Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor Biawak Ambon (Varanus indicus)

3

ABSTRACT
ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI. Case Study: The Histopathological
Study of the Death of an Ambon Monitor Lizard (Varanus indicus). Under
direction of EVA HARLINA and AGUS SETIYONO.
The aim of this case study was to study the cause of death of an Ambon
monitor lizard (Varanus indicus) which died suddenly without showing any
clinical signs. Organs that were showing abnormality were collected and
histopathologically processed. Gross examination showed enlarged liver with
multiple white foci ranging from 0.1 to 2 cm in diameter and diagnosed as
multifocal abcess. Abcesses were also found in the spleen and kidney. The mucosa
of the intestine was filled with hemorrhage exudate and contained many necrotic
areas. The intestine was diagnosed as enteritis hemorrhagica et necroticans. The
histopathological examination showed granulomatous inflammation in the liver,
spleen, kidney and intestine, and amoebas were found in all of these organs. The
death of this lizard is caused by liver failure and multifunctional organ failure
caused by chronic inflammation of amoebiasis.
Keywords: Ambon monitor lizard, granulomatous inflammation, Entamoeba sp.

0


STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA
KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus)

ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Saya dengan ini menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus: Kajian
Histopatologi Pada Kematian Seekor Biawak Ambon (Varanus indicus) adalah
karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, April 2012
Astri Priyanti Parameswari
NIM B04070166

2

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya illmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karyatulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

3


ABSTRACT
ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI. Case Study: The Histopathological
Study of the Death of an Ambon Monitor Lizard (Varanus indicus). Under
direction of EVA HARLINA and AGUS SETIYONO.
The aim of this case study was to study the cause of death of an Ambon
monitor lizard (Varanus indicus) which died suddenly without showing any
clinical signs. Organs that were showing abnormality were collected and
histopathologically processed. Gross examination showed enlarged liver with
multiple white foci ranging from 0.1 to 2 cm in diameter and diagnosed as
multifocal abcess. Abcesses were also found in the spleen and kidney. The mucosa
of the intestine was filled with hemorrhage exudate and contained many necrotic
areas. The intestine was diagnosed as enteritis hemorrhagica et necroticans. The
histopathological examination showed granulomatous inflammation in the liver,
spleen, kidney and intestine, and amoebas were found in all of these organs. The
death of this lizard is caused by liver failure and multifunctional organ failure
caused by chronic inflammation of amoebiasis.
Keywords: Ambon monitor lizard, granulomatous inflammation, Entamoeba sp.

4


STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA
KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus)

ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

5


Judul Skripsi

: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor
Biawak Ambon (Varanus indicus)
: Astri Priyanti Parameswari
: B04070166

Nama
NIM

Disetujui,

Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet.

drh. Agus Setiyono, MS, PhD.,

APVet
Pembimbing I

Pembimbing II


Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, PhD. APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal lulus:

6

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor
Biawak Ambon (Varanus indicus). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Eva Harlina, M.Si,
APVet. dan drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet. selaku pembimbing skripsi

yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan bagi penulis. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt.
selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi
(Pak Bangkit, Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Sholeh) atas bantuannya selama
penelitian.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis tujukan
kepada orangtua dan kakak-kakak tercinta yang telah berdoa dengan tulus dan
memberikan dukungan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang
sangat dalam penulis tujukan kepada orang terdekat Azrul Zulmy, Gita Alvernita,
dan Patricia Noreva, atas dukungan dan semangat yang diberikan selama
penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman Gianuzzi 44.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2012

Astri Priyanti Parameswari

7

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1989 dari pasangan

Hardi Wibowo dan Warda Shahab. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara.
Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di Delima School,
Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan ke SMP Charitas, Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis
kemudian masuk ke SMA Labschool Rawamangun, Jakarta dan lulus pada tahun
2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menjalani pendidikan penulis aktif di Himpunan Minat Profesi
Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik-Eksotik (HKSA) sebagai pengurus dan
anggota divisi Hewan Kecil.

8

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................

x


DAFTAR TABEL ............................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................
Tujuan... ..................................................................................................
Manfaat... ................................................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Varanus indicus.......................................................................................
Habitat........... ..........................................................................................

Nilai Ekonomi Biawak......... ...................................................................
Reproduksi pada Biawak.........................................................................
Penyakit-Penyakit pada Biawak.... ..........................................................
Struktur dan Fungsi Hati.... .....................................................................
Struktur dan Fungsi Ginjal.... ..................................................................
Struktur dan Fungsi Limpa......................................................................
Struktur dan Fungsi Usus.... ....................................................................
Peradangan.... ..........................................................................................
Entamoeba sp..... .....................................................................................

3
5
5
6
7
10
11
14
15
15

17

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ..................................................................................
Alat dan bahan.........................................................................................
Metoda Penelitian....................................................................................

24
24
24

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan Patologi-Anatomi .....................................................
Hasil Pemeriksaan Histopatologi ............................................................

26
27

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan .................................................................................................
Saran ........................................................................................................

39
39

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

40

9

DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.

Perubahan Patologi Anatomi Organ Biawak ..........................................
Perubahan Histopatologi Organ Biawak ................................................

26
36

10

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Varanus indicus ......................................................................................
Anatomi biawak jantan ...........................................................................
‘Sexual segment’ pada distal convoluted tubule ular jantan
Agkistrodon piscivorous .........................................................................
Siklus hidup Entamoeba sp. ...................................................................
Kista dan tropozoit Entamoeba sp ..........................................................
Hati biawak Ambon (V. indicus) ............................................................
Struktur hati biawak yang rusak .............................................................
Edema glomerulus biawak ......................................................................
Radang granuloma pada ginjal biawak ...................................................
Entamoeba sp. di tengah lesio ................................................................
Perubahan histopatologi ginjal ...............................................................
Infeksi Entamoeba sp .............................................................................
Infeksi Entamoeba sp .............................................................................

4
4
13
19
21
27
30
30
33
33
34
35
35

11

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Biawak (Varanidae) adalah salah satu jenis reptil yang ditemukan di Asia,
Amerika, Afrika, dan Australia. Sebanyak 53 spesies Varanus sudah
teridentifikasi di seluruh dunia. Varanus berasal dari kata Arab ‘waran’ yang
berarti monitor. Banyak varanids yang dapat mengangkat dirinya secara vertikal
dengan menopang pada kedua kaki belakang dan ekornya sehingga memiliki
pandangan yang lebih jelas dan tinggi dari sekitarnya. Hal ini juga merupakan asal
nama biawak dalam bahasa Inggris yaitu monitor lizard (Pianka et al. 2004).
Habitat biawak sangat bervariasi yaitu rawa-rawa bakau, hutan lebat, sabana, dan
padang pasir. Beberapa spesies bersifat akuatik, semiakuatik, terestrial, arboreal,
dan semi arboreal. Ukuran biawak sangat bervariasi, mulai dari Varanus
brevicauda (Australian pygmy monitor) yang memiliki panjang 17-20 cm dengan
bobot badan 8-20 g hingga Varanus komodoensis (komodo) yang memiliki
panjang 3 m dan bobot badan 150 kg. Pakan biawak meliputi serangga, cacing,
crustacea, siput, belalang, ikan, amfibi, reptil, tikus, burung, kelinci, dan kambing
(Bartlett & Bartlett 1996).
Kelangsungan hidup biawak dapat terganggu akibat degradasi lingkungan,
polusi, dan ulah manusia. Hewan ini merupakan karnivora utama sehingga rentan
terhadap polutan dan toksin lingkungan yang dapat mengakibatkan penyakit dan
mutasi genetik. Biawak yang memakan amfibi, serangga, atau mamalia yang
terkena polutan lingkungan dapat mengalami mutasi genetik sehingga
menurunkan kemampuannya untuk bertahan hidup. Kerusakan habitat akibat
penebangan pohon dan pembangunan perumahan atau kawasan komersial juga
telah menurunkan populasinya di alam. Perburuan untuk mendapatkan kulit dan
dagingnya telah mengurangi populasi hewan ini hingga ke ambang kepunahan.
Populasinya menurun drastis akibat meningkatnya perdagangan hewan ini sebagai
hewan peliharaan eksotik. Popularitas hewan peliharaan eksotik telah meningkat
sejak tahun 1990-an, dan biawak merupakan komoditi yang mahal dalam
perdagangan karena hewan ini secara umum jinak, mudah dilatih, dan memiliki
rentang hidup yang panjang (Travis 2011).

12

Usaha manusia untuk menjaga kelestarian hewan-hewan yang terancam
punah adalah dengan membuat cagar alam atau taman margasatwa. Pada
penelitian ini dilakukan pemeriksaan organ dari seekor biawak Ambon yang mati
yang datang ke Bagian Patologi FKH IPB dengan nomor kasus P/82/2011, untuk
diketahui penyebab kematiannya. Pemeriksaan kematian seekor biawak Ambon
ini dilakukan karena biawak dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari
penyakit yang menyerang jenis kadal besar lainnya yang sudah terancam punah
yaitu Varanus komodoensis. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan juga
untuk mempelajari manajemen kesehatan biawak maupun reptil lainnya yang
berada di penangkaran tersebut.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kematian seekor
biawak Ambon (Varanus indicus) dengan nomor kasus P/82/2011 melalui
pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui penyebab kematian biawak
tersebut dan hasilnya dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk pengelolaan
kesehatan biawak dan reptil lainnya yang ada di penangkaran.

13

TINJAUAN PUSTAKA

Varanus indicus
Varanus indicus adalah biawak yang hidup secara terestrial dan arboreal,
yang memiliki sinonim biawak Ambon, mangrove monitor atau pacific monitor.
Hewan ini memiliki taksonomi kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum
Vertebrata, kelas Reptilia, ordo Squamata, subordo Autarchoglossa, famili
Varanidae, genus Varanus, dan spesies Varanus indicus-Daudin 1802 (Banks
2004). Hewan ini ditemukan di Australia (bagian Utara, Queensland), Indonesia
(Irian Jaya, Maluku), Kirabati, Papua New Guinea (Bismarck Archipelago, pulau
Solomon Utara), kepulauan Marshall, dan kepulauan Mariana Utara (Bennett &
Sweet 2010).
Bagian kepala, badan, punggung, ekor, dan kaki V. indicus dominan
berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar secara merata dan
bagian perut berwarna putih kekuning-kuningan. Hewan ini memiliki kepala dan
leher yang panjang, empat kaki yang kuat dengan lima kuku yang tajam.
Penampang hidung V. indicus berbentuk bulat sedangkan penampang hidung
spesies lain seperti V. salvator dan V. togianus berbentuk oval. Jarak hidung lebih
dekat ke moncong dibandingkan jaraknya ke mata. Lidah biawak ini berwarna
hitam (Philipp et al. 1999), ekor berbentuk pipih, keras, sangat kokoh dan
panjangnya melebihi panjang kepala dan badan. Panjang ekor terhadap kepala 7.5
kali sedangkan panjang ekor terhadap badan 2.5 kali. Bobot badan berkisar antara
500-1900 g dan panjang tubuh berkisar antara 50-200 cm. Ukuran tubuh yang
jantan lebih besar dari betina. Jenis kelamin biawak dapat ditentukan dengan ada
tidaknya sepasang hemipenis, yang bila dilakukan pemijatan akan keluar di sekitar
kloaka. Gambar V. indicus beserta susunan anatominya disajikan pada Gambar 1
dan 2.

14

Gambar 1 Varanus indicus. Seluruh badan berwarna hitam dengan bintik-bintik
kuning yang menyebar merata. Sumber: Cota (2008).

Gambar 2 Anatomi biawak jantan. Sumber: Barten (1996a).
V. indicus telah dikategorikan sebagai hewan Least Concern oleh IUCN
pada tahun 2009 karena memiliki distribusi dalam jumlah yang besar dan umum
ditemukan di berbagai habitat,namun spesies ini mungkin terancam punah di masa

15

depan akibat diburu untuk dimakan, dieksploitasi untuk perdagangan kulit dan
terancam oleh kerusakan habitat. Saat ini belum ada upaya konservasi khusus
yang dilakukan untuk spesies ini (Bennett & Sweet 2010). Semua spesies dan
subspesies dari biawak termasuk dalam CITES Appendix II, kecuali Varanus
bengalensis, Varanus flavescens, Varanus griseus, Varanus komodoensis, dan
Varanus nebulosis termasuk dalam Appendix I (Ananjeva et al. 2006).
Spesies yang termasuk dalam Appendix I adalah spesies terancam punah
yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh perdagangan satwa liar.
Perdagangan spesies dalam Appendix I harus diatur dan diawasi secara ketat
untuk mencegah kepunahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Spesies yang
termasuk dalam Appendix II adalah spesies yang belum terancam punah namun
dapat terancam punah bila perdagangan spesies tersebut tidak diatur dan diawasi
secara ketat. Oleh karena itu, perdagangan spesies dalam Appendix II harus diatur
dan diawasi secara ketat untuk menjaga kelangsungan hidupnya (CITES 1979).
Habitat
Habitat V. indicus diantaranya bakau, hutan hujan dan rawa dengan pakan
yang terdiri atas siput, katak, ikan, serangga, burung, telur burung, dan telur reptil
lain. Biawak adalah predator oportunistik sehingga dapat mengubah pola
pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di habitatnya (Bennett 2007).

Nilai Ekonomi Biawak
Indonesia telah lama menjadi negara pengeskpor reptil, baik dalam bentuk
reptil hidup maupun bentuk kulit. Reptil hidup diekspor untuk diambil daging atau
bagian lainnya, atau sebagai hewan peliharaan. Reptil hidup yang diambil
dagingnya umumnya diekspor ke Cina, Hongkong dan Singapura, sedangkan
reptil untuk hewan peliharaan lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat
(Mardiastuti & Soehartono 2003). Di beberapa daerah, biawak diolah dagingnya
menjadi bermacam-macam hidangan. Biawak atau dalam bahasa Nias disebut
boroe mulai dikenal dan dikonsumsi masyarakat Nias, khususnya di Gunungsitoli.
Konsumen daging biawak meningkat karena daging biawak enak dan bermanfaat
untuk mengatasi asam urat (Hulu 2011). Daging biawak dipercaya dapat bertindak
sebagai aphrodisiac (Anonim 2009), dan memiliki khasiat untuk mengobati gatal-

16

gatal, menghaluskan kulit, mengobati luka bakar, dan mengencangkan payudara
(Anonim 2011).
Selain daging, kulit biawak juga memiliki pasar yang baik. Perdagangan
kulit biawak didominasi oleh satu jenis biawak yaitu biawak air Asia (Varanus
salvator) karena tersebar di seluruh Indonesia bagian barat meliputi Jawa,
Sumatra dan Kalimantan. Jumlah ekspor kulit biawak air Asia lebih banyak dari
jumlah ekspor kulit buaya yaitu rata-rata sebanyak 650.000 lembar per tahun
sedangkan ekspor kulit buaya hanya 1.000-3.500 lembar per tahun. Negara
pembeli utama kulit biawak adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Meksiko
dan Italia. Permasalahan utama ekspor reptil adalah belum adanya data jumlah
populasi di alam untuk menentukan jumlah kuota, perdagangan sulit dilakukan
berdasarkan ketentuan Konvensi CITES, dan kemungkinan menurunnya populasi
beberapa

spesies

reptil

komersial

akibat

banyaknya

pemanenan

dari

alam(Mardiastuti & Soehartono 2003).

Reproduksi pada Biawak
Biawak jantan memiliki sepasang hemipenis yang berbentuk seperti
kantung, terletak di pangkal ekor dan menimbulkan tonjolan pada bagian ventral
ekor. Walaupun mempunyai sepasang hemipenis, pada saat kopulasi hanya satu
yang dimasukkan ke liang kloaka betina (Iyai & Pattiselanno 2006). Hemipenis
tidak digunakan pada saat urinasi karena urin dikeluarkan langsung dari kloaka
melalui ureter. Biawak betina memiliki sepasang oviduk dan ovarium. Ovarium
terletak pada posisi yang sama dengan testes pada biawak jantan yaitu di
dorsomedial rongga abdomen (Barten 1996a).
Faktor penentu utama kematangan seksual pada biawak adalah ukuran
tubuh. Usia dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kematangan seksual karena
berbeda antara biawak di alam liar dan penangkaran. Usia kematangan seksual
biawak di alam liar berkisar antara 3-4 tahun, sedangkan usia kematangan seksual
biawak di penangkaran tidak dapat ditentukan karena dipengaruhi oleh perawatan
dan pakan yang berbeda.
Musim kawin pada biawak ditentukan oleh suhu, hujan dan ketersediaan
pakan. Biawak jantan akan menjadi agresif dan menjaga teritorial ketika musim

17

kawin (Barten 1996b). Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi
lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat
menghasilkan telur lebih dari satu kali dalam setahun. Bila kopulasi terjadi
sebelum ovulasi, sperma akan disimpan oleh betina. Hal ini menyebabkan reptil
betina mampu untuk menghasilkan telur tanpa adanya kopulasi. Namun fertilisasi
akan meningkat bila kopulasi terjadi saat berlangsungnya pembentukan telur.
Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada biawak adalah distokia,
prolapsus oviduk, kloaka dan hemipenis. Prolapsus oviduk dan kloaka terjadi
akibat oviposisi, namun banyak kasus yang terjadi akibat kesalahan penanganan
distokia. Prolapsus hemipenis terjadi karena trauma setelah kopulasi dan
mengalami inflamasi sehingga tidak dapat masuk kembali ke kloaka. Hemipenis
dapat mengalami pendarahan dan bahkan nekrosis sehingga harus diamputasi.
Prolapsus penis tidak mengganggu kemampuan reproduksi biawak karena
memiliki dua hemipenis (DeNardo 1996).

Penyakit-Penyakit pada Biawak
Penyakit pada biawak meliputi penyakit-penyakit yang umum terjadi pada
reptil. Biawak dapat mengalami gangguan kesehatan atau penyakit pada sistem
pernapasan, sistem pencernaan, sistem metabolisme, tulang, kulit, dan sistem
reproduksi (Wilson 2010). Gangguan kesehatan pada sistem pernapasan biawak
umumnya adalah pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri aerobik
dan anaerobik, fungi, serta parasit dan terjadi akibat manajemen pemeliharaan
yang kurang baik. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap fungsi pernapasan
dan sistem imun yang baik (Barten 1996b). Selain itu, nutrisi yang tidak seimbang
terutama kurangnya vitamin A dan protein dapat mengakibatkan gangguan
pernapasan. Kurangnya vitamin A mengakibatkan metaplasia pada sel epitel dan
duktus kelenjar mukus saluran pernapasan (Murray 1996).
Beberapa spesies Varanus spp. dapat mengalami luka pada kulit yang
disebabkan oleh gesekan hewan tersebut dengan kandang. Luka tersebut dapat
terinfeksi

bakteri

atau

fungi

sehingga

diperlukan

pengobatan

dengan

menggunakan antibiotik sistemik (Wilson 2010). Biawak juga dapat terinfeksi
oleh berbagai jenis ektoparasit terutama kutu dan tungau. Terdapat tujuh genus

18

tungau dan lebih dari 250 spesies kutu sebagai parasit reptil. Kutu dan tungau
dapat menyebabkan kegatalan dan menghisap darah serta menjadi vektor penyakit
infeksius. Salah satu contoh adalah kutu pembawa Aeromonas hydrophila yang
dapat menyebabkan pneumonia dan stomatitis (Mader 1996a). Amblyomma dan
Aponomma adalah caplak yang paling umum ditemukan di reptil. Selain itu,
Hirstiella sp. adalah tungau berukuran