Ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Lembang
EKTOMIKORIZA Pinus merkusii DI BAGIAN KESATUAN
PEMANGKU HUTAN (BKPH) LEMBANG
OKTAN DWI NURHAYAT
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ektomikoriza Pinus
merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Lembang adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Oktan Dwi Nurhayat
NIM G34080028
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
i
ABSTRAK
OKTAN DWI NURHAYAT. Ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan
Pemangku Hutan (BKPH) Lembang. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO dan
I MADE SUDIANA.
Pinus merkusii di BKPH Lembang berasosiasi dengan cendawan
ektomikoriza yang menghasilkan 4 morfotipe akar. Morfotipe akar tersebut ialah
irregular pinnate, dikotom, monopodial, dan koraloid. Irregular pinnate ialah
morfotipe akar dominan dengan frekuensi 72,5%. Empat morfotipe tersebut
dibentuk oleh tiga ordo cendawan ektomikoriza yaitu Boletales, Russulales, dan
Tuberales. Boletales membentuk dua morfotipe yaitu irregular pinnate dan
koraloid, sedangkan Russulales dan Tuberales secara berurutan membentuk
morfotipe dikotom dan monopodial. Satu isolat cendawan ektomikoriza berhasil
diisolasi dari akar ektomikoriza P. merkusii. Berdasarkan analisis morfologi dan
molekular, cendawan tersebut ialah Cenococcum geophilum. Hasil analisis sifat
tanah menunjukkan bahwa tanah di BKPH Lembang mempunyai kandungan P
dan Ca sangat rendah, Mg dan K rendah, serta pH masam.
Kata Kunci: Boletales, BKPH Lembang, Cenococcum geophilum, Ektomikoriza,
Russulales, P. merkusii, Tuberales.
ABSTRACT
OKTAN DWI NURHAYAT. Ectomycorrhiza of Pinus merkusii in BKPH
Lembang Conservation Forest. Supervised by NAMPIAH SUKARNO and
I MADE SUDIANA.
Pinus merkusii in BKPH Lembang conservation forest was associated with
ectomycorrhizal fungi which produced 4 root tip morphotypes. They were
irregular pinnate, dichotomous, monopodial, and coralloid. Irregular pinnate was
dominant morphotype observed with occurrence frequency of 72,5%. The four
morphotypes were developed by three fungal orders belong to Boletales,
Russulales and Tuberales. Boletales produced two morphotypes, irregular pinnate
and coralloid, whereas Russulales and Tuberales produced dichotomous and
monopodial morphotypes, respectively. One ectomycorrhizal fungus was
sucessfully isolated from P. merkusii ectomycorrhizal root tip. Based on
morphological and molecular analysis, the isolated fungus was identified as
Cenococcum geophilum. The soil properties of BKPH Lembang were acidic soil
containing very low P and Ca, and low Mg and K.
Key words: Boletales,
BKPH
Lembang,
Cenococcum
Ectomycorrhiza, P. merkusii, Russulales, Tuberales.
geophilum,
ii
EKTOMIKORIZA Pinus merkusii DI BAGIAN KESATUAN
PEMANGKU HUTAN (BKPH) LEMBANG
OKTAN DWI NURHAYAT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iii
Judul
Nama
NIM
: Ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan
(BKPH) Lembang
: Oktan Dwi Nurhayat
: G34080028
Disetujui oleh
Dr Ir Nampiah Sukarno
Pembimbing I
Prof Dr I Made Sudiana, MSc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Ence Darmo Jaya Supena, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya
sehingga karya ilmiah inidapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 sampai Juni 2012 ini ialah
ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH)
Lembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Nampiah Sukarno dan
Bapak Prof Dr I Made Sudiana Msc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Iman
Hidayat yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Mas Erwin, Bapak Dian, Ibu Srilistyowati, Ibu Atit, kak Anis,
kak Reva, Ibu Yeni, kak Sepriyadi Rihi, Bapak Kusnadi, Ibu Emi, Ayang Eka
Yuromiyati, kak Nicho, Warsito, Ali Rapsanjani, kak Senlie, kak Flo, dan Kak
Vivi, yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, Indah Kurnia Asi Lestari,
serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Oktan Dwi Nurhayat
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Tujuan
METODE
2
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur
3
Koleksi Ektomikoriza dari BKPH Lembang
3
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
4
Preparasi Parafin
4
Isolasi Cendawan Ektomikoriza
4
Pemurnian Isolat Cendawan
4
Identifikasi
5
Analisis Morfologi
5
Analisis Molekuler Menggunakan Daerah ITS rDNA
5
Isolasi DNA Cendawan
5
Amplifikasi DNA Cendawan Dengan PCR
6
Sekuensing DNA
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kondisi Lingkungan BKPH Lembang
8
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
8
Analisis Morfologi Cendawan
15
Analisis Molekular Cenococcum
17
SIMPULAN
18
SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
22
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Keanekaragaman tipe percabangan ektomikoriza Pinus merkusii
8
Tabel 2 Karakteristik morfotipe dan anatomi ektomikoriza Pinus merkusii BKPH
Lembang
14
Tabel 3 Kuantitas dan kemurnian DNA genom total
ektomikoriza
isolat
cendawan
17
Tabel 4 Hasil analisis bioinformatika menggunakan program BLAST di NCBI
dan UNITE
18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Petak tempat pengambilan sampel
3
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian
7
Gambar 3 Morfotipe ektomikoriza yang berasal dari BKPH Lembang
9
Gambar 5 Karakteristik anatomi morfotipe irregular pinnate
10
Gambar 6 Karakteristik anatomi morfotipe dikotom
11
Gambar 7 Karakteristik anatomi morfotipe monopodial
12
Gambar 8 Karakteristik anatomi morfotipe koraloid
13
Gambar 9 Ukuran ketebalan mantel tiga ordo cendawan ektomikoriza
14
Gambar 10 Miselium Cenococcum
16
Gambar 11 Hasil amplifikasi DNA Cenococcum pada daerah ITS
17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil penentuan ordinat lokasi pembuatan plot menggunakan GPS 23
Lampiran 2 Penilaian analisis tanah BKPH Lembang
24
Lampiran 3 Keanaekaragaman morfotipe ektomikoriza di setiap plot yang
berasal dari BKPH Lembang
25
Lampiran 4 Gambar Tipe mantel ektomikoriza sebagai penampakan hasil
sayatan permukaan mantel
27
Lampiran 5 Metode pembuatan preparat irisan melintang dan membujur
28
Lampiran 6 Komposisi larutan dan pewarna
30
Lampiran 7 Hasil pensejajaran sekuens ITS rDNA isolat Cenococcum dengan
sekuen Cenococcum geophilum yang ada di gene bank NCBI dan
UNITE
31
1
PENDAHULUAN
Pinus merkusii atau sering disebut tusam merupakan tanaman daerah
tropis yang penyebarannya terdapat di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia,
Thailand, Kamboja, dan Vietnam (Lamprecht 1989). Di Indonesia, P. merkusii
secara alami tumbuh di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci (Jambi). Pada tahun 1916,
tumbuhan ini dikembangkan di Lembang dan Bali, dan sejak itu tumbuh meluas
ke daerah lain yang memiliki selang ketinggian tanah 200 – 1500 m di atas
permukaan laut (Silitonga 1983). P. merkusii cocok dikembangkan sebagai
tanaman pilihan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis, karena mampu tumbuh di
lahan yang miskin akan unsur hara. Kemampuan P. merkusii tumbuh pada lahan
marginal karena tumbuhan tersebut bersimbiosis dengan cendawan ektomikoriza.
Ektomikoriza merupakan simbiosis mutualisme yang terbentuk antara cendawan
tanah dengan akar tumbuhan (Smith & Read 1997). Secara umum ektomikoriza
berperan penting dalam memacu pertumbuhan tumbuhan inang dan pengambilan
unsur hara mineral dan air dari tanah terutama pada tanah yang miskin unsur hara
(Van Hees et al. 2004). Hampir semua tumbuhan yang membentuk ektomikoriza
berupa pohon tahunan seperti Pinaceae dan Dipterocarpaceae. P. merkusii ialah
tumbuhan yang termasuk ke dalam Gymnospermae. Tumbuhan tersebut
bersimbosis secara obligat dengan cendawan ektomikoriza membentuk struktur
ektomikoriza (Brundrett et al. 1996). Telah banyak dibuktikan di laboratorium
dan di lapangan bahwa pertumbuhan bibit P. merkusii baik di pembibitan maupun
di lapangan meningkat bila diinokulasi cendawan ektomikoriza yang cocok
(Santoso & Turjaman 1999).
P. merkusii merupakan salah satu jenis pohon industri yang mempunyai
nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu spesies prioritas untuk reboisasi
terutama di luar pulau Jawa. Di pulau Jawa, P. merkusii dikenal sebagai penghasil
kayu, resin dan gondorukem. Gondorukem dapat diolah lebih lanjut menjadi α
pinen yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi (Komarayati et al. 2002).
Kegunaan P. merkusii lainnya ialah untuk pembuatan triplek, venir, pulp, sutra
tiruan, dan bahan pelarut (Khaerudin 1999). Pentingnya P. merkusii dari segi
ekonomi dan ekologi, maka diperlukan tindakan konservasi tumbuhan tersebut
untuk menjaga kelestarian populasi spesiesnya di Indonesia. Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Lembang adalah salah satu hutan konservasi di
daerah Jawa, khususnya Jawa Barat (Perum Perhutani 1992). Kawasan hutan
BKPH Lembang terletak di wilayah pegunungan Tangkuban Perahu dengan
keadaan lapangan landai, berbukit-bukit sampai dengan curam. Ketinggian dari
permukaan laut rata-rata 1.500 m. Kondisi tanahnya masam dan rendah unsur P,
namun mempunyai kandungan humus yang tinggi (Perum Perhutani 1991).
Penelitian aplikasi ektomikoriza dalam silvikultur di Indonesia sudah
banyak dilakukan, namun aspek biologisnya seperti morfotipe, penyebaran dan
keragaman cendawannya belum banyak dipelajari terutama analisis dari struktur
ektomikorizanya yang terdapat di dalam rizosfer (Brundrett et al. 1996). Oleh
karena itu biologi ektomikoriza P. merkusii di BKPH Lembang perlu dipelajari.
Identifikasi cendawan ektomikoriza dapat dilakukan melalui pendekatan
morfologi dan molekular (Sakakibara et al. 2002; Ollson et al. 2000). Struktur
ektomikoriza berkembang sebagai hasil perkembangan dan adaptasi antara
2
cendawan ektomikoriza dan tumbuhan inangnya. Struktur tersebut bersifat khas
dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi cendawan yang terlibat jika tubuh
buahnya tidak ditemukan (Agerer 1991). Identifikasi cendawan ektomikoriza
dapat dilakukan dengan menganalisis sekuen DNA daerah ITS (Internal
Transcribed Spacer dari DNA ribosom karena daerah tersebut mempunyai daerah
konservatif dan bervariasi sehingga sangat berguna dalam identifikasi cendawan
sampai tingkat spesies (White et al. 1990 ; Gardes & Bruns 1993).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur ektomikoriza, isolasi
dan identifikasi cendawannya melalui analisis morfologi, anatomi, dan molekular.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Juni 2012 di
Laboratorium bagian Mikologi dan Mikroteknik Tumbuhan Biologi FMIPA IPB
serta Laboratorium Mikrobiologi LIPI Cibinong.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah sampel akar pinus yang bersimbiosis dengan
ektomikoriza yang diperoleh dari BKPH Lembang, isolat cendawan hasil isolasi
dan purifikasi, media PDA (Potato Dextrose Agar), PDB (Potato Dextrose
Broth), antibiotik chloramphenicol, H2O2 5%, kloroform, DNA template, DNA
extraction kit phytopure, DMSO, etanol absolut, etanol 70%, ethidium bromide,
fenol, akuades, gliserol, gel agarosa 1%, GoTaq polymerase (Green Master Mix),
isopropanol, larutan TAE buffer 1x, air mili Q, Nuclease free water, primer ITS4
dan ITS5 (White et al. 1990), RNAse (20 µg/ml), parafin, larutan seri Johansen,
larutan Gifford, methylene blue, basic fuchsin, xylol, entellan, shear’s.
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator, mikroskop stereo,
cover glass, gelas objek, oven, GPS (Global Positioning System), LAFC (Laminar
Air Flow Cabinet), sentrifugator, mesin PCR (Takara PCR Thermal Cycler,
Shiga), gradien PCR, mikrotom, mikroskop stereo, mikroskop cahaya BX 53,
shaker water bath, tabung ependorf 1,5 mL, seperangkat alat elektroforesis,
tabung reaksi, cawan petri, dan peralatan laboratorium lain yang umum
digunakan.
3
Prosedur
Koleksi Ektomikoriza dari BKPH Lembang
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara membuat petak berukuran 20 m
x 20 m. Jumlah petak yang diamati sebanyak 5 buah sebagai ulangan. Sebanyak 5
pohon P. merkusii dipilih secara acak dari setiap petak. Setiap plot untuk
pembuatan petak ditentukan posisinya menggunakan GPS (Global Positioning
System) (Lampiran 1). Data GPS selanjutnya diolah dengan Garmin Map Source
(Gambar 1). Sampel akar bersama tanahnya diambil dari 4 titik untuk setiap
pohonnya dengan cara menggali akar utama pada kedalaman 15 – 20 cm pada
daerah ujung tajuk. Sampel yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam wadah
plastik dan diberi keterangan tiap petak, pohon, dan sampling pengambilan.
Gambar 1 Petak tempat pengambilan sampel
Selanjutnya akar dipisahkan dari tanah, dan akar dibersihkan. Akar yang sudah
dicuci dibagi 3 bagian yaitu untuk analisis morfotipe dan irisan akar, serta isolasi
cendawan. Akar untuk pengamatan anatomi difiksasi dalam FAA ( formaldehid
5%: asam asetat: alkohol 70% 5:5:90) sedangkan untuk analisis morfotipe dan
isolasi cendawan diproses lebih lanjut. Sampel tanah dari seluruh petak dicampur
4
dan diambil sebanyak 250 g sebagai sampel tanah komposit untuk analisis sifatsifatnya menggunakan jasa analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. Diagram alir keseluruhan prosedur
ditunjukkan pada Gambar 2.
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
Akar P. merkusii yang terkolonisasi cendawan ektomikoriza dikarakterisasi
dengan cara diamati di bawah mikroskop stereo dan mikroskop cahaya. Analisis
morfotipe dilakukan dengan menggunakan kunci Agerer (1991). Struktur mantel
dan jala Hartig secara anatomi diamati dibawah mikroskop cahaya pada irisan
melintang dan membujur akar yang sebelumya dipreparasi dengan metode
paraffin dan diwarnai dengan pewarna ganda methylene blue (Lampiran 6c) dan
basic fuchsin (Lampiran 6d) (Brundret et al. 1996). Tipe struktur mantel dan jala
Hartig diamati berdasarkan metode Agerer (1993).
Preparasi Parafin
Sampel akar yang telah difiksasi dalam FAA dan diamati morfologinya
selanjutnya dipreparasi parafin untuk dipotong menggunakan mikrotom dengan
metode Johansen (1940) (Lampiran 5) yang dimodifikasi. Selanjutnya dilakukan
dehidrasi dan penjernihan dalam larutan seri Johansen I-VII. Proses selanjutnya
adalah infiltrasi parafin dan dilanjutkan penanaman sampel dalam blok parafin
(embedding). Blok parafin yang berisi sampel, dilunakkan dengan larutan Gifford
(Lampiran 6b) selama 1 bulan. Sampel yang telah lunak, dipotong menggunakan
mikrotom putar dengan tebal 10�m. Hasil pita parafin diwarnai dengan metode
Johansen (1940) yang dimodifikasi dengan pewarna ganda methylene blue dan
basic fuchsin lalu ditutup dengan media entellan. Irisan selanjutnya diamati
dibawah mikroskop cahaya BX 53 pada perbesaran 1000 kali.
Isolasi Cendawan Ektomikoriza
Isolasi cendawan ektomikoriza merujuk pada metode Brundrett et al.
(1996). Akar tumbuhan P. merkusii yang terkolonisasi cendawan ektomikoriza
selanjutnya disterilisasi permukaannya dengan cara akar dipotong-potong dengan
ukuran panjang sekitar 0.5 cm. Sebanyak 30-50 potong dipilih untuk dibilas
dengan air steril sebanyak 3 kali selama 15 menit. Akar yang sudah dibilas dengan
air steril kemudian direndam dalam etanol 70% selama 10 menit, kemudian dalam
H2O2 5% selama 1 menit. Selanjutnya akar dibilas kembali dengan air steril
sebanyak 3 kali lalu dikeringkan dengan tisu steril, dan diinokulasi pada media
PDA steril yang mengandung antibiotik chloramphenicol, selanjutnya cawan
diinkubasi pada suhu ruang hingga hifa cendawan tumbuh.
Pemurnian Isolat Cendawan
Hifa cendawan yang tumbuh dari akar P. merkusii yang diduga terkolonisasi
cendawan ektomikoriza, diisolasi kembali ke media PDA steril yang mengandung
antibiotik chloramphenicol dan ditumbuhkan hingga membentuk miselium
cendawan berkoloni tunggal.
5
Identifikasi
Identifikasi isolat cendawan yang berhasil diisolasi dilakukan secara
morfologi dan molekular.
Analisis Morfologi
Pengamatan morfologi terhadap cendawan, dilakukan menggunakan metode
Riddle (1950) yaitu menumbuhkan cendawan pada PDA yang diletakkan pada
bagian tengah kaca obyek steril. Kaca objek dimasukkan kedalam cawan petri
steril yang mengandung kertas saring steril yang lembap dan diinkubasi selama
15-30 hari. Kaca penutup yang ditumbuhi cendawan dipindahkan pada kaca
obyek steril yang telah ditetesi larutan shear’s (Lampiran 6e) (Mueller et al.
2004). Selanjutnya diamati dibawah mikroskop cahaya BX 53 perbesaran 400 –
1000 kali. Pengamatan terhadap struktur konidia dan miselia cendawan
menggunakan kunci identifikasi Trappe (1962) dan Barnet & Hunter (1972).
Analisis Molekuler Menggunakan Daerah ITS rDNA
Terdapat 4 tahapan utama dalam analisis molekular untuk identifikasi yaitu
isolasi DNA dari isolat cendawan, amplifikasi DNA dengan PCR, sekuensing
DNA, dan analisis sekuen menggunakan program BLAST-N.
Isolasi DNA Cendawan
Isolasi DNA diawali dengan menumbuhkan isolat dalam media Potato
Dextrose Broth (PDB) selama 15 hari pada suhu ruang. Miselium selanjutnya
dipanen untuk proses ekstraksi DNA yang dilakukan dalam beberapa tahapan,
yaitu: perusakan dinding sel; pelisisan sel; dan ekstraksi DNA menggunakan DNA
extraction kit phytopure. Langkah yang dilakukan pada tahap perusakan dinding
sel ialah sebagai berikut: Miselium dimasukkan ke dalam Ependorf berukuran 1,5
mL yang berisi 50 µL air mili Q. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
maksimal (13.500 rpm) selama 10 menit. Setelah disentrifugasi, air mili Q pada
ependorf dibuang dengan menggunakan pipet mikro, lalu miselium
dihomogenisasi secara kinetis dengan pastel sampai halus.
Langkah selanjutnya melisis sel yang dimulai dengan menambahkan 300 µL
reagen I dan 3 µL RNase ke dalam ependorf yang berisi miselium yang telah
dihomogenisasi. Selanjutnya, ependorf diinkubasi selama 30 menit dengan suhu
370C menggunakan shake waterbath, lalu ditambahkan 200 µL reagen II,
dihomogenisasi dan diinkubasi pada es selama 20 menit. Langkah pada tahap
ekstraksi DNA dimulai dengan menambahkan 250 µL kloroform dan 250 µL
fenol dingin ke dalam ependorf dan dikocok perlahan (dibolak-balik) selama 10
menit pada suhu ruang. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada
suhu 40C selama 10 menit. Hasil sentrifugasi sampel akan membentuk tiga
lapisan. Lapisan paling atas supernatan DNA, lapisan tengah protein, dan lapisan
paling bawah kloroform.Lapisan DNA dipindahkan ke ependorf yang baru,
ditambah 300 µL isopropanol dingin, dihomogenisasi perlahan dan disentrifugasi
dengan kecepatan 13.500 rpm selama 10 menit hingga terbentuk pelet DNA.
Supernatant dibuang, pelet DNA dicuci dengan 50 µL etanol absolut dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 13.500 rpm selama 10 menit. Sisa-sisa
etanol dibuang dan pelet DNA dikeringkan selama 30 menit. Pelet DNA
kemudian diresuspensi dengan menambahkan nuclease free water sebanyak 50
6
µL.
Kuantitas
DNA
kemudian
diukur
menggunakan
Nanodrop
Spechtrophotometer 2000 Thermoscientific pada panjang gelombang 260 nm dan
280 nm.
Amplifikasi DNA Cendawan Dengan PCR
Amplifikasi DNA daerah ITS rDNA dilakukan menggunakan primer ITS 5
(forward) (GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG) dan ITS 4 (reverse)
(TCCTCCGCTTATTGATATGC) (White et al. 1990). Komposisi PCR untuk
isolat cendawan dilakukan dengan volume total 25 µL yang terdiri dari campuran
10 µL nuclease free water, 12,5 µL GoTaq Green Master Mix, 0,5 µL DMSO, 0,5
µL primer forward dan reverse (10 pmol), dan 1 µL (konsentrasi 295,9 ng/µL)
ekstrak genom DNA template. Proses PCR berlangsung pada PCR thermal cycler
dengan profil PCR yaitu 1 siklus meliputi denaturasi awal pada 95 0C selama 3
menit, pengulangan sebanyak 35 siklus dari denaturasi pada 95 0C selama 30 detik,
penempelan primer pada 550C selama 30 detik, pemanjangan pada 720C selama 1
menit, dan 1 siklus akhir meliputi pemanjangan pada 720C selama 10 menit,
pendinginan pada 40C selama 10 menit, inkubasi pada 150C selama 10 menit.
Hasil amplifikasi dengan PCR selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa 1%
dengan tegangan 100 V selama 30 menit, kemudian difoto pada transiluminator
UV dan difoto dengan printgraph. Sebagai penanda, digunakan DNA penanda 1
Kb.
Sekuensing DNA
Sekuensing dilakukan dengan bantuan PT. Genetika Science Indonesia,
Jakarta. Hasil sekuensing dianalisis dan ditentukan homologinya dengan spesiesspesies yang telah ada di Bank Gen, dengan program Chromas Pro versi 1.5 dan
menggunakan bantuan situs NCBI http://www.ncbi.nlm.nih.gov dan UNITE
http://www.unite.ut.ee. Identitas jenis ektomikoriza ditentukan dengan mencari
homologi yang paling tinggi (100%) dengan sekuens yang telah ada.
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian
7
7
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan BKPH Lembang
Kondisi lingkungan petak contoh pengambilan sampel di BKPH Lembang
memiliki curah hujan 4300-5200 mm per tahun, suhu rata-rata 210C dengan suhu
terendah 180C dan suhu tertinggi 240C (Schmidt & Fergusson 1951). Jenis tanah
yang mendominasi ialah latosol yang mengandung banyak humus, dan terdapat
kandungan pasir gunung (Perum Perhutani 1991). Hasil analisis tanah (Lampiran
2) menunjukkan bahwa jenis tanah tersebut memiliki pH rendah yaitu 5,1. Selain
itu, hasil uji Bray 1 menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki kandungan
fosfat tersedia yang sangat rendah yaitu 4,7 ppm, sehingga tumbuhan tidak dapat
menyerap unsur P dari dalam tanah tersebut karena konsentrasinya terlalu rendah.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa peran ektomikoriza dalam proses
penyerapan fosfat dari tanah dan mentransfernya ke tumbuhan P. merkusii sangat
besar (Smith & Read 1997).
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
Sebanyak 240 potong akar ektomikoriza berhasil dikoleksi dari 100 sampel
yang berasal dari lima petak pengamatan (Lampiran 3). Jumlah akar ektomikoriza
paling banyak terdapat di satu petak pengamatan, yaitu petak 4. Sebaliknya,
jumlah ektomikoriza yang paling sedikit terdapat pada petak 3 (Tabel 1). Hasil
karakterisasi morfologi ektomikoriza berdasarkan Characterisation of
ectomycorrhiza (Agerer 1991), menunjukkan bahwa ke-240 potong akar
tergolong ke dalam 4 morfotipe, yaitu irregular pinnate, dikotom, monopodial,
dan koraloid (Gambar 3). Morfotipe irregular pinnate merupakan tipe yang
mendominasi sampel ektomikoriza yang diambil pada setiap petak dengan
frekuensi kedapatan sebesar 72,5 % (Tabel 1). Hasil pengamatan lebih lanjut
terhadap anatomi irisan akar kontrol dengan akar yang terkolonisasi ektomikoriza
menunjukkan adanya perbedaan. Pada anatomi akar kontrol, tidak menunjukan
adanya mantel dan jala Hartig diantara ruang sel korteks maupun epidermis yang
dibentuk oleh cendawan ektomikoriza (Gambar 4). Sebaliknya, pengamatan
anatomi pada tiap morfotipe terlihat adanya struktur mantel, dan jala Hartig yang
terwarnai oleh methylene blue dan basic fuchsin (Gambar 5-8).
Tabel 1 Keanekaragaman tipe percabangan ektomikoriza Pinus merkusii
Petak
Frekuensi
Morfotipe
Total
(%)
1
2
3
4
5
Irregular pinnate
33
43
33
35
30
174
72,5
Dikotom
9
1
1
12
5
28
11,7
Monopodial
0
3
3
8
4
18
7,5
Koraloid
0
3
2
2
13
20
8,3
Total
42
50
39
57
52
240
100
9
Gambar 3 Morfotipe ektomikoriza yang berasal dari BKPH Lembang. (a)
irregular Pinnate, (b) dikotom, (c) monopodial, (d) koraloid
Gambar 4 Karakteristik anatomi akar P. merkusii kontrol pada irisan melintang.
Fe: Felem, Kr: Sel korteks, Ed: Sel Endodermis
10
Gambar 5 Karakteristik anatomi morfotipe irregular pinnate. (a) irisan melintang
akar, (b) irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe M, (c)
irisan
membujur
akar,
(d)
irisan
membujur
mantel
pseudoparenchymatous tipe M, (e) jala Hartig tipe A yang
mengelilingi sel korteks, (f) irisan membujur jala Hartig tipe A di luar
sel korteks. HE: Hifa eksternal, Ma: Mantel, Ep: Sel epidermis, Kr:
Sel korteks, Jh: Jala Hartig
11
Gambar 6 Karakteristik anatomi morfotipe dikotom. (a) irisan melintang akar, (b)
irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe M, (c) irisan
membujur akar, (d) irisan membujur mantel pseudoparenchymatous
tipe M, (e) jala Hartig tipe A yang mengelilingi sel korteks, (f) irisan
membujur jala Hartig tipe A di luar sel korteks. HE: Hifa eksternal,
Ma: Mantel, Ep: Sel Epidermis, Kr: Sel Korteks, Jh: Jala Hartig
12
Gambar 7 Karakteristik anatomi morfotipe monopodial. (a) irisan melintang akar.
(b) irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe L, (c) irisan
membujur akar, (d) irisan membujur mantel pseudoparenchymatous
tipe L, (e) jala Hartig tipe A yang mengelilingi sel korteks, (f) irisan
membujur jala Hartig tipe A di luar sel korteks. Ma: Mantel, Ep: Sel
epidermis, Kr: Sel korteks, Jh: Jala Hartig
13
Gambar 8 Karakteristik anatomi morfotipe koraloid. (a) irisan melintang akar, (b)
irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe L, (c) irisan
membujur akar, (d) irisan membujur mantel pseudoparenchymatous
tipe L, (e) jala Hartig tipe A yang mengelilingi sel korteks, (f) irisan
membujur jala Hartig tipe A di luar sel korteks. HE: Hifa eksternal,
Ma: Mantel, Ep: Sel epidermis, K: Sel korteks, Jh: Jala Hartig
14
14
Tabel 2 Karakteristik morfotipe dan anatomi ektomikoriza Pinus merkusii BKPH Lembang
Karakteristik anatomi
Karakteristik morfotipe
Halus dengan sedikit hifa
eksternal
Halus dengan sedikit hifa
eksternal
Halus
tanpa hifa eksternal
Halus dengan sedikit hifa
eksternal
Irregular pinnate
Dikotom
Monopodial
Koraloid
Ketebalan mantel (µm)
Permukaan
mantel akar
Struktur Mantel
Hifa
eksternal
Tipe
jala
Hartig
Pseudoparenchymatous tipe M
Ada
Tipe A
Pseudoparenchymatous tipe M
Ada
Tipe A
Pseudoparenchymatous tipe L
Tidak Ada
Tipe A
Pseudoparenchymatous tipe L
Ada
Tipe A
Penetrasi
Jala
Hartig
Cortical
Hartig
Cortical
Hartig
Cortical
Hartig
Cortical
Hartig
35
30
25
20
15
Irisan Melintang
melintang
Sayatan
10
Irisan Membujur
membujur
Sayatan
5
0
Boletales
(Irregular
pinnate)
Rusulales
(Dikotom)
Tuberales
(Monopodial)
Boletales
(Koraloid)
Morfotipe
Gambar 9 Ukuran ketebalan mantel tiga ordo cendawan ektomikoriza
Ordo
Boletales
Russulales
Tuberales
Boletales
15
Hasil karakterisasi berdasarkan metode Agerer (1993) yaitu ciri-ciri tipe
mantel, tipe jala Hartig yang mengelilingi sel korteks, dan ketebalan mantel
menunjukkan bahwa ke-4 morfotipe tersebut yaitu irregular pinnate, dikotom,
monopodial, dan koraloid secara berturut-turut merupakan karakteristik dari tiga
ordo cendawan ektomikoriza yaitu Boletales, Russulales, dan Tuberales (Tabel 2).
Ketiga ordo tersebut, memiliki struktur mantel pseudoparenchymatous. Meskipun
ketiganya memiliki struktur mantel yang sama, namun apabila dianalisis lebih
lanjut yaitu analisis terhadap tipe mantelnya maka dijumpai perbedaan. Pada
morfotipe irregular pinnate dan dikotom, struktur mantelnya ialah
pseudoparenchymatous tipe M, karena bentuk selnya angular sedangkan pada
morfotipe monopodial dan koraloid ialah pseudoparenchymatous tipe L karena
bentuk selnya epidermoid (Lampiran 4) (Agerer 1993).
Keempat morfotipe yang terbentuk oleh 3 ordo mempunyai jala Hartig
korteks (cortical Hartig net). Jala hartig korteks merupakan karakter yang khas
untuk cendawan yang mengolonisasi tumbuhan Gymnospermae (Smith & Read
1997). Selanjutnya hasil analisis tipe jala Hartig menunjukkan bahwa ketiga ordo
Boletales, Russulales, dan Tuberales memiliki tipe jala Hartig yang sama yaitu
jala Hartig tipe A.Walaupun tipenya sama, namun analisis lebih lanjut terhadap
ketebalan mantel pada irisan melintang dan membujur akar, pada tiap ordo
ektomikoriza ternyata memiliki perbedaan. Ordo Boletales memiliki ketebalan
mantel yang paling tebal apabila dibandingkan dengan ordo lainnya (Gambar 9).
Permukaan mantel akar ketiga ordo tergolong ke dalam tipe halus ketika dilihat
dibawah mikroskop stereo (Tabel 2). Pada tipe tersebut permukaan mantel akar
disertai sedikit hifa eksternal atau tanpa hifa eksternal (Agerer 1993). Pengamatan
anatomi akar pada hifa eksternal yang dibentuk oleh cendawan ektomikoriza tidak
terlihat pada ordo Tuberales (Gambar 7 a), tetapi terlihat jelas pada ordo Boletales
(Gambar 5 a dan 8 a) dan Russulales (Gambar 6 a).
Dari ketiga ordo tersebut, ordo yang paling dominan ditemukan adalah
Boletales dengan morfotipe irregular pinnate. Morfotipe irregular pinnate dan
koraloid dibentuk oleh ordo Boletales yang berasal dari beberapa genus
diantaranya ialah Inocybe, dan Rhizopogon. Morfotipe dikotom biasanya dibentuk
oleh ordo Russulales yang merupakan ciri khas dari beberapa genus seperti
Russula dan Lactarius. Morfotipe monopodial umumnya dibentuk oleh ordo
Tuberales yang berasal dari genus Tuber. Morfotipe monopodial kebanyakan
dimiliki oleh cendawan ektomikoriza yang berasal dari filum Ascomycota jika
dibandingkan dengan filum Basidiomycota (Agerer 1991).
Analisis Morfologi Cendawan
Diperoleh 20 isolat kultur cendawan hasil isolasi dari akar yang sudah
dikarakterisasi morfotipenya. Identifikasi secara morfologi menunjukkan bahwa
hanya diperoleh satu cendawan ektomikoriza yaitu dari petak 5 dari akar yang
mempunyai morfotipe monopodial. Cendawan ektomikoriza tersebut memiliki
ciri–ciri makroskopis yaitu miselium berwarna hitam, memiliki diameter
pertumbuhan miselium 5 cm dalam satu bulan pada media PDA. Hifa berwarna
coklat kehitaman, hifa septat, tidak memiliki sambungan apit (clamp), memiliki
papila pada hifa, terdapat fusi antar hifa, dan diameter hifa 3,03 – 5,8 µm
16
(Gambar 10). Cendawan tersebut apabila dicocokkan dengan kunci identifikasi
Trappe (1962) merupakan genus Cenococcum. Berdasarkan kunci identifikasi
Trappe (1962) ciri lain yang dimiliki Cenococcum ialah memiliki hifa
monokarion, berwarna kekuningan ketika muda tetapi segera berubah coklat
kehitaman sampai hitam. Cenococcum ialah cendawan Ascomycota yang tidak
membentuk spora dalam media semi sintesis (Trappe 1962).
Gambar 10 Miselium Cenococcum. (a) pada media PDA berumur satu bulan
setelah inokulasi pada suhu ruang, (b) fusi antar hifa, (c) hifa septat,
(d) papila pada hifa
Rendahnya keberhasilan isolasi cendawan ektomikoriza dari akar P.
merkusii menunjukkan bahwa tidak semua cendawan ektomikoriza mampu
tumbuh pada media PDA. Telah diketahui, media PDA merupakan media umum
yang digunakan untuk mengisolasi cendawan, termasuk cendawan ektomikoriza.
Beberapa cendawan ektomikoriza yang berhasil diisolasi pada media tersebut
yaitu Hebeloma, Tricholoma, Hysterangium, dan Labyrinthomyces (Brundrett et
al. 1996). Tingkat keberhasilan isolasi yang rendah diduga juga karena umur
simbiosis ektomikoriza pada akar P. merkusii sudah tua, sehingga cendawan tidak
17
mampu tumbuh secara optimal (Smith & Read 1997). Selain itu, diduga cendawan
non ektomikoriza yang tumbuh disekitar ektorizosfer lebih unggul dalam bersaing
dengan cendawan ektomikoriza ketika ditumbuhkan pada media PDA, walaupun
telah dilakukan sterilisasi permukaan ( Marx & Kenny 1982). Berhasilnya genus
Cenococcum diisolasi pada media PDA diduga karena cendawan ini mempunyai
sifat saprob lemah dan lebih tahan terhadap kondisi stres di alam (Pigott et al.
1982). Cendawan ini memiliki variasi inang yang luas. Lebih dari 200 spesies
Gymnospermae dan Angiospermae dari 40 genus termasuk Pinus merupakan
inang dari Cenococcum (Trappe 1962). Ke-19 isolat lainnya yang berhasil
diisolasi ialah cendawan non ektomikoriza.
Analisis Molekular Cenococcum
Hasil uji kuantitatif dan kualitatif terhadap DNA genom isolat cendawan
Cenococcum menunjukkan bahwa DNA yang dihasilkan memiliki konsentrasi
295,9 ng/ µL, dengan rasio A260/A280 1,82 (Tabel 3). Isolasi DNA genom dari
Cenococcum menunjukkan tingkat kemurnian yang baik. Kualitas DNA yang baik
memiliki rasio absorbansi 260/280 nm sebesar 1,8 – 2,0 (1,8 ≤ A260/ A280 ≤ 2,0)
(Sambrook et al. 1989).
Tabel 3
Kuantitas dan kemurnian DNA genom total isolat cendawan
ektomikoriza
Kode Isolat
A260
A280
[DNA] ng/µL
A260/A280
V2
5,918 3,256
295,9
1,82
Pita DNA Cenococcum yang terbentuk pada gel agarosa 1% memiliki
ukuran > 750 bp. Pita DNA pada kontrol negatif tidak terlihat yang menunjukkan
bahwa tidak adanya kontaminasi DNA cendawan lain pada reaksi PCR (Gambar
11).
Gambar 11 Hasil amplifikasi DNA Cenococcum pada daerah ITS. Keterangan M
= marker 1 Kb; V2 = Isolat cendawan Cenococcum; K(-) = kontrol
negatif (tanpa DNA template).
Hasil BLAST sekuen ITS rDNA Cenococcum menggunakan data gene Bank
di NCBI menunjukkan kemiripan terdekat dengan Cenococcum geophilum dengan
query coverage 91% dan max indent 96% (Tabel 4). Hasil analisis menggunakan
data gene bank di UNITE menunjukkan hasil yang sama dengan NCBI dengan
18
skor spesies tersebut > 700 dengan nilai error 0 (Tabel 4). Nilai similaritas sebesar
96% menunjukkan bahwa isolat yang berhasil diperoleh berpeluang sebagai
spesies baru dari genus Cenococcum. Berdasarkan analisis morfologi isolat
tersebut hanya dapat teridentifikasi ke taraf genus sedangkan dengan analisis
rDNA berhasil teridentifikasi ke taraf spesies. Hal ini menunjukkan bahwa
analisis molekular lebih akurat. Analisis hasil molekular dari isolat ini
menunjukkan bahwa pasangan primer ITS 5 dan ITS 4 dapat mengamplifikasi
DNA cendawan Cenococcum. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Gardes &
Bruns (1993) yang melaporkan bahwa pasangan primer universal mampu
mengamplifikasi dengan baik cendawan ektomikoriza dari filum Ascomycota.
Tabel 4 Hasil analisis bioinformatika menggunakan
dan UNITE
Kode
Program
Homologi
No Akses Skor
Isolat
BLAST
V2
JN943884 1270
Cenococcum NCBI
geophilum
UNITE
JN943889 745
program BLAST di NCBI
Query
coverage
91%
-
Max
Indent
96%
-
E
Value
0
0
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian terhadap
keanekaragaman jenis ektomikoriza yang dilakukan oleh Darwo & Sugiarti
(2008) pada habitat asli P. merkusii di Sumatera Utara, didapatkan ektomikoriza
dari genus Boletus, Inocybe,dan Suilus yang termasuk ke dalam ordo Boletales,
genus Russula yang termasuk ke dalam ordo Russulales, dan genus Scleroderma
yang termasuk ke dalam ordo Sclerodermatales. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ordo Boletales dan Russulales ialah cendawan ektomikoriza yang dapat
ditemukan berasosiasi dengan P. merkusii. Ordo Tuberales dan genus
Cenococcum dari ordo Mytilinidiales yang ditemukan di BKPH Lembang, belum
dilaporkan berasosiasi dengan P. merkusii pada habitat asli di Indonesia. Data dari
penelitian ini dapat menambah informasi tentang keragaman cendawan
ektomikoriza yang berasosiasi dengan P. merkusii di Indonesia. Perbedaan hasil
yang ditemukan pada penelitian ini dengan yang dilaporkan oleh Darwo &
Sugiarti (2008) diduga karena pada penelitian ini menggunakan analisis morfotipe
dan anatomi akar serta kultur cendawan ektomikoriza hasil isolasi, sedangkan
penelitian Darwo & Sugiarti (2008) hanya berdasarkan analisis pada tubuh buah
yang dikoleksi.
SIMPULAN
Dari 100 sampel akar, dapat dikoleksi 240 potong akar yang terkolonisasi
cendawan ektomikoriza. Hasil karakterisasi ke-240 potong akar menunujukkan
bahwa terdapat 4 morfotipe ektomikoriza pada P. merkusii yaitu Irregular
pinnate, dikotom, monopodial, dan koraloid. Keempat morfotipe tersebut
termasuk ke dalam tiga ordo cendawan ektomikoriza yaitu Boletales, Russulales
dan Tuberales. Morfotipe yang mendominasi ke-5 petak adalah Irregular pinnate
yang termasuk ke dalam ordo Boletales. Berdasarkan analisis morfologi dan
19
molekular terhadap isolat hasil isolasi diperoleh Cenococcum geophilum sebagai
cendawan ektomikoriza. Primer universal ITS 5 dan ITS 4 dapat digunakan untuk
mengamplifikasi DNA Cenococcum geophilum pada daerah ITS rDNA.
Kemiripan sekuen isolat hasil isolasi dengan Cenococcum geophilum dari data
gene bank ialah 96%, yang menunjukkan bahwa isolat tersebut berpeluang
sebagai spesies baru dari genus Cenococcum.
SARAN
Diperlukannya penelitian lanjutan untuk media yang digunakan ketika
mengisolasi cendawan ektomikoriza secara spesifik. Postulat Koch dapat
dilakukan untuk penelitian lanjutan jika ingin membuktikan isolat Cenococcum
sp. mampu mengolonisasi akar P. merkusii.
DAFTAR PUSTAKA
Agerer R. 1991.Characterisation of ectomycorrhiza. Method Microbiol. 23: 2573.
Agerer R. 1993. Atlas of Ectomycorrhizae. Germany: Einhorn Verlag.
Schwabisch Gmund D-73525.
Barnet HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-3.
Minneapolis: Burgess Publishing Company.
Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working With
Mycorrhizae in Forestry and Agriculture. Australia: Monograph ACIAR.
Darwo, Sugiarti. 2008. Beberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan
Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. J Penelit Hut Konserv
Al. 5(2):157-173.
Gardes M, Bruns TD. 1993. ITS primer with enhanced specifity for
Basidiomycetes application to the identification of mycorrhizae and rust.
Mol Ecol. 2:113-118.
Johansen DA. 1940. Plant Microtecnique. New York: McGraw Hill.
Khaerudin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Jakarta: Penebar Swadaya Jakarta.
Komarayati S, Gusmailina, Pari G. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos
dari serasah dan kulit kayu tusam. BPHHB. 20(3):231-232.
Lamprecht H. 1989. Silviculture in The Tropics Tropical Forest Ecosystems and
Their Tree Species Possibilities and Methods for Their Longterm
Utilization. Jerman: T2 Verlags gesells.
Marx DH, Kenney DS. 1982. Production of ectomycorrhizal fungus inoculum. Di
dalam Schenk NC, editor. Methods and Principles of Mycorrhizal Research.
Minnesota: The American phytopathological.
Mueller GM, Bills GF, Foster MS. 2004. Biodiversity of Fungi Inventory and
Monitoring Methods. USA: Elsevier Academic Press.
Ollson PA, Munzenberger B, Mahmood S, Erland S. 2000. Molecular and
anatomical evidence for three way association between Pinus sylvestris and
20
the ectomycorrhizal fungi Suillus bovinus and Gomphidius roseus. J Mycol.
16(1):8-9.
Perum Perhutani. 1991. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan
Pinus KPH Bandung Utara. Jilid AI. Bandung.
Perum Perhutani. 1992. Selayang Pandang KPH Bandung Utara. Bandung.
Pigott CD. 1982. Fine structure of mycorrhiza formed by Cenococcum geophilum
FR. On Tilia cordata mill. New Pythol. 92:501-512.
Riddle RW. 1950. Permanent stained mycological preparation obtained by slide
culture. Mycol Res. 42:265-270.
Sakakibara SM, Jones MD, Gillespie M, Hagerman SM, Forrest ME, Simard W,
Durall DM. 2002. A comparison of ectomycorrhiza identification based on
morphotyping and PCR-RFLP analysis. Mycol Res. 106 (8): 868-878.
Sambrook J, Fitsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. Second edition. New York: Cold Spring Labor Press.
Santoso E, Turjaman M. 1999. Prospek dan permasalahan ektomikoriza pada
tanaman Pinus dan Eucalyptus, dalam pemanfaatan cendawan mikoriza
sebagai agen bioteknologi ramah lingkungan dalam meningkatkan
produktivitas lahan di bidang kehutanan, perkebunan dan pertanian di Era
Milenium Baru. Prosiding Seminar Nasional I. Asosiasi Mikoriza Indonesia
(AMI), Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Badan Litbang dan
Perkebunan, The British Council (Jakarta). 2000. Hlm.110-116.
Schmidt FH, Ferguson JHA. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesian with Western New Guinea. Jakarta: Kementrian
Perhubungan Jawatan Meteorologi dan Geofisika.
Silitonga T. 1983. Pemungutan dan Pemanfaatan Hutan Pinus : Suatu Tantangan
dan Kesempatan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Smith SE, Read DJ. 1997. Mychorrhizal symbiosis. Ed ke-2. London: Academic
Press.
Trappe JM. 1962. Cenococcum graniforme ITS distribution, ecology, mycorrhiza
formation, and inherent variation [disertasi]. Michigan. University of
Washington.
Van Hees PAW, Jones DL, Jentschke G, Godbold DL. 2004. Mobilization of
alumunium, iron and silicon by Picea abies and ectomycorrhizas in a forest
soil. Euro J Soil Sci. 55:101-111.
White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of
fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics, p. 315-322. Di dalam Innis
MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ editor, PCR protocols: A guide to
methods and application. San Diego: Academic Press.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1990 dari ayahanda
Slamet dan ibunda Misem. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 33 Jakarta, dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Penulis mempunyai pengalaman sebagai asisten praktikum pada mata
kuliah Biologi Cendawan, melaksanakan studi lapangan di Pantai Pangandaran,
melaksanakan praktik lapangan Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB). Penulis
juga aktif menjadi anggota Serum G Mahasiswa FMIPA (2009-2010). Selain itu,
penulis juga pernah mendapatkan beasiswa Program Peningkatan Prestasi
Akademik (PPA).
22
LAMPIRAN
23
Lampiran 1 Hasil penentuan ordinat lokasi pembuatan plot menggunakan GPS
Plot Titik
Arah
Ordinat
Ketinggian Eror
0
Selatan
06 47’ 33.6”
1
1426
4
Timur
1070 37’ 21.3”
Selatan
060 47’ 33.6”
2
1426
4
Timur
1070 37’ 21.1”
I
Selatan
060 47’ 33.5”
3
1429
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 34”
4
1423
3
Timur
1070 37’ 21.7”
Selatan
060 47’ 30.8”
1
1426
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 30.7”
2
1456
3
Timur
1070 37’ 21.4”
II
Selatan
060 47’ 30.1”
3
1446
3
Timur
1070 37’ 21.3”
Selatan
060 47’ 29.9”
4
1446
3
Timur
1070 37’ 21.8”
Selatan
060 47’ 29.7”
1
1448
3
Timur
1070 37’ 21.8”
Selatan
060 47’ 29.4”
2
1452
3
Timur
1070 37’ 21.3”
III
Selatan
060 47’ 28.9”
3
1453
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 28.9”
4
1452
3
Timur
1070 37’ 21.3”
Selatan
060 47’ 27.1”
1
1461
3
Timur
1070 37’ 21.5”
Selatan
060 47’ 27.4”
2
1462
3
Timur
1070 37’ 22.1”
IV
Selatan
060 47’ 27.5”
3
1461
3
Timur
1070 37’ 22.2”
Selatan
060 47’ 27.8”
4
1458
3
Timur
1070 37’ 21.4”
Selatan
060 47’ 27.2”
1
1461
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 26.7”
2
1462
4
Timur
1070 37’ 21.3”
V
0
Selatan
06 47’ 26.3”
3
1465
4
Timur
1070 37’ 21.4”
0
Selatan
06 47’ 26.3”
4
1464
3
Timur
1070 37’ 21.4”
24
Lampiran 2 Penilaian analisis tanah BKPH Lembang
Sifat Tanah
Metode
Hasil
Penilaian
C – organik (%)
Walkley & Black
7,18
Sangat Tinggi
N-Total (%)
Kjeldhal
0,47
Sedang
Nisbah C/N
15,27
Sedang
P (ppm)
Bray I
4,7
Sangat Rendah
KTK (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
11,96
Rendah
Ca (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
1,89
Sangat Rendah
Mg (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
0,72
Rendah
K (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
0,29
Rendah
Na (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
0,07
Sangat Rendah
Tekstur :
Pasir (%)
38,83
Debu (%)
45,38
Lempung
Liat
15,79
pH
H2O
5,10
Masam
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya
Lahan IPB
25
Lampiran 3 Keanaekaragaman morfotipe ektomikoriza di setiap plot yang berasal
dari BKPH Lembang
Petak
Pohon
Morfotipe
Jumlah
1
Irregular Pinnate
6
2
Irregular Pinnate
2
Irregular Pinnate
5
I
3
Dikotom
9
4
Irregular Pinnate
4
5
Irregular Pinnate
16
1
Irregular Pinnate
13
2
Irregular Pinnate
3
3
Irregular Pinnate
8
Irregular Pinnate
15
II
Dikotom
1
4
Monopodial
3
Koraloid
1
5
Irregular Pinnate
4
Koraloid
2
1
Irregular Pinnate
5
Irregular Pinnate
3
2
Monopodial
1
Koraloid
2
3
Irregular Pinnate
1
III
Irregular Pinnate
8
4
Monopodial
1
Irregular Pinnate
16
5
Dikotom
1
Monopodial
1
Irregular Pinnate
9
Dikotom
1
1
Monopodial
1
Koraloid
2
Irregular Pinnate
4
2
IV
Monopodial
2
3
Irregular Pinnate
4
Irregular Pinnate
6
4
Monopodial
5
Irregular Pinnate
12
5
Dikotom
11
Irregular Pinnate
17
Dikotom
3
1
Monopodial
1
Koraloid
3
V
Irregular Pinnate
1
Dikotom
1
2
Monopodial
2
Koraloid
4
26
Petak
Pohon
3
4
5
Total
25 Pohon
Morfotipe
Irregular Pinnate
Irregular Pinnate
Dikotom
Monopodial
Koraloid
Irregular pinnate
Koraloid
Jumlah
3
6
1
1
1
3
5
240
27
Lampiran 4
Gambar Tipe mantel ektomikoriza sebagai penampakan hasil sayatan
permukaan mantel. (A): Plectenchymatous dengan susunan jalinan hifa
seperti cincin. (B): Plectenchymatous, dengan hifa yang tersusun agak
tidak teratur, tidak ada bentuk khusus yang terlihat, tetapi hifa sering
tumbuh secara longitudinal mengikuti orientasi akar. (C):
Plectenchymatous, dengan matriks gelatin diantara hifa. (D):
Plectenchymatous, hifa tersusun seperti jala dengan sistidia yang jelas.
(E) Plectenchymatous, hifa tersusun seperti jala, berulang dan bercabang
membentuk sudut segi empat (squarrosely). (F): Plectenchymatous,
terkadang terdapat sel yang membulat yang terletak diatas mantel
plectenchymatous. (G): Plectenchymatous, hifa tersusun seperti bintang
dan menempel satu sama lain. (H): Tipe transisi antara plectenchymatous
dan pseudoparenchymatous, bentuk tidak teratur , hifa membentuk jala
coarse. (I): Plectenchymatous, mantel dengan hymeniform, hampir tegak
lurus dan menonjol, ujung hifa kuat dan sedikit bengkok yang terisi
dengan tetesan berminyak. (K): Pseudoparenchymatous, terdiri dari sel
angular,
memiliki
tumpukan
sel
yang
membulat.
(L):
Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel angular. (M) :
Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel epidermoid. (N):
Pseudoparenchymatous mantel dengan beberapa sel berisi droplet,
terwarnai dengan sulfo vanilin; bentuk sel bervariasi. (O):
Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel angular dan sel-sel rata yang
menumpuk. (P): Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel angular
memiliki jala hifa yang transparan. (Q): Pseudoparenchymatous dengan
sel epidermoid memiliki jala hifa yang transparan (Agerer 1993).
28
Lampiran 5 Metode pembuatan preparat irisan melintang dan membujur
1. Fiksasi: akar ektomikoriza difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA dengan
komposisi sebagai berikut:
Etanol 70%................... 90 bagian
Asam asetat glasial........ 5 bagian
Formaldehyde............... 5 bagian
2. Pencucian: larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 2
kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 1 jam. Pencucian
dilanjutkan dengan alkohol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian
masing-masing selama 1 jam.
3. Dehidrasi dan penjernihan: dilakukan secara bertahap dengan merendam
bahan dalam larutan seri Johansen I-VII. Waktu perendaman untuk masingmasing tahap adalah sebagai berikut:
Johansen I................ 2 jam
Johansen II...............24 jam
Johansen III.............. 2 jam
Johansen IV............. 2 jam
Johansen V.............. 2 jam
Johansen VI.............24 jam
Johansen VI............. 2 jam
Johansen VI............. 2 jam
Johansen VI............. 2 jam
Johansen VII dalam botol yang berisi 1/3 bagian parafin beku.
4. Infiltrasi: wadah berisi sampel akar dan campuran TBA, minyak parafin, serta
1/3 bagian parafin disimpan pada:
suhu kamar selama 4 jam (tutup dibuka)
dalam oven (58oC) selama 12 jam (tutup dibuka)
tuang seluruh parafin, ganti dengan parafin cair baru, kemudian disimpan
dalam oven dengan suhu 58oC
dilakukan 4 kali penggantian parafin, dengan durasi masing-masing:
a. Parafin I................ 5 jam
b. Parafin II............... 5 jam
c. Parafin III.............. 24 jam
d. Parafin IV............. 7,5 jam
5. Penanaman (blok): tuang semua cairan parafin beserta sampel daun ke dalam
cetakan blok berbentuk kubus.
6. Penyayatan: blok yang sudah dirapikan membentuk trapesium ditempel pada
holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm.
7. Perekatan: sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumingliserin dan ditetesi air. Gelas obyek berisi pita parafin dipanaskan pada hot
plate dengan suhu 45oC selama 24 jam.
8. Pewarnaan: dilakukan pewarnaan ganda methylene blue dan basic fuchsin
(Brundret et al. 1996) dengan metode Johansen (1940) yang dimodifikasi.
Berturut-turut gelas obyek direndam ke dalam larutan berikut:
Xilol 1.................................................... 10-15 menit
Xilol 2.................................................... 10-15 menit
Etanol absolut........................................ 3 menit
29
Etanol absolut........................................ 3 menit
Etanol 95%............................................ 3 menit
Etanol 70%............................................ 3 menit
Etanol 50%............................................ 3 menit
Etanol 30%............................................ 3 menit
Aquades................................................. 3 kali celup
Methylene blue....................................... 1 menit
Aquades.................................................. 3 kali celup
Basic fuchsin........................................... 15 detik
Aquades.................................................. 3 kali celup
9. Penutupan: bahan diberi media entellan dan ditutup dengan gelas penutup
10.Pemberian label: label ditempel pada sisi kiri gelas obyek.
30
Lampiran 6 Komposisi larutan dan pewarna
Lampiran 6a Komposisi larutan seri Johansen
Larutan Johansen
Komposisi
I
II
III
IV
V
Air
50% 30%
15%
Etanol 95%
40% 50%
50% 45%
Etanol 100%
25%
Tertier butil alkohol
10% 20%
35% 55% 75%
Minyak parafin
Lampiran 6b Komposisi larutan Gifford
Komposisi
Alkohol 60%
Asam asetat glacial
Gliserin
Volume (ml)
80
20
5
Lampiran 6c Komposisi pewarna methylene blue
Komposisi
Takaran
Methylene blue
0,130 gr
Glycerol
10 mL
Methanol
10 mL
Phosphate buffer (pH 6,9)
Aquades
30 mL
50 mL
PEMANGKU HUTAN (BKPH) LEMBANG
OKTAN DWI NURHAYAT
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ektomikoriza Pinus
merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Lembang adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Oktan Dwi Nurhayat
NIM G34080028
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
i
ABSTRAK
OKTAN DWI NURHAYAT. Ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan
Pemangku Hutan (BKPH) Lembang. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO dan
I MADE SUDIANA.
Pinus merkusii di BKPH Lembang berasosiasi dengan cendawan
ektomikoriza yang menghasilkan 4 morfotipe akar. Morfotipe akar tersebut ialah
irregular pinnate, dikotom, monopodial, dan koraloid. Irregular pinnate ialah
morfotipe akar dominan dengan frekuensi 72,5%. Empat morfotipe tersebut
dibentuk oleh tiga ordo cendawan ektomikoriza yaitu Boletales, Russulales, dan
Tuberales. Boletales membentuk dua morfotipe yaitu irregular pinnate dan
koraloid, sedangkan Russulales dan Tuberales secara berurutan membentuk
morfotipe dikotom dan monopodial. Satu isolat cendawan ektomikoriza berhasil
diisolasi dari akar ektomikoriza P. merkusii. Berdasarkan analisis morfologi dan
molekular, cendawan tersebut ialah Cenococcum geophilum. Hasil analisis sifat
tanah menunjukkan bahwa tanah di BKPH Lembang mempunyai kandungan P
dan Ca sangat rendah, Mg dan K rendah, serta pH masam.
Kata Kunci: Boletales, BKPH Lembang, Cenococcum geophilum, Ektomikoriza,
Russulales, P. merkusii, Tuberales.
ABSTRACT
OKTAN DWI NURHAYAT. Ectomycorrhiza of Pinus merkusii in BKPH
Lembang Conservation Forest. Supervised by NAMPIAH SUKARNO and
I MADE SUDIANA.
Pinus merkusii in BKPH Lembang conservation forest was associated with
ectomycorrhizal fungi which produced 4 root tip morphotypes. They were
irregular pinnate, dichotomous, monopodial, and coralloid. Irregular pinnate was
dominant morphotype observed with occurrence frequency of 72,5%. The four
morphotypes were developed by three fungal orders belong to Boletales,
Russulales and Tuberales. Boletales produced two morphotypes, irregular pinnate
and coralloid, whereas Russulales and Tuberales produced dichotomous and
monopodial morphotypes, respectively. One ectomycorrhizal fungus was
sucessfully isolated from P. merkusii ectomycorrhizal root tip. Based on
morphological and molecular analysis, the isolated fungus was identified as
Cenococcum geophilum. The soil properties of BKPH Lembang were acidic soil
containing very low P and Ca, and low Mg and K.
Key words: Boletales,
BKPH
Lembang,
Cenococcum
Ectomycorrhiza, P. merkusii, Russulales, Tuberales.
geophilum,
ii
EKTOMIKORIZA Pinus merkusii DI BAGIAN KESATUAN
PEMANGKU HUTAN (BKPH) LEMBANG
OKTAN DWI NURHAYAT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iii
Judul
Nama
NIM
: Ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan
(BKPH) Lembang
: Oktan Dwi Nurhayat
: G34080028
Disetujui oleh
Dr Ir Nampiah Sukarno
Pembimbing I
Prof Dr I Made Sudiana, MSc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Ence Darmo Jaya Supena, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya
sehingga karya ilmiah inidapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 sampai Juni 2012 ini ialah
ektomikoriza Pinus merkusii di Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH)
Lembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Nampiah Sukarno dan
Bapak Prof Dr I Made Sudiana Msc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Iman
Hidayat yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Mas Erwin, Bapak Dian, Ibu Srilistyowati, Ibu Atit, kak Anis,
kak Reva, Ibu Yeni, kak Sepriyadi Rihi, Bapak Kusnadi, Ibu Emi, Ayang Eka
Yuromiyati, kak Nicho, Warsito, Ali Rapsanjani, kak Senlie, kak Flo, dan Kak
Vivi, yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, Indah Kurnia Asi Lestari,
serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Oktan Dwi Nurhayat
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Tujuan
METODE
2
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur
3
Koleksi Ektomikoriza dari BKPH Lembang
3
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
4
Preparasi Parafin
4
Isolasi Cendawan Ektomikoriza
4
Pemurnian Isolat Cendawan
4
Identifikasi
5
Analisis Morfologi
5
Analisis Molekuler Menggunakan Daerah ITS rDNA
5
Isolasi DNA Cendawan
5
Amplifikasi DNA Cendawan Dengan PCR
6
Sekuensing DNA
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kondisi Lingkungan BKPH Lembang
8
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
8
Analisis Morfologi Cendawan
15
Analisis Molekular Cenococcum
17
SIMPULAN
18
SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
22
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Keanekaragaman tipe percabangan ektomikoriza Pinus merkusii
8
Tabel 2 Karakteristik morfotipe dan anatomi ektomikoriza Pinus merkusii BKPH
Lembang
14
Tabel 3 Kuantitas dan kemurnian DNA genom total
ektomikoriza
isolat
cendawan
17
Tabel 4 Hasil analisis bioinformatika menggunakan program BLAST di NCBI
dan UNITE
18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Petak tempat pengambilan sampel
3
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian
7
Gambar 3 Morfotipe ektomikoriza yang berasal dari BKPH Lembang
9
Gambar 5 Karakteristik anatomi morfotipe irregular pinnate
10
Gambar 6 Karakteristik anatomi morfotipe dikotom
11
Gambar 7 Karakteristik anatomi morfotipe monopodial
12
Gambar 8 Karakteristik anatomi morfotipe koraloid
13
Gambar 9 Ukuran ketebalan mantel tiga ordo cendawan ektomikoriza
14
Gambar 10 Miselium Cenococcum
16
Gambar 11 Hasil amplifikasi DNA Cenococcum pada daerah ITS
17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil penentuan ordinat lokasi pembuatan plot menggunakan GPS 23
Lampiran 2 Penilaian analisis tanah BKPH Lembang
24
Lampiran 3 Keanaekaragaman morfotipe ektomikoriza di setiap plot yang
berasal dari BKPH Lembang
25
Lampiran 4 Gambar Tipe mantel ektomikoriza sebagai penampakan hasil
sayatan permukaan mantel
27
Lampiran 5 Metode pembuatan preparat irisan melintang dan membujur
28
Lampiran 6 Komposisi larutan dan pewarna
30
Lampiran 7 Hasil pensejajaran sekuens ITS rDNA isolat Cenococcum dengan
sekuen Cenococcum geophilum yang ada di gene bank NCBI dan
UNITE
31
1
PENDAHULUAN
Pinus merkusii atau sering disebut tusam merupakan tanaman daerah
tropis yang penyebarannya terdapat di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia,
Thailand, Kamboja, dan Vietnam (Lamprecht 1989). Di Indonesia, P. merkusii
secara alami tumbuh di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci (Jambi). Pada tahun 1916,
tumbuhan ini dikembangkan di Lembang dan Bali, dan sejak itu tumbuh meluas
ke daerah lain yang memiliki selang ketinggian tanah 200 – 1500 m di atas
permukaan laut (Silitonga 1983). P. merkusii cocok dikembangkan sebagai
tanaman pilihan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis, karena mampu tumbuh di
lahan yang miskin akan unsur hara. Kemampuan P. merkusii tumbuh pada lahan
marginal karena tumbuhan tersebut bersimbiosis dengan cendawan ektomikoriza.
Ektomikoriza merupakan simbiosis mutualisme yang terbentuk antara cendawan
tanah dengan akar tumbuhan (Smith & Read 1997). Secara umum ektomikoriza
berperan penting dalam memacu pertumbuhan tumbuhan inang dan pengambilan
unsur hara mineral dan air dari tanah terutama pada tanah yang miskin unsur hara
(Van Hees et al. 2004). Hampir semua tumbuhan yang membentuk ektomikoriza
berupa pohon tahunan seperti Pinaceae dan Dipterocarpaceae. P. merkusii ialah
tumbuhan yang termasuk ke dalam Gymnospermae. Tumbuhan tersebut
bersimbosis secara obligat dengan cendawan ektomikoriza membentuk struktur
ektomikoriza (Brundrett et al. 1996). Telah banyak dibuktikan di laboratorium
dan di lapangan bahwa pertumbuhan bibit P. merkusii baik di pembibitan maupun
di lapangan meningkat bila diinokulasi cendawan ektomikoriza yang cocok
(Santoso & Turjaman 1999).
P. merkusii merupakan salah satu jenis pohon industri yang mempunyai
nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu spesies prioritas untuk reboisasi
terutama di luar pulau Jawa. Di pulau Jawa, P. merkusii dikenal sebagai penghasil
kayu, resin dan gondorukem. Gondorukem dapat diolah lebih lanjut menjadi α
pinen yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi (Komarayati et al. 2002).
Kegunaan P. merkusii lainnya ialah untuk pembuatan triplek, venir, pulp, sutra
tiruan, dan bahan pelarut (Khaerudin 1999). Pentingnya P. merkusii dari segi
ekonomi dan ekologi, maka diperlukan tindakan konservasi tumbuhan tersebut
untuk menjaga kelestarian populasi spesiesnya di Indonesia. Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Lembang adalah salah satu hutan konservasi di
daerah Jawa, khususnya Jawa Barat (Perum Perhutani 1992). Kawasan hutan
BKPH Lembang terletak di wilayah pegunungan Tangkuban Perahu dengan
keadaan lapangan landai, berbukit-bukit sampai dengan curam. Ketinggian dari
permukaan laut rata-rata 1.500 m. Kondisi tanahnya masam dan rendah unsur P,
namun mempunyai kandungan humus yang tinggi (Perum Perhutani 1991).
Penelitian aplikasi ektomikoriza dalam silvikultur di Indonesia sudah
banyak dilakukan, namun aspek biologisnya seperti morfotipe, penyebaran dan
keragaman cendawannya belum banyak dipelajari terutama analisis dari struktur
ektomikorizanya yang terdapat di dalam rizosfer (Brundrett et al. 1996). Oleh
karena itu biologi ektomikoriza P. merkusii di BKPH Lembang perlu dipelajari.
Identifikasi cendawan ektomikoriza dapat dilakukan melalui pendekatan
morfologi dan molekular (Sakakibara et al. 2002; Ollson et al. 2000). Struktur
ektomikoriza berkembang sebagai hasil perkembangan dan adaptasi antara
2
cendawan ektomikoriza dan tumbuhan inangnya. Struktur tersebut bersifat khas
dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi cendawan yang terlibat jika tubuh
buahnya tidak ditemukan (Agerer 1991). Identifikasi cendawan ektomikoriza
dapat dilakukan dengan menganalisis sekuen DNA daerah ITS (Internal
Transcribed Spacer dari DNA ribosom karena daerah tersebut mempunyai daerah
konservatif dan bervariasi sehingga sangat berguna dalam identifikasi cendawan
sampai tingkat spesies (White et al. 1990 ; Gardes & Bruns 1993).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur ektomikoriza, isolasi
dan identifikasi cendawannya melalui analisis morfologi, anatomi, dan molekular.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Juni 2012 di
Laboratorium bagian Mikologi dan Mikroteknik Tumbuhan Biologi FMIPA IPB
serta Laboratorium Mikrobiologi LIPI Cibinong.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah sampel akar pinus yang bersimbiosis dengan
ektomikoriza yang diperoleh dari BKPH Lembang, isolat cendawan hasil isolasi
dan purifikasi, media PDA (Potato Dextrose Agar), PDB (Potato Dextrose
Broth), antibiotik chloramphenicol, H2O2 5%, kloroform, DNA template, DNA
extraction kit phytopure, DMSO, etanol absolut, etanol 70%, ethidium bromide,
fenol, akuades, gliserol, gel agarosa 1%, GoTaq polymerase (Green Master Mix),
isopropanol, larutan TAE buffer 1x, air mili Q, Nuclease free water, primer ITS4
dan ITS5 (White et al. 1990), RNAse (20 µg/ml), parafin, larutan seri Johansen,
larutan Gifford, methylene blue, basic fuchsin, xylol, entellan, shear’s.
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator, mikroskop stereo,
cover glass, gelas objek, oven, GPS (Global Positioning System), LAFC (Laminar
Air Flow Cabinet), sentrifugator, mesin PCR (Takara PCR Thermal Cycler,
Shiga), gradien PCR, mikrotom, mikroskop stereo, mikroskop cahaya BX 53,
shaker water bath, tabung ependorf 1,5 mL, seperangkat alat elektroforesis,
tabung reaksi, cawan petri, dan peralatan laboratorium lain yang umum
digunakan.
3
Prosedur
Koleksi Ektomikoriza dari BKPH Lembang
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara membuat petak berukuran 20 m
x 20 m. Jumlah petak yang diamati sebanyak 5 buah sebagai ulangan. Sebanyak 5
pohon P. merkusii dipilih secara acak dari setiap petak. Setiap plot untuk
pembuatan petak ditentukan posisinya menggunakan GPS (Global Positioning
System) (Lampiran 1). Data GPS selanjutnya diolah dengan Garmin Map Source
(Gambar 1). Sampel akar bersama tanahnya diambil dari 4 titik untuk setiap
pohonnya dengan cara menggali akar utama pada kedalaman 15 – 20 cm pada
daerah ujung tajuk. Sampel yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam wadah
plastik dan diberi keterangan tiap petak, pohon, dan sampling pengambilan.
Gambar 1 Petak tempat pengambilan sampel
Selanjutnya akar dipisahkan dari tanah, dan akar dibersihkan. Akar yang sudah
dicuci dibagi 3 bagian yaitu untuk analisis morfotipe dan irisan akar, serta isolasi
cendawan. Akar untuk pengamatan anatomi difiksasi dalam FAA ( formaldehid
5%: asam asetat: alkohol 70% 5:5:90) sedangkan untuk analisis morfotipe dan
isolasi cendawan diproses lebih lanjut. Sampel tanah dari seluruh petak dicampur
4
dan diambil sebanyak 250 g sebagai sampel tanah komposit untuk analisis sifatsifatnya menggunakan jasa analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. Diagram alir keseluruhan prosedur
ditunjukkan pada Gambar 2.
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
Akar P. merkusii yang terkolonisasi cendawan ektomikoriza dikarakterisasi
dengan cara diamati di bawah mikroskop stereo dan mikroskop cahaya. Analisis
morfotipe dilakukan dengan menggunakan kunci Agerer (1991). Struktur mantel
dan jala Hartig secara anatomi diamati dibawah mikroskop cahaya pada irisan
melintang dan membujur akar yang sebelumya dipreparasi dengan metode
paraffin dan diwarnai dengan pewarna ganda methylene blue (Lampiran 6c) dan
basic fuchsin (Lampiran 6d) (Brundret et al. 1996). Tipe struktur mantel dan jala
Hartig diamati berdasarkan metode Agerer (1993).
Preparasi Parafin
Sampel akar yang telah difiksasi dalam FAA dan diamati morfologinya
selanjutnya dipreparasi parafin untuk dipotong menggunakan mikrotom dengan
metode Johansen (1940) (Lampiran 5) yang dimodifikasi. Selanjutnya dilakukan
dehidrasi dan penjernihan dalam larutan seri Johansen I-VII. Proses selanjutnya
adalah infiltrasi parafin dan dilanjutkan penanaman sampel dalam blok parafin
(embedding). Blok parafin yang berisi sampel, dilunakkan dengan larutan Gifford
(Lampiran 6b) selama 1 bulan. Sampel yang telah lunak, dipotong menggunakan
mikrotom putar dengan tebal 10�m. Hasil pita parafin diwarnai dengan metode
Johansen (1940) yang dimodifikasi dengan pewarna ganda methylene blue dan
basic fuchsin lalu ditutup dengan media entellan. Irisan selanjutnya diamati
dibawah mikroskop cahaya BX 53 pada perbesaran 1000 kali.
Isolasi Cendawan Ektomikoriza
Isolasi cendawan ektomikoriza merujuk pada metode Brundrett et al.
(1996). Akar tumbuhan P. merkusii yang terkolonisasi cendawan ektomikoriza
selanjutnya disterilisasi permukaannya dengan cara akar dipotong-potong dengan
ukuran panjang sekitar 0.5 cm. Sebanyak 30-50 potong dipilih untuk dibilas
dengan air steril sebanyak 3 kali selama 15 menit. Akar yang sudah dibilas dengan
air steril kemudian direndam dalam etanol 70% selama 10 menit, kemudian dalam
H2O2 5% selama 1 menit. Selanjutnya akar dibilas kembali dengan air steril
sebanyak 3 kali lalu dikeringkan dengan tisu steril, dan diinokulasi pada media
PDA steril yang mengandung antibiotik chloramphenicol, selanjutnya cawan
diinkubasi pada suhu ruang hingga hifa cendawan tumbuh.
Pemurnian Isolat Cendawan
Hifa cendawan yang tumbuh dari akar P. merkusii yang diduga terkolonisasi
cendawan ektomikoriza, diisolasi kembali ke media PDA steril yang mengandung
antibiotik chloramphenicol dan ditumbuhkan hingga membentuk miselium
cendawan berkoloni tunggal.
5
Identifikasi
Identifikasi isolat cendawan yang berhasil diisolasi dilakukan secara
morfologi dan molekular.
Analisis Morfologi
Pengamatan morfologi terhadap cendawan, dilakukan menggunakan metode
Riddle (1950) yaitu menumbuhkan cendawan pada PDA yang diletakkan pada
bagian tengah kaca obyek steril. Kaca objek dimasukkan kedalam cawan petri
steril yang mengandung kertas saring steril yang lembap dan diinkubasi selama
15-30 hari. Kaca penutup yang ditumbuhi cendawan dipindahkan pada kaca
obyek steril yang telah ditetesi larutan shear’s (Lampiran 6e) (Mueller et al.
2004). Selanjutnya diamati dibawah mikroskop cahaya BX 53 perbesaran 400 –
1000 kali. Pengamatan terhadap struktur konidia dan miselia cendawan
menggunakan kunci identifikasi Trappe (1962) dan Barnet & Hunter (1972).
Analisis Molekuler Menggunakan Daerah ITS rDNA
Terdapat 4 tahapan utama dalam analisis molekular untuk identifikasi yaitu
isolasi DNA dari isolat cendawan, amplifikasi DNA dengan PCR, sekuensing
DNA, dan analisis sekuen menggunakan program BLAST-N.
Isolasi DNA Cendawan
Isolasi DNA diawali dengan menumbuhkan isolat dalam media Potato
Dextrose Broth (PDB) selama 15 hari pada suhu ruang. Miselium selanjutnya
dipanen untuk proses ekstraksi DNA yang dilakukan dalam beberapa tahapan,
yaitu: perusakan dinding sel; pelisisan sel; dan ekstraksi DNA menggunakan DNA
extraction kit phytopure. Langkah yang dilakukan pada tahap perusakan dinding
sel ialah sebagai berikut: Miselium dimasukkan ke dalam Ependorf berukuran 1,5
mL yang berisi 50 µL air mili Q. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
maksimal (13.500 rpm) selama 10 menit. Setelah disentrifugasi, air mili Q pada
ependorf dibuang dengan menggunakan pipet mikro, lalu miselium
dihomogenisasi secara kinetis dengan pastel sampai halus.
Langkah selanjutnya melisis sel yang dimulai dengan menambahkan 300 µL
reagen I dan 3 µL RNase ke dalam ependorf yang berisi miselium yang telah
dihomogenisasi. Selanjutnya, ependorf diinkubasi selama 30 menit dengan suhu
370C menggunakan shake waterbath, lalu ditambahkan 200 µL reagen II,
dihomogenisasi dan diinkubasi pada es selama 20 menit. Langkah pada tahap
ekstraksi DNA dimulai dengan menambahkan 250 µL kloroform dan 250 µL
fenol dingin ke dalam ependorf dan dikocok perlahan (dibolak-balik) selama 10
menit pada suhu ruang. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada
suhu 40C selama 10 menit. Hasil sentrifugasi sampel akan membentuk tiga
lapisan. Lapisan paling atas supernatan DNA, lapisan tengah protein, dan lapisan
paling bawah kloroform.Lapisan DNA dipindahkan ke ependorf yang baru,
ditambah 300 µL isopropanol dingin, dihomogenisasi perlahan dan disentrifugasi
dengan kecepatan 13.500 rpm selama 10 menit hingga terbentuk pelet DNA.
Supernatant dibuang, pelet DNA dicuci dengan 50 µL etanol absolut dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 13.500 rpm selama 10 menit. Sisa-sisa
etanol dibuang dan pelet DNA dikeringkan selama 30 menit. Pelet DNA
kemudian diresuspensi dengan menambahkan nuclease free water sebanyak 50
6
µL.
Kuantitas
DNA
kemudian
diukur
menggunakan
Nanodrop
Spechtrophotometer 2000 Thermoscientific pada panjang gelombang 260 nm dan
280 nm.
Amplifikasi DNA Cendawan Dengan PCR
Amplifikasi DNA daerah ITS rDNA dilakukan menggunakan primer ITS 5
(forward) (GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG) dan ITS 4 (reverse)
(TCCTCCGCTTATTGATATGC) (White et al. 1990). Komposisi PCR untuk
isolat cendawan dilakukan dengan volume total 25 µL yang terdiri dari campuran
10 µL nuclease free water, 12,5 µL GoTaq Green Master Mix, 0,5 µL DMSO, 0,5
µL primer forward dan reverse (10 pmol), dan 1 µL (konsentrasi 295,9 ng/µL)
ekstrak genom DNA template. Proses PCR berlangsung pada PCR thermal cycler
dengan profil PCR yaitu 1 siklus meliputi denaturasi awal pada 95 0C selama 3
menit, pengulangan sebanyak 35 siklus dari denaturasi pada 95 0C selama 30 detik,
penempelan primer pada 550C selama 30 detik, pemanjangan pada 720C selama 1
menit, dan 1 siklus akhir meliputi pemanjangan pada 720C selama 10 menit,
pendinginan pada 40C selama 10 menit, inkubasi pada 150C selama 10 menit.
Hasil amplifikasi dengan PCR selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa 1%
dengan tegangan 100 V selama 30 menit, kemudian difoto pada transiluminator
UV dan difoto dengan printgraph. Sebagai penanda, digunakan DNA penanda 1
Kb.
Sekuensing DNA
Sekuensing dilakukan dengan bantuan PT. Genetika Science Indonesia,
Jakarta. Hasil sekuensing dianalisis dan ditentukan homologinya dengan spesiesspesies yang telah ada di Bank Gen, dengan program Chromas Pro versi 1.5 dan
menggunakan bantuan situs NCBI http://www.ncbi.nlm.nih.gov dan UNITE
http://www.unite.ut.ee. Identitas jenis ektomikoriza ditentukan dengan mencari
homologi yang paling tinggi (100%) dengan sekuens yang telah ada.
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian
7
7
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan BKPH Lembang
Kondisi lingkungan petak contoh pengambilan sampel di BKPH Lembang
memiliki curah hujan 4300-5200 mm per tahun, suhu rata-rata 210C dengan suhu
terendah 180C dan suhu tertinggi 240C (Schmidt & Fergusson 1951). Jenis tanah
yang mendominasi ialah latosol yang mengandung banyak humus, dan terdapat
kandungan pasir gunung (Perum Perhutani 1991). Hasil analisis tanah (Lampiran
2) menunjukkan bahwa jenis tanah tersebut memiliki pH rendah yaitu 5,1. Selain
itu, hasil uji Bray 1 menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki kandungan
fosfat tersedia yang sangat rendah yaitu 4,7 ppm, sehingga tumbuhan tidak dapat
menyerap unsur P dari dalam tanah tersebut karena konsentrasinya terlalu rendah.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa peran ektomikoriza dalam proses
penyerapan fosfat dari tanah dan mentransfernya ke tumbuhan P. merkusii sangat
besar (Smith & Read 1997).
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
Sebanyak 240 potong akar ektomikoriza berhasil dikoleksi dari 100 sampel
yang berasal dari lima petak pengamatan (Lampiran 3). Jumlah akar ektomikoriza
paling banyak terdapat di satu petak pengamatan, yaitu petak 4. Sebaliknya,
jumlah ektomikoriza yang paling sedikit terdapat pada petak 3 (Tabel 1). Hasil
karakterisasi morfologi ektomikoriza berdasarkan Characterisation of
ectomycorrhiza (Agerer 1991), menunjukkan bahwa ke-240 potong akar
tergolong ke dalam 4 morfotipe, yaitu irregular pinnate, dikotom, monopodial,
dan koraloid (Gambar 3). Morfotipe irregular pinnate merupakan tipe yang
mendominasi sampel ektomikoriza yang diambil pada setiap petak dengan
frekuensi kedapatan sebesar 72,5 % (Tabel 1). Hasil pengamatan lebih lanjut
terhadap anatomi irisan akar kontrol dengan akar yang terkolonisasi ektomikoriza
menunjukkan adanya perbedaan. Pada anatomi akar kontrol, tidak menunjukan
adanya mantel dan jala Hartig diantara ruang sel korteks maupun epidermis yang
dibentuk oleh cendawan ektomikoriza (Gambar 4). Sebaliknya, pengamatan
anatomi pada tiap morfotipe terlihat adanya struktur mantel, dan jala Hartig yang
terwarnai oleh methylene blue dan basic fuchsin (Gambar 5-8).
Tabel 1 Keanekaragaman tipe percabangan ektomikoriza Pinus merkusii
Petak
Frekuensi
Morfotipe
Total
(%)
1
2
3
4
5
Irregular pinnate
33
43
33
35
30
174
72,5
Dikotom
9
1
1
12
5
28
11,7
Monopodial
0
3
3
8
4
18
7,5
Koraloid
0
3
2
2
13
20
8,3
Total
42
50
39
57
52
240
100
9
Gambar 3 Morfotipe ektomikoriza yang berasal dari BKPH Lembang. (a)
irregular Pinnate, (b) dikotom, (c) monopodial, (d) koraloid
Gambar 4 Karakteristik anatomi akar P. merkusii kontrol pada irisan melintang.
Fe: Felem, Kr: Sel korteks, Ed: Sel Endodermis
10
Gambar 5 Karakteristik anatomi morfotipe irregular pinnate. (a) irisan melintang
akar, (b) irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe M, (c)
irisan
membujur
akar,
(d)
irisan
membujur
mantel
pseudoparenchymatous tipe M, (e) jala Hartig tipe A yang
mengelilingi sel korteks, (f) irisan membujur jala Hartig tipe A di luar
sel korteks. HE: Hifa eksternal, Ma: Mantel, Ep: Sel epidermis, Kr:
Sel korteks, Jh: Jala Hartig
11
Gambar 6 Karakteristik anatomi morfotipe dikotom. (a) irisan melintang akar, (b)
irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe M, (c) irisan
membujur akar, (d) irisan membujur mantel pseudoparenchymatous
tipe M, (e) jala Hartig tipe A yang mengelilingi sel korteks, (f) irisan
membujur jala Hartig tipe A di luar sel korteks. HE: Hifa eksternal,
Ma: Mantel, Ep: Sel Epidermis, Kr: Sel Korteks, Jh: Jala Hartig
12
Gambar 7 Karakteristik anatomi morfotipe monopodial. (a) irisan melintang akar.
(b) irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe L, (c) irisan
membujur akar, (d) irisan membujur mantel pseudoparenchymatous
tipe L, (e) jala Hartig tipe A yang mengelilingi sel korteks, (f) irisan
membujur jala Hartig tipe A di luar sel korteks. Ma: Mantel, Ep: Sel
epidermis, Kr: Sel korteks, Jh: Jala Hartig
13
Gambar 8 Karakteristik anatomi morfotipe koraloid. (a) irisan melintang akar, (b)
irisan melintang mantel pseudoparenchymatous tipe L, (c) irisan
membujur akar, (d) irisan membujur mantel pseudoparenchymatous
tipe L, (e) jala Hartig tipe A yang mengelilingi sel korteks, (f) irisan
membujur jala Hartig tipe A di luar sel korteks. HE: Hifa eksternal,
Ma: Mantel, Ep: Sel epidermis, K: Sel korteks, Jh: Jala Hartig
14
14
Tabel 2 Karakteristik morfotipe dan anatomi ektomikoriza Pinus merkusii BKPH Lembang
Karakteristik anatomi
Karakteristik morfotipe
Halus dengan sedikit hifa
eksternal
Halus dengan sedikit hifa
eksternal
Halus
tanpa hifa eksternal
Halus dengan sedikit hifa
eksternal
Irregular pinnate
Dikotom
Monopodial
Koraloid
Ketebalan mantel (µm)
Permukaan
mantel akar
Struktur Mantel
Hifa
eksternal
Tipe
jala
Hartig
Pseudoparenchymatous tipe M
Ada
Tipe A
Pseudoparenchymatous tipe M
Ada
Tipe A
Pseudoparenchymatous tipe L
Tidak Ada
Tipe A
Pseudoparenchymatous tipe L
Ada
Tipe A
Penetrasi
Jala
Hartig
Cortical
Hartig
Cortical
Hartig
Cortical
Hartig
Cortical
Hartig
35
30
25
20
15
Irisan Melintang
melintang
Sayatan
10
Irisan Membujur
membujur
Sayatan
5
0
Boletales
(Irregular
pinnate)
Rusulales
(Dikotom)
Tuberales
(Monopodial)
Boletales
(Koraloid)
Morfotipe
Gambar 9 Ukuran ketebalan mantel tiga ordo cendawan ektomikoriza
Ordo
Boletales
Russulales
Tuberales
Boletales
15
Hasil karakterisasi berdasarkan metode Agerer (1993) yaitu ciri-ciri tipe
mantel, tipe jala Hartig yang mengelilingi sel korteks, dan ketebalan mantel
menunjukkan bahwa ke-4 morfotipe tersebut yaitu irregular pinnate, dikotom,
monopodial, dan koraloid secara berturut-turut merupakan karakteristik dari tiga
ordo cendawan ektomikoriza yaitu Boletales, Russulales, dan Tuberales (Tabel 2).
Ketiga ordo tersebut, memiliki struktur mantel pseudoparenchymatous. Meskipun
ketiganya memiliki struktur mantel yang sama, namun apabila dianalisis lebih
lanjut yaitu analisis terhadap tipe mantelnya maka dijumpai perbedaan. Pada
morfotipe irregular pinnate dan dikotom, struktur mantelnya ialah
pseudoparenchymatous tipe M, karena bentuk selnya angular sedangkan pada
morfotipe monopodial dan koraloid ialah pseudoparenchymatous tipe L karena
bentuk selnya epidermoid (Lampiran 4) (Agerer 1993).
Keempat morfotipe yang terbentuk oleh 3 ordo mempunyai jala Hartig
korteks (cortical Hartig net). Jala hartig korteks merupakan karakter yang khas
untuk cendawan yang mengolonisasi tumbuhan Gymnospermae (Smith & Read
1997). Selanjutnya hasil analisis tipe jala Hartig menunjukkan bahwa ketiga ordo
Boletales, Russulales, dan Tuberales memiliki tipe jala Hartig yang sama yaitu
jala Hartig tipe A.Walaupun tipenya sama, namun analisis lebih lanjut terhadap
ketebalan mantel pada irisan melintang dan membujur akar, pada tiap ordo
ektomikoriza ternyata memiliki perbedaan. Ordo Boletales memiliki ketebalan
mantel yang paling tebal apabila dibandingkan dengan ordo lainnya (Gambar 9).
Permukaan mantel akar ketiga ordo tergolong ke dalam tipe halus ketika dilihat
dibawah mikroskop stereo (Tabel 2). Pada tipe tersebut permukaan mantel akar
disertai sedikit hifa eksternal atau tanpa hifa eksternal (Agerer 1993). Pengamatan
anatomi akar pada hifa eksternal yang dibentuk oleh cendawan ektomikoriza tidak
terlihat pada ordo Tuberales (Gambar 7 a), tetapi terlihat jelas pada ordo Boletales
(Gambar 5 a dan 8 a) dan Russulales (Gambar 6 a).
Dari ketiga ordo tersebut, ordo yang paling dominan ditemukan adalah
Boletales dengan morfotipe irregular pinnate. Morfotipe irregular pinnate dan
koraloid dibentuk oleh ordo Boletales yang berasal dari beberapa genus
diantaranya ialah Inocybe, dan Rhizopogon. Morfotipe dikotom biasanya dibentuk
oleh ordo Russulales yang merupakan ciri khas dari beberapa genus seperti
Russula dan Lactarius. Morfotipe monopodial umumnya dibentuk oleh ordo
Tuberales yang berasal dari genus Tuber. Morfotipe monopodial kebanyakan
dimiliki oleh cendawan ektomikoriza yang berasal dari filum Ascomycota jika
dibandingkan dengan filum Basidiomycota (Agerer 1991).
Analisis Morfologi Cendawan
Diperoleh 20 isolat kultur cendawan hasil isolasi dari akar yang sudah
dikarakterisasi morfotipenya. Identifikasi secara morfologi menunjukkan bahwa
hanya diperoleh satu cendawan ektomikoriza yaitu dari petak 5 dari akar yang
mempunyai morfotipe monopodial. Cendawan ektomikoriza tersebut memiliki
ciri–ciri makroskopis yaitu miselium berwarna hitam, memiliki diameter
pertumbuhan miselium 5 cm dalam satu bulan pada media PDA. Hifa berwarna
coklat kehitaman, hifa septat, tidak memiliki sambungan apit (clamp), memiliki
papila pada hifa, terdapat fusi antar hifa, dan diameter hifa 3,03 – 5,8 µm
16
(Gambar 10). Cendawan tersebut apabila dicocokkan dengan kunci identifikasi
Trappe (1962) merupakan genus Cenococcum. Berdasarkan kunci identifikasi
Trappe (1962) ciri lain yang dimiliki Cenococcum ialah memiliki hifa
monokarion, berwarna kekuningan ketika muda tetapi segera berubah coklat
kehitaman sampai hitam. Cenococcum ialah cendawan Ascomycota yang tidak
membentuk spora dalam media semi sintesis (Trappe 1962).
Gambar 10 Miselium Cenococcum. (a) pada media PDA berumur satu bulan
setelah inokulasi pada suhu ruang, (b) fusi antar hifa, (c) hifa septat,
(d) papila pada hifa
Rendahnya keberhasilan isolasi cendawan ektomikoriza dari akar P.
merkusii menunjukkan bahwa tidak semua cendawan ektomikoriza mampu
tumbuh pada media PDA. Telah diketahui, media PDA merupakan media umum
yang digunakan untuk mengisolasi cendawan, termasuk cendawan ektomikoriza.
Beberapa cendawan ektomikoriza yang berhasil diisolasi pada media tersebut
yaitu Hebeloma, Tricholoma, Hysterangium, dan Labyrinthomyces (Brundrett et
al. 1996). Tingkat keberhasilan isolasi yang rendah diduga juga karena umur
simbiosis ektomikoriza pada akar P. merkusii sudah tua, sehingga cendawan tidak
17
mampu tumbuh secara optimal (Smith & Read 1997). Selain itu, diduga cendawan
non ektomikoriza yang tumbuh disekitar ektorizosfer lebih unggul dalam bersaing
dengan cendawan ektomikoriza ketika ditumbuhkan pada media PDA, walaupun
telah dilakukan sterilisasi permukaan ( Marx & Kenny 1982). Berhasilnya genus
Cenococcum diisolasi pada media PDA diduga karena cendawan ini mempunyai
sifat saprob lemah dan lebih tahan terhadap kondisi stres di alam (Pigott et al.
1982). Cendawan ini memiliki variasi inang yang luas. Lebih dari 200 spesies
Gymnospermae dan Angiospermae dari 40 genus termasuk Pinus merupakan
inang dari Cenococcum (Trappe 1962). Ke-19 isolat lainnya yang berhasil
diisolasi ialah cendawan non ektomikoriza.
Analisis Molekular Cenococcum
Hasil uji kuantitatif dan kualitatif terhadap DNA genom isolat cendawan
Cenococcum menunjukkan bahwa DNA yang dihasilkan memiliki konsentrasi
295,9 ng/ µL, dengan rasio A260/A280 1,82 (Tabel 3). Isolasi DNA genom dari
Cenococcum menunjukkan tingkat kemurnian yang baik. Kualitas DNA yang baik
memiliki rasio absorbansi 260/280 nm sebesar 1,8 – 2,0 (1,8 ≤ A260/ A280 ≤ 2,0)
(Sambrook et al. 1989).
Tabel 3
Kuantitas dan kemurnian DNA genom total isolat cendawan
ektomikoriza
Kode Isolat
A260
A280
[DNA] ng/µL
A260/A280
V2
5,918 3,256
295,9
1,82
Pita DNA Cenococcum yang terbentuk pada gel agarosa 1% memiliki
ukuran > 750 bp. Pita DNA pada kontrol negatif tidak terlihat yang menunjukkan
bahwa tidak adanya kontaminasi DNA cendawan lain pada reaksi PCR (Gambar
11).
Gambar 11 Hasil amplifikasi DNA Cenococcum pada daerah ITS. Keterangan M
= marker 1 Kb; V2 = Isolat cendawan Cenococcum; K(-) = kontrol
negatif (tanpa DNA template).
Hasil BLAST sekuen ITS rDNA Cenococcum menggunakan data gene Bank
di NCBI menunjukkan kemiripan terdekat dengan Cenococcum geophilum dengan
query coverage 91% dan max indent 96% (Tabel 4). Hasil analisis menggunakan
data gene bank di UNITE menunjukkan hasil yang sama dengan NCBI dengan
18
skor spesies tersebut > 700 dengan nilai error 0 (Tabel 4). Nilai similaritas sebesar
96% menunjukkan bahwa isolat yang berhasil diperoleh berpeluang sebagai
spesies baru dari genus Cenococcum. Berdasarkan analisis morfologi isolat
tersebut hanya dapat teridentifikasi ke taraf genus sedangkan dengan analisis
rDNA berhasil teridentifikasi ke taraf spesies. Hal ini menunjukkan bahwa
analisis molekular lebih akurat. Analisis hasil molekular dari isolat ini
menunjukkan bahwa pasangan primer ITS 5 dan ITS 4 dapat mengamplifikasi
DNA cendawan Cenococcum. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Gardes &
Bruns (1993) yang melaporkan bahwa pasangan primer universal mampu
mengamplifikasi dengan baik cendawan ektomikoriza dari filum Ascomycota.
Tabel 4 Hasil analisis bioinformatika menggunakan
dan UNITE
Kode
Program
Homologi
No Akses Skor
Isolat
BLAST
V2
JN943884 1270
Cenococcum NCBI
geophilum
UNITE
JN943889 745
program BLAST di NCBI
Query
coverage
91%
-
Max
Indent
96%
-
E
Value
0
0
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian terhadap
keanekaragaman jenis ektomikoriza yang dilakukan oleh Darwo & Sugiarti
(2008) pada habitat asli P. merkusii di Sumatera Utara, didapatkan ektomikoriza
dari genus Boletus, Inocybe,dan Suilus yang termasuk ke dalam ordo Boletales,
genus Russula yang termasuk ke dalam ordo Russulales, dan genus Scleroderma
yang termasuk ke dalam ordo Sclerodermatales. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ordo Boletales dan Russulales ialah cendawan ektomikoriza yang dapat
ditemukan berasosiasi dengan P. merkusii. Ordo Tuberales dan genus
Cenococcum dari ordo Mytilinidiales yang ditemukan di BKPH Lembang, belum
dilaporkan berasosiasi dengan P. merkusii pada habitat asli di Indonesia. Data dari
penelitian ini dapat menambah informasi tentang keragaman cendawan
ektomikoriza yang berasosiasi dengan P. merkusii di Indonesia. Perbedaan hasil
yang ditemukan pada penelitian ini dengan yang dilaporkan oleh Darwo &
Sugiarti (2008) diduga karena pada penelitian ini menggunakan analisis morfotipe
dan anatomi akar serta kultur cendawan ektomikoriza hasil isolasi, sedangkan
penelitian Darwo & Sugiarti (2008) hanya berdasarkan analisis pada tubuh buah
yang dikoleksi.
SIMPULAN
Dari 100 sampel akar, dapat dikoleksi 240 potong akar yang terkolonisasi
cendawan ektomikoriza. Hasil karakterisasi ke-240 potong akar menunujukkan
bahwa terdapat 4 morfotipe ektomikoriza pada P. merkusii yaitu Irregular
pinnate, dikotom, monopodial, dan koraloid. Keempat morfotipe tersebut
termasuk ke dalam tiga ordo cendawan ektomikoriza yaitu Boletales, Russulales
dan Tuberales. Morfotipe yang mendominasi ke-5 petak adalah Irregular pinnate
yang termasuk ke dalam ordo Boletales. Berdasarkan analisis morfologi dan
19
molekular terhadap isolat hasil isolasi diperoleh Cenococcum geophilum sebagai
cendawan ektomikoriza. Primer universal ITS 5 dan ITS 4 dapat digunakan untuk
mengamplifikasi DNA Cenococcum geophilum pada daerah ITS rDNA.
Kemiripan sekuen isolat hasil isolasi dengan Cenococcum geophilum dari data
gene bank ialah 96%, yang menunjukkan bahwa isolat tersebut berpeluang
sebagai spesies baru dari genus Cenococcum.
SARAN
Diperlukannya penelitian lanjutan untuk media yang digunakan ketika
mengisolasi cendawan ektomikoriza secara spesifik. Postulat Koch dapat
dilakukan untuk penelitian lanjutan jika ingin membuktikan isolat Cenococcum
sp. mampu mengolonisasi akar P. merkusii.
DAFTAR PUSTAKA
Agerer R. 1991.Characterisation of ectomycorrhiza. Method Microbiol. 23: 2573.
Agerer R. 1993. Atlas of Ectomycorrhizae. Germany: Einhorn Verlag.
Schwabisch Gmund D-73525.
Barnet HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-3.
Minneapolis: Burgess Publishing Company.
Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working With
Mycorrhizae in Forestry and Agriculture. Australia: Monograph ACIAR.
Darwo, Sugiarti. 2008. Beberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan
Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. J Penelit Hut Konserv
Al. 5(2):157-173.
Gardes M, Bruns TD. 1993. ITS primer with enhanced specifity for
Basidiomycetes application to the identification of mycorrhizae and rust.
Mol Ecol. 2:113-118.
Johansen DA. 1940. Plant Microtecnique. New York: McGraw Hill.
Khaerudin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Jakarta: Penebar Swadaya Jakarta.
Komarayati S, Gusmailina, Pari G. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos
dari serasah dan kulit kayu tusam. BPHHB. 20(3):231-232.
Lamprecht H. 1989. Silviculture in The Tropics Tropical Forest Ecosystems and
Their Tree Species Possibilities and Methods for Their Longterm
Utilization. Jerman: T2 Verlags gesells.
Marx DH, Kenney DS. 1982. Production of ectomycorrhizal fungus inoculum. Di
dalam Schenk NC, editor. Methods and Principles of Mycorrhizal Research.
Minnesota: The American phytopathological.
Mueller GM, Bills GF, Foster MS. 2004. Biodiversity of Fungi Inventory and
Monitoring Methods. USA: Elsevier Academic Press.
Ollson PA, Munzenberger B, Mahmood S, Erland S. 2000. Molecular and
anatomical evidence for three way association between Pinus sylvestris and
20
the ectomycorrhizal fungi Suillus bovinus and Gomphidius roseus. J Mycol.
16(1):8-9.
Perum Perhutani. 1991. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan
Pinus KPH Bandung Utara. Jilid AI. Bandung.
Perum Perhutani. 1992. Selayang Pandang KPH Bandung Utara. Bandung.
Pigott CD. 1982. Fine structure of mycorrhiza formed by Cenococcum geophilum
FR. On Tilia cordata mill. New Pythol. 92:501-512.
Riddle RW. 1950. Permanent stained mycological preparation obtained by slide
culture. Mycol Res. 42:265-270.
Sakakibara SM, Jones MD, Gillespie M, Hagerman SM, Forrest ME, Simard W,
Durall DM. 2002. A comparison of ectomycorrhiza identification based on
morphotyping and PCR-RFLP analysis. Mycol Res. 106 (8): 868-878.
Sambrook J, Fitsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. Second edition. New York: Cold Spring Labor Press.
Santoso E, Turjaman M. 1999. Prospek dan permasalahan ektomikoriza pada
tanaman Pinus dan Eucalyptus, dalam pemanfaatan cendawan mikoriza
sebagai agen bioteknologi ramah lingkungan dalam meningkatkan
produktivitas lahan di bidang kehutanan, perkebunan dan pertanian di Era
Milenium Baru. Prosiding Seminar Nasional I. Asosiasi Mikoriza Indonesia
(AMI), Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Badan Litbang dan
Perkebunan, The British Council (Jakarta). 2000. Hlm.110-116.
Schmidt FH, Ferguson JHA. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesian with Western New Guinea. Jakarta: Kementrian
Perhubungan Jawatan Meteorologi dan Geofisika.
Silitonga T. 1983. Pemungutan dan Pemanfaatan Hutan Pinus : Suatu Tantangan
dan Kesempatan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Smith SE, Read DJ. 1997. Mychorrhizal symbiosis. Ed ke-2. London: Academic
Press.
Trappe JM. 1962. Cenococcum graniforme ITS distribution, ecology, mycorrhiza
formation, and inherent variation [disertasi]. Michigan. University of
Washington.
Van Hees PAW, Jones DL, Jentschke G, Godbold DL. 2004. Mobilization of
alumunium, iron and silicon by Picea abies and ectomycorrhizas in a forest
soil. Euro J Soil Sci. 55:101-111.
White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of
fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics, p. 315-322. Di dalam Innis
MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ editor, PCR protocols: A guide to
methods and application. San Diego: Academic Press.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1990 dari ayahanda
Slamet dan ibunda Misem. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 33 Jakarta, dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Penulis mempunyai pengalaman sebagai asisten praktikum pada mata
kuliah Biologi Cendawan, melaksanakan studi lapangan di Pantai Pangandaran,
melaksanakan praktik lapangan Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB). Penulis
juga aktif menjadi anggota Serum G Mahasiswa FMIPA (2009-2010). Selain itu,
penulis juga pernah mendapatkan beasiswa Program Peningkatan Prestasi
Akademik (PPA).
22
LAMPIRAN
23
Lampiran 1 Hasil penentuan ordinat lokasi pembuatan plot menggunakan GPS
Plot Titik
Arah
Ordinat
Ketinggian Eror
0
Selatan
06 47’ 33.6”
1
1426
4
Timur
1070 37’ 21.3”
Selatan
060 47’ 33.6”
2
1426
4
Timur
1070 37’ 21.1”
I
Selatan
060 47’ 33.5”
3
1429
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 34”
4
1423
3
Timur
1070 37’ 21.7”
Selatan
060 47’ 30.8”
1
1426
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 30.7”
2
1456
3
Timur
1070 37’ 21.4”
II
Selatan
060 47’ 30.1”
3
1446
3
Timur
1070 37’ 21.3”
Selatan
060 47’ 29.9”
4
1446
3
Timur
1070 37’ 21.8”
Selatan
060 47’ 29.7”
1
1448
3
Timur
1070 37’ 21.8”
Selatan
060 47’ 29.4”
2
1452
3
Timur
1070 37’ 21.3”
III
Selatan
060 47’ 28.9”
3
1453
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 28.9”
4
1452
3
Timur
1070 37’ 21.3”
Selatan
060 47’ 27.1”
1
1461
3
Timur
1070 37’ 21.5”
Selatan
060 47’ 27.4”
2
1462
3
Timur
1070 37’ 22.1”
IV
Selatan
060 47’ 27.5”
3
1461
3
Timur
1070 37’ 22.2”
Selatan
060 47’ 27.8”
4
1458
3
Timur
1070 37’ 21.4”
Selatan
060 47’ 27.2”
1
1461
3
Timur
1070 37’ 21.9”
Selatan
060 47’ 26.7”
2
1462
4
Timur
1070 37’ 21.3”
V
0
Selatan
06 47’ 26.3”
3
1465
4
Timur
1070 37’ 21.4”
0
Selatan
06 47’ 26.3”
4
1464
3
Timur
1070 37’ 21.4”
24
Lampiran 2 Penilaian analisis tanah BKPH Lembang
Sifat Tanah
Metode
Hasil
Penilaian
C – organik (%)
Walkley & Black
7,18
Sangat Tinggi
N-Total (%)
Kjeldhal
0,47
Sedang
Nisbah C/N
15,27
Sedang
P (ppm)
Bray I
4,7
Sangat Rendah
KTK (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
11,96
Rendah
Ca (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
1,89
Sangat Rendah
Mg (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
0,72
Rendah
K (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
0,29
Rendah
Na (me/100 gr)
N NH4OAc pH 7
0,07
Sangat Rendah
Tekstur :
Pasir (%)
38,83
Debu (%)
45,38
Lempung
Liat
15,79
pH
H2O
5,10
Masam
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya
Lahan IPB
25
Lampiran 3 Keanaekaragaman morfotipe ektomikoriza di setiap plot yang berasal
dari BKPH Lembang
Petak
Pohon
Morfotipe
Jumlah
1
Irregular Pinnate
6
2
Irregular Pinnate
2
Irregular Pinnate
5
I
3
Dikotom
9
4
Irregular Pinnate
4
5
Irregular Pinnate
16
1
Irregular Pinnate
13
2
Irregular Pinnate
3
3
Irregular Pinnate
8
Irregular Pinnate
15
II
Dikotom
1
4
Monopodial
3
Koraloid
1
5
Irregular Pinnate
4
Koraloid
2
1
Irregular Pinnate
5
Irregular Pinnate
3
2
Monopodial
1
Koraloid
2
3
Irregular Pinnate
1
III
Irregular Pinnate
8
4
Monopodial
1
Irregular Pinnate
16
5
Dikotom
1
Monopodial
1
Irregular Pinnate
9
Dikotom
1
1
Monopodial
1
Koraloid
2
Irregular Pinnate
4
2
IV
Monopodial
2
3
Irregular Pinnate
4
Irregular Pinnate
6
4
Monopodial
5
Irregular Pinnate
12
5
Dikotom
11
Irregular Pinnate
17
Dikotom
3
1
Monopodial
1
Koraloid
3
V
Irregular Pinnate
1
Dikotom
1
2
Monopodial
2
Koraloid
4
26
Petak
Pohon
3
4
5
Total
25 Pohon
Morfotipe
Irregular Pinnate
Irregular Pinnate
Dikotom
Monopodial
Koraloid
Irregular pinnate
Koraloid
Jumlah
3
6
1
1
1
3
5
240
27
Lampiran 4
Gambar Tipe mantel ektomikoriza sebagai penampakan hasil sayatan
permukaan mantel. (A): Plectenchymatous dengan susunan jalinan hifa
seperti cincin. (B): Plectenchymatous, dengan hifa yang tersusun agak
tidak teratur, tidak ada bentuk khusus yang terlihat, tetapi hifa sering
tumbuh secara longitudinal mengikuti orientasi akar. (C):
Plectenchymatous, dengan matriks gelatin diantara hifa. (D):
Plectenchymatous, hifa tersusun seperti jala dengan sistidia yang jelas.
(E) Plectenchymatous, hifa tersusun seperti jala, berulang dan bercabang
membentuk sudut segi empat (squarrosely). (F): Plectenchymatous,
terkadang terdapat sel yang membulat yang terletak diatas mantel
plectenchymatous. (G): Plectenchymatous, hifa tersusun seperti bintang
dan menempel satu sama lain. (H): Tipe transisi antara plectenchymatous
dan pseudoparenchymatous, bentuk tidak teratur , hifa membentuk jala
coarse. (I): Plectenchymatous, mantel dengan hymeniform, hampir tegak
lurus dan menonjol, ujung hifa kuat dan sedikit bengkok yang terisi
dengan tetesan berminyak. (K): Pseudoparenchymatous, terdiri dari sel
angular,
memiliki
tumpukan
sel
yang
membulat.
(L):
Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel angular. (M) :
Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel epidermoid. (N):
Pseudoparenchymatous mantel dengan beberapa sel berisi droplet,
terwarnai dengan sulfo vanilin; bentuk sel bervariasi. (O):
Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel angular dan sel-sel rata yang
menumpuk. (P): Pseudoparenchymatous, mantel dengan sel angular
memiliki jala hifa yang transparan. (Q): Pseudoparenchymatous dengan
sel epidermoid memiliki jala hifa yang transparan (Agerer 1993).
28
Lampiran 5 Metode pembuatan preparat irisan melintang dan membujur
1. Fiksasi: akar ektomikoriza difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA dengan
komposisi sebagai berikut:
Etanol 70%................... 90 bagian
Asam asetat glasial........ 5 bagian
Formaldehyde............... 5 bagian
2. Pencucian: larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 2
kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 1 jam. Pencucian
dilanjutkan dengan alkohol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian
masing-masing selama 1 jam.
3. Dehidrasi dan penjernihan: dilakukan secara bertahap dengan merendam
bahan dalam larutan seri Johansen I-VII. Waktu perendaman untuk masingmasing tahap adalah sebagai berikut:
Johansen I................ 2 jam
Johansen II...............24 jam
Johansen III.............. 2 jam
Johansen IV............. 2 jam
Johansen V.............. 2 jam
Johansen VI.............24 jam
Johansen VI............. 2 jam
Johansen VI............. 2 jam
Johansen VI............. 2 jam
Johansen VII dalam botol yang berisi 1/3 bagian parafin beku.
4. Infiltrasi: wadah berisi sampel akar dan campuran TBA, minyak parafin, serta
1/3 bagian parafin disimpan pada:
suhu kamar selama 4 jam (tutup dibuka)
dalam oven (58oC) selama 12 jam (tutup dibuka)
tuang seluruh parafin, ganti dengan parafin cair baru, kemudian disimpan
dalam oven dengan suhu 58oC
dilakukan 4 kali penggantian parafin, dengan durasi masing-masing:
a. Parafin I................ 5 jam
b. Parafin II............... 5 jam
c. Parafin III.............. 24 jam
d. Parafin IV............. 7,5 jam
5. Penanaman (blok): tuang semua cairan parafin beserta sampel daun ke dalam
cetakan blok berbentuk kubus.
6. Penyayatan: blok yang sudah dirapikan membentuk trapesium ditempel pada
holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm.
7. Perekatan: sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumingliserin dan ditetesi air. Gelas obyek berisi pita parafin dipanaskan pada hot
plate dengan suhu 45oC selama 24 jam.
8. Pewarnaan: dilakukan pewarnaan ganda methylene blue dan basic fuchsin
(Brundret et al. 1996) dengan metode Johansen (1940) yang dimodifikasi.
Berturut-turut gelas obyek direndam ke dalam larutan berikut:
Xilol 1.................................................... 10-15 menit
Xilol 2.................................................... 10-15 menit
Etanol absolut........................................ 3 menit
29
Etanol absolut........................................ 3 menit
Etanol 95%............................................ 3 menit
Etanol 70%............................................ 3 menit
Etanol 50%............................................ 3 menit
Etanol 30%............................................ 3 menit
Aquades................................................. 3 kali celup
Methylene blue....................................... 1 menit
Aquades.................................................. 3 kali celup
Basic fuchsin........................................... 15 detik
Aquades.................................................. 3 kali celup
9. Penutupan: bahan diberi media entellan dan ditutup dengan gelas penutup
10.Pemberian label: label ditempel pada sisi kiri gelas obyek.
30
Lampiran 6 Komposisi larutan dan pewarna
Lampiran 6a Komposisi larutan seri Johansen
Larutan Johansen
Komposisi
I
II
III
IV
V
Air
50% 30%
15%
Etanol 95%
40% 50%
50% 45%
Etanol 100%
25%
Tertier butil alkohol
10% 20%
35% 55% 75%
Minyak parafin
Lampiran 6b Komposisi larutan Gifford
Komposisi
Alkohol 60%
Asam asetat glacial
Gliserin
Volume (ml)
80
20
5
Lampiran 6c Komposisi pewarna methylene blue
Komposisi
Takaran
Methylene blue
0,130 gr
Glycerol
10 mL
Methanol
10 mL
Phosphate buffer (pH 6,9)
Aquades
30 mL
50 mL