplodia sp. pada media PDA, mula-mula terlihat
adanya koloni yang tumbuh seperti benang atau rambut halus berwarna putih
keabu-abuan. Koloni yang dimaksud merupakan kumpulan dari miselia
(miselium) yang berkembang. Hari berikutnya miselium berubah warna menjadi
abu-abu keruh, semakin lama miselium semakin tebal dan berubah warna menjadi
hitam. Pertumbuhan miselium terhitung cepat, karena dalam waktu 3 hst telah
memenuhi cawan petri (Gambar 2).
Gambar 2 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA
13
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada beberapa tingkatan
pH, secara visual lebih baik pada media PDA dengan pH kontrol (6.8). Pada
media ini, miselium yang tumbuh terlihat halus, kompak dan paling tebal, serta
pertumbuhannya menyebar secara merata bila dibandingkan dengan pertumbuhan
diameter koloni pada media PDA dengan pH yang lain. Selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 3.
a
Gambar 3
b
c
d
e
Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai
tingkatan pH setelah 3 hst: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol
(6.8)
Pengamatan secara mikroskopis, menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 4 x 10 menunjukkan bahwa fungi ini memiliki ciri-ciri konidia
berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder, dan memiliki sekat,
seperti yang terlihat pada Gambar 4.
a
b
Gambar 4
Konidia Botryodiplodia sp., berbentuk jorong dan tunggal: (a) konidia muda hyalin
dan tidak memiliki sekat, (b) konidia tua berwarna gelap dan memiliki sekat
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan
Berbagai Tingkatan pH
Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia
sp. pada media PDB menunjukan bahwa perlakuan pH pada media PDB
berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 2). Respon tertinggi
ditunjukkan pada media PDB dengan pH 6 dengan biomassa miselia sebesar
0.197 gram diikuti pada media PDB pH 8, pH 4, pH kontrol (6.25), dan pH 2
berturut-turut dengan bobot 0.195 gram, 0.189 gram, 0.184 gram, dan 0.118 gram.
Berat kering miselia pada media PDB dengan pH 2 adalah berat kering
inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan
berlangsung, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
14
Tabel 2 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian pH terhadap biomassa miselia
Botryodiplodia sp.
pH media
Rata-rata biomassa (g)1
Kontrol (6.25)
0.184a
2
0.118b
4
0.189a
6
0.197a
8
0.195a
1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
a
e
a
d
d
Gambar 5
e
a
e
b
c
b
c
b
d
c
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH setelah di
inkubasi selama 6 hari: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol
(6.25)
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan
Berbagai Tingkatan Penggoyangan
Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia
sp. di media PDB menunjukan bahwa perlakuan penggoyangan pada media PDB
berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap
biomassa miselia Botryodiplodia sp.
Tingkatan shaker (rpm)
Kontrol (0)
50
100
150
Rata-rata biomassa (g)1
0.085b
0.233a
0.209a
0.092b
Pada tingkat penggoyangan media menggunakan shaker 50 rpm
menunjukkan biomassa miselia tertinggi dengan nilai 0.233 gram. Selanjutnya
biomassa miselia tertinggi yaitu pada tingkat penggoyangan 100 rpm, 150 rpm,
dan 0 rpm (tanpa penggoyangan) dengan nilai berturut-turut yaitu 0.209 gram,
0.092 gram, dan 0.085 gram. Biomassa miselia Botryodiplodia sp. yang tercatat
pada media PDB dengan tingkatan shaker 0 rpm adalah berat kering inokulum
yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung
(Gambar 6).
15
Gambar 6
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
media setelah di inkubasi selama 6 hari. Pada kecepatan 0 rpm, miselia tidak
mengalami pertumbuhan seperti yang ditunjukkan dengan anak panah
Patogenisitas Botryodiplodia sp.
Kejadian penyakit dapat diamati dari gejala yang timbul pada tanaman yang
terserang. Berdasarkan hasil pengamatan selama 14 hari, serangan penyakit mati
pucuk hanya terjadi pada tanaman jabon dengan inokulasi fungi patogen. Seluruh
tanaman yang di inokulasi fungi patogen, baik yang berumur 3, 4, maupun 5 bulan
menunjukkan gejala penyakit. Tanaman jabon tanpa inokulasi fungi patogen sama
sekali tidak menunjukkan gejala penyakit.
Gejala penyakit mati pucuk yang dijumpai pada saat pengamatan, awalnya
menyerang daun yang paling dekat dengan batang yang diinokulasi fungi patogen.
Daun akan berubah warna, dari kekuningan sampai kecoklatan kemudian
kerusakan akan terus meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat
sehingga tulang daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran
infeksi pada pucuk dan batang, mengakibatkan seluruh bagian tanaman
menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Bagian luar dan dalam batang
juga mengalami perubahan warna menjadi cokelat (Lampiran 1). Gejala penyakit
mati pucuk pada bibit jabon dapat dilihat pada Gambar 7.
a
Gambar 7
b
Gejala yang nampak pada bibit jabon yang ditunjukkan dengan anak panah: (a) tanpa
inokulasi fungi patogen, batang yang dilukai tidak menimbulkan gejala penyakit
namun terlihat adanya kumpulan getah yang menutupi luka sebagai struktur bertahan,
(b) dengan inokulasi fungi patogen, daun dan batang menunjukkan gejala
16
Berdasarkan hasil analisis ragam yang telah dilakukan, diketahui bahwa
faktor dengan inokulasi fungi patogen berpengaruh nyata terhadap intensitas
serangan penyakit mati pucuk yang ditimbulkan, sedangkan faktor tanpa inokulasi
fungi patogen dan faktor umur serta interaksi kedua faktor tidak memberikan
pengaruh yang nyata, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap gejala penyakit
Perlakuan
Kejadian penyakit1
Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0b
Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0b
Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0b
Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen
100a
Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen
100a
Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen
100a
1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Setelah diketahui kejadian penyakit berdasarkan gejala yang ditunjukkan
oleh tanaman yang terserang, setiap umur tanaman memiliki nilai keparahan yang
berbeda. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon pada perlakuan dengan
inokulasi fungi patogen, hingga akhir pengamatan yang memiliki nilai tertinggi
mencapai 61% yaitu pada perlakuan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen
berumur 3 bulan. Selanjutnya pada bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen
berumur 5 bulan dengan tingkat keparahan mencapai 54% dan bibit jabon dengan
inokulasi fungi patogen berumur 4 bulan dengan tingkat keparahan 42%. Pada
perlakuan tanpa inokulasi fungi patogen, semai yang berumur 3 bulan sampai 5
bulan tidak menunjukkan gejala serangan penyakit hingga akhir pengamatan,
maka nilai keparahannya adalah 0%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor dengan inokulasi fungi
patogen dan faktor umur berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Tabel
5). Secara tunggal, gejala penyakit terjadi pada bibit yang di inokulasi fungi
patogen. Bibit tanpa inokulasi fungi patogen tidak ada yang terserang.
Tabel 5
Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Perlakuan
Tingkat keparahan1
Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0.00b
Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0.00b
Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen
0.00b
Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen
61.00a
Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen
42.00a
Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen
54.00a
1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Pembahasan
Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA
dengan Berbagai Tingkatan pH
Fungi pada umumnya mempunyai kemampuan bertahan hidup pada selang
pH 3 sampai dengan 9 (Tarr 1972). Selang pH yang demikian besar bagi fungi
17
untuk bertahan hidup merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Tindakan
pengaturan pH media diarahkan untuk memberikan gambaran kondisi pH untuk
menekan pertumbuhan patogen. Berdasarkan pengujian pertumbuhan in vitro
Botryodiplodia sp. pada media PDA menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi
tersebut nyata tidak tumbuh. Tetapi pengendalian patogen dengan perlakuan
pengaturan pH kurang dari 2 tidak mungkin dilakukan, karena pada kondisi ini
kemungkinan hidup bagi inang atau tanaman juga sangat kecil. Kisaran pH untuk
tanaman jabon yaitu antara pH 4 sampai dengan pH 7.5.
Koloni Botryodiplodia sp. berdasarkan pengamatan, dapat memenuhi cawan
petri pada 3 hst. Secara makroskopis, koloni mula-mula berwarna putih seperti
kapas atau rambut halus kemudian berubah menjadi abu-abu keruh dan lama
kelamaan menghitam. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan pernyataan Gandjar et al.
(1999), yang menyebutkan bahwa koloni B. theobromae tumbuh cepat pada media
PDA dengan membentuk miselia aerial yang lebat dan berwarna coklat
kehitaman.
Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp.
memiliki konidia yang berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder,
konidia muda hyalin dan konidia tua memiliki sekat. Hal ini sesuai dengan ciriciri yang diungkapkan oleh Gandjar et al. (1999) bahwa B. theobromae memiliki
konidia bersel dua, berbentuk elips, berwarna coklat tua. Akan tetapi pematangan
konidia berjalan lambat, sehingga sering ditemukan konidia bersel satu dan
berwarna hyalin.
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan pH 4, 6, 8, dan kontrol
(6.8) sama-sama memenuhi cawan petri yang berdiameter 9 cm pada 3 hst, namun
pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni per harinya berbeda antar
perlakuan pH. Pertumbuhan miselia pada media PDA dengan pH 4 mengalami
pertambahan panjang paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Pada media PDA
dengan pH 2, miselia Botryodiplodia sp. tidak mengalami pertambahan panjang
karena Botryodiplodia tumbuh pada kisaran pH 3.5-8 dengan pH optimum untuk
pertumbuhannya antara pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pada media PDA
dengan pH 2 tidak mengalami pertumbuhan.
Secara visual, penampakan pertumbuhan miselia Botryodiplodiai sp. pada
media PDA berbeda antara pH kontrol (6.8) dan yang lainnya. Berdasarkan
pengamatan, pada pH kontrol (6.8) menunjukkan penampakan yang paling baik
dengan miselia terlihat halus, kompak dan paling tebal serta pertumbuhannya
merata dibandingkan dengan pH yang lainnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, Botryodiplodia sp. dapat tumbuh baik pada
pH 4, 6, 8, dan kontrol (pH 6.8) karena pH media masih dalam kisaran tumbuh
Botryodiplodia sp. sedangkan pada media PDA dengan pH 2, Botryodiplodia sp.
tidak dapat tumbuh karena dibawah kisaran pH untuk pertumbuhan
Botryodiplodia sp. Pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni
Botryodiplodia sp. terbaik ditunjukkan pada media PDA dengan pH 4, sedangkan
penampakan visual pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. yang terbaik adalah
pada media PDA dengan pH kontrol (6.8).
18
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Miselia Botryodiplodia sp. pada Media PDB
dengan Berbagai Tingkatan pH
Fungi adalah heterotrof yang mendapatkan nutrisinya melalui penyerapan
(absorption) molekul-molekul organik kecil dari medium di sekitarnya. Fungi
akan mencerna makanan diluar tubuhnya dengan cara mensekresikan enzimenzim hidrolitik yang sangat ampuh ke dalam makanan tersebut. Enzim-enzim itu
akan menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana
yang dapat diserap dan digunakan oleh fungi (Campbell et al. 2003). Menurut
Moore (1972) enzim tidak dapat aktif pada pH yang ekstrem, tetapi mereka
mempunyai tingkat pH optimum yang berbeda untuk aktivitasnya. Derajat
kemasaman (pH) optimum untuk enzim adalah kisaran pH 4-8 dan pH yang tidak
menguntungkan dapat mengubah kemampuan normal dari sel.
Seperti yang telah diketahui bahwa pH optimum untuk pertumbuhan
Botryodiplodia sp. adalah pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pertumbuhan
yang baik bagi