Defensive and agressive factors response of white rat stomach to aspirin as a human model

(1)

RESPONS FAKTOR DEFENSIF DAN AGRESIF LAMBUNG

TIKUS PUTIH TERHADAP ASPIRIN SEBAGAI MODEL

PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

PADA MANUSIA

Chudahman Manan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Penulis menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi penulis berjudul

“Respons Faktor Defensif dan Agresif lambung tikus putih terhadap Aspirin

Sebagai Model Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Pada Manusia”

adalah benar-benar karya asli penulis dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapan serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, Januari 2012

Chudahman Manan NIM: B 161030071


(3)

ABSTRACT

CHUDAHMAN MANAN

.

Defensive and Agressive Factors response

of White Rat Stomach to Aspirin as A Human Model. Under the

supervision of

BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DALDIYONO, SRI ESTUNINGSIH and MIN RAHMINIWATI.

Non Steroid Anti Inflammatory Drugs / Aspirin is a drug which is currently widely used in the treatment of cases in the field of Rheumatology, Cardiology, Neurology, Hematology and Oncology. The expansion of clinical indications will result in the increasing prevalence of drug side effects, especially on the stomach. The initial clinical symptoms due to side effects of this drug are dyspepsia syndrome. If these symptoms are not quickly resolved more severe complications will happen in the form of upper gastrointestinal bleeding.

The purpose of this study is to determine the changes in gastric pathology and histopathology due to side effects of aspirin. The study was conducted on 20 white rats Spague-Dawley strain which has been prepared starting from pre-study to eliminate bias factors that may affect the results of this study. Furthermore, rats were divided into 2 groups: the control and treatment groups The treatment group were given aspirin powder dissolved in water a dose of 400 mg once daily for 3 days, whereas the control group were given aquabidet. Afterthat necropsy was performed and the stomach was observed in macroscopic and microscopic examination to determine changes in cell activity such as mucus cells, inflammatory cells, parietal cells and chief cells as a component for defensive and agressive factors. Activities of isoenzyme cyclooxygenase 1 and cyclooxygenase 2 which associated with the production prostaglandin were examined by immunohistochemical staining.

The results obtain from this study is gastric dilatation and mucus is a component of defensive factor can serve as primary and secondary prevention of gastric mucosal lesions. Inflammatory cells, gastric acid and pepsin are only contributor factors in the occurrence of mucosal lesions. Isoenzymes COX-1 and COX-2 is associated with the production of prostglandin, function of COX-1 as constitutive factor can be seen clearly, whereas COX-2 functions as an inflammatory factor does not provide a clear picture.

Macroscopic and microscopic changes of the stomach will be used as a model in humans in conducting primary and secondary prevention of acute gastric mucosal lesions due to side effects of aspirin


(4)

RINGKASAN

CHUDAHMAN MANAN. Respons Faktor Defensif Dan Agresif Lambung Tikus Putih Terhadap Aspirin Sebagai Model Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Pada Manusia. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO sebagai ketua, DALDIYONO, SRI ESTUNINGSIH dan MIN RAHMINIWATI sebagai anggota komisi pembimbing.

Perluasan indikasi pemakaian Aspirin dalam pengobatan penyakit akan berakibat meningkatnya efek samping obat pada saluran cerna bagian atas khususnya lambung. Prevalensi efek samping berkisar antara 50% – 70 %. Bentuk kelainan yang dapat terjadi mulai dari ringan yaitu peradangan sampai dengan berat yaitu terjadinya ulkus dengan atau tanpa perdarahan. Kebutuhan pemakaian Aspirin pada penyakit penyakit tertentu seperti kelainan jantung, saraf, darah dan kanker akan berlangsung lama, sehingga diperlukan upaya pencegahan primer yaitu sebelum terjadinya lesi mukosa lambung dan pencegahan sekunder untuk mencegah perluasan dan memberatnya lesi mukosa yang sudah terjadi. Untuk melakukan pencegahan ini perlu diketahui reaksi seluler pada kelompok yang tidak mengalami lesi mukosa lambung, sedangkan ketahanan mukosa yang dihubungkan dengan produksi prostaglandin, pada kelompok Perlakuan Lesi Positif berdasarkan ekspresi isoenzim Cyclooxygenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2). Penelitian ini dimulai dengan pengamatan gejala klinik akibat efek samping obat sampai dengan perubahan seluler dan perubahan ketahanan mukosa lambung. Kelompok tanpa lesi mukosa merupakan kelompok yang akan diteliti secara khusus sebab akan dapat ditentukan perbedaan reaksi seluler dibandingkan dengan kelompok dengan lesi mukosa. Penelitian pada manusia banyak keterbatasan sehingga pengamatan secara menyeluruh sulit dilakukan. Oleh sebab itu penggunaan hewan coba tikus putih galur Sprague Dawley dengan struktur lambung sama dengan manusia akan dapat memberi gambaran reaksi seluler maupun ketahanan mukosa yang sama pada manusia. Hasil dari penelitian ini akan menjadi model untuk diterapkan pada manusia.

Penelitian ini bertujuan membuktikan perubahan yang terjadi pada lambung tikus akibat pemberian Aspirin berdasarkan masalah yang didapatkan pada manusia. Identifikasi masalah tersebut dijabarkan dalam pertanyaan penelitian:1). Apakah gejala klinik dispepsia pada Aspirin gastropati disebabkan perubahan morfologi lambung ? 2). Apakah peran mukus pada kelompok hewan coba Perlakuan Lesi Negatif (PLN) menunjukkan kelebihan dibandingkan kelompok Perlakuan Lesi Positif(PLP) ? 3). Apakah sel radang, asam lambung dan pepsin hanya sebagai kontributor pada kelompok PLN ? 4). Apakah isoenzim COX-2 berperan lebih dominan dibandingkan COX-1 pada kelompok Perlakuan Lesi Positif ? Kelompok Perlakuan Lesi Negatif akan merupakan kelompok yang akan memberikan gambaran reaksi seluler pada mukosa lambung sedangkan ketahanan mukosa akan diketahui dari pola isoenzim Cyclooxygenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2) yang berhubungan dengan produksi prostaglandin sebagai komponen


(5)

utama ketahanan mukosa lambung. Materi penelitian menggunakan 20 ekor tikus putih galur Sprague Dawley yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Perlakuan 10 ekor tikus dan kelompok Kontrol 10 ekor tikus. Sebelum penelitian dimulai dilakukan persiapan dan adaptasi kepada tikus tersebut untuk menghilangkan faktor bias yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Adapatasi dilakukan selama 3 minggu dengan memberikan makanan dengan komposisi yang telah ditentukan dan jumlah yang dimakan ditentukan dengan menimbang sisa pakan yang ada. Selama masa adaptasi tikus tersebut juga mendapat pengobatan antibiotik, anti cacing dan anti jamur. Setelah fase adaptasi selesai kelompok Perlakuan akan mendapat terapi Aspirin 400 mg yang dilarutkan dalam aquabidest dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut sedangkan kelompok Kontrol akan mendapat terapi aquabidest saja. Sesudah terapi selesai dilakukan nekropsi pada semua kelompok dan dilanjutkan pengamatan makroskopik / Patologi Anatomi (PA) lambung tikus pada kelompok Perlakuan Lesi Negatif (PLN), Perlakuan Lesi Positif (PLP) dan Kontrol (K) dengan mengukur diameter transversal dan sagital lambung tikus pada regio Fundus/Korpus dan regio Antrum/Pilorus. Selanjutnya dilakukan pengamatan mikroskopik pada ketiga kelompok PLN, PLP dan K dengan pewarnaan umum Hematoxylin Eosin, pewarnaan khusus Alcian Blue Periodic Acid Schiff (AB-PAS) untuk sel mukus. Hasil pengamatan mikroskopik dengan menghitung rerata jumlah sel mukus, sel radang, sel parietal, sel chief. Hasil perhitungan tersebut akan di analisa secara statistik menggunakan Anova dan hasil yang bermakna dilakukan analisa Duncan. Pemeriksaan isoenzim Cyclooxygenase satu dan dua dilakukan dengan metode imunohistokimia terhadap kelompok Perlakuan Lesi Positif untuk mengetahui aktifitas isoenzim ini berdasrkan ekspresi sel epitel dan sel kelnjar dengan hasil positif bila didapatkan warna coklat dan negatif bila tanpa warna coklat pada sediaan yang diperiksa. Hasilnya dinilai secara kwalitatif dianalisa secara deskriptif.

Hasil penelitian terhadap analisa makroskopik diameter lambung kelompok PLP, PLN dan Kontrol didapatkan dilatasi lambung pada kelompok PLP regio Antrum/Pilorus. Hal ini sesuai dengan mekanisme efek samping Aspirin pada mukosa lambung dimulai dengan efek topikal akibat kontak langsung dengan epitel lambung dilanjutkan dengan reaksi inflamasi dalam bentuk infiltrasi lekosit dan edematus jaringan. Kondisi ini akan menurunkan motilitas lambung dan terjadi penumpukan isi lambung pada regio Antrum/Pilorus yang akan berakibat dilatasi lambung. Hasil ini akan dapat diterapkan pada manusia karena gejala awal terjadinya gastropati Aspirin dalam bentuk perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium, kembung, mual dan dapat disertai muntah dalam bentuk sindroma dispepsia. Reaksi sel mukus pada kelompok PLN tidak berbeda bernakna dengan kelompok K dan PLP (p>0,05) pada regio Fundus/Korpus disebabkan peningkatan jumlah sel tersebut merupakan pencegahan primer pada PLN dan pencegahan sekunder pada kelompok PLP. Pada regio Antrum/Pilorus kelompok PLP berbeda bermakna dengan kelompok PLN dan K (p<0,05) menunjukkan reaksi sel mukus merupakan mekanisme pencegahan sekunder. Kelompok PLN dan K didapatkan tidak berbeda bermakna disebabkan proses adaptasi mukosa dari kelompok PLN terhadap Aspirin. Kemampuan adaptasi ini akan ditentukan oleh ketebalan dan kualitas mukus. Reaksi sel radang pada regio Fundus/Korpus kelompok PLN berbeda bermakna dengan K disebabkan induktor yang berbeda


(6)

yaitu Aspirin dan aquabidest. Sedangkan pada kelompok PLN dan PLP didapatkan perbedaan tidak bermakna menunjukkan reaksi sel radang lebih bersifat pencegahan primer dan sekunder. Pada regio Antrum/Pilorus reaksi sel radang kelompok PLN,PLP dan K tidak berbeda bermakna menunjukkan peran sel radang lebih bersifat protektif bukan destruktif. Reaksi sel parietal pada regio Fundus/Korpus didapatkan perbedaan tidak bermakna kelompok PLN dengan kelompok PLP dan K. Hal ini menunjukkan peran sel parietal sebagai penghasil asam lambung hanya bersifat kontributor dalam terjadinya lesi mukosa akut. Perbedaan bermakna kelompok PLP dan K disebabkan terjadinya kerusakan sel parietal akibat pengaruh Aspirin sehingga produksi asam lambung relatif berkurang. Pada regio Antrum/Pilorus kelompok PLN tidak berbeda bermakna dengan kelompok PLP dan K hal ini menunjukkan peran asam lambung hanya sebagai kontributor dalam terjadinya lesi mukosa akut akibat Aspirin. Reaksi sel chief berhubungan dengan kondisi sel parietal. Perbedaan bermakna antara kelompok PLN dan PLP menggambarkan aktifitas yang menurun dari sel parietal karena terjadinya perubahan histopatologi dalam bentuk piknosis. Hal yang sama juga terjadi pada regio Antrum/Pilorus.

Pemeriksaan imunohistokimia terhadap kelompok PLP menunjukkan bahwa COX-1 sebagai isoenzim konstitutif banyak didapatkan pada regio Fundus/Korpus sesuai dengan hasil pengamatan per endoskopi regio ini jarang mengalami lesi mukosa. Pada regio Antrum/Pilorus nilai positif yang tinggi dari COX-1 menunjukkan lesi mukosa yang terjadi lebih dominan disebabkan efek topikal dibandingkan sistemik. Hasil pemeriksaan COX-2 terhadap kelompok PLP pada regio Fundus/Korpus didapatkan nilai positif pada epitel lebih banyak dibandingkan kelenjar karena proses inflamasi dimulai dari lapisan epitel yang letaknya dipermukaan mukosa. Disamping itu nilai positif lebih banyak menunjukkan efek sistemik Aspirin belum berjalan maksimal sehingga ketahanan mukosa regio ini akan lebih baik dibandingkan regio Antrum/Pilorus. Hasil COX-2 negatif pada regio Antrum/Pilorus menunjukkan hambatan Aspirin terhadap enzim ini dalam memproduksi prostaglandin cukup kuat sehingga lesi yang terjadi pada regio ini lebih sering dan bila terjadi akan lebih berat dibandingkan regio Fundus/Korpus.

Kesimpulan dari penelitian ini peran faktor defensif lambung lebih dominan dalam terjadinya lesi mukosa lambung akut akibat Aspirin. Oleh sebab itu hasil penelitian ini akan dapat diterapkan pada manusia bahwa obat yang mempunyai kemampuan meningkatkan fungsi faktor defensif akan dapat dipakai sebagai pencegahan primer maupun sekunder.

Kata Kunci : aspirin, lambung, sel mukus, sel radang, sel parietal, sel chief, cyclooxygenase


(7)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofil, dan sebagainya.


(8)

RESPONS FAKTOR DEFENSIF DAN AGRESIF LAMBUNG

TIKUS PUTIH TERHADAP ASPIRIN SEBAGAI MODEL

PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

PADA MANUSIA

Chudahman Manan

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Pada Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup: Selasa, 20 Desember 2011 1. Prof.dr. H. A. Azis Rani SpPD-KGEH

2. drh. Dewi Ratih Agungpriyono.MSi,PhD,APVet

Pada Ujian Terbuka: Kamis, 19 Januari 2012 1. Prof.Dr.dr. Heru Sundaru SpPD-KAI 2. Dr.drh. Eva Harlina MSi, APVet


(10)

Judul Disertasi :RESPON FAKTOR DEFENSIF DAN AGRESIF LAMBUNG TIKUS PUTIH TERHADAP ASPIRIN SEBAGAI MODEL PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID PADA MANUSIA Nama : Chudahman Manan

NRP : B 161030071 Program Studi : Sains Veteriner

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof.drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet. Ketua

Prof.Dr.dr. Daldiyono H. SpPD-KGEH Dr.drh. Sri Estuningsih, MSi.APVet Anggota Anggota

Dr. drh. Min Rahminiwati, MSi Anggota

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Prof. drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet Dr.Ir. Dahrul Syah MSc


(11)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya jualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Judul disertasi adalah “Respons Faktor Defensif dan Agresif Lambung Tikus Putih terhadap Aspirin Sebagai Model Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non

Steroid Pada Manusia”

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan Doktor sampai tersusunnya disertasi ini.

Kepada yang terhormat Prof.Dr.Ir. Herry Suhardiyanto MSc, selaku Rektor Institut Pertanian Bogor, Dr.Ir. Dahrul Syah MSc, selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, penulis ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Doktor pada Program Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr.drh. Srihadi Agungpriyono MSi atas kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan penelitian ini dan kepada drh. Hernomoadi Huminto, MVS sebagai Kepala Bagian Patologi Institut Pertanian Bogor Periode sebelumnya atas kesediaan beliau menerima penulis, serta dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan ini.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof.drh. Bambang Pontjo P.MS, PhD, APVet sebagai Ketua Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, drh. Dewi Ratih Agungpriyono MSi,PhD,APVet sebagai Ketua Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, beserta seluruh staf pengajar yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk belajar di bagian ini, serta telah mendidik, membimbing dan memberi dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.

Kepada Prof. drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet sebagai Ketua Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua perhatian, bimbingan, dorongan dan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan pada Program Studi ini.


(12)

Kepada Prof. Dr. dr. Daldiyono H, SpPD-KGEH penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kesempatan, dorongan, bimbingan dan pertunjuk-petunjuk yang beliau berikan kepada penulis mulai dari saat awal mengikuti pendidikan Doktor sampai dengan selesainya penulisan disertasi ini.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada seluruh komisi pembimbing Prof. drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet, Prof. Dr. dr. Daldiyono H, SpPD-KGEH, Dr. drh. Sri Estuningsih,.MSi.APVet dan Dr. drh. Min Rahminiwati, MSi atas segala bimbingan, dorongan dan petunjuk-petunjuk beliau mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga tersusunnya disertasi ini.

Kepada seluruh Staf Pengajar di Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pengajar Program Studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor penulis ucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan petunjuk-petunjuknya selama menjalani pendidikan Doktor.

Rasa terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dr. Bethy S Hernowo, SpPA (K), PhD bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung beserta staf beliau, Bapak Wahyudin atas bantuannya dalam pemeriksaan Histopatologi imunohistokimia yang merupakan bagian dari disertasi penulis ini.

Kepada Dr. Ir. Etih Sudarnika, MSi, Staf Pengajar Epidemiologi Bagian Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB yang telah banyak membantu penulis dalam analisa statistik, penulis ucapkan terima kasih atas pengarahan serta bantuannya dalam pengolahan hasil penelitian ini.

Kepada Prof. dr. H. Abdul Aziz Rani, SpPD-KGEH, dr. Marcelus Simadibrata, SpPD-KGEH, PhD, Dr. dr. H. Dadang Makmun, SpPD-KGEH, Dr. dr. H. Murdani Abdullah, KGEH, Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, dan dr. Achmad Fauzi, SpPD-KGEH beserta seluruh karyawan Divisi Gastro Entereologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, penulis ucapkam terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Kepada Prof. dr. H. Abdul Aziz Rani, SpPD-KGEH sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM dan Prof. dr. H. Ali Sulaiman,


(13)

SpPD-KGEH, PhD sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang telah memberikan izin untuk penulis mengikuti pendidikan ini.

Kepada Yang Terhormat Direktur Utama RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. Dr. dr. Akmal Taher,SpU, penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Kepada seluruh pihak baik instansi, kelompok, maupun perseorangan yang telah memberi dukungan dan bantuan dalam pendidikan penulis ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih.

Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada almarhum kedua orang tua penulis dan almarhum kedua mertua yang penulis cintai atas bimbingan beliau kepada penulis sampai akhirnya penulis dapat mengikuti pendidikan Doktor di IPB.

Kepada istriku tercinta, Almarhumah Ir. Hj. Rachmania dan anakku Meinanda Chudahman, S.Kom, MSc , penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan, dorongan, kesabaran dan pengorbanan yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.

Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan pahala dari amal dan kebaikan kepada bapak dan ibu sekalian, dan senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Bogor, Desember 2012


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1951 sebagai anak dari pasangan Bapak H. Abdul Manan dan Ibu Hj. Siti Zubaidah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus tahun 1976. Penulis kemudian bertugas sebagai Kepala Puskesmas di Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1980. Tahun 1980-1981, penulis menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan.

Setelah itu melanjutkan pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1981 sampai dengan tahun 1986. Pada tahun 1986, penulis ditugaskan di Rumah Sakit Sekupang Otorita Batam, Kepulauan Riau sebagai Ahli Penyakit Dalam. Dari tahun 1986, penulis menjadi Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI RSCM sampai dengan tahun 2011. Pada tahun 1989, penulis mengikuti Training di bidang Gastro Enterologi di Tokyo Women’s Medical College di Tokyo, Jepang. Pada tahun 1996, penulis mendapatkan gelar Konsultan Gastro Entero Hepatologi.

Selama bertugas di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM, pernah menjabat sebagai Koordinator Pelayanan Masyarakat dari tahun 2000-2002 dan Kepala Divisi Gastro Enterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM dari tahun 2002-2008. Untuk kegiatan di bidang organisasi, penulis pernah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia dan Ketua Perkumpulan Gastro Enterologi Indonesia. Sampai saat ini penulis juga masih menjabat sebagai Counselor untuk Asia Pacific Association of Gastro Enterology and Digestive Endoscopy.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang ... 1.2 .Identifikasi Masalah ... 1.3. Pertanyaan Penelitian ... 1.4. Tujuan Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ... 1.6. Hipotesa ...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah perkembangan dan mekanisme kerja Obat ... Anti Inflamasi Non Steroid/Aspirin

2.2. Biologi Tikus ... 2.3. Anatomi dan Fisiologi lambung ... 2.4. Perubahan anatomi lambung pada gejala dispepsia ... 2.5. Peran mukus sebagai faktor defensif pada gastropati Obat Anti ... Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

2.6. Peran sel radang, sel parietal dan sel chief sebagai faktor agresif ... pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin 2.7. Peran isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada ... gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 3.2. Materi Penelitian ... 3.3. Bahan dan Alat Penelitian ...

xvi xvii xix 1 3 4 4 4 4 6 9 9 11 12 14 16 19 19 19


(16)

3.4. Metode Kerja ... 3.5. Analisis dan Interpretasi Data ...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Patologi lambung tikus pada Gastropati Aspirin ... 4.2. Histopatologi sel mukus lambung tikus pada Gastropati Aspirin . 4.3. Histopatologi sel Radang, sel Parietal dan sel Chief lambung ... Tikus pada Gastropati Aspirin

4.4. Reaksi isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada ... Gastropati Aspirin

V. PEMBAHASAN UMUM ... VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan ... 6.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

20 23

25 28 30

41

53

58 59 60 66


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

1. Klasifikasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid... 2. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Fundus/Korpus ... 3. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Antrum/Pilorus ... 4. Perbedaan jumlah sel mukus kelompok K,PLN dan PLP ... regio Fundus/Korpus

5. Perbedaan jumlah sel mukus kelompok K,PLN dan PLP... regio Antrum/Pilorus

8 25 27 28

29


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

1. Mekanisme kerja OAINS/Aspirin ... 2. Regio lambung manusia (A) dan lambung tikus (B) ... 3. Perbandingan struktur lambung manusia (HS) dan tikus (MS) ... 4. Histologi lambung tikus regio Fundus/Korpus (A)

regio Antrum/Pilorus (B)

5. Lambung monogastrik ... 6. Makroskopik lambung normal (A) dan Lambung dilatasi (B) ... 7. Histopatologi sel mukus mukosa lambung tikus SD... 8. Jumlah sel radang kelompok K,PLN dan PLP regio Fundus/Korpus .. 9. Jumlah sel radang kelompok K,PLN dan PLP regio Antrum/Pilorus ... 10. Gambar histopatologi edema pada submukosa dan mukosa lambung . 11. Infiltrasi sel radang pada mukosa lambung kelompok K kelompok P . 12. Sel parietal piknosis pada lesi mukosa lambung akut ... Gastropati Aspirin.

13. Jumlah sel parietal kelompok K, PLN, PLP regio Fundus/Korpus ... 14. Jumlah sel parietal kelompok K, PLN, PLP regio Antrum/Pilorus ... 15. Histopatologi sel parietal lambung normal dan piknosis ... 16. Jumlah sel chief kelompok K,PLN,PLP regio Fundus/Korpus ... 17. Jumlah sel chief kelompok K,PLN,PLP regio Antrum/Pilorus ... 18. Histologi sel parietal dan sel chief lambung regio Fundus/Korpus ... 19. Grafik Ekspresi COX-1 dan COX-2 epitel dan kelenjar regio ... Fundus/Korpus

20. Grafik Ekspresi COX-1 dan COX-2 epitel dan kelenjar regio ... Antrum/Pilorus

21. Ekspresi COX-1 mukosa lambung kelompok Kontrol ... 22. Ekspresi COX-1 mukosa lambung kelompok Kontrol ... dengan deskuamasi

23. Ekspresi COX-1 mukosa lambung kelenjar kelompok Kontrol ... 7 9 10 11 22 27 30 31 33 34 34 35 36 37 38 39 40 41 43 44 46 46 47


(19)

24. Ekspresi COX-1 mukosa lambung epitel kelompok Kontrol ... 25. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan deskuamasi ... 26. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan erosi kelompok P ... 27. Ekspresi COX-2 mukosa lambung kelenjar kelompok Perlakuan ... 28. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan serbukan sel radang ... 29. Ekspresi COX-1 sel mukus permukaan mukosa lambung dengan ... erosi

30. Ekspresi COX-1 sel mukus leher mukosa lambung dengan erosi ... 31. Ekspresi COX-2 pada basal epitel mukosa lambung dengan ... deskuamasi

32. Ekspresi COX-2 sel mukus kelenjar mukosa lambung dengan ... deskuamasi

33. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan erosi ... 34, Ekspresi COX-2 pada basal epitel mukosa lambung dengan ulkus ...

47 48 48 49 49 50

50 51

51

52 52


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

1. Daftar Singkatan ... 2. Komposisi pakan tikus ... 3. Data Pakan Tikus Perhari

4. Metode Pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Schiff ... 5. Metode Pewarnaan Hematoxylin-Eosin ... 6. Metode pewarnaan imunohistokimia isoenzim COX-1 dan COX-2 .. 7. Analisa Statistik Hasil Penelitian ...

66 68 69 70 72 73 79


(21)

1.PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perbaikan dalam sistim kesehatan, baik dalam pencegahan maupun pengobatan, akan meningkatkan angka harapan hidup. Akibatnya akan terjadi peningkatan jumlah kelompok usia lanjut. Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sering didapatkan pada kelompok usia lanjut, diantaranya adalah penyakit degeneratif sendi (osteoartrosis), penyakit jantung, penyakit saraf, penyakit keganasan yang juga akan meningkat. Resiko peningkatan penyakit penyakit ini akan diikuti oleh peningkatan konsumsi obat2 golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau Aspirin. Kondisi ini juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping pada saluran cerna bagian atas khususnya pada lambung (Auyang 2011)

Kelainan yang terjadi dalam bentuk ringan yaitu hiperemia, sedang dalam bentuk erosi, sampai dengan yang paling berat dalam bentuk ulkus tanpa atau dengan perdarahan atau perforasi (Derry dan Loke 2000, Ibrahim, Mofleh etal 2007).

Data hasil penelitian di RS Ciptomangunkusumo didapatkan bahwa lesi mukosa yang terjadi khususnya pada lambung memiliki prevalensi 50-70%. Di sisi lain didapatkan 30-50%, kelompok pengguna OAINS tidak didapatkan kelainan, meskipun dari jenis dan dosis OAINS yang dikonsumsi adalah sama (Manan 2005).

Sejak tahun 1980 Aspirin terbukti mempunyai kemampuan menghambat agregasi trombosit, sehingga terdapat indikasi tambahan sebagai antitrombosis. Pada saat ini indikasi pemakaian aspirin tidak hanya pada kasus-kasus penyakit rematik, tapi juga dipakai pada kasus-kasus penyakit jantung koroner dan strok. Dalam penelitian jangka panjang selama 10 tahun terbukti aspirin akan dapat menekan risiko terjadinya kanker kolorektal (Flower.2003). Perluasan dari indikasi ini tentu juga berakibat akan meningkatnya komplikasi dalam bentuk lesi mukosa akut khususnya pada lambung (Derry dan Loke 2000, Rodriguez 2004, Laine dan Curtis etal 2010)). Pada penelitian ini akan dibuktikan pada hewan coba


(22)

tikus putih yang mengkonsumsi Aspirin tapi tidak mengalami lesi mukosa lambung dibandingkan dengan kelompok dengan lesi mukosa dan kelompok kontrol. Pada kelompok tanpa lesi mukosa didapatkan ketahanan mukosa yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok dengan lesi mukosa. Perbedaan yang akan ditentukan adalah reaksi seluler yang berperan sebagai faktor defensif maupun agresif. Sebagai faktor defensif mukus merupakan komponen utama sedangkan sebagai faktor agresif seperti sel radang, asam lambung dan pepsin sebagai komponen yang akan berperan dalam terjadinya lesi mukosa lambung. Gejala klinik sindroma dispepsia pada manusia merupakan gejala awal terjadinya efek samping pada lambung. Gejala terdiri dari perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium, kembung, mual dan dapat disertai muntah. Pada hewan coba tikus putih gejala tersebut akan dapat ditentukan dari aktifitas dalam bentuk tidak mau makan dan dapat disertai muntah. Penilaian secara makroskopik dalam bentuk perubahan morfologi lambung merupakan data objektif yang dapat menerangkan gejala dispepsia. Secara mikroskopik akan ditentukan reaksi sel mukus sebagai komponen faktor defensif dan reaksi sel radang, sel parietal, sel chief sebagai komponen faktor agresif yang berhubungan dengan ketahanan mukosa lambung. Peran isoenzim Cyclooxygenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2) akan diketahui dari pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok dengan lesi mukosa. Hal ini disebabkan fungsi COX-1 sebagai faktor konstitutif dan COX-2 sebagai faktor inflamatif, dalam terjadinya lesi mukosa lambung akibat Aspirin masih didapatkan kontroversi. Penentuan peran seluler maupun enzimatik terjadinya lesi mukosa akut lambung akan mudah diketahui pada hewan coba tikus putih galur Sprague Dawley oleh karena mempunyai struktur lambung yang sama dengan manusia yaitu monogastrik (Ghoshal dan Bal 1989, Fox dan Anderson etal 2002). Selain itu penelitian dengan hewan coba tikus putih ini akan dapat membuktikan secara jelas setelah dilakukan nekropsi. Hasil penelitian akan memberikan gambaran makroskopik (Patologi Anatomi) dan mikroskopik (HistoPatologi) sebagai model untuk diterapkan pada manusia dalam pencegahan primer maupun sekunder terjadinya lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin (Azuumi dan Ohara 1980, Haworth dan Oakley etal 2005).


(23)

1.2. Identifikasi Masalah

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin disebabkan gangguan

keseimbangan antara faktor agresif dan defensif. Peran faktor agresif dalam hal ini asam lambung sudah banyak dilakukan penelitian. Akan tetapi peran faktor defensif masih perlu diteliti lebih lanjut. Prostaglandin berperan utama sebagai faktor defensif dalam ketahanan mukosa lambung. Sawar mukosa lambung teratas adalah lapisan pre-epitel dengan komponen yang paling dominan adalah mukus. Mekanisme terjadinya lesi mukosa akut lambung melalui dua jalur, yaitu topikal dan sistemik. Efek topikal terjadi bila ada kontak langsung Aspirin dengan mukosa akibat rusaknya lapisan mukus. Penempelan Aspirin pada sel epitel akan menyebabkan reaksi sel dalam bentuk reaksi inflamsi dan akan berlanjut dengan kerusakan dinding sel. Kerusakan dinding sel akan diikuti oleh aliran balik ion hidrogen bersama dengan obat Aspirin dan akan terperangkap didalam sel epitel tersebut. Kondisi ini akan mempengaruhi ketahanan sel, sehingga akhirnya terjadi kerusakan sel dalam bentuk nekrosis. Reaksi sistemik akibat hambatan produksi prostaglandin melalui enzim Cyclooxygenase akan lebih memperberat lesi mukosa yang sudah terjadi. Peran faktor agresif yaitu asam lambung dan pepsin juga akan berpengaruh pada lesi yang sudah terjadi. Hambatan enzim Cyclooxygenase satu dan dua pada kelompok dengan lesi mukosa yang tidak seimbang akan memperberat terjadinya lesi mukosa akut lambung (Brzozowski dan Konturek etal 2001, Bhandari dan Bateman etal 2005).

Mukus sebagai sawar mukosa lambung akan berfungsi sebagai pencegahan primer maupun sekunder terjadinya lesi mukosa akut (Atuma dan Strugala etal 2001, Allen dan Flemstrom 2005). Sel radang, asam lambung dan pepsin sebagai faktor agresif merupakan komponen yang akan memperpercepat terjadinya lesi mukosa akut lambung akibat OAINS/Aspirin (Bowen 2002, Salena dan Hunt 2005, Brzozowski dan Konturek etal 2006, Martin dan Wallace 2006). Peran isoenzim COX-1 dab COX-2 pada kelompok dengan lesi mukosa akan ditentukan oleh tingkat ekspresi pada epitel maupun kelenjar, akan dapat diketahui dari perwarnaan khusus imunohistokimia mukosa lambung (Iseki 1995, Peskar 2005). Perubahan morfologi lambung, reaksi seluler dan ekspresi COX-1 dan COX-2 pada tanpa lesi maupun dengan lesi mukosa lambung disebabkan


(24)

Aspirin, pada manusia sulit dibuktikan akan tetapi pada hewan coba akan dapat ditentukan secara jelas.

1.3.

Pertanyaan penelitian

2. Apakah gejala klinik dispepsia pada Aspirin gastropati disebabkan perubahan morfologi lambung ?

3. Apakah peran mukus pada kelompok hewan coba Perlakuan Lesi Negatif (PLN) menunjukkan kelebihan dibandingkan kelompok Perlakuan Lesi Positif(PLP) ?

4. Apakah sel radang, asam lambung dan pepsin hanya sebagai kontributor pada kelompok PLN ?

5. Apakah isoenzim COX-2 berperan lebih dominan dibandingkan COX-1 pada kelompok Perlakuan Lesi Positif ?

1.4.

Tujuan Penelitian

Menjawab pertanyaan penelitian dengan membuktikan perubahan patologi anatomi dan histopatologi lambung tikus putih galur Sprague-Dawley yang mendapat terapi aspirin

1.5.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan dipakai sebagai model pada manusia dalam mencegah atau mengurangi efek samping Aspirin pada lambung, berdasarkan terapi yang rasional.

1.6.

Hipotesa

Terdapat perubahan morfologik dan respons spesifik faktor defensif dan agresif pada kelompok Perlakuan Lesi Negatif dan perubahan ekspresi isoenzim Cyclooxygenase kelompok Perlakuan Lesi Positif pada mukosa lambung tikus putih galur Sprague-Dawley akibat pemberian aspirin.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi lesi mukosa akut lambung pada dekade ini berubah dari infeksi Helicobacter pylori kepada pemakaian Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS/Aspirin). Obat ini mudah diperoleh tanpa resep atau dalam bentuk obat tradisional/herbal yang banyak dipakai dalam mengatasi masalah nyeri otot dan sendi. Perluasan indikasi pemakaian Aspirin di bidang Kardiologi, Neurologi, Hematologi dan Onkologi akan berakibat peningkatan efek samping pada lambung. Secara klinik pemantauan terjadinya efek samping adalah dalam bentuk kumpulan gejala yang disebut sindroma dispepsia. Jenis keluhan dispepsia yang terbanyak adalah perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium, kembung, mual dan dapat disertai muntah. Bila terjadi kelainan yang lebih berat bisa berakibat perdarahan lambung dalam bentuk muntah darah atau buang air besar berwarna hitam (Rodrigues dan Diaz 2004, Santos dan Medeiros etal 2007). Bila hal ini terjadi dan tidak dilakukan penatalaksanaan secara cepat bisa berakibat kematian. Prevalensi kelainan ini berkisar antara 50-70%, terdapat sama pada kedua jenis kelamin, dengan kecenderungan pada kelompok umur yang lebih tua. Pada penyakit tertentu pemakaian obat ini akan berlangsung lama atau seumur hidup, dengan risiko dapat terjadi lesi mukosa yang lebih berat(Manan 2005, Ibrahim dan Mofleh etal. 2007). Upaya pencegahan primer maupun sekunder harus dilakukan agar progresifitas penyakit utama dapat dihambat, dan konsumsi Aspirin dapat berlangsung lama. Disamping itu Aspirin merupakan obat yang mempunyai efektifitas klinik baik dan murah harganya (Vane 2002, Flower 2003). Penentuan jenis terapi pencegahan yang akan diberikan, berhubungan dengan mekanisme terhadap perubahan yang terjadi pada mukosa lambung dengan pengamatan secara patologi anatomi dan histopatologi. Hal ini tidak dapat dilakukan pada manusia karena adanya keterbatasan dalam diagnosis secara patologi anatomi maupun histopatologi. Pemakaian hewan coba tikus putih akan dapat membuktikan secara jelas proses yang terjadi secara seluler maupun enzimatik oleh karena struktur lambung tikus putih sama dengan manusia (Festing 2006, NLAC 2010). Dengan pembuktian ini, hasil yang didapat akan dapat dipakai sebagai model pada


(26)

manusia dalam pencegahan primer maupun sekunder terhadap lesi mukosa lambung akut akibat Aspirin (Fiorucci dan Del Soldato 2003, Brzozowska dan Targosz etal. 2004).

2.1. Sejarah perkembangan dan mekanisme kerja OAINS/Aspirin

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman pada tahun 1829, yaitu golongan salisilat berasal dari tanaman willow bark, pada saat ini dikenal dengan nama Aspirin. Pada tahun 1960 didapatkan OAINS kedua yaitu indometasin. Selanjutnya perkembangan dalam produksi OAINS sampai saat ini melebihi dari 30 jenis yang berasal dari golongan dengan sifat kimiawi berbeda (Tabel 1). Meskipun demikian efektifitas klinik dari obat-obat ini memberikan hasil yang hampir sama. Akan tetapi efek samping dapat terjadi pada saluran cerna dalam bentuk OAINS gastropati atau OAINS enteropati,. tergantung dari farmakodinamik dan farmakokinetik OAINS/Aspirin tersebut (Adebayo dan Bjarnason 2006, Wallace 2008).

Pemakaian OAINS khususnya Aspirin pada saat ini didapatkan perluasan indikasi klinik. Pemakaian yang bermula pada bidang Rematologi, berkembang ke disiplin ilmu lain, yaitu Hematologi, Kardiologi, Neurologi dan Onkologi (Flower 2003).

Secara biokimiawi didapatkan 13 jenis golongan OAINS/Aspirin termasuk OAINS yang bekerja spesifik dalam menghambat COX-2 (Brzozowski dan Konturek etal. 2001, Brzozowski dan Konturek etal. 2008) . Banyaknya jenis OAINS dijual bebas tanpa resep dokter dan pemakaian obat-obat herbal, risiko terjadinya efek samping pada saluran cerna terutama lambung akan meningkat (Laine dan Curtis etal 2010). Pengembangan dalam efektifitas klinik dikemukakan oleh Vane pada tahun 1971, bahwa proses enzimatik untuk produksi prostaglandin (PG) dapat dihambat oleh Aspirin dan Indometasin. Protaglandin merupakan mediator inflamasi yang kuat dalam menimbulkan rasa nyeri, edema dan vasodilatasi (Hall dan Tripp etal 2006, Kotani dan Kobata etal 2006). OAINS/Aspirin juga berpengaruh terhadap mediator lain seperti lekotrin, pembentukan superoksida dan pelepasan enzim oleh lisosom. Hambatan terhadap isoenzim COX-1 dan COX-2 oleh OAINS/Aspirin berakibat hambatan produksi


(27)

prostaglandin. Kondisi ini akan menurunkan ketahanan mukosa lambung.(Gudis dan Sakamoto 2005, Kaneko dan Matsui etal. 2007, Laine dan Takeuchi etal. 2008). Ketahanan mukosa lambung ditentukan oleh faktor defensif yang terdiri dari lapisan pre-epitel, epitel dan sub-epitel. Lapisan pre-epitel merupakan sawar terdepan dari mukosa lambung dalam mencegah pengaruh isi lumen terhadap lapisan epitel. Peranan mukus dan sekresi bikarbonat merupakan faktor utama dalam pencegahan primer maupun sekunder lesi mukosa akut oleh OAINS/Aspirin. Efek topikal OAINS/Aspirin terjadi akibat dari kerusakan lapisan mukus, sehingga akan terjadi gangguan permeabilitas dinding sel epitel dengan akibat obat akan masuk dan terperangkap di dalam sel. Selanjutnya terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi kerusakan sel epitel tersebut (Lichtenberger dan Romero etal. 2007, Philipson dan Johanson etal. 2008) . Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam bentuk hambatan produksi prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2 (Tanaka dan Araki etal. 2002).

OAINS/Aspirin

COX-1 Kerusakan COX-2 epitel

Aliran darah Sekresi mukus Gangguan Angiogenesis Penempelan mukosa karbonat agregasi lekosit trombosit

Difusi balik asam

Gangguan ketahanan mukosa Gangguan Aktifasi penyembuhan lekosit

Lesi mukosa & perdarahan Gambar 1. Mekanisme kerja OAINS/Aspirin (Wallace 2008)

Keterangan: OAINS: Obat Anti Inflamasi Non Steroid, COX : Cyclooxygenase Hambat


(28)

Mekanisme hambatan isoenzim cyclooxygenase tergantung dari golongan OAINS. Aspirin merupakan golongan OAINS yang kuat dalam menghambat kedua isoenzim tersebut, akibatnya lesi yang terjadi akan lebih berat.

Peran faktor agresif seperti asam lambung, pepsin dan infeksi Helicobacter pylori akan memperberat lesi mukosa yang terjadi diakibatkan bertambahnya proses radang yang terjadi, meskipun masih kontroversi. Disamping itu terjadinya dismotilitas lambung akibat OAINS/Aspirin juga akan memperberat lesi mukosa yang terjadi (Venables 1986, Souza dan Troncon etal. 2003, Brzozowski dan Konturek etal. 2006,Forte dan Zhu 2010).

Hambatan selektif terhadap isoenzim Cox-2, tidak menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah terjadinya lesi mukosa akut. Lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin dapat terjadi pada usus halus atau kolon. Terjadinya lesi akibat efek sistemik dan sebagai faktor agresif yaitu bakteri dan asam empedu (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Adebayo dan Bjarnason 2006).

Tabel 1. Klasifikasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid (Brzozowski 2001)

Salisilat Indol

Asetilsalisilat (Aspirin) Salsalat Diflunisal Indometasin Sulindal Tolmetin sodium

Non asetilsalisilat Oksikam

Magnesium salisilat Kolin Magnesium trisalisilat

Oksikam Piroksikam Derivat asam propionat Asam fenilasetat

Kalsium fenoprofen Flurbiprofen Ibuprofen Ketoprofen Naproksen Naproksen sodium Sodium diklofenak Potasium diklofenak Sodium diklofenak – Misoprostol

Fenamat Derivat pirazol

Asam Mefenamat Sodium meclofenamat

Fenilbutazon

Naftilalkanon Asam piranokarboksilat

Nabumeton Etodolak

Penghambat Cox-2 selektif Pirolo-pirol Celecoxib

Rofecoxib

Ketorolak trometamin Penghambat Cox-2 semi selektif Asam piranokarboksilat


(29)

2.2 Biologi tikus

Tikus memiliki berbagai galur yang merupakan hasil pembiakan sesama

jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley.

Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di

Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki panjang leher yang sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekor. Bobot badan tikus jantan pada umur 10 minggu dapat mencapai 250-300 gram, sedangkan tikus betina hanya mencapai 180-220 gram (NLAC 2010).

Untuk penelitian di bidang kedokteran, terutama sifat farmakologi obat, galur ini merupakan model hewan coba yang baik. Sebab banyak penelitian yang sudah dilakukan memakai hewan coba Selain itu hewan coba ini mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah besar, dan memberikan hasil nilai ulangan yang dapat dipercaya (Aminah 2004, Festing 2006).

2.3. Anatomi dan fisiologi lambung

Anatomi dan fisiologi organ lambung tikus putih sama dengan manusia yaitu monogastrik dan lapisan mukosa glandular yang terdiri dari sel mukus, sel parietal, sel chief dan sel G ( Ghoshal dan Bal 1989, Bailey, Fox dan Anderson etal. 2002).

A B


(30)

Secara makroskopik lambung tikus dibagi dalam regio Kardia dan regio Pylorus. Morfologi lambung tikus yang kecil sehingga bila di bandingkan dengan manusia, regio Kardia adalah regio Fundus/Korpus sedangkan regio Pilorus adalah regio Antrum/Pilorus. Secara histologi lambung dibagi dalam non kelenjar dan kelenjar. Batas dari non kelenjar dan kelenjar disebut limiting ridge, merupakan lipatan mukosa lambung yang tidak didapatkan pada manusia. Kedua regio pada lambung tikus tersebut merupakan regio glandular dengan struktur histologinya sama dengan manusia (Luciano dan Reale 1992, Travillian dan Rosse etal. 2003) . Struktur histologi lambung manusia dan tikus digambarkan secara skematis sebagai berikut:

Gambar 3 : Perbandingan Struktur lambung manusia (HS) dan tikus.(MS): M: Mukosa ; SM: Submukosa; GM:Glamdula Mukosa; NM:Non Glandula Mukosa, S: serosa (Luciano dan Reale 1992, Travillian dan Rosse etal. 2003 )


(31)

Struktur anatomi dan histologi lambung tikus sama dengan manusia, maka perubahan yang terjadi akibat pengaruh Aspirin akan dapat dipakai sebagai model pada manusia (Travillian dan Rosse etal. 2003)

A B

Gambar 4. Histologi lambung tikus regio Fundus/Korpus (A) dan regio Antrum/Pilorus. M: Mukosa;MM: Muskularis Mukosa;SM :Sub Mukosa : TM T. Muskularis

2.4. Perubahan anatomi lambung pada gejala dispepsia

Gejala klinik awal terjadinya komplikasi pada lambung adalah sindroma dispepsia. Gejala yang sering ditemukan adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada daerah epigastrium, yang dapat disertai gejala mual, kembung, muntah. Bila keadaan ini berlanjut dapat terjadi gejala perdarahan saluran cerna dalam bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis. Dispepsia pada gastropati OAINS disebabkan oleh dismotilitas akibat proses inflamasi mukosa terutama pada regio Antrum/Pilorus dan bertambah berat bila terjadi hambatan terhadap produksi prostaglandin (Santos dan Medeiros etal. 2007). Regio Antrum/Pilorus merupakan predileksi terjadinya lesi mukosa disebabkan kondisi ketahanan mukosa pada regio ini lebih lemah dibandingkab regio Fundus/Korpus. Hal ini disebabkan

M

M

MM MM

SM

SM TM


(32)

secara fisiologi regio Antrum/Pilorus merupakan tempat penampungan terakhir dari isi lambung sebelum masuk ke duodenum. Kondisi ini akan berakibat struktur mukus tidak sebaik pada regio Fundus/Korpus ditambah lagi kondisi mukosa pada umumnya sudah mengalami peradangan kronik (Brzozowski dan Konturek etal. 2006, Laine dan Curtis etal. 2010) . Reaksi topikal Aspirin pada mukosa lambung dapat diikuti dengan proses adaptasi atau berlanjut dengan reaksi sistemik berakibat menurunnya motilitas lambung (Wallace dan Webb etal. 1995). Berat ringannya keluhan ditentukan oleh perubahan yang terjadi dari kontur lambung dalam bentuk dilatasi. Dilatasi lambung akibat gangguan motilitas akan berakibat kontak Aspirin dengan mukosa Antrum/Pilorus akan lebih lama, sehingga reaksi yang terjadi akan lebih berat. Sel radang yang merupakan salah satu faktor pertahanan tubuh akan meningkat pada lapisan mukosa dan akan menginfiltrasi lapisan tersebut terutama pada daerah muskularis mukosa. Infiltrasi sel radang ini juga akan diikuti oleh edema jaringan sekitarnya, sehingga motilitas lambung akan lebih terganggu. Kelainan ini akan berakibat perubahan gangguan pengosongan lambung. Selanjutnya bila proses ini berjalan terus akan terjadi dilatasi lambung(Souza dan Troncon etal. 2003, Serhan dan Brain etal. 2007). Gejala klinik dalam perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium disebabkan terutama oleh penurunan motilitas lambung. Dua hal utama yang akan memperberat lesi mukosa adalah penurunan motilitas sebagai komponen faktor defensif dan reaksi topikal dan sistemik dari Aspirin (Hall dan Tripp etal. 2006, Laine dan Curtis etal. 2010)

2.5. Peran mukus sebagai faktor defensif pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

Lesi mukosa lambung akut akibat OAINS/Aspirin, disebabkan gangguan ke seimbangan faktor agresif dan faktor defensif. Patomekanisme terjadinya lesi dimulai dengan efek topikal OAINS/Aspirin dengan sel epitel mukosa lambung. Lapisan pre-epitel merupakan lapisan mukus sebagai pertahanan pertama yang sangat menentukan dalam terjadinya lesi mukosa lambung akut(Atuma dan Strugala etal. 2001, Allen dan Flemstrom 2005) .


(33)

Prostaglandin, terutama PGE2 dan prostasiklin mempunyai efek sitoprotektor pada epitel gastrointestinal. Hambatan sintesa Prostaglandin oleh OAINS/Aspirin bersifat sistemik akan berpengaruh terhadap penurunan produksi mukus oleh sel mukus leher mukosa gaster. Mukus akan menghambat difusi balik asam ke dalam epitel, kerusakan lapisan mukus akan mempermudah terjadinya lesi mukosa (Gudis dan Sakamoto 2005, Laine dan Takeuchi 2008). .

Komponen lain yang akan memelihara ketahanan mukosa adalah epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor alpha (TGF-alpha). Kedua peptida ini pada lambung akan meningkatkan produksi mukus dan menghambat produksi asam (Philipson dan Johanson 2008).

Protein trefoil yang merupakan peptida disekresikan oleh sel mukus mukosa gaster dan intestin, akan menutupi bagian apical sel epitel. Peran protein ini pada integritas mukosa, penyembuhan lesi dan pembatasan proliferasi sel epitel. Fungsinya akan melindungi epitel dari pengaruh zat kimia toksik dan obat. Protein trefoil ini mempunyai efek restitusi pada perbaikan kerusakan epitel secara merata dan bergerak dari tepi luka untuk menutupi lesi yang ada (Madson dan Nielson etal. 2007).

Zat lain yang berperan dalam integritas dan fungsi sawar mukosa adalah nitrik oksida (NO). Zat ini disintesa dari arginin melalui satu dari tiga jalur nitrik oksida sintase (NOS). Pada beberapa penelitian NO berperan mengurangi beratnya kerusakan mukosa atau pada hewan coba tikus akan mempercepat proses penyembuhan ulkus gaster pada pemberian donor NO. Peran NO terhadap mukus akan meningkatkan produksi mukus dan sekresi bikarbonat (Fiorucci dan Del Soldato 2003, Brzozowski dan Konturek etal. 2004, Souza dan Mota etal. 2008). Lesi mukosa lambung terjadi bila terdapat kegagalan perlindungan mukus terhadap epitel, sehingga akan terjadi efek topikal OAINS/Aspirin pada epitel, dan akan berakibat reaksi inflamasi disertai pelepasan mediator inflamasi yang merusak dinding epitel. Kondisi ini akan diperberat dengan pengaruh asam lambung yang akan mempermudah penetrasi OAINS/Aspirin kedalam epitel dan akan terperangkap didalamnya. Reaksi topikal ini akan terjadi dibeberapa tempat, terutama pada mukosa dengan gangguan lapisan mukus dalam bentuk ketebalan maupun kualitasnya. Regio Antrum/Pilorus merupakan lokasi yang sering


(34)

didapatkan lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin(Derry dan Loke 2000, Hall dan Tripp etal. 2006, Ibrahim dan Mofleh etal. 2007). Regio ini merupakan penampungan isi lambung sebelum masuk ke duodenum. Kontak isi lambung dengan mukosa relatif lebih lama, sehingga akan terjadi perubahan secara histologik. Komposisi sel-sel pada regio ini tidak sebaik regio Fundus/Korpus, akibatnya pada daerah ini lebih sering didapatkan lesi mukosa akut akibat Aspirin.

2.6. Peran sel radang, sel parietal dan sel chief sebagai faktor agresif pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

Obat Anti Inflamasi Non Steroid gastropati disebabkan oleh gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensiv. Peran faktor agresif seperti sel radang, asam lambung yang diproduksi oleh sel parietal dan pepsin sebagai hasil perubahan pepsinogen yang di produksi oleh sel chief akan dapat meningkatkan kerusakan mukosa lambung. Dasar dari kelainan yang terjadi secara seluler maupun molekuler. Hambatan terhadap aktifitas enzim siklooksigenase, dan berlanjut dengan hambatan prostaglandin akan mempengaruhi aktifitas ketiga sel tersebut terhadap terjadinya lesi mukosa( Kaneko dan Matsui etal. 2007, Serhan dan Brain etal. 2007, Schubert dan Mitchell 2011).

Proses peradangan merupakan komponen penting terhadap pertahanan mukosa dalam menangkal pengaruh eksogen maupun endogen. Respons inflamasi yang tidak seimbang akan berakibat lesi mukosa dan gangguan dalam proses perbaikan (Martin dan Wallace 2006). Aktifasi sel radang khususnya netrofil merupakan salah satu faktor yang berakibat terjadinya efek samping OAINS/Aspirin. Proses adhesi pada dinding pembuluh darah berakibat gangguan mikrosirkulasi pada mukosa, Bila terjadi ekstravasasi netrofil akan menimbulkan kerusakan mukosa melalui pembentukan oksigen radikal, nitrogen reaktif dan protease. Reaksi sel netrofil ini terbanyak pada lapisan mukosa sampai dengan sub-mukosa. Kerusakan dinding epitel disebabkan oleh lipid peroksidase yang akan mempengaruhi lemak tak jenuh pada dinding sel epitel melalui proses stres oksidatif, dan akan berakibat gangguan permeabilitas dinding sel (Yoshikawa dan Naito 2000, Souza dan Troncon etal. 2003, Kaneko dan Matsui etal. 2007).


(35)

Reaksi inflamasi akan disertai pelepasan mediator baik oleh sel epitel maupun oleh sel yang berada pada lamina propria misalnya sel mast , limfosit, neuron fibroblasts. IL 1β merupakan mediator yang kuat dalam menghambat produksi asam lambung dan meningkatkan iNOS dan Pg, dalam mengurangi terjadinya lesi mukosa (Souza dan Mota 2008).

Mukosa gaster mempunyai dua regio fungsional : regio oxyntic dan regio pyloric. Regio oxyntic dimulai dari sfingter esofagus bawah dan berakhir pada area antropilorik. Terdapat beberapa tipe sel pada regio ini, yaitu sel parietal dan sel chief yang memproduksi pepsinogen (Salena dan Hunt 2005).

Sel parietal memproduksi asam lambung yang merupakan faktor agresif yang berperan langsung atau sebagai kontributor terhadap terjadinya lesi mukosa (Schubert dan Mitchel 2011). Regulasi sekresi asam lambung dipengaruhi oleh hormon gastrin yang berfungsi meningkatkan jumlah sel parietal dan menstimulasi ekspresi pompa asam H,K,ATPase. Gastrin juga akan dibutuhkan dalam pematangan secara fungsional dan memelihara sel parietal (Bowen 2002, Yao dan Forte 2003, Forte dan Zhu 2010). Pada hewan coba tikus, lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin akan berakibat meningkatnya aliran balik asam ke dalam epitel, sehingga untuk menjaga konsentrasi asam dalam lumen sel parietal akan berproliferasi sejalan dengan peningkatan sekresi asam. Pengaruh OAINS/Aspirin terhadap sekresi asam lambung Aspirin dan Indometasin tidak berpengaruh sedangkan piroksikam mempunyai efek bifasik, pada konsentrasi rendah akan meningkatkan pengaruh histamin dalam sekresi asam melalui jalur tidak tergantung cAMP, sedangkan konsentrasi tinggi akan menurunkan pembentukan asam. Hambatan pembentukan asam oleh OAINS/Aspirin didapatkan pada diclofenac (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Salvatella dan Rossi etal. 2004). Sel chief memproduksi pepsinogen, dengan pengaruh asam lambung dengan pH rendah akan berubah menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim protease yang penting pada mamalia dewasa. Bentuk aktif dari pepsinogen adalah pepsin pada pH 1,8 sampai 3,5. Secara aktif berubah menjadi pepsinogen pada pH 5, dan tidak aktif permanent pada pH 7 sampai 8. Sekresi pepsinogen sejalan dengan sekresi asam, pada peningkatan siklik AMP intraseluler seperti sekretin, VIP dan epinefrin. Pepsin merupakan enzim proteolitik, sehingga bila terbentuk


(36)

pepsin dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan faktor agresor terhadap mukosa lambung. Infiltrasi sel radang pada mukosa lambung disertai penurunan pH cairan lambung akibat meningkatnya jumlah sel parietal, dan aktifasi pepsinogen menjadi pepsin yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel chief. Peningkatan faktor agresor merupakan kontributor dalam terjadinya lesi mukosa lambung(Bowen 2002, Schubert dan Mitchell 2011)

2.7. Peran isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada Gastropati Obat Anti Inflamasi Non SteroidAspirin

Isoenzim siklooksigenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2) merupakan mediator efek samping sistemik dari OAINS/Aspirin. Hambatan terhadap kedua isoenzim ini akan berakibat menurunnya produksi prostaglandin(Pg). Prostaglandin sebagai salah satu komponen utama dalam faktor defensif mempunyai peranan penting dalam terjadinya lesi mukosa lambung akibat OAINS/Aspirin ( Gudis dan Sakamoto 2005, Hall dan Tripp etal. 2006, Rouzer dan Lawrence 2009). Peran fisiologi Pg terdiri dari proteksi traktus gastrointestinalis, homeostasis renal (PgE2 dan PgI2), homeostasis vaskuler (PgI2 dan tromboksan TXA2), fungsi uterus (PgF2α), pengaturan siklus tidur (PgD2) dan suhu tubuh (PgE2). Lokasi COX-1 terdapat pada semua jaringan terutama pada saluran cerna, sedangkan COX-2 didapatkan pada ginjal, testis dan sel epitel trakhea, hanya sebagian kecil pada usus halus(Serono 2006). Isoenzim COX-1 dan COX-2 mempunyai sifat yang berbeda, disebabkan dikode oleh gen yang berbeda. COX-1 terdapat pada jaringan yang normal, sedangkan COX-2 pada kondisi normal tidak dapat dideteksi dan meningkat dengan nyata pada proses inflamasi (Brzozowski dan Konturek etal. 2001, Carol dan Rouzer etal. 2009). Pemeliharaan terhadap integritas mukosa gaster adalah akibat keseimbangan kerja enzim COX-1 dan COX-2 (Peskar 2005).

Anatomi regio lambung menentukan konsentrasi COX pada masing masing regio dan dihubungkan dengan mudahnya terjadi lesi pada daerah tersebut. Pengetahuan tentang distribusi dan ekspresi COX-1 dan COX-2 akan menentukan kelainan patologik dalam bentuk efek samping, dalam menetapkan


(37)

tingkat keamanan atau faktor risiko bagi obat2 baru sebelum dipakai didalam pengobatan (Iseki 1995, Haworth dan Oakley etal. 2005).

Pemeriksaan imunohistokimia COX-1 terkuat pada sel mukus Fundus/Korpus lambung, sedangkan reaksi lemah didapatkan pada sel mukus Kardia, Antrum/Pilorus dan kelenjat Brunner pada duodenum. COX-2 terdapat pada sel mukus pada daerah FundusKorpus dan Antrum/Pilorus (Rouzer dan Lawrence 2009). Hasil ini menggambarkan bahwa konsentrasi keseimbangan kedua jenis COX, akan berhubungan dengan produksi prostaglandin sebagai faktor utama dalam ketahanan mukosa lambung. Ekspresi kedua COX didapatkan berbeda pada sel mukus tergantung pada lokasi di dalam lambung. COX-1 sebagai faktor konstitutif berfungsi dalam produksi mukus. Jumlah yang berbeda pada regio lambung, akan menggambarkan perbedaan dalam ketahanan mukosa. Ketahanan mukosa regio Fundus/Korpus lebih baik dibandingkan regio Antrum/Pilorus. Hal ini dihubungkan dengan anatomi dan histologi dalam bentuk produksi mukus dan bikarbonat, ekspresi COX-1 pada regio tersebut.

Distribusi isoenzim ini dapat diketahui pada jaringan biopsi gaster dengan pemeriksaan imunohistokimia antibodi monoklonal COX-1 dan COX-2. Ekspresi COX-1 terlihat nyata pada epitel, sel mononuklear pada lamina propria dan kelenjar gaster, sedangkan ekspresi COX-2 terdapat pada epitel, kelenjar gaster dalam dan ekspresi fokal pada mononuklear pada lamina propria. Perbedaan ekspresi dari COX-1 dan COX-2 pada mukosa lambung sebagai dasar bahwa enzim COX-1 sebagai enzim utama yang terdapat pada sel epitel normal sedangkan COX-2 berperan dalam proses inflamasi. Proses inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh, dan akan berkembang menjadi faktor agresor bila proses yang terjadi tidak terkendali dengan pelepasan mediator inflamasi yang akan memperberat lesi mukosa lambung (Bhandari dan Bateman etal. 2005). Mukosa lambung yang mengalami iskemia dan reperfusi akan meningkatkan konsentrasi COX-2 dan bukan COX-1 mRNA. Prostaglandin endogen yang dihasilkan melalui COX-2 berpengaruh penting dalam ketahanan mukosa selama terjadinya iskemia dan reperfusi dengan aktifasi reseptor oleh PgI2. Hambatan COX 2 akan meningkatkan proses iskemia dan reperfusi, berakibat terjadinya lesi mukosa menjadi 4 kali lebih besar. Efek ini akan berkurang bila diberi 16,16


(38)

dimetil PGE2(Kotani 2006). Pengaruh Aspirin terhadap COX-2 dengan proses asetilasi COX-2 dan menghasilkan asam 15(R)-hydroxy-eicosatetranoic yang di metabolisme lebih lanjut menjadi 15(R)-epi-LXA4 merupakan anti inflamasi yang kuat. Dua reaksi ini akan mengganggu ketahanan mukosa dan akan meningkatkan terjadinya lesi mukosa (Kotani dan Kobata etal. 2006, Lichtenberger dan Romero etal. 2007).

Hambatan selektif terhadap COX-1 tidak akan meyebabkan kerusakan mukosa gaster pada hewan coba, meskipun hambatan pembentukan Prostaglandin mendekati maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa peran COX-1 untuk ketahanan mukosa bukan satu-satunya komponen, akan tetapi ada komponen lain yaitu nitrikoksida. Nitrikoksida yang dilepaskan dari endotel vaskuler, sel epitel traktus gastrointestinalis dan saraf sensorik, dapat mempengaruhi komponen pertahanan mukosa seperti prostaglandin (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Tanaka dan Araki etal. 2002, Brozozowski dan Konturek etal. 2008)

Hambatan selektif terhadap COX-2 akan menurunkan lipoxin sebagai mediator lipid, berfungsi mencegah terjadinya lesi mukosa lambung. Mekanisme lipoxin ini akan memodulasi proses inflamasi mukosa lambung (Brozozowski dan Konturek etal. 2008). Pada ulkus eksperimental terlihat ekspresi COX-2 bertambah, hambatan terhadap COX-2 berakibat lambatnya penyembuhan ulkus, karena berkurangnya proliferasi sel epitel, angiogenesis dan pematangan jaringan granulasi.

Pemeriksan konsentrasi COX pada sel akan dapat diketahui berdasarkan intensitas warna yang terbentuk pada pemeriksaan imunohistokmia yang mana sel yang banyak mengandung COX-1 maupun COX-2 akan lebih nyata dengan gambaran intensitas warna lebih jelas. COX-1 terdapat pada lambung normal dan daerah ulkus, sedangkan COX-2 tidak terdapat pada lambung normal dan tampak jelas pada daerah ulkus (Bhandari dan Bateman etal. 2005).

Penentuan ekspresi COX-1 maupun COX-2 bukan hanya sebagai gambaran terhadap produksi prostaglandin tapi juga akan dapat menggambarkan komponen lain yang berfungsi sebagai ketahanan mukosa dalam hal ini nitrikoksida dan lipoxin.


(39)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2008 di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2. Materi penelitian a. Hewan Coba

Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model, sesuai dengan Good Animal Study (Festing 2006). Hewan model yang digunakan adalah tikus putih Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley sebanyak 20 ekor, jenis kelamin jantan berumur 2 bulan dengan bobot ± 250 gram. Hewan model diambil dari bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB. Hewan model dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok 10 ekor tikus.

b. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)

Pada penelitian ini digunakan golongan obat OAINS yaitu asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus (Wallace dan Webb etal. 1995). Sediaan AAS digunakan dalam bentuk murni berupa kristal putih.

3.3. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Tikus putih galur Sprague-Dawley jantan berumur 2 bulan sebanyak 20 ekor.

2. Kandang tikus sebanyak 40 buah dan 40 buah botol air minum. Kandang tikus modifikasi terbuat dari boks plastik ditutupi kawat ram, bedding kawat ram dan dialasi dengan menggunakan kertas buram.

3. Air minum AQUA®.

4. Kertas buram, kantung plastik putih, dan kantung plastik hitam


(40)

6. Spuit berukuran 1 ml dan 3 ml.

7. Antibiotik Tetracyclin 250 mg, anthelmintik Albendazole 5% dan asam asetil salisilat murni (AAS) serta 1 buah botol obat. Anti jamur Fluconazol 50 mg/kg berat badan.

8. Timbangan digital Precisa 3000 D.

9. Alat nekropsi (gunting, scalpel, pinset anatomis, pinset fisiologis, jarum fiksator, alas nekropsi, stiroform, wadah penyimpan organ), kaca pembesar berlampu untuk pengamatan Patologi Anatomi serta larutan pengawet Buffer Neutral Formaldehyde (BNF) 10 %.

10. Bahan untuk processing jarinngan: alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Alkohol absolut (p.a), xylol (p.a). p.a= pro analysis.

11. Bahan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).

12. Bahan untuk pewarnaan khusus mukosa (Periodic Acid Schift-Alcian Blue). 13. Kamera digital untuk dokumentasi hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA)

dan histopatologi.

14. Mikoroskop cahaya binokuler. 15. Mikroskop Video Mikrometer 16. Counter

3.4. Metode kerja

Persiapan pakan dan adaptasi tikus dalam kandang

Sebelum tikus digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu dipersiapkan pakan tikus berbentuk pelet dengan komposisi bahan : jagung (73,943 %), bungkil (14,505%), dedak (6,8 %), kapur (1,5 %), tepung tulang (1,263%), minyak (1%), metionin (0,362%), lisin (0,31%), garam (0,213%) dan vitamin+mineral mix (0,016%). (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor).. Pakan kemudian diiradiasi dengan kekuatan 10 KGray di BATAN, Jakarta Selatan untuk tujuan sterilisasi. Setiap hari tikus diberi 25 gram pakan per ekor.

Adaptasi pada tikus dilakukan selama tiga minggu disertai dengan pemberian terapi obat antibiotik Tetracyclin 250 mg selama 3 hari dan anthelmintik Albendazole 5% (Sanbe) diberikan dengan dosis tunggal 10 mg.


(41)

Pemberian Albendazole diulangi dengan jarak pemberian 1 minggu. Dilanjutkan dengan pemberian anti Cryptococcus, Fluconazole 50 mg satu kali pemberian selama 3 hari. Terapi obat bertujuan untuk menghilangkan bias yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi mukosa lambung dan saluran pencernaan lain. Berat badan tikus ditimbang seminggu sekali. Sisa pakan ditimbang setiap hari. Minum Aqua dilakukan setiap hari ad libitum.

Perlakuan pemberian aspirin (Asam Asetil Salisilat)

Pemberian Aspirin(AAS) dilakukan pada kelompok tikus yang mendapat perlakuan terdiri dari 10 ekor tikus jantan secara per oral menggunakan sonde lambung dengan dosis tunggal 400 mg dalam 2 ml larutan aquadest selama 3 hari berturut-turut pada sore hari untuk menghindari fase adapatasi lambung terhadap Aspirin. Sebelum pemberian, tikus dipuasakan sebelumnya selama 2-3 jam. Tikus kelompok perlakuan setelah mendapat terapi Aspirin selanjutnya dibagi dalam kelompok Perlakuan Lesi Negatif dan Perlakuan Lesi Positif. Tikus kelompok Kontrol diberi aquadest melalui sonde lambung.

Tahap nekropsi tikus 1. Pembiusan tikus

Anestesi memakai kapas yang telah dibasahi dengan eter dan dimasukkan ke dalam wadah kaca unaerobic jar. Tikus selanjutnya dinekropsi.

2. Teknik nekropsi

Tikus diletakkan di atas stiroform yang telah dilapisi aluminium foil pada posisi dorsal (terlentang) kemudian difiksasi dengan menggunakan jarum pentul pada keempat ekstremitasnya. Untuk mempermudah nekropsi, permukaan abdomen tikus dibasahi dengan alkohol 70%. Tahap nekropsi dilakukan pada linea alba dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil adalah lambung. Organ tersebut dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% dan disimpan sampai proses berikutnya.

3. Trimming organ dan prosesing jaringan

Sebelum dilakukan tahap dehidrasi dan embedding, organ dipotong tipis berukuran 3 mm sesuai dengan bagian yang akan diamati yaitu bagian lambung


(42)

fundus, dan pylorus. Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam gambar dibawah ini

Potongan 3(Regio Antrum/Pilorus)

Potongan2(Regio Fundus/Korpus)

Gambar 5. Lambung monogastrik. (Fox, 2002)

Potongan tipis organ kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette dan diproses secara otomatis dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses dehidrasi. Dalam proses dehidrasi digunakan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70 %, 80%, 90%, 95%, hingga 100% (absolute), diikuti clearing dengan larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin (ShendonTM, UK). Dilanjutkan dengan pembuatan blok jaringan dalam paraffin cair yang mempunyai titik leleh 56-57˚ C dalam mesin embedding tissue (SakuraTM, Japan). Setelah dingin blok disimpan hingga trimming.

4. Trimming

 Blok yang telah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 3-4 μm (Spencer, USA).  Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu

40˚ C, kemudian diletakkan di atas object glass yang telah dilapisi Ewitt sebagai pelekat dan dikeringkan.

 Sebelum diwarnai, potongan organ di atas object glass diinkubasikan dalam inkubator Memert, Jerman dengan suhu 55˚ C selama semalam.

 Kemudian diwarnai dengan Hematoxylin Eosin menurut metode Meyer (Humason 1985).


(43)

Pemeriksaan makroskopik (PA)

Pemeriksaan makroskopik (PA) dilakukan untuk mengetahui adanya dilatasi lambung dengan mengukur diameter transversal dan sagital lambung tikus SD. Pemeriksaan Histopatologi (HP)

Pemeriksaan histopatologi organ lambung dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif pada regio lambung kelenjar. Lambung kelenjar dibedakan menjadi dua regio, Fundus/Korpus dan Antrum/Pilorus.

Pemeriksaan kuantitatif organ lambung dilakukan dengan beberapa parameter antara lain:

1. Pengukuran diameter lambung transversal dan sagital dalam sentimeter

2. Perhitungan jumlah sel mukus per satuan panjang 1000 µm menggunakan mikroskop videomikrometer pada 10 lapang pandang. Untuk mernghitung jumlah sel goblet digunakan pewarnaan PAS-AB.

3. Perhitungan jumlah sel perietal dan sel Chief dengan pewarnaan HE pada 10 lapang pandang.

4. Perhitungan jumlah infiltrasi sel radang pada tiap lapisan lambung pada 10 lapang pandang.

Pemeriksaan Imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk menentukan enzym cyclooxygenase 1 (COX-1) dan cyclooxygenase 2 (COX-2) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan lesi positif, dengan antigen pada sel mukosa dan antibodi monoklonal Rabbit Monoclonal Antibody COX-1 dan COX-2 dengan pengenceran 1/80 produksi Cell Signaling Technology, USA. Tempat pemeriksaan di Bagian Patologi FK. Universitas Pajajaran / RS Hasan Sadikin, Bandung. Penilaian hasil pemeriksaan secara kualitatif berdasarkan intensitas warna yang dilihat secara mikroskopik dengan menggunakan kriteria negatif dan positif.

3.5. Analisis dan Interpretasi Data

Data yang diperoleh secara kuantitatif berupa diameter transversal dan sagital lambung, jumlah sel mukus, jumlah sel radang, jumlah sel parietal dan jumlah sel chief dianalisis menggunakan uji sidik ragam rancangan acak lengkap


(44)

(one-way ANOVA) dengan program SPSS 13 untuk membandingkan kelompok kontrol (K), perlakuan lesi negatif (PLN) dan perlakuan lesi positif (PLP). Jika dari ketiga kelompok tersebut didapatkan pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan (p=0.05).

Hasil pemeriksaan imunohistokimia dilakukan analisa data secara deskriptif berdasarkan penilaian kualitatif dengan hasil negatif dan positif .


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan secara patologi anatomi dan histopatologi pada lambung tikus

putih Sprague Dawley akibat efek samping Aspirin akan dapat menentukan gejala klinik maupun perubahan histopatologik mukosa lambung sebagai model pada manusia . Perubahan patologi berdasarkan gambaran makroskopik lambung dari ketiga kelompok yaitu kelompok Kontrol (K). Perlakuan Lesi Negatif (PLN) dan Perlakuan Lesi Positif (PLP). Perubahan secara histopatologi didapat dari gambaran seluler terhadap sel mukus, sel radang, sel parietal dan sel chief dari ketiga kelompok tersebut. Pemeriksaan imuno histokimia terhadap kelompok Perlakuan Lesi Positif merupakan penilaian yang lebih jelas terhadap peran utama prostaglandin melalui jalur Cyclooxygenase dalam terjadinya lesi mukosa akibat Aspirin. Peran faktor lain yang juga berfungsi sebagai faktor defensif antara lain nitrik oksida dan lipoxin tidak tergantung dengan kadar prostaglandin mukosa lambung (Brzozowski dan Konturek etal. 2008).

4.1. Patologi Lambung Tikus pada Gastropati Aspirin

Dari pengamatan makroskopik dan pengukuran diameter sagital dan transversal terhadap kelompok kontrol (K) dan Perlakuan Lesi Negatif (PLN) maupun Perlakuan Lesi Positif (PLP) pada Korpus/Fundus didapatkan perbedaan tidak bermakna dari ketiga kelompok tersebut.

Tabel 2. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Fundus/Korpus

Diameter Kelompok Fundus/Korpus

Kontrol PLN PLP Nilai p Sagital 9.33+0.51 9.86+1.76 9.75+092 >0.05 Transversal 4.29+0.28 4.77+0.92 4.40+0.14 >0.05

Efek samping pemakaian Aspirin pada manusia adalah terdapatnya gejala klinik dalam bentuk sindroma dispepsia. Sindroma dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari perasaan nyeri atau tidak nyaman pada epigastrium,


(46)

kembung, cepat kenyang, mual dan muntah. Penyebab terjadinya gejala ini dihubungkan dengan terjadinya inflamasi dengan atau tanpa lesi pada mukosa lambung. Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas. Gejala klinik yang terjadi tidak selalu berkorelasi langsung dengan penemuan endoskopi. Pada 30-50 persen kasus didapatkan gambaran endoskopi dengan inflamasi ringan, sedangkan keluhan subjektif dirasakan cukup mengganggu aktifitas pasien. Pembuktian secara jelas pada manusia mempunyai keterbatasan. Oleh sebab itu penelitian dengan hewan coba tikus putih akan dapat memberikan data objektif yang jelas. Pada penelitian ini didapatkan perubahan kontur lambung pada kelompok perlakuan baik yang tanpa lesi mukosa maupun dengan lesi mukosa dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini terjadi disebabkan efek topikal Aspirin pada mukosa lambung, selanjutnya diikuti oleh infiltrasi sel-sel radang terutama netrofil pada mukosa lambung. Jumlah sel-sel radang yang cukup banyak pada lapisan muskularis mukosa dan disertai edema jaringan akan mempengaruhi motilitas lambung dalam bentuk dismotilitas. Akibatnya akan terjadi gangguan bersihan isi lambung dan akan terjadi pengumpulan isi lambung termasuk obat OAINS/Aspirin. Keadaan ini berakibat terjadinya kontak yang lebih lama dari Aspirin dengan mukosa lambung.

Dari penelitian ini terbukti bahwa terdapat penambahan diameter sagital maupun transversal pada kelompok PLP. pada regio Fundus/Korpus. Meskipun terjadi dilatasi lambung antara kelompok PLN dan PLP secara statistik didapatkan perbedaan tidak berbeda bermakna dengan kelompok K. Hasil ini sesuai dengan bentuk anatomik dan fungsi dari regio ini sebagai jalan untuk mencapai regio Antrum/Pilorus dan terdapat banyaknya komponen yang meningkatkan ketahanan mukosa. Komponen tersebut terdiri dari sel mukus, COX-1 dan Epidermal Growth Factor (EGF) yang dapat merangsang produksi mukus superfisialis. Perbedaan tidak bermakna dari kelompok PLN, PLP dan K membuktikan bahwa efek samping Aspirin pada regio ini jarang terjadi, sesuai dengan struktur anatomi dan histologinya.

Hasil uji statistik kelompok K, PLN dan PLP pada regio Antrum/Pilorus didapatkan perbedaan bermakna dari PLP terhadap kelompok K dan PLN,


(47)

sedangkan kelompok PLN dan K baik diameter sagital maupun transversal tidak berbeda bermakna.

Tabel 3. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Antrum/Pilorus Diameter Kelompok Antrum/Pilorus

Kontrol PLN PLP

Sagital 9.33+0.51a 8.75+1.29a 10.70+1.22b Transversal 4.29+0.28a 4.28+0.29a 5.20+1.02b

Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan p<0.05

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa lesi mukosa lambung akibat Aspirin sering ditemukan pada daerah Antrum/pilorus, yang berhubungan dengan bersihan pada daerah tersebut, lamanya kontak, dan kurangnya ketahanan mukosa. Tidak berbeda bermakna antara kelompok K dan PLN menunjukkan bahwa proses inflamasi yang disertai dengan infiltrasi sel radang tidak terjadi, disebabkan tidak terdapatnya lesi mukosa. Pada kelompok PLP didapatkan perbedaan yang bermakna diameter sagital dan transversal dengan kelompok PLN dan K. Hal ini disebabkan bahwa pada regio ini merupakan predileksi terjadinya lesi mukosa, sehingga reaksi seluler dalam bentuk inflamasi mukosa dan hambatan terhadap isoenzim COX, akan berakibat terjadinya gangguan pengosongan lambung. Penumpukan isi lambung akan berakibat dilatasi akan bertambah dan lesi mukosa yang terjadi akan lebih berat akibat kontak obat Aspirin dengan mukosa relatif lebih lama.

A B

Gambar 6 : Makroskopik Lambung normal (A) dan Lambung dilatasi (B) F/K

A/P


(1)

Perbedaan diameter antara perlakuan lesi positif, perlakuan lesi negatif dan

kontrol pada fundus/korpus

ANOVA

.171 2 .086 .049 .953

29.941 17 1.761

30.112 19

.241 2 .121 .276 .762

7.419 17 .436

7.660 19

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total Diamet er sagital (cm)

Diamet er transf ersal (cm)

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Duncan untuk diameter sagital dan transversal pada fundus/korpus

Diameter sagital (cm)

Duncana,b

2 9.7500

10 9.8700

8 10.0250

.782 Fundus/korpus

lesi positif Kontrol lesi negatif Sig.

N 1

Subset f or alpha

= .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.138.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.

b.

Diameter transfersal (cm) Duncana,b

2 4.4000

10 4.5400

8 4.7250

.512 Fundus/korpus

lesi positif Kontrol lesi negatif Sig.

N 1

Subset f or alpha

= .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.138.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.


(2)

Perhitungan statistik diameter lambung regio Antrum/Pilorus

Perbedaan diameter antara perlakuan lesi positif, perlakuan lesi negatif dan

kontrol pada Antrum/Pilorus

ANOVA

5.379 2 2.690 1.849 .188

24.733 17 1.455

30.112 19

1.516 2 .758 2.097 .153

6.144 17 .361

7.660 19

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total Diamet er sagital (cm)

Diamet er transf ersal (cm)

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Duncan untuk diameter sagital dan tranfersal pada Antrum/Pilorus

Diameter sagital (cm)

Duncana,b

5 9.2400 10 9.8700 5 10.7000 .062 Antrum/pilorus

lesi negatif Kontrol lesi positif Sig.

N 1

Subset f or alpha

= .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.

b.

Diameter transfersal (cm) Duncana,b

5 4.2800

10 4.5400

5 5.0400

.052 Antrum/pilorus

lesi negatif Kontrol lesi positif Sig.

N 1

Subset f or alpha

= .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.


(3)

Perhitungan statistik sel radang regio Fundus/Korpus

Anova untuk sel radang (Fundus/korpus)

ANOVA Sel radang

55521.543 2 27760.771 27.546 .000

17132.457 17 1007.792

72654.000 19

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Duncan untuk sel radang (Fundus/korpus)

Sel radang

Duncana,b

10 33.2000

7 121.8571

3 165.0000

1.000 1.000 1.000

Lesi mukosa Kontrol Positif Negatif Sig.

N 1 2 3

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.207.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not

guaranteed. b.

Perhitungan statistik sel mukus regio Fundus/Korpus

Anova untuk sel mukus (Fundus/korpus)

ANOVA Sel goblet

136643.6 2 68321.786 11.715 .001

87476.929 15 5831.795

224120.5 17

Between Groups Within Groups Total

Sum of


(4)

Uji Duncan untuk sel mukus regio Fundus/Korpus

Sel goblet

Duncana,b

8 12.2500

7 173.7143

3 213.0000

1.000 .429

Lesi mukosa Kontrol Positif Negatif Sig.

N 1 2

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.990.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.

b.

Perhitungan statistik sel Parietal regio Fundus/Korpus

Anova untuk sel parietal (Fundus/korpus)

ANOVA Sel parietal

17245.026 2 8622.513 2.971 .078

49335.524 17 2902.090

66580.550 19

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Duncan untuk sel parietal (Fundus/Korpus)

Sel pari etal

Duncana,b

3 197.3333 7 200.1429 10 258.0000 .102 Lesi mukosa

Negatif Positif Kontrol Sig.

N 1

Subset f or alpha

= .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.207.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.


(5)

Perhitungan statistik sel Chief regio Fundus/Korpus

Anova untuk sel chief (Fundus/korpus)

ANOVA Sel chief

2701.576 2 1350.788 .194 .826

118635.6 17 6978.566

121337.2 19

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Duncan untuk sel chief (Fundus/Korpus)

Sel chief Duncana,b

3 250.6667

7 255.8571

10 277.3000

.633 Lesi mukosa

Negatif Positif Kontrol Sig.

N 1

Subset f or alpha

= .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.207.

a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error lev els are not guaranteed.


(6)

33.20 15.79 4.99

12.25 6.73 2.38

258.00 61.37 19.41

277.30 98.19 31.05

10.50 2.88 1.02

165.00 40.85 23.59

213.00 82.71 47.75

197.33 21.50 12.41

250.67 41.68 24.06

187.00 91.28 52.70

121.86 43.88 16.58

173.71 110.66 41.83

200.14 49.18 18.59

255.86 68.79 26.00

166.14 76.02 28.73

Sel radang Sel goblet Sel parietal Sel chief Sel kelenjar aktif Kontrol

Sel radang Sel goblet Sel parietal Sel chief Sel kelenjar aktif Negatif

Sel radang Sel goblet Sel parietal Sel chief Sel kelenjar aktif Positif

Lesi mukosa

Mean St d Dev iat ion

St andard Error of Mean