Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat

ABSTRACT
MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA. Antibiotic residues of chicken and beef in
traditional market of West Java Province. Under direction of HERWIN
PISESTYANI.
This study was aimed to observe the occurance of antibiotic residues in
chicken and beef which sold in traditional markets of West Java Province. Thirty
six chicken samples and 24 beef samples were collected from twelve districts.
The antibiotic residues were determined using bioassay method. The results
showed that none of the 36 chicken samples were positive of penicillin,
macrolides, aminoglycosides, and tetracyclines. Three samples of beef were
positive of macrolides, those samples derived from Bandung City and
Tasikmalaya District.
Keywords: bioassay method, antibiotic residues, chicken, beef

RESIIDU ANT
TIBIOTIK
K PADA DAGING
D
G AYAM D
DAN SAP
PI

DARI PASAR TRADISI
T
IONAL DI
D PROVIINSI JAW
WA BARA
AT

M
MOCHAM
MMAD RIFQI
R
WIIJAYA

FAK
KULTAS KEDOK
KTERAN HEWAN
N
IN
NSTITUT
T PERTA

ANIAN BO
OGOR
BOGO
OR
2011
1

ABSTRACT
MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA. Antibiotic residues of chicken and beef in
traditional market of West Java Province. Under direction of HERWIN
PISESTYANI.
This study was aimed to observe the occurance of antibiotic residues in
chicken and beef which sold in traditional markets of West Java Province. Thirty
six chicken samples and 24 beef samples were collected from twelve districts.
The antibiotic residues were determined using bioassay method. The results
showed that none of the 36 chicken samples were positive of penicillin,
macrolides, aminoglycosides, and tetracyclines. Three samples of beef were
positive of macrolides, those samples derived from Bandung City and
Tasikmalaya District.
Keywords: bioassay method, antibiotic residues, chicken, beef


RINGKASAN
MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA. Residu antibiotik pada daging ayam dan sapi
dari pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HERWIN
PISESTYANI.
Daging merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi,
terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk (1)
pertumbuhan sel-sel baru, (2) pergantian sel-sel yang rusak, serta (3) proses
metabolisme tubuh. Daging sangat bermanfaat untuk kesehatan, pertumbuhan,
dan kecerdasan manusia, namun juga dapat mengandung bahaya biologis,
kimiawi, dan fisik. Salah satu bahaya kimiawi yang dapat dijumpai pada daging
adalah residu antibiotik. Ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat, residu
antibiotik dalam pangan asal hewan dapat mengancam kesehatan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik pada
daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi Jawa
Barat. Sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam diambil
secara purposif di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat. Pengujian sampel
daging ayam dan daging sapi menggunakan metode screening test secara
bioassay. Keberadaan residu antibiotik dapat dilihat dengan terbentuknya daerah
hambatan di sekitar kertas cakram.

Sampel daging ayam dan sapi yang akan diperiksa diiris dengan skalpel dan
dimasukkan kertas cakram ke dalam irisan tersebut. Cawan Petri diisi dengan
media biakan dan didiamkan sampai media memadat. Kertas cakram yang telah
dimasukkan ke dalam daging diambil dan diletakkan secara hati-hati di atas
permukaan media biakan yang telah memadat dengan menggunakan pinset steril.
Setiap cawan Petri terdapat 5 kertas cakram, yang terdiri dari 4 kertas cakram dari
sampel daging yang berbeda dan 1 kertas cakram dari larutan antibiotik sebagai
larutan standar. Larutan standar sebanyak 75 µl diteteskan di atas kertas cakram
secara tegak lurus dengan menggunakan pipet mikro. Larutan standar digunakan
sebagai kontrol positif setiap golongan antibiotik dengan konsentrasi tertentu
dalam setiap mililiter larutan.
Larutan standar dari golongan penisilin diwakili oleh natrium penisilin
(0.01 IU/ml), golongan tetrasiklin diwakili oleh oksitetrasiklin (1.0 µg/ml),
golongan aminoglikosida diwakili oleh kanamisin (1.0 µg/ml), dan golongan
makrolida diwakili oleh tilosin (1.0 µg/ml). Cawan Petri tersebut diinkubasikan
ke dalam inkubator dengan suhu yang berbeda untuk setiap antibiotik (grup
tetrasiklin suhu inkubator 30 ºC, grup makrolida dan aminoglikosida 36 ºC, dan
grup penisilin 55 ºC) selama 18 sampai 24 jam. Pembacaan hasil dilakukan
dengan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang
diduga mengandung residu antibiotik dengan menggunakan jangka sorong.

Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotik apabila terbentuk zona
bening (daerah hambatan) minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram.
Golongan penisilin dinyatakan positif maka harus dilakukan uji ulang dengan
menggunakan enzim penisilinase sebagai peneguhan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tidak ditemukan residu
antibiotik dalam daging ayam yang berasal dari beberapa pasar tradisional di
12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 3 sampel daging sapi positif
ditemukan residu antibiotik golongan makrolida yaitu Kota Bandung (2) dan
Kabupaten Tasikmalaya (1). Secara umum keberadaan residu antibiotik pada
sampel daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional di
12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat memenuhi standar batas maksimum residu
yang sesuai dengan petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor
01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum
Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan.
Kata Kunci: metode bioassay, residu antibiotik, daging ayam, daging sapi

 

RESIDU ANTIBIOTIK PADA DAGING AYAM DAN SAPI

DARI PASAR TRADISIONAL DI PROVINSI JAWA BARAT
LE

MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBERINFORMASI

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Residu Antibiotik
pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
 

 
Bogor, November 2011

Mochammad Rifqi Wijaya
B04070106
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
 
 
 
 
 

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Peneltian
Nama Mahasiswa
NRP

: Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar
Tradisional di Provinsi Jawa Barat

: Mochammad Rifqi Wijaya
: B04070106

Disetujui

drh. Herwin Pisestyani, M.Si
Pembimbing

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul penelitian

adalah Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional di
Provinsi Jawa Barat. Terimakasih penulis sampaikan kepada ibu drh. Herwin
Pisestyani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah tanpa lelah dan
penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan
baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Dr. drh Nurhidayat, MS selaku dosen pembimbing akademik, Bapak Dr. drh.
Denny W. Lukman, M.Si, Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, MS, Ibu
Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B Sudarwanto, Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman,
M.Si, dan Ibu Maya Masita N, SPt, M.Si atas dukungan dan bimbingannya selama
penelitian. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Tedi
Subarkah, AMd, Bapak Yuhendra yang telah banyak membantu penelitian ini.
Kepada teman-teman satu penelitian (Fuji, Inda, Ellangga, Eddy, Putra, Wulan,
Ningrum) penulis berterima-kasih atas kerjasama dan bantuannya selama
penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, dan adik
tersayang (Marisa dan Ravi), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta
yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada
Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) dan keluarga Gianuzzi 44
yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat.
 
Bogor, November 2011

Mochammad Rifqi Wijaya

RIWAYAT HIDUP
 
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 Agustus 1989
dari ayah Dadang Suparyan dan ibu Rundiasih. Penulis merupakan putra pertama
dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN Babakan Tarogong 3 Kota
Bandung dan lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SMPN 3 Kota
Bandung dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di
SMAN 11 Kota Bandung dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke
IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi
Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB sebagai Ketua
(2009-2010), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) Cabang FKH
IPB sebagai anggota Divisi Zoonosis dan Lingkungan Pengabdian Masyarakat
(2008-2010), Komunitas Seni Steril FKH IPB sebagai Wakil Ketua (2008-2009),
Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman sebagai anggota Divisi Teater
(2008-2009).

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...............................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..............................................................................................
Tujuan Penelitian ..........................................................................................
Manfaat Penelitian ........................................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan ........................................................................................
Bahaya dalam Keamanan Pangan.................................................................
Data yang Terkait Keamanan Pangan Daging ..............................................
Residu Antibiotik ..........................................................................................
Jenis Antibiotik yang Digunakan .................................................................
Tujuan Penggunaan Antibiotik .....................................................................
Prevalensi Residu Antibiotik ........................................................................
Dampak Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat ..............................

3
4
4
6
7
9
10
12

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian.......................................................................
Pengambilan dan Jumlah Sampel .................................................................
Alat dan Bahan .............................................................................................
Cara Pengujian Residu Antibiotik ................................................................

13
13
14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan Residu Antibiotik......................................................................
Residu Penisilin............................................................................................
Residu Makrolida.........................................................................................
Residu Aminoglikosida................................................................................
Residu Tetrasiklin.........................................................................................
Pencegahan dan Pengendalian Residu Antibiotik pada Daging...................

17
18
19
21
22
24

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan.......................................................................................................
Saran.............................................................................................................

27
27

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................

28

DAFTAR TABEL
Halaman
1

2

3

4

5

6

7

8
 
 
 
 

Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di Kota
Accra dan Kumasi tahun 2007-2008 (Karabudak et al. 2008)...................

11

Prevalensi residu antibiotik pada daging ayam, daging babi, dan
daging sapi di wilayah Florence, Italia (Pesavento et al. 2007).................

11

Lokasi dan jumlah sampel daging ayam dan sapi yang diambil dari
beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa
Barat...........................................................................................................

13

Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat..........................................................

18

Hasil uji residu makrolida pada daging ayam dan sapi di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat..........................................................

19

Hasil uji residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat..........................................................

21

Hasil uji residu tetrasiklin pada daging ayam dan sapi di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat..........................................................

22

Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam
dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010...............................

24

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Contoh hasil uji residu antibiotik pada sampel daging dengan
menggunakan metode bioassay..................................................................

16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi,
terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk (1)
pertumbuhan sel-sel baru, (2) pergantian sel-sel yang rusak, serta (3) proses
metabolisme tubuh (Ikhwan 1997). Daging sangat bermanfaat untuk kesehatan,
pertumbuhan, dan kecerdasan manusia. Daging yang umum dikonsumsi dapat
diperoleh dari ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak
unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, kuda, rusa, babi).
Banyaknya masakan khas Indonesia yang menggunakan daging sebagai
bahan dasar, misalnya soto daging, rendang, rawon, empal, dan sate, menjadikan
daging merupakan salah satu makanan yang disenangi masyarakat di Indonesia.
Daging dapat diolah atau dimasak dengan berbagai cara antara lain rebus, goreng,
panggang, bakar, atau dikeringkan. Tingkat konsumsi daging dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan.

Tahun 2005 tingkat konsumsi daging mencapai

5.2 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2008 menjadi 7.8 kg/kapita/tahun
(Ditjennak 2009).
Daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah busuk (perishable food)
dan pangan yang berpotensi membawa bahaya (potentially hazardous food)
(Lukman et al. 2009). Daging dapat mengandung bahaya biologis, kimiawi, dan
fisik. Salah satu bahaya kimiawi yang dapat dijumpai pada daging adalah residu
antibiotik. Ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat, residu antibiotik dalam
pangan asal hewan dapat mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman kesehatan
masyarakat akibat residu antibiotik dalam pangan asal hewan antara lain resistensi
bakteri, gangguan kesehatan konsumen seperti alergi atau keracunan.
Masalah residu antibiotik pada pangan asal hewan berkaitan dengan praktik
yang kurang baik dalam penggunaan antibiotik di peternakan. Antibiotik saat ini
banyak digunakan untuk pengobatan (terapi) dan pemacu pertumbuhan (growth
promotor). Penggunaan antibiotik yang tidak memperhatikan masa henti obat
(withdrawal time), akan menimbulkan residu antibiotik pada produk hewan
(Donkor et al. 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik
dalam daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi
Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk
penentuan kebijakan dan program dalam rangka jaminan keamanan pangan di
Provinsi Jawa Barat.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik pada
daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi Jawa
Barat.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang bahaya
residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar
tradisional Provinsi Jawa Barat kepada masyarakat dalam rangka program
jaminan keamanan pangan asal hewan.

TINJAUAN PUSTAKA

Keamanan Pangan
Keamanan pangan didefinisikan dalam Undang-Undang Pangan RI Nomor
7 tahun 1996 sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim 1997).
Menurut Codex Alimentarius Commission (1997), keamanan pangan adalah
semua kondisi dan ukuran kebutuhan untuk menjamin keamanan dan kesesuaian
pangan dalam semua tingkat rantai pangan. Keamanan pangan pada dasarnya
merupakan proses yang komplek, yang berkaitan erat dengan aspek kebijakan,
toksisitas,

kimiawi,

(Indraningsih 2006).

status

gizi,

kesehatan,

dan

ketentraman

batin

Masalah keamanan pangan perlu pengawasan yang

komprehensif di sepanjang rantai pangan dari sejak pangan diproduksi sampai
dikonsumsi oleh masyarakat (from farm to table). Keamanan pangan menjadi
perhatian dunia karena dampak terhadap kesehatan masyarakat sangat besar.
Keamanan pangan dan masalah gizi berpengaruh terhadap perkembangan kualitas
sumber daya manusia dalam jangka panjang (Gartini et al. 2009).
Kedudukan masyarakat dalam keamanan pangan berperan sebagai
konsumen dan penghubung terakhir dalam rantai pangan setelah melewati proses
produksi, pengolahan, dan distribusi ke penjual pangan.

Faktor yang

mempengaruhi keamanan pangan pada konsumen antara lain: umur, gaya hidup,
kesehatan, pengetahuan, kebudayaan, jenis kelamin, pandangan politik, kebutuhan
nutrisi, daya beli, status ekonomi, status keluarga, pekerjaan, dan pendidikan
(Seward 2003b). Terjaminnya keamanan pangan di masyarakat perlu pengawasan
yang ketat dan secara terpadu dari pemerintah maupun departemen yang bergerak
di bidang pangan.

Pengawasan terhadap produk pangan bertujuan untuk

mencegah munculnya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne
disease) yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Bahaya dalam Keamanan Pangan
Menurut National Advisory Committee on Microbiological Criteria for
Food (1997), yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya dalam keamanan pangan
terdiri dari bahaya biologis, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Bahaya biologis
dapat

menyebabkan

infeksi

(pertumbuhan

mikroorganisme

yang

dapat

menyebabkan penyakit) dan intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh toksin
yang diproduksi oleh mikroorganisme). Contoh dari agen biologis pangan asal
hewan

yang

Campylobacter,

ditransmisikan
Escherichia

kepada
coli,

manusia

Listeria

antara

lain:

monocytogenes,

Salmonella,
Toxoplasma,

Leptospira, Coxiella burnetii (Q fever), Brucella, Mycobacterium, Yersinia
enterolitica, prion (bovine spongiform encephalopathy agent), dan parasit (Taenia
solium, Taenia saginata, dan Trichinella spiralis), agen tersebut dapat
menyebabkan foodborne disease (OIE 2006).
Bahaya kimia berasal dari: (1) bahan pertanian seperti pestisida, antibiotik,
dan hormon pertumbuhan, (2) industri kimia seperti cleaning agent, sanitizers,
dan peralatan industri yang berhubungan dengan minyak, bensin, dan pelumas.
Bahaya kimia yang lainnya seperti toksikan alami (mikotoksin) dan kontaminasi
dari lingkungan antara lain: dioxins, polychlorinated biphenyls (PCBs),
polyaromatic hydrocarbons (PAHs), logam berat (arsenik, merkuri, timbal, dan
cadmium merupakan toksik logam berat pada hewan domestik), dan isotop
radioaktif (Seward 2003a; OIE 2006; Andree et al. 2010).

Menurut Corleet

(1998) yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya fisik terdiri dari gelas, kayu,
plastik, batu, logam, dan tulang. Bahaya fisik merupakan kontaminasi yang tidak
disengaja berasal dari penanaman, pemanenan, proses industri, distribusi, dan
penyimpanan.

Data yang Terkait Keamanan Pangan Daging
Keamanan pangan pada daging dapat ditinjau dari aspek kimia, biologi, dan
fisika. Aspek paling penting berada di rumah potong hewan dan proses industri
yang menerapkan program hazard analysis and critical control point (HACCP).
Implementasi program HACCP pada semua bahaya dapat mempengaruhi

keselamatan manusia, maka dari itu setiap bahaya harus diidentifikasi, dipantau,
dikurangi, dan dihilangkan ketika dianggap kritis (Dwinger et al. 2009).
Menurut Schreuder (1994) dan Bernard et al. (1999) yang diacu dalam
Dwinger et al. (2009), sekitar tahun 1990 kepercayaan konsumen di Eropa
terancam karena sejumlah makanan terkontaminasi terutama daging sapi. Sapi di
Inggris terjangkit bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan di Belgia
ditemukannya polychlorinated biphenyls dan dioxins pada pakan ternak.
Penelitian mengenai penanganan daging sapi di Turki dilakukan pada bulan
September sampai Desember 2004. Wawancara dilakukan pada konsumen yang
berjumlah 1090 orang yang terdiri dari konsumen yang diet daging sapi, pembeli
daging sapi, dan konsumen yang menangani daging sapi di rumah.

Hasil

wawancara dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak dapat menyimpan dan
mencairkan daging sapi pada suhu yang baik dan benar. Praktik penanganan
pangan dipengaruhi oleh pendidikan, sosial ekonomi, dan pengetahuan keamanan
pangan. Konsumen daging sapi di Turki harus diberitahu mengenai penanganan
daging sapi yang baik dan benar untuk mencegah foodborne disease
(Karabudak et al. 2008).
American Meat Institute (AMI) melakukan survei untuk mengetahui opini
konsumen mengenai pengemasan dan proses pengolahan daging ayam dan sapi
pada awal tahun 2007. Survei ini dilakukan di kota Illinois (Chicago) yang terdiri
dari dua kelompok yaitu fokus grup dan survei internet. Beberapa kesimpulan
utama dari survei ini adalah (1) sekitar 90% konsumen setuju, bahwa produk
daging yang diproduksi di Amerika Serikat merupakan produk yang paling aman
di dunia, (2) sekitar 74% konsumen setuju, bahwa daging sapi yang diproduksi di
Amerika Serikat paling terjangkau di dunia, (3) hampir 60% konsumen setuju,
bahwa daging ayam dan sapi yang dipotong di Amerika Serikat diperlakukan
secara manusiawi, (4) sekitar 50% konsumen mendengar mengenai kejadian
khusus masalah keamanan pangan daging pada tahun lalu, (5) sekitar 33%
konsumen mengatakan, bahwa isu keamanan pangan daging pada tahun lalu
mencegah konsumen untuk membeli daging ayam dan sapi (Seward 2009).
Keamanan pangan daging berada pada barisan terdepan yang menjadi
perhatian masyarakat dalam beberapa tahun terakhir dan tantangan ini akan

berlanjut di masa yang akan datang. Isu terbesar dalam keamanan pangan daging
yaitu tantangan yang terkait kebutuhan maupun pencegahan terhadap munculnya
dan berkembangnya mikroorganisme patogen. Salah satu bahaya kimia yang
terdapat dalam daging yaitu ditemukannya residu antibiotik (Sofos 2008).

Residu Antibiotik
Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat
dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari
antibiotik tersebut, sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan
ternak untuk konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered
parent drug), metabolit dan/atau konjugat lainnya.

Beberapa metabolit obat

diketahui bersifat kurang/tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya,
namun beberapa diketahui lebih toksik (Haagsma 1988). Sesuai dengan petunjuk
teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan, residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau
bahan kimia dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah
pemakaian obat atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau
sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan.
Antibiotik yang diberikan pada hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi
darah dan berinteraksi dengan reseptor di dalam tubuh.

Interaksi tersebut

dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) aksi antibiotik terhadap tubuh yang
diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara
tubuh menangani senyawa eksogen. Secara simultan antibiotik didistribusikan ke
dalam tubuh setelah diabsorbsi. Umumnya antibiotik bersifat mudah larut dalam
lemak dan dapat dengan mudah melewati membran-membran sel atau jaringan
sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk ke hati
dan ginjal (Murtidjo 2007).

Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses

biotransformasi dan eliminasi yang berlangsung lama sehingga pada waktu
pemotongan jika antibiotik yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk
metabolit atau bahan aktifnya terdapat di dalam produk hewan ternak yaitu

daging, hati, ginjal, dan paru-paru. Timbunan dari senyawa atau metabolit dari
antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan residu (Siregar 1990).
Keberadaan residu antibiotik dalam produk hewani diakibatkan oleh
beberapa faktor (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan
antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter
hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan dampak pada kesehatan masyarakat
akibat mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung residu
antibiotik, (4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan
benar di peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif
(Lukman 1994; Donkor et al. 2011).

Jenis Antibiotik yang Digunakan
Menurut Ganiswarna et al. (1995) dan Kennedy et al. (1998), antibiotik
adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi baik secara alami
maupun buatan (sintetik) yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis
lain. Berdasarkan sifat toksisitas selektif ada antibiotik yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang
bersifat membunuh mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakterisidal
(Ganiswara et al. 1995). Menurut Reig dan Toldra (2009), antibiotik dibagi
menjadi sembilan golongan tetapi yang sering digunakan dalam bidang
peternakan ada lima golongan yaitu:
1.

Sulfonamida
Antibiotik ini merupakan turunan dari sulfanilamid.

Sulfonamida

merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan
bakteri Gram positif dan negatif. Mekanisme kerja dari antibiotik ini adalah
menghambat sintesis DNA bakteri.

Antibiotik ini digunakan untuk

pengobatan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri. Jenis antibiotik
yang banyak digunakan dari golongan sulfonamida adalah sulfametazin.
Menurut Dixon (2001) yang diacu dalam Reig dan Toldra (2009),
sulfametazin digunakan untuk hewan karena harganya murah, cara
memperolehnya mudah, dan tingkat efisiensi tinggi.

Golongan sulfonamida yang terdiri dari sulfametazin, aquinoksalin, dan
sulfamethoksazol memiliki peranan penting di bidang kedokteran hewan
yaitu dalam pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan protozoa
(Mamani et al. 2009).
2.

β-Laktam
Antibiotik ini mempunyai struktur β-laktam melingkar, yang termasuk
golongan ini adalah penisilin, β-laktamase inhibitor, sephalosporin,
ampisilin, dan amoksilin.

Antibiotik ini digunakan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak dinding sel bakteri.
Golongan β-laktam terutama penisilin merupakan antibiotik yang bersifat
non-toksik.

Antibiotik tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan

efisiensi pakan dan pertumbuhan pada hewan ternak (Verdon et al. 2000).
3.

Tetrasiklin
Derivat antibiotik ini berasal dari Streptomyces sp. Tetrasiklin merupakan
antibiotik berspektrum luas dengan aktivitas yang tinggi dalam melawan
bakteri Gram positif dan negatif dengan cara menghambat sintesis protein
pada bakteri.

Dalam bidang peternakan antibiotik ini digunakan untuk

pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah dapat digunakan
sebagai pemacu pertumbuhan. Golongan tetrasiklin yang banyak digunakan
di bidang kedokteran hewan adalah oksitetrasiklin dan klortetrasiklin.
4.

Aminoglikosida
Antibiotik ini mempunyai struktur gugus gula amino yang berikatan dengan
glikosida yang termasuk golongan ini adalah gentamisin, neomisin,
streptomisin, kanamisin, dan spektomisin.

Aminoglikosida merupakan

antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram
negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri. Neomisin
merupakan golongan aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan
infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas
yang diaplikasikan secara per oral. Antibiotik ini dapat digunakan untuk
pengobatan

mastitis

(Wang et al. 2009).

yang

diaplikasikan

secara

intramamari

5.

Makrolida
Antibiotik ini mempunyai gugus makrosiklik lakton yang mengikat gugus
gula.

Golongan makrolida adalah eritromisin, tilosin, spiramisin, dan

linkomisin. Makrolida dapat digunakan untuk pengobatan penyakit saluran
respirasi khususnya eritromisin dapat melawan bakteri Gram positif.
Tilosin, spiramisin, dan linkomisin dapat digunakan untuk pemacu
pertumbuhan.

Tujuan Penggunaan Antibiotik
Penggunaan obat-obatan terutama antibiotik, belakangan ini tidak dapat
dihindari lagi karena usaha peternakan telah dioperasikan secara intensif dan
dalam skala industri (Lukman 1994). Pemakaian obat-obatan tersebut memiliki
alasan atau tujuan yang berbeda-beda yaitu (1) mencegah dan mengobati penyakit
pada hewan ternak dan manusia, (2) menyelamatkan ternak dari kematian, (3)
meningkatkan

efisiensi

pakan,

memacu

pertumbuhan,

dan

mengurangi

penderitaan hewan (misalnya obat-obat sedasi), (4) menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen, (5) pengawet makanan, (6) mengembalikan kondisi
ternak untuk berproduksi penuh kembali dalam waktu yang relatif singkat, (7)
mengurangi atau menghilangkan penderitaan ternak dan mencegah penyebaran
mikroorganisme patogen ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan
ternak dan manusia (Haagsma 1988; Wiryosoehanto 1990; Lukman 1994;
Drosinos et al. 2009; Mamani et al. 2009; Pikkemaat et al. 2009;
Pericas et al. 2010).
Antibiotik yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor)
biasanya diberikan sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang bermanfaat untuk
meningkatkan produksi (terutama unggas dan babi) dan mengurangi biaya pakan
(Wiryosoehanto 1990; Martinez 2009). Manfaat penggunaan antibiotik dalam
pakan adalah sebagai berikut (1) antibiotik secara tidak langsung mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat dalam pakan dan merangsang
pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino, (2) antibiotik dapat
membunuh atau menghambat mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan,
(3) meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor, dan magnesium dari pakan ternak

yang dikonsumsi, (4) mengurangi kebutuhan zat-zat gizi seperti vitamin B12,
mineral, dan asam amino (Siregar 1990).

Prevalensi Residu Antibiotik
Menurut Kruse et al. (1994), Klein dan Teuber (1999), dan Mayrhofer
(2004) yang diacu dalam Pesavento et al. (2007), daging merupakan vektor utama
untuk transfer resistensi bakteri dari hewan ke manusia. Resistensi bakteri selalu
menjadi masalah besar untuk infeksi nasokhomial di lingkungan rumah sakit.
Mekanisme transfer antibiotik melalui tiga cara yaitu: (1) ditemukan residu
antibiotik dalam makanan, (2) penyebaran melalui transfer resistensi dari
foodborne pathogens, (3) penyebaran ingesti dari bagian resistensi mikroflora
makanan alami dan transfer resistensi ke mikroorganisme patogen.
Menurut Hernandez et al. (2002) yang diacu dalam White et al. (2004),
salah satu penelitian di Spanyol untuk menentukan tingkat resistensi antibiotik
menggunakan 112 isolat Salmonella sp dari 691 sampel daging ayam beku dan
segar. Hampir setengah dari isolat yang diuji (46%) sensitif terhadap semua
antibiotik yang diuji. Resistensi yang diamati terhadap kloramphenikol (45%),
ampisilin (35%), dan tetrasiklin (34%). Resistensi terhadap beberapa antibiotik
diamati pada 44% dari isolat S. Typhimurium, isolat ini cenderung lebih tahan
dari serotipe lain yang diuji.
Bulan Januari 2007 sampai November 2008, dilakukan pengujian residu
antibiotik pada daging dan telur di Ghana.

Sampel tersebut berasal dari

peternakan, konsumen dari Kota Accra dan Kota Kumasi yang diambil secara
acak untuk diuji residu antibiotik golongan β-laktam, tetrasiklin, kloramphenikol,
makrolida, aminoglikosida, sulfonamida, dan quinolon. Total sampel yang diuji
berjumlah 634 sampel yang terdiri dari 156 sampel daging sapi, 99 sampel daging
kambing, 84 sampel daging babi, 75 sampel daging domba, dan 220 sampel telur.
Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di kota Accra dan
Kota Kumasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1

Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di Kota
Accra dan Kumasi tahun 2007-2008 (Karabudak et al. 2008)
Accra

Jenis Sampel

Kumasi

Total

JS

SP

%P

JS

SP

%P

JS

SP

%P

Daging Sapi

60

9

15

96

39

41

156

48

30.8

Daging Kambing

41

7

17.1

58

22

38

99

29

29.3

Daging Domba

19

4

21.1

56

14

25

75

18

24

Daging Babi

20

2

10

64

22

34

84

24

28.6

Telur

120

12

10

100

3

3

220

15

6.8

Keterangan:

JS: Jumlah Sampel

SP: Sampel Positif

%P: Prevalensi

Pengujian residu antibiotik yang dilakukan di Italia dengan pengambilan
sampel yang berasal dari pedagang daging dan supermarket di sekitar wilayah
Florence (Italia). Jumlah sampel daging sebanyak 176 sampel yang terdiri dari 42
daging ayam, 68 daging sapi, dan 66 daging babi. Pengujian ini menggunakan
isolat Staphylococcus aureus dan 12 jenis antibiotik.

Hasil pengujian residu

antibiotik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Prevalensi residu antibiotik pada daging ayam, daging babi, dan daging
sapi di wilayah Florence , Italia (Pesavento et al. 2007)

Antibiotik

Daging ayam
(12/42)
N
(%)

Resistensi
Daging babi
Daging sapi
(10/66)
(20/68)
N
(%)
N
(%)

Sefalotin
Oksasilin
Ampisilin
Tetrasiklin
Trimetoprim
Eritromisin
Klindamisin
Gentamisin
Methisilin
Teikoplanin
Penisillin G
Vankomisin

0
8
7
1
1
1
1
2
0
0
3
0

1
1
2
2
1
2
3
1
0
0
2
0

0
66.66
58.33
8.33
8.33
8.33
8.33
16.66
0
0
25
0

10
10
20
20
10
20
30
10
0
0
20
0

0
6
9
5
0
5
5
1
0
0
2
0

0
30
45
25
0
25
25
5
0
0
10
0

Total
(42/176)
N
(%)
1
15
18
8
2
8
9
4
0
0
7
0

2.38
35.17
42.86
19.04
4.76
19.04
21.43
9.52
0
0
16.66
0

Dampak Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat
Residu antibiotik di dalam daging serta produk hewan lainnya, dapat
menimbulkan ancaman potensial terhadap kesehatan masyarakat bila dikonsumsi
dalam waktu yang lama (Lukman 1994), ancaman tersebut dapat berupa (1) aspek
toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat bersifat racun terhadap hati, ginjal, dan
pusat hemopoitika, (2) aspek mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan
menggangu keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan sehingga dapat
menggangu metabolisme tubuh, (3) aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotik
dapat menjadi faktor pemicu timbulnya reaksi alergi dari yang bersifat ringan
sampai berat dan bersifat fatal, (4) menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan
kerusakan jaringan (Haagsma 1988; Donkor et al. 2011).
Haagsma (1988) memandang masalah residu obat dalam bahan makanan
dan penggunaan obat dalam bidang veteriner berkaitan dengan aspek kesehatan
masyarakat, aspek teknologi, dan aspek lingkungan.

Ditinjau dari aspek

teknologi, keberadaan residu antibiotik dalam bahan makanan dapat mengganggu
atau menggagalkan proses fermentasi.

Ditinjau dari aspek lingkungan,

penggunaan obat pada ternak akan mencemari lingkungan karena senyawa asal
obat atau metabolit akan diekskresikan melalui urin dan feses. Ekskreta obat atau
metabolit tersebut akan terlibat pada proses mikrobiologik dalam manur dan
tanah, serta dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme, yaitu dapat
mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum
digunakan untuk terapi (Martaleni 2007).

Kemungkinan ancaman residu obat

dalam bahan makanan terhadap kesehatan masyarakat adalah mutagenik,
karsinogenik, dan imunosupresif.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan September sampai Oktober 2009. Sampel
daging

ayam

dan

sapi

diambil

dari

beberapa

pasar

tradisional

di

12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat (Tabel 1). Uji tapis (screening test) residu
antibiotik pada daging ayam dan sapi menggunakan metode bioassay dilakukan di
Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), Direktorat Jenderal
Peternakan, Kementerian Pertanian.
Tabel 3 Lokasi dan jumlah sampel daging ayam dan sapi yang diambil dari
beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kabupaten/Kota
Kota Bekasi
Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Bogor
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kabupaten Bandung
Kota Bandung
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Sumedang
Kabupaten Tasikmalaya
Kota Cirebon
Kabupaten Indramayu

Daging sapi
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
24

Daging ayam
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
36

Jumlah
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
60

Pengambilan dan Jumlah Sampel
Jumlah sampel ditentukan secara tidak acak (purposif) dari pasar tradisional
yang telah ditentukan oleh peneliti di setiap kabupaten/kota, yaitu masing-masing
2 sampel daging sapi dan 3 sampel daging ayam. Jumlah keseluruhan sampel
yang diperiksa sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam
(Tabel 3).
Berat sampel daging sapi yang diambil minimum 300 g dan sampel daging
ayam setengah karkas. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril,
kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es.
Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah penangas air, autoklaf, lemari
pendingin, timbangan analitik, tiga jenis inkubator (30 ºC, 36 ºC, dan 55 ºC),
magnet pengaduk, pH meter, pipet mikro 50-300 µl, jangka sorong, ose, pinset,
gunting, skalpel, cawan Petri 100 x 12 mm, tabung reaksi (7 ml dan 20 ml),
tabung sentrifus ukuran 50 ml, labu ukur (50 ml dan 100 ml), gelas ukur
(100 ml dan 500 ml), Erlenmeyer (250 ml dan 500 ml), botol timbang ukuran
20 ml, pipet volumetrik (1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, 10 ml, dan 18 ml), pipet graduasi
(1 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 20 ml), dan botol media.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bacto peptone (Difco
21667), bacto agar (Difco 214010), beef extract (Difco 212610), yeast extract
(Difco 212750), dextrose (Difco 215530), glucose (Merck 1.08342.100), air
destilata, larutan buffer terdiri dari NaOH (Merck 1.06498.0500), HCl (Merck
1.00316.2500), KH2PO4 (Merck 1.04783.1000), Na2HPO4 (Merck 1.065.86.0500),
KOH (Merck 1.05033.0500), H3PO4 (Merck 1.00573.1000), K2HPO4 (Merck
1.051.04.1000).
Mikroorganisme uji terdiri dari bakteri Bacillus stearothermophilus
American Type Culture Collection (ATCC) 7953 (Oxoid 0871P) untuk golongan
penisilin, bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 (Oxoid 0256P) untuk golongan
tetrasiklin, bakteri Bacillus subtilis ATCC 6633 (Oxoid 0486P) untuk golongan
aminoglikosida, dan bakteri Micrococcus luteus ATCC 9341 (Oxoid 6888P)
untuk golongan makrolida.

Larutan baku pembanding terdiri dari natrium

penisilin (Sigma P-7794) untuk penisilin, oksitetrasiklin hidroklorida (Sigma
O-5875)

untuk

tetrasiklin,

kanamisin

sulfat

(Sigma

K-4000)

untuk

aminoglikosida, serta tilosin tartat (Sigma T-6134) untuk makrolida.

Cara Pengujian Residu Antibiotik
Residu antibiotik pada daging ayam dan sapi diuji menggunakan metode uji
tapis (screening test) secara bioassay dengan standar normal diameter zona
hambatan yang digunakan 20 ± 1 mm dari diameter kertas cakram 8 mm sesuai
dengan petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 7424:2008

tentang metode uji tapis (screening test) residu antibiotik pada daging, telur, dan
susu secara bioassay.
Pemeriksaan terhadap antibiotik golongan makrolida menggunakan bakteri
Micrococcus luteus ATCC 9341 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang
mengandung bacto agar 18 g, peptone 6 g, beef extract 1.5 g, yeast extract 3 g,
glukosa 1 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 8.5 ± 0.1
dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.
Antibiotik golongan tetrasiklin diperiksa dengan menggunakan bakteri
Bacillus cereus ATCC 11778 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang
mengandung bacto agar 15 g, peptone 6 g, beef extract 1.5 g, yeast extract 3 g,
KH2PO4 1.35 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 5.7 ±
0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.
Antibiotik golongan penisilin diperiksa dengan menggunakan bakteri
Bacillus stearothermophilus ATCC 7953 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada
media yang mengandung bacto agar 15 g, peptone 5 g, yeast extract 3 g, dextrose
1 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 5.7 ± 0.1 dan
dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.
Antibiotik golongan aminoglikosida diperiksa dengan menggunakan bakteri
Bacillus subtilis ATCC 6633 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang
mengandung bacto agar 15 g, peptone 5 g, beef extract 3 g, air destilata 1000 ml.
Nilai pH media disesuaikan 8.5 ± 0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut
larut. Keempat media tersebut disterilkan ke dalam autoklaf pada temperatur
121 ± 1 ºC, dengan menggunakan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Sampel daging ayam dan sapi yang akan diperiksa diiris dengan skalpel dan
dimasukkan kertas cakram ke dalam irisan tersebut. Kertas cakram yang telah
dimasukkan ke dalam daging diambil dan diletakkan secara hati-hati di atas
permukaan media biakan yang telah memadat dengan menggunakan pinset steril.
Setiap cawan Petri berisi 5 kertas cakram, yang terdiri dari 4 kertas cakram dari
sampel daging yang berbeda dan 1 kertas cakram dari larutan antibiotik sebagai
larutan standar. Larutan standar sebanyak 75 µl diteteskan di atas kertas cakram
secara tegak lurus dengan menggunakan pipet mikro. Larutan standar digunakan

sebagai kontrol positif setiap golongan antibiotik dengan konsentrasi tertentu
dalam setiap mililiter larutan.
Larutan standar dari golongan penisilin diwakili oleh natrium penisilin
(0.01 IU/ml), golongan tetrasiklin diwakili oleh oksitetrasiklin (1.0 µg/ml),
golongan aminoglikosida diwakili oleh kanamisin (1.0 µg/ml), dan golongan
makrolida diwakili oleh tilosin (1.0 µg/ml). Biakan tersebut diinkubasikan ke
dalam

inkubator

dengan

suhu

yang

berbeda

untuk

setiap

antibiotik

(grup tetrasiklin suhu inkubator 30 ºC, grup makrolida dan aminoglikosida 36 ºC,
dan grup penisilin 55 ºC) selama 18 sampai 24 jam. Pembacaan hasil dilakukan
dengan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang
diduga mengandung residu antibiotik dengan menggunakan jangka sorong.
Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotik apabila terbentuk zona
bening (daerah hambatan) minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram.
Golongan penisilin dinyatakan positif maka harus dilakukan uji ulang dengan
menggunakan enzim penisilinase sebagai peneguhan. Berikut adalah salah satu
gambar hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dengan
menggunakan metode bioassay disajikan pada gambar 1.
 

 

Sampel 2
Kontrol negatif
Sampel 3
Sampel 1
Kontrol positif

Gambar 1 Contoh hasil uji residu antibiotik pada sampel daging dengan
menggunakan metode bioassay.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Residu Antibiotik
Pengujian residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode uji tapis (screening test) secara bioassay, sesuai dengan
SNI 7424:2008 yang membahas mengenai metode uji tapis (screening test) residu
antibiotik pada daging, telur, dan susu secara bioassay. Uji tapis (screening test)
adalah suatu cara melakukan pengujian untuk mendeteksi kandungan residu
antibiotik secara kualitatif sesuai dengan batas deteksi tertentu pada daging, telur,
dan susu. Bioassay adalah suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme
untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif. Prinsip dari pengujian,
apabila

terdapat

residu

antibiotik

mikroorganisme pada media agar.

maka

menghambat

pertumbuhan

Penghambatan dapat dilihat dengan

terbentuknya daerah hambatan (zona bening) di sekitar kertas cakram. Besarnya
diameter

daerah

hambat

menunjukkan

konsentrasi

residu

antibiotik

(Pikkemaat et al. 2009). Keuntungan dari pengujian residu antibiotik dengan
metode uji tapis (screening test) secara bioassay yaitu: (1) mudah digunakan dan
ditangani, (2) biaya tidak terlalu mahal, (3) waktu pengerjaannya singkat dan
cepat, (4) memungkinkan automatisasi, (5) memiliki sensitivitas dan spesifisitas
baik, (6) deteksi capability (CCβ) dengan eror probability (β) < 5%
(Reig & Toldra 2008).
Berdasarkan hasil uji residu antibiotik bahwa semua sampel daging ayam
negatif mengandung residu antibiotik baik dari golongan penisilin, makrolida,
aminoglikosida, dan tetrasiklin.

Tiga dari 24 Sampel daging sapi positif

mengandung residu antibiotik dari golongan makrolida yaitu Kota Bandung (2)
dan Kabupaten Tasikmalaya (1).

Hasil pengujian dari kandungan residu

antibiotik golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin pada
daging ayam dan daging sapi yang berasal dari beberapa pasar tradisional di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat dikelompokkan berdasarkan golongan
antibiotik yang dapat dilihat pada Tabel 4-7.

Residu Penisilin
Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa
wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu penisilin. Berdasarkan hasil
pengujian tidak ditemukan residu penisilin dari semua sampel daging ayam
maupun daging sapi.

Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona

hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus stearothermophilus pada media agar.
Hasil pengujian residu penisilin disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4

Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat
Positif penisilin

No

Kabupaten/Kota

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kota Bekasi
Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Bogor
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kabupaten Bandung
Kota Bandung
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Sumedang
KabupatenTasikmalaya
Kota Cirebon
Kabupaten Indramayu

Daging sapi (%)
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/2
0/24 (0)

Daging ayam (%)
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/3
0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu penisilin pada daging ayam dan sapi
kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai
dengan

masa

henti

obat

(withdrawal

time)

dan

dosis

yang

tepat

(Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati
(1997), waktu henti pensilin G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam
adalah 5 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara injeksi adalah 30
hari. Antibiotik golongan β laktam yang sering digunakan sebagai obat pilihan
pertama di peternakan adalah penisilin. Penisilin sering digunakan karena tidak
menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat bakterisidal.

Antibiotik

tersebut di peternakan ayam dan sapi pedaging digunakan untuk meningkatkan
efisiensi pakan dan pertumbuhan (Verdon et al. 2000). Batas maksimum residu
antibiotik penisilin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor
01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Pensilin dapat digunakan untuk pengobatan penyakit aktinomikosis
(lumpy jaw) yang disebabkan oleh Actinomyces bovis dan wooden tongue yang
disebabkan oleh Actinobacillus lignieresi pada sapi. Penisilin setelah melewati
proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan dengan cepat dari plasma ke
dalam jaringan tubuh. Difusi penisilin terjadi saat konsentrasi plasma yang tidak
terikat lebih tinggi dalam jaringan dan cairan. Rute utama ekskresi penisilin
adalah melalui ginjal dan juga melalui susu (Vaden & Riviere 2001).

Residu Makrolida
Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa
wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu makrolida. Berdasarkan
hasil pengujian ditemukan keberadaan residu makrolida pada sampel daging sapi
yang berasal dari Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan
dengan terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Kocuria rizophila pada
media agar. Hasil pengujian residu makrolida disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Hasil uji residu makrolida pada daging ayam dan sapi di 12
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat
Kabupaten/Kota

Kota Bekasi
Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Bogor
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kabupaten Bandung
Kota Bandung
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Sumedang
KabupatenTasikmalaya
Kota Cirebon
Kabupaten Indramayu

Positif makrolida
Daging sapi (%)
Daging ayam (%)
0/2
0/3
0/2
0/3
0/2
0/3
0/2
0/3
0/2
0/3
0/2
0/3
2/2
0/3
0/2
0/3
0/2
0/3