Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
BIOAKTIVITAS EK
EKSTRAK MAHONI DAN IDENTIFIKA
IKASI
JENIS ISOL
LAT Botryodiplodia sp. PENYEBAB
MATI
TI P
PUCUK PADA BIBIT JABON
AJI WINARA
SEK
EKOLAH PASCASARJANA
INSTI
STITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioaktivitas Ekstrak
Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada
Bibit Jabon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Aji Winara
NIM E451120071
RINGKASAN
AJI WINARA. Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat
Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon. Dibimbing oleh
ACHMAD dan SYAMSUL FALAH.
Penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)
Miq.) yang disebabkan oleh fungi Botryodiplodia sp. telah menurunkan kualitas
bibit dan merugikan para pegiat budidaya jabon. Saat ini pengendalian penyakit
mati pucuk pada bibit jabon menggunakan fungisida nabati sangat minim. Mahoni
(Swietenia macrophylla King.) merupakan salah satu potensi tumbuhan obat
Indonesia yang ketersediaannya melimpah namun potensinya sebagai fungisida
nabati belum diketahui terutama dalam mengendalikan patogenisitas isolat
Botryodiplodia sp. Penelitian ini bertujuan mengukur bioaktivitas dan efikasi
ekstrak mahoni secara in vitro dan mengidentifikasi spesies dari isolat
Botryodiplodia sp. penyebab mati pucuk pada bibit jabon. Pengukuran
bioaktivitas dan efikasi ekstrak mahoni dilakukan melalui teknik peracunan
makanan, sementara identifikasi jenis berdasarkan karakter morfologi dan
sekuensi DNA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak metanol mahoni
(daun, kulit buah, biji, kulit batang dan akar) dapat menghambat pertumbuhan
isolat Botryodiplodia sp. dengan nilai persentase penghambatan terbesar
dihasilkan oleh ekstrak biji mahoni. Uji in vitro efikasi ekstrak metanol dan air
panas biji mahoni dengan berbagai taraf konsentrasi menunjukkan bahwa nilai
penghambatan terbesar dihasilkan oleh ekstrak metanol pada taraf konsentrasi
50% dengan nilai penghambatan pertumbuhan isolat hingga 63.33%.
Penghambatan pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp. akibat ekstrak biji mahoni
disebabkan oleh adanya perubahan morfologi hifa menjadi tidak normal yaitu
berupa pengerutan dan perubahan arah pertumbuhan akibat degradasi dinding sel.
Hasil identifikasi morfologis dan molekuler menunjukkan bahwa isolat
Botryodiplodia sp. yang menyebabkan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
adalah Botryodiplodia theobromae Pat. teleomorf Botryosphaeria rhodina (Berk.
& MA. Curtis). Sedangkan secara morfologis isolat B. theobromae dicirikan
dengan konidia matang berdinding tipis, berseptat dengan ukuran 14.6 sampai
23.3 µm x 8.0 sampai 12.3 µm serta pada media kultur menghasilkan oozing
berupa cairan pekat berwarna hitam pada permukaan koloni miselium.
Pertumbuhan koloni isolat B. theobromae lebih optimum pada media kentang
sukrosa (Potatoes Sucrose Medium).
Kata kunci : bioaktivitas, Botryodiplodia theobromae, ekstrak mahoni, jabon.
SUMMARY
AJI WINARA. Bioactivities of Mahogany Extracts and Identification of
Botryodiplodia sp. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling. Supervised
ACHMAD and SYAMSUL FALAH.
by
Dieback on jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) seedling caused by
fungi Botryodiplodia sp. decreased seedling’s quality and nurseries economic
benefits. Less studies on the control of dieback pathogen on jabon seedling used
biofungicide from plant extract have been reported nowadays. Mahogany
(Swietenia macrophylla King.) is one of the promising medicinal plants in
Indonesia but its utilization as a biofungicide specially for controlling the dieback on
jabon seedling has not been reported. This research aimed to estimate the
bioactivities and efficacy of mahogany extracts and to identify the pathogen species
of Botryodiplodia sp. causing dieback on jabon seedling. The poisoned food
technique was used to estimate the bioactivities and efficacy of mahogany extract,
while morphological characteristic and molecular identifications with DNA
sequensing were used to identify the pathogen isolate.
The result showed that methanol extracts of leaves, bark, seeds, fruit shells and
root of mahogany could inhibit the growth of Botryodiplodia sp. isolate with the
highest growth inhibition was the extract of seeds. In vitro test of the efficacy of
methanolic and hot water mahogany seed extract with any concentration showed the
highest efficacy was 50% methanolic seed extract with 63.33% inhibition of the
fungal growth. Microscopical examination showed the inhibition of mycelium
growth was caused by the changes on hyphae morphology and growth direction
which were shrinking and curling due to the cell wall degradation.
Morphological and molecular identification results showed that
Botryodiplodia sp. isolate causing dieback on jabon seedling was Botryodiplodia
theobromae Pat. teleomorph Botryosphaeria rhodina (Berk. & MA. Curtis).
Morphology of B. theobromae isolate was characterized by the ripe thin-walled
conidia with septate size was rangging from 14.6 to 23.3 µm x 8.0 to 12.3 µm and
production of oozing on the culture medium which was thick black liquids on the
surface of the mycelium colonies. The growth of B. theobromae isolate was more
optimum on Potatoes Sucrose Medium.
Key words: bioactivity, Botryodiplodia theobromae, mahogany extract, jabon.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
BIOAKTIVITAS EKSTRAK MAHONI DAN IDENTIFIKASI
JENIS ISOLAT Botryodiplodia sp. PENYEBAB
MATI PUCUK PADA BIBIT JABON
AJI WINARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Abdul Munif, MScAgr
Judul Tesis : Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat
Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Nama
: Aji Winara
NIM
: E451120071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Achmad, MS
Ketua
Dr Syamsul Falah, S.Hut, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sri Wilarso B R, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014
Tanggal Lulus: 28 Agustus 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah
pengendalian penyakit tanaman, dengan judul Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan
Identifkasi Jenis Isolat Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Achmad, MS dan
Dr Syamsul Falah, SHut MSi selaku pembimbing yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan studi. Di samping itu, penulis sampaikan terima
kasih kepada Pusat Diklat Kehutanan Kementerian Kehutanan yang telah
memberikan beasiswa studi dan membantu pembiayaan kegiatan penelitian
hingga akhirnya tesis ini dapat disusun dan Kepala Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan studi S2. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala
Laboratorium Patologi Hutan, Laboratorium Kimia Kayu, Laboratorium Biorin
dan Laboratorium Pilot Plan PAU IPB serta Kepala Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor yang telah memberikan izin pada penulis untuk melaksanakan
kegiatan penelitian di lingkungan kerjanya. Terima kasih pula penulis sampaikan
kepada Ibu Ai Rosah Aisah, SHut MSi, Ibu Tutin BScF, Bu Tati BPTP, Bapak
Iwan Kustiawan, Bapak Suprihatin, Ibu Pepy, Ibu Encah, Bapak Dr. A. Fadly
Yahya, Bapak Galih Ary W Siregar, SPt, Bapak Eter Cahyadi, S.Hut dan rekanrekan mahasiswa Silvikultur Tropika angkatan 2012 serta rekan-rekan mahasiswa
S1 dan S2 yang berada dibawah lingkup Lab. Patologi Hutan serta semua pihak
yang telah membantu teknis pelaksanaan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih yang mendalam kami juga sampaikan kepada istri
tercinta yang senantiasa mendukung dan memberikan dorongan moral serta anakanakku tersayang yang sabar dalam mendampingi penulis. Rasa hormat dan
terima kasih penulis sampaikan kepada ayah dan ibu serta seluruh keluarga besar
atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Aji Winara
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia macrophylla King.)
Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.Miq)
Fungi Botryodiplodia
3
6
8
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Analisis Data
11
11
12
18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
18
23
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
29
30
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Kandungan fitokimia beberapa bagian mahoni
Sifat farmakologi beberapa bagian mahoni
Beberapa jenis Botryodiplodia dan Lasiodiplodia penyebab mati
pucuk pada tanaman berkayu
Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki sifat antifungi
B. theobromae
Skor nilai efektivitas ekstrak mahoni dalam menghambat
pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp.
4
5
9
11
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Profil mahoni (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Profil jabon (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Profil fungi Botryodiplodia sp. (sumber: Barnet & Hunter 1999)
Tahapan kegiatan penelitian
Kondisi bibit jabon pada uji virulensi patogen Botryodiplodia sp.:
a. sehat ( 4 HSI), b. layu (6 HSI) dan d. mati (10 HSI)
6 Metode pengukuran diameter radial koloni Botryodiplodia sp.
7 Pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp. pada media kultur padat (a)
dan cair (b)
8 Pengaruh ekstrak metanol beberapa bagian mahoni terhadap
penghambatan pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp. secara in vitro.
Huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai
tengah antar perlakuan berdasarkan uji duncan pada taraf nyata 0.05
9 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak biji mahoni terhadap
penghambatan pertumbuhan radial miselium isolat Botryodiplodia sp.
EMB (■ ), EAB (□ ). Huruf-huruf di atas balok data menunjukkan
pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan
pada taraf nyata 0.05
10 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak dan waktu inkubasi EMB (a) dan
EAB (b) terhadap penghambatan pertumbuhan radial miselium
Botryodiplodia sp. -♦- 5%, -■ - 10%, -▲ - 25% dan -x- 50%
11 Morfologi hifa Botryodiplodia sp. secara mikroskopis : a. normal,
b. mengerut c. perubahan arah pertumbuhan. Tanda panah
menunjukkan letak morfologi hifa yang tidak normal
12 Morfologi isolat Botryodiplodia sp. secara mikroskopis : a. hifa,
b. konidia muda c. konidia matang
3
7
9
12
13
15
19
20
21
21
22
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
Kadar air dan kadar zat ekstraktif sampel mahoni
Koloni isolat Botryodiplodia sp. pada media kultur PSA (a), PDA
(b) dan MEA (c)
Pertumbuhan koloni miselium Botryodiplodia sp. pada berbagai
40
40
4
5
6
taraf konsentrasi ekstrak biji mahoni. Huruf a sampai dengan e
menunjukkan EAB dengan taraf a. konsentrasi 0% (kontrol), b. 5%,
c. 10%, d. 25% dan e. 50%. Huruf f sampai dengan j menunjukkan
EMB dengan taraf f. konsentrasi 0% (kontrol), g. 5%, h. 10%, i.
25% dan j. 50%
Hasil sekuensi DNA isolat Botryodiplodia sp. (sbjct) dan
kedekatannya dengan data sekuens B. rhodina (query) berdasarkan
hasil output BLAST library pada GenBank. Tanda lingkaran
menunjukkan letak perbedaan sekuensi basa.
Hasil analisis sidik ragam dan uji selang berganda Duncan uji
in vitro pengaruh media kultur dan bioaktivitas ekstrak mahoni
terhadap isolat Botryodiplodia sp.
Sampel beberapa bagian mahoni
40
41
41
48
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit mati pucuk pada bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)
Miq.) telah menurunkan kualitas bibit dan merugikan para pegiat budidaya jabon.
Jabon saat ini menjadi komoditi hutan tanaman khususnya sebagai penyedia
bahan baku kayu lapis, papan partikel, papan semen, papan blok, pulp dan kertas,
kayu kontruksi ringan, bahan baku kerajinan, perahu, batang korek api, batang
sumpit dan pensil (Soerianegara & Lemmens 1993). Selain itu jabon banyak
digunakan sebagai tanaman penghijauan dan rehabilitasi lahan bekas tambang
disebabkan sifatnya yang adaptif pada berbagai kondisi tempat tumbuh.
Patogen primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon adalah fungi
Botryodiplodia sp. dengan tingkat patogenisitas yang tinggi hingga menimbulkan
kematian pada bibit (Aisah 2014). Fungi Botryodiplodia sp. tergolong kelompok
fungi anamorfik dan menjadi patogen penyakit tanaman berkayu khususnya di
daerah tropis (Ellis et al. 2007). Menurut Anggraeni dan Lelana (2011), fungi
Botryodiplodia sp. dilaporkan menjadi patogen pada beberapa tanaman kehutanan
di Indonesia antara lain menyebabkan bercak daun pada pulai (Alstonia sp.),
busuk akar pada meranti (Shorea sp.), bercak daun pada merbau (Intsia bijuga
Kuntze.), bercak daun pada bakau (Rhizophora mucronata Lamk.), bledok pada
nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), penyakit batang pada gaharu
(Aquilaria malaccensis Lamk.) dan bercak daun pada skubung (Macaranga
gigantea Muell.).
Kegiatan pengendalian penyakit mati pucuk pada bibit jabon hingga saat ini
masih menggunakan fungisida sintetik. Adapun pemanfaatan fungisida nabati
dalam pengendalian penyakit mati pucuk belum dilakukan disebabkan kurangnya
informasi tentang potensi fungisida nabati, padahal potensi tumbuhan obat di
Indonesia sangat tinggi yang kemungkinan berpotensi pula sebagai bahan baku
fungisida nabati, salah satunya adalah mahoni (Swietenia macrophylla King.).
Beberapa bagian mahoni telah diketahui secara ilmiah memiliki sifat farmakologi
sebagai obat untuk penyakit pada manusia seperti bersifat antifungi, antibakteri,
antivirus, antitumor, antikanker, antidiabetes, antioksidan, antimutagenik,
antihepatitis C dan anti inflammatori (Moghadamtousi et al. 2013; Eid et al. 2013).
Adapun bagian mahoni yang telah diketahui bersifat antifungi khususnya terhadap
fungi patogen penyakit pada manusia antara lain daun (Tan et al. 2009), kulit
batang (Dewanjee et al. 2007) dan biji (Maiti et al. 2007a). Sementara itu
pemanfaatan mahoni sebagai fungisida nabati belum banyak diketahui terutama
potensinya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
Perumusan Masalah
Serangan patogen pada bibit jabon di persemaian daerah Bogor
menimbulkan kerusakan kualitas hingga kematian bibit. Menurut Aisah (2014),
kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon di Bogor mencapai 15%.
Sedangkan berdasarkan uji postulat Koch, gejala awal yang muncul pada bibit
2
jabon yang terkena mati pucuk Botryodiplodia adalah berupa nekrotik pada
batang yang bergerak secara vertikal menuju daun kemudian pucuk,
mengakibatkan batang membusuk, daun menguning dan pucuk mati.
Adanya fakta lapangan mengenai serangan penyakit mati pucuk pada bibit
jabon mengharuskan adanya upaya pengendalian penyakit tersebut agar tidak
menjadi penyakit yang bersifat epidemik. Penggunaan fungisida sintetik kerap
digunakan sebagai pengendalian penyakit pada persemaian tanaman kehutanan
secara umum (Darmawan & Anggraeni 2012) termasuk dalam kegiatan
pengendalian penyakit jabon pada skala persemaian, padahal Indonesia memiliki
potensi tanaman obat yang tinggi
sebagai tanaman antimikroba yang
kemungkinan dapat pula diaplikasikan dalam pengendalian penyakit pada
tanaman. Mahoni
merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang
ketersediaannya melimpah sebagai penghasil kayu pertukangan dan berkhasiat
pula sebagai tumbuhan obat. Namun kajian mengenai pemanfaatan mahoni
sebagai fungisida nabati belum banyak dilaporkan hingga saat ini terutama
potensinya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
1. Menguji bioaktivitas dan efikasi ekstrak mahoni (EM) terhadap isolat
Botryodiplodia sp. penyebab mati pucuk pada bibit jabon secara in vitro.
2. Mengidentifikasi jenis fungi Botryodiplodia sp. secara morfologis dan
molekuler.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini antara lain :
1. Ekstrak mahoni
efektif dalam menghambat pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. secara in vitro.
2. Jenis fungi Botryodiplodia sp. penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon
adalah Botryodiplodia theobromae Pat.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang
budidaya tanaman hutan dan penyakit tanaman hutan.
2. Memberikan informasi bagi penggiat persemaian tanaman kehutanan tentang
penyakit mati pucuk pada jabon dan upaya pengendaliannya dengan
menggunakan EM.
3. Menambah informasi mengenai potensi EM sebagai bahan fungisida nabati
untuk mengendalikan fungi Botryodiplodia sp.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia macrophylla King.)
Taksonomi dan Botani
Taksonomi mahoni (Swietenia macrophylla King.) adalah sebagai berikut
(Soerianegara & Lemmens 1993) :
Nama botani : Swietenia macrophylla King.
Famili
: Meliaceae
Subfamili
: Swietenoideae
Sinonim
: Swietenia beliensis Lundell, Swietenia candollei Pittier,
Swietenia krukovii Gleason, Swietenia macrophylla King
var. marabaensis Ledoux et. Lobato, Swietenia
tessmannii Harms.
Nama dagang : Mahoni (Indonesia), Big Leaf Mahogany (Inggris).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Keterangan gambar :
Pohon
Bunga dan daun
Bagian bunga jantan
Bagian bunga betina
Buah
Biji
Gambar 1 Profil mahoni (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Mahoni merupakan tumbuhan asli dari wilayah Amerika Tengah dan
Amerika Selatan, yang secara alami tumbuh menyebar dari wilayah Meksiko
hingga Bolivia. Mahoni pada habitat aslinya banyak dieksploitasi hingga
dimasukkan ke dalam daftar indeks II CITES, namun di Asia Pasifik termasuk di
Indonesia, mahoni banyak dibudidayakan sebagai komoditi hutan tanaman dan
hutan rakyat khususnya di Pulau Jawa (Krisnawati et al. 2011b).
Secara morfologi mahoni tergolong pohon dengan tinggi total (Tt) mencapai
> 30 m dan diameter setinggi dada (dbh) mencapai > 1.5 m. Batang lurus, silindris
dan sedikit beralur, berwarna abu-abu kecoklatan dan batang tua mengelupas
berbentuk sisik dengan kulit bagian dalam berwarna merah kecoklatan. Tajuk
berbentuk payung dan rimbun. Daun majemuk dengan panjang 12 sampai 45 cm,
anak daun berjumlah 3 sampai 6 helai, berbentuk lanset atau oval lanset berukuran
panjang 5 sampai 12 cm dan lebar 2 sampai 5 cm dengan kedudukan berhadapan
dan urat anak daun asimetris. Bunga berkelamin tunggal dengan panjang 0.5
4
sampai 1.0 cm, berjumlah banyak. Buah berbentuk kapsul bulat hingga lonjong,
berwarna abu-abu hingga coklat kemerahan, panjang 11.6 sampai 38.7 cm dan
diameter 6.7 sampai 12.0 cm, memiliki 4 sampai 5 katup kulit buah (Soerianegara
& Lemmens 1993).
Kandungan Fitokimia
Kandungan fitokimia mahoni banyak diungkap melalui penelitian baik
secara kualitatif maupun kuantitatif hingga kandungan senyawa bioaktif. Secara
kualitatif mahoni mengandung senyawa metabolit sekunder antara lain alkaloid,
flavanoid, saponin, tanin, antrakuinon dan terpenoid (Tabel 1), sedangkan
komponen utama hampir semua bagian adalah limonoid yang merupakan derivasi
dari Tetracyclic triterpenes mirip dengan euphol (H-20β) atau tirucallol (H-20α)
(Moghadamtousi et al. 2013).
Tabel 1 Kandungan fitokimia beberapa bagian mahoni
Komponen Utama
Sumber Pustaka
Bagian
Metabolit Sekunder
Tumbuhan
Daun
Alkaloid, Flavonoid,
Tan et al. (2009);
Saponin, Tanin, Terpenoid,
Ayyappadhas et al. (2012);
Antrakuinon
Moghadamtousi et al. (2013)
Kulit batang
Alkaloid, Flavonoid,
Saponin, Tanin, Terpenoid
Falah et al .(2008);
Falah et al. (2010)
Biji
Terpenoid, Steroid,
Flavonoid, Alkaloid dan
Saponin
Chen et al. (2010);
Suliman et al. (2013);
Moghadamtousi et al. (2013)
Manfaat dan Kegunaan
Mahoni telah lama dimanfaatkan sebagai sebagai sumber bahan baku kayu
pertukangan dan tergolong kelas kualitas tinggi karena kekuatan kayunya dan
keindahan motif coraknya. Kayu mahoni biasa digunakan sebagai bahan baku
plywood, pembuatan pintu rumah, kusen, lantai, alat musik hingga bodi kendaraan
dan ornamen lainnya (Krisnawati et al. 2011b), sedangkan bagian akar sering
dimanfaatkan untuk membuat meja dan bangku unik. Selain itu pohon mahoni
sering digunakan untuk kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan. Beberapa bagian
mahoni memiliki manfaat sebagai obat tradisional seperti biji mahoni bermanfaat
sebagai obat malaria di Indonesia dan Bolivia (Munoz et al. 2000; Murnigsih
et al. 2005) serta obat demam dan sakit gigi bagi suku Maya di Meksiko
(Kashnapiour & McGee 2004).
Sifat Farmakologi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mahoni memiliki aktivitas
farmakologi (Tabel 2) sebagai antioksidan, antidiabetes, antimalaria, antianemia,
antikanker, antihepatits, antidiarhoe, antiimflammantori, dan antivirus, antibakteri,
antiprotozoa dan antifungi (Moghadamtousi et al. 2013; Eid et al. 2013).
5
Tabel 2 Sifat farmakologi beberapa bagian mahoni
Bagian
Tumbuhan
Aktivitas Farmakologi
Sumber Pustaka
Batang
Antivirus hepatitis C
Wu et al. (2012)
Biji
Antimalaria
Murnigsih et al. (2005)
Antibabesia
Murnigsih et al. (2005)
Antibakteri : Staphylococcus aureus, Maiti et al. (2007a); Nour
Staphylococcus typhimurium,
et al .(2012); Suliman et al.
Pseudomonas aeruginosa,
(2013).
Klebsiella penumoniae, Salmonella
typhimurium, Micrococcus luteus,
dan Escherichia coli
Antifungi : Candida albicans, Maiti et al. (2007a)
Aspergillus niger, Aspergillus flavus
dan Criptococus albidus
Daun
Kulit
Batang
Antiinflammatori
Guevera et al. (1996);
Chen et al. (2010)
Antikanker
Goh dan Kadir (2011)
Antidiarhoe
Maiti et al. (2007b)
Antitumor, antimutagenik
Guevera et al. (1996)
Antioksidan
Antibakteri (S. aureus, Bacillus
subtilis, E.coli, P. aeruginosa,)
Antifungi (C. albican, A. flavus, A.
niger, Trichophyton mentagrophyte)
Antioksidan
Tan et al. (2009);
Tan et al. (2009);
Ayyappadhas et al. (2012)
Tan et al. (2009);
Ayyappadhas et al. (2012)
Falah et al. (2008)
Antidiabetes
Falah et al. (2010)
Antimalaria
Munoz et al. (2000)
Antibakteri (S. aureus, Sarcina
Dewanjee et al. (2007)
luteus, Bacillus pumilus, B. subtilis,
P. aeruginosa, E. coli, Shigella
dysenteriae, Shigella soneii, Shigella
flexneri, Shigella boydii dan Vibrio
colerae) dan Antifungi (C. albicans,
A. niger, Penicillium notatum dan
Penicillium funiculosum)
Mantel biji
Mantel
buah
Antibakteri (S. aureus dan E.coli)
Antibakteri (S. aureus dan E.coli)
Nour et al. (2012)
Nour et al. (2011)
6
Ekstrak daun mahoni telah diketahui bersifat antihama tanaman seperti
bersifat racun bagi Hypsiphyla grandella (Flores et al. 2012) dan Varoa
destructor (ElZalabani et al. 2012). Demikian pula kulit buah mahoni bersifat
racun perut bagi beberapa jenis Eurema spp. (Darwiati 2012), Spodoptera
frugiferda, Acalymna vittarum dan Artemia salina (Mikolajczak & Reed 1987;
Mootoo et al. 1999). Namun sifat ekstrak mahoni sebagai antifungi patogen
tumbuhan belum diketahui kecuali sifat antifungi senyawa limonoid dari jenis
mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni (L) Jacq.) yaitu 6-acetylswietenine dan 6acetyl-3-tygloylswietonolide efektif dalam menghambat fungi patogen pada
kacang tanah jenis Puccinia arachidis (Govindachari et al. 1999).
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
Taksonomi dan Botani
Secara taksonomi jabon dapat dideskripsikan sebagai berikut (Soerianegara
& Lemmens 1993) :
Nama botani : Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq
Famili
: Rubiaceae
Submarga
: Cinehonoideae
Sinonim
: Anthocephalus chinensis (Lamk.) A Rich. Ex. Walp.,
Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea
cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.)
Bosser, Sarcocephalus cadamba (Roxb.) Kurz.,
Anthocephalus indicus A. Rich.,
Anthocephalus
morindaefolius.
Nama daerah : Jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa);
galupai, harapean, johan, alampain, kelampai, kelempi
(Sumatera); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak,
tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua,
suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi);
gumpayan, kelapan, mugawe, sencari(Nusa Tenggara);
aparabire, masarambi (Papua). (Martawijaya et al. 1989).
Jabon termasuk jenis pohon berukuran besar dengan batang lurus dan
silindris serta memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan
yang khas mendatar. Tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan diameter batang
100 sampai 160 cm dan kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Kulit
pohon muda berwarna abu-abu dan mulus, sedangkan kulit pohon tua kasar dan
sedikit beralur. Daun menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap,
berpasangan dan berbentuk oval-lonjong (berukuran 15 sampai 50 cm x 8 sampai
25 cm). Daun pada pohon muda yang umumnya lebih lebar, dengan posisi lebih
rendah di bagian pangkal dan meruncing di bagian puncak. Bunga terdiri dari
kepala-kepala terminal bulat tanpa brakteol, bertangkai harum, berwarna oranye
atau kuning. Bunga biseksual, terdiri dari lima bagian, kelopak bunga berbentuk
corong. Mahkota bunga gamopetal berbentuk seperti cawan. Benang sari ada lima,
melekat pada tabung mahkota dengan filamen pendek. Buah majemuk berbentuk
7
bulat dan lunak, dengan bagian atas terdiri dari empat struktur berongga atau
padat. Buah jabon mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging
yang berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi
sekitar 8000 biji. Biji kadang berbentuk trigonal atau tidak teratur dan tidak
bersayap (Soerianegara & Lemmens 1993).
Keterangan gambar :
1. Pohon
2. Daun dan buah
3. Bunga
4. Infructescense
Gambar 2 Profil jabon (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Jabon tersebar secara alami pada beberapa wilayah antara lain Australia,
China, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura dan Vietnam
dengan habitat berupa lahan basah baik permanen maupun musiman dan dapat
tumbuh baik pula pada hutan sekunder sekitar pinggiran sungai (Orwa et al. 2009).
Jabon di Indonesia saat ini memiliki prospek tinggi sebagai komoditi hutan
tanaman industri dan tanaman penghijauan karena pertumbuhannya yang cepat,
mampu beradaptasi pada beberapa kondisi tempat tumbuh yang marjinal dan
perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah (Krisnawati et al. 2011a).
Manfaat dan Kegunaan
Pemanfaatan jabon secara besar-besaran sebagai tanaman budidaya di
Indonesia dilakukan sejak tahun 1930-an dan hingga saat ini telah menjadi
komoditi hutan rakyat dari Sumatera hingga Papua. Jabon memiliki beberapa
manfaat antara lain kayu digunakan sebagai bahan baku kayu lapis, konstruksi
ringan, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api,
sumpit dan pensil (Soerianegara & Lemmens 1993). Selain kayu jabon dapat
digunakan sebagai bahan baku perahu, bahan papan partikel, papan semen dan
papan blok serta sering digunakan sebagai peneduh dan hiasan di tepi jalan di
perkampungan-perkampungan ( Kisnawati at al. 2011a). Jabon bermanfaat pula
sebagai obat dan hasil uji farmakologi bersifat sebagai antioksidan dan
antimikroba (Umachigi et al. 2007).
Secara ekonomi bertanam jabon sangat prospektif disebabkan
pertumbuhannya yang cepat. Menurut Krisnawati et al. (2011a), riap pertumbuhan
diameter dan tinggi rata-rata pohon jabon secara berturut-turut ialah
1.2 sampai 11.6 cm tahun-1 dan 0.8 sampai 7.9 m tahun-1 (untuk jabon berumur 5
tahun di Jawa). Meskipun pengembangan hutan tanaman industri jabon belum
8
massif sebagaimana komoditi kayu hutan tanaman industri lainnya, namun
pengembangan hutan rakyat jabon khususnya di Jawa sangat massif.
Permasalahan Penyakit Jabon
Salah satu tantangan dalam pengembangan hutan jabon adalah gangguan
hama dan penyakit. Serangan penyakit pada jabon dewasa tidak banyak
dilaporkan melainkan hanya satu jenis yaitu serangan Gloeosporium anthocephali
yang menyebabkan defoliasi pada sebagian atau seluruh daun (Soerianegara &
Lemmens 1993). Sementara itu serangan penyakit pada tingkat bibit telah
dilaporkan oleh Herliyana et al. (2012) dan Aisah (2014) yaitu fungi
Botryodiplodia sp. yang menyebabkan mati pucuk, fungi Rhizoctonia sp. yang
menyebabkan penyakit bercak daun dan fungi Fusarium sp. yang menyebabkan
penyakit hawar daun serta menurut Anggraeni dan Lelana (2011) yang
melaporkan adanya serangan bercak daun pada bibit jabon disebabkan oleh fungi
Colletotrichum sp.
Menurut Aisah (2014), penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang
disebabkan oleh fungi Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan kematian bibit
hingga 15% khususnya ditemukan pada persemaian di daerah Bogor. Gejala mati
pucuk pada bibit jabon diawali dengan nekrosis pada batang hingga pucuk dan
batang mengering hingga tidak mampu menopang daun. Gejala mati pucuk pada
bibit jabon ditemukan pada bibit jabon dengan rentang umur 2 sampai 6 bulan.
Fungi Botryodiplodia
Taksonomi dan Morfologi
Taksonomi fungi Botryodiplodia (Alexopoulos et al. 1960) adalah sebagai
berikut:
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Spesies
: Botryodiplodia sp.
Fungi Botryodiplodia (sinonim Lasiodiplodia) merupakan fungi yang
bereproduksi secara aseksual (anamorph). Fungi Botryodiplodia memiliki fase
seksual atau telemorf yang bergantung pada spesiesnya, seperti fase telemorf jenis
B. theobromae adalah fungi Botryosphaeria rhodina. Jenis Botryodiplodia cukup
banyak namun secara taksonomi morfologis cukup membingungkan (Burgess et
al. 2006). Berdasarkan penelusuran melalui MycoBank (www.mycobank.org),
jumlah jenis Botryodiplodia sebanyak 224 jenis sejak tahun 1884 sedangkan
Lasiodiplodia terdata berjumlah 30 jenis.
9
2
3
1
4
Keterangan gambar :
1. Piknidia
2. Konidiofor
3. Konidia muda
4. Konidia matang.
Gambar 3 Profil fungi Botryodiplodia sp. (sumber : Barnet & Hunter 1999)
Fungi Botryodiplodia secara morfologi dicirikan dengan konidia yang khas
dan pertumbuhannya yang cepat pada media agar. Jenis B. theobromae
merupakan jenis dominan dari genus Botryodiplodia yang menjadi patogen pada
beberapa tanaman berkayu khususnya dominan di daerah tropis (Punithalingham
1980 dalam Burgess et al. 2006). Menurut Gandjar et al. (1999), koloni
B. theobromae pada media OA (Oatmeal Agar) dan PDA (Potatoes Dextrose
Agar) membentuk miselia aerial yang lebat dan berwarna coklat tua dengan
piknidia muncul berupa klaster dalam stromata, berbentuk bulat dengan leher
panjang dan berwarna gelap hitam kehijauan, sedangkan fialid berbentuk silindris
dan berukuran 5 sampai 12 µm x 2 sampai 4 µm serta konidia bersel dua bila tua,
berukuran 22 sampai 28 µm x 12 sampai 15 µm, berbentuk elips, berwarna coklat
tua dan memiliki garis-garis longitudinal. Pematangan konidia B. theobromae
berjalan lambat.
Inang dan Patogenesitas
Fungi Botryodiplodia menjadi patogen pada beberapa tanaman di dunia
dengan kisaran inang yang luas. Jenis Botryodiplodia yang paling banyak
memiliki inang ialah B. theobromae atau Lasiodiplodia theobromae dengan
kisaran inang mencapai 500 tanaman (Ellis et al. 2007). Beberapa jenis
Botryodiplodia atau Lasiodiplodia dilaporkan menjadi patogen mati pucuk pada
beberapa tanaman berkayu (Tabel 3).
Tabel 3 Beberapa jenis Botryodiplodia dan Lasiodiplodia penyebab mati pucuk
pada tanaman berkayu
No.
Jenis Patogen
Jenis Inang
Sumber Pustaka
1.
B. theobromae
Sengon (Albizia
Sharma dan Shankaran
falcataria)
(1988)
2.
B. theobromae
Kakao (Theobroma
Semangun (2000); Mbenon
cacao)
et al. (2008); Kannan et al.
(2010)
3.
B. theobromae
Jeruk (Citrus spp.)
Alam et al. (2001);
Salamiah et al. (2008)
4.
B. theobromae
Annona squamosa dan
Haggag dan Nofal (2006)
Annona cherimola
5.
B. theobromae
Pear (Prunus spp.)
Shah et al. (2010)
10
No.
6.
7.
Jenis Patogen
Botryodiplodia sp.
L. theobromae
8.
9.
L. theobromae
L. theobromae
10.
L. theobromae
11.
12.
L. theobromae
L. theobromae
13.
L. theobromae
14.
Lasiodiplodia
pseudotheobromae
Lasiodiplodia
egyptiacae
15.
Jenis Inang
Jabon (A. cadamba)
Pinus taeda L, pinus
elliotii Elngm
Aprikot Jepang, Persik
Mangga (Mangifera
indica L)
Gravepine (Vitis vinifera
L)
Syzygium cordatum
Grivellea robusta
Cunn.ex.R.Br
Sawo Mamey (Pouteria
sapota)
Mangga (M. indica L)
Sumber Pustaka
Herliyana et al. 2012
Cillier et al. (1993)
Li et al. (1995)
Khanzada et al. (2004);
Ismail et al. (2012)
Torres et al. (2008);
Al-Saadon et al.(2012)
Pavlic et al. (2007)
Njuguna (2011)
Mangga (M. indica L)
Ismail et al. (2012)
Pedraza et al. (2013)
Ismail et al. (2012)
Selain itu, fungi Botryodiplodia dilaporkan menjadi penyebab penyakit
hawar daun, bercak daun, gummosis, kanker batang dan busuk akar pada beberapa
tanaman baik kehutanan, pertanian maupun perkebunan. Serangan Botryodiplodia
sp. pada beberapa tanaman kehutanan di Indonesia menyebabkan beberapa
penyakit antara lain lodoh pada Pinus merkusii dan busuk pangkal batang pada
bibit mahoni (Suharti 1973 dalam Hadi 1994), bercak daun pada pulai, busuk akar
pada meranti, bercak daun pada merbau, bercak daun pada bakau, bledok pada
nyamplung, penyakit batang pada gaharu dan bercak daun pada skubung
(Anggraeni & Lelana 2011). Sementara itu di India, jenis B. theobromae pernah
menyebabkan penyakit kanker dan mati pucuk pada Albizia falcataria secara
massif (Sharma & Shankaran 1988).
Sementara itu Damm et al. (2007) mengisolasi beberapa jenis Lasiodiplodia
yang menjadi patogen potensial bagi tanaman Prunus di Afrika antara lain
Lasiodiplodia plurivora, L. theobromae, L. crassispora, L. venezuelensis,
L. rumbropurpurea dan L. gonublensis. Demikian pula Begoude et al. (2010)
mengisolasi beberapa jenis Lasiodiplodia yang berasosiasi dengan ketapang
(Terminalia catappa) di Afrika Selatan dan Madagaskar yaitu jenis
L. pseudotheobromae, L. mahajangana sp nov. L. pseudotheobromae dan
L. theobromae.
Sifat Antifungi Ekstrak Tanaman terhadap Fungi Botryodiplodia
Pestisida kimiawi digunakan oleh sebagian besar para petani dan penggiat
persemaian untuk mengendalikan serangan patogen pada tanaman budidaya
sehingga hasil pertanian meningkat dan stabilitas ketersediaan produksi dan
kualitasnya tetap terjaga, namun peningkatan penggunaan pestisida kimiawi
secara eksponensial menghasilkan strain patogen yang toleran pestisida dan
akumulasi residu di atas ambang batas (Noveriza & miftakhurohmah 2010).
Beberapa jenis tumbuhan telah diteliti memiliki kemampuan untuk
mengendalikan fungi B. theobromae (Tabel 4).
11
Tabel 4 Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki sifat antifungi B. theobromae
No. Jenis Tumbuhan
Bagian Pelarut
Konsentrasi
Efektif
Sumber
Pustaka
1.
Jambu Mete
(Annacardium
occidentales L)
Daun
Air dingin
10% (v/v)
Agbeniyi
dan Ayodele
(2013)
2.
Bawang Putih
(Allium sativum
L)
Umbi
Air dingin,
ethanol
10% (v/v)
Aunokworji
et al. (2012)
Daun
Air dingin
25% (v/v)
Sangeetha et
al. (2013)
3.
Lidah Buaya
(Aloe vera)
Daun
Air dingin
100% (v/v)
Ukoima et
al. (2013)
4.
Mimba
(Azadirachta
indica)
Daun
Air dingin,
ethanol
10% (v/v)
Aunokworji
et al. (2012)
5.
Kemangi Hutan
(Ocimum
gratissimum L).
Daun
Air dingin
10% (v/v)
Agbeniyi
dan Ayodele
(2013)
6.
Mangrove
(R. racemosa)
Kulit
Kayu
Air dingin
100% (v/v)
Ukoima et
al. (2013)
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan mulai bulan Desember 2013 sampai
dengan Juli 2014. Lokasi penelitian antara lain Laboratorium Patologi Hutan dan
Lab. Kimia Kayu Fahutan IPB, Lab. Biorin dan Pilot Plan PAU IPB dan Lab.
Penyakit Benih, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan antara lain isolat Botryodiplodia sp., bibit
jabon berumur 4 bulan, PDA (39 g serbuk PDA dan 1000 ml aquades), PSA
(Potatoes Sucrose Agar ; 200 g ekstrak kentang, 20 g sukrosa, 20 g agar dan 1000
ml aquades), MEA (Malt Extract Agar ; 20 g malt ekstrak, 20 g agar dan 1000 ml
aquades), PDB (Potatoes Dextrose Broth ; 200 g ekstrak kentang, 20 g dektrosa
dan 1000 ml aquades), PSB (Potatoes Sucrose Broth ; 200 g ekstrak kentang, 20 g
sukrosa dan 1000 ml aquades ) dan MEB (Malt Extract Broth ; 20 g malt ekstrak
dan 1000 ml aquades), antibiotik kloramfenikol, simplisia mahoni (daun, biji, kulit
12
buah, kulit batang dan akar), metanol, aquades steril, bahan-bahan untuk ekstraksi
DNA dan bahan-bahan laboratorium umum lainnya. Sedangkan alat yang
digunakan antara lain laminar air flow, autoclave, oven, mikroskop cahaya, alat
ekstraksi DNA, elektroforesis, mesin PCR dan mesin sekuensi, vacuum pan
evaporator, rotary vacuum evaporator, water bath, cawan petri diameter 9 cm,
tabung erlenmeyer dan beberapa peralatan laboratorium lainnya.
Metode
Penelitian ini terdiri atas 6 kegiatan, yaitu: (1) studi pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. pada media kultur dan uji virulensinya pada bibit jabon,
(2) pengumpulan sampel beberapa bagian mahoni di Hutan Penelitian
Cigeurendeng Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis, (3) proses
ekstraksi sampel mahoni, (4) uji bioaktivitas EM terhadap pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. secara in vitro, (5) uji efikasi EM terhadap pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. secara in vitro, dan (6) identifikasi morfologis dan molekuler
isolat Botryodiplodia sp. (Gambar 4).
Penyiapan simplisia mahoni
Penyiapan isolat patogen
Proses ekstraksi
sampel
Uji virulensi
Penyiapan stok
ekstrak
Uji pertumbuhan isolat pada
media kultur
Identifikasi Jenis
Morfologi
s
Molekuler
Uji bioaktivitas ekstrak mahoni secara in vitro
Uji efikasi ekstrak mahoni secara in vitro
Gambar 4 Tahapan kegiatan penelitian
Penyiapan Patogen dan Uji Virulensi
Isolat Botryodiplodia sp. patogen mati pucuk pada bibit jabon diperoleh dari
Laboratorium Patologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB dengan kode isolat
Botryodiplodia sp. JPPon. Perbanyakan isolat dilakukan pada media selektif PDA
dan PSA (mengandung antibiotik kloramfenikol 250 mg l-1).
Sebelum isolat Botryodiplodia sp. digunakan pada uji bioaktivitas ekstrak
mahoni, dilakukan terlebih dahulu uji virulensi patogen pada bibit jabon berumur
4 bulan dengan metode inokulasi blok agar tempel mengacu pada Michailides
(1991). Hasil uji virulensi patogen menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia sp.
menyebabkan gejala mati pucuk hingga kematian bibit setelah 10 hari sejak
13
inokulasi (HSI) yang menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia sp. masih
memiliki virulensi yang tinggi (Gambar 5).
a
b
c
Gambar 5 Kondisi bibit jabon pada uji virulensi patogen Botryodiplodia sp.
a. sehat ( 4 HSI), b. layu (6 HSI) dan d. mati (10 HSI)
Penyiapan Ekstrak Mahoni
Sampel mahoni sebagai bahan baku EM diperoleh dari Hutan Penelitian
Cigeurendeng Balai Penelitian Teknologi Agroforestry di Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. Bagian mahoni yang digunakan antara lain daun, kulit batang, akar
dan beberapa bagian buah yaitu kulit buah dan biji. Semua bagian simplisia
mahoni diperoleh dari mahoni dengan diamater pohon di atas 30 cm.
Pembuatan EM dilakukan menggunakan dua pelarut yaitu air panas dan
metanol mengacu pada Maiti et al. (2007a) dan Falah et al. (2010). Sebelum
proses ekstraksi dilakukan, sampel mahoni dikeringudarakan terlebih dahulu
selama satu bulan, kemudian dijadikan serbuk dengan ukuran 40 sampai 60 mesh
menggunakan alat Willey Mill untuk membantu optimalisasi proses ekstraksi.
Kadar air sampel mahoni yang telah dijadikan serbuk diukur sebelum proses
ekstraksi dilakukan.
a. Kadar Air Sampel Mahoni
Penetapan kadar air sampel mahoni dilakukan dengan cara mengeringkan
cawan porselin pada suhu 102 ± 3 ºC selama 30 menit, kemudian ditimbang
setelah sebelumnya didinginkan pada desikator. Serbuk sampel masing-masing
sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin kemudian dikeringkan
dalam oven selama 3 jam pada suhu 102 ± 3 ºC, didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Prosedur ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang
tetap.
Kadar air %
BKU BKT
x 100%
BKT
Keterangan :
BKU
= Bobot serbuk kering udara (g)
BKT
= Bobot serbuk kering oven (g)
b. Ekstraksi Sampel Mahoni
Proses ekstraksi dilakukan dengan teknik maserasi menggunakan dua
pelarut yaitu metanol dan air panas. Proses ekstraksi metanol dilakukan dengan
14
cara sebanyak 400 sampai 500 g serbuk sampel mahoni direndam dalam larutan
metanol dengan perbandingan 1:3 (v/v) selama 3x24 jam sehingga diperoleh
ekstrak metanol. Selama proses perendaman dilakukan pengadukan menggunakan
pengaduk kaca. Pemisahan cairan ekstrak dari residu dilakukan dengan bantuan
kertas saring. Ekstrak metanol tersebut kemudian dipekatkan dengan rotary
vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak pekat, kemudian dikeringkan dengan
oven pada suhu 40 ºC. Sementara itu proses ekstraksi air panas sampel mahoni
dilakukan dengan cara sebanyak 500 g sampel mahoni dilarutkan dengan aquades
pada perbandingan 1:3 (v/v), kemudian dipanaskan menggunakan alat waterbath
dengan suhu 100 ºC selama 4 jam. Cairan esktrak disaring dengan kain empat
lapis, kemudian cairan ekstrak yang diperoleh dijadikan serbuk dengan alat
vacuum pan evaporator pada suhu 60 ºC.
c. Kadar Zat Ekstraktif
Penghitungan kadar zat ekstraktif setiap sampel mahoni dilakukan terhadap
hasil ekstrak mahoni dengan pelarut air panas dan pelarut metanol.
Kadar Zat Ekstraktif % =
BKE
x 100%
BKS
Keterangan :
BKE
= Bobot kering tanur zat ekstraktif (g)
BKS
= Bobot kering tanur serbuk sampel (g)
d. Penyiapan Stok Ekstrak
Stok EM yang akan digunakan dalam setiap pengujian dibuat dengan cara
sebanyak 5000 mg EM dilarutkan hingga homogen dengan 100 ml aquades steril
panas. Khusus untuk ekstrak metanol mahoni disterilisasi dengan menambahkan
sebanyak 5 ml metanol terlebih dahulu sebelum ditambahkan aquades, sedangkan
sterilisasi EM yang dihasilkan dari pelarut air panas dilakukan pada autoclave
dengan suhu 121 ºC tekanan 1 atm selama 15 menit mengacu pada Achmad dan
Suryana (2009).
Pertumbuhan Isolat pada Media Kultur
Uji pengaruh media kultur terhadap pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp.
dilakukan pada media kultur padat dan cair selektif antara lain PDA, PSA, MEA,
PDB, PSB dan MEB mengacu pada Alam et al. (2001) dan Markson et al. (2012).
Rancangan penelitian yang digunakan ialah rancangan acak lengkap (RAL) dengan
tiga perlakuan dan tiga ulangan untuk media padat, serta tiga perlakuan dan lima
ulangan untuk media cair. Parameter uji yang diukur antara lain diameter koloni
miselium pada media padat dan bobot kering biomassa miselium pada media cair.
Proses uji dilakukan dengan cara menanam inokulum Botryodiplodia sp.
berumur 7 hari (diameter 6 mm) pada cawan petri berdiameter 9 cm (media kultur
padat) dan botol selai yang berisi media kultur selektif (media kultur cair).
Pengamatan pertumbuhan diameter radial miselium dilakukan selama masa inkubasi
hingga salah satu media kultur padat dipenuhi oleh koloni miselium patogen
(Gambar 6).
15
d1
d2 1
Keterangan Gambar :
d1 = Diameter koloni 1
d2 = Diameter koloni 2
2
Gambar 6 Metode pengukuran diameter radial koloni Botryodiplodia sp.
Selanjutnya diamater radial koloni dihitung dengan menggunakan rumus :
Diamater Koloni =
d1 + d2
2
Sedangkan proses inkubasi isolat pada media kultur cair dilakukan selama
10 hari. Pengukuran bobot biomassa miselium dilakukan setelah masa inkubasi
selesai dengan cara menyaring miselium dengan kertas saring dan miselium yang
tersaring dioven pada suhu 60 ºC selama 24 jam. Bobot kering biomassa miselium
dihitung dengan cara mengurangi bobot kering biomassa miselium pada kertas
saring setelah dioven dengan bobot kering kertas saring setelah dioven.
Bioaktivitas Ekstrak Mahoni
Uji bioaktivitas EM terhadap isolat Botryodiplodia sp. dilakukan secara
in vitro pada media kultur padat selektif PSA sesuai rekomendasi uji pertumbuhan
isolat pada media kultur. Metode uji yang digunakan adalah teknik peracunan
makanan mengacu pada Achmad dan Suryana (2009). Rancangan penelitian yang
digunakan ialah RAL dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang
diberikan antara lain kontrol, ekstrak metanol daun, kulit batang, kulit buah, biji
dan akar mahoni pada taraf konsentrasi 16.67 % (v/v).
Uji in vitro dilakukan pada cawan petri berdiameter 9 cm yang berisi media
kultur PSA selektif dengan cara sebanyak 2 ml ekstrak mahoni ditambahkan pada
10 ml media kultur, kemudian dihomogenkan dengan cara penggoyangan manual
dan dibiarkan memadat. Isolat Botryodiplodia sp. berdiameter 6 mm diletakkan di
tengah media kultur, kemudian dilakukan proses inkubasi pada suhu ruang hingga
koloni miselium pada perlakuan kontrol memenuhi cawan petri dan dilakukan
proses pengukuran diameter koloni. Sementara itu penghitungan nilai
penghambatan ekstrak mahoni terhadap pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp.
mengacu pada Dubey et al. (2009).
P (%) =
C T
× 100%
C
Keterangan :
P = Penghambatan pertumbuhan (%)
C = Diamater radial koloni kontrol (mm)
P = Diameter radial koloni perlakuan (mm)
16
Efikasi Ekstrak Mahoni
Uji efikasi ekstrak mahoni terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp.
dilakukan secara in vitro dengan metode peracunan makanan. Rancangan
penelitian yang digunakan ialah RAL pengamatan berulang dengan sepuluh
perlakuan ekstrak mahoni dan tiga kali ulangan. Ekstrak mahoni yang dijadikan
sebagai perlakuan adalah ekstrak mahoni yang memberikan penghambatan terbaik
pada perlakuan uji bioaktivitas EM sebelumnya serta EM dengan pelarut air panas
untuk sampel mahoni yang sama. Perlakuan yang diberikan berupa konsentrasi
ekstrak air panas dan metanol mahoni pada taraf 0%, 5%, 10%, 25% dan 50%
mengacu pada Sangeetha et al (2013). Penyiapan konsentrasi ekstrak dilakukan
dengan cara mencampur EM dengan media kultur PSA steril (v/v) sesuai
konsentrasi yaitu sebanyak 0.0 ml, 0.5 ml, 1.0 ml, 2.5 ml dan 5.0 ml EM
dicampurkan dengan 10.0 ml, 9.5 ml, 9.0 ml, 7.5 ml, dan 5.0 ml PSA untuk
menghasilkan media padat nutrisi teracuni EM pada konsentrasi 0% (kontrol), 5%,
10%, 25% dan 50%.
Semua proses penyiapan media kultur uji efikasi dilakukan secara steril
pada laminar air flow cabinet. Parameter uji yang diukur adalah diameter koloni
miselium setiap periode 12 jam dan pengukuran dihentikan pada saat koloni
miselium perlakuan kontrol memenuhi cawan petri. Selanjutnya nilai efikasi
ekstrak mahoni terhadap pertumbuhan isolat dihitung dengan rumus
penghambatan pertumbuhan isolat mengacu pada Dubey et al (2009).
Identifikasi Jenis Patogen
Identifikasi jenis patogen dilakukan hingga tingkat spesies dengan
pendekatan morfologis dan molekuler DNA. Identifikasi morfologis dilakukan
secara makroskopis dan mikroskopis, sedangkan isolasi dan sekuensi DNA
dilakukan sebagai upaya konfirmasi jenis patogen.
a. Identifikasi Morfologis
Identifikasi jenis dan morfologi patogen Botryodiplodia sp. dilakukan pada
media kultur selektif. Pengamatan pertumbuhan dan morfologi isolat yang berada
pada media selektif serta identifikasi jenis mengacu pada Gandjar et al. (1999),
Shah et al. (2010) dan El-Morsi dan Ibrahim (2012). Beberapa karakter morfologi
yang diamati antara lain koloni miselium, hifa, oozing dan konidia.
Pengamatan koloni miselium Botryodiplodia sp. pada media kultur dilakukan
terhadap warna koloni permukaan atas dan bawah cawan petri, arah pertumbuhan
dan kecepatan pertumbuhan. Pengamatan dan pemotretan struktur fungi dilakukan di
bawah mikroskop dengan menyiapkan preparat fungi terlebih dahulu. Hifa dan
konidia dipotret dan diukur ciri morfologinya meliputi panjang, lebar, bentuk dan
tebal dinding.
b. Identifikasi Molekuler
Konfirmasi jenis melalui analisis DNA dilakukan untuk meminimalisir
kesalahan dalam identifikasi jenis secara morfologis karena identifikasi
morfologis fungi Botryodiplodia biasanya mengalami kesulitan disebabkan oleh
kemiripan dalam karakter struktur diantara fungi tersebut dan kelompoknya.
Kegiatan identifikasi jenis melalui analisis DNA dilakukan oleh tenaga analis dari
Laboratorium Biorin PAU IPB dengan prosedur mengacu pada Moller et al.
17
(1992) dengan modifikasi laboratorium. Tahapan analisis DNA meliputi
persiapan kultur, ekstraksi DNA, elektroforesis, PCR (Polymerase Chain
Reaction) dan sekuensi DNA.
1) Persiapan Kultur
Isolat Boytyodiplodia sp. diremajakan pada media PDB dan dilakukan
proses inkubasi pada suhu 30 ºC selama 2 sampai 3 hari. Selama proses inkubasi,
kultur fungi dilakukan penggoyangan pada kecepatan 1500 rpm.
2) Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dengan cara memanen miselium isolat yang telah
dikulturkan sebelumnya dengan kertas saring, kemudian sebanyak 0.1 g miselium
digerus hingga halus dengan bantuan N2 cair. Miselium yang sudah halus di
masukan ke dalam tabung dendorf berukuran 1.5 ml kemudian ditambahkan 600
µl buffer lisis (CTAB 2%) dan dilakukan proses inkubasi pada suhu 65 ºC selama
30 menit. Selanjutnya tabung dipindahkan ke dalam es selama 5 menit kemudian
ditambahkan 600 µl Kloroform:Isoamilalkohol (C:I) dan dibolakbalik secara
perlahan, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit.
Fase atas dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan 600 µl
perbandingan Fenol:Kloroform:Isoamilalkohol (F:K:I) kemudian dibolak balik
secara perlahan dan disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit.
Selanjutnya fase atas dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan
NaOAce 2 M sebanyak 0.1 kali dan Ethanol 100% sebanyak 2
EKSTRAK MAHONI DAN IDENTIFIKA
IKASI
JENIS ISOL
LAT Botryodiplodia sp. PENYEBAB
MATI
TI P
PUCUK PADA BIBIT JABON
AJI WINARA
SEK
EKOLAH PASCASARJANA
INSTI
STITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioaktivitas Ekstrak
Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada
Bibit Jabon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Aji Winara
NIM E451120071
RINGKASAN
AJI WINARA. Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat
Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon. Dibimbing oleh
ACHMAD dan SYAMSUL FALAH.
Penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)
Miq.) yang disebabkan oleh fungi Botryodiplodia sp. telah menurunkan kualitas
bibit dan merugikan para pegiat budidaya jabon. Saat ini pengendalian penyakit
mati pucuk pada bibit jabon menggunakan fungisida nabati sangat minim. Mahoni
(Swietenia macrophylla King.) merupakan salah satu potensi tumbuhan obat
Indonesia yang ketersediaannya melimpah namun potensinya sebagai fungisida
nabati belum diketahui terutama dalam mengendalikan patogenisitas isolat
Botryodiplodia sp. Penelitian ini bertujuan mengukur bioaktivitas dan efikasi
ekstrak mahoni secara in vitro dan mengidentifikasi spesies dari isolat
Botryodiplodia sp. penyebab mati pucuk pada bibit jabon. Pengukuran
bioaktivitas dan efikasi ekstrak mahoni dilakukan melalui teknik peracunan
makanan, sementara identifikasi jenis berdasarkan karakter morfologi dan
sekuensi DNA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak metanol mahoni
(daun, kulit buah, biji, kulit batang dan akar) dapat menghambat pertumbuhan
isolat Botryodiplodia sp. dengan nilai persentase penghambatan terbesar
dihasilkan oleh ekstrak biji mahoni. Uji in vitro efikasi ekstrak metanol dan air
panas biji mahoni dengan berbagai taraf konsentrasi menunjukkan bahwa nilai
penghambatan terbesar dihasilkan oleh ekstrak metanol pada taraf konsentrasi
50% dengan nilai penghambatan pertumbuhan isolat hingga 63.33%.
Penghambatan pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp. akibat ekstrak biji mahoni
disebabkan oleh adanya perubahan morfologi hifa menjadi tidak normal yaitu
berupa pengerutan dan perubahan arah pertumbuhan akibat degradasi dinding sel.
Hasil identifikasi morfologis dan molekuler menunjukkan bahwa isolat
Botryodiplodia sp. yang menyebabkan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
adalah Botryodiplodia theobromae Pat. teleomorf Botryosphaeria rhodina (Berk.
& MA. Curtis). Sedangkan secara morfologis isolat B. theobromae dicirikan
dengan konidia matang berdinding tipis, berseptat dengan ukuran 14.6 sampai
23.3 µm x 8.0 sampai 12.3 µm serta pada media kultur menghasilkan oozing
berupa cairan pekat berwarna hitam pada permukaan koloni miselium.
Pertumbuhan koloni isolat B. theobromae lebih optimum pada media kentang
sukrosa (Potatoes Sucrose Medium).
Kata kunci : bioaktivitas, Botryodiplodia theobromae, ekstrak mahoni, jabon.
SUMMARY
AJI WINARA. Bioactivities of Mahogany Extracts and Identification of
Botryodiplodia sp. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling. Supervised
ACHMAD and SYAMSUL FALAH.
by
Dieback on jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) seedling caused by
fungi Botryodiplodia sp. decreased seedling’s quality and nurseries economic
benefits. Less studies on the control of dieback pathogen on jabon seedling used
biofungicide from plant extract have been reported nowadays. Mahogany
(Swietenia macrophylla King.) is one of the promising medicinal plants in
Indonesia but its utilization as a biofungicide specially for controlling the dieback on
jabon seedling has not been reported. This research aimed to estimate the
bioactivities and efficacy of mahogany extracts and to identify the pathogen species
of Botryodiplodia sp. causing dieback on jabon seedling. The poisoned food
technique was used to estimate the bioactivities and efficacy of mahogany extract,
while morphological characteristic and molecular identifications with DNA
sequensing were used to identify the pathogen isolate.
The result showed that methanol extracts of leaves, bark, seeds, fruit shells and
root of mahogany could inhibit the growth of Botryodiplodia sp. isolate with the
highest growth inhibition was the extract of seeds. In vitro test of the efficacy of
methanolic and hot water mahogany seed extract with any concentration showed the
highest efficacy was 50% methanolic seed extract with 63.33% inhibition of the
fungal growth. Microscopical examination showed the inhibition of mycelium
growth was caused by the changes on hyphae morphology and growth direction
which were shrinking and curling due to the cell wall degradation.
Morphological and molecular identification results showed that
Botryodiplodia sp. isolate causing dieback on jabon seedling was Botryodiplodia
theobromae Pat. teleomorph Botryosphaeria rhodina (Berk. & MA. Curtis).
Morphology of B. theobromae isolate was characterized by the ripe thin-walled
conidia with septate size was rangging from 14.6 to 23.3 µm x 8.0 to 12.3 µm and
production of oozing on the culture medium which was thick black liquids on the
surface of the mycelium colonies. The growth of B. theobromae isolate was more
optimum on Potatoes Sucrose Medium.
Key words: bioactivity, Botryodiplodia theobromae, mahogany extract, jabon.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
BIOAKTIVITAS EKSTRAK MAHONI DAN IDENTIFIKASI
JENIS ISOLAT Botryodiplodia sp. PENYEBAB
MATI PUCUK PADA BIBIT JABON
AJI WINARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Abdul Munif, MScAgr
Judul Tesis : Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat
Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Nama
: Aji Winara
NIM
: E451120071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Achmad, MS
Ketua
Dr Syamsul Falah, S.Hut, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sri Wilarso B R, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014
Tanggal Lulus: 28 Agustus 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah
pengendalian penyakit tanaman, dengan judul Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan
Identifkasi Jenis Isolat Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Achmad, MS dan
Dr Syamsul Falah, SHut MSi selaku pembimbing yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan studi. Di samping itu, penulis sampaikan terima
kasih kepada Pusat Diklat Kehutanan Kementerian Kehutanan yang telah
memberikan beasiswa studi dan membantu pembiayaan kegiatan penelitian
hingga akhirnya tesis ini dapat disusun dan Kepala Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan studi S2. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala
Laboratorium Patologi Hutan, Laboratorium Kimia Kayu, Laboratorium Biorin
dan Laboratorium Pilot Plan PAU IPB serta Kepala Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor yang telah memberikan izin pada penulis untuk melaksanakan
kegiatan penelitian di lingkungan kerjanya. Terima kasih pula penulis sampaikan
kepada Ibu Ai Rosah Aisah, SHut MSi, Ibu Tutin BScF, Bu Tati BPTP, Bapak
Iwan Kustiawan, Bapak Suprihatin, Ibu Pepy, Ibu Encah, Bapak Dr. A. Fadly
Yahya, Bapak Galih Ary W Siregar, SPt, Bapak Eter Cahyadi, S.Hut dan rekanrekan mahasiswa Silvikultur Tropika angkatan 2012 serta rekan-rekan mahasiswa
S1 dan S2 yang berada dibawah lingkup Lab. Patologi Hutan serta semua pihak
yang telah membantu teknis pelaksanaan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih yang mendalam kami juga sampaikan kepada istri
tercinta yang senantiasa mendukung dan memberikan dorongan moral serta anakanakku tersayang yang sabar dalam mendampingi penulis. Rasa hormat dan
terima kasih penulis sampaikan kepada ayah dan ibu serta seluruh keluarga besar
atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Aji Winara
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia macrophylla King.)
Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.Miq)
Fungi Botryodiplodia
3
6
8
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Analisis Data
11
11
12
18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
18
23
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
29
30
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Kandungan fitokimia beberapa bagian mahoni
Sifat farmakologi beberapa bagian mahoni
Beberapa jenis Botryodiplodia dan Lasiodiplodia penyebab mati
pucuk pada tanaman berkayu
Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki sifat antifungi
B. theobromae
Skor nilai efektivitas ekstrak mahoni dalam menghambat
pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp.
4
5
9
11
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Profil mahoni (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Profil jabon (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Profil fungi Botryodiplodia sp. (sumber: Barnet & Hunter 1999)
Tahapan kegiatan penelitian
Kondisi bibit jabon pada uji virulensi patogen Botryodiplodia sp.:
a. sehat ( 4 HSI), b. layu (6 HSI) dan d. mati (10 HSI)
6 Metode pengukuran diameter radial koloni Botryodiplodia sp.
7 Pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp. pada media kultur padat (a)
dan cair (b)
8 Pengaruh ekstrak metanol beberapa bagian mahoni terhadap
penghambatan pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp. secara in vitro.
Huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai
tengah antar perlakuan berdasarkan uji duncan pada taraf nyata 0.05
9 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak biji mahoni terhadap
penghambatan pertumbuhan radial miselium isolat Botryodiplodia sp.
EMB (■ ), EAB (□ ). Huruf-huruf di atas balok data menunjukkan
pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan
pada taraf nyata 0.05
10 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak dan waktu inkubasi EMB (a) dan
EAB (b) terhadap penghambatan pertumbuhan radial miselium
Botryodiplodia sp. -♦- 5%, -■ - 10%, -▲ - 25% dan -x- 50%
11 Morfologi hifa Botryodiplodia sp. secara mikroskopis : a. normal,
b. mengerut c. perubahan arah pertumbuhan. Tanda panah
menunjukkan letak morfologi hifa yang tidak normal
12 Morfologi isolat Botryodiplodia sp. secara mikroskopis : a. hifa,
b. konidia muda c. konidia matang
3
7
9
12
13
15
19
20
21
21
22
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
Kadar air dan kadar zat ekstraktif sampel mahoni
Koloni isolat Botryodiplodia sp. pada media kultur PSA (a), PDA
(b) dan MEA (c)
Pertumbuhan koloni miselium Botryodiplodia sp. pada berbagai
40
40
4
5
6
taraf konsentrasi ekstrak biji mahoni. Huruf a sampai dengan e
menunjukkan EAB dengan taraf a. konsentrasi 0% (kontrol), b. 5%,
c. 10%, d. 25% dan e. 50%. Huruf f sampai dengan j menunjukkan
EMB dengan taraf f. konsentrasi 0% (kontrol), g. 5%, h. 10%, i.
25% dan j. 50%
Hasil sekuensi DNA isolat Botryodiplodia sp. (sbjct) dan
kedekatannya dengan data sekuens B. rhodina (query) berdasarkan
hasil output BLAST library pada GenBank. Tanda lingkaran
menunjukkan letak perbedaan sekuensi basa.
Hasil analisis sidik ragam dan uji selang berganda Duncan uji
in vitro pengaruh media kultur dan bioaktivitas ekstrak mahoni
terhadap isolat Botryodiplodia sp.
Sampel beberapa bagian mahoni
40
41
41
48
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit mati pucuk pada bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)
Miq.) telah menurunkan kualitas bibit dan merugikan para pegiat budidaya jabon.
Jabon saat ini menjadi komoditi hutan tanaman khususnya sebagai penyedia
bahan baku kayu lapis, papan partikel, papan semen, papan blok, pulp dan kertas,
kayu kontruksi ringan, bahan baku kerajinan, perahu, batang korek api, batang
sumpit dan pensil (Soerianegara & Lemmens 1993). Selain itu jabon banyak
digunakan sebagai tanaman penghijauan dan rehabilitasi lahan bekas tambang
disebabkan sifatnya yang adaptif pada berbagai kondisi tempat tumbuh.
Patogen primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon adalah fungi
Botryodiplodia sp. dengan tingkat patogenisitas yang tinggi hingga menimbulkan
kematian pada bibit (Aisah 2014). Fungi Botryodiplodia sp. tergolong kelompok
fungi anamorfik dan menjadi patogen penyakit tanaman berkayu khususnya di
daerah tropis (Ellis et al. 2007). Menurut Anggraeni dan Lelana (2011), fungi
Botryodiplodia sp. dilaporkan menjadi patogen pada beberapa tanaman kehutanan
di Indonesia antara lain menyebabkan bercak daun pada pulai (Alstonia sp.),
busuk akar pada meranti (Shorea sp.), bercak daun pada merbau (Intsia bijuga
Kuntze.), bercak daun pada bakau (Rhizophora mucronata Lamk.), bledok pada
nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), penyakit batang pada gaharu
(Aquilaria malaccensis Lamk.) dan bercak daun pada skubung (Macaranga
gigantea Muell.).
Kegiatan pengendalian penyakit mati pucuk pada bibit jabon hingga saat ini
masih menggunakan fungisida sintetik. Adapun pemanfaatan fungisida nabati
dalam pengendalian penyakit mati pucuk belum dilakukan disebabkan kurangnya
informasi tentang potensi fungisida nabati, padahal potensi tumbuhan obat di
Indonesia sangat tinggi yang kemungkinan berpotensi pula sebagai bahan baku
fungisida nabati, salah satunya adalah mahoni (Swietenia macrophylla King.).
Beberapa bagian mahoni telah diketahui secara ilmiah memiliki sifat farmakologi
sebagai obat untuk penyakit pada manusia seperti bersifat antifungi, antibakteri,
antivirus, antitumor, antikanker, antidiabetes, antioksidan, antimutagenik,
antihepatitis C dan anti inflammatori (Moghadamtousi et al. 2013; Eid et al. 2013).
Adapun bagian mahoni yang telah diketahui bersifat antifungi khususnya terhadap
fungi patogen penyakit pada manusia antara lain daun (Tan et al. 2009), kulit
batang (Dewanjee et al. 2007) dan biji (Maiti et al. 2007a). Sementara itu
pemanfaatan mahoni sebagai fungisida nabati belum banyak diketahui terutama
potensinya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
Perumusan Masalah
Serangan patogen pada bibit jabon di persemaian daerah Bogor
menimbulkan kerusakan kualitas hingga kematian bibit. Menurut Aisah (2014),
kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon di Bogor mencapai 15%.
Sedangkan berdasarkan uji postulat Koch, gejala awal yang muncul pada bibit
2
jabon yang terkena mati pucuk Botryodiplodia adalah berupa nekrotik pada
batang yang bergerak secara vertikal menuju daun kemudian pucuk,
mengakibatkan batang membusuk, daun menguning dan pucuk mati.
Adanya fakta lapangan mengenai serangan penyakit mati pucuk pada bibit
jabon mengharuskan adanya upaya pengendalian penyakit tersebut agar tidak
menjadi penyakit yang bersifat epidemik. Penggunaan fungisida sintetik kerap
digunakan sebagai pengendalian penyakit pada persemaian tanaman kehutanan
secara umum (Darmawan & Anggraeni 2012) termasuk dalam kegiatan
pengendalian penyakit jabon pada skala persemaian, padahal Indonesia memiliki
potensi tanaman obat yang tinggi
sebagai tanaman antimikroba yang
kemungkinan dapat pula diaplikasikan dalam pengendalian penyakit pada
tanaman. Mahoni
merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang
ketersediaannya melimpah sebagai penghasil kayu pertukangan dan berkhasiat
pula sebagai tumbuhan obat. Namun kajian mengenai pemanfaatan mahoni
sebagai fungisida nabati belum banyak dilaporkan hingga saat ini terutama
potensinya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
1. Menguji bioaktivitas dan efikasi ekstrak mahoni (EM) terhadap isolat
Botryodiplodia sp. penyebab mati pucuk pada bibit jabon secara in vitro.
2. Mengidentifikasi jenis fungi Botryodiplodia sp. secara morfologis dan
molekuler.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini antara lain :
1. Ekstrak mahoni
efektif dalam menghambat pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. secara in vitro.
2. Jenis fungi Botryodiplodia sp. penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon
adalah Botryodiplodia theobromae Pat.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang
budidaya tanaman hutan dan penyakit tanaman hutan.
2. Memberikan informasi bagi penggiat persemaian tanaman kehutanan tentang
penyakit mati pucuk pada jabon dan upaya pengendaliannya dengan
menggunakan EM.
3. Menambah informasi mengenai potensi EM sebagai bahan fungisida nabati
untuk mengendalikan fungi Botryodiplodia sp.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia macrophylla King.)
Taksonomi dan Botani
Taksonomi mahoni (Swietenia macrophylla King.) adalah sebagai berikut
(Soerianegara & Lemmens 1993) :
Nama botani : Swietenia macrophylla King.
Famili
: Meliaceae
Subfamili
: Swietenoideae
Sinonim
: Swietenia beliensis Lundell, Swietenia candollei Pittier,
Swietenia krukovii Gleason, Swietenia macrophylla King
var. marabaensis Ledoux et. Lobato, Swietenia
tessmannii Harms.
Nama dagang : Mahoni (Indonesia), Big Leaf Mahogany (Inggris).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Keterangan gambar :
Pohon
Bunga dan daun
Bagian bunga jantan
Bagian bunga betina
Buah
Biji
Gambar 1 Profil mahoni (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Mahoni merupakan tumbuhan asli dari wilayah Amerika Tengah dan
Amerika Selatan, yang secara alami tumbuh menyebar dari wilayah Meksiko
hingga Bolivia. Mahoni pada habitat aslinya banyak dieksploitasi hingga
dimasukkan ke dalam daftar indeks II CITES, namun di Asia Pasifik termasuk di
Indonesia, mahoni banyak dibudidayakan sebagai komoditi hutan tanaman dan
hutan rakyat khususnya di Pulau Jawa (Krisnawati et al. 2011b).
Secara morfologi mahoni tergolong pohon dengan tinggi total (Tt) mencapai
> 30 m dan diameter setinggi dada (dbh) mencapai > 1.5 m. Batang lurus, silindris
dan sedikit beralur, berwarna abu-abu kecoklatan dan batang tua mengelupas
berbentuk sisik dengan kulit bagian dalam berwarna merah kecoklatan. Tajuk
berbentuk payung dan rimbun. Daun majemuk dengan panjang 12 sampai 45 cm,
anak daun berjumlah 3 sampai 6 helai, berbentuk lanset atau oval lanset berukuran
panjang 5 sampai 12 cm dan lebar 2 sampai 5 cm dengan kedudukan berhadapan
dan urat anak daun asimetris. Bunga berkelamin tunggal dengan panjang 0.5
4
sampai 1.0 cm, berjumlah banyak. Buah berbentuk kapsul bulat hingga lonjong,
berwarna abu-abu hingga coklat kemerahan, panjang 11.6 sampai 38.7 cm dan
diameter 6.7 sampai 12.0 cm, memiliki 4 sampai 5 katup kulit buah (Soerianegara
& Lemmens 1993).
Kandungan Fitokimia
Kandungan fitokimia mahoni banyak diungkap melalui penelitian baik
secara kualitatif maupun kuantitatif hingga kandungan senyawa bioaktif. Secara
kualitatif mahoni mengandung senyawa metabolit sekunder antara lain alkaloid,
flavanoid, saponin, tanin, antrakuinon dan terpenoid (Tabel 1), sedangkan
komponen utama hampir semua bagian adalah limonoid yang merupakan derivasi
dari Tetracyclic triterpenes mirip dengan euphol (H-20β) atau tirucallol (H-20α)
(Moghadamtousi et al. 2013).
Tabel 1 Kandungan fitokimia beberapa bagian mahoni
Komponen Utama
Sumber Pustaka
Bagian
Metabolit Sekunder
Tumbuhan
Daun
Alkaloid, Flavonoid,
Tan et al. (2009);
Saponin, Tanin, Terpenoid,
Ayyappadhas et al. (2012);
Antrakuinon
Moghadamtousi et al. (2013)
Kulit batang
Alkaloid, Flavonoid,
Saponin, Tanin, Terpenoid
Falah et al .(2008);
Falah et al. (2010)
Biji
Terpenoid, Steroid,
Flavonoid, Alkaloid dan
Saponin
Chen et al. (2010);
Suliman et al. (2013);
Moghadamtousi et al. (2013)
Manfaat dan Kegunaan
Mahoni telah lama dimanfaatkan sebagai sebagai sumber bahan baku kayu
pertukangan dan tergolong kelas kualitas tinggi karena kekuatan kayunya dan
keindahan motif coraknya. Kayu mahoni biasa digunakan sebagai bahan baku
plywood, pembuatan pintu rumah, kusen, lantai, alat musik hingga bodi kendaraan
dan ornamen lainnya (Krisnawati et al. 2011b), sedangkan bagian akar sering
dimanfaatkan untuk membuat meja dan bangku unik. Selain itu pohon mahoni
sering digunakan untuk kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan. Beberapa bagian
mahoni memiliki manfaat sebagai obat tradisional seperti biji mahoni bermanfaat
sebagai obat malaria di Indonesia dan Bolivia (Munoz et al. 2000; Murnigsih
et al. 2005) serta obat demam dan sakit gigi bagi suku Maya di Meksiko
(Kashnapiour & McGee 2004).
Sifat Farmakologi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mahoni memiliki aktivitas
farmakologi (Tabel 2) sebagai antioksidan, antidiabetes, antimalaria, antianemia,
antikanker, antihepatits, antidiarhoe, antiimflammantori, dan antivirus, antibakteri,
antiprotozoa dan antifungi (Moghadamtousi et al. 2013; Eid et al. 2013).
5
Tabel 2 Sifat farmakologi beberapa bagian mahoni
Bagian
Tumbuhan
Aktivitas Farmakologi
Sumber Pustaka
Batang
Antivirus hepatitis C
Wu et al. (2012)
Biji
Antimalaria
Murnigsih et al. (2005)
Antibabesia
Murnigsih et al. (2005)
Antibakteri : Staphylococcus aureus, Maiti et al. (2007a); Nour
Staphylococcus typhimurium,
et al .(2012); Suliman et al.
Pseudomonas aeruginosa,
(2013).
Klebsiella penumoniae, Salmonella
typhimurium, Micrococcus luteus,
dan Escherichia coli
Antifungi : Candida albicans, Maiti et al. (2007a)
Aspergillus niger, Aspergillus flavus
dan Criptococus albidus
Daun
Kulit
Batang
Antiinflammatori
Guevera et al. (1996);
Chen et al. (2010)
Antikanker
Goh dan Kadir (2011)
Antidiarhoe
Maiti et al. (2007b)
Antitumor, antimutagenik
Guevera et al. (1996)
Antioksidan
Antibakteri (S. aureus, Bacillus
subtilis, E.coli, P. aeruginosa,)
Antifungi (C. albican, A. flavus, A.
niger, Trichophyton mentagrophyte)
Antioksidan
Tan et al. (2009);
Tan et al. (2009);
Ayyappadhas et al. (2012)
Tan et al. (2009);
Ayyappadhas et al. (2012)
Falah et al. (2008)
Antidiabetes
Falah et al. (2010)
Antimalaria
Munoz et al. (2000)
Antibakteri (S. aureus, Sarcina
Dewanjee et al. (2007)
luteus, Bacillus pumilus, B. subtilis,
P. aeruginosa, E. coli, Shigella
dysenteriae, Shigella soneii, Shigella
flexneri, Shigella boydii dan Vibrio
colerae) dan Antifungi (C. albicans,
A. niger, Penicillium notatum dan
Penicillium funiculosum)
Mantel biji
Mantel
buah
Antibakteri (S. aureus dan E.coli)
Antibakteri (S. aureus dan E.coli)
Nour et al. (2012)
Nour et al. (2011)
6
Ekstrak daun mahoni telah diketahui bersifat antihama tanaman seperti
bersifat racun bagi Hypsiphyla grandella (Flores et al. 2012) dan Varoa
destructor (ElZalabani et al. 2012). Demikian pula kulit buah mahoni bersifat
racun perut bagi beberapa jenis Eurema spp. (Darwiati 2012), Spodoptera
frugiferda, Acalymna vittarum dan Artemia salina (Mikolajczak & Reed 1987;
Mootoo et al. 1999). Namun sifat ekstrak mahoni sebagai antifungi patogen
tumbuhan belum diketahui kecuali sifat antifungi senyawa limonoid dari jenis
mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni (L) Jacq.) yaitu 6-acetylswietenine dan 6acetyl-3-tygloylswietonolide efektif dalam menghambat fungi patogen pada
kacang tanah jenis Puccinia arachidis (Govindachari et al. 1999).
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
Taksonomi dan Botani
Secara taksonomi jabon dapat dideskripsikan sebagai berikut (Soerianegara
& Lemmens 1993) :
Nama botani : Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq
Famili
: Rubiaceae
Submarga
: Cinehonoideae
Sinonim
: Anthocephalus chinensis (Lamk.) A Rich. Ex. Walp.,
Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea
cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.)
Bosser, Sarcocephalus cadamba (Roxb.) Kurz.,
Anthocephalus indicus A. Rich.,
Anthocephalus
morindaefolius.
Nama daerah : Jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa);
galupai, harapean, johan, alampain, kelampai, kelempi
(Sumatera); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak,
tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua,
suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi);
gumpayan, kelapan, mugawe, sencari(Nusa Tenggara);
aparabire, masarambi (Papua). (Martawijaya et al. 1989).
Jabon termasuk jenis pohon berukuran besar dengan batang lurus dan
silindris serta memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan
yang khas mendatar. Tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan diameter batang
100 sampai 160 cm dan kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Kulit
pohon muda berwarna abu-abu dan mulus, sedangkan kulit pohon tua kasar dan
sedikit beralur. Daun menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap,
berpasangan dan berbentuk oval-lonjong (berukuran 15 sampai 50 cm x 8 sampai
25 cm). Daun pada pohon muda yang umumnya lebih lebar, dengan posisi lebih
rendah di bagian pangkal dan meruncing di bagian puncak. Bunga terdiri dari
kepala-kepala terminal bulat tanpa brakteol, bertangkai harum, berwarna oranye
atau kuning. Bunga biseksual, terdiri dari lima bagian, kelopak bunga berbentuk
corong. Mahkota bunga gamopetal berbentuk seperti cawan. Benang sari ada lima,
melekat pada tabung mahkota dengan filamen pendek. Buah majemuk berbentuk
7
bulat dan lunak, dengan bagian atas terdiri dari empat struktur berongga atau
padat. Buah jabon mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging
yang berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi
sekitar 8000 biji. Biji kadang berbentuk trigonal atau tidak teratur dan tidak
bersayap (Soerianegara & Lemmens 1993).
Keterangan gambar :
1. Pohon
2. Daun dan buah
3. Bunga
4. Infructescense
Gambar 2 Profil jabon (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Jabon tersebar secara alami pada beberapa wilayah antara lain Australia,
China, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura dan Vietnam
dengan habitat berupa lahan basah baik permanen maupun musiman dan dapat
tumbuh baik pula pada hutan sekunder sekitar pinggiran sungai (Orwa et al. 2009).
Jabon di Indonesia saat ini memiliki prospek tinggi sebagai komoditi hutan
tanaman industri dan tanaman penghijauan karena pertumbuhannya yang cepat,
mampu beradaptasi pada beberapa kondisi tempat tumbuh yang marjinal dan
perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah (Krisnawati et al. 2011a).
Manfaat dan Kegunaan
Pemanfaatan jabon secara besar-besaran sebagai tanaman budidaya di
Indonesia dilakukan sejak tahun 1930-an dan hingga saat ini telah menjadi
komoditi hutan rakyat dari Sumatera hingga Papua. Jabon memiliki beberapa
manfaat antara lain kayu digunakan sebagai bahan baku kayu lapis, konstruksi
ringan, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api,
sumpit dan pensil (Soerianegara & Lemmens 1993). Selain kayu jabon dapat
digunakan sebagai bahan baku perahu, bahan papan partikel, papan semen dan
papan blok serta sering digunakan sebagai peneduh dan hiasan di tepi jalan di
perkampungan-perkampungan ( Kisnawati at al. 2011a). Jabon bermanfaat pula
sebagai obat dan hasil uji farmakologi bersifat sebagai antioksidan dan
antimikroba (Umachigi et al. 2007).
Secara ekonomi bertanam jabon sangat prospektif disebabkan
pertumbuhannya yang cepat. Menurut Krisnawati et al. (2011a), riap pertumbuhan
diameter dan tinggi rata-rata pohon jabon secara berturut-turut ialah
1.2 sampai 11.6 cm tahun-1 dan 0.8 sampai 7.9 m tahun-1 (untuk jabon berumur 5
tahun di Jawa). Meskipun pengembangan hutan tanaman industri jabon belum
8
massif sebagaimana komoditi kayu hutan tanaman industri lainnya, namun
pengembangan hutan rakyat jabon khususnya di Jawa sangat massif.
Permasalahan Penyakit Jabon
Salah satu tantangan dalam pengembangan hutan jabon adalah gangguan
hama dan penyakit. Serangan penyakit pada jabon dewasa tidak banyak
dilaporkan melainkan hanya satu jenis yaitu serangan Gloeosporium anthocephali
yang menyebabkan defoliasi pada sebagian atau seluruh daun (Soerianegara &
Lemmens 1993). Sementara itu serangan penyakit pada tingkat bibit telah
dilaporkan oleh Herliyana et al. (2012) dan Aisah (2014) yaitu fungi
Botryodiplodia sp. yang menyebabkan mati pucuk, fungi Rhizoctonia sp. yang
menyebabkan penyakit bercak daun dan fungi Fusarium sp. yang menyebabkan
penyakit hawar daun serta menurut Anggraeni dan Lelana (2011) yang
melaporkan adanya serangan bercak daun pada bibit jabon disebabkan oleh fungi
Colletotrichum sp.
Menurut Aisah (2014), penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang
disebabkan oleh fungi Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan kematian bibit
hingga 15% khususnya ditemukan pada persemaian di daerah Bogor. Gejala mati
pucuk pada bibit jabon diawali dengan nekrosis pada batang hingga pucuk dan
batang mengering hingga tidak mampu menopang daun. Gejala mati pucuk pada
bibit jabon ditemukan pada bibit jabon dengan rentang umur 2 sampai 6 bulan.
Fungi Botryodiplodia
Taksonomi dan Morfologi
Taksonomi fungi Botryodiplodia (Alexopoulos et al. 1960) adalah sebagai
berikut:
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Spesies
: Botryodiplodia sp.
Fungi Botryodiplodia (sinonim Lasiodiplodia) merupakan fungi yang
bereproduksi secara aseksual (anamorph). Fungi Botryodiplodia memiliki fase
seksual atau telemorf yang bergantung pada spesiesnya, seperti fase telemorf jenis
B. theobromae adalah fungi Botryosphaeria rhodina. Jenis Botryodiplodia cukup
banyak namun secara taksonomi morfologis cukup membingungkan (Burgess et
al. 2006). Berdasarkan penelusuran melalui MycoBank (www.mycobank.org),
jumlah jenis Botryodiplodia sebanyak 224 jenis sejak tahun 1884 sedangkan
Lasiodiplodia terdata berjumlah 30 jenis.
9
2
3
1
4
Keterangan gambar :
1. Piknidia
2. Konidiofor
3. Konidia muda
4. Konidia matang.
Gambar 3 Profil fungi Botryodiplodia sp. (sumber : Barnet & Hunter 1999)
Fungi Botryodiplodia secara morfologi dicirikan dengan konidia yang khas
dan pertumbuhannya yang cepat pada media agar. Jenis B. theobromae
merupakan jenis dominan dari genus Botryodiplodia yang menjadi patogen pada
beberapa tanaman berkayu khususnya dominan di daerah tropis (Punithalingham
1980 dalam Burgess et al. 2006). Menurut Gandjar et al. (1999), koloni
B. theobromae pada media OA (Oatmeal Agar) dan PDA (Potatoes Dextrose
Agar) membentuk miselia aerial yang lebat dan berwarna coklat tua dengan
piknidia muncul berupa klaster dalam stromata, berbentuk bulat dengan leher
panjang dan berwarna gelap hitam kehijauan, sedangkan fialid berbentuk silindris
dan berukuran 5 sampai 12 µm x 2 sampai 4 µm serta konidia bersel dua bila tua,
berukuran 22 sampai 28 µm x 12 sampai 15 µm, berbentuk elips, berwarna coklat
tua dan memiliki garis-garis longitudinal. Pematangan konidia B. theobromae
berjalan lambat.
Inang dan Patogenesitas
Fungi Botryodiplodia menjadi patogen pada beberapa tanaman di dunia
dengan kisaran inang yang luas. Jenis Botryodiplodia yang paling banyak
memiliki inang ialah B. theobromae atau Lasiodiplodia theobromae dengan
kisaran inang mencapai 500 tanaman (Ellis et al. 2007). Beberapa jenis
Botryodiplodia atau Lasiodiplodia dilaporkan menjadi patogen mati pucuk pada
beberapa tanaman berkayu (Tabel 3).
Tabel 3 Beberapa jenis Botryodiplodia dan Lasiodiplodia penyebab mati pucuk
pada tanaman berkayu
No.
Jenis Patogen
Jenis Inang
Sumber Pustaka
1.
B. theobromae
Sengon (Albizia
Sharma dan Shankaran
falcataria)
(1988)
2.
B. theobromae
Kakao (Theobroma
Semangun (2000); Mbenon
cacao)
et al. (2008); Kannan et al.
(2010)
3.
B. theobromae
Jeruk (Citrus spp.)
Alam et al. (2001);
Salamiah et al. (2008)
4.
B. theobromae
Annona squamosa dan
Haggag dan Nofal (2006)
Annona cherimola
5.
B. theobromae
Pear (Prunus spp.)
Shah et al. (2010)
10
No.
6.
7.
Jenis Patogen
Botryodiplodia sp.
L. theobromae
8.
9.
L. theobromae
L. theobromae
10.
L. theobromae
11.
12.
L. theobromae
L. theobromae
13.
L. theobromae
14.
Lasiodiplodia
pseudotheobromae
Lasiodiplodia
egyptiacae
15.
Jenis Inang
Jabon (A. cadamba)
Pinus taeda L, pinus
elliotii Elngm
Aprikot Jepang, Persik
Mangga (Mangifera
indica L)
Gravepine (Vitis vinifera
L)
Syzygium cordatum
Grivellea robusta
Cunn.ex.R.Br
Sawo Mamey (Pouteria
sapota)
Mangga (M. indica L)
Sumber Pustaka
Herliyana et al. 2012
Cillier et al. (1993)
Li et al. (1995)
Khanzada et al. (2004);
Ismail et al. (2012)
Torres et al. (2008);
Al-Saadon et al.(2012)
Pavlic et al. (2007)
Njuguna (2011)
Mangga (M. indica L)
Ismail et al. (2012)
Pedraza et al. (2013)
Ismail et al. (2012)
Selain itu, fungi Botryodiplodia dilaporkan menjadi penyebab penyakit
hawar daun, bercak daun, gummosis, kanker batang dan busuk akar pada beberapa
tanaman baik kehutanan, pertanian maupun perkebunan. Serangan Botryodiplodia
sp. pada beberapa tanaman kehutanan di Indonesia menyebabkan beberapa
penyakit antara lain lodoh pada Pinus merkusii dan busuk pangkal batang pada
bibit mahoni (Suharti 1973 dalam Hadi 1994), bercak daun pada pulai, busuk akar
pada meranti, bercak daun pada merbau, bercak daun pada bakau, bledok pada
nyamplung, penyakit batang pada gaharu dan bercak daun pada skubung
(Anggraeni & Lelana 2011). Sementara itu di India, jenis B. theobromae pernah
menyebabkan penyakit kanker dan mati pucuk pada Albizia falcataria secara
massif (Sharma & Shankaran 1988).
Sementara itu Damm et al. (2007) mengisolasi beberapa jenis Lasiodiplodia
yang menjadi patogen potensial bagi tanaman Prunus di Afrika antara lain
Lasiodiplodia plurivora, L. theobromae, L. crassispora, L. venezuelensis,
L. rumbropurpurea dan L. gonublensis. Demikian pula Begoude et al. (2010)
mengisolasi beberapa jenis Lasiodiplodia yang berasosiasi dengan ketapang
(Terminalia catappa) di Afrika Selatan dan Madagaskar yaitu jenis
L. pseudotheobromae, L. mahajangana sp nov. L. pseudotheobromae dan
L. theobromae.
Sifat Antifungi Ekstrak Tanaman terhadap Fungi Botryodiplodia
Pestisida kimiawi digunakan oleh sebagian besar para petani dan penggiat
persemaian untuk mengendalikan serangan patogen pada tanaman budidaya
sehingga hasil pertanian meningkat dan stabilitas ketersediaan produksi dan
kualitasnya tetap terjaga, namun peningkatan penggunaan pestisida kimiawi
secara eksponensial menghasilkan strain patogen yang toleran pestisida dan
akumulasi residu di atas ambang batas (Noveriza & miftakhurohmah 2010).
Beberapa jenis tumbuhan telah diteliti memiliki kemampuan untuk
mengendalikan fungi B. theobromae (Tabel 4).
11
Tabel 4 Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki sifat antifungi B. theobromae
No. Jenis Tumbuhan
Bagian Pelarut
Konsentrasi
Efektif
Sumber
Pustaka
1.
Jambu Mete
(Annacardium
occidentales L)
Daun
Air dingin
10% (v/v)
Agbeniyi
dan Ayodele
(2013)
2.
Bawang Putih
(Allium sativum
L)
Umbi
Air dingin,
ethanol
10% (v/v)
Aunokworji
et al. (2012)
Daun
Air dingin
25% (v/v)
Sangeetha et
al. (2013)
3.
Lidah Buaya
(Aloe vera)
Daun
Air dingin
100% (v/v)
Ukoima et
al. (2013)
4.
Mimba
(Azadirachta
indica)
Daun
Air dingin,
ethanol
10% (v/v)
Aunokworji
et al. (2012)
5.
Kemangi Hutan
(Ocimum
gratissimum L).
Daun
Air dingin
10% (v/v)
Agbeniyi
dan Ayodele
(2013)
6.
Mangrove
(R. racemosa)
Kulit
Kayu
Air dingin
100% (v/v)
Ukoima et
al. (2013)
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan mulai bulan Desember 2013 sampai
dengan Juli 2014. Lokasi penelitian antara lain Laboratorium Patologi Hutan dan
Lab. Kimia Kayu Fahutan IPB, Lab. Biorin dan Pilot Plan PAU IPB dan Lab.
Penyakit Benih, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan antara lain isolat Botryodiplodia sp., bibit
jabon berumur 4 bulan, PDA (39 g serbuk PDA dan 1000 ml aquades), PSA
(Potatoes Sucrose Agar ; 200 g ekstrak kentang, 20 g sukrosa, 20 g agar dan 1000
ml aquades), MEA (Malt Extract Agar ; 20 g malt ekstrak, 20 g agar dan 1000 ml
aquades), PDB (Potatoes Dextrose Broth ; 200 g ekstrak kentang, 20 g dektrosa
dan 1000 ml aquades), PSB (Potatoes Sucrose Broth ; 200 g ekstrak kentang, 20 g
sukrosa dan 1000 ml aquades ) dan MEB (Malt Extract Broth ; 20 g malt ekstrak
dan 1000 ml aquades), antibiotik kloramfenikol, simplisia mahoni (daun, biji, kulit
12
buah, kulit batang dan akar), metanol, aquades steril, bahan-bahan untuk ekstraksi
DNA dan bahan-bahan laboratorium umum lainnya. Sedangkan alat yang
digunakan antara lain laminar air flow, autoclave, oven, mikroskop cahaya, alat
ekstraksi DNA, elektroforesis, mesin PCR dan mesin sekuensi, vacuum pan
evaporator, rotary vacuum evaporator, water bath, cawan petri diameter 9 cm,
tabung erlenmeyer dan beberapa peralatan laboratorium lainnya.
Metode
Penelitian ini terdiri atas 6 kegiatan, yaitu: (1) studi pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. pada media kultur dan uji virulensinya pada bibit jabon,
(2) pengumpulan sampel beberapa bagian mahoni di Hutan Penelitian
Cigeurendeng Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis, (3) proses
ekstraksi sampel mahoni, (4) uji bioaktivitas EM terhadap pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. secara in vitro, (5) uji efikasi EM terhadap pertumbuhan isolat
Botryodiplodia sp. secara in vitro, dan (6) identifikasi morfologis dan molekuler
isolat Botryodiplodia sp. (Gambar 4).
Penyiapan simplisia mahoni
Penyiapan isolat patogen
Proses ekstraksi
sampel
Uji virulensi
Penyiapan stok
ekstrak
Uji pertumbuhan isolat pada
media kultur
Identifikasi Jenis
Morfologi
s
Molekuler
Uji bioaktivitas ekstrak mahoni secara in vitro
Uji efikasi ekstrak mahoni secara in vitro
Gambar 4 Tahapan kegiatan penelitian
Penyiapan Patogen dan Uji Virulensi
Isolat Botryodiplodia sp. patogen mati pucuk pada bibit jabon diperoleh dari
Laboratorium Patologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB dengan kode isolat
Botryodiplodia sp. JPPon. Perbanyakan isolat dilakukan pada media selektif PDA
dan PSA (mengandung antibiotik kloramfenikol 250 mg l-1).
Sebelum isolat Botryodiplodia sp. digunakan pada uji bioaktivitas ekstrak
mahoni, dilakukan terlebih dahulu uji virulensi patogen pada bibit jabon berumur
4 bulan dengan metode inokulasi blok agar tempel mengacu pada Michailides
(1991). Hasil uji virulensi patogen menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia sp.
menyebabkan gejala mati pucuk hingga kematian bibit setelah 10 hari sejak
13
inokulasi (HSI) yang menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia sp. masih
memiliki virulensi yang tinggi (Gambar 5).
a
b
c
Gambar 5 Kondisi bibit jabon pada uji virulensi patogen Botryodiplodia sp.
a. sehat ( 4 HSI), b. layu (6 HSI) dan d. mati (10 HSI)
Penyiapan Ekstrak Mahoni
Sampel mahoni sebagai bahan baku EM diperoleh dari Hutan Penelitian
Cigeurendeng Balai Penelitian Teknologi Agroforestry di Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. Bagian mahoni yang digunakan antara lain daun, kulit batang, akar
dan beberapa bagian buah yaitu kulit buah dan biji. Semua bagian simplisia
mahoni diperoleh dari mahoni dengan diamater pohon di atas 30 cm.
Pembuatan EM dilakukan menggunakan dua pelarut yaitu air panas dan
metanol mengacu pada Maiti et al. (2007a) dan Falah et al. (2010). Sebelum
proses ekstraksi dilakukan, sampel mahoni dikeringudarakan terlebih dahulu
selama satu bulan, kemudian dijadikan serbuk dengan ukuran 40 sampai 60 mesh
menggunakan alat Willey Mill untuk membantu optimalisasi proses ekstraksi.
Kadar air sampel mahoni yang telah dijadikan serbuk diukur sebelum proses
ekstraksi dilakukan.
a. Kadar Air Sampel Mahoni
Penetapan kadar air sampel mahoni dilakukan dengan cara mengeringkan
cawan porselin pada suhu 102 ± 3 ºC selama 30 menit, kemudian ditimbang
setelah sebelumnya didinginkan pada desikator. Serbuk sampel masing-masing
sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin kemudian dikeringkan
dalam oven selama 3 jam pada suhu 102 ± 3 ºC, didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Prosedur ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang
tetap.
Kadar air %
BKU BKT
x 100%
BKT
Keterangan :
BKU
= Bobot serbuk kering udara (g)
BKT
= Bobot serbuk kering oven (g)
b. Ekstraksi Sampel Mahoni
Proses ekstraksi dilakukan dengan teknik maserasi menggunakan dua
pelarut yaitu metanol dan air panas. Proses ekstraksi metanol dilakukan dengan
14
cara sebanyak 400 sampai 500 g serbuk sampel mahoni direndam dalam larutan
metanol dengan perbandingan 1:3 (v/v) selama 3x24 jam sehingga diperoleh
ekstrak metanol. Selama proses perendaman dilakukan pengadukan menggunakan
pengaduk kaca. Pemisahan cairan ekstrak dari residu dilakukan dengan bantuan
kertas saring. Ekstrak metanol tersebut kemudian dipekatkan dengan rotary
vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak pekat, kemudian dikeringkan dengan
oven pada suhu 40 ºC. Sementara itu proses ekstraksi air panas sampel mahoni
dilakukan dengan cara sebanyak 500 g sampel mahoni dilarutkan dengan aquades
pada perbandingan 1:3 (v/v), kemudian dipanaskan menggunakan alat waterbath
dengan suhu 100 ºC selama 4 jam. Cairan esktrak disaring dengan kain empat
lapis, kemudian cairan ekstrak yang diperoleh dijadikan serbuk dengan alat
vacuum pan evaporator pada suhu 60 ºC.
c. Kadar Zat Ekstraktif
Penghitungan kadar zat ekstraktif setiap sampel mahoni dilakukan terhadap
hasil ekstrak mahoni dengan pelarut air panas dan pelarut metanol.
Kadar Zat Ekstraktif % =
BKE
x 100%
BKS
Keterangan :
BKE
= Bobot kering tanur zat ekstraktif (g)
BKS
= Bobot kering tanur serbuk sampel (g)
d. Penyiapan Stok Ekstrak
Stok EM yang akan digunakan dalam setiap pengujian dibuat dengan cara
sebanyak 5000 mg EM dilarutkan hingga homogen dengan 100 ml aquades steril
panas. Khusus untuk ekstrak metanol mahoni disterilisasi dengan menambahkan
sebanyak 5 ml metanol terlebih dahulu sebelum ditambahkan aquades, sedangkan
sterilisasi EM yang dihasilkan dari pelarut air panas dilakukan pada autoclave
dengan suhu 121 ºC tekanan 1 atm selama 15 menit mengacu pada Achmad dan
Suryana (2009).
Pertumbuhan Isolat pada Media Kultur
Uji pengaruh media kultur terhadap pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp.
dilakukan pada media kultur padat dan cair selektif antara lain PDA, PSA, MEA,
PDB, PSB dan MEB mengacu pada Alam et al. (2001) dan Markson et al. (2012).
Rancangan penelitian yang digunakan ialah rancangan acak lengkap (RAL) dengan
tiga perlakuan dan tiga ulangan untuk media padat, serta tiga perlakuan dan lima
ulangan untuk media cair. Parameter uji yang diukur antara lain diameter koloni
miselium pada media padat dan bobot kering biomassa miselium pada media cair.
Proses uji dilakukan dengan cara menanam inokulum Botryodiplodia sp.
berumur 7 hari (diameter 6 mm) pada cawan petri berdiameter 9 cm (media kultur
padat) dan botol selai yang berisi media kultur selektif (media kultur cair).
Pengamatan pertumbuhan diameter radial miselium dilakukan selama masa inkubasi
hingga salah satu media kultur padat dipenuhi oleh koloni miselium patogen
(Gambar 6).
15
d1
d2 1
Keterangan Gambar :
d1 = Diameter koloni 1
d2 = Diameter koloni 2
2
Gambar 6 Metode pengukuran diameter radial koloni Botryodiplodia sp.
Selanjutnya diamater radial koloni dihitung dengan menggunakan rumus :
Diamater Koloni =
d1 + d2
2
Sedangkan proses inkubasi isolat pada media kultur cair dilakukan selama
10 hari. Pengukuran bobot biomassa miselium dilakukan setelah masa inkubasi
selesai dengan cara menyaring miselium dengan kertas saring dan miselium yang
tersaring dioven pada suhu 60 ºC selama 24 jam. Bobot kering biomassa miselium
dihitung dengan cara mengurangi bobot kering biomassa miselium pada kertas
saring setelah dioven dengan bobot kering kertas saring setelah dioven.
Bioaktivitas Ekstrak Mahoni
Uji bioaktivitas EM terhadap isolat Botryodiplodia sp. dilakukan secara
in vitro pada media kultur padat selektif PSA sesuai rekomendasi uji pertumbuhan
isolat pada media kultur. Metode uji yang digunakan adalah teknik peracunan
makanan mengacu pada Achmad dan Suryana (2009). Rancangan penelitian yang
digunakan ialah RAL dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang
diberikan antara lain kontrol, ekstrak metanol daun, kulit batang, kulit buah, biji
dan akar mahoni pada taraf konsentrasi 16.67 % (v/v).
Uji in vitro dilakukan pada cawan petri berdiameter 9 cm yang berisi media
kultur PSA selektif dengan cara sebanyak 2 ml ekstrak mahoni ditambahkan pada
10 ml media kultur, kemudian dihomogenkan dengan cara penggoyangan manual
dan dibiarkan memadat. Isolat Botryodiplodia sp. berdiameter 6 mm diletakkan di
tengah media kultur, kemudian dilakukan proses inkubasi pada suhu ruang hingga
koloni miselium pada perlakuan kontrol memenuhi cawan petri dan dilakukan
proses pengukuran diameter koloni. Sementara itu penghitungan nilai
penghambatan ekstrak mahoni terhadap pertumbuhan isolat Botryodiplodia sp.
mengacu pada Dubey et al. (2009).
P (%) =
C T
× 100%
C
Keterangan :
P = Penghambatan pertumbuhan (%)
C = Diamater radial koloni kontrol (mm)
P = Diameter radial koloni perlakuan (mm)
16
Efikasi Ekstrak Mahoni
Uji efikasi ekstrak mahoni terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp.
dilakukan secara in vitro dengan metode peracunan makanan. Rancangan
penelitian yang digunakan ialah RAL pengamatan berulang dengan sepuluh
perlakuan ekstrak mahoni dan tiga kali ulangan. Ekstrak mahoni yang dijadikan
sebagai perlakuan adalah ekstrak mahoni yang memberikan penghambatan terbaik
pada perlakuan uji bioaktivitas EM sebelumnya serta EM dengan pelarut air panas
untuk sampel mahoni yang sama. Perlakuan yang diberikan berupa konsentrasi
ekstrak air panas dan metanol mahoni pada taraf 0%, 5%, 10%, 25% dan 50%
mengacu pada Sangeetha et al (2013). Penyiapan konsentrasi ekstrak dilakukan
dengan cara mencampur EM dengan media kultur PSA steril (v/v) sesuai
konsentrasi yaitu sebanyak 0.0 ml, 0.5 ml, 1.0 ml, 2.5 ml dan 5.0 ml EM
dicampurkan dengan 10.0 ml, 9.5 ml, 9.0 ml, 7.5 ml, dan 5.0 ml PSA untuk
menghasilkan media padat nutrisi teracuni EM pada konsentrasi 0% (kontrol), 5%,
10%, 25% dan 50%.
Semua proses penyiapan media kultur uji efikasi dilakukan secara steril
pada laminar air flow cabinet. Parameter uji yang diukur adalah diameter koloni
miselium setiap periode 12 jam dan pengukuran dihentikan pada saat koloni
miselium perlakuan kontrol memenuhi cawan petri. Selanjutnya nilai efikasi
ekstrak mahoni terhadap pertumbuhan isolat dihitung dengan rumus
penghambatan pertumbuhan isolat mengacu pada Dubey et al (2009).
Identifikasi Jenis Patogen
Identifikasi jenis patogen dilakukan hingga tingkat spesies dengan
pendekatan morfologis dan molekuler DNA. Identifikasi morfologis dilakukan
secara makroskopis dan mikroskopis, sedangkan isolasi dan sekuensi DNA
dilakukan sebagai upaya konfirmasi jenis patogen.
a. Identifikasi Morfologis
Identifikasi jenis dan morfologi patogen Botryodiplodia sp. dilakukan pada
media kultur selektif. Pengamatan pertumbuhan dan morfologi isolat yang berada
pada media selektif serta identifikasi jenis mengacu pada Gandjar et al. (1999),
Shah et al. (2010) dan El-Morsi dan Ibrahim (2012). Beberapa karakter morfologi
yang diamati antara lain koloni miselium, hifa, oozing dan konidia.
Pengamatan koloni miselium Botryodiplodia sp. pada media kultur dilakukan
terhadap warna koloni permukaan atas dan bawah cawan petri, arah pertumbuhan
dan kecepatan pertumbuhan. Pengamatan dan pemotretan struktur fungi dilakukan di
bawah mikroskop dengan menyiapkan preparat fungi terlebih dahulu. Hifa dan
konidia dipotret dan diukur ciri morfologinya meliputi panjang, lebar, bentuk dan
tebal dinding.
b. Identifikasi Molekuler
Konfirmasi jenis melalui analisis DNA dilakukan untuk meminimalisir
kesalahan dalam identifikasi jenis secara morfologis karena identifikasi
morfologis fungi Botryodiplodia biasanya mengalami kesulitan disebabkan oleh
kemiripan dalam karakter struktur diantara fungi tersebut dan kelompoknya.
Kegiatan identifikasi jenis melalui analisis DNA dilakukan oleh tenaga analis dari
Laboratorium Biorin PAU IPB dengan prosedur mengacu pada Moller et al.
17
(1992) dengan modifikasi laboratorium. Tahapan analisis DNA meliputi
persiapan kultur, ekstraksi DNA, elektroforesis, PCR (Polymerase Chain
Reaction) dan sekuensi DNA.
1) Persiapan Kultur
Isolat Boytyodiplodia sp. diremajakan pada media PDB dan dilakukan
proses inkubasi pada suhu 30 ºC selama 2 sampai 3 hari. Selama proses inkubasi,
kultur fungi dilakukan penggoyangan pada kecepatan 1500 rpm.
2) Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dengan cara memanen miselium isolat yang telah
dikulturkan sebelumnya dengan kertas saring, kemudian sebanyak 0.1 g miselium
digerus hingga halus dengan bantuan N2 cair. Miselium yang sudah halus di
masukan ke dalam tabung dendorf berukuran 1.5 ml kemudian ditambahkan 600
µl buffer lisis (CTAB 2%) dan dilakukan proses inkubasi pada suhu 65 ºC selama
30 menit. Selanjutnya tabung dipindahkan ke dalam es selama 5 menit kemudian
ditambahkan 600 µl Kloroform:Isoamilalkohol (C:I) dan dibolakbalik secara
perlahan, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit.
Fase atas dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan 600 µl
perbandingan Fenol:Kloroform:Isoamilalkohol (F:K:I) kemudian dibolak balik
secara perlahan dan disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit.
Selanjutnya fase atas dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan
NaOAce 2 M sebanyak 0.1 kali dan Ethanol 100% sebanyak 2